Anda di halaman 1dari 11

IMPLEMENTASI DESENTRALISASI BIDANG PENDIDIKAN DAN

KESEHATAN DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH

A. Pendahuluan
Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan
kesempatan dan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi
Daerah. Karena itu, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, antara lain menyatakan
bahwa pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk
dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang.1
Dalam penjelasan pasal tersebut, antara lain dikemukakan bahwa “oleh
karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat (negara kesatuan), maka
Indonesia tidak akan mempunyai Daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat
juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan Daerah Propinsi
akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom
(streek en locale rechtgemeenschappen) atau bersifat administrasi belaka,
semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang”.
Hal ini juga dinyatakan dengan tegas oleh Ni’matul Huda2 yang
menyatakan dalam pemerintahan daerah hanya ada pemerintahan otonomi. Tidak
ada lagi unsur pemerintahan sentralisasi dalam pemerintahan daerah. Gubernur,
Bupati, dan Walikota semata-mata sebagai penyelenggara otonomi di daerah.
Dengan demikian, Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan yang
kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang
luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah, sebagaimana tertuang dalam
Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah: Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional.
Otonomi Daerah merupakan revitalisasi dan pemberdayaan daerah agar
berkemampuan dalam merumuskan kebijakan dan mengambil keputusan secara

1
Deddy Supriadi Bratakusumah dan Dadang Solihin, 2003, Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah, PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 1.
2
Ni’matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hlm. 307.

1
2

lebih tepat, cepat dan sesuai kebutuhan daerah, sehingga pelayanan dapat
diberikan secara prima kepada masyarakat.3 Permasalahan daerah yang mendesak,
dapat segera diselesaikan. Sejalan dengan itu, pengembangan kehidupan
berdemokrasi akan semakin terdorong serta pemerataan dan kesejahteraan
masyarakat akan semakin baik. Namun demikian, pelaksanaan otonomi harus
tetap berada dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap
pemerintahan daerah tetap mempunyai kebebasan untuk mengatur dan mengurus
berbagai fungsi pelayanan yang mereka pandang penting bagi daerah atau
penduduknya, sesuai dengan sistem pembatasan yang ada.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah di daerah berwenang
untuk menyelenggarakan semua urusan yang diserahkan oleh pemerintah pusat,
dengan prinsip negara kesatuan artinya tidak bertentangan dengan kebijaksanaan
pemerintah pusat. Pemberian otonomi kepada Daerah adalah untuk
memungkinkan Daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan. Untuk dapat melaksanakan tujuan tersebut maka kepada Daerah
perlu diberikan wewenang-wewenang untuk melaksanakan berbagai urusan
pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya.4
Diantara kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah
ada urusan-urusan yang menjadi kewenangan bersama dari Pemerintah Pusat dan
Daerah. Contohnya adalah pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan. Peran
Pemerintah Pusat dalam hal ini banyak bersifat menentukan kebijakan makro,
melakukan supervisi, monitoring, evaluasi, kontrol dan pemberdayaan (capacity
building) agar Daerah dapat menjalankan kewenangannya secara optimal.
Sedangkan peran daerah akan lebih banyak pada tataran pelaksanaan kewenangan
tersebut. Dalam melaksanakan kewenangannya Pemerintah Daerah berwenang
membuat kebijakan Daerah. Kebijakan yang diambil Daerah adalah dalam batas-

3
Bagir Manan, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 196.
4
Peni Chalid, 2005, Otonomi Daerah Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik, Cetakan
Pertama, Kemitraan, Jakarta, hlm. 90.
3

batas otonomi yang diserahkan kepadanya dan tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundangan yang lebih tinggi yaitu norma, standard dan prosedur yang
ditentukan Pusat. Hal ini sejalan dengan kebijakan desentralisasi yang
dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada Daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Namun demikian tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan
urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah adalah menjadi
tanggung jawab Pemerintah Nasional (Pusat) karena externalities (dampak) akhir
dari penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung jawab negara. 5
Bidang-bidang pelayanan masyarakat yang memegang peranan penting
dalam kehidupan masyarakat adalah bidang pendidikan dan kesehatan. Pendidikan
penting karena merupakan modal utama untuk melaksanakan pembangunan dan
meningkatkan pendapatan per kapita. Di lain pihak, keseatan penting karena tanpa
ada kesehatan, masyarakat tidak dapat produktif dalam bidang apapun. Pentingnya
bidang-bidang ini membuat dibutuhkannya kedekatan pelayanan dalam dua
bidang itu kepada masyarakat dan diperlukannya kebijakan yang sesuai dengan
karakter masing-masing daerah. Hal ini hanya bisa dicapai jika dilakukan
desentralisasi terhadap bidang-bidang tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, Penulis tertarik untuk menelaah tentang
implementasi desentralisasi bidang pendidikan dan kesehatan dalam
penyelenggaraan otonomi daerah.

B. Analisis Masalah
1. Proses Desentralisasi Pendidikan dan Kesehatan
Bidang pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan
seseorang dan merupakan investasi jangka panjang. Sedikitnya terdapat tiga
alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang. 6

5
Syaukani H.R., 2003, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, hlm. 78.
6
Nurkolis, 2011, Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang,
http://artikel.us/nurkolis5.html, diakses pada tanggal 12 Oktober 2015.
4

a. Pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar


pertumbuhan ekonomi. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi
pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat
membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat
pendapatannya semakin baik.
b. Investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi
dari pada investasi fisik di bidang lain.
c. Investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi
teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi
budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada
kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial
pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual
pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis,
sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal
mungkin. Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap
perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Fungsi budaya
merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan
budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual,
pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran
estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan
keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih
mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya
sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya.
Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin
berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan
masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang
berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan
pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang.
5

Secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan, yaitu:


pertama, desentralisasi kewenangan di bidang pendidikan dalam hal kebijakan
pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah
(propinsi dan distrik), dan kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada
pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Konsep desentralisasi
pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan otonomi daerah dan
desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah, sedangkan
konsep desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian
kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi
untuk meningkatkan kualitas pendidikan.7
Dalam kenyataannya, desentralisasi pendidikan yang dilakukan di
Indonesia merupakan bagian dari proses reformasi pendidikan secara keseluruhan
dan tidak sekedar merupakan bagian dari proses otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal. Desentralisasi pendidikan meliputi proses pemberian kewenangan yang
lebih luas di bidang kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari
pemerintah pusat ke pemerintah lokal dan pada saat yang bersamaan kewenangan
yang lebih besar juga diberikan pada tingkat sekolah. 8
Seperti halnya bidang pendidikan, bidang kesehatan dapat dikatakan
bidang yang paling penting dalam hidup semua manusia. Tanpa kesehatan, apapun
yang telah dimiliki seseorang tidak akan terasa berharga. Kesehatan adalah
sesuatu yang tidak ternilai harganya dan menjadi pondasi untuk segala aktivitas
manusia. Oleh karena itulah, desentralisasi di bidang kesehatan menjadi perhatian
semua pemerintahan.
Sama halnya dengan desentralisasi di bidang pendidikan, desentralisasi di
bidang kesehatan juga dilakukan dengan memberikan wewenang yang lebih besar
kepada daerah untuk menentukan kebijakan di bidang pelayanan kesehatan.
Bersamaan dengan itu, rumah sakit umum dijadikan BLU (Badan Layanan
Umum) yang berarti rumah sakit tidak diberi subsidi oleh pemerintah lagi, tetapi
7
Armida S. Alisjahbana, "Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan", up load
4 April 2000, diakses dari e-jurnal, diterbitkan oleh Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran
pada tanggal 12 November 2014, pp. 1-12.
8
Mardiasmo, 2004, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi,
Yogyakarta, hlm. 108.
6

harus mencari dana dari penyelenggaraan layanan kesehatan yang diberikan.


Dengan cara ini, beban pemerintah menjadi berkurang namun biaya pelayanan
kesehatan menjadi meningkat karena rumah sakit harus mencari dana sendiri.

2. Pengaruh Desentralisasi Pendidikan dan Kesehatan terhadap Administrasi


Publik
Desentralisasi di bidang pendidikan dan kesehatan dimaksudkan untuk
lebih mengoptimalkan pembangunan bidang kesehatan dengan cara lebih
mendekatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan kepada masyarakat.9 Dengan
sistem desentralistik diharapkan program pembangunan pendidikan dan kesehatan
lebih efektif dan efisien serta menyentuh kepada kebutuhan pendidikan dan
kesehatan riil masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena dengan sistem
desentralistik rantai birokrasi akan diperpendek.
Selain itu, sistem desentralistik juga memberi kewenangan bagi daerah
untuk menentukan sendiri program serta pengalokasian dana pembangunan
pendidikan dan kesehatan di daerahnya. Hal ini berbeda dengan sistem sentralistik
yang mekanisme penyusunan program dan pengalokasian dana pembangunannya
yang bersifat top-down. Secara tidak langsung sistem sentralistik menganggap
masalah pendidikan dan kesehatan di seluruh Indonesia sama, padahal
kenyataannya tidak demikian dan bahkan sangat berbeda pada daerah yang satu
dan daerah lain. Dengan sistem desentralisasik diharapkan pembangunan
pendidikan dan kesehatan dilakukan dengan mempertimbangkan masalah,
kebutuhan pendidikan dan kesehatan, serta potensi setempat. Dengan sistem
desentralistik, juga, diharapkan adanya keterlibatan masyarakat (community
involvement) yang besar dalam pembangunan pendidikan dan kesehatan di
daerahnya. Dengan cara ini masyarakat tidak lagi sebagai objek pembangunan
tetapi akan berperan sebagai subjek pembangunan.

3. Kendala-kendala Pelaksanaan Desentralisasi Pendidikan dan Kesehatan


9
Albiner Siagian, “Paradigma Baru Pembangunan Kesehatan (Suatu Kajian Kesiapan
Daerah Menghadapi Desentralisasi Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010)”,
e-jurnal, Posted 21 Oktober 2002, Program Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor, pp. 1-16.
7

Saat ini di Indonesia sedang berlangsung sebuah reformasi yang dipicu


oleh adanya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Dampak
penerapan kedua UU tersebut terhadap bidang kesehatan adalah adanya otonomi
di daerah di bidang pendidikan dan kesehatan yang pada hakikatnya ialah
pemberian kewenangan kepada daerah untuk merumuskan dan mengembangkan
sistem pendidikan dan kesehatan di daerah yang bersangkutan sesuai dengan
aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat serta kondisi dan kemampuan
daerah.
Walaupun tujuan dilaksanakannya desentralisasi adalah meningkatkan
kualitas layanan yang sesuai dengan kebutuhan di masing-masing daerah, namun
dalam pelaksanaannya ada kendala-kendala yang dihadapi. Beberapa bukti
empiris di berbagai daerah menunjukkan berbagai masalah dalam pelaksanaan
kebijakan desentralisasi di bidang pendidikan dan kesehatan. Masalah-masalah
yang timbul itu antara lain terkait dengan: 10
a. Kurangnya derajat komitmen dan dukungan administrasi yang diberikan
terutama oleh pemerintah pusat dan elit, serta masyarakat daerah itu sendiri;
Komitmen antara ketiga komponen ini sangat menentukan. Wujud komitmen
ini ditunjukkan dalam bentuk berbagai tindakan yang didukung oleh legal
framework yang jelas sehingga pelaksanaan desentralisasi terlaksana dengan
baik. Selain itu faktor yang tidak kalah penting adalah kesiapan elit dan
masyarakat lokal, sebab tanpa kesiapan maka elit dan masyarakat lokal hanya
menunggu perintah dan petunjuk dari pusat tidak akan mampu
menyelenggarakan desentralisasi dengan baik.
b. Sikap, perilaku, dan budaya masyarakat yang ditunjukkan para elitnya baik
aparat, anggota DPRD, maupun tokoh-tokoh masyarakat yang menganut pola
paternalistik dan feodalistik yang menghambat pelaksanaan desentralisasi.
Desentralisasi menuntut kreativitas, kemampuan dan kemandirian masyarakat
lokal dalam mengidentifikasi, merumuskan, mengatur dan mengurus urusan-

10
Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dalam Otonomi Daerah,
Grasindo, Jakarta, hlm. 89.
8

urusan yang bersifat lokal. Tanpa semua ini desentralisasi tidak berjalan baik.
c. Kurangnya dukungan organisasi pemerintah di daerah;
Dukungan organisasi pemerintah sangat mendukung pelaksanaan kebijakan
desentralisasi secara efektif dan efisien. Dukungan organisasi ini sangat
penting karena kebijakan desentralisasi tidak dapat diimplementasikan tanpa
didukung oleh organisasi pelaksanaannya.
d. Tidak tersedianya sumberdaya yang memadai.
Kebijakan desentralisasi tidak akan berjalan jika tidak didukung dengan
sumber daya (manusia, keuangan dan infrastruktur) yang memadai.
Sumberdaya ini merupakan faktor penentu dalam kesuksesan desentralisasi.
Kebijakan desentralisasi tidak dapat diimplementasikan tanpa didukung oleh
organisasi pelaksanaannya.

4. Dampak Desentralisasi Bidang Pendidikan dan Kesehatan terhadap


Kehidupan Sosial Masyarakat
Adanya kebijakan desentralisasi dalam bidang pendidikan kesehatan akan
membawa implikasi yang luas bagi pemerintah daerah dan masyarakat. Implikasi
tersebut dapat memberikan dampak positif dan dampak negatif.
Dampak positif desentralisasi pendidikan terasa dalam hal pelaksanaan
kebijakan menjadi efisien karena dilakukan dengan cepat oleh pemerintah daerah,
berbeda halnya dalam sistem sentralisasi, mekanisme implementasi kebijakan
dilakukan di pusat dengan melibatkan unsur birokrasi yang lamban dan gemuk.
Pada saat yang sama, motivasi untuk meningkatkan produktivitas akan lebih
dirasakan oleh para pengelola pendidikan di daerah, karena desentralisasi
pendidikan ikut merangsang prakarsa proaktif pengelola pendidikan dalam
menjalankan pendidikan di daerahnya.
Adapun dampak negatif desentralisasi di bidang pendidikan terutama
disebabkan tidak meratanya sumber daya manusia yang berkualitas di masing-
masing daerah. Pada daerah yang kualitas sumber daya manusianya masih rendah,
kualitas pendidikan juga menjadi kurang baik. Hal ini disebabkan pasca
desentralisasi pendidikan, sekolah di masing-masing diminta untuk membuat
9

sendiri silabus yang akan dipelajari siswa. Bagi daerah yang kurang baik sumber
daya manusianya, maka silabus yang dihasilkan juga kurang baik, sehingga
kualitas pendidikan juga menjadi kurang baik.
Dampak positif desentralisasi di bidang kesehatan, antara lain:
1) Terwujudnya pembangunan kesehatan yang demokratis yang berdasarkan atas
aspirasi masyarakat.
2) Pemerataan pembangunan dan pelayanan kesehatan.
3) Optimalisasi potensi pembangunan kesehatan di daerah yang selama ini
belum tergarap.
4) Memacu sikap inisiatif dan kreatif aparatur pemerintah daerah yang selama
ini hanya mengacu pada petunjuk atasan.
5) Menumbuhkembangkan pola kemandirian pelayanan kesehatan (termasuk
pembiayaan kesehatan) tanpa mengabaikan peran serta sektor lain.
Adapun dampak negatif desentralisasi di bidang kesehatan muncul pada
Dinas Kesehatan yang selama ini terbiasa dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat diharuskan membuat program dan kebijakan sendiri. Jika
Pemerintah Daerah tidak memiliki sumber daya yang handal dalam menganalisis
kebutuhan, mengevaluasi program, dan membuat program, maka program yang
dibuat tidak akan bermanfaat. Selain itu, dalam hal dana juga rawan
penyelewengan anggaran.

C. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan, yaitu: dalam hal kebijakan
pendidikan dan aspek pendanaan. Adapun desentralisasi di bidang kesehatan
dilakukan dengan memberikan wewenang yang lebih besar kepada daerah
untuk menentukan kebijakan di bidang pelayanan kesehatan.
2. Desentralisasi di bidang pendidikan dan kesehatan lebih mengoptimalkan
pembangunan bidang kesehatan dengan cara lebih mendekatkan pelayanan
pendidikan dan kesehatan kepada masyarakat.
10

3. Kendala-kendala pelaksanaan desentralisasi pendidikan dan kesehatan, antara


lain: 1) Kurangnya derajat komitmen dan dukungan administrasi yang
diberikan terutama oleh pemerintah pusat dan elit, serta masyarakat daerah itu
sendiri; 2) Sikap, perilaku, dan budaya masyarakat yang menghambat
pelaksanaan desentralisasi. 3) Kurangnya dukungan organisasi pemerintah di
daerah; dan 4) Tidak tersedianya sumberdaya yang memadai.
4. Dampak positif desentralisasi bidang pendidikan antara lain pelaksanaan
kebijakan lebih efisien karena dilakukan dengan cepat oleh pemerintah daerah.
Selain itu desentralisasi pendidikan juga merangsang prakarsa proaktif
pengelola pendidikan dalam menjalankan pendidikan di daerahnya. Adapun
dampak negatifnya disebabkan tidak meratanya sumber daya manusia yang
berkualitas di masing-masing daerah.
Di lain pihak, dampak positif desentralisasi, antara lain: 1) Terwujudnya
pembangunan kesehatan yang demokratis yang berdasarkan atas aspirasi
masyarakat; 2) Pemerataan pembangunan dan pelayanan kesehatan;
3) Optimalisasi potensi pembangunan kesehatan di daerah yang selama ini
belum tergarap; 4) Memacu sikap inisiatif dan kreatif aparatur pemerintah
daerah yang selama ini hanya mengacu pada petunjuk atasan; dan
5) Menumbuhkembangkan pola kemandirian pelayanan kesehatan (termasuk
pembiayaan kesehatan) tanpa mengabaikan peran serta sektor lain. Adapun
dampak negatif desentralisasi di bidang kesehatan muncul pada Dinas
Kesehatan yang selama ini terbiasa dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat diharuskan membuat program dan kebijakan sendiri.

D. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh diberikan rekomendasi kepada
Pemerintah Pusat untuk memberikan Juklak dan Juknis secara umum mengenai
pelaksanaan desentralisasi di bidang pendidikan dan kesehatan. Selanjutnya
Daerah mengembangkan sendiri Juklak dan Juknis itu sesuai dengan karakteristik
daerah, sehingga dampak negatif desentralisasi dapat diminimalisir.
11

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, Armida S., "Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan", up


load 4 April 2000, diakses dari e-jurnal, diterbitkan oleh Fakultas
Ekonomi, Universitas Padjadjaran pada tanggal 12 Oktober 2015.

Bratakusumah, Deddy Supriadi dan Dadang Solihin, 2003, Otonomi


Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, PT Gramedia Pustaka Utama.

Chalid, Peni, 2005, Otonomi Daerah Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik,


Cetakan Pertama, Kemitraan, Jakarta.

H.R., Syaukani, 2003, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.

Huda, Ni’matul, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, PT RajaGrafindo Persada,


Jakarta.

Manan, Bagir, 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Mardiasmo, 2004, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi,


Yogyakarta.

Nurcholis, Hanif, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dalam Otonomi Daerah,
Grasindo, Jakarta.

Nurkolis, 2011, Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang,


http://artikel.us/nurkolis5.html, diakses pada tanggal 12 Oktober 2015.

Siagian, Albiner, “Paradigma Baru Pembangunan Kesehatan (Suatu Kajian


Kesiapan Daerah Menghadapi Desentralisasi Pembangunan Kesehatan
Menuju Indonesia Sehat 2010)”, e-jurnal, Posted 21 Oktober 2002,
Program Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai