Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA DALAM


FILM GURU BANGSA TJOKROAMINOTO

JURUSAN
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Seiring perkembangan teknologi dan komunikasi yang semakin maju, dunia
perfilman di Indonesia dihiasi dengan berbagai film yang menceritakan tentang
nasionalisme. Sineas-sineas perfilman Indonesia banyak yang mengangkat kisah
tokoh pahlawan yang dikemas dengan menggunakan setting lokasi, kostum,
bahkan akting pemain yang hampir menyerupai tokoh aslinya. Cerita dalam film
dikemas sedemikian rupa agar menarik minat masyarakat untuk menonton. Tidak
heran jika sebuah film bisa mempengaruhi pemikiran serta perilaku khalayak
setelah menonton film tersebut.
Film Guru Bangsa Tjokroaminoto yang disutradarai oleh Garin Nugroho ini
menceritakan tentang kisah salah satu tokoh pahlawan Indonesia yang mendirikan
sebuah organisasi bernama Sarekat Islam, yaitu H. Oemar Said Tjokroaminoto.
Film ini diproduseri oleh enam produser sekaligus yang namanya tidak asing lagi
di dunia perfilman Indonesia, yaitu Christine Hakim, 3 Didi Petet, Dewi Umaya
Rachman, Sabrang Mowo Damar Panuluh, Nayaka Untara, dan Ari Syarif. Tokoh
Tjokroaminoto sendiri diperankan oleh Reza Rahadian yang menjadi pemain
utama pada film ini. Ada beberapa pemain yang namanya sudah dikenal dalam
dunia perfilman Indonesia seperti Christine Hakim, Alex Komang, Ibnu Jamil,
Chelsea Islan, Tanta Ginting, Deva Mahenra, dan juga pendatang baru Putri
Ayudya. Pada film ini, Deva Mahenra berperan sebagai Soekarno, Tanta Ginting
berperan sebagai Semaoen, sedangkan Chelsea Islan berperan sebagai penjual
buku dan koran berdarah Indonesia-Belanda.
Film Guru Bangsa Tjokroaminoto menceritakan masa setelah Indonesia
lepas dari era tanam paksa di akhir tahun 1800, Hindia Belanda (Indonesia)
memasuki era baru yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat, yaitu gerakan
Politik Etis yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Padahal kemiskinan masih
banyak terjadi, rakyat masih banyak yang belum mendapatkan pendidikan dan
kesenjangan sosial antar etnis dan kasta masih sangat terlihat jelas. Oemar Said
Tjokroaminoto (Tjokro) lahir dari kelas bangsawan Jawa, tidak tinggal diam
melihat kondisi tersebut. Walaupun Tjokro berasal dari keluarga ningrat yang
hidup dengan nyaman, Tjokro berani meninggalkan status kebangsawanannya dan
bekerja sebagai kuli pelabuhan. Hingga akhirnya Tjokro merasakan penderitaan
rakyat jelata.
Tjokro berjuang untuk menyamakan hak dan martabat masyarakat
bumiputera di awal 1900. Kesenjangan sosial antara kaum buruh/tani dengan
kaum borjusi yang terasa sangat kontras membuat Tjokroaminoto untuk berjuang
bersama rakyat Indonesia dengan mendirikan organisasi Sarekat Islam serta
organisasi Bumiputera. Dengan pola pikir Tjokroaminoto yang cerdas serta
keahlian dalam berorasi, Tjokroaminoto mulai mengajak rakyat Indonesia untuk
melawan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Aksi-aksi
Tjokroaminoto akhirnya tercium oleh pemerintah Hindia Belanda dan menjadikan
Tjokroaminoto orang yang paling dicari oleh pemerintahan kolonial pada saat itu.
Perjuangan Tjokroaminoto dalam memperjuangkan hak kaum buruh/tani
mengalami masalah ketika organisasi yang ia pimpin mengalami perpecahan.
Penjelasan yang telah dipaparkan peneliti di atas menjadi alasan peneliti untuk
melakukan penelitian mengenai Sistem Pendidikan pada film Guru Bangsa
Tjokroaminoto.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah penulisan makalah ini, antara lain:
1) Bagaimana sistem pendidikan pada film Guru Bangsa Tjokroaminoto?
2) Bagaimana perbandingan sistem pendidikan Indonesia dengan Belanda?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini, antara lain:
1) Mengetahui sistem pendidikan pada film Guru Bangsa Tjokroaminoto?
2) Mengetahui perbandingan sistem pendidikan Indonesia dengan Belanda?
BAB II
METODE PENELITIAN
Adapun metode penelitian kajian pustaka atau studi kepustakaan yaitu
berisi teori teori yang relevan dengan masalah – masalah penelitian. Pada bagian
ini dilakukan pengkajian mengenai konsep dan teori yang digunakan berdasarkan
literatur yang tersedia, terutama dari artikel-artikel yang dipublikasikan dalam
berbagai jurnal ilmiah. Kajian pustaka berfungsi untuk membangun konsep atau
teori yang menjadi dasar studi dalam penelitian. Kajian pustaka atau studi pustaka
merupakan kegiatan yang diwajibkan dalam penelitian,khususnya penelitian
akademik yang tujuan utamanya adalah mengembangkan aspek teoritis maupun
aspek manfaat praktis. Sehingga dengan menggunakan metode penelitian ini
penulis dapat dengan mudah menyelesaikan masalah yang hendak diteliti.
Dilihat dari jenis penelitiannya, adapun jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research, yakni
penelitian yang dilakukan melalui mengumpulkan data atau karya tulis ilmiah
yang bertujuan dengan obyek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat
kepustakaan, atau telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah
yang pada dasarnya tertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap
bahan-bahan pustaka yang relevan.
Sebelum melakukan telaah bahan pustaka, peneliti harus mengetahui
terlebih dahulu secara pasti tentang dari sumber mana informasi ilmiah itu akan
diperoleh. Adapun beberapa sumber yang digunakan antara lain; bukubuku teks,
jurnal ilmiah,refrensi statistik,hasil-hasil penelitian dalam bentuk skripsi, tesis,
desertasi,dan internet, serta sumber-sumber lainnya yang relevan. Dilihat dari
sifatnya, maka penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, penelitian deskriptif
berfokus pada penjelasan sistematis tentang fakta yang diperoleh saat penelitian
dilakukan
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Profil Film Guru Bangsa Tjokroaminoto


Film berlatar perjuangan nasional ini bercerita tentang hidup-juang salah
satu tokoh pioneer pergerakan modern Indonesia, Haji Oemar Said Tjokroaminoto
(diperankan Reza Rahardian). Kisah ini dimulai dengan Tjokro kecil yang melihat
penderitaan pekerja-pekerja perkebunan kapas yang dianiaya oleh mandor-mandor
Belanda. Kegelisahan Tjokro terhadap keadaan juga diperlihatkannya di sekolah,
dimana dia berani berdebat dengan guru Belanda totok. Tjokro yang berasal dari
keluarga bangsawan berkesempatan menempuh studi Administrasi Pemerintahan
di Magelang, Jawa Tengah. Kemudian, Tjokro menjadi salah satu pegawai
pemerintahan Hindia Belanda dengan posisi sebagai juru tulis. Saat usia Tjokro
memasuki dewasa, pada 1904 Tjokro menikah dengan seorang puteri Bupati
Ponorogo. Tak lama setelah menikah, Tjokro memutuskan hijrah ke Semarang
setelah mengundurkan diri dari pekerjaannya, sementara istrinya yang sedang
hamil tetap tinggal di Ponorogo. Hijrah ini telah terpikirkan sejak lama dan juga
didorong kata-kata kakeknya tentang hijrah. Di Semarang inilah Tjokro mulai
masuk dalam pergerakan politik untuk memperjuangkan nasib bumi putera. Pada
suatu saat Tjokro pulang untuk melihat anaknya yang saat itu telah lahir. Mertua
Tjokro saat itu memang masih marah akibat Tjokro yang dulu mengundurkan diri
dari pekerjaannya. Pada 6 Januari 1913, Tjokro hijrah lagi ke Surabaya. Kali ini,
istri dan anaknya ikut pindah bersama dengan Tjokro. Dari bertemu Haji
Samanhudi pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI), mengumpulkan pengikut,
mengubah “Sarekat Dagang Islam” menjadi “Sarekat Islam (SI)”, mengganti
blangkon dengan peci, hingga bersama pengikutnya menentukan arah perjuangan.
Tjokro bertekad menjadikan SI sebagai organisasi yang mengayomi seluruh
lapisan rakyat Indonesia. Dalam film ini disebutkan bahwahanya dalam waktu
empat tahun setelah didirikan, SI sudah memiliki lebih dari 180 cabang dengan
700 ribu anggota di seluruh pelosok Indonesia. Jumlah ini meningkat dua puluh
kali lipat dari jumlah anggota pada masa awal pendirian SIyang disebutkanpada
film iniPidato-pidato Tjokro juga mampu menumbuhkan semangat kebangsaan
serta harapan kemerdekaan dan keadilan bagi rakyat jelata. Tjokro banyak
menyuarakan tentang persamaan kedudukan antara pemerintah Hindia Belanda,
priyayi, dan masyarakat kecil. Oleh karena itu, rakyat banyak menyebut Tjokro
sebagai “Ratu Adil” atau “Kesatria Piningit”, karena dalam kurun waktu 70 tahun
sejak mangkatnya Pangeran Diponegoro tidak ada lagi pemimpin yang mendapat
kedudukan khusus di hati rakyat. Hal ini juga disebutkan oleh kyai yang ditemui
Tjokro saat Tjokro hijrah. Sebab besarnya pengaruh Tjokro di tengah masyaraka
titulah, perintah Belanda menjulukinya “Raja Jawa Tanpa Mahkota”

3.2. Gambaran Sistem Pendidikan Film Guru Bangsa Tjokroaminoto


Politik etis membawa pengaruh positif bagi pemerintah kolonial Belanda
maupun rakyat bumiputra. Pengaruh politik ini antara lain ialah: (1) pendidikan
lebih luas tidak hanya untuk lapisan atas saja tetapi juga lapisan bawah agar
orang-orang Indonesia lambat laun dapat menduduki tempat-tempat yang sampai
saat itu diduduki oleh orang-orang Belanda. Selain itu keuntungan dari pihak
pemerintah kolonial Belanda lebih mudah mencari orang-orang yang lebih cakap
dan terampil untuk dipergunakan sebagai pegawai bawahan di kantor-kantor dan
perusahaan Belanda, (2) kemajuan bagi bahasa dan kebudayaan Barat, karena
kesempatan untuk belajar bahasa Belanda diperluas. Tidak dapat dipungkiri
bahwa bahasa Belanda merupakan kunci untuk memasuki dunia kerja pada waktu
itu, (3) jumlah sekolah-sekolah diperbanyak dan tersebar di seluruh Indonesia
(Depdikbud, 1984:61). Sistem pendidikan berupa sekolah-sekolah yang bercorak
Barat diperbanyak oleh pemerintah kolonial Belanda supaya tiap orang
Bumiputera mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan Barat sampai
setinggi-tingginya.
Berikut akan dijelaskan mengenai komponen-komponen sistem pendidikan
pada jaman kolonial Belanda di Indonesia yang terdiri dari tujuan pendidikan,
kurikulum, peserta didik, pendidik atau guru, anggaran, dan lulusan atau tamatan.
Tujuan pendidikan selama periode kolonial memang tidak pernah
dinyatakan secara tegas, tetapi dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan
antara lain adalah untuk memenuhi keperluan tenaga buruh kasar untuk
kepentingan kaum modal Belanda, di samping ada sebagian yang dilatih dan
dididik untuk menjadi tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan
lainlain yang diangkat sebagai pekerja-pekerja kelas dua atau kelas tiga.
Kebutuhan akan tenaga kerja semakin meningkat karena disesuaikan dengan
perkembangan Industri Belanda yang semakin lama semakin berkembang, maka
dari itu pemerintah kolonial membutuhkan tenaga kerja terdidik untuk mengisi
kursi kepegawaian pemerintah kolonial.
Mengenai mata pelajaran yang diajarkan, ada empat mata pelajaran yang
diharuskan yaitu membaca, menulis, bahasa (bahasa Belanda wajib diajarkan),
dan berhitung. Menurut Mudyaharjo (2006:266) sistem persekolahan pada jaman
kolonial Belanda abad ke-20 terdiri atas tiga jenjang pendidikan, yaitu (1)
pendidikan rendah (Lagere Onderwijs), yang dibagi menjadi 2, yaitu Sekolah
Eropa dan Sekolah Bumiputra, (2) pendidikan lanjutan atau menengah
(Middlebaar Onderwijs), (3) pendidikan tinggi (Hooger Onderwijs). Jadi bisa
disimpulkan bahwa tiap jenjang pendidikan tersebut memiliki kurikulum yang
berbeda. Pendidikan rendah memiliki kurikulum yang sama dalam hal mata
pelajaran yang diajarkan yaitu membaca, menulis, bahasa, dan berhitung.
Sedangkan kurikulum Pendidikan Menengah (Middlebaar Onderwijs) meliputi
mata pelajaran fisika, kimia, matematika, geografi, biologi, kosmografi,
menggambar garis, menggambar tangan, bahasa Jerman, bahasa Perancis, bahasa
Belanda, bahasa Inggris, botani, geometri, berhitung dan aljabar dan tata buku
(hanya di AMS dan HBS, tidak diberikan di MULO). Kurikulum di Pendidikan
Tinggi meliputi mata pelajaran penegtahuan alam, pertanian, mengukur tanah
(kadaster), botani, biologi, etnologi, dan menggambar (meniru gambar).
Masyarakat Indonesia pada tahun 1920 dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
Golongan Eropa, Golongan Bumiputra, dan Golongan Timur Asing (Cina). Jadi
sekolah-sekolah pada masa politik etis hingga berakhirnya jaman Hindia Belanda
dimasuki oleh peserta didik yang berkebangsaan Belanda (mayoritas), Cina, dan
Indonesia (minoritas). Tenaga pendidik atau guru disesuaikan dengan jenjang
pendidikan. Tiap jenjang pendidikan mulai dari pendidikan rendah, menengah,
dan tinggi tentu mempunyai kriteria dan syarat tertentu bagi guru untuk bisa
mengajar di sekolah. Pada tahun 1848 Gubernur Jenderal Van den Bosch
diberikan kuasa untuk mempergunakan uang dari anggaran belanja negara
sejumlah f 25.000 tiap tahun untuk mendirikan sekolah-sekolah bagi penduduk
Pulau Jawa, terutama untuk mendidik calon-calon pegawai. Biaya yang
disediakan pada tahun 1883 menjadi f 400.000 untuk Pulau Jawa saja, sedangkan
untuk seluruh Indonesia sebesar f 1.196.000 (f = florin = gulden = rupiah
Belanda) (Gunawan, 1986:13-14). ketika politik etis mulai dijalankan anggaran
menjadi lebih besar dengan pemberian bantuan sebesar 40.000.000 gulden untuk
menjalankan trilogi politik etis yang salah satunya adalah pendidikan.
Jumlah murid yang menamatkan sekolahnya dengan memperoleh ijazah
lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah anak putus sekolah. Hanya 8 – 10
persen dari anak wanita dan sekitar 30 persen dari anak pria yang berhasil
menamatkan pelajarannya. Komponen-komponen sistem pendidikan pada jaman
kolonial Belanda di Indonesia tahun 1900-1942 seperti tujuan pendidikan,
kurikulum, peserta didik, pendidik atau guru, anggaran, dan lulusan atau tamatan
merupakan satu kesatuan yang sistematis antara satu dengan yang lainnya. Jadi
antara komponen pendidikan satu dengan komponen pendidikan yang lain tidak
bisa dipisahkan, karena merupakan motor penggerak pendidikan. Komponen-
komponen pendidikan tersebut juga ada dalam pendidikan nasional di jaman
setelah kemerdekaaan seperti sekarang, hanya saja substansi dan orientasinya saja
yang berbeda.
Sistem pendidikan kolonial Belanda di Indonesia tahun 1900-1942 memiliki
komponen-komponen pendidikan yang terdiri dari (1) tujuan pendidikan; (2)
kurikulum; (3) peserta didik; (4) pendidik atau guru; (5) anggaran pendidikan; (6)
lulusan atau tamatan. Komponenkomponen tersebut harus ada dalam pendidikan
karena merupakan sebuah sistem yang menggerakkan pendidikan sehingga
pengajaran dapat berjalan.
Sistem penyelenggaraan pendidikan yang diterapkan pemerintah Hindia
Belanda terhadap masyarakat Indonesia khususnya Jawa tampak jelas adanya
perlakuan yang berbeda, baik itu bagi anak-anak Eropa, Cina, maupun bagi
pribumi sendiri. Hal ini dapat dilihat dengan dibedakannya kesempatan untuk
memasuki sekolah bagi golongan atas (bangsawan) dan bagi golongan bawah
(rakyat biasa). Untuk memasuki sekolah tertentu masih dipersulit dengan aturan-
aturan yang memberatkan, ditambah lagi dengan biaya yang sangat mahal. Hal ini
memang sengaja dilakukan oleh pemerintah untuk menghalangi rakyat biasa
memasuki sekolah yang khusus untuk anak-anak Eropa, sehingga bagi rakyat
Bumiputera terutama bagi rakyat biasa hanya bisa menduduki sekolah pada
tingkat rendah saja. Adapun bagi golongan atas atau bangsawan dapat terus
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi sampai perguruan tinggi.

3.3. Perbandingan Sistem Pendidikan Belanda dan Indonesia


Ada dua hal yang menarik perhatian penulis dalam sistem pendidikan
Belanda, pertama, perhatian pemerintah Belanda yang sangat besar terhadap
pelayanan pendidikan terhadap anak-anak cacat (handicapped children), dan ke
dua, peran inspektorat pendidikan yang besar dalam mengontrol pelaksanaan
pendidikan termasuk pengawasan kualitas penididikan.
Masalah pendidikan anak cacat sesungguhnya adalah persoalan
kemanusiaan. Pada umumnya sistem pendidikan Negara-negara mencantumkan
dan mengungkapkan secara eksplisit atau hanya secara implisit bahwa anak-anak
yang menderita kelainan- fisik, mental atau tingkah laku, merupakan tanggung
jawab pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan. Sebagaimana anak-
anak normal lainnya, mereka harus mendapat kesempatanyang sama dalam
berpendidikan. Dengan pendidikan, potensi yang ada pada mereka dapat
dikembangkan sehingga berguna dalam kehidupannya. Mengabaikan potensi
mereka, bukan hanya membuat mereka makhluk yang tidak produktif dalam
masyarakat negara, tetapi yang lebih mendasar lagi adalah mereka dibuat oleh
lingkungan masyarakatnya menderita lahir batin, walaupun mereka mungkin tidak
menyadarinya atau tidak mau dan tidak mampu mengungkapkannya. Kenyataan
banyak menunjukan bahwa banyak diantara penderita cacat yang menjadi orang-
orang yang produktif dan dapat menyumbang untuk hidup dan kehidupannya
sendiri, dan bahkan juga bermanfaat bagi orang lain. Melalui program-program
pendidikan khusus (special edukatif) hargadiri mereka yang sering terancam dapat
dipulihkan kembali, dan mereka memperoleh kepuasan hidup seperti kebanyakan
anak-anak lain yang normal.
Sistem pendidikan Belanda ternyata unggul dalam hal ini. Ini tercermin
dalam banyaknya lembaga-lembaga pendidikan yang disediakan dan jumlah anak-
anak cacat yang mengikuti program pendidikan khusus ini. Statistic tahun 1991
menunjukan bahwa terdapat 1,004 buah lembaga atau sekolah bagi anak-anak
cacat dengan 109,000 anak yang dilayani. Tingkat umur anak yang berpartisipasi
dikelompokan dalam tiga kategori: tingkat prasekolah tercatat 3000 orang anak;
tingkat sekolah dasar 74,000 orang; dan tingkat sekolah menengah32,000 orang.
Penyediaan guru oleh pemerintah juga sangat baik, dengan rasio murid –guru 6:1.
kira-kira 12% peserta adalah anak-anak dari kelompok masyarakat minoritas.
Hasil pendidikan khusus ini dapat dilihat dengan cukup banyaknya anak-anak
yang ikut dalam program yang mampu dan mau melanjutkan pendidikannya
ketingkat yang lebih tinggi dan bergabung dengan anak-anak normal. Terctat 60%
anak-anak cacat tingkat sekolah dasar melanjutkan sekolahnya ketingkat sekolah
menengah, dan kira-kira 6% dari tingkat prasekolah melanjutkan ke pendidikan
dasar. Undang-undang mengenai pendidikan khusus ini telah ditetapkan pada
tahun 1985 yang isinya antaralain mendorong anak-anak pendidikan khusus
transfer ke sekolah-sekolah biasa dengan kurikulum yang sama, dan dimana perlu
di modifikasi sesuai dengan keadaan setempat.
Dilihat dari jumlah anak dan jumlah sekolah pendidikan khusus ini
kelihatannya tidak begitu besar, tetapi dalam ukuran Negara Belanda yang sangat
kecil wilayahnya dan dengan jumlah penduduk dan anak usia sekolah yang juga
kecil, pemerintah Belanda dapat dikatakan lebih maju dalam program ini. Dana
pendukung program juga cukup besar, termasuk penyediaan guru yang didik
secara khusus. Dengan baiknya pendidikan khusus Belanda ini APK (Angka
Partisipasi Kasar) murid SD di Belanda mencapai 108% dan APM (Angka
Partisipasi Murni) 100%. Karena itupula angka literasi negeri Belanda 100%.
Sebagaimana diyakini oleh para ahli, tingkat literasi suatu negara menjadi salah
satu indikator keadaan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat negara
itu dan implisit keadaan kualitas kehidupan rakyatnya.
Dalam hal pengawasan pendidikan dalam segala aspeknya akan berdampak
pada mutu pendidikan, dan dalam hal ini pemerintah Belanda pengawasan internal
oleh lembaga sekolah sendiri. Ini terlihat dari peran inspektorat pendidikan yang
