Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

GOOD GOVERNANCE DAN OTONOMI DAERAH


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraaan
Dosen Pengampu : Eka Selvi Handayani M.Pd

Oleh :
1. Riwan
2. Maria Magdalena
3. Maulidya Meisya Ayu Putri

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS FAKULTAS


ILMU KEGURUAN DAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS WIDYA GAMA MAHAKAM SAMARINDA
2023
KATA PENGANTAR
2023
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat
kesehatan jasmani dan rohani. Sehingga kita masih dapat merasakan berkah ilmu serta
kemudahan untuk memperoleh informasi dan pengetahuan yang luas lagi berharga dari sang
pencipta.
Penulis merasa sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Good Governance Dan Otonomi Daerah” ini dengan baik. Makalah ini dibuat dalam rangka
memenuhi tugas dari mata kuliah Pendidikan Pancasila. Tak lupa ucapan terima kasih kepada
semua pihak yang telah mendukung dan membantu dalam proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari secara penuh bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
baik dari segi kaidah penggunaan bahasa maupun penulisan. Oleh karena itu,kritik serta saran
dari pembaca hendaknya kami terima dengan lapang dada demi kemajuan penulisan makalah
lainnya dimasa yang akan datang.
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Good governance adalah tata kelola organisasi secara baik dengan prinsip
keterbukaan, keadilan, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka mencapai tujuan
organisasi. Meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang
baik telah mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menerapkan
transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahannya.
Otonomi Daerah merupakan salah satu wujud nyata untuk mendukung
terselenggaranya good governance. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, yang disebut dengan desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dengan ini secara penuh daerah tersebut dapat membentuk dan melaksanakan kebijakan
menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat, artinya daerah diberi kewenangan secara penuh
untuk melakukan pengelolaan daerahnya. Keberhasilan pengelolaan keuangan daerah
mempunyai dampak langsung terhadap keberhasilan otonomi daerah dan sumbangan yang
besar dalam upaya mewujudkan good governance. Pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya
dapat dilihat dari seberapa besar daerah akan memperoleh dana, tetapi harus diimbangi
dengan sejauh mana instrumen atau sistem pengelolaan keuangan daerah saat ini mampu
memberikan nuansa manajemen keuangan yang lebih adil, rasional, transparan, partisipatif,
dan bertanggungjawab. Oleh karena itu, hakikat otonomi daerah harus tercermin dalam
pengelolaan keuangan daerah baik itu pada perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan ,
pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.
B. Rumusan Masalah
Dalam pembahasan materi ini, sebagaimana berdasarkan pada pendahuluan dapat
kami susun rumusan masalah yang akan kami kaji agar tersusun secara sistematis dan efisien
yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan otonomi daerah dan good governance?


2. Menjelaskan sejarah dari good governance dan otonomi daerah.
3. Pembagian urusan pemerintahan
4. Apa hubungan antara otonomi daerah dan good governance?
5. Bagaimana korupsi bisa menjadi akibat dari penyalahgunaan otonomi daerah.

C. Tujuan Pembelajaran
1. Menjelaskan pengertian dari otonomi daerah dan good governance.
2. Mengetahui sejarah dari otonomi daerah dan good governance.
3. Pembagian urusan pemerintahan
4. Menjabarkan hubungan antara otonomi daerah dan good governance.
5. Menjelaskan studi kasus akibat dari korupsi sebagai penyalahgunaan otonomi daerah.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Otonomi Daerah dan Good Governance
Indonesia adalah negara demokrasi. Demokrasi adalah prinsip bangsa atau negara
dalam menjalankan pemerintahannya. Semenjak awal bergulirnya era reformasi, demokrasi
semakin sering menjadi perbincangan seluruh lapisan bangsa ini. Demokrasi menjadi kosa
kata umum yang digunakan masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya. Hal ini
didasarkan pada pengertian demokrasi menurut Abraham Lincoln. Demokrasi menurut
Abraham Lincoln adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Salah satu perwujudan dari sistem demokrasi di Indonesia adalah otonomi daerah.
Otonomi daerah adalah hal, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini otonomi daerah diatur menurut UU No. 32
Tahun 2004, peraturan ini merupakan revisi dari peraturan sebelumnya tentang otonomi
daerah. Dengan demikian, masyarakat suatu daerah memperoleh kebebasan dalam mengatur
dan membangun daerahnya. Dengan adanya otonomi daerah, pemerintahan Indonesia di era
reformasi ini berbanding terbalik dengan orde baru. Jika orde baru menerapkan sistem
pemerintahannya secara sentralisasi kepada pemerintah pusat, maka pada era reformasi ini
dengan adanya otonomi daerah, sistem pemerintahannya menjadi desentralisasi. Istilah
otonomi daerah dan desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada
organ – organ penyelenggara negara, sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian
wewenang tersebut. Otonomi daerah sebagai kerangka penyelenggaraan pemerintahan mempunyai
visi yang dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama yang saling berhubungan satu dengan
yang lainnya: politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Good governance dapat diartikan sebagai tindakan untuk mengarahkan,


