Anda di halaman 1dari 8

TUGAS 3 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Prodi Manajemen Universitas Terbuka


Muhamad Rhamdan
048846561

1. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan otonomi


daerah di Indonesia
Otonomi daerah adalah pelimpahan kewenangan dari pemerintah
pusat (sentral) kepada pemerintah daerah (desentralisasi) untuk
mengelola, memberdayakan dan menjalankan pemerintahan sesuai
dengan keadaan dan kebutuhan daerahnya masing-masing. Namun
sebelumnya era reformasi sistem otonomi daerah di Indonesia belum
berjalan sesuai dengan ketentuanya, karena masih sangat otoriternya
pemerintah pusat yang dimana segala macam urusan mengenai daerah
masih harus melakukan kordinasi dengan pemerintahan pusat untuk
mengambil sebuah keputusan mengenai urusan apapun didaerah.
Selain itu pada era sebelum reformasi pemusatan pembangunan lebih
di fokuskan di daerah pulau jawa yang dimana menyebabkan
wilayah-wilayah lain di Indonesia mengalami ketertinggalan dalam
hal pembangunan baik itu infrastruktur ataupun SDM sendiri. Semua
mulai menemukan titik terang ketika era reformasi yang dimana
sistem otonomi daerah yang sudah jelas bahwa UUD 1945
mengamanatkan itu semua. Selain UUD 1945 pemerintah era
reformasi juga membentuk UU mengenai otonomi daerah yaitu UU
No.22 1999 dan No.25 1999 lalu dilakukan pembaharuan hukum
melalui UU No.32 Tahun 2004 mengenai pemerintah daerah dan UU
No.33 Tahun 2004 mengenai perimbangan antara pemerintah daerah
dan pemerintah pusat. Setelah adanya UU tersebut segala sesuatu
urusan yang ada di daerah diserahkan langsung kepada pemerintah
daerah masing-masing untuk mengurus sendiri urusan dapur daerah
mereka masing-masing sesuai dengan ketentuan yang telah diatur
dalam UU terkait
Undag-undang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan atas
desentralisasi, baik berkaitan dengan masalah desentralisasi
kewenangan (power sharing) maupun desentralisasi keuangan (fiscal
decentralization). Pemberian otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal dari pemerintah pusat ke daerah agar dapat tercipta, antara
lain :
a. Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan seluruh masyarakat
di daerah.
b. Berkembangnya kehidupan yang demokratis yang disertai
dengan peningkatan peran serta masyarakat dalam perencanaan
pembangunan di daerah; serta
c. Terpeliharanya hubungan yang serasi antara pusat daerah serta
antara daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Soedjito dalam Mulyanto, 2002: 1-2).
Dengan ditetapkanbya UU No.22/1999 dan UU No.25/1999 yang
ditindak lanjuti dengan diundangkanya UU No.25/2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 200-2004;
mengisyaratkan adanya 4 (empat) pilar yang mendukung pelaksanaan
otonomi daerah dan desenttralisasi fiskal, yaitu:
a. Kapasitas aparat daeerah;
b. Kapasitas kelembagaan daerah;
c. Kapasitas keuangan daerah, dan
d. Kapasitas lembaga nonpemerintah di daerah.
Secara umum, faktor-faktor yang akan menentukan dan
mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia, antara lain yaitu (Kaho, 2002:60): (i) faktor manusia
sebagai subjek penggerak (faktor dinamis) dalam penyelenggaraan
otonomi daerah; (ii) faktor keuangan yang merupakan tulang
punggung bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah; (iii)
faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung bagi
terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah; serta (iv) faktor
organisasi dan manajemen yang merupakan sarana untuk melakukan
penyelenggaraan pemerintahan daerah secara baik, efisien, dan
efektif.
Dari paparan diatas jelaslah bahwa faktor kemampuan untuk
mengelola keuangan daerah merupakan faktor yang sangat
menentukan bagi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Dengan
kata lain, salah satu ciri dari daerah otonom terletak pada
kemampuan self supporting-nya dalam bidang keuangan, termasuk di
dalamnya adalah kemampuan daerah dalam menggali sumber-sumber
keuangan dengan baik dan menggunakannya secara tepat dan benar.
Daerah harus mempunyai sumber-sumber keuangan yang memadai
untuk membiayai penyelenggaraan otonominya.
Namun terlepas dari banyaknya keuntungan ataupun kelebihan
yang bisa dirasakan oleh masyarakat Indonesia, terdapat juga sebuah
kekurangan dari sistem otonomi daerah ini sendiri yang bisa
menjadikan sebuah batu ganjalan bagi pemerintah pusat dan daerah
dalam menjalankan roda pemerintah di Indonesia. Akibat penerapan
sistem otonomi daerah di Indonesia yang terlambat dilaksanakan
pada era-era sebelumnya terdapat sebuah kesenjangan kualitas SDM
di beberapa daerah karena masih tertinggalnya daerah tersebut
sehingga itu menjadikan sebuah hambatan daerah tersebut untuk
melakukan atau menerapkan sistem otonomi daerah dengan cepat,
efisien dan cermat. Selain itu juga bisa tercipta egosentrisme antara
daerah masing-masing yang bisa menciptakan sebuah perpecahan
antar daerah. Selain dari faktor terlambatnya dan juga kekeliruan
penerapan sistem otonomi daerah pada era-era sebelumnya terdapat
juga beberapa faktor lain yang mempengaruhi penerapan sistem
otonomi daerah itu sendiri.
2. Faktor penghambat dalam melaksanakan otonomi daerah di
Indonesia.
Berikut adalah beberapa faktor penghambat yang dianggap cukuo
krusial dalam proses melaksanakan otonomi daerah di Indonesia
seperti, (1) kualitas sumber daya manusia, (2) kesenjangan antar
daerah yang semakin tajam, dan (3) aspek politik di masing-masing
daerah.
1. Kurangnya Sumber daya Manusia yang berkualitas di Daerah
Indonesia.
Salah satu hal mendasar yang cukup krusial dalam proses
pembangunan nasional, daerah maupun desa sekalipun, adalah
tekait dengan kualitas sumber daya manusia. Kondisi yang terjadi
di Indonesia adalah tidak semua daerah memiliki sektor
pendidikan yang berkualitas. Ada daerah yang memiliki sektor
pendidikan yang bagus sekali, dan ada juga daerah yang sektor
pendidikanya masih perlu banyak dukungan dari daerah lainnya.
Masalah yang timbul bukan hanya dari segi infrastruktur sekolah
yang kurang memadai, namun dari segi akses bagi seluruh
masyrakat untuk mendapatkan pendidikan hingga ke rendahnya
tingkat kesejahteraan guru yang berdampak terhadap kualitas
pengajaran dan pendidikan yang diberikan.
Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan kunci dari
segala kunci untuk memajukan daerah serta negara Indonesia.
Tidak perlu seberapa kaya daerah tersebut, apabila pejabat
pemerintahanya tidak mampu untuk mengelola daerahnya tersebut.
Maka kekayaan tersebut tidak akan memberikan dampak yang
signifikan terhadap proses pembangunan maupun kesejahteraan
masyarakat. Malahan yang ada dengan sumber daya tersebut malah
menjadi sebuah kutukan yang menimbulkan konflik antar pihak
yang ingin menguasai hal tersebut.
2. Masalah kesenjangan antar daerah
Studi yang dilakukan oleh (Sabilla & Jaya, 2014) mengenai
pengaruh dari desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi
per kapita regional di Indonesia juga menunjukan bahwa terjadi
hubungan yang positif antara desentralisasi fiskal dengan
pertumbuhan ekonomi regional (provinsi). Dengan menggunakan
data panel dari seluruh provinsi dari tahun 2006-2010, Sabilla &
Jaya (2014) menemukan bahwa rata-rata di seluruh provinsi di
Indonesia terjadi hubungan yang positif antara pertumbuhan
ekonomi provinsi dengan penerapan desentralisasi fiskal ini.
Namun, Indonesia sendiri merupakan negara yang memiliki
tingkat keberagaman yang tinggi. Dampak dari keberagaman ini
adalah terjadinya kesenjangan ekonomi yang tinggi antar daerah.
Kesenjangan ekonomi antar daerah dapat diukur, salah satunya,
menggunakan indeks Williamson yang mengukur PDRB per kapita
kabupaten/kota. Semakin tinggi nilai indeksnya, maka semakin
tinggi kesenjangan ekonomi yang terjadi pada tiap daerah.
Berdasarkan dara PDRB per kapita kabupaten/kota pada rentang
tahun 1995-2011 , ditemukan terjadinya peningkatan dari tingkat
kesenjangan ekonomi tiap daerah pasca berakhirnya rezim Orde
Baru.
3. Masalah Sinkronasi Agenda Pembangunan Pusat dan Daerah
Semenjak diberlakukanya Undang-Undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah tersebut, Pemerintah pusat tidak memiliki
kewenangan secara luas untuk mengelola pembangunan yang
dilakukan di daerah. Pembangunan yang dilakukan di daerah akan
menjadi kewenangan dari Pemerintah Daerah. Prinsip dari
pelaksanaan yang dilaksanakan seperti ini adalah dikarenakan
pada dasarnya proses pembangunan selayaknya dijalankan oleh
mereka yang akan menerima manfaatnya secara langsung. Skema
client-patron terkadang kurang memberikan dampak yang
signifikan terhadap masyarakat karena yang betul-betul
mengetahui permasalahan atas suatu isu di tempatnya adalah
mereka sendiri. Pemerintah sebagai pelaksana pembangunan
sebetulnya lebih memiliki keahlian dalam hal memberikan opsi-
opsi solusi yang bisa ditawarkan untuk memecahkan masalah.
Sedangkan si masyarakat sendiri lah yang tahu masalah yang
dihadapi itu persisnya seperti apa. Ketika solusi yang ditawarkan
tidak sesuai dengan apa yang menjadi permasalahan. Inilah yang
kemudian sering ditemukan di lapangan dimana program yang
dibuat oleh pemerintah tidak tepat sasaran atau bahkan tidak
mampu untuk menyelesaikan masalah. Karena pemerintah sendiri
pun tidak memiliki informasi persisnya seperti apa.

3. Solusi nyata untuk menanggulangi hambatan pelaksanaan


otonomi daerah.
Penanggulangan masalah korupsi ditujukan antara lain untuuk
meciptakan pemerintahan yang baik yang salah satu tujuan dari
pemerintah yang baik itu sendiri adalah menanggulangi masalah
korupsi.
Dua pendekatan hukum yang dapat digunakan sebagai sarana
untuk memberantas tindak pidana korupsi yaitu :
1. Pendekatan preventive administrative pendekatan ini disalurkan
melalui bekerjanya ketentuan-ketentuan hukum tata usaha negara;
2. Pendekatan repressive judicial pendekatan ini disalurkan melalui
berkerjanya ketentuan-ketentuan hukum pidana.
Hukum pidana akan berfungsi sebagai penangkal tahap kedua
setelah bekerjanya hukum tata usaha negara. Ketentuan perundang-
undangan yang ada dalam ruang lingkup hukum tata usaha negara
akan berfungsi mengatur dan mengarahkan mekanisme tata usaha
negara agar dapat mengurangi dan mencegah berbagai bentuk
penyelewengan. Ketentuan hukum pidana sendiri berfungsi sebagai
tanggul aktif yang mengiringi bekerjanya hukum tata usaha negara.
Kedua hal tersebut harus berjalan secara overall, integral dan
simultan.
Secara subtansial Indonesia memiliki seperangkat peraturan
perundang-undangan (legal substance) untuk memberantas tindak
pidana korupsi dan secara struktur juga memiliki banyak instansi
(legal structure) yang seharusnya dapat didayagunakan untuk
memberantas korupsi. Indonesia dirasa kurang memiliki budaya
hukum (legal culture) yang merupakan kata kunci untuk keluar dari
persoalan korupsi yang terjadi yang seolah-olah kalah dari kekuatan
politik, uang, dan sebagainya.
Indonesia telah berupaya melakukan legal reform untuk
memberantas tindak pidana korupsi dengan membentuk perundang-
undangan baru yakni Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang No.20 Tahun 2001. Legal spirit dair kedua Undang-Undang
ini korupsi digolongkan sebagai “extra ordinary crime” oleh karena
itu diperlukan pemberantasan dengan menggunakan “ extra ordinar=y
instrument”.
Timbul pemikiran bagaimana cara menumbuhkan kesadaran
budaya hukum pada masyarakat. Karena legal reform tidak dirasakan
manfaatnya tanpa adanya perhatian yang lebih terhadap budaya
hukum. Tanpa adanya upaya merubah persepsi dan perilaku mengenai
korupsi maka upaya apapun tidak bisa mengatasi permasalahan ini.
Strategi yang perlu dikembangkan adalah membangkitkan motivasi
masyarakat untuk berpartisipasi yang diharapkan mampu memerangi
korupsi. Dengan informasi yang diberikan masyarakat akan sangat
berharga. Masyarakat dapat melaksanakan fungsi sosial kontrolnya
untuk mengawasi jalanya proses penegakan hukum, sehingga dapat
memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Ada tiga tujuan strategis yang dapat dikembangkan untuk
memberdayakan peran serta masyarakat lokal, yaitu :
a. Lembaga pemerintah harus memberikan peluang bagi
pengawasan masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan
pemerintahan;
b. Menciptakan dan mendukung banyak organisasi pengawasan
dari masyarakat;
c. Menyelesaikan kasus-kasus (kolusi, korusi dan nepotisme)
KKN di daerah.
Masing-masing tujuan strategis tersebut, ada beberapa hasil yang
dapat diharapkan, baik untuk jangk pendek, menengah, maupun
jangka panjang.
1. Hasil yang diharapkan dari tujuan strategis pertama;
2. Jangka pendek : organisasi pengawasan oleh rakyat dibentuk,
difungsikan dan diberikan akses atau kekuasaan untuk
mengawasi praktik-praktik kerja pemerintah seperti pembuatan
kebijkan public, pemantauan dan evaluasi dari kebijakan
tersebut;
3. Jangka menengah : organisasi pengawasan oleh rakyat berjalan
dengan lancar dan akses untuk melakukan pengawasan
diakomodasikan di dalam sistem;
4. Jangka panjang : organisasi pengawasan oleh rakyat berjalan
dengan lancar.
Sedangkan dari perkembangannya terdapat Hasil yang diharapkan
dari tujuan strategis yang kedua :
a. Jangka pendek : mengidentifikasi lembaga-lembaga yang paling
korup, baik ditngkat provinsi maupun kabupaten/kota dan
menciptakan organisasi pengawas untuk memonitor mereka;
b. Jangka menegah : secara berkala mengumumkan hasil temuan
organisasi pengawas dan mengusulkan perbaikan system dan
kinerja dalam institusi yang korup tersebut;
c. Jangka panjang : organisasi pengawas menjadi bagian dari
masyarakat madani di negeri.
Dasasddsad
4. Peran mahasiswa dalam mewujudkan praktek good governance
Penerapan good governance bertujuan untuk meningkatkan
transparansi, akuntabilitas, kualitas pemerintahan, dan kepercayaan
publik. Hal ini juga diharapkan dapat mengurangi korupsi,
meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya, memperbaiki
penyelenggaraan institusi, dan meningkatkan kualitas hidup
masyarakat secara keseluruhan.
Peran mahasiswa dalam upaya mewujudkan praktek good
governance sangat penting. Sebagai agen perubahan sosial,
mahasiswa memiliki potensi untuk mengadvokasi nilai-nilai dan
prinsip-prinsip good governance dalam berbagai aspek kehidupan,
baik di lingkungan kampus maupun masyarakat umum.
Pemikiran baru terhadap konsep gerakan mahasiswa diutarakan
oleh Adrianto (2004), beliau mengemukakan tentang Gerakan Multi
Disipliner. Jika diterjemahkan dengan konteks kekinian dimana
kondisi realitas kebangsaan sedang mengarah kepada perbaikan-
perbaikan sistem di segala bidang, baik di bidang politik, ekonomi,
budaya, ketahanan. Gerakan mahasiswa harus “berkomunikasi”
dengan cita-cita besar ini dan melakukan negoisasi terhadap semua
lini, baik kalangan atas maupun kalangan bawah. Strategi gerakan ini
selaras dengan kacamata idealitas gerakan mahasiswa, yakni gerakan
mahasiswa mempunyai dua peran besar. Pertama, sebagai the agent of
social control. Kedua, sebagai the agent of social change.
Sederhananya bahwa konsep gerakan mahasiswa multidisipliner
sedikit merubah paradigm tentang posisinya terhadap keberadaan
pemerintah. Pilihan gerakan baru ini merupakan refleksi panjang
kaum aktivis. Diakui atau tidak, ada harapan dari Gerakan Mahasiswa
agar pemerintah dapat menjadi mitra gerakan mahasiswa gerakan
yang sebelumnya mengalami kebuntuan. Namun, perlu dipahami pula,
kerjasama disini tidak dimaksudkan gerakan mahasiswa harus tunduk
kepada penguasa.
Agar gerakan mahasiswa menjadi progresif, dinamis,
revolusioner, dan inklusif, geraka mahasiswa haruslah meniscayakan
hal berikut ini :
Pertama, pro-aktif merespons keadaan dan teguh pendirian.
Gerakan mahasiswa haruslah bersatu dalam visi penegakan keadilan
dan penumpasan kemunafikan. Hal ini bisa dilakukan dengan saling
memasok informasi untuk selanjutnya dilanjutkan pada penyusunan
agenda aksi. Sedangkan teguh pendirian yang dimaksud di sini adalah
gerakan mahasiswa haruslah bersifat independen dan tidak menjadi
perpanjangan tangan para seniornya. Karena, hal ini biasanya hanya
akan menimbulkan friksi di kalangan sendiri dan saling
memperebutkan proyek demonstrasi.
Kedua, melakukan dialog transfomatif-meminjam istilah Jurgen
Habermas-unutk menciptakan masyarakat komunikatif yang
demokratis. Bila selama ini gerakan intelektual cenderung elitis dan
menggunakan bahasa yang mengawang, maka gerakan mahasiswa yang
juga gerakan intelektual plus, haruslah mencerdaskan, mencerahkan,
dan memberdayakan masyarakat yang selama ini banyak ditindas.
Ketiga, mendorong para aktivisnya untuk membentuk kapasitas
intelektual yang memadai dan berjiwa intelektual organik-meminjam
istilah Antonio Gramsci.
Hal ini berguna agar para aktivis gerakan tidak hanya sibuk di
lapangan, kurang melakukan refleksi, dan cenderung bergerak secara
pragmatis. Bila mereka mampu memiliki kapasitas intelektual yang
tinggi, tentu saja akan berguna pada penyusunan strategi dan
pengajuan alternatif konsep penyelesaian masalah yang di kritik
secara lebih sistematis dan memadai.
Pada dasarnya mahasiswa sebagai salah satu agen perubahan
(agengt of change), dimana masyarakat menganggap mahasiswa
merupakan sosok salah satu kelompok sosial yang memiliki tingkat
kemandirian yang tinggi dan ketercerahan yang akan membawa
perubahan sejarah menjadi lebih baik di masa mendatang (Hikam,
1992:221). Sebagai salah satu komponen sosial, maka mahasiswa
bagaimanapun tidak pernah lepas dari kaitan-kaitan dialektis dengan
struktur yang ada, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Mereka
sebagai pelaku (actor, agent) sosial harus melakukan respon terhadap
perubahan yang terjadi, tetapi pada saat yang sama respons tersebut
harus dibatasi oleh latar kesejarahan dan struktur yang ada.

Daftar pustaka :
Kaho, Joseph Riwu, 2002, Prospek Otonomi Daerah di Negara republik
Indonesia (identifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi
penyelenggaraannya). Jakarta: Raja Grafindo.
Mulyanto, 2002, Potensi Pajak dan Retribusi Daerah di Kawasan
Sobosuka Wonosraten Provinsi Jawa Tengah.
Jamilah, Konsep Gerakan Moral-Moral Mahasiswa Untuk Mewujudkan
GOOD GOVERNANCE di Indonesia. STKIP Garut.
Irlandi Paradizsa Dirja, 2021, Kendala dan Optimalisasi pelaksanaan
Undang-Undang terkait Dengan Otonomi Daerah, Universitas
Indonesia, Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai