Anda di halaman 1dari 18

Otonomi Pendidikan Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional : Suatu Kajian

Siswo Wiratno Peneliti Muda Bidang Kebijakan Pendidikan, Puslitjaknov Balitbang Depdiknas, e-mail: wiratno2002@yahoo.com Abstrak: Desentralisasi merupakan agenda reformasi bangsa Indonesia yang paling penting setelah pemilihan umum demokratis pada Juni 1999. Desentralisasi menyentuh seluruh kehidupan bangsa, termasuk program dan kegiatan pendidikan. Sektor pendidikan mengalami transisi pengaturan dari pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang diatur oleh pemerintah kabupaten/kota. Dengan kata lain, daerah memiliki otonomi di sektor pendidikan. Otonomi pendidikan merupakan penyerahan kewenangan kepada satuan pendidikan untuk mengatur dan mengelola program dan kegiatan pendidikan secara mandiridan dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Hasil kajian analitik menunjukkan bahwa dalam undangundang Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas terdapat beberapa Pasal yang bermuatan otonomi pendidikan. Pasal-pasal tersebut terkait dengan: a) prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan (Pasal 4), b) hak dan kewajiban Pemerintah dan pemerintah daerah (Pasal 10 dan Pasal 11), c) pemberdayaan masyarakat (Pasal 54), dan d) pengelolaan pendidikan (Pasal 50). Kata kunci: otonomi pendidikan dan sistem pendidikan nasional.

Pendahualuan Pada tanggal 11 Juni 2003, secara resmi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) disahkan oleh DPR yang kemudian ditandatangani oleh Presiden pada bulan Desember 2003. UUSPN tersebut terdiri atas 22 Bab dan 77 Pasal sebagai wujud amanah dari salah satu tuntutan reformasi saat itu. Perubahan sistem pemerintahan (sentralisasi) ke desentralisasi (otonomi daerah) merupakan salah satu alasan yang melatarbelakangi disempurnakannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989. Perubahan yang cukup mendasar dari UUSPN, antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, dan tantangan global. Perubahan pengelolaan pendidikan secara otonom, sekurang-kurangnya berdampak positif terhadap : 1) perluasan dan pemerataan akses pendidikan, 2) peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, 3) efesiensi keuangan, dan 4) efesiensi administrasi. Oleh karena itu, desentralisasi pendidikan memerlukan landasan demokrasi yang kuat, transparan, efesien dan melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholders). Semenjak diundangkannya UUSPN Nomor 20/2003 sampai dengan saat ini, pelaksanaan otonomi pendidikan belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya antara lain: a) belum adanya peraturan yang mengatur tentang peran dan tata kerja di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, b) belum meratanya kesiapan SDM untuk mengelola pendidikan di daerah masing-masing, c) ketersidiaan pendanaan APBD belum memadai, d) keterlibatan masyarakat terhadap pendidikan belum optimal, e) pembangunan pendidikan belum merupakan skala prioritas bagi masing-masing pemerintah daerah, dan f) ketersidiaan sarana-prasarana pendidikan di daerah belum merata (http://pokgruruonline.pendidikan.net)

Desentralisasi adalah sebuah agenda reformasi Indonesia yang paling penting setelah pemilihan umum pada Juni 1999. Sudah ada 420 kabupaten dan kota menjalankan kewenangan yang sebelumnya selama satu generasi diatur oleh pemerintah pusat. Desentralisasi menyentuh seluruh kehidupan orang Indonesia, termasuk program dan kegiatan pendidikan, Indonesia sedang mengalami transisi pemerintahan dari perencanaan yang diatur oleh pusat menuju desentralisasi di mana tanggung jawab administrasi pemerintahan terletak di tingkat kabupaten dan kotamadya (Dodi Nandika, MS, 2008). Guna mencapai tujuan desentralisasi pendidikan tersebut pemerintah perlu melakukan restrukturisasi dalam penyelengggaraan pendidikan terutama dalam penyelenggaraan pendidikan terutama yang berkenaan dengan struktur kelembagaan pendidikan, mekanisme pengambilan keputusan, dan manajemen pendidikan di pusat, di daerah, dan di sekolah. Sejalan dengan itu, pemerintah perlu menyiapkan landasan hukum dalam bentuk undangundang, peraturan pemerintah, dan keputusan menteri untuk pelaksanaan desentralisasi pendidikan agar sesuai dengan jiwa dan semangat otonomi daerah. Pada hakikatnya, desentralisasi pendidikan merupakan perlimpahan sebagian besar tugas pemerintah (pusat) ke pemerintah daerah untuk mengatur (pendidikan) di daerah masing-masing. Terkait dengan otonomi pendidikan, UUSPN Nomor 20/2003 telah mengatur pembagian tugas dalam beberapa Bab dan Pasal-Pasal serta Peraturan Pemerintah sebagai penyentaranya. Permasalahan yang mendasar terhadap pelaksanaan otonomi pendidikan, antara lain diduga: a) belum semua aparat pemerintah daerah mengeahui dan memahami Bab dan Pasal-Pasal dalam UUSPN yang mengatur otonomi pendidikan, b) belum semua penyelenggara pendidikan memahami bentuk otonomi pendidikan pasca UUSPN, dan c) belum semua pendidik, tenaga kependidikan, pemimpin satuan pendidikan, pengawas dan pembina pendidikan serta penyelenggara pendidikan memahami prinsip otonomi pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah (MBS) pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah, ataupun otonomi pendidikan tinggi. Atas dasar permasalahan ini, tujuan penulisan adalah untuk mengedintifikasi Bab-Bab dan Pasal-Pasal dalam UUSPN yang mengamanatkan otonomi pendidikan dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan bagi pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Kajian literatur Pendelegasian kewenangan Pemerintah mengemban tiga fungsi utama yaitu fungsi distribusi, fungsi stabilisasi, dan fungsi alokasi. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dan tepat dilaksanakan oleh pemerintah, sedangkan fungsi alokasi dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi masyarakat setempat. Dalam kaitan itu, penyerahan wewenang dari pemerintah kepada daerah menjadi penting. Pada hakikatnya desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. (UU Nomor 32 2004: Pasal 1 angka 7 Desentralisasi). Penyerahan pemerintah diwujudkan dalam bentuk; 1) Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal

di wilayah tertentu (UU No.32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 8), 2) Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu (UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 9). Secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan, yaitu: pertama, desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (provinsi dan distrik), dan kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian keweangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintah dari pusat ke daerah, sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan ( Arminda S. Alisjahbana, 1999). Dalam kenyataannya, desentralisasi pendidikan yang di lakukan di banyak negara merupakan bagian dari proses reformasi pendidikan secara keseluruhan dan tidak sekedar merupakan bagian dari proses otonomi daerah dan desentralisasi fiscal (Burki,et. Al, 1999: http://-wds.worldbank.org). Desentralisasi pendidikan meliputi suatu proses pemberian kewenangan yang lebih luas di bidang kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal dan pada saat yang bersamaan kewenangan yang lebih besar juga diberikan pada tingkat sekolah. Sejalan dengan proses desentralisasi yang di implementasikan pemerintah sejak tahun 2001 melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 (yang direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004) dan UU Nomor 25 Tahun 1999 (yang direvisi menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004) tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keungan Pusat-Daerah, dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru dalam pengelolaaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota serta perimbangan keuangan daerah. Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor yang termasuk sektor pelayanan dasar yang akan mengalami perubahan secara mendasar dengan akan dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, baik dari segi birokrasi kewenangan penyelenggaraan pendidikan maupun dari aspek pendanaannya. Dalam kaitan dengan pendanaan, UU No.32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 13 mengamanatkan bahwa perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dengan demikian, dengan adanya dukungan pendanaan tersebut daerah diharapkan dapat melaksanakan limpahan kewenangan dari pemerintah sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan situasi masyarakat setempat, dengan tetap mengatur dan mengurus urusan peerintahan dalam bingkai sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Otonomi daearah Pada Hakikatnya otonomi daerah dapat dimaknai sebagai pemberian atau pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat (UU Nomor 22/1999 yang direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5: Otonomi daerah). Pemerintah dalam melimpahkan

kewenangannya dilakukan melalui beberapa tingkatan pengaturan, yaitu: dekonstrasi, delegasi, dan devolusi. Secara harfiah, dekonstrasi merupakan pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang lebih rendah dengan tanpa dilakukan supervisi dari pusat, sedangkan devolusi dapat diartikan sebagai wujud kongkrit dari desentralisasi politik (political decentralization). Beberapa ciri devolusi, yaitu: 1) diberikan otonomi penuh dan kebebasan tertentu kepada pemerintah daerah serta kontrol yang relatif kecil dari pemerintah pusat terhadapnya, 2) pemerintah daerah harus memiliki wilayah dan kewenangan hukum dan berhak menjalankan fungsi-fungsi publik dan politik pemerintahannya, 3) pemerintah daerah harus diberikan corporate status dan kekuasan yang cukup untuk mengali sumber-sumber yang diperlukan untuk menjalankan semua fungsi-fungsinya, 4) perlu mengembangkan pemerintah daerah sebagai institusi, dalam arti bahwa ini akan dipersiapkan oleh masyarakat setempat sebagai organisasi yang menyediakan pelayanan yang memuaskan kebutuhan mereka sebagai satuan pemerintah dimana mereka mempunyai hak mempengaruhi keputusan-keputusan, dan 5) devolusi masyarakat adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan serta koordinasi yang efektif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (http://pokguruonline.pendidikan.net). Selanjutnya, devolusi pendidikan ditandai dengan ciri 3 pokok, yaitu: a) terpisahnya peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan pendidikan di pusat dan di daerah, b) kebebasan lembaga daerah dalam mengelola pendidikan, c) terpisah dari supervisi hirarkhi dari pusat, dan d) kewenangan lembaga daerah diatur dengan perundang-undangan (UU Nomor 22/1999 dan PP Nomor 25/2000). Salah satu tuntutan reformasi pasca pemerintahan Orde Baru antara lain adalah adanya perubahan sistem pemerintahan dari sistem terpusat (sentralisasi) ke desentralisasi (otonomi daerah). Hal ini berarti terdapat perubahan paradigma baru yaitu adanya pemberdayaan masyarakat dam pemberdayaan pemerintah kabupaten/kota. Pada tahun 2007, berbagai permasalahan terkait dengan otonomi daerah, antara lain: 1) belum selesainya penyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Desentralisasi sebagai penjabaran dari Grand Strategy Penataan Otonomi Daerah yang meliputi urusan pemerintahan, kelembagaan, personil, keuangan daerah, perwakian, pelayanan publik, dan pengawasan; 2) belum mantapnya pelaksanaan urusan dan peraturan perundangan sektoral agar sesuai dengan PP Pembagian Urusan Pemerintahan; 3) belum mantapnya pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk masing-masing sektor; 4) masih belum mantapnya kinerja lembaga dan koordinasi antar organisasi perangkat pemerintah daerah, baik di masing-masing pemerintah kabupaten/kota maupun koordinasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; 5) belum optimalnya reformasi administrasi dan proses pengangaran di daerah. (http://agribisnis.deptan.go.id/web/dipertantb/produkhukum/rkp2007buku2.htm) Dalam beberpa tahun terakhir ini, Departemen Dalam Negeri telah membentuk pakar guna mediskusikan beberapa critical issues perubahan UU no.32 Tahun 2004. Salah satu isu yang diperdebatkan adalah isu pembagian urusan pemerintahan: pertama, tidak ada pembagian yang jelas antar tingakatan pemerintah. Persoalan pokok yang kedua dalam persepsi tim Depdagri adalah tidak adanya koherensi antara UU 32/2004 dengan sektoral. (hhtp://desentralisasi.org/attachments/24). Hal inilah kiranya sebagai salah satu penghambat dalam proses desentralisasi karena belum sinkronnya peraturan perundang-undangan masingmasing sektor, termasuk antara sektor Pendidikan dengan sektor pemeritahan daerah.

Selanjutnya, pada tahun 2006 telah teridentifikasi terkait dengan tantangan otonomi daerah, antara lain hal-hal sebagai berikut. Pertama, menyelesaikan peraturan perundangundangan yang belum ditetapkan atau belum selesai disusun sebagai peraturan pelaksana UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, termasuk sosialisasi dan penguatan visi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Kedua, meingkatkan kerja sama antar pemerintah daerah terutama dalam penyediaan pelayanan kepada masyarakat. Ketiga, melaksanakan sinkronisasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan antar daerah, antar pusat dan daerah. Keempat, meingkatkan kapasitas kelembagaan agar menjadi lebih efisien dan efektif, ketersediaan aparatur pemerintah daerah yang professional, dan pengelolaan keuangan pemerintah daerah yang baik untuk merespon kebutuhan masyarakat dan dunia usaha serta dunia industri dalam menghadapi era kompetesi investasi antar daerah dan antar negara. Lebih khusus dalam hal otonomi pendidikan, Anwar Arifin (anonim, 2003) menyatakan bahwa konsep demokratisasi dalam pendidikan sebagaimana tertuang dalam UUSPN Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) serta pemberdayaan peran serta masyarakat sebagaimana temaktub dalam Pasal 54, merupakan amanah peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pedidikan. Dalam hal upaya meningkatkan ilmu pendidikan di daerah, perlu dibentuk lembaga penjaminan mutu daerah sebagai kepanjangan otorisasi penjaminan mutu sosial (pusat) yang dalam hal ini disebut dengan badan standarisasi nasional pendidikan provinsi (BSNPP). Untuk mengantisipasi dan menghadapi tantangan global yang kompetitif di perlukan penyelenggaraan satuan pendidikan bertaraf internasional. Hal ini diharapkan agar lulusan mampu bersaing secara kompetitif, baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Di samping itu, sekaligus untuk mengurangi penumpukan peredaran dana pendidikan di luar negeri lantaran semakin meningkatnya animo warga negara Indonesia lulusan sekolah Indonesia yang belajar di luar negeri (menambah devisa negara). Secara teoritis, antara desentralisasi dan demokratisasi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Secara empirik, desentralisasi dan otonomi daerah tidak hanya berurusan dengan persoalan pembagian kewenangan dan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, akan tetapi memiliki misi untuk mendekatkan negara dengan masyarakatnya, dan dekat dengan pemerintah daerah manakala terjadi desentralisasi dan pemberian otonomi daerah. Mengacu pada pendapat Robert Putman (dalam Sutoro Eko, 2003) berpendapat bahwa desentralisasi dapat menumbuhkan partisipasi dan tradisi kewargaan di tingkat lokal, dimana partisipasi demokrasi telah membiakkan komitmen warga secara luas, misalnya dalam bentuk kepercayaan, toleransi, kerja sama, dan solidaritas yang disebut dengan komunitas sipil (civic community). Dalam implementasi otonomi daerah di era reformasi yang mengacu pada UU Nomor 22 Tahun 1999 (yang direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004) memiliki sejumlah kemajuan di bandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Namun demikian, secara empirik menimbulkan beberapa permasalahan yang cukup kompleks (Sutoro Eko, 2003) memberikan uraian perbandingan antara UU Nomor 5/1974 dengan UU Nomor 22/1999 (Tabel 1). Lebih lanjut, mengacu pada ide-ide otonomi pendidikan, beberapa konsep sebagai solusi dalam menghadapi pelaksanaan otonomi pendidikan, sebagai berikut.

Meningkatkan Manajemen Pendidikan Menurut Wardiman Djojonegoro (1995,dalam http://pokguruonline.pendidikan.net) bahwa kualitas pendidikan dapat ditinjau dari segi proses dan produksi pendidikan. Pendidikan dapat dikatakan berkualitas dari segi proses manakala proses pembelajaran berlangsung secara efektif dan peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna. Pendidikan disebut berkualitas dari segi produk manakala mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a) peserta didik menunjukkan penguasaaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning task) yang harus dikuasai sesuai dengan tujuan pendidikan. Penguasaan tersebut antara lain hasil belajar (akademik) yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas internal); b) hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari sehingga dengan belajar peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi dapat melakukan sesuatu yang fungsional dalam kehidupannya, dan c) hasil pendidikan sesuai dan relevan dengan tuntutan lingkungan khususnya dunia kerja. Menghadapi kondisi kualitas pendidikan saat ini, perlu dilakukan pemantapan manajemen pendidikan yang bertumpu pada kompetisi dan kesejahteraannya. Menurut penelitian Simmons dan Alexander (1980, dalam http://pokguruonline.pendidikan.net) bahwa terdapat tiga faktor utama dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, yaitu motivasi guru, buku pelajaran, dan buku bacaan serta pekerjaan rumah. Namun demikian, perlu dicermati dengan bijaksana terkait dengan pekerjaan rumah (PR). Hal ini perlu dipertimbangkan mengingat kondisi fisik tingkat keletihan peserta didik selama belajar disekolah. Diharapkan jangan sampai pemberian PR cenderung membebani pembelajaran peserta didik dan tidak ada umpan balik dari guru dalam pemahaman hasil pembelajaran. Hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa akhir penentu dalam meningkatkan mutu pendidikan bukan berarti bergantinya kurikulum, kemampuan manajemen dan kebijakan ditingkat pusat atau pemerintah daerah, tetapi terletak juga pada faktor-faktor internal yang ada di satuan pendidikan, yaitu peranan pendidik, sarana dan prasarana pendidikan dan pemanfaatan pemimpin suatu pendidikan sebagai manajer harus mampu memberdayakan semua unit yang dimiliki untuk dapat mengelola semua infrastruktur yang ada demi pencapaian kinerja yang maksimal. Manajemen pendidikan atau pengelolaan pendidikan, sebagai mana tertuang dalam pasal 52 UUSPN, pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah, dan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akunbilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. Yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dalam mengelola pendidikan. Otonomi perguruan tinggi adalah kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya. Untuk pendidikan jalur nonformal tidak diatur secara khusus, dan dilakukan oleh pemerintah, Pemerintah daerah dan/atau masyarakt (pasal 52 UUSPN). Selain itu, untuk dapat menigkatkan manajemen pendidikan yang mendukung peningkatan mutu pendidikan, warga satuan pendidikan harus memiliki kemampuan untuk melibatkan partisipasi dan komitmen orang tua dan masyarakat sekitar sekolah untuk mewujudkan dan merumuskan visi, misi, dan program pendidikan secara bersama-sama. Hal ini sejalan dengan Bab XV Pasal 54 UUSPN/ UU No.20/2003 tentang peran serta masyarakat dalam pendidikan. Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta

perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan, sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Memberdayakan masyarakat berarti menumbuhkan motivasi kepedulian, prakarsa, kreativitas, kontribusi, dan tanggung jawab bersama dalam upaya mencerdaskan anak bangsa. Meningkatkan peran serta masyarakat termasuk meingkatkan sumber dana dalam penyelenggaraan pendidikan. Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah dewan pendidikan merupakan lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis. Komite sekolah/madrasah merupakan lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Reformasi Kelembagaan Dalam Renstra Depdiknas ditegaskan bahwa sealan dengan misi pendidikan nasional adalah mewujudkan pendidikan yang mampu membangun insan indonesia cerdas komprehensif dan kompetitif. Untuk mewujudkan misi tersebut, Depdiknas menetapkan beberapa strategi dan program yang disusun berdasarkan suatu skala prioritas. Salah satu bentuk dari prioritas tersebut adalah penggunaan dana APBN/APBD dan dana masyarakat yang lebih ditekankan pada: 1. upaya pemerataan dan perluasan akses pendidikan; 2. peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing keluaran pendidikan; dan 3. peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelolaan pendidikan. Dalam rangka peningkatan tata kelola, akunbilitas, dan citra publik pengelolaan pendidikan, pemerintah telah melakukan perintisan dalam mengembangkan berbagai model desentralisasi pengelolaan pendidikan sejak beberapa tahun terakhir. Sejumlah provinsi dan kabupaten/kota menerapkan kebijakan pendidikan dalam kerangka desentralisasi, misalnya melalui (a) penetapan formula dan mekanisme bantuan bagi perbaikan dan pengembangan satuan pendidikan, (b) penguatan proses akuntabilitas dan education governance, (c) penetapan sistem keuangan dan perencanaan sekolah, dan (d) pengembangan kapasitas (capacity building) mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, sampai dengan satuan pendidikan. Namun dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Salah satu kendalanya adalah belum tersedianya sistem informasi manajemen yang akurat. Dengan mengacu pada Renstra Depdiknas, dan peraturan perundang- undangan yang menjadi landasan pelaksanaan desentralisasi pendidikan ( dalam arti pembagian tugas dan kewenangan Pemerintah, pemerintah daerah dan satuan pendidikan ), sebenarnya desentralisasi pendidikan sudah dilaksanakan, dimana Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional beserta jajaran satuan kerja di tingkat pusat maupun Departemen Agama yang dalam hal ini juga menangani dan membina pendidikan( Pendidikan keagaaman juga pendidikan umum seperti RA, MI, MTs, MA, dan bentuk lain yang sejenis), menetapkan standar dan pedoman pelaksanaan dan juga membina pendidikan tinggi, sedangkan

pemerintah provinsi melaksanakan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan serta pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah dan juga penyelenggaraan satuan pendidikan bertaraf internasional. Pemerintah kabupaten/ kota telah melaksanakan pendidikan dasar dan menengah dan juga pengembangan pendidikan bertaraf internasional disamping pengembangan pendidikan berbasis keunggulan local. Sebagai konsekuensi hal tersebut kelembagaan yang menangani pendidikan telah berubah, yakni 1) kelembagaan di tingkat pusat lebih mengarah kepada kelembagaan yang menetapkan kebijakan dan standar secara nasional, yang bertanggung jawab kepada Menteri Pendidikan Nasional, sedangkan 2) kelembagaan di daerah, lebih mengarah kepada pelaksanaan kebijakan atau penyelenggaraan pendidikan di daerahnya, dan bertanggung jawab kepada kepala daerahnya, dan 3) satuan pendidikan menjalankan proses pendidikan, bertanggung jawab kepada pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya. Dari uraian tersebut, tergambar bahwa tugas dan kewenagan Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten kota, dan satuan pendidikan yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas maupun aturan pelaksanaannya, secara garis besar sudah sejalan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada Daerah secara nyata dan bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Sebagai daerah otonom, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Agar penyelenggaraan pemerintahan terlaksana secara efisien dan efektif serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur pendanaan penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dibiayai dari APBD, sedangkan penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah dibiayai dari APBN, baik kewenangan Pusat yang didekonsentrasikan kepada Gubernur atau ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dan/atau Desa atau sebutan lainnya dalam rangka Tugas Pembantuan. Berkaitan dengan otonomi pendidikan, dirasa perlu melakukan penataan ulang tentang hubungan keuangan antara Pusat-Daerah menyangkut pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaanya (expenditure) untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan dalam rangka memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Sumber keuangan diperoleh dari Pendapatan Belanja Daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang resmi/sah. Hal ini sejalan dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 (yang direvisi menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan Daerah antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan melakukan pemerataan pendapatan daerah diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kegiatan di daerahnya, terutama daerah miskin, sehingga dimungkinkan dilakukan subsidi silang antara daerah yang kaya dengan daerah miskin. Dengan demikian,

pemerataan pembangunan pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan harus sesuai dengan Standar Nasioanl Pendidikan (SNP) yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 2 antara lain diamanatkan bahwa :Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya. meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya, dengan dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan. Dalam kaitan ini Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang- undang. Ditegaskan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 10 ayat (4) dan ayat (5) bahwa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa . Sedangkan dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan , Pemerintah dapat: a). menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan, b) melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau c). menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan. Dengan demikian dengan adanya otonomi daerah kelembagaan atau perangkat pemerintahan pada tingkat daerah mempunyai hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya sesuai dengan limpahan urusan pemerintahan yang diberikan kepadanya, dengan tetap dalam bingkai sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kemauan Pemerintah Daerah Melakukan Perubahan Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 11 ayat (1) UU SPN, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.Mewujudkan pendidikan yang bermutu sampai saat ini masih banyak menghadapi berbagai kendala atau permasalahan. Permasalahan mutu pendidikan tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan suatu sistem yang saling berpengaruh. Mutu keluaran dipengaruhi oleh mutu masukan dan mutu proses. Mutu masukan pendidikan dapat dilihat dari kesiapan murid dalam mendapatkan kesempatan pendidikan. Kenyataannya, masih banyak murid yang tidak siap karena sebagian menderita kekurangan gizi, kecacingan, ataupun kondisi kesehatan dan kebugaran jasmani yang tidak mendukung. Di samping itu, ada pula perilaku negatif peserta didik yang berdampak pada kesehatan dan proses belajar mengajar seperti perilaku merokok, penyalahgunaan narkoba, seks pra-nikah, dan kasus HIV/AIDS pada usia produktif (1524 tahun) yang semakin meningkat. Secara eksternal, komponen masukan pendidikan yang secara signifikan berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan meliputi (1) ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang belum memadai baik secara kuantitas dan kualitas, maupun kesejahteraannya; (2) prasarana dan sarana belajar yang belum tersedia dan belum didayagunakan secara optimal; (3) pendanaan

pendidikan yang belum memadai untuk menunjang mutu pembelajaran; dan (4) proses pembelajaran yang belum efisien dan efektif ( Renstra Depdiknas, 2005) Pada era otonom, khususnya pendidikan dasar dan menengah pencapaian mutu pendidikan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah terhadap program pembangunan pendidikan. Apabila pemerintah daerah memiliki political will yang kuat dan konsisten serta komitten terhadap visi dan misi pendidikannya, akan memiliki peluang yang cukup luas bagi kemajuan pendidikan di daerahnya. Sebaliknya, bagi kepala daerah yang kurang memiliki visi yang berorientasi pada kualitas pendidikan dapat diduga daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated dan akan tertinggal tidak dengan daerah lainnya. Dalam mewujudkan hal ini, dirasa perlu pemerintah daearah untuk membangun kebersamaan dengan para pemangku kepentingan pendidikan dalam memajukan pendidikan didaerahnya dengan tetap menjaga hubungannya dengan kebijakan nasional pendidikan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Saat ini, dampak positif pengelolaan pendidikan dalam era otonomi pendidikan mulai tampak jelas. Pertama, sejumlah provinsi dan kabupaten/kota mengambil inisiatif sendiri dalam melaksanakan perubahan organisasi untuk merespon peran dan fungsi yang berubah. Kedua, tumbuhnya inisiatif dalam mengelola perubahan yang didorong oleh kekuatan internal pada tingkat satuan pendidikan dan masyarakat. Ketiga, pada tingkat pusat, reformasi struktur organisasi Depdiknas lebih diarahkan pada semakin besarnya fungsi manajemen mutu sebagai respon positif terhadap tuntutan perkembangan global dan kebijakan desentralisasi. Hal ini perlu dipertahankan dan terus dikelola dengan baik agar cita-cita otonomi pendidikan sebagai konsekuensi desentralisasi kewenangan bidang pendidikan dari Pemerintah dapat diwujudkan yaitu pendidikan yang bermutu didaerahnya, sesuai dengan kondisi dan tuntutan masyarakatnya. Disisi lain, dapat dilihat dampak yang kurang positif dari desentralisasi adalah bahwa perencanaan dan pelaksanaan program belum didukung oleh data dan informasi yang akurat pada berbagai tingkatan pemerintahan. Hal inipun perlu diperhatikan untuk menjadi perhatian dalam melanjutkan pembangunan didaerahnya. Sejumlah pelajaran yang dapat diambil dari kajian terhadap dampak awal pelaksanaan kebijakan otonomi pendidikan Bupati/walikota memiliki posisi penting dalam merintis proses perubahan, namun perubahan tersebut tidak akan berdampak positif jika kapasitas daerah dalam manajemen pendidikan masih rendah. Pembangunan pendidikan di daerah perlu mendapat dukungan semua pihak atau para pemangku kepentingan agar hasil pendidikan benar- benar dapat dinikmati rakyatnya. Oleh karena itu, otonomi pendidikan harus mendapat dukungan DPRD, karena DPRD lah yang merupakan penentu kebijakan ditingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut. Komisi pendidikan di tingkat DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun pradigma pembangunan pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu, badan legislatif harus diberdayakan dan memberdayakan diri agar masyarakat sebagai mitra Pemerintah dan pemerintah daerah dapat bersinergi terhadap program-program pembangunan pendidikan yang perlu direncanakan secara strategis dan sistematis. Membangun Pendidikan Berbasis masyarakat Sebagaimana diatur dalam Pasal 55 UUSPN, masyarakat diberi hak oleh Pemerintah untuk menyelenggarakana pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal, sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya, untuk kepentingan masyarakat. Namun demikian, kondisi sumber daya (man, money, material) yang dimiliki

setiap daerah provinsi, kabupaten/kota belum cukup merata di seluruh wilayah NKRI. Oleh karena itu, pemerintah daerah dapat memberdayakan dan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat (formal/informal), ilmuan, akademisi maupun para pakar di bidang pendidikan dan lainnya untuk membangun daerahnya melalui pendidikan sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Lembaga penyelenggara pendidikan di daerah sebagai think thank untuk membangun daerahnya, diharapkan tidak hanya sebagai pelayan pendidikan semata, pengamat, pemerhati, pengecam kebijakan pendidikan di daerah, namun sebaliknya, diharapkan sebagai mitra pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota untuk selalu bergandeng tangan bersama pemerintah setempat dalam memberikan dan memfasilitasi pelayaanan pendidikan terbaik di daerahnya dengan senantiasa mengedepankan prinsip-prinsip penyelenggaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UUSPN. Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam ikut membangun pendidikan. Untuk mendorong peran serta masyarakat dalam pendidikan tersebut, dalam pasal 55 aya (4) UUSPN ditegaskan bawha lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Disisi lain ditegaskan pula dalam pasal 44 ayat (3) bahwa pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat. Diharapkan, dengan peran pemerintah dan pemerintah daerah masyarakat sebagain bagian tak terpisahkan sebagai kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan, dapat bersama-sama membangun pendidikan bermutu bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan Daerah Dengan mengacu pada Renstra Depdiknas, dan peraturan perundang- undangan yang menjadi landasan pelaksanaan desentralisasi pendidikan ( dalam arti pembagian tugas dan kewenangan Pemerintah, pemerintah daerah dan satuan pendidikan ), sebenarnya implementasi desentralisasi pendidikan sudah dilaksanakan, dimana Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional beserta jajaran satuan kerja di tingkat pusat maupun Departemen Agama yang dalam hal ini juga menangani dan membina pendidikan ( pembinaan terhadap pendidikan keagaaman juga pendidikan umum seperti RA, MI, MTs, MA, dan bentuk lain yang sejenis), menetapkan standar dan pedoman pelaksanaan dan juga membina pendidikan tinggi, sedangkan pemerintah provinsi melaksanakan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan serta pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah dan juga penyelenggaraan satuan pendidikan bertaraf internasional, dan pemerintah kabupaten/ kota telah melaksanakan pendidikan dasar dan menengah dan juga pengembangan pendidikan bertaraf internasional disamping pengembangan pendidikan berbasis keunggulan lokal. Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 50 ayat (1) pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab menteri yang menangani urusan bidang pendidikan , dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka Pemerintah Pusat tidak lagi diperkenankan mencampuri urusan pembangunan pendidikan daerah. Pemerintah Pusat hanya diperkenankan memberian rambu-rambu pelaksanaan dalam wujud kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang bersifat nasional, misalnya 3 (tiga) pilar kebijakan Depdiknas terkait dengan perluasan

akses pendidikan, mutu dan relevanasi, serta pencitraan publik,. Selain itu, Pemerintah Pusat juga menetapkan Standar Nasional Pendidikan (SNP) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang didalamnya mengatur standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan.. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat hanya berperan sebagai motivator, fasilitator, dan katalisator dalam pembangunan pendidikan. Oleh karena, otonomi pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, maka Pemerintah diharapkan mampu dan mau memberi pelayanan prima dan utama dalam mendukung proses pendidikan secara efektif dan efisien. Dalam rangka otonomi daerah, seperti diamanatkan dalam UUSPN Pasal 50 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Pemerintah, pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/ kota mengelola pendidikan dasar dan menengah dengan pengaturan kewenangan sebagai berikut : 1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional,. 2) Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah., dan 3) Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Sedangkan untuk pendidikan tinggi, pasal 50 ayat (6) mengamanatkan bahwa perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan dilembaganya. Hasil Kajian dan Pembahasan Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan sebagaimana dimaksud pada Bab III dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (3), dan ayat (6), UUSPN, antara lain menyebutkan bahwa: a) pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeaadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1); b) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna ( ayat 2), c) pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), dan d) pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian layanan mutu pendidikan (ayat 6). Ayat-ayat tersebut mengamanatkan bahwa pada hakikatnya pendidikan merupakan hak setiap warga negara, berlangsung sepanjang hayat, diselenggarakan tanpa diskriminasi,terbuka dan multi makna, serta seluruh komponen masyarakat (stakeholders) ikut bertanggung jawab. Penyelenggaraan pendidikan tanpa diskriminasi berarti pendidikan membuka peluang bagi siapa saja, yang berarti pula memberi peluang yang sama bagi setiap warga negara mengenyam pendidikan. Hal ini peserta didik memiliki otonomi memilih pendidikan yang dikehendaki sesuai dengan kondisi, potensi dan kemampuan yang dimiliki. Disisi lain, pendidikan dengan sistem terbuka merupakan pendidikan yang diselenggarakan dengan fleksibilitas pilihan dan waktu penyelesaian program lintas satuan dan jalur pendidikan (multi entry-multi exit system) dimana peserta didik dapat belajar sambil bekerja, atau mengambil program-program pendidikan pada jenis dan jalur pendidikan yang berbeda secara terpadu dan berkelanjutan melalui pembelajaran tatap muka atau jarak jauh.Disini

menunjukkan bahwa otonomi diwujudkan baik pada penyelenggaraan, satuan pendidikan, maupun otonomi bagi peserta didiknya. Disamping itu, dengan keterlibatan masyarakat ikut berperan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pendidikan, hal ini menunjukkan konsekuensi dari otonomi pendidikan dimana pendidikan harus transparan dan akuntabel. Pemerintah Negara Indonesia dalam mewujudkan mencerdaskan kehidupan bangsa telah memberikan kesempatan pendidikan bagi semua warga negaranya untuk mengikuti atau memberi kesempatan bagi warga negaranya untuk mengikuti pendidikan, baik melaui jalur pendidikan formal, nonformal maupun informal sesuai dengan kesempatan masing- masing.( Siswo Wiratno, 2009). Untuk itu telah disiapkan berbagai peraturan perundang-undangan sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan sebagai turunan UU SPN Berbagai peraturan perundang- undangan tersebut, antara lain 1) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional ( UU Sisdiknas), yang merupakan amanat reformasi pendidikan, sebagai penyempurnaan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar nasional Pendidikan ( PP.19/2005), sebagai acuan dalam menciptakan pendidikan yang terstandar dan bermutu, 3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan agama dan Pendidikan Keagamaan ( PP. 55/2007) yang didalamnya mengatur pendidikan agama dan pendidikan keagamaan yang diakui di Indonesia, yakni agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, serta agama Khonghucu, sebagai wujud amanat Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 31 ayat (3) UUD 1945, 4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belar yang mengatur pelaksanaan program wajib belajar sebagai wujud amanat Pasal 31 ayat (2) UUD 1945, 5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan ( PP.48/2008) sebagai wujud amanat Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, 6) Undang- Undang republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen yang mengatur peningkatan mutu dan kesejahteraan guru dan dosen, 7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru yang mengatur lebih rinci tentang peningkatan mutu dan kesejahteraan guru , serta 8) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan ( UU BHP), sebagai amanat UU Sisdiknas Pasal 53 untuk mewujudkan pendidikan yang berprinsip nirlaba, dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Dalam hal kewenangan, kecuali pendidikan dalam binaan Departemen Agama (pendidikan keagaaman juga pendidikan umum seperti RA, MI, MTs, MA, dan bentuk lain yang sejenis), PAUD jalur formal , pendidikan dasar dan pendidikan menengah menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota, pendidikan luar biasa (PLB) menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi, sedangkan pendidikan tinggi menjadi tangujg jawab Pemerintah Pusat. Wujud tanggung jawab masing-masing pemerintah provinsi, kabupaten/kota mengindikasikan adanya otonomi penyelenggaraaan pendidikan sesuai dengan kewenangana masing-masing. Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah Pada Bab IV UUSPN tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua, Masyarakat, dan Pemerintah, khususnya Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Penjaminan tersebut diamanatkan dalam Pasal 34 ayat (2), yaitu Pemerintah dan pemerintah

daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Persepsi masyarakat terhadap penyelenggaraan program wajib relajar adalah tanpa dipungut biaya. Masyarakat berharap bahwa Pemerintah wajib menanggung seluruh biaya pendidikan pada SD/MI dan SMP/MTs serta pendidikan lainnya yang sederajat. Kemudian pada Bab XIII tentang Pendanaan Pendidikan, Pasal 46 ayat (1) menyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daearah, dan masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan era desentralisasi memerlukan peran serta dan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah dan pemerintah daerah, bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 (diatur dalam Pasal 46 ayat (2) UUSPN), di mana Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD (UUSPN Pasal 49 ayat 1) dan khsus gaji guru dan dosen yang dianggaka Pemerintah dialokasikan dalam APBN (Pasal 49 ayat 2). Pasal 47 ayat (1), sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Oleh karena itu, dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat mengerahkan sumberdaya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 47 ayat 2). Di samping itu, Pengelolaan dana pendidikan harus dikelola berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (Pasal 48 ayat 1) Sekalipun terjadi desentralisasi pendidikan, akan tetapi tanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap menjadi tanggung jawab Menteri (Pasal 50 ayat 1), di mana Pemerintah menentukan Kebijakan Nasional dan Stndar Nasional Pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional (Pasal 50 ayat 2). Pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan lintas daerah kab/kota pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah kab/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah serta pengelolaan satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal. Dalam Pasal 42 ayat 3, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidikan dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. Dalam hal ini termasuk memfasilitasi/menyediakan guru agama sesuai dengan agama peserta didik (Pasal 12 ayat 1 huruf a dan b). Begitu pula dalam hal pemberian izin pendirian satuan pendidikan, Pasal 62 ayat 1 menyatakan bahwa Pemerintah atau pemerintah daerah memberikan izin pendirian satuan pendidikan formal maupun nonformal. Rentetan pasal-pasal tersebut secara kewenangan merupakan wujud otonomi dari masing-masing tingkat pemerintahan. Untuk mewujudkan tanggung jawab tersebut, berbagai upaya telah dilakukan antara lain : Penyelenggaraan pendidikan melalui berbagai jalur pendidikan, jenjang dan jenis pendidikan. Berbagai jalur pendidikan meliputi 1) pendidikan formal: yakni jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, 2) pendidikan nonformal, jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang, dan jalur pendidikan informal, jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Berbagai jenjang pendidikan meliputi 1) pendidikan dasar, 2) pendidikan menengah, dan 3) pendidikan tinggi). Berbagai jenis pendidikan meliputi 1) pendidikan umum,2) pendidikan kejuruan, 3) pendidikan

akademik, 4) pendidikan profesi, 5) pendidikan vokasi, 6) pendidikan keagamaan serta 7) pendidikan khusus. Disamping hal tersebut diatas, untuk memberikan kesempatan pendidikan bagi berbagai karakter atau ciri peserta didik seperti bagi anak sejak lahir sampai dengan enam tahun, bagi warga negara yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler , bagi warga negara yang yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, bagi warga negara di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi , dan bagi pegawai dan calon pegawai negeri disediakan kesempatan untuk mengikuti pendidikan sesuai dengan karakter atau ciri peserta didik. Penyediaan Pendidikan Anak Usia Dini ( PAUD) , merupakan upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, melalui jalur formal ( seperti : Taman Kanak- Kanak/ TK, Raudatul Athwal/RA atau bentu lain yang sejenis) serta jalur nonformal seperti : Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA).Untuk memberikan kesempatan bagi warga negara yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler, Pemerintah juga menyediakan pendidikan jarak jauh yakni pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain. Bagi warga negara yang yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, diberi kesempatan melalui pendidikan , sedangkan bagi warga negara di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.diberi kesempatan mengikuti pendidikan Layanan.Dalam memberikan kesempatan bagi warga negara dengan status pegawai neger atau calon pegawai negeri pada departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen, negara memberi kesempatan melalui pendidikan kedinasan . Untuk menghadapi tantangan global, Pemerintah dan /atau Pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjanguntuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional, Disamping itu, Pemerintah memberi kesempatan lembaga pendidikan negara lain yang terakreditasi dinegaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di Indonesia dengan bekerjasama dengan lembaga pendidikan di NKRI dengan mengikutsertakan pendidik dan tenaga pengelola WNI. Disisi lain, untuk mengembangkan potensi daerah, Pemerintah Kabupaten/ Kota mengelola pendidikan dasar dan menengah , serta pendidikan yang berbasis keunggulan lokal Hal- hal itu, memberikan kesempatan luas bagi seluruh warga negara memiliki hak yang sama untuk mengikuti pendidikan yang diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan serta tidak diskriminatif sebagai amanat dalam Pasal 4 ayat (1) UU Sisdiknas. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat dalam bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan yang berbasis masyarakat merupakan sumbangan penting bagi perkembangan dan kemajuan pendidikan di Indonesia. Sejak awal berdirinya NKRI lembaga-

