PENDAHULUAN
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1.
seperangkat konsep
Republik
Pemerintah
Indonesia,
pengganti
Ketetapan
undang-undang,
MPR,
Undang-Undang
peraturan
pemerintah,
Peraturan
Keputusan
Beberapa
peraturan
Perundang-Undangan
yang
mengatur
peraturan
harus
tunduk
kepada
undang
undang
termasuk
pendidikan. Pendidikan bangsa Indonesia sendiri telah diatur dalam UUD 1945
dan hal ini diperjelas dengan dirumuskannya norma-norma pokok yang harus
menjiwai usaha pendidikan dan pengembangan kebudayaan yang akan
dilaksanakan oleh penyelenggara negara. Norma-norma itu tersirat dan tersurat
dalam Bab XIII Pasal 31 dan 32 UUD 1945.
a. Pasal 31 UUD 1945 sebagai berikut :
Ayat 1 : Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Ayat 2 : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar pemerintah wajib
membiyayainya.
Ayat 3 :
Pemerintah
mengusahakan
dan
menyelenggarakan
satu
sistem
dan
proses
pembelajaran
agar
peserta
didik
secara
aktif
layanan
pendidikan
yang
11) Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang
yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi.
12) Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang
dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
13) Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
14) Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan
kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam
memasuki pendidikan lebih lanjut.
15) Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari
pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui
teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.
16) Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan
pendidikan
jawab
terhadap
keberlangsungan
penyelenggaraan pendidikan
Pasal 7
1) Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan
memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.
2) Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan
dasar kepada anaknya.
Pasal 8
Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
dan evaluasi program pendidikan.
Pasal 9
Masyarakat
berkewajiban
memberikan
dukungan
sumber
daya
dalam
penyelenggaraan pendidikan.
Pasal 10
mengembangkan,
dan
menyebarluaskan
ilmu
pendidikan
adalah
kelompok
layanan
pendidikan
yang
12) Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan
kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
Pasal 2
1) Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada
jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Pasal 3
1) Dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang
pendidikan tinggi yang diangkat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
2) Pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Pasal 4
Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen
pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Pasal 5
Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen
pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta pengabdi
kepada masyarakat berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Pasal 6
Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk
melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan
nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab.
Pasal 7
10
1) Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang
dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:
a. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
b. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan,
ketakwaan, dan akhlak mulia;
c. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai
d.
e.
f.
g.
profesi
dosen
11
yang
terakreditasi
untuk
12
2) Jenjang jabatan akademik dosen-tetap terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor
kepala, dan profesor
3) Persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki
kualifikasi akademik doktor.
4) Pengaturan kewenangan jenjang jabatan akademik dan dosen tidak-tetap
ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2.4.
maka harus ada minimal satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan
yang dapat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional,
baik oleh pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3). Untuk
itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan, sehingga semua penyelenggara
pendidikan dan/atau satuan pendidikan formal, baik yang didirikan oleh
pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal
53 ayat 1). Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan
pelayanan kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2). Badan hukum pendidikan yang
akan diatur dengan undang-undang tersendiri (pasal 53 ayat 4) itu, harus
berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan
satuan pendidikan (pasal 53 ayat 3).
Dengan adanya badan hukum pendidikan itu, maka dana dari masyarakat
dan bantuan asing dapat diserap dan dikelola secara profesional, transparan dan
akuntabilitas publiknya dapat dijamin. Dengan demikian badan hukum pendidikan
akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggaraan pendidikan
dan/atau satuan pendidikan nasional yang bertaraf internasional dalam
menghadapi persaingan global.
Selain itu diperlukan pula lembaga akreditasi dan sertifikasi. Akreditasi
dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur
pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan (pasal
60 ayat 1), yang dilakukan oleh pemerintah (pusat) dan/atau lembaga mandiri
yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik (pasal 60 ayat 2). Akreditasi
13
dilakukan atas kriteria yang bersifat terbuka (pasal 60 ayat 3), sehingga semua
pihak, terutama penyelenggara dapat mengetahui posisi satuan pendidikannya
secara transparan.
Dalam menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan
ditentukan oleh kompetensi yang dibuktikan oleh sertifikat kompetensi, yang
diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga
sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat yang dinyatakan lulus setelah
mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3). Dalam mengantisipasi
perkembangan global dan kemajuan teknologi komunikasi, maka pendidikan jarak
jauh diakomodasikan dalam sisdiknas, sebagai paradigma baru pendidikan.
Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi layanan pendidikan kepada
kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka
atau reguler (pasal 31 ayat 1 dan 2).
2.5.
14
mandiri,
dan
menjadi
warga
negara
yang
demokratis
serta
15
36 ayat 3) , dimana peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu
pengetahuan, teknologi, seni dan sebagainya dipadukan menjadi satu.
2.5.
sebabnya
pemerintah
(pusat)
dan
pemerintah
daerah
menjamin
16
adanya
desentralisai
penyelenggaraan
pendidikan
dan
terjadi
desentralisasi
pengelolaan
pendidikan,
namun
17
itu
pemerintah
(pusat)
dan
pemerintah
daerah
wajib
18
19
2.7.
20
tinggi adalah logis apabila warga negara diwajibkan untuk menempuh pendidikan
dasar.
Setelah membahas landasan hukum dalam pendidikan yang dijabarkan
dari UUD tahun 1945 dan beberapa peraturan perundang-undangan yang ada di
bawahnya, maka dampak terhadap konsep dan pelaksanaan pendidikan adalah
sebagai berikut :
a. Sebagai konsekuensi dari beragamnya potensi dan kebutuhan peserta didik
maka proses pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi peserta didik
sehingga pendidikan dalam pembelajaran dituntut untuk aktif, inovatif,
kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM).
b. Dibutuhkan beragam jenis sekolah, sekolah umum dan kejuruan, sekolah
untuk siswa normal dan sekolah untuk siswa berkebutuhan khusus, serta
beragam jurusan. Sistem pendidikan menganut double track, bukan singlet
track.
c. Untuk mengembangkan potensi peserta didik seutuhnya diperlukan
perhatian yang sama terhadap pengembangan aspek kognitif, afektif, dan
psikomor pada semua tingkat pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara mendisain kurikulum sedemikian rupa sehingga struktur kurikulum
mencakup mata pelajaran-mata pelajaran yang mencakup ketiga
ranah/domain tersebut. Dan dalam proses pembelajaran ketiga aspek
tersebut disampaikan secara terintegratif.
d. Pendidikan harus berakar pada kebudayaan nasional, maka dibutuhkan
kurikulum yang mampu pengembangan budaya luhur bangsa.
e. Pendidikan dasar merupakan hak dan sekaligus kewajiban warga negara,
maka kebijakan pemerintah tentang wajib belajar disertai dengan programprogram pendukungnya seperti pemerataan kesempatan pendidikan
dengan membangun sekolah-sekolah dengan berbagai model adalah
kebijakan yang bagus yang berlu didukung oleh semua pihak.
21
22
kedudukan sosial dan eksternal, bahkan terjadi penguatan kedudukan dalam hal
proteksi jabatan dan diperkuat oleh Undang-Undang danstatus hukum.
Oleh karena itu secara logis muncul pula harapan dan keinginan agar
terjadi penguatan serupa dalam posisi internal profesi guru, dimana peningkatan
kualifikasi dan kompetensi guru bisa menjamin mutu pendidikan.
Hal lain yang tak kalah penting untuk dikaji adalah pengakuan eksistensi
konselor. Meskipun secarayuridis keberadaan konselor dalam sistem pendidikan
nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan
kualifikasi guru, dosen, pamong, tutor pamong belajar, widyaiswara, instruktur
sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat )6) m UU Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Juga tercantum PP Nomor 28 Tahun 1990
pasal 27 ayat (2) dengan sebutan guru pembimbing. Akan tetapi dari pasal-pasal
tersebut, pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi antara tenaga pendidik
satu dengan yang lainnya itu, ternyata tidak dilanjutkan dengan spesifikasi
konteks tugas dan ekspektasi kinerja yang cermat, karena yang diatur dalam pasalpasal berikutnya hanyalah konteks tugas dan ekspektasi kinerja dari mayoritas
pendidik yang menggunakan pembelajaran sebagai kontek layanan. Hal tersebut
dapat dicermati pada pasal 39 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang
berbunyi : pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan
dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Dengan spesifikasi kontek tugas dan ekspektasi kinerja yang hanya
merujuk kelompok pendidik yang menggunakan materi pembelajaran, maka
konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor yang tidak menggunakan materi
pembelajaran sebagai konteks layanan yang merupakan sosok layanan ahli yang
unik yang berbeda dari sosok layanan ahli keguruan meskipun sama-sama
bertugas dalam setting pendidikan, tidak ditemukan pengaturannya dalam UU
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Banyak terjadi kejanggalan dan ketidakjelasan kebijakan dari pemerintah
pusat tentang profesi bimbingan dan konseling. Ketidakjelasan semakin dirasakan
23
justru pada saat kita sedang berupaya mereformasi pendidikan kita. Contoh kasus
terbaru, ketika digulirkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga
saat ini sama sekali belum memberikan kejelasan tentang bagaimana bimbingan
dan konseling seharusnya dilaksanakan. Dalam dokumen KTSP, kita hanya
menemukan secuil informasi yang membingungkan tentang bimbingan dan
konseling yaitu berkaitan dengan kegiatan Pengembangan Diri.
