Anda di halaman 1dari 30

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar
ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan
global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia
melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undangundang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undangundang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989.
Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab
dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan
reformasi yang marak sejak tahun 1998. Perubahan mendasar yang dicanangkan
dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah
demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan
globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.
Dalam praktek penyelenggraan pendidikan tidak sedikit ditemukan
penyimpangan. Memang penyimpangan tersebut tidak begitu langsung tetapi
dalam jangka panjang bahkan dalam skala nasional dapat menimbulkan kerugian
bukan hanya secara material tapi juga spiritual. Penyelenggaraan pendidikan yang
sangat komersial dan instan dapat merusak pendidikan sebagai proses
pembentukan watak dan kepribadian bangsa sehingga dalam jangka panjang
menjadikan pendidikan bukan sebagai sarana rekonstruksi sosial tetapi
dekonstruksi sosial. Itulah sebabnya di samping dasar regulasi sangat penting juga
harus pula dilandasi dengan dasar yuridis untuk sanksi.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana sistem pendidikan dilihat dari aspek landasan Yuridis?
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
Untuk mengetahui sistem pendidikan dilihat dari aspek landasan Yuridis

1.4 Manfaat Penulisan Makalah


Bagi pembaca dapat menambah pengetahuan

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1.

Pengertian Landasan Yuridis Pendidikan


Landasan yuridis atau hukum pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang

bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menjadi titik


tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan.
2.2.

Landasan Yuridis Pendidikan di Indonesia


Landasan yuridis pendidikan Indonesia adalah

seperangkat konsep

peraturan perundang-undangan yang menjadi titik tolak system pendidikan


Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar 1945 meliputi, Undang-Undang
Dasar

Republik

Pemerintah

Indonesia,

pengganti

Ketetapan

undang-undang,

MPR,

Undang-Undang

peraturan

pemerintah,

Peraturan
Keputusan

Presiden, peraturan pelaksanaan lainnya, seperti peraturan Menteri, Instruksi


Menteri, dan lain-lain.
2.3.

Beberapa

peraturan

Perundang-Undangan

yang

mengatur

pendidikan, antara lain:


2.3.1. Pendidikan menurut Undang-Undang Dasar 1945
Undang undang dasar 1945 merupakan hukum tertinggi di indonesia.
Semua

peraturan

harus

tunduk

kepada

undang

undang

termasuk

pendidikan. Pendidikan bangsa Indonesia sendiri telah diatur dalam UUD 1945
dan hal ini diperjelas dengan dirumuskannya norma-norma pokok yang harus
menjiwai usaha pendidikan dan pengembangan kebudayaan yang akan
dilaksanakan oleh penyelenggara negara. Norma-norma itu tersirat dan tersurat
dalam Bab XIII Pasal 31 dan 32 UUD 1945.
a. Pasal 31 UUD 1945 sebagai berikut :
Ayat 1 : Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Ayat 2 : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar pemerintah wajib
membiyayainya.

Ayat 3 :

Pemerintah

mengusahakan

dan

menyelenggarakan

satu

sistem

pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta


akhlak yang mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang.
Ayat 4 : Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua
puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendid ikan nasional.
Ayat 5 : Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
b. Pasal 32 UUD 1945 sebagai berikut :
Ayat 1 : Memajukan kebudayaan nasional serta memberi kebebasan kepada
masyarakat untuk mengembangkannya.
Ayat 2 : Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai bagian dari
budaya nasional.
Pendidikan dan kebudayaan adalah dua unsur yang saling mendukung satu
sama lain. Bila pendidikan maju, maka kebudayaan juga akan maju.
2.3.2. Pendidikan dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional
Diantara peraturan perundangan-undangan RI yang paling banyak
membicarakan pendidikan adalah Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003.
Undang-undang ini disebut sebagai induk peraturan perundang-undangan
pendidikan. Undang-undang ini mengatur pendidikan pada umumnya artinya
segala sesuatu yang bertalian dengan pendidikan, mulai dari prasekolah sampai
dengan pendidikan tinggi ditentukan dalam undang-undang ini. Ada beberapa
pasal yang berkaitan dengan pendidikan antara lain:
Pasal 1
1) Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar

dan

proses

pembelajaran

agar

peserta

didik

secara

aktif

mengembangkan potensi dirinya

untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta


keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
2) Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar
pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap
tuntutan perubahan zaman.
3) Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang
saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
4) Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan
potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan tertentu.
5) Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan
diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
6) Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen,
konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan
sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan.
7) Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk
mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai
dengan tujuan pendidikan.
8) Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan
tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan
kemampuan yang dikembangkan.
9) Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan
pendidikan suatu satuan pendidikan.
10) Satuan pendidikan adalah kelompok

layanan

pendidikan

yang

menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal


pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

2.3.3. Jenis Jenis Pendidikan

11) Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang
yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi.
12) Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang
dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
13) Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
14) Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan
kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam
memasuki pendidikan lebih lanjut.
15) Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari
pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui
teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.
16) Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan

pendidikan

berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat


sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.
17) Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem
pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
18) Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh
warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah
daerah.
Pasal 2
Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 5
1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu.
2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus.