sangat besar. Lembaga ini berfungsi sebagai badan independent yang bertanggung
jawab kepada Menteri Pendidfikan dan Ilmu Pengetahuan, dan bahkan juga
menyampaikan laporannya kepada parlemen Belanda.
Secara umum inspektorat pendidikan bertugas mengawasi dan meneliti
apakah semua peraturan, ketentuan, kebijakan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah c.q. Kementerian pendidikan dan Ilmu Pengetahuanterlaksana dengan
baik. Disamping itu, Inspektorat pendidikan juga berkewajiban mengajukan
proposal mengenai pendidikan kepada menteri dan memberikan saran, baik
diminta atau atas inisiatif sendiri. Secara lebih rinci inspektorat pendidikan
menginvestigasikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kurikulum
pendidikan untuk semua tingkat terutama tingkat pendidikan prasekolah,
pendidikan dasar dan menengah. Badan ini juga mengawasi dan memeriksa
administrasi umum dan keuangan, melakukan penilaian terhadap rencana kerja
sekolah, memeriksa silabus dan rencana pelajaran. Semua informasi dan masalah
yang ditemukan dilapangan, dianalisis, disimpulkan dan dilaporkan pada menteri.
Menteri juga menugaskan inspektur pendidikan menyampaikan laporan pada
parlemen.
Yang paling menarik adalah kemampuan dan kekonsistenan personil
inspektorat pendidikan ini menjaga kenetralan dan keindependenannya dalam
melaksanakan tugas pengawasan ini. Hal ini terbukti berjalan sangat efektif
dengan terwujudnya kualitas pendidikan di Belanda, walapun banyak pihak-pihak
yang masih belum puas. Secara komparatif, badan pengawas pendidikan ini cukup
efektif dalam menjalankan fungsinya dan memiliki kredilitas tinggi.
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Kebijaksanaan sistem pendidikan kolonial Belanda di Indonesia tahun 1900-
1942 memang tidak bisa terlepas dari (1) ciri-ciri pendidikan kolonial Belanda,
seperti gradualisme, dualisme, kontrol sentral yang kuat, keterbatasan tujuan
pendidikan, prinsip konkordansi, dan tidak adanya perencanaan pendidikan yang
sistematis; (2) kebijakan Gubernur Jenderal Belanda terhadap sistem pendidikan
di Indonesia. Segala masalah atau urusan pendidikan dimainkan dan diatur oleh
pemerintah. Segala macam bentuk perubahan dalam hal pendidikan seberapa pun
kecilnya harus melalui ijin Gubernur Jenderal. Antara tahun 1900 hingga 1942
terjadi beberapa pergantian kedudukan Gubernur Jenderal yang memimpin Hindia
Belanda, jadi bisa disimpulkan bahwa terjadi pergantian kebijakan juga dalam hal
pendidikan karena setiap Gubernur Jenderal sudah pasti memiliki pemikiran yang
berbeda tentang pendidikan dan pengajaran.
Sistem pendidikan kolonial Belanda di Indonesia tahun 1900-1942 memiliki
komponen-komponen pendidikan yang terdiri dari (1) tujuan pendidikan; (2)
kurikulum; (3) peserta didik; (4) pendidik atau guru; (5) anggaran pendidikan; (6)
lulusan atau tamatan. Komponen-komponen tersebut harus ada dalam pendidikan
karena merupakan sebuah sistem yang menggerakkan pendidikan sehingga
pengajaran dapat berjalan
Perbedaan sistem pendidikan di Belanda adalah  penjurusan yang sudah
dimulai sejak pendidikan di tingkat dasar dengan mempertimbangkan minat dan
kemampuan akademis dari siswa yang bersangkutan.
         Basisschool (Sekolah Dasar) di Belanda berlangsung 8 tahun, terhitung dari
grup 1 (kelas 0 Kecil di Indonesia), grup 2 (kelas 0 Besar di Indonesia) dan
grup 3 s/d grup 8 (kelas 1 s/d 6 Sekolah Dasar di Indonesia).
        Raport siswa di Basisschool memuat 44 butir pendidikan. Banyaknya items
yang harus dinilai oleh Basisschool membuat pihak sekolah betul-betul dapat
mengenali bakat, mentalitas dan budaya para siswanya.
        Di Belanda ada 2 macam institusi pendidikan tinggi. Yang pertama adalah
HBO atau hoger beroepsonderwijs, yang terjemahan  bebasnya dalam bahasa
Indonesia “pendidikan kejuruan tinggi”,
        Dan yang kedua institusi berjenis WO biasanya disebut Universiteit
(universitas) atau Technische Universiteit (universitas teknik). Dalam bahasa
Inggris institusi seperti ini biasanya disebut University dan University of
Technology.

4.2. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat
banyak kesalahan, oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan masukan yang
membangun agar kedepannya penulis dapat menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, A. M. (2019). pesan kepemimpinan dalam film guru bangsa tjokroaminoto


analisis semiotika (Doctoral dissertation, IAIN PONOROGO).

Damayanti, D., & Azwar, A. (2017). Pengaruh Tayangan Film “Guru Bangsa:
Tjokroaminoto” terhadap Rasa Nasionalisme Siswa-Siswi SMUN 4
Depok. Prosiding Konferensi Nasional Komunikasi, 1(01).

Fajar Shidiq Sofyan Heru, H., & Nurul Umamah, U. SISTEM PENDIDIKAN KOLONIAL

BELANDA DI INDONESIA.Indainanto, Y. I. (2017). Representasi Kepemimpinan


Hadji Oemar Said Tjokroaminoto Dalam Film (Analisis Semiotika Film Guru
Bangsa Tjokroaminoto) (Doctoral dissertation).

Maksum, H. (2016). Perbandingan Pendidikan Jasmani di Indonesia dan


Belanda. Jurnal Pendidikan Olah Raga, 3(2), 131-145.

Setyaningsih, E. G. (2016). Analisis Semiotik Nilai-Nilai Nasionalisme Dalam


Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” (Bachelor's thesis, FAKULTAS ILMU
DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2016 M).

Anda mungkin juga menyukai