Oleh
ADI WALUYO
I. PENDAHULUAN
Pendidikan di Indonesia sudah ada sebelum Negara Indonesia berdiri, oleh sebab
itu sejarah pendidikan di Indonesia memiliki perjalanan yang cukup panjang.
Pendidikan telah ada sejak zaman kuno, kemudian diteruskan dengan zaman pengaruh
Hindu dan Budha, zaman pengaruh agama Islam, pendidikan zaman penjajahan sampai
dengan pendidikan pada zaman kemerdekaan.
Secara formal pendidikan di Indonesia diawali sejak Proklamasi 17 Agustus
1945, namun keberadaannya tidak dapat dipisahkan dengan cita-cita dan praktek
pendidikan masa sebelumnya. Kebudayaan Indonesia sudah ada semenjak zaman pra
sejarah. Isi kebudayaan disampaikan oleh orang tua secara langsung kepada anak-anak.
Anak-anak banyak meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya, baik dalam
kepercayaan, agama, pewarisan hidup ekonomi, maupun ketrampilan-ketrampilan
yang lain.
Pada awal kemerdekaan pendiri bangsa Indonesia telah mengamanatkan tujuan
nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
alinea keempat yaitu: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan
bangsa dan; (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam bidang pendidikan, tujuan nasional adalah “mencerdaskan kehidupan
bangsa”, yang pelaksanaannya bersumber pada UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) yang
mengatakan “tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran”, ayat (2) “
pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional
yang diatur dengan Undang-Undang”. Dalam hal ini, para pendiri bangsa menyadari
bahwa dengan bangsa yang cerdas, maka tujuan nasional akan tercapai.
1
Selama masa orde baru telah banyak usaha-usaha yang telah dilakukan dalam
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pembangunan di bidang pendidikan.
Selama orde baru kita mengakui telah banyak yang telah dicapai di dalam
pembangunan. Dari salah satu bangsa yang termiskin di dunia menjadi bangsa di dalam
kelompok bangsa-bangsa yang berpendapatan menengah. Namun demikian
perkembangan yang pesat dilihat dari segi pendapatan per kapita telah mengorbankan
hak asasi manusia dan kemerdekaan individu. Dalam bidang politik segala sesuatu
diarahkan kepada uniformitas atau keseragaman di dalam berpikir dan bertindak
Dengan gencarnya arus reformasi pada tahun 1998, yang ditandai dengan
jatuhnya kekuasaan orde baru, maka menuntut perubahan disegala bidang. Salah satu
dampak dari arus reformasi, sejak Januari 2001 telah diberlakukan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Dengan diberlakukannya Undang-
Undang Otonomi Daerah, maka sistem pemerintahan berubah dari sentralistik ke
desentralistik.
Bidang pendidikan adalah merupakan salah satu bidang yang dapat diurus oleh
pemerintah daerah. Dengan demikian otonomi daerah membawa konsekuensi logis
pada penyelenggaraan pendidikan menjadi otonomi pendidikan.
II. PEMBAHASAN
A. Makna Otonomi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, BAB I,
pasal 1, bagian 5) menyatakan bahwa, “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perturan perundang-undangan”.
Otonomi pada hakekatnya bertujuan untuk memandirikan seseorang atau suatu
lembaga atau suatu daerah. Lembaga-lembaga tersebut haruslah mampu untuk
mengurus dirinya sendiri. Dalam rangka untuk mencapai tujuan kemandirian tersebut
maka usaha-usaha yang dilaksanakan adalah usaha-usaha pemberdayaan
(empowerment). (Tilaar, 2000:102)
Selama masa orde baru proses pemberdayaan masyarakat, termasuk individu,
boleh dikatakan dikesampingkan. Segala sesuatu ditentukan dari atas, dan daerah
dianggap tidak mampu untuk mengurus dirinya sendiri. Akibatnya ialah terjadi proses
2
ketergantungan dan ketidakmandirian masyarakat. Akibat selanjutnya ialah
terbentuknya suatu mayarakat yang tidak berinisiatif dan tidak kreatif.
Didalam bidang pendidikan dan kebudayaan hal tersebut sangat nyata tampaknya
dengan adanya berbagai kebijakan yang uniform, serta program-program yang
ditentukan oleh pemerintah pusat. Kebijaksanaan kurikulum yang sama dan seragam
untuk seluruh daerah nusantara, keseragaman di dalam pengadaan dan penyebaran
tenaga kependidikan, keseragaman di dalam penyediaan tenaga-tenaga kependidikan,
telah menghasilkan suatu sukses semu dari pendidikan nasional.
Pendidikan telah tercabut dari masyarakat lokal dan terlempar dari
kebudayaannya sendiri. Pendidikan yang seharusnya dari dan untuk masyarakat
setempat menjadi suatu proses pendidikan yang mengasingkan peserta didik dari
masyarakatnya. Oleh sebab itu pendidikan nasional pada saat itu tidak mampu untuk
mengatasi berbagai cobaan yang menggangu keutuhan bangsa dan Negara. Pendidikan
nasional tidak berakar dari masyarakatnya sendiri.
4
diberi keleluasaan untuk merancang, mengembangkan, dan mengimplementasikan
kurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi dan potensi keunggulan lokal yang
bisa dimunculkan oleh sekolah. Sekolah bisa mengembangkan standar yang lebih
tinggi dari standar isi dan standar kompetensi lulusan.
Sebagaimana diketahui bahwa prinsip-prinsip pengembangan KTSP adalah: (1)
berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan
lingkungannya; (2) beragam dan terpadu; (3) tanggap terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni; (4) relevan dengan kebutuhan kehidupan; (5)
menyeluruh dan berkesinambungan; (6) belajar sepanjang hayat; (7) dan seimbang
antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Berdasarkan prinsip-prinsip ini,
maka KTSP relevan dengan konsep desentralisasi pendidikan sejalan dengan
pelaksanaan otonomi daerah yang mencakup otonomi sekolah. Sehingga pemerintah
daerah dapat lebih leluasa dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan KTSP, sekolah dapat menonjolkan serta mengembangkan mata pelajaran
tertentu dengan menambahkan beban belajar sesuai dengan ketentuan yang belaku,
yang sesuai dengan kebutuhan serta potensi daerah yang dimiliki.
Sesuai dengan struktur dalam KTSP yang terdiri dari tiga komponen, yaitu
komponen mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri, sekolah diberi
kesempatan untuk mengembangkan keunggulan lokal atau daerah melalui komponen
muatan lokal dan pengembangan diri.
Muatan lokal adalah merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan
kompetensi kearifan sekolah dalam upaya hidup bersama dalam keanekaragaman
budaya, suku, dan agama, menanamkan kecintaan peserta didik terhadap lingkungan
dan ekosistem, termasuk keunggulan lokal atau daerahnya masing-masing. Sedangkan
pengembangan diri bertujuan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat dan minat
peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah atau daerah. Sehingga ada relevansi
pendidikan dengan lingkungan masyarakat.
6
sekolah setempat. Disamping itu segala sesuatu yang selalu diatur menyebabkan
penyelenggaran sekolah kehilangan kemandirian, inisiatif, dan kreatif. Hal tersebut
menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan mutu layanan
dan keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi; (3) peran serta masyarakat
terutama orang tua dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada
dukungan dana. Padahal peranserta mereka sangat penting di dalam proses-proses
pendidikan antara lain: pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan
akuntabilitas. (Abdul Mukti, 2006)
III. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
H.A.R. Tilaar. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rinea Cipta, 2000
Nanang Fattah. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah.
Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004