5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan


sepanjang hayat.
Pasal 6
1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib
mengikuti pendidikan dasar.
2) Setiap warga negara bertanggung

jawab

terhadap

keberlangsungan

penyelenggaraan pendidikan
Pasal 7
1) Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan
memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.
2) Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan
dasar kepada anaknya.
Pasal 8
Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi program pendidikan.

Pasal 9

Masyarakat

berkewajiban

memberikan

dukungan

sumber

daya

dalam

penyelenggaraan pendidikan.

Pasal 10

Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing,


membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11
1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan
kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi
setiap warga negara tanpa diskriminasi.
2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh
sampai dengan lima belas tahun.
Pasal 12
1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak :
a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan
diajarkan oleh pendidik yang seagama;

b) mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan


kemampuannya;
c) mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak
mampu membiayai pendidikannya;
d) mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak
mampu membiayai pendidikannya;
e) pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang
setara;
f) menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar
masingmasing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang
ditetapkan.
2) Setiap peserta didik berkewajiban:
a) menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan
proses dan keberhasilan pendidikan;
b) ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta
didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

2.3.4. UU RI No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen


Undang undang ini memuat 84 Pasal yang mengatur tentang ketentuan
umum (istilah-istilah dalam undang-undang ini), kedudukan fungsi dan tujuan,
prinsip profesionalitas, seluruh peraturan tentang guru dan dosen dari kualifikasi
akademik, hak dan kewajiban sampai organisasi profesi dan kode etik, sanksi bagi
guru dan dosen yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya,
ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.
Diantara Pasal pasal dalan UU No. 14 Tahun 2004 tentang Guru dan Dosen
yang membahasa masalah komponen pendidikan adalah :
Pasal 1
1) Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik
pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah.

2) Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama


mentransformasikan,

mengembangkan,

dan

menyebarluaskan

ilmu

pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan


pengabdian kepada masyarakat.
3) Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan
fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan
pendidikan tinggi.
4) Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang
dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian,
kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu
serta memerlukan pendidikan profesi.
5) Penyelenggara pendidikan adalah Pemerintah, pemerintah daerah, atau
masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan
formal.
6) Satuan

pendidikan

adalah

kelompok

layanan

pendidikan

yang

menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal dalam setiap


jenjang dan jenis pendidikan.
7) Perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama adalah perjanjian tertulis
antara guru atau dosen dengan penyelenggara pendidikan atau satuan
pendidikan yang memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban para
pihak dengan prinsip kesetaraan dan kesejawatan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
8) Pemutusan hubungan kerja atau pemberhentian kerja adalah pengakhiran
perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama guru atau dosen karena
sesuatu hal yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara guru
atau dosen dan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
9) Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus
dimiliki oleh guru atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan
pendidikan formal di tempat penugasan.
10) Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku
yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan.
11) Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen.

12) Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan
kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
Pasal 2
1) Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada
jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Pasal 3
1) Dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang
pendidikan tinggi yang diangkat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
2) Pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Pasal 4
Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen
pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Pasal 5
Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen
pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta pengabdi
kepada masyarakat berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Pasal 6
Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk
melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan
nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab.
Pasal 7

10

1) Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang
dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:
a. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
b. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan,
ketakwaan, dan akhlak mulia;
c. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai
d.
e.
f.
g.

dengan bidang tugas;


memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara

berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;


h. memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan; dan
i. memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur halhal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
2) Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan

profesi

dosen

diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara


demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.
Pasal 8
Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional.
Pasal 9
Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui
pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.
Pasal 10
Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Pasal 45

11

Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat


jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan
pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional.
Pasal 46
1) Kualifikasi akademik dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diperoleh
melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai
dengan bidang keahlian.
2) Dosen memiliki kualifikasi akademik minimum:
a. lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana;
dan
b. lulusan program doktor untuk program pascasarjana.
3) Setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat
diangkat menjadi dosen.
4) Ketentuan lain mengenai kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dan keahlian dengan prestasi luar biasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh masing-masing senat akademik
satuan pendidikan tinggi
Pasal 47
1) Sertifikat pendidik untuk dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
diberikan setelah memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memiliki pengalaman kerja sebagai pendidik pada perguruan tinggi
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
b. memiliki jabatan akademik sekurang-kurangnya asisten ahli; dan
c. lulus sertifikasi yang dilakukan oleh perguruan tinggi

yang

menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan pada


perguruan tinggi yang ditetapkan oleh Pemerintah.
2) Pemerintah menetapkan perguruan tinggi yang

terakreditasi

untuk

menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan sesuai dengan


kebutuhan.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat pendidik untuk dosen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan penetapan perguruan tinggi yang terakreditasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
1) Status dosen terdiri atas dosen tetap dan dosen tidak tetap

12

2) Jenjang jabatan akademik dosen-tetap terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor
kepala, dan profesor
3) Persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki
kualifikasi akademik doktor.
4) Pengaturan kewenangan jenjang jabatan akademik dan dosen tidak-tetap
ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2.4.

Landasan Yuridis Pelaksanaan Pendidikan Global


Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia,

maka harus ada minimal satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan
yang dapat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional,
baik oleh pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3). Untuk
itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan, sehingga semua penyelenggara
pendidikan dan/atau satuan pendidikan formal, baik yang didirikan oleh
pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal
53 ayat 1). Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan
pelayanan kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2). Badan hukum pendidikan yang
akan diatur dengan undang-undang tersendiri (pasal 53 ayat 4) itu, harus
berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan
satuan pendidikan (pasal 53 ayat 3).
Dengan adanya badan hukum pendidikan itu, maka dana dari masyarakat
dan bantuan asing dapat diserap dan dikelola secara profesional, transparan dan
akuntabilitas publiknya dapat dijamin. Dengan demikian badan hukum pendidikan
akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggaraan pendidikan
dan/atau satuan pendidikan nasional yang bertaraf internasional dalam
menghadapi persaingan global.
Selain itu diperlukan pula lembaga akreditasi dan sertifikasi. Akreditasi
dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur
pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan (pasal
60 ayat 1), yang dilakukan oleh pemerintah (pusat) dan/atau lembaga mandiri
yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik (pasal 60 ayat 2). Akreditasi

13

dilakukan atas kriteria yang bersifat terbuka (pasal 60 ayat 3), sehingga semua
pihak, terutama penyelenggara dapat mengetahui posisi satuan pendidikannya
secara transparan.
Dalam menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan
ditentukan oleh kompetensi yang dibuktikan oleh sertifikat kompetensi, yang
diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga
sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat yang dinyatakan lulus setelah
mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3). Dalam mengantisipasi
perkembangan global dan kemajuan teknologi komunikasi, maka pendidikan jarak
jauh diakomodasikan dalam sisdiknas, sebagai paradigma baru pendidikan.
Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi layanan pendidikan kepada
kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka
atau reguler (pasal 31 ayat 1 dan 2).
2.5.

Landasan Yuridis Pelaksanaan Pendidikan Nasional


Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 yang telah

diamandemen, Pasal 31 tentang Pendidikan Nasional mengamanatkan: (1) setiap


warga negara berhak mendapatkan pendidikan; (2) setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3) pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang; (4) negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan
APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; (5)
pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 1 (ayat 1) menjelaskan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

14

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya


untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Pada (ayat 2) pendidikan nasional adalah
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan
nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Paradigma baru lainnya yang dituangkan dalam UU Sisdiknas yang baru
adalah konsep kesetaraan, antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Demikian juga adanya kesetaraan antara satuan pendidikan yang dikelola oleh
Departemen Pendidikan Nasional dengan satuan pendidikan yang dikelola oleh
Departemen Agama yang memiliki ciri khas tertentu. Itulah sebabnya dalam
semua jenjang pendidikan disebutkan mengenai nama pendidikan yang
diselenggarakan oleh Departemen Agama (madrasah, dst.). Dengan demikian UU
Sisdiknas telah menempatkan pendidikan sebagai satu kesatuan yang sistemik
(pasal 4 ayat 2).
Selain itu UU Sisdiknas yang dijabarkan dari UUD 45, telah memberikan
keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dan
tujuan pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif,

mandiri,

dan

menjadi

warga

negara

yang

demokratis

serta

bertanggungjawab (pasal 3).


Dengan demikian UU Sisdiknas yang baru telah memberikan
keseimbangan antara iman, ilmu dan amal (shaleh). Hal itu selain tercermin dari
fungsi dan tujuan pendidikan nasional, juga dalam penyusunan kurikulum (pasal

15

36 ayat 3) , dimana peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu
pengetahuan, teknologi, seni dan sebagainya dipadukan menjadi satu.
2.5.

