Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HUBUNGAN SISTEM POLITIK DENGAN SISTEM PENDIDIKAN


NASIONAL DI INDONESIA

Disusun Oleh,

Rurry Prima Wulansari


213516516428

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI


2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Politik merupakan “Legal Policy atau garis (kebijakan) resmi tentang
hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun
dengan penggatian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Menurut
patmo Wahjono dalam politik hukum Moh. Mahfud MD (2009:1) mengatakan
bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk
maupun isi hukum yang akan dibentuk.
Politik hukum di Indonesia ada yang bersifat permanen atau jangka panjang
dan ada yang bersifat pemberlakuan prinsip perjanjian yudisial, ekonomi,
kerakyatan, kemanfaatan, penggantian hukum-hukum kolonial dengan hukum-
hukum nasional, penguasaan sumber daya alam oleh negara. Kemerdekaan
kekuasaan kehakiman dan sebagainya. Disini terlihat bahwa beberapa prinsip
yang dianut dalam UUD 1945 sekaligus berlaku sebagai politik hukum.
Mengembangkan satu sistem pendidikan adalah salah satu langkah penting
yang diambil oleh negara-negara modern sebagai upaya untuk dapat mengontrol
dan keluar dari krisis, motivasi. Dengan mengembangkan nilai- nilai, ideologi dan
kepentingan-kepentingan negara. Kebijakan-kebijakan yang mengatur tentang
pendidikan pun sudah sangat banyak, sehingga memudahkan dan memberikan
ruang gerak bagi insan pendidikan Indonesia untuk terus berinovasi dan
membangun pendidikan yang berkarakter sesuai dengan harapan pendidikan
nasional.
Pada hakikatnya kebijakan pendidikan merupakan suatu peraturan yang
berfungsi sebagai kontrol yang mempunyai fungsi: (1) sebagai pemersatu bangsa,
(2) perluasan kesempatan, dan (3) sebagai pengembangan diri. Dengan demikian
pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan bangsa dalam negara
kesatuan republik Indonesia (NKRI), membrikan kesempatan yang sama bagi
setiap wwarga negara untuk ikut serta dalam rangka pembangunan, dan
memungkinkan setiap individu untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Pentingnya Pendidikan sudah diakui di Indonesia sejak akhir PD II melalui
Declaration og Human Right atau Deklarasi Universal HAM. Disana dinyatakn
bahwa pendidikan merupakan hak asasi manusia. Artinya, apapun yang
menghalangi proses pendidikan itu sehingga tidak bisa terlaksana dengan baik,
maka itu artinya melanggar hak asasi manusia.
Kutipan Pasal 26 Deklarasi Universal HAM:
(1) Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan
harus dengan Cuma-Cuma, setidaknya-tidaknya untuk
tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan
rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan
secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan
pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang
sama oleh semua orang, berdasarkan kepantasan.
(2) Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi
yang seluas- luasnya serta untuk mempertebal penghargaan
terhadap hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar.
Pendidikan harus menggalakkan saling pengertian, toleransi
dan persahabatan di antara semua bangsa, kelompok ras
maupun agama, serta harus memajukan kegiatan Perserikatan
Bangsa-Bangsa dalam memelihara perdamaian.
(3) Orang tua mempunyai hak utama dalam memilih jenis
pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.
Perjuangan bangsa Indonesia sendiripun tidak lepas dari kegigihan para
kaum terdidik yang mengupayakan adanya kesetaraan dan peningkatan
pendidikan rakyat indonesia dengan kaum Hindia Belanda. Adanya perjuangan ini
menandakan sudah adanya penghalangan kesempatan kepada rakyat Indonesia
untuk menerima pendidikan. Dan ini juga yang kita sebut melanggar hak asasi
manusia. Tentu saja kita tidak akan melupakan jasa Kihajar Dewantara.
Saat ini, pendidikan di Indonesia sudah mengalami kemajuan, Indikasinya
dapat dilihat bahwa telah ada progam-rogam pemerintah yang berusaha untuk
memajukan pendidikan di Indonesia. Bahkan pemerintah telah mengatur hak-hak
pendidikan dalam kebijakan-kebijakan Negara, diantaranya: Amandemen UUD
1945 dan UU sistem Pendidikan Nasional (SPSN). Dalam amandemen UUD 1945
Pasal 31 Ayat (1) dan (2) menegaskan, setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.
Perintah UUD 1945 ini diperkuat oleh UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (SPSN) yang menegaskan bahwa setiap warga negara
memiliki hak yang sama atas pendidikan. Kaya maupun miskin. Namun, dalam
realitasnya, sampai saat ini dunia pendidikan kita juga masih dihadapkan pada
tantangan besar untuk mencerdaskan anak bangsa. Tantangan utama yang
dihadapi di bidang pendidikan pada tahun 2008 adalah meningkatkan akses,
pemerataan, dan kualitas pelayanan pendidikan, terutama pada jenjang pendidikan