Begitu juga, dalam kebijakan sertifikasi guru, banyak konselor dan
pengawas satuan pendidikan yang kebingungan untuk memahami tentang
penilaian perencanaan dan pelaksanaan konseling, karena format penilaian yang
disediakan tidak sepenuhnya cocok untuk digunakan dalam penilaian perencanaan
dan pelaksanaan bimbingan dan konseling. Tentunya masih banyak lagi
kejanggalan-kejanggalan yang dirasakan di lapangan, baik yang bersifat
konseptual-fundamental maupun teknis operasionalnya.
Ketidakjelasan kebijakan tentang profesi bimbingan dan konseling pada
tataran pusat ini akhirnya mengimbas pula pada kebijakan pada tataran di
bawahnya (messo dan mikro), termasuk pada tataran operasional yang
dilaksanakan oleh para konselor di sekolah. Jadi, kalau ada pertanyaan mengapa
Bimbingan dan Konseling di sekolah kurang optimal, maka kita bisa melihat
sumber permasalahannya, yang salah-satunya adalah ketidakjelasan dalam
kebijakan pemerintah terhadap profesi bimbingan dan konseling.
Jika ke depannya, bimbingan dan konseling masih tetap akan
dipertahankan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, kiranya perlu ada
komitmen dan good will dari pemerintah untuk secepatnya menata profesi
konseling, salah satunya dengan berupaya melibatkan Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia (ABKIN) selaku wadah yang menaungi para konselor dan
para pakar konseling untuk duduk bersama merumuskan bagaimana sebaiknya
kebijakan konseling untuk hari ini dan ke depannya.
24
25
pelimpahan wewenang tidak hanya mengedepankan haknya tetapi juga yang lebih
penting adalah melaksanakan kewajiban yang melekat pada wewenang yang
diberikan dengan kesungguhan hati. Managemen berbasis sekolah sebagai bentuk
pelaksanaan otonomi pendidikan di tingkat sekolah juga harus selalu didorong
untuk dapat terwujud.
2.7.5. Ujian Nasional
Kebijakan pemerintah tentang ujian nasional ini banyak menimbulkan pro
dan kontra, baik dalam tataran konsep teori pendidikan, kajian yuridis maupun
dalam implementasinya di lapangan. Dalam kesempatan ini akan penulis
ketengahkan pandangan dari segi yuridis tentang penyelenggaraan ujian nasional
Keikutsertaan pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga mandiri dalam
melakukan evaluasi sebagaimana tercantum pada pasal 58 ayat (2) dan Pasal 59
Ayat (1) UU Sisdiknas adalah evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang,
jenis pendidikan dan program pendidikan. Kalaupun ada kewenangan
mengevaluasi peserta didik, tentu yang dimaksud bukanlah terhadap hasil belajar
dan kelulusannya, melainkan evaluasi terhadap kondisi peserta didik yang dapat
mendukung terlaksananya proses pembelajaran. Taruhlah seperti rasio peserta
didik terhadap guru, pemetaan sosial-ekonomi, kelompok dan antarwilayah /
daerah. Dengan begitu, hak mutlak untuk menilai proses pembelajaran dan
menentukan kelulusan peserta didiknya tetap menjadi milik pendidik karena
secara pedagogis para pendidiklah yang paling atau tentang peserta didiknya.