Landasan Yuridis Pelaksanaan Pendidikan Daerah


Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, yang

mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan


pemerintah daerah (otda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan
memperbesar partisipasi masyarakat. Demikian juga perana pemerintah pusat
yang bersifat sentralistis dan yang telah berlangsung selama 50 tahun lebih, akan
diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada pemerintah
daerah yang dikenal dengan sistem desentralisasi. Kedua hal ini harus berjalan
secara simultan; inilah yang merupakan paradigma baru, yang menggantikan
paradigma lama yang sentralistis.
Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan
dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan
(pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan , nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1).
Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta
dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan
dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga
negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekuensinya pemerintah (pusat)
dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun (pasal 11 ayat 2).
Itulah

sebabnya

pemerintah

(pusat)

dan

pemerintah

daerah

menjamin

terselenggaranya wajib belajar, minimla pada jenjang pendidikan dasar tanpa


dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung jawab negara yang

16

diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat


(pasal 34 ayat 2).
Dengan

adanya

desentralisai

penyelenggaraan

pendidikan

dan

pemberdayaan masyarakat, maka pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab


bersama antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46
ayat 1). Bahkan, pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah bertanggungjawab
menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4)
Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945-(Negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari anggaran
pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional) - (pasal 46
ayat 2). Itulah sebabnya dana pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan, harus dialokasikan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan, dan minimal
20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) (pasal 49 ayat 1).
Khusus gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah (pusat) dialokasikan
dalam APBN (pasal 49 ayat 2).
Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan,
kecukupan, dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1). Dalam memenuhi tuntutantuntutan tersebut maka pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat
mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku (pasal 47 ayat 2). Oleh karena itu maka pengelolaan dan
pendidikan harus berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan
akuntabilitas publik (pasal 48 ayat 2)
Meskipun

terjadi

desentralisasi

pengelolaan

pendidikan,

namun

tanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di tangan


menteri yang diberi tugas oleh presiden (pasal 50 ayat 1), yaitu menteri
pendidikan nasional. Dalam hal ini pemerintah (pusat) menentukan kebijakan
nasional dan standard nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan
nasional (pasal 50 ayat 2). Sedangkan pemerintah provinsi melakukan koordinasi
atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan

17

penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota


untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk pemerintah
kabupaten/kota diberi tugas untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah,
serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
2.6.

Landasan Yuridis Pelaksanaan Pendidikan Lokal


Satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, merupakan

paradigma baru pendidikan, untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah


berdasarkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal.

Dalam hal ini

pewilayahan komoditas harus dibarengi dengan lokalisasi pendidikan dengan


basis keunggulan lokal. Hak ini bukan saja berkaitan dengan kurikulum yang
memperhatikan juga muatan lokal (pasal 37 ayat 1 huruf j), melainkan lebih
memperjelas spesialisasi peserta didik, untuk segera memasuki dunia kerja di
lingkungan terdekatnya, dan juga untuk menjadi ahli dalam bidang tersebut.
Dengan demikian persoalan penyediaan tenaga kerja dengan mudah teratasi dan
bahkan dapat tercipta secara otomatis.
Selain

itu

pemerintah

(pusat)

dan

pemerintah

daerah

wajib

menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua


jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikanm yang
bertaraf internasional (pasal 50 ayat 3). Hal ini dimaksudkan agar selain
mengembangkan keunggulan lokal melalui penyediaan tenaga-tenaga terdidik,
juga menyikapi perlunya tersedia satuan pendidikan yang dapat menghasilkan
lulusan kaliber dunia di Indonesia.
Untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, maka
pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan
dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan (pasal 42 ayat 2).
Dalam hal ini termasuk memfasilitasi dan/atau menyediakan pendidik dan/atau
guru yang seagama dengan peserta didik dan pendidik dan/atau guru untuk
mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik (pasa 12 ayat 1 huruf
a dan b). Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah,
yang pengangkatan, penempatan dan penyebarannya diatur oleh lembaga yang

18

mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal (pasal 41 ayat 1


dan 2).
Selain itu pemerintah (pusat) atau pemerintah daerah memiliki
kewenangan mengeluarkan dan mencabut izin bagi semua satuan pendidikan
formal maupun non formal (pasal 62 ayat 1), sesuai dengan lingkup tugas masingmasing. Dengan adanya desentralisasi perizinan akan semakin mendekatkan
pelayanan kepada rakyat, sesuai dengan tujuan otonomi pemerintahan daerah.

19

2.7.

Telaah Yuridis Peraturan perundang-undangan yang mengatur


pendidikan
Dari sekian banyak peraturan perundangan yang mengatur

pendidikan di atas, akan penulis bahas beberapa peraturan perundangan yang


sering banyak dibicarakan dan menjadi polemik atau issu krusial di masyarakat,
antara lain adalah :
2.7.1. Konsep Pelaksanaan Pendidikan
Menurut pasal 31 ayat (1) menyebutkan : setiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan. Oleh karena apabila suatu hal seseorang atau
sekelompok masyarakat tidak bisa mendapatkan kesempatan belajar, maka
mereka bisa menuntut haknya itu kepada pemerintah. Atas dasar itulah pemerintah
menciptakan sekolah-sekolah yang bisa melayani kebutuhan warna negaranya
tanpa kecuali apakah warga negara tersebut normal ataupun tidak normal dilihat
dari aspek fisik dan mentalnya, baik yang tinggal diperkotakan maupun yang
diperkotakan, baik yang miskin maupun yang kaya. Sekolah-sekolah yang
dimaksud antara lain SD Kecil, SD Pamong, SMP Terbuka Sistem Belajar Jarak
Jauh untuk mengatasi warga negara yang mengalami sekulitan mendapatkan
pendidikan karena aspek geografis (termaktub dalam pasal 5 ayat 3), dan sekolah
luar biasa untuk memenuhi warga negara yang mempunyai kebutuhan khusus
(pasal 5 ayat 2).
Namun demikian dengan amandemen UUD 1945, pasal 31 ayat (2), dan
Undang-Undang Sisdiknas pasal (1) bahwa sampai dengan pendidikan dasar,
pendidikan tidak hanya merupakan hak tapi sekaligus merupakan kewajiban
warga negara. Hal tersebut logis dan dapat dipahami sebab keberhasilan proses
pendidikan tidak hanya ditentukan oleh pemerintah tapi juga warga masyarakat.
Sekalipun pemerintah telah dengan sungguh-sungguh menangani pendidikan dan
menyediakan biaya pendidikan dan cukup tetapi kalau masyarakat tidak ikut serta
(terutama dalam hal kesadaran dan motivasi belajar) maka pembangunan di
bidang pendidikan tidak dapat berhasil dengan baik. Lebih-lebih di era globalisasi
yang menurut kualitas sumber daya manusia yang memiliki daya saing yang

20

tinggi adalah logis apabila warga negara diwajibkan untuk menempuh pendidikan
dasar.
Setelah membahas landasan hukum dalam pendidikan yang dijabarkan
dari UUD tahun 1945 dan beberapa peraturan perundang-undangan yang ada di
bawahnya, maka dampak terhadap konsep dan pelaksanaan pendidikan adalah
sebagai berikut :
a. Sebagai konsekuensi dari beragamnya potensi dan kebutuhan peserta didik
maka proses pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi peserta didik
sehingga pendidikan dalam pembelajaran dituntut untuk aktif, inovatif,
kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM).
b. Dibutuhkan beragam jenis sekolah, sekolah umum dan kejuruan, sekolah
untuk siswa normal dan sekolah untuk siswa berkebutuhan khusus, serta
beragam jurusan. Sistem pendidikan menganut double track, bukan singlet
track.
c. Untuk mengembangkan potensi peserta didik seutuhnya diperlukan
perhatian yang sama terhadap pengembangan aspek kognitif, afektif, dan
psikomor pada semua tingkat pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara mendisain kurikulum sedemikian rupa sehingga struktur kurikulum
mencakup mata pelajaran-mata pelajaran yang mencakup ketiga
ranah/domain tersebut. Dan dalam proses pembelajaran ketiga aspek
tersebut disampaikan secara terintegratif.
d. Pendidikan harus berakar pada kebudayaan nasional, maka dibutuhkan
kurikulum yang mampu pengembangan budaya luhur bangsa.
e. Pendidikan dasar merupakan hak dan sekaligus kewajiban warga negara,
maka kebijakan pemerintah tentang wajib belajar disertai dengan programprogram pendukungnya seperti pemerataan kesempatan pendidikan
dengan membangun sekolah-sekolah dengan berbagai model adalah
kebijakan yang bagus yang berlu didukung oleh semua pihak.

21

2.7.2. Pendanaan Pendidikan


Walaupun dalam amandemen UUD RI 1945 pasal 31 ayat (4) telah
menegaskan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan akan tetapi dengan berbagai alasan dan pertimbangan sampai saat ini
APBN kita belum mencapai 20%. Di daerah alokasi dana pendidikan yang masuk
dalam APBD sangat bervariatif, tetapi kebanyakan belum sampai 20% dari
APBD. Yang memprihatinkan ada beberapa daerah yang menggratiskan biaya
pendidikan namun tidak diberangi dengan penambahan anggaran di APBD
dengan cukup. Menurut Sutjipto (2008:2) keadaan seperti ini akan memperlebar
disparitas mutu pendidikan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain
sehingga menjadi tempat persemaian yang subur dari masalah-masalah sosial di
masa depan. Pasal inilah yang sampai sekarangterus diperjuangkan oleh banyak
pihak agar pemerintah dan pemerintah daerah segera merealisasikannya.
Justru yang terjadi di hampir mayoritas pemerintah daerah berlombalomba untuk memperjuangkan wacana pendidikan gratis. Namun dengan
masuknya ranah politik dalam dunia pendidikan nampaknya wacana itu menjadi
nilai tawar dalam realisasinya antara warga masyarakat dengan penguasa
pemerintah daerah. Mestinya kebijakan pendidikan gratis tidak hanya sekedar
retorika politik guna melanggengkan kekuasaan, akan tetapi perlu didukung
dengan reliasasi anggaran pendidikan sesuai dengan amanat UUD yaitu minimal
20% dari APBN/APBD.
2.7.3. Kompetensi Guru
Dalam proses belajar dan pembelajaran guru merupakan salah satu faktor
utama yang mengkondisikan terciptanya suasana yang kondusif. Proses
transformasi ilmu dan pengetahuan akan berjalan sesuai fungsinya apabila guru
menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional. Guru dituntut
untuk memiliki kompetensi dan dedikasi dalam menjalankan profesinya. Guru
sebagai sebuah profesi pada masa sekarang ini terjadi penguatan dalam