mengendalikan, atau memengaruhi masalah publik. Oleh karena itu, ranah good governance
tidak terbatas pada negara atau birokrasi pemerintahan, tetapi juga pada ranah masyarakat
sipil yang dipresentasikan oleh organisasi non-pemerintah dan sektor swasta. Pemerintah
yang baik adalah baik dalam proses maupun hasilnya. Semua unsur dalam pemerintahan bisa
bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat, serta
terbebas dari gerakan – gerakan anarkis yang bisa menghambat proses dan laju
pembangunan.
B. Sejarah Otonomi Daerah dan Good Governance
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu
produk perundang – undangan yang menggantikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut
pada suatu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia dari masa ke
masa. Periode otonomi daerah di Indonesia pasca UU No. 22 Tahun 1948 diisi dengan
munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1957
(sebagai pengaturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), UU
No. 18 Tahun 1965 (yang menganut sistem otonomi yang seluas – luasnya), dan UU No. 5
Tahun 1974. Prinsip yang dipakai pada UU No. 5 Tahun 1974 dalam pemberian otonomi
kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan seluas – luasnya,” tetapi “otonomi yang
nyata dan bertanggung jawab”. Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas – luasnya
dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian
otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip – prinsip yang digariskan dalam GBHN yang
berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undang – undang ini berumur paling
panjang, yaitu 25 tahun, dan baru diganti dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999
dan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999 setelah tuntutan reformasi bergilir. Sejalan
dengan tuntutan reformasi, tiga tahun setelah implementasi UU No. 22 Tahun 1999,
dilakukan peninjauan dan revisi terhadap undang – undang yang berakhir pada lahirnya UU
No. 32 Tahun 2004 yang juga mengatur tentang pemerintah daerah.
Konsep good governance di Indonesia mulai muncul setelah era reformasi dimulai
yang dilatarbelakangi oleh masalah-masalah peninggalan pemerintah orde baru. Seperti
pemerintahan yang berpusat pada presiden, lembaga tinggi negara yang tidak berjalan baik,
serta kurangnya partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Ketika masa reformasi dulu,
badan eksekutif serta legislatif berhasil merumuskan 3 undang-undang yang kemudian
mengubah sistem pemerintahan di Indonesia. Undang-undang tersebut adalah:
 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemberian kewenangan yang
lebih besar kepada pemerintahan daerah, baik Kabupaten maupun Kota, untuk
mengelola pemerintahan dan pembangunan. Undang-undang ini berperan
penting dalam mengubah kebijakan serta perencanaan pembangunan di daerah
sehingga lebih sesuai dengan kondisi dan keadaan masyarakatnya.
 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang pemberian wewenang yang
lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola dan mengalokasikan
dana dalam melaksanakan pembangunan
 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang pelaksanaan di bidang
pembangunan serta pelaksanaan pemerintahan pada tingkat pusat maupun
daerah. UU Nomor 28 Tahun 1999 inilah yang kemudian menjadi landasan
awal dari penerapan good governance sebagai landasan penyelenggaraan
pemerintahan
C. Pembagian Urusan Pemerintahan Pusat dan Daerah
Visi otonomi daerah di bidang ekonomi mengandung makna bahwa otonomi daerah
di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah,
di pihak lain mendorong terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan
kebijakan lokal kedaerahan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di
daerahnya. Visi otonomi daerah di bidang sosial dan budaya mengandung pengertian bahwa
otonomi daerah harus diarahkan pada pengelolaan, penciptaan dan pemeliharaan integrasi
dan harmoni sosial. Visi otonomi daerah di bidang sosial dan budaya yang lainnya adalah
memelihara dan mengembangkan nilai, tradisi, karya seni, karya cipta, Bahasa, dan karya
sastra lokal yang dipandang kondusif dalam mendorong masyarakat untuk merespons positif
dinamika kehidupan di sekitarnya dan kehidupan lokal.
Prinsip – prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memerhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan
bertanggung jawab.
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
kabupaten dan daerah kota, sedangkan pada daerah provinsi merupakan
otonomi yang terbatas.
4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga
tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar
daerah.
5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah
otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi
wilayah administrasi.
6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif daerah, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun
fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah.
8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari
pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa
yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia dengan kewajiban melampirkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugas.
Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara
kesatuan tetapi dengan semangat vandalisme. Otonomi daerah yang diserahkan itu bersifat
luas, nyata, dan bertanggungjawab. Disebut luas karena kewenangan sisa justru berada pada
pemerintah pusat (seperti, pada negara federal); disebut nyata karena kewenangan yang
diselenggarakan itu menyangkut yang diperlukan, tumbuh dan hidup, dan berkembang di
daerah; dan disebut bertanggung jawab karena kewenangan yang diserahkan itu harus
diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan,
dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah antar
daerah. Di samping itu, otonomi seluas – luasnya (keleluasaan otonomi) juga mencakup
kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya melalui perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.