Kejanggalan kedua adalah hilangnya independen pada Pasal 73 ayat (3)
tentang sifat BSNP. Bunyi lengkapnya "dalam menjalankan tugas dan funginya
BSNP bersifat mandiri dan profesional". Pasal inilah yang dijadikan alasan
mengapa BSNP tidak sepenuhnya independen, tetapi hanya sebagai pembantu
menteri seperti tertera pada Pasal 76 ayat (1).
Kedua pasal di atas sepintas terlihat wajar. Tetapi, menjadi sangat janggal
ketika pasal tersebut secara tertib hukum seharusnya menjadi turunan dari
ketentuan umum Pasal 1 Butir 22 yang secara tegas menyebutkan "badan Standar
Nasional yang selanjutnya disebut BSNP adalah badan mandiri dan independen
26
untuk
pelajaran
agama,
akhlak
mulia,
kewarganegaraan
dan
berkepribadian, estetika, jasmani dan kesehatan. Ketiga dan keempat lulus ujian
sekolah dan lulus ujian nasional.
Syarat kelulusan pertama dan kedua sepintas mencoba untuk menghargai
penilaian proses. Namun, ketika peserta didik harus dihadapkan pada syarat lulus
ujian sekolah dan ujian nasional, maka pada akhirnya proses pembelajaran
menjadi tidak lagi berarti. Sebab seperti yang terlihat pada kenyataan seharihari, sebagian besar sekolah semua kegiatan pembelajaran tercurah hanya untuk
mempelajari cara menyiasati soal-soal ujian semata. Akhirnya, proses
pembelajaran menjadi kering dari suasana kemanusiaan.
Penilaian hasil belajar peserta didik dengan sistem Ujian nasional
membawa dampak yang sangat besar dalam praktik pendidikan formal, baik
dampak yang positif maupun negatif. Oleh karena itu perlu evaluasi dan dikaji
secara komprehensif, baik dari segi hukum, sosial, ekonomi, budaya dan
pendidikan.
27
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Landasan yuridis pendidikan adalah seperangkat asumsi yang bersumber
dari peraturan perundangan-undangan yang berlaku sebagai titik tolak dalam
rangka pengelolaan, penyelenggaraan dan kegiatan pendidikan dalam suatu
system pendidikan nasional. Landasan ini bersifat ideal dan normative. Landasan
yuridis pendidikan nasional Indonesia tersurat dalam seperangkat peraturan
perundangundangan yang berlaku di Negara Indonesia yang berkenaan dengan
pendidikan.
Fungsi landasan yuridis pendidikan adalah :
a. sebagai dasar pijakan atau titik tolak praktek pendidikan dan atau studi
pendidikan yang mengikat setiap manusia didalamnya dalam menjalankan
proses pendidikan, dan memberikan sanksi yang sesuai dengan ketentuan
bagi yang melanggar.
b. untuk menetapkan kebijakan-kebijakan
dalam
hal
penyelenggaraan
pendidikan.
3.2 Saran
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari sepenuh hati
bahwasanya makalah ini jauh dari sempurna dan masih memiliki banyak
keterbatasan baik dari segi penyajian materi ataupun pembahasannya.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang positif
serta membangun. Selain itu juga penulis mengharapkan ada kajian yang lebih
mendalam mengenai materi tersebut di masa yang akan datang.
28
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Pendidikan Tinggi Depdiknas. 2008. Penataan Pendidikan
Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan Konseling dalam Jalur
Pendidikan Formal. Bandung : BK UPI.
Made Pidarta. 2004. Managemen Pendidikan Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta
Made Pidarta. 2007. Landasan Kependidikan : Stimulus Ilmu Bercorak
Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta
Muhammad Ali. 2007. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka
Cipta
Nana Syaodih S. 2009. Landasan Psikologi Proses Pendidika. Jakarta : Rineka
Cipta
Prayitno, 2009, Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Jakarta : Kompas
Gramedia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
tentang Standar Nasional Pendidikan.
Nomor
19
Tahun
2005
Nomor
48
Tahun
2008
29
Baharuddin enrekang. Landasan hukum pendidikan nasional. (http://baharuddinenrekang.blogspot.com/, accessed on September 28, 2013 21:14)
Kang
Siraj
raj. Landasan
yuridis
penddikan
Indonesia.
(http://sirajpendidikanuntuksemua.blogspot.com/, accessed on September 28, 2013
21:03)
30