22

kedudukan sosial dan eksternal, bahkan terjadi penguatan kedudukan dalam hal
proteksi jabatan dan diperkuat oleh Undang-Undang danstatus hukum.
Oleh karena itu secara logis muncul pula harapan dan keinginan agar
terjadi penguatan serupa dalam posisi internal profesi guru, dimana peningkatan
kualifikasi dan kompetensi guru bisa menjamin mutu pendidikan.
Hal lain yang tak kalah penting untuk dikaji adalah pengakuan eksistensi
konselor. Meskipun secarayuridis keberadaan konselor dalam sistem pendidikan
nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan
kualifikasi guru, dosen, pamong, tutor pamong belajar, widyaiswara, instruktur
sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat )6) m UU Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Juga tercantum PP Nomor 28 Tahun 1990
pasal 27 ayat (2) dengan sebutan guru pembimbing. Akan tetapi dari pasal-pasal
tersebut, pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi antara tenaga pendidik
satu dengan yang lainnya itu, ternyata tidak dilanjutkan dengan spesifikasi
konteks tugas dan ekspektasi kinerja yang cermat, karena yang diatur dalam pasalpasal berikutnya hanyalah konteks tugas dan ekspektasi kinerja dari mayoritas
pendidik yang menggunakan pembelajaran sebagai kontek layanan. Hal tersebut
dapat dicermati pada pasal 39 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang
berbunyi : pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan
dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Dengan spesifikasi kontek tugas dan ekspektasi kinerja yang hanya
merujuk kelompok pendidik yang menggunakan materi pembelajaran, maka
konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor yang tidak menggunakan materi
pembelajaran sebagai konteks layanan yang merupakan sosok layanan ahli yang
unik yang berbeda dari sosok layanan ahli keguruan meskipun sama-sama
bertugas dalam setting pendidikan, tidak ditemukan pengaturannya dalam UU
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Banyak terjadi kejanggalan dan ketidakjelasan kebijakan dari pemerintah
pusat tentang profesi bimbingan dan konseling. Ketidakjelasan semakin dirasakan

23

justru pada saat kita sedang berupaya mereformasi pendidikan kita. Contoh kasus
terbaru, ketika digulirkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga
saat ini sama sekali belum memberikan kejelasan tentang bagaimana bimbingan
dan konseling seharusnya dilaksanakan. Dalam dokumen KTSP, kita hanya
menemukan secuil informasi yang membingungkan tentang bimbingan dan
konseling yaitu berkaitan dengan kegiatan Pengembangan Diri.
Begitu juga, dalam kebijakan sertifikasi guru, banyak konselor dan
pengawas satuan pendidikan yang kebingungan untuk memahami tentang
penilaian perencanaan dan pelaksanaan konseling, karena format penilaian yang
disediakan tidak sepenuhnya cocok untuk digunakan dalam penilaian perencanaan
dan pelaksanaan bimbingan dan konseling. Tentunya masih banyak lagi
kejanggalan-kejanggalan yang dirasakan di lapangan, baik yang bersifat
konseptual-fundamental maupun teknis operasionalnya.
Ketidakjelasan kebijakan tentang profesi bimbingan dan konseling pada
tataran pusat ini akhirnya mengimbas pula pada kebijakan pada tataran di
bawahnya (messo dan mikro), termasuk pada tataran operasional yang
dilaksanakan oleh para konselor di sekolah. Jadi, kalau ada pertanyaan mengapa
Bimbingan dan Konseling di sekolah kurang optimal, maka kita bisa melihat
sumber permasalahannya, yang salah-satunya adalah ketidakjelasan dalam
kebijakan pemerintah terhadap profesi bimbingan dan konseling.
Jika ke depannya, bimbingan dan konseling masih tetap akan
dipertahankan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, kiranya perlu ada
komitmen dan good will dari pemerintah untuk secepatnya menata profesi
konseling, salah satunya dengan berupaya melibatkan Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia (ABKIN) selaku wadah yang menaungi para konselor dan
para pakar konseling untuk duduk bersama merumuskan bagaimana sebaiknya
kebijakan konseling untuk hari ini dan ke depannya.

24

2.7.4. Desentralisasi Pendidikan


Pemberian aksentuasi kepada pemerintah daerah dalam Undang-Undang
Sisdiknas, diharapkan nantinya pengembangan pendidikan di tingkat lokal akan
lebih efektif jika dikembangkan oleh pemerintah daerah bersama kelompok
masyarakat. Sebab jenis kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah,
berbeda satu sama lain. Itulah sebabnya pasal 50 ayat (4) disebutkan bahwa
pemerintah kabupaten / kota berkewajiban mengelola satuan pendidikan yang
berbasis keunggulan lokal.
Jika setiap pasal dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut dapat
dilaksanakan secara baik dan konsekuen, maka lambat laun kemelut-kemelut yang
mengitari dunia pendidikan kita selama ini dapat di atasi dan diantisipasi. Oleh
karena itu, untuk merealisasikan semua itu memerukan dukungan dan kerja sama
dari semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak. Selain itu, otonomi
juga berimplikasi pada pengembangan pendidikan keagamaan di Indonesia.
Otonomi pendidikan ini lebih ditekankan pada pembentukan strategi dalam
menghadapi tantangan modernitas. Munculnya otonomi daerah sekaligus otonomi
pendidikan memberikan kerja keras bagi pemerintah daerah dalam menentukan
arah pendidikan ke depan.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam hal otonomi pendidikan adalah
mewujudkan organisasi pendidikan di seluruh kabupaten/kota yang lebih
demokratis, transparan, efisien, accountable, serta mendorong partisipasi
masyarakat. Dalam konteks otonomisasi pendidikan, pembelajaran yang
berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan hendaknya sudah menjadikan
pemerintah pada posisi sebagai fasilitator dan bukan pengendali. Sehingga,
pemetaan utama pembelajaran adalah guru sebagai pengajar dan murid sebagai
yang belajar. Murid atau peserta didik hendaknya diberi hak untuk mendapatkan
pengajaran yang sesuai dengan pilihannya dan diperlakukan sesuai dengan potensi
dan prestasinya.
Semangat desentralisasi pendidikan yang sementara ini dianggap
merupakan konsep yang baik dalam pengelolaan pendidikan perlu didukung dan
dimaknai secara benar. Pemerintah daerah sebagai pihak yang menerima

25

pelimpahan wewenang tidak hanya mengedepankan haknya tetapi juga yang lebih
penting adalah melaksanakan kewajiban yang melekat pada wewenang yang
diberikan dengan kesungguhan hati. Managemen berbasis sekolah sebagai bentuk
pelaksanaan otonomi pendidikan di tingkat sekolah juga harus selalu didorong
untuk dapat terwujud.
2.7.5. Ujian Nasional
Kebijakan pemerintah tentang ujian nasional ini banyak menimbulkan pro
dan kontra, baik dalam tataran konsep teori pendidikan, kajian yuridis maupun
dalam implementasinya di lapangan. Dalam kesempatan ini akan penulis
ketengahkan pandangan dari segi yuridis tentang penyelenggaraan ujian nasional
Keikutsertaan pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga mandiri dalam
melakukan evaluasi sebagaimana tercantum pada pasal 58 ayat (2) dan Pasal 59
Ayat (1) UU Sisdiknas adalah evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang,
jenis pendidikan dan program pendidikan. Kalaupun ada kewenangan
mengevaluasi peserta didik, tentu yang dimaksud bukanlah terhadap hasil belajar
dan kelulusannya, melainkan evaluasi terhadap kondisi peserta didik yang dapat
mendukung terlaksananya proses pembelajaran. Taruhlah seperti rasio peserta
didik terhadap guru, pemetaan sosial-ekonomi, kelompok dan antarwilayah /
daerah. Dengan begitu, hak mutlak untuk menilai proses pembelajaran dan
menentukan kelulusan peserta didiknya tetap menjadi milik pendidik karena
secara pedagogis para pendidiklah yang paling atau tentang peserta didiknya.
Kejanggalan kedua adalah hilangnya independen pada Pasal 73 ayat (3)
tentang sifat BSNP. Bunyi lengkapnya "dalam menjalankan tugas dan funginya
BSNP bersifat mandiri dan profesional". Pasal inilah yang dijadikan alasan
mengapa BSNP tidak sepenuhnya independen, tetapi hanya sebagai pembantu
menteri seperti tertera pada Pasal 76 ayat (1).
Kedua pasal di atas sepintas terlihat wajar. Tetapi, menjadi sangat janggal
ketika pasal tersebut secara tertib hukum seharusnya menjadi turunan dari
ketentuan umum Pasal 1 Butir 22 yang secara tegas menyebutkan "badan Standar
Nasional yang selanjutnya disebut BSNP adalah badan mandiri dan independen