dasar.
Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun
2003 Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahklak
mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional merupakan dasar hukum penyelenggaraan dan reformasi sistem
pendidikan nasional. Misi pendidikan nasional adalah untuk mengupayakan
perluasan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat
Indonesia, meningkatkan mutu pendidikan yang memiliki daya saing ditingkat
nasional, regional, dan Internasional.
Kenyataannya implementasi yang diamanatkan oleh Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional kita belum bisa menghasilkan pemerataan pendidikan
yang merata di seluruh Indonesia terutama penduduk dipelosok/daerah, mereka
belum mendapatkan sarana dan prasarana yang menunjang seperti dikota-kota
besar, belum terjangkaunya teknologi informasi, ketinggalan bidang ekonomi dan
belum tersedianya lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat Kondisi ruang kelas di
sekolah banyak yang rusak.
Kebijakan pendidikan seharusnya mampu mencerdaskan kehidupan bangsa
dan negara untuk mencapai masyarakat yang berwawasan global dan memiliki
makna bagi pengembangan moral, sains dan tekonologi untuk membangun
masyarakat yang beradab dan bermanfaat, terampil, demokratis, damai,
berkeadilan dan berdaya saing tinggi sehingga dapat mensejahterakan kehidupan
manusia.
Setiap kebijakan pendidikan terutama yang menyangkut tentang proses
pembelajaran harus selalu berorientasi pada kepentingan peserta didik dan publik.
Tetapi pencerminan kepentingan peserta didik dan publik dalam kebijakan
pendidikan tidak mudah diaktualisasikan oleh para pembuat kebijakan. Hal ini
disebabkan, karena proses pembuatan kebijakan pada esensinya tidak pernah
bebas nilai (value free), sehingga berbagai kepentingan akan selalu mempengaruhi
terhadap proses pembuatan kebijakan. Pada tataran inilah seringkali kepentingan
peserta didik dan publik menjadi terabaikan oleh kepentingan masyarakat kapitalis
lebih diutamakan oleh pemerintah dalam pengambilan kebijakan daripada
kepentingan masyarakat pada umumnya.
Sebenarnya tujuan yang terdapat dalam sistem pendidikan nasional kita
sudah sangat lengkap untuk membentuk anak didik menjadi pribadi utuh yang
dilandasi akhlak dan budi pekerti luhur namun pada kenyataannya tujuan yang
mulia tersebut tidak diimbangi pada tataran kebijakan pemerintah yang
mendukung tujuan tersebut. Salah satu contoh terbukti pada kurikulum sekolah
tahun 1984 yang secara eksplisit telah menghapuskan mata pelajaran budi pekerti
dari daftar mata pelajaran sekolah. Oleh karena itu, aspek-aspek yang berkaitan
dengan budi pekerti menjadi kurang tersentuh.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, dapat dilihat pada periode tahun 1908-
1945 dengan di tandai kehadiran para pemimpin politik yang penuh dedikasi dan
gigih dalam perjuangan di bidang pendidikan, sehingga mereka dapat dipandang
sebagai tokoh sekaligus pemimpin politik yang pantas di tiru. Dokter Wahidin
Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa pendidikan merupakan solusi utama
guna mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan kemelaratan. Demikian pula
dengan Ki Hajar Dewabtara yang mengemas pemikirannya tentang pendidikan
dalam konsep sederhana namun begitu dalam filosofinya; Ing Ngarso Sung
Tulodho. Ing Madyo Mangun Karso. Tut Wuri Handayani. Yang artinya “di
Depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan dibelakang
mengawasi”.
Begitu pula di awal masa kemerdekaan, masalah pendidikan nasional telah
memperoleh cukup banyak perhatian dari elite politik yang ada. Jika kita
membuka kembali lembaran sejarah, proklamator Bung Hatta merupakan salah
satu tokoh yang gencar menyuarakan pentingnya pendidikan nasional bagi
kemajuan bangsa sejak zaman kolonialisme
Pada periode 1959-1998 muncul pemimpin-pemimpin dan pelaku- pelaku
politik yang tidak lagi berjalan dengan idealisme yang nasionalistik dan pariotik.
Terlebih lagi pada masa pemerintahan Soeharto yang dianggap sebagian besar
kalangan mulai mengenyampingkan isu tentang pendidikan. Pada saat itu kita
lebih melihat pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintah
untuk melakukan indoktrinasi terhadap rakyat. Hal tersebut ditempuh terkait
dengan kekhawatiran akan timbulnya gejolak apabila pendidikan benar-benar
diperkenalkan sepenuhnya. Mereka lebih banyak bersyik-masyuk dengan
kepentingan kelompok, karena bagi mereka kekuasaan bukan lagi amanah namun
kesempatan untuk memakmurkan diri, keluarga dan teman-teman dekatnya. Sejak
saat itulah pandangan terhadap dunia pendidikan dianggap tidak lagi menjanjikan
segi finansial apapun, non issue , sesuatu hal yang mudah, sesuatu yang dapat
ditangani siapa saja, sehingga wajar bila kemudian diketepikan dan digeser pada
prioritas yang kesekian.
Kemudian masa sekarang pelaku politik mencoba bersuara agak lantang
tentang kebebasan akademik, keilmuan, dan anggaran pendidikan. Masih segar
diingatan kita, ketika masa-masa kampanye Pemilihan Umum berlangsung
beberapa kandidat menjanjikan akan memberikan pendidikan yang lebih baik,
pendidikan gratis, beasiswa, bahkan akan membuat kebijakan untuk mengangkat
100.000 guru. Namun pada kenyataannya, kesemuanya itu tak lebih dari sekedar
slogan kosong atau janji politik manis. Sangat mudah diucapkan namun sulit
dilaksanakan. Karena itu semua amat tergantung pada situasi dan iklim politik.
Sebagaimana dikatakan oleh David N. Plank dan William Lowe Boyd
(1994) dalam Antipolitics, Education, and Institutional Choise: The Flight From
Democracy. Bahwasannya antara pemerintah yang demokratis, politik pendidikan,
pilihan institusi, serta antipolitik berkolerasi dengan tercapainya pendidikan yang
selaras dengan kepentingan publik. Melalui analisis tersebut, kita bisa belajar
bahwa dalam masyarakat modern, sebenarnya institusi pendidikan diharapkan
menyelaraskan dengan tujuan dan kepentingan publik lewat tangan para pakar
pendidikan.namun realitanya berbicara lain, justru yang sering terjadi adalah
konflik berkepanjangan karena kepentingan politiklah yang dominan bermain.
Kebijakan pendidikan yang tidak bermutu dan tidak kunjung berubah ini
bisa jadi disengaja oleh para elite yang kini berkuasa di eksekutif maupun
legislatif. Sebab, warga negara yang cerdas akan membuat posisi mereka mudah
terancam, baik dari segi ekonomis maupun politis. Kemudian money politics
dengan berbagai variannya akan serta merta ditolak oleh warga negara yang
terdidik. Rasa pesimistis tersebut akan sejalan apabila kita hubungkan dengan
pendapat dari Henry Peter yang mengatakan, “Education makes people easy to
lead, but difficult to drive; easy to govern, but impossible to enslave”.
Dalam pembuatan peraturan perundangan peran politik hukum sangat
penting dan dapat mencakup tiga hal, yaitu pertama, merupakan kebijakan negara
(garis resmi), tentang hukum yang akan diberlakukan dalam rangka pencapaian
tujuan negara. Kedua, latar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya atas lahirnya
produk hukum; ketiga, penegakkan hukum di dalam kenyataan lapangan.
(Mahfud, 2009:4).
Dalam pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan pasal yang ayat (1) UU No. 20
Tahun 2003 telah diatur tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan. Dalam
kenyataannya pemerintah kurang tanggung jawab secara keseluruhan terhadap
penyelenggaraan pendidikan; pemerintah lebih fokus memperhatikan pendidikan
yang diselenggarakan pemerintah atau yang biasa disebut sekolah negri dan
kurang memperhatikan penyelenggaraan pendidikan yang diselenggrakan oleh
masyarakat atau sekolah swasta. Dalam hal ini pemerintah bersikap diskriminatif
terhadap sekolah negeri dan sekolah swasta. Hal ini terlihat dari bantuan dan
fasilitas pemerintah terhadap sekolah negeri dan sangat minim fasilitas pemerintah
terhadap sekolah swasta. Sikap pemerintah demikian ini tidak sesuai dengan
tujuan nasional sebagaimana yang diamanatkan. Pembukaan UUD 1945 alenia
keempat antara lain “....”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dalam hal ini bangsa
mencakup seluruh warga negera Indonesia baik warga yang belajar di Sekolah-
sekolah negeri, maupun yang belajar di sekolah swasta.
Selain itu, bahwa sekarang banyak sekolah sudah menjadi ajang komersial
yang ingin mengumpulkan dana dari masyarakat sebanyak- banyaknya, dengan
tidak disertai perencanaan penggunaan anggaran yang matang dan
implementasinya kurang mendapatkan pengawasan, dan pertanggungjawabannya
kurang terbuka. Memang secara formal setiap sekolah mempunyai lembaga
komite sekolah dan setiap kabupaten/kota mempunyai lembaga dewan
pendidikan. Namun dalam hal ini perlu dipertanyakan sejauh mana komitmen
komite sekolah dan dewan pendidikan dalam menjalankan 4 peran/fungsinya
sebagai advisory, supporting, controlling, and mediator dalam memajukan
pendidikan di daerahnya. Keempat fungsi tersebut masih sangat lemah dijalankan
oleh komite sekolah dan dewan pendidikan. Terkesan bahwa komite sekolah
“minim mata” dalam menyusun RAPBS/ menetapkan APBS dan hanya dijadikan
alat legitimasi pihak sekolah sehingga memberikan beban yang semakin berat
kepada masyarakat. Padahal komite sekolah yang merupakan Institusi independen
seharusnya memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk membuat
makalah dengan judul “Hubungan Sistem Politik dengan Sistem Pendidikan
Nasional Indonesia”.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan dari pemaparan latar belakang di atas maka permasalahan
dalam makalah ini dirumuskan kedalam pertanyaan: “Bagaimana Hubungan
Sistem Politik Dengan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia?”

1.3. Tujuan
Adapun dilakukan penyusunan makalah ini adalah dengan bertujuanm untuk
mengetahui “Hubungan Sistem Politik Dengan Sistem Pendidikan Nasional
Indonesia”
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Politik Hukum


Untuk mempermudah pemahaman tentang politik hukum pendidikan
nasional maka menjadi penting untuk memahami secara mendasar apa dan
bagaimana politik hukum. Definisi politik hukum memang tidak ada keseragaman
pemahaman antar pakar hukum. Beberapa pakar hukum di Indonesia memberikan
batasan politik hukum dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Menurut
Mochtar Kusumaadmadja politik hukum merupakan kebijakan hukum dan
perundang-undangan dalam pembaharuan hukum dengan instrumen politik
hukum dilakukan melalui undang-undang. Intisari pemikiran politik hukum yang
dikemukakan Mochtar Kusumaadmadja adalah berkaitan dengan hukum mana
yang perlu dibentuk (diperbaharui, diubah, atau diganti) dan hukum mana yang
perlu dipertahankan agar secara bertahap dapat diwujudkan tujuan negara.
Moh. Mahfud MD6 mengatakan politik hukum adalah legal policy atau arah
hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang
bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama.
Lebih rinci Moh. Mahfud MD membagi 3 (tiga) kelompok politik hukum, yaitu:
pertama, arah resmi tentang hukum yang akan diberlakukan (legal policy) guna
mencapai tujuan negara yang mencakup penggantian hukum lama dan
pembentukan hukum-hukum yang baru sama sekali; kedua, latar belakang politik
dan sub-sistem kemasyarakatan lainnya dibalik lahirnya hukum, termasuk arah
resmi tentang hukum yang akan atau tidak akan diberlakukan; dan ketiga,
persoalan-persoalan disekitar penegakan hukum, terutama implementasi atas
politik hukum yang telah digariskan. Pijakan yang menjadi landasan dari politik
hukum adalah mewujudkan tujuan negara dan sistem hukum dari negara yang
bersangkutan dalam konteks Indonesia, tujuan dan sistem hukum itu terkandung
di dalam Pembukaan UUD 1945 khususnya Pancasila yang melahirkan
kaedahkaedah penuntun hukum.
Menurut Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah
kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan
dibentuk. Bintan R Saragih8 politik hukum adalah kebijakan yang diambil
(ditempuh) oleh negara (melalui lembaganya atau pejabatnya) untuk menetapkan
hukum yang mana yang perlu diganti, atau yang perlu diubah, atau hukum yang
mana yang perlu dipertahankan, atau mengenai apa yang perlu diatur atau
dikeluarkan agar dengan kebijakan itu penyelenggara negara dan pemerintah
dapat berlangsung dengan baik dan tertib sehingga tujuan negara (seperti
kesejahteraan rakyat) secara bertahap dan terencana dapat terwujud. Politik
hukum menurut Satjipto Rahardjo9 adalah aktivitas memilih dan cara yang
hendak dipakai untuk mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam
masyarakat. Politik hukum tidak dapat dilepaskan dari cita Negara kesejahteraan
dalam konstitusi. Menurut Yudha Bhakti Ardiwisastra politik hukum mengandung
2 (dua) sisi yang tidak terpisahkan, yaitu pertama, sebagai arahan pembuatan
hukum atau legal policy lembaga-lembaga Negara dalam pembuatan hukum; dan
kedua, sebagai alat untuk menilai dan mengkritisi apakah sebuah hukum yang
dibuat sudah sesuai dengan kerangka pikir legal policy untuk mencapai tujuan
Negara.
Selanjutnya Muchsin dalam bukunya “Politik Hukum dalam Pendidikan
Nasional” mengatakan, bahwa politik hukum adalah suatu kebijakan yang
ditetapkan pemerintah yang merupakan kewenangan penguasa Negara untuk
menentukan hukum apa yang dapat diterapkan/berlaku di wilayahnya sebagai
pedoman tingkah laku masyarakat dan ke arah mana hukum akan dikembangkan
sebagai alat untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Berdasarkan uraian diatas
pengertian politik hukum adalah bervariasi. Namun dengan meyakini adanya
persamaan substantif antar berbagai pengertian yang ada, tulisan ini mengambil
pengertian bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi : pertama,
pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap
materimateri hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan
ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan
pembinaan para penegak hukum. Dari pengertian tersebut terlihat politik hukum
mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan
sifat dan kearah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.
Politik Hukum Pendidikan (Education Legal Policy) mencangkup
pembuatan hukum pendidikan dan pelaksanaan hukum pendidikan. Hukum
pendidikan dibuat dalam rangka mengimplementasikan tujuan nasional yang
tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu “...mencerdaskan
kehidupan bangsa...”. Undang-undang Dasar 1945, Pasal 31 ayat (2) menyatakan
bahwa: pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan dengan undang-
undang. Pelaksanaan Hukum Pendidikan di Indonesia, sebagai bagian tak
terpisahkan dari bangsa-bangsa lain didunia, hendaknya senantiasa bercermin
untuk intropeksi mengenai peran hukum pendidikan dalam memajukan bangsa
dan negara untuk menuju kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2.2. Kebijakan Pendidikan Dalam Politik Hukum


Kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan publik. Pemahaman
ini didasarkan pada ciri-ciri kebijakan publik secara umum, yakni sebagai berikut:
pertama, kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh Negara, yaitu
berkenaan dengan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif; kedua, kebijakan
publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan
publik, dan bukan mengatur kehidupan orang seorang atau golongan. Kebijakan
publik mengatur semua yang ada dimana lembaga administratur publik
mempunyai domain; ketiga, dikatakan kebijakan publik jika manfaat yang
diperoleh oleh masyarakat yang bukan pengguna langsung dari produk yang
dihasilkan jauh lebih banyak atau lebih besar dari pengguna langsungnya, atau
disebut sebagai eksternalitas.
Harold D Laswell mengatakan bahwa kebijakan publik adalah suatu
program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik yang terarah.
Sedangkan Carl J Frederick mengemukakan bahwa kebujakan publik adalah
serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam
suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan
kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut
dalam rangka mencapai tujuan tetentu. Atau ada pula David Easton yang
mengatakan bahwa kebijakan publik adalah sebuah proses pengalokasian nilai-
nilai secara paksa kepada seluruh masyarakat yang dilakukan oleh lembaga yang
berwenang seperti pemerintah.
Menurut Anderson, implikasi dari pengertian kebijakan publik tersebut
adalah:
1. Bahwa kebijakan publik itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau
merupakan tujuan yang berorientasi pada tujuan;
2. Bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan
pejabat-pejabat pemerintah;
3. Bahwa kebijakan itu adalah apa yang benar-benar dilakukan pemerintah,
jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud, akan melakukan
sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu;
4. Bahwa kebijakan itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa
bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat
negative dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak
melakukan sesuatu;
5. Bahwa kebijakan pemerintah dalam arti yang positif didasarkan atau selalu
dilandaskan pada peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa atau
otoritatif.
UU Sisdiknas menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, Masyarakat, Bangsa, dan
Negara.

2.3. Pengaruh Politik dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia


Kaitan antara pendidikan dan politik sangat erat bahkan selalu berhubungan
sehingga dengan keadaan tersebut dapat diketahui bahwa politik negara sangat
berperan menentukan arah perkembangan pendidikan di suatu negara. Hal ini
diperkuat dengan penelitian dari Borah (2012) bahwa Pemerintah India membuat
begitu banyak kebijakan dan amandemen untuk meningkatkan standar pendidikan.
Pemerintah begitu ketat dalam menerapkan kebijakan dan amandemen baru.
Sementara penelitian dari Wales, dkk. (2016) menyatakan bahwa penerapan
analisis penyelesaian politik dapat membantu menjelaskan pola kemajuan dalam
akses dan kualitas pendidikan, dan untuk mengidentifikasi insentif politik yang
mendasarinya. Tidak berlebihan kiranya bahwa pendidikan sebagai salah satu
upaya atau sarana untuk melestarikan kekuasaan negara. Pendidikan selalu
sepihak, pendidikan yang diberikan oleh pendidik selalu berdasarkan keinginan
pola penguasa yang menetapkan kurikulum. Dan karenanya politik ternyata sangat
berkait erat dengan pendidikan.
Politik adalah kebijakan, siapa yang menguasai politik atau siapa yang
menjadi pemimpin dialah yang kemudian menentukan arah pendidikan. Ketika
sebuah rezim berkuasa selalu berusaha mencitrakan ataupun kerja keras yang
serius untuk mempunyai nilai plus bagi rakyatnya. Dengan harapan akan terpilih
kembali pada periode berikutnya. Itu sebuah kewajaran dari perjuangan politik.
Pendidikan dalam konteks ini dapat dijadikan nilai plus yang dapat diterima
secara massif di seluruh pelosok negeri, langsung menyentuh hajat hidup orang
banyak dan hasilnya bisa dilihat di kemudian hari, atau dengan kata lain, tidak
sekedar memberi tampilan yang baik tetapi dunia pendidikan adalah investasi
besar untuk jangka panjang dan menengah. Nir dan Kafle (2011) dalam
penelitiannya mengungkapkan bahwa stabilitas politik memainkan peran utama
dalam menjelaskan tingkat kelangsungan hidup dalam pendidikan ketika
digunakan sebagai prediktor tunggal atau, ketika diperkenalkan dalam analisis
dengan PDB per kapita. Setelah temuan yang dilaporkan sebelumnya
menunjukkan hubungan kausal antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
stabilitas rezim. Berdasarkan kronologis historis kurikulum pendidikan nasional
telah terjadi perubahan kurikulum dari tahun 1947 hingga tahun 2013.
Perubahan kurikulum terjadi seiring dengan terjadinya perubahan pada
kondisi perpolitikan di Indonesia. Sebagaimana diketahui kurikulum tahun 1947
yang berlaku pada masa kemerdekaan dan dikenal sebagai leer plan, kurikulum
disusun untuk kepentingan pemerintahan pada saat itu yaitu kolonialisme
Belanda. Kurikulum tersebut bertahan hingga tahun 1952. Kurikulum tahun 1952
merupakan bentuk penyempurnaan dari kurikulum 1947 yang diberi nama
Rentjana Pelajaran Terurai. Perubahan ataupun penyempurnaan tersebut juga
masih untuk kepentingan pemerintah saat itu yaitu pemerintahan Republik
Indonesia yang baru. Penyempurnaan kurikulum 1952 ini sudah memiliki arah
untuk sistem pendidikan nasional dimana isi pelajaran dikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadi salah satu indikasi bahwa politik memiliki
hubungan dengan kurikulum. Usai tahun 1964 kembali pemerintah
menyempurnakan kurikulum di Indonesia. Pada tahun 1968 pemerintah kembali
melakukan pembaruan dengan perubahan kurikulum struktur pendidikan dari
Pancawardhana menjadi Pembinaan Jiwa Pancasila, Pengetahuan Dasar, dan
Kecakapan Khusus. Pada tahun 1968 hingga kurikulum 1975 perubahan
kurikulum lebih kepada penyesuaian materi-materi pelajaran dan tujuan
pengajaran agar pendidikan menjadi lebih efisien dan efektif. Barulah pada tahun
1984 muncul kurikulum yang disusun dengan pendekatan kemampuan. Hingga
pada akhir masa kepemimpinan pemerintahan tahun 1998 kurikulum tidak
mengalami banyak perubahan yaitu pada masa kepemimpinan orde baru presiden