lembaga masyarakat seperti yayasan, perkumpulan atau badan hukum sejenis yang menyelenggarakan pendidikan telah ikut mengembangkan pendidikan nasional. Peran serta masyarakat dalam pendidikan sebagaimana termaktub dalam Bab XV meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organis profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (Pasal 54, ayat 1). Selanjutnya, dalam Pasal 54 ayat 2, Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Peran serta masyarakat dikembangkan dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah sesuai kewenangan masingmasing (UUSPN Pasal 56 ayat 3 dan 4). Di samping itu, kehadiiran dewan pendidikan pada setiap provinsi, kabupaten/kota dan komite sekolah pada tingkat sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 merupakan pemberian kewenangan sebagai wujud otonomi penyelenggaraan pendidikan di berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Kehadiran dewan pendidikan yang memiliki peran dalam memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta komite sekolah yang memiliki peran memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan, akan mendukung terciptanya pelayanan dan kemudahan, serta jaminan terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara. Pengelolaan pendidikan Pengelolaan pendidikan sebagaimana termaktub dalam Bab XIV mengindikasikan bahwa Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internacional (Pasal 50, ayat 3 dan ayat 4). Selanjutnya, Pemerintah daearah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Hal ini berarti bahwa pemerintah daerah (baik provinsi maupun kabupaten/kota) memiliki otonomi untuk mengembangkan satuan pendidikan di berbagai jenjang untuk dikembangkan sebagai satuan pendidikan bertaraf internasional, dan secara khusus kabupaten/kota memiliki otonomi untuk mengembangkan pendidikan berbasis keunggulan lokal. Selain hal tersebut, dalam rangka otonomi pendidikan, daerah provinsi diberi kewenangan untuk mengkoordinasi penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah (Pasal 50, ayat 4). Dan untuk perguruan tinggi diberi kewenangan untuk menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya (Pasal 50, ayat 6). Hal ini menujukkan bahwa provinsi memiliki otonomi untuk mengkoordinasikan penyelenggaraan pendidikan di wilayahnya serta dalam pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota. Secara khusus perguruan tinggi diberi otonomi untuk mengatur pendidikan dilingkungannya. Simpulan dan Saran Simpulan Desentralisasi pendidikan menempatkan sekolah sebagai garis terdepan dalam berperilaku untuk mengatur program dan kegiatan pendidikan. Desentralisasi memberikan apresiasi terhadap perbedaan kemampuan dan keberanekaragaman kondisi daerah dan masyarakatnya. Perubahan paradigma sistem pendidikan membutuhkan masa transisi. Reformasi pendidikan merupakan realitas yang harus dilaksanakan, sehingga diharapkan para

penyelenggara pendidikan harus proaktif, kritis dan mau berubah. Pengalaman sistem sentralistik mengindikasikan bahwa penyelenggaraan pendidikan di daerah kurang demokratis dan bahkan adakalanya terjadi diskriminasi perlakuan (misalnya dalam bentuk pemberian bantuan/subsidi) antara daerah yang satu dengan daerah lainnya (daerah terpencil dan daerah tertinggal). Beberapa Bab dan Pasal yang termaktub dalam UUSPN mendapat amanah otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan, yaitu: 1) Bab III Pasal 4 tentang Prinsip-prinsip penyelenggaran pendidikan, 2) Bab IV dan Pasal 10 dan Pasal 11 tentang Hak dan kewajiban Pemerintah dan pemerintah daerah, 3) Bab IV Pasal 50 tentang Pengelolaan pendidikan, khususnya pengelolaan satuan pendidikan dasar dan menengah, pendidikan bertaraf internacional dan pendidikan berbasis keunggulan local, . dan 4) Bab XV tentang Peran serta masyarakat dalam pendidikan (pemberdayaan masyarakat). Saran Atas dasar simpulan hasil kajian, disarankan agar Pemerintah dan pemerintahdaerah, serta masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing segera memenuhi dan melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan amanah UUSPN, khususnya untuk: a) Pemerintah segera melengkapi komponen sebagaimana diamanatkan dalam UUSPN, khususnya Pasal 56 ayat (2) pembentukan dewan pendidikan tingkat nasional, b) Pemerintah daerah tingkat provinsi/kabupaten/kota segera melengkapi dan memberdayakan dewan pendidikan provinsi, kabupaten/kota, c) Pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) sesuai dengan kewenangan masing-masing agar mempertimbangkan pengembangan satuan pendidikan bertaraf internasional dan satuan pendidikan berbasis keunggulan local sesuai dengan kesiapan SDM dan mempertimbangkan tujuan dan out-put dan out-come lulusan satuan pendidikan dimaksud, d) Masyarakat meningkatkan peransertanya dalam pelayanan penyelenggaraan pendidikan tanpa diskriminasi dan keberpihakan yang didasarkan atas hakhak warga negara untuk memperoleh pendidikan secara proporsional. Di samping itu, penyelenggara pendidikan oleh masyarakat menghindari niatan untuk mewujudkan dan melaksanaan praktik-praktik liberalisasi pendidikan. Pustaka Acuan Armida S. Alisjahbana, 1999, Manajemen Otonomi Daerah: Implementasi Desentralisasi dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Anonim, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, Bidang Dikbud, KBRI Tokyo. Anonim, tanpa tahun, Bab 12, Revitalisasi Proses Desentralisaasi dan Otonomi Daerah, Program Pembangunan Tahun 2006.Depdagri, Jakarta. Burki, et. al., 1999,: Empowering Municipalities or Schools, The Decentralization of Education Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Undang-Undang Sisstem Pendidikan Nasional Nomor:20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Depdiknas, Jakarta Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, Depdiknas, Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005- 2009, Jakarta Dodi Nandika, MS, 2008, Potret dan Prospek Pelaksanaan Desentralisasi Pendidikan , Seminar , Di Bappenas, Jakarta, 31 Juli 2008

Marihot Manulang, 2008, Otonomi Pendidikan, PakGuruOnline, (http://pokguruonline. pendidikan.net) Siswo Wiratno, 2009, Kajian Tanggungjawab Negara dalam Mewujudkan Pendidikan Bermutu , Jurnal Pendidikan, Balitbang- Depdiknas, Jakarta Sutoro Eko, 2003, Dinamika Desentralisaasi dan Demokrasi Lokal, Makalah dipaparkan dalam LokakaryaWawasan Pembangunan Nasional, Yayasan Bina Masyarakat Mandiri (YBM2), Bogor, 17-19 September 2003 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 25Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (hasil evisi) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (hasil revisi) (http:// pokguruonline. pendidikan.net).

Anda mungkin juga menyukai