26

yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi


standar nasional pendidikan". Karena ketentuan umum merupakan klausul pokok
yang turunannya tertuang dalam pasal-pasal, konsekuensinya BSNP seharusnya
adalah badan independen.
Kejanggalan ketiga adalah tentang kelulusan Pasal 72 ayat (1) d
menyebutkan bahwa peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada
pendidikan dasar dan menengah setelah memenuhi empat persyaratan. Pertama,
telah menyelesaikan seluruh program pembelajaran. Kedua, memperoleh nilai
minimal

untuk

pelajaran

agama,

akhlak

mulia,

kewarganegaraan

dan

berkepribadian, estetika, jasmani dan kesehatan. Ketiga dan keempat lulus ujian
sekolah dan lulus ujian nasional.
Syarat kelulusan pertama dan kedua sepintas mencoba untuk menghargai
penilaian proses. Namun, ketika peserta didik harus dihadapkan pada syarat lulus
ujian sekolah dan ujian nasional, maka pada akhirnya proses pembelajaran
menjadi tidak lagi berarti. Sebab seperti yang terlihat pada kenyataan seharihari, sebagian besar sekolah semua kegiatan pembelajaran tercurah hanya untuk
mempelajari cara menyiasati soal-soal ujian semata. Akhirnya, proses
pembelajaran menjadi kering dari suasana kemanusiaan.
Penilaian hasil belajar peserta didik dengan sistem Ujian nasional
membawa dampak yang sangat besar dalam praktik pendidikan formal, baik
dampak yang positif maupun negatif. Oleh karena itu perlu evaluasi dan dikaji
secara komprehensif, baik dari segi hukum, sosial, ekonomi, budaya dan
pendidikan.

27

BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Landasan yuridis pendidikan adalah seperangkat asumsi yang bersumber
dari peraturan perundangan-undangan yang berlaku sebagai titik tolak dalam
rangka pengelolaan, penyelenggaraan dan kegiatan pendidikan dalam suatu
system pendidikan nasional. Landasan ini bersifat ideal dan normative. Landasan
yuridis pendidikan nasional Indonesia tersurat dalam seperangkat peraturan
perundangundangan yang berlaku di Negara Indonesia yang berkenaan dengan
pendidikan.
Fungsi landasan yuridis pendidikan adalah :
a. sebagai dasar pijakan atau titik tolak praktek pendidikan dan atau studi
pendidikan yang mengikat setiap manusia didalamnya dalam menjalankan
proses pendidikan, dan memberikan sanksi yang sesuai dengan ketentuan
bagi yang melanggar.
b. untuk menetapkan kebijakan-kebijakan

dalam

hal

penyelenggaraan

pendidikan.
3.2 Saran
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari sepenuh hati
bahwasanya makalah ini jauh dari sempurna dan masih memiliki banyak
keterbatasan baik dari segi penyajian materi ataupun pembahasannya.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang positif
serta membangun. Selain itu juga penulis mengharapkan ada kajian yang lebih
mendalam mengenai materi tersebut di masa yang akan datang.

28

DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Pendidikan Tinggi Depdiknas. 2008. Penataan Pendidikan
Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan Konseling dalam Jalur
Pendidikan Formal. Bandung : BK UPI.
Made Pidarta. 2004. Managemen Pendidikan Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta
Made Pidarta. 2007. Landasan Kependidikan : Stimulus Ilmu Bercorak
Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta
Muhammad Ali. 2007. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka
Cipta
Nana Syaodih S. 2009. Landasan Psikologi Proses Pendidika. Jakarta : Rineka
Cipta
Prayitno, 2009, Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Jakarta : Kompas
Gramedia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
tentang Standar Nasional Pendidikan.

Nomor

19

Tahun

2005

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia


tentang Pendanaan Pendidikan.

Nomor

48

Tahun

2008

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.


Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah.
Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Satjipto Rahardjo. 1996. Ilmu hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen.

29

Baharuddin enrekang. Landasan hukum pendidikan nasional. (http://baharuddinenrekang.blogspot.com/, accessed on September 28, 2013 21:14)
Kang

Pendi. Landasan Yuridis Pendidikan Nasional Indonesia,


(http://situsbaca.blogspot.com/2011/12/landasan-yuridis-pendidikannasional.html. accessed on December 10, 2013 12:01)

Siraj

raj. Landasan
yuridis
penddikan
Indonesia.
(http://sirajpendidikanuntuksemua.blogspot.com/, accessed on September 28, 2013
21:03)

Baharuddin Enrekang. loc. cit.

30

Anda mungkin juga menyukai