Soeharto. 6 Tahun 2004 pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono
(SBY) diberlakukanlah kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Kurikulum pada
masa kepemimpinan SBY, pendidikan lebih menitikberatkan pada kompetensi
guru dan siswa. Selama masa kepemimpinan SBY, perubahan kurikulum terjadi
sebanyak tiga kali. Hingga akhirnya pada tahun 2013 ditetapkan pemerintah
Kurikulum 2013 (Kurtilas).
Pada pelaksanaan kurikulum ini pemerintah juga melakukan kebijakan-
kebijakan dengan melakukan perampingan materi pelajaran dan pada tanggal 4
Desember 2014 Kurikulum 2013 diberhentikan dan dikembalikan ke KTSP 2006.
Sebagaimana kronologis perubahan-perubahan kurikulum tersebut, ternyata
terjadi saat ada perubahan kondisi perpolitikan di Indonesia. Perubahan politik
ternyata diikuti dengan adanya perubahan kebijakan-kebijakan kurikulum dalam
sistem pendidikan nasional. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh politik
dengan sistem pendidikan nasional yang teridentifikasi dengan adanya perubahan
kurikulum di Indonesia. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Maryanto, dkk.
(2017), bahwa politik mempengaruhi revitalisasi kurikulum. Hasil yang
merupakan model revitalisasi kurikulum harus dilaksanakan pemantauan dan
evaluasi yang perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pencapaian dan hasil
yang diharapkan. Hasil pemantauan dan evaluasi akan berfungsi sebagai
rekomendasi untuk mengembangkan dan atau meningkatkan kurikulum yang akan
datang.
Hal ini juga diperkuat oleh Nkyabonaki (2013) yang menyatakan bahwa
efisiensi dan penyampaian pendidikan yang efektif di bawah sistem pendidikan
yang terdesentralisasi dan diliberalisasi sebagaimana diatur dalam dokumen
kebijakan Pendidikan dan Pelatihan memerlukan pemantauan yang lebih ketat
terhadap sekolah serta mekanisme umpan balik yang memadai antara pengawas
sekolah dan lembaga pendidikan, manajer dan administrator di zona, daerah dan
tingkat distrik. Politik dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia juga
berpengaruh pada anggaran pendidikan. Pendanaan Pendidikan seperti yang telah
disebutkan dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 bahwa Negara meprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN/APBD dengan
kenyataan dan 7 praktik pendanaan pendidikan. Kenyatannya bahwa anggaran
penyelenggaraan pendidikan sebesar 20% APBN/APBD tersebut didalamnya
sudah termasuk gaji guru dan lain-lain. Ketidakonsistenan dalam pendanaan
pendidikan meyebabkan sarana pendukung pendidikan seperti gedung sekolah,
lapangan olahraga, dan alat prasarana lainnya menjadi tidak sesuai dengan
kebutuhan. Hal ini didukung dengan hasil penelitian dari Sukasni dan Efendy
(2017) bahwa adanya fakta-fakta yang menunjukkan ada yang tidak beres dalam
pelaksanaan sistem pendidikan nasional di Indonesia. Kesalahan tersebut salah
satunya dapat dilihat dari politik anggaran. Politik juga berpengaruh terhadap
sumberdaya pendidikan seperti gaji guru, sarana prasarana penunjang kegiatan
belajar, dan pelatihan.
Salah satu hal penting dalam pengembangan proses pembelajaran yang
bermakna adalah tersedianya guru-guru yang profesional. Dari 2,7 juta guru di
Indonesia, kualifikasi pendidikannya masih rendah, yaitu 65% pendidikan guru
mereka dibawah 4 tahun. Penyediaan guru yang profesional selama ini terabaikan.
Jika jabatan profesionalitas guru disejajarkan dengan jabatan profesional lainnya
seperti dokter dan pengacara, maka profesionalitas guru masih tertinggal. Dalam
UU No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang menuntut guru sebagai
pendidikan bertaraf A1 dan D4+. Salah satu kekurangan dalam pendidikan guru
sebelum menjabat sebagai guru yaitu praktek profesional. Pada tahap ini selama 2
semester para mahasiswa belajar menerapkan berbagai pengetahuan dasar
akademik profesional. Para mahasiswa 2/3 waktunya berada dalam lingkungan
sekolah untuk mengamati, memimpin, dan membimbing proses pembelajaran
dibawah supervisi tim dosen profesional. Kebijakan sertifikasi guru, awalnya
sebagai upaya untuk menjadikan guru yang ada menjadi guru yang profesional.
Namun beberapa indikasi menunjukkan kebijakan sertifikasi guru gagal
menjadikan guru menjadi profesional. Karena guru yang mengejar sertifikasi
hanya semata-mata bermotif mengejar tunjangan sertifikasi, setalah mereka
mendapatkan sertifikat, tidak ada tanda-tanda mereka berubah menjadi guru
profesional, baik dalam merancang, mengembangkan, melaksanakan, menilai, dan
mendiagnosa berbagai masalah yang dihadapi peserta didik terlihat tidak bedanya
8 antara guru yang bersertifikat dengan yang belum bersetifikat. Kenyataanya
sejalan dengan temuan penelitian dari Sukasni dan Efendy (2017) bahwa salah
satu ketidakberesan dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional di Indonesia
adalah adanya politik organisasi pendidikan dalam mempersiapkan guru
profesional.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Politik hukum merupakan kebijakan publik dari penyelenggaran negara
yang menetapkan arah tujuan dan maksud yang akan dicapai suatu bidang
pembangunan, serta dimuat dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan
negara. UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan telah menggariskan
secara jelas politik hukum nasional terhadap kebijakan dan arah pendidikan di
Indonesia. Pendidikan nasional telah memiliki landasan hukum yang kuat serta
arah berupa visi dan misi yang merupakan pedoman bagi pemerintah dan
masyarakat Indonesia untuk dilaksanakan. UUD 1945 menetapkan hak setiap
warga negara untuk memperoleh pendidikan dan kewajiban pemerintah untuk
“mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional”
Politik dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia berpengaruh pada
Sistem Pendidikan Nasional. Perubahan kurikulum tersebut ternyata terjadi saat
ada perubahan kondisi perpolitikan di Indonesia. Perubahan politik ternyata
diikuti dengan adanya perubahan kebijakan-kebijakan kurikulum dalam sistem
pendidikan nasional. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh politik
dengan sistem pendidikan nasional yang teridentifikasi dengan adanya perubahan
kurikulum di Indonesia. Pengaruh politik terhadap kurikulum dalam sistem
pendidikan nasional secara aktual adalah adanya penghapusan beberapa mata
pelajaran, pengurangan dan penggabungan materi pelajaran dengan tujuan
efisiensi dan efektivitas pendidikan. Pengaruh politik di dalam dunia pendidikan
sangatlah kuat, perubahan kurikulum yang disebabkan faktor politik banyak
menimbulkan masalah-masalah baru. Namun, para pengambil kebijakan di bidang
pendidikan tetap bersikap kurang peduli dan tidak mau mengambil keputusan
apapun untuk menjadikan dunia pendidikan bersih dari praktik-praktik bisnis
politik.
3.2. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat
banyak kesalahan, oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan masukan yang
membangun agar kedepannya penulis dapat menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Ardiwisastra, 2010, Yudha Bhakti, Politik Hukum Lanjut, Bandung: Course


Material (IV) Dalam Mata Kuliah Politik Hukum Lanjut pada Program Doktor
Hukum UNPAD.

Azzet, Akhmad Muhaimin, 2011, Pendidikan Yang Membebaskan, Yogyakarta,


ARRUZZ MEDIA.

Kusumaatmadja, Mochtar, 2002, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan:


Kumpulan Karya Tulis Prof. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M, Bandung:
Alumni

MD, Moh Mahfud, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,


Jakarta: Pustaka LP3ES.

Muchsin, 2007, Politik Hukum Dalam Pendidikan Nasional, Surabaya: Pasca


Sarjana Universitas Sunan Giri.

Saragih, Bintan R, 2006, Politik Hukum, Bandung: CV. Utomo.

Yanuarto, 2005, Survey Tentang Pelaksanaan Hukum Pendidikan Dalam Upaya


Mencerdaskan Kehidupan Bangsa pada Dinas Pendidikan Kota Tegal Tahun
2005.

Anda mungkin juga menyukai