Dalam rangka negara kesatuan, pemerintah pusat masih memiliki kewenangan


melakukan pengawasan terhadap daerah otonom. Tetapi, pengawasan yang dilakukan
pemerintah pusat terhadap daerah otonom diimbangi dengan kewenangan daerah otonom
yang lebih besar, atau sebaliknya, sehingga terjadi semacam keseimbangan kekuasaan.
Keseimbangan yang dimaksud ialah pengawasan ini tidak lagi dilakukan secara struktural,
yaitu bupati dan gubernur bertindak sebagai wakil pemerintah pusat sekaligus kepala daerah
otonom, dan tidak lagi secara preventif perundang – undangan, yaitu peraturan daerah (perda)
memerlukan persetujuan pusat untuk dapat berlaku
Terkait dengan pembagian kewenangan antara pemerintah dengan pemerintah daerah
terdapat 11 jenis kewenangan wajib yang diserahkan kepada daerah otonom kabupaten dan
daerah otonom kota, yaitu:
1. Pertanahan
2. Pertanian
3. Pendidikan dan kebudayaan
4. Tenaga kerja
5. Kesehatan
6. Lingkungan hidup
7. Pekerjaan umum
8. Perhubungan
9. Perdagangan dan industri
10. Penanaman modal
11. Koperasi
Good Governance adalah pelaksanaan politik, ekonomi, dan administrasi dalam
mengelola masalah – masalah bangsa. Pelaksanaan kewenangan tersebut dapat dikatakan
baik (good atau sound) jika dilakukan dengan efektif dan efisien, responsif terhadap
kebutuhan rakyat, dalam suasana demokratis, responsibilitas,serta transparan. Prinsip –
prinsip tersebut tidak hanya terbatas dilakukan di kalangan birokrasi pemerintahan, tetapi
juga di sektor swasta dan lembaga – lembaga non pemerintah.

Untuk merealisasikan pemerintahan yang profesional dan akuntabel yang bersandar


pada prinsip – prinsip good governance, lembaga administrasi negara(LAM) merumuskan 9
aspek fundamental (asas) dalam good governance yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Partisipasi (participation) : Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan
keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga
perwakilan yang dapat meyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun
atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara
konstruktif.
2. Penegakan hukum (rule of law) : Kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan
tanpa bulu.
3. Transparansi (transparency) : Transparansi dibangun atas dasar kebebasan
memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik
secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
4. Responsif (responsiveness) : Lembaga-lembaga publik harus cepat tangkap
dalam melayani stakeholder.
5. Orientasi kesepakatan (consensus orientation) : Berorientasi pada kepentingan
masyarakat yang lebih luas.
6. Kesetaraan (equity) : Setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama
untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
7. Efektifitas (effectiveness) dan efisiensi (eficiency) : Pengelolaan sumber daya
publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).
8. Akuntabilitas (accountabilit) : Pertanggungjawaban kepada pihak atas setiap
aktivitas yang dilakukan.
9. Visi strategis (strategic vision) : Penyelenggaraan pemerintahan dan
masyarakat harus memiliki visi jauh kedepan.

D. Hubungan/ Implementasi Otonomi Daerah dan Good Governance

Implementasi otonomi daerah merupakan titik fokus penting dalam rangka


meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu daerah dapat disesuaikan oleh
pemerintahan daerah dengan potensi dan kekhasan masing-masing daerah. Good Governance
(tata pemerintahan yang baik) merupakan konsep pada otonomi daerah dalam rangka
mewujudkan suatu pemerintahan yang sehat dan bersih merupakan suatu hal yang perlu
diimplementasikan pada era otonomi daerah saat ini dalam rangka mewujudkan suatu
pemerintahan yang baik dan bersih dengan lebih mengedepankan prinsip partisipasi,
transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah merupakan salah lalu instrumen yang merefleksikan keinginan
pemerintah untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya penegakan hukum,
transparansi dan penciptaan partisipasi. Dalam hal penegakan hukum, UU No. 32 Tahun
2004 telah mengatur secara tegas upaya hukum bagi para penyelenggara pemerintahan daerah
yang diindikasikan melakukan penyimpangan.

Dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sekurang-kurangnya terdapat 7 elemen


penyelenggaraan pemerintahan yang saling mendukung tergantung dari bersinergi satu sama
lainnya, yaitu :

1. Urusan Pemerintahan
2. Kelembagaan
3. Personil
4. Keuangan
5. Perwakilan
6. Pelayanan Publik
7. Pengawasan.

Ketujuh elemen di atas merupakan elemen dasar yang akan ditata dan dikembangkan serta
direvitalisasi dalam koridor UU No. 32 Tahun 2004. Namun di samping penataan terhadap
tujuan elemen dasar di atas, terdapat juga hal-hal yang bersifat kondisional yang akan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari grand strategi yang merupakan kebutuhan nyata
dalam rangka penataan otonomi daerah di Indonesia secara keseluruhan yaitu penataan
Otonomi Khusus NAD, dari Papua penataan daerah dari wilayah perbatasan , serta
pemberdayaan masyarakat. Setiap elemen tersebut disusun penataannya dengan langkah-
langkah menyusun target ideal yang harus dicapai, memotret kondisi senyatanya dari
mengidentifikasi gap yang ada antara target yang ingin dicapai dibandingkan kondisi rill yang
ada saat ini.

Meskipun dalam pencapaian Good Governance rakyat sangat berperan, dalam


pembentukan peraturan rakyat mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi, namun peran
negara sebagai organisasi yang bertujuan mensejahterakan rakyat tetap menjadi prioritas.
Untuk menghindari kesenjangan di dalam masyarakat pemerintah mempunyai peran yang
sangat penting. Kebijakan publik banyak dibuat dengan menafikan faktor rakyat yang
menjadi dasar absahnya sebuah negara. UU No. 32 tahun 2004 yang memberikan hak
otonomi kepada daerah juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi kewenangan
untuk mengatur dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri. Dari pemilihan
kepala daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU No.25 tahun 1999). Peraturan
daerah pun telah masuk dalam Tata urutan peraturan perundang – undangan nasional (UU
No.10 tahun 2004), Pengawasan oleh masyarakat.

Sementara itu dalam upaya mewujudkan transparansi dalam penyelenggaraan


pemerintahan diatur dalam Pasa127 ayat (2), yang menegaskan bahwa sistem akuntabilitas
dilaksanakan dengan kewajiban Kepala Daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada Pemerintahan, dan memberikan laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada masyarakat.

Sistem akuntabilitas semacam ini maka terdapat keuntungan yang dapat diperoleh yakni,
akuntabilitas lebih dapat terukur tidak hanya dilihat dari sudut pandang politis semata. Hal ini
merupakan antitesis sistem akuntabilitas dalam UU No. 22 Tahun 1999 di mana penilaian
terhadap laporan pertanggungjawaban kepala daerah oleh DPRD sering kali tidak
berdasarkan pada indikator-indikator yang tidak jelas. Karena akuntabilitas didasarkan pada
indikator kinerja yang terukur, maka laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan
daerah tidak mempunyai dampak politis ditolak atau diterima. Dengan demikian maka
stabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat lebih terjaga.

 Studi Kasus

BURON 12 TAHUN

KASUS KORUPSI PEMBANGKIT LISTRIK

Barru - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan (Sulsel) menangkap Hamka Bin
Tuwo yang telah 12 tahun menjadi buron. Hamka merupakan terdakwa kasus korupsi
pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Kabupaten Barru
yang merugikan negara Rp 194 juta.

"Tim Tangkap Buron (Tabur) Intelijen Kejati Sulsel berhasil mengamankan buronan
Kejati Sulsel yaitu seorang laki-laki yang bernama Hamka,Se. Bin Tuwo Kalbu,"
ungkap Kasi Penkum Kejati Sulsel, Soetarmi kepada detik Sulsel, Kamis (9/3/2023).

Soetarmi menjelaskan, terdakwa Hamka ditangkap di Pelabuhan Kampung Baru


Balikpapan, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim) pada Selasa (7/3) pukul
15.00 Wita. Pelaku sebelumnya telah ditetapkan sebagai terdakwa dalam tindak
pidana korupsi pembangunan PLTMH di Kabupaten Barru.

"Yang bersangkutan (Hamka) merupakan terdakwa dalam tindak pidana korupsi


pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro di Kabupaten Barru yang
merugikan negara Rp 194 juta," paparnya.
Pada proses hukum sebelumnya, JPU menjatuhkan tuntutan berupa pidana penjara
selama 3 tahun 6 bulan, dipotong masa tahanan sementara, dengan perintah terdakwa
tetap ditahan dan denda sebesar Rp 50.000.000 subsider 4 bulan kurungan. Juga,
menghukum terdakwa Hamka untuk membayar uang pengganti sebesar Rp
54.640.000 subsider 3 bulan kurungan.

Kemudian pada tanggal 3 Agustus 2011 lalu, Pengadilan Negeri Barru menjatuhkan
hukuman 2 tahun 2 bulan dan pidana denda Rp 50 juta subsider kurungan selama 3
bulan. Kemudian terdakwa sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi
(PT)Makassar, namun pada tanggal 27 September 2011 Pengadilan Tinggi Makassar
menguatkan putusan PN Barru.

"Jadi banding yang dilakukan terdakwa dan jaksa itu putusannya menguatkan putusan
PN Barru," jelasnya.

Terdakwa sempat bebas demi hukum karena masa penahanan yang ditetapkan pengadilan
telah berakhir sehingga tidak ada lagi alasan untuk menahan yang bersangkutan. Tetapi
setelah turun putusan banding terdakwa sudah melarikan diri.

"Jadi masa penahanan dari pengadilan berakhir, sehingga tidak ditahan lagi saat itu, tetapi
saat turun putusan banding untuk menjalani sisa tahanan yang bersangkutan tidak bisa
dihubungi maka ditetapkan sebagai DPO tahun 2011 lalu," paparnya.

"Jadi kalau dihitung sejak putusan tahun 2011 lalu, maka yang bersangkutan menjadi DPO
selama 12 tahun," paparnya.
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dengan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Good governance adalah pelaksanaan politik, ekonomi, dan administrasi dalam
mengelola masalah-masalah masyarakat secara baik, efektif, dan efisien.
3. Masih terdapat penyimpangan dalam pelakasaa otonomi daerah oleh pemerintah
daerah contohnya korupsi.

Daftar Pustaka
Arianto,H. 2006. Implementasi Konsep good governance di Indonesia. Forum
Ilmiah Indonesia 3.
Rasul,S.2009. Penerapan good governance di Indonesia Dalam Upaya
Pencegah Tindak Pidana Korupsi. Mimbar Hukum 21 (3); 409-628.
Ubaedillah,A. dan A. Rozak. 2014. Pancasila,Demokrasi,HAM,dan
Masyarakat Madani. Ed revisi Cetakan Kesebelas. ICCE UIN Syarif
Hidayatullah,Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai