Anda di halaman 1dari 9

TANTANGAN OTONOMI DAERAH DI ERA GLOBALISASI

FAJAR IKHSAN

HIDAYATULLAH

050426549

FAKULTAS EKONOMI & BISNIS


UNIVERSITAS TERBUKA
2023
Pendahuluan

Dalam era globalisasi yang kian meluas, konsep otonomi daerah menjadi sebuah paradoks yang
menarik untuk dikaji. Otonomi daerah, sebagai wujud pemberian kewenangan kepada daerah
untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri, memberikan potensi dan tantangan yang
kompleks.

Kebijakan pemberian otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah
merupakan langkah strategis bangsa Indonesia dalam rangka memperkuat perekonomian daerah
untuk menghadapi era globalisasi ekonomi. Reformasi anggaran, khususnya reformasi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah salah satu perubahan dalam manajemen
keuangan daerah yang merupakan konsekuensi logis pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan
UU No. 24 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antar Pusat dan Pemerintah Daerah(Sari et al., 2017)

Tujuan otonomi daerah yaitu menciptakan kemandirian untuk secara optimal membangun daerah
dan segala aktivitas pembangunan 3 tidak lagi terkonsentrasi di pusat sehingga meningkatkan
kesejahteraan rakyat dan pelayanan publik, serta penggunaan sumber keuangan yang dimiliki
digunakan secara optimal sesuai dengan kebutuhan daerah. Pemerintah diharapkan mampu
memenuhi kebutuhan publik dengan meningkatkan pelayanan publik agar menjadi lebih baik dan
melakukan perbaikan diberbagai sektor yang potensial untuk dikembangkan menjadi sumber
Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Fadli Muhammad et al., 2015)

Artikel ini akan menggali lebih dalam tentang tantangan otonomi daerah di tengah arus
globalisasi yang begitu kuat. Perkembangan teknologi dan interkoneksi global memberikan
dampak signifikan terhadap bagaimana otonomi daerah diimplementasikan dan dihadapi oleh
pemerintah daerah.
Kajian Pustaka

Sebelum membahas lebih lanjut, kita perlu memahami konsep otonomi daerah dan bagaimana
penerapannya dalam sistem pemerintahan. Otonomi daerah bukanlah sekadar delegasi tugas,
tetapi juga membawa konsekuensi-konsekuensi yang mendasar terkait dengan pemberdayaan
masyarakat lokal. Berbagai literatur tentang otonomi daerah dan globalisasi akan menjadi
landasan utama untuk merinci dampak dan tantangan yang dihadapi.

Pembahasan

1. Dampak Globalisasi terhadap Otonomi Daerah

Globalisasi membawa konsekuensi besar terhadap kehidupan pemerintahan lokal. Aspek-aspek


seperti ekonomi, budaya, dan teknologi menjadi semakin sulit untuk dipisahkan dari konteks
global. Bagaimana pemerintah daerah merespons dan beradaptasi dengan perubahan-perubahan
ini akan menjadi kunci keberhasilan otonomi daerah.

Dalam konteks keindonesiaan, sejarah bangsa dan negara ini pernah mencatat bahwa dalam
rentang waktu yang cukup panjang, pemerintahan Orde Baru pernah menerapkan konsep
developmentalisme atau sering disebut dengan istilah “pembangunanisme”. Istilahini lebih kental
kepada pengertian tentang involusi tujuan pembangunan dan bahkan menyebabkan distorsi atas
makna pembangunan itu sendiri.

Namun, sebagaimana yang dibahasakan Yoshihara Kunio, developmentalisme pada gilirannya


menumbuhsuburkan oligarki kekuasaan dan pemburu rente dalam konstruksi kapitalisme semu
(ersatz capitalism) yang ditandai dengan rapuhnya fondasi ekonomi negara saat itu.

Reformasi menjadi titik tolak bagi upaya untuk mereposisi sekaligus merevitalisasi peran
negara.Konstitusi secara tegas mengamanatkan peran negara dalam mewujudkan kesejahteraan.
Peran itu ditransformasikan dalam konstruksi pembangunan yang mandiri, namun tidak sempit
dengan sikap anti asing.

Seiring dengan hal tersebut, perubahan iklim pemerintahan dari sentralistis menjadi desentralistis
mempunyai implikasi besar terhadap penataan ulang hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah. Pembangunan akhirnya diletakkan sebagai bagian integral dari pelaksanaan otonomi
daerah.

2. Teknologi dan Otonomi Daerah

Penguasaan teknologi informasi di zaman ini sudah menjadi keharusan. Teknologi informasi
menjadi alat (tools) dalam berkomunikasi dan menambah pengetahuan di zaman globalisasi dan
era informasi ini. Lebih khusus lagi bagi institusi, termasuk juga kebutuhan memperlancar
pekerjaan administrasi pelayanan di pemerintahan

Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas, mulai pelayanan
dalam bentuk pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utilitas dan lainnya. Pemerintah Pusat
mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk meningkatkan kinerja instansi pemerintah dan kualitas
pelayanan publik, antara lain kebijakan tentang Penyusunan Sistem dan Prosedur Kegiatan,
Penyusunan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Inpres No. 7 Tahun 1999) dan Pedoman
Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah (SK
Menpan No. KEP/25/M. PAN/2/2004)

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menjadi salah satu pendorong utama
globalisasi. Bagaimana otonomi daerah memanfaatkan dan merespons perkembangan teknologi
ini menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Apakah pemerintah daerah mampu mengejar
ketertinggalan atau justru teknologi menjadi kendala dalam pelaksanaan otonomi?

3. Tantangan Finansial dalam Otonomi Daerah

Desentralisasi adalah konsep yang mengacu pada pemberian kewenangan kepada daerah atau
wilayah dalam mengatur urusan pemerintahannya sendiri. Dalam buku yang berjudul
“Economist” Prof. Paul Smoke melihat otonomi daerah sebagai mekanisme yang dapat
merangsang pertumbuhan ekonomi dan pengembangan daerah. Menurutnya, dengan
memberikan kekuasaan dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah, otonomi menyediakan
peluang pemanfaatan sumber daya lokal secara lebih efisien dan mendorong investasi di tingkat
regional. Dengan memiliki kendali atas sumber daya dan potensi wilayahnya, pemerintah daerah
dapat merancang kebijakan yang lebih sesuai dengan karakteristik ekonomi dan peluang yang
ada.

Semangat kemerdekaan adalah semangat merdeka secara finansial. Sebagai bagian integral dari
otonomi daerah, pengelolaan fiskal memainkan peran sentral dalam mendorong pembangunan
berkelanjutan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sumber pendapatan daerah dalam
APBD terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, serta
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Dari keempat jenis pendapatan daerah tersebut, hanya
PAD yang berada di dalam kendali Pemerintah Daerah. Peran tersebut telah didukung oleh
pemerintah ketika mengesahkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah untuk meningkatkan kapasitas PAD.

Namun, pada praktiknya, kemerdekaan fiskal masih menjadi tujuan yang belum terpenuhi oleh
sebagian besar provinsi di Indonesia. Menurut data yang disampaikan oleh Kementerian Dalam
Negeri pada 16 Desember 2022, hanya ada 14 provinsi yang masuk dalam kategori mandiri atau
dengan kemerdekaan finansial dengan nilai PAD lebih besar dari nilai Transfer ke Daerah.

Otonomi daerah seringkali dihadapkan pada masalah finansial. Bagaimana pemerintah daerah
dapat memenuhi kebutuhan keuangannya sendiri tanpa menjadi beban terlalu besar bagi
pemerintah pusat? Adakah model keuangan daerah yang efektif dalam mendukung otonomi
tanpa mengorbankan kepentingan nasional?

4. Harmonisasi Kebijakan dalam Konteks Global

Ketika pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan sendiri, harmonisasi
kebijakan di tingkat nasional seringkali menjadi tugas yang rumit. Bagaimana menjaga
keseimbangan antara kebijakan lokal yang mendukung kebutuhan masyarakat setempat dan
kebijakan nasional yang memastikan kesatuan dan kesejahteraan nasional?

5. Partisipasi Masyarakat dalam Otonomi

Kajian mengenai kedudukan masyarakat sebagai aktor dalam pembangunan dan


penyelenggaraan pemerintahan mulai muncul setelah sebelumnya lahir model Triple Helix, yaitu
koordinasi dan kerja sama antar tiga aktor pemerintah, industri dan universitas (Etzkowitz &
Leydesdorff, 1995). Kemudian dikembangkan bahwa masyarakat sipil juga penting dalam
berpartisipasi, berkoordinasi dan berinteraksi dengan pemerintah, universitas dan industri yang
kemudian disebut dengan Quadruple Helix (Carayannis & Campbell, 2009). Berkaitan dengan
hal tersebut, alasan utama mengapa partisipasi masyarakat sangat penting menurut Conyers
(1994) ialah pertama, karena masyarakat merupakan sumber informasi utama mengenai
kebutuhan dan kondisi yang mereka hadapi. Kedua, masyarakat akan lebih mempercayai
program kegiatan pembangunan apabila dilibatkan langsung karena mereka akan lebih
mengetahui seluk-beluk program kegiatan dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap program
kegiatan tersebut. Ketiga, mendorong partisipasi akan menimbulkan anggapan bahwa merupakan
suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan.
Berbagai negara di dunia juga sudah mencoba membuka partisipasi masyarakat dalam
pembangunan maupun penyelenggaraan pemerintahannya. Seperti Open Government
Partnership (OGP), kerja sama multilateral yang didirikan oleh Pemerintah Indonesia, Amerika
Serikat, Inggris, Norwegia, Meksiko, Brasil, Afrika Selatan dan Filipina. Dimana OGP
melibatkan pemerintah dan masyarakat sipil diantaranya dalam mengembangkan rencana aksi
keterbukaan pemerintah sebagai usaha mewujudkan pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan
partisipatif. Di lingkup Indonesia dikenal dengan Open Government Indonesia (OGI) yang saat
ini sudah masuk pada pelaksanaan rencana aksi edisi ke VI.
Sejalan dengan agenda tersebut, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan terkait yaitu
pada bagian konsideran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerinthan Daerah
menyatakan bahwa diperlukan partisipasi masyarakat untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat. Lebih lanjut dalam pasal 354 mengamanatkan bahwa dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah daerah mendorong partisipasi masyarakat
dengan cara:
1. Keterbukaan informasi yang dapat dilakukan melalui sistem informasi, media
cetak/elektronik, papan pengumuman, ataupun permintaan secara secara langsung kepada
pemerintah daerah terkait.

2. Mendorong peran aktif kelompok dan organisasi masyarakat.


3. Pelembagaan dan mekanisme pengambilan keputusan yang memungkinkan kelompok dan
organisasi kemasyarakatan dapat terlibat secara efektif.
4. Pengambilan keputusan dengan melibatkan masyarakat.
5. Kegiatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dan inovasi daerah.
Otonomi seharusnya membuka ruang lebih besar bagi partisipasi masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan. Namun, bagaimana masyarakat lokal benar-benar terlibat dalam proses
ini dan sejauh mana partisipasi mereka dapat membentuk kebijakan lokal?

6. Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia

Perpres 68/2022 merupakan upaya pemerintah untuk mempercepat dan memperluas penciptaan
SDM Indonesia yang kompeten dan berdaya saing menghadapi tantangan global. Kebijakan baru
dan signifikan dalam Perpres itu adalah menugaskan Menteri Ketenagakerjaan untuk menjadi
penanggungjawab penyelenggaraan Pelatihan Vokasi dan Menteri Dikbudristek
bertanggungjawab dalam urusan Pendidikan Vokasi yang mencakup juga SMK. Kebijakan ini
semula mendapat tentangan besar karena dianggap bertentangan dengan UU 20/2003 yang masih
berlaku saat ini. Sebelumnya, urusan pelatihan juga ditangani oleh Kementerian Dikbudristek
karena pelatihan merupakan jalur pendidikan nonformal. Namun, pemerintah sedang menyusun
Rancangan Undang-Undang yang akan mengubah UU 20/2003 tersebut. Paradigma lainnya yang
diusung dalam Perpres 68/2022 adalah menjadikan kebutuhan dunia usaha dan dunia kerja
sebagai acuan dan rujukan dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan vokasi. Hal itu
dimaksudkan untuk menjamin bahwa lulusan pendidikan dan pelatihan vokasi betul-betul
mampu menjadi wirausahawan ataupun menjadi pekerja yang dibutuhkan oleh dunia usaha dan
dunia industri, bukan lagi sebagai penyumbang terbesar angka pengangguran. Perpres ini juga
memerintahkan dibentuknya Tim Koordinasi Nasional dengan Ketua Pengarahnya Menko PMK,
untuk memastikan bahwa pendidikan dan pelatihan vokasi diselenggarakan sesuai dengan
ketentuan di Perpres 68/2022 tersebut.

Otonomi daerah tidak dapat lepas dari peran sumber daya manusia yang berkualitas. Bagaimana
pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia di daerah dapat mendukung pelaksanaan
otonomi? Apakah terdapat tantangan dalam menyediakan sumber daya manusia yang mampu
bersaing dalam skala global?

7. Perlindungan Lingkungan dalam Konteks Otonomi


Otonomi daerah juga harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Dalam konteks globalisasi,
tantangan lingkungan menjadi semakin kompleks. Bagaimana pemerintah daerah dapat menjaga
keberlanjutan lingkungan sambil mempertahankan otonominya?

Penutup

Simpulan

Melalui pembahasan yang mendalam, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah di era
globalisasi memiliki potensi besar untuk memberdayakan masyarakat lokal. Namun, tantangan-
tantangan yang dihadapi tidak boleh diabaikan. Diperlukan pendekatan yang bijak dan sinergi
antara pemerintah pusat dan daerah untuk mengoptimalkan manfaat otonomi dalam skala global.

Saran

Dalam penutup, artikel ini akan memberikan saran-saran konstruktif terkait dengan
pengembangan otonomi daerah di era globalisasi. Saran-saran tersebut melibatkan berbagai
aspek, mulai dari kebijakan pemerintah hingga peran aktif masyarakat lokal dalam mendukung
pelaksanaan otonomi.
Daftar Pustaka

Bratakusumah, Deddy Supriady & Riyadi, 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi Menggali
Potensi Dalam Mewujudkan Otonomi Daerah.Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama

Handayaningrat, Soewarno, 1996. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta: PT.
Gunung Agung

Kartasasmita, Ginanjar, 1997. Administrasi Pembangunan Perkembangan Pemikiran dalam Praktiknya di


Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES

Modul MKWU 4109

Anda mungkin juga menyukai