Anda di halaman 1dari 38

Tugas Makalah Untuk UAS

Pancasila,Kebhinekaan,Dan Bersosial Media.


Disusun untuk memenuhi Tugas
Dosen Pengampu : Zhilal El Furqan,M.Pd

Disusun oleh :
Putri Aulia Miftahuljannah (2106647934)

Administrasi Perkantoran B
Progam Pendidikan Vokasi
Universitas Indonesia
2021
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Penulis panjatkan puji syukur kehadirat-Nya atas berkat, rahmat, hidayah
serta inayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyusun penulisan makalah ini yang berjudul “ Pancasila, Kebhinekaan dan
Bersosial Media”.
Dalam penyelesaian penulisan makalah ini penulis memdapatkan bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik.
Dengan itu pada kesempatan ini penulis ingin berterimakasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Terlepas dari segala hal tersebut, penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan masukan serta kritik yang berguna untuk membangun
penulis dalam memperbaikan dan dapat menjadi lebih baik kedepannya.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi baik untuk penulis dan pembaca.
Senin, 13 Desember 2021

Putri Aulia Miftahuljannah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I.................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN...................................................................................................2
1.1. Latar Belakang..........................................................................................2
1.2. Tujuan.......................................................................................................2
1.3. Rumusan Masalah.....................................Error! Bookmark not defined.
BAB II................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN.....................................................................................................2
2.1. Error! Bookmark not defined.
BAB III.................................................................................................................. 2
PENUTUP............................................................................................................ 2
3.1. Kesimpulan...............................................................................................2
3.2. Saran........................................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................2

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pancasila merupakan dasar falsafah negara Indonesia. pernyataan tersebut
memberikan makna bahwa Indonesia menjadikannya sebagi pedoman dalam
melaksanakan dan mnyelenggarakan sistem pemerintahan. Hal itu berarti pancasila
sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang akan menjadi dasar untuk
menyatukan seluruh rakyat. Selain itu juga, pancasila dapat menjadi pertahanan
Bangsa Indonesia sehigga bagi bangsa menyebutnya ideologi sakti yang dapat
menyatukan berbagai suku dan bangsa dan tidak ada yang dapat menjatuhkannya
karena memiliki kompone-komponen kekuatan dari masyarakat Negara Indonesia.
Dasar negara indonesia memilliki banyaks ekali terkandung nilai-nilai yang telah sejak
dahulu di terapkan bangsa Indonesia dalam kehidupannya. Nilai kebudayaan,
peradatan dan keagamaan itulah yang terkandung dalam pancasila sehingga nilai
tersebut telah sangat melekat dalam kehidupaan bangsa dan telah menjadikannya
pandangan hidup. Semua yang terjadi dalam masyuarakat Indonesia telah tercermin
daripada nilai Pancasila. Oleh karena itu para leluhur pendiri bangsa ini menjadikannya
sebagai ideologi negara. Negara juga mmenjadikan pancasila sebagai tolak ukur untuk
melaklsanankan penyelenggaraan negara sehingga hal tersebut membuat proses
penyelenggaraan negara menyimpang daripada nilai ketuhanan, kemanusiaan,
kerakyatan dan keadilan.
Dalam perjalanannya, pancasila telawh dikenal lama dan telah menjadi budaya
bagi Indonesia yang kemudian dirumuskan menjadi dasar negara. Hal itu mengartikan
bahwa makan dari nilai pancasila tersebut berasal dari pandangan kehidupan rakyat
Indonesia dimana fungsi dari dasar negara tersebut adalah menjadi awal atau acuan
jiwa dsan kepribadian bagi bangsa. Dengan itu, bangsa Indonesia memiliki tekad
selalu mengacu kepada pancasila dalam melakukan pengaturan negara. Pancasila
juga memiliki fungsi sebagai sumber hukum yang akan mengatur segala hukum yang
ada termasuk hukum daloam menyelenggarakan negara tersebut. untuk dapat
mengetahui kedudukan dari pancasila terdaspat pada Pembukaan UUD 1945 pada
alenia keempat.
Pancasila melarang adanya penyimpangan hukum karena pancasila merupakan
suatu fungsi untuk memperkuat bangsa sehingga dengan pancasila cita-cita Indonesia
dapat terwujud. Sebab dari pancasila inilah yang akan mengantarkan bangsa
Indonesia menjadi negara yang memiliki tujuan yang jelas dalam kehidupannya karena
arahan dari pancasila denganharapan akan memberikan kehidupan yang sejahtera
terhadap bangsa Indonesia. demikian Pancasila telah dijadikan padnagnan hidup oleh
seluruh rakyat maka diwajibkan untuk melakukan dan mengikuti serta tunduk kepada
pancasila.

konsekuen. Selain itu, mengikat dan memaksa setiap warga negara untuk
tunduk pada Pancasila. Harapan ideal di atas berbanding terbalik dengan kenyataan
kehidupan masyarakat berbangsa saat ini. Pancasila seolah-olah terlupakan oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia. Eksistensi Pancasila mengalami manipulasi
sesuai dengan kepentingan penguasa. Pancasila tidak lagi digunakan sebagai
pandangan hidup bangsa. Sedikit demi sedikit mulai muncul adanya indikasi degradasi
nilainilai luhur Pancasila. Hal ini tentu dapat berakibat rusaknya perilaku bangsa. Di
dunia pendidikan misalnya banyak generasi muda yang saat ini berperilaku tidak
sesuai dengan butir-butir pancasila. Misalnya sekarang ini banyak generasi muda yang
tidak bertaqwa kepada Tuhan, banyak terjadi kasus bentrok antar pelajar yang
mencerminkan memudarnya rasa persatuan dan kesatuan yang terjadi pada generasi
penerus bangsa.
BHINEKA
Indonesia adalah negara kesatuan yang penuh dengan keragaman. Indonesia
terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan
kepercayaan, dll. Namun Indonesia mampu mepersatukan bebragai keragaman itu
sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia “Bhineka Tunggal Ika” , yang berarti
berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah kepercayaan yang ada di
bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat
dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain
kebudayaan kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai
kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai
kebudayaan kelompok suku bangsa yang ada didaerah tersebut. Dengan jumlah
penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar dipulau- pulau di Indonesia.
Mereka juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai
dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan.
Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok suku bangsa dan
masyarakat di Indonesia yang berbeda.
Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses
asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis
kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga berkembang dan meluasnya
agama-agama besar di Indonesi juga ikut mendukung perkembangan kebudayaan
Indonesia sehingga mencerminkan kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa
Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat
heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok suku
bangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradsional
hingga ke modern, dan kewilayahan. Dengan keanekaragaman kebudayaannya
Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara
lainnya.
Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup secara
berdampingan, saling mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel. Misalnya
kebudayaan kraton atau kerajaan yang berdiri sejalan secara paralel dengan
kebudayaan berburu meramu kelompok masyarakat tertentu. Dalam konteks kekinian
dapat kita temui bagaimana kebudayaan masyarakat urban dapat berjalan paralel
dengan kebudayaan rural atau pedesaan, bahkan dengan kebudayaan berburu
meramu yang hidup jauh terpencil. Hubungan-hubungan antar kebudayaan tersebut
dapat berjalan terjalin dalam bingkai ”Bhinneka Tunggal Ika” , dimana bisa kita maknai
bahwa konteks keanekaragamannya bukan hanya mengacu kepada keanekaragaman
kelompok sukubangsa semata namun kepada konteks kebudayaan. Didasari pula
bahwa dengan jumlah kelompok sukubangsa kurang lebih 700’an sukubangsa di
seluruh nusantara, dengan berbagai tipe kelompok masyarakat yang beragam, serta
keragaman agamanya, pakaian adat, rumah adat kesenian adat bahkan makanan
yang dimakan pun beraneka ragam.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang memiliki karakteristi
yang unik ini dapat dilihat dari budaya gotong royong, teposliro, budaya menghormati
orang tua (cium tangan), dan lain sebagainya.
Bhinneka Tunggal Ika seperti kita pahami sebagai motto Negara, yang diangkat
dari penggalan kitab Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada jaman Kerajaan
Majapahit (abad 14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu
(berbeda-beda tetapi tetap satu jua). Motto ini digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri
bangsa Indonesia yang secara natural, dan sosial-kultural dibangun diatas
keanekaragaman.
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa yang tercantum dan menjadi
bagian dari lambang negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila. Sebagai semboyan
bangsa, artinya Bhinneka Tunggal Ika adalah pembentuk karakter dan jati diri bangsa.
Bhinneka Tunggal Ika sebagai pembentuk karakter dan jati diri bangsa ini tak lepas
dari campur tangan para pendiri bangsa yang mengerti benar bahwa Indonesia yang
pluralistik memiliki kebutuhan akan sebuah unsur pengikat dan jati diri bersama.
Bhinneka Tunggal Ika pada dasarnya merupakan gambaran dari kesatuan
geopolitik dan geobudaya di Indonesia, yang artinya terdapat keberagaman dalam
agama, ide, ideologis, suku bangsa dan bahasa.
Kebhinekaan Indonesia itu bukan sekedar mitos, tetapi realita yang ada di depan
mata kita. Harus kita sadari bahwa pola pikir dan budaya orang Jawa itu berbeda
dengan orang Minang, Papua, Dayak, Sunda dan lainnya. Elite pemimpin yang berasal
dari kota-kota besar dan metropolitan bisa jadi memandang Indonesia secara global
akan tetapi elite pemimpin nasional dari budaya lokal tertentu memandang Indonesia
berdasarkan jiwa, perasaan dan kebiasaan lokalnya. Ini saja menunjukkan kalau cara
pandang kita tentang Indonesia berbeda. Jadi tanpa kemauan untuk menerima dan
menghargai kebhinekaan maka sulit untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan
bangsa. Apa yang dilakukan oleh pendahulu bangsa ini dengan membangun
kesadaran kebangsaan atau nasionalisme merupakan upaya untuk menjaga loyalitas
dan pengabdian terhadap bangsa.
Selama ini sifat nasionalisme kita kurang operasional atau hanya berhenti pada
tataran konsep dan slogan politik. Nasionalisme bisa berfungsi sebagai pemersatu
beragam suku, tetapi perlu secara operasional sehingga mampu memenuhi kebutuhan
objektif setiap warga dalam suatu negara-bangsa. Tradisi dari suatu bangsa yang
gagal memenuhi fungsi pemenuhan kebutuhan hidup objektif akan kehilangan peran
sebagai peneguh nasionalisme. Saat ini diperlukan tafsir baru nasionalisme sebagai
kesadaran kolektif di tengah pola kehidupan baru yang mengglobal dan terbuka.
Batas-batas fisik negara-bangsa yang terus mencair menyebabkan kesatuan negara
kepulauan seperti Indonesia sangat rentan terhadap serapan budaya global yang tidak
seluruhnya sesuai tradisi negeri ini. Disamping itu realisasi otonomi daerah yang
kurang tepat akan memperlemah nilai dan kesadaran kolektif kebangsaan di bawah
payung nasionalisme.
Di samping itu bangsa Indonesia relatif berhasil membentuk identitas nasional.
Beberapa bentukidentitas bangsa Indonesia adalah sebagai berikut:
1.  Bahasa Nasional atau persatuan, bahasa Indonesia.
2. Dasar filsafat Negara yaitu pancasila.
3. Lagu kebangsaan Indonesia Raya.
4. Lambang Negara Garuda Pancasila.
5. Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika
6.  Bendera Negara Sang Merah Putih.
7. Konstitusi Negara yaitu UUD 1945.
8. Bentuk Negara kesatuan Republik Indonesia.
9.  Konsep Wawasan Nusantara.
10. Kebudayaan daerah yang diterima sebagai kebudayaan nasional.
Dari ke-10 identitas bangsa Indonesia tersebut akan dibahas salah satu yaitu
mengenai semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupaka semboyan pemersatu
bangsa Indonesia.
UUD Republik Indonesia menyatakan dengan tegas tentang realitas multikultural
Bangsa Indonesia. Kenyataan tersebut dilukiskan di dalam lambang negara “Bhinneka
Tunggal Ika.” Kebhinnekaan masyarakat dan bangsa Indonesia diakui bahkan
dijadikan sebagai dasar perjuangan nasional permulaan abad ke-20. Untuk itu integrasi
nasional bangsa Indonesia pun harus diwujudkan di tengah masyarakat Indonesia
yang majemuk karena masyarakat yang majemuk merupakan salah satu potensi
sumber konflik yang menyebabkan disintegrasi bangsa. Agar identitas bangsa
Indonesia di mata dunia terkenal dengan bangsa yang majemuk tetapi satu dalam
keanekaragaman (suku, bahasa, agama, dll, yang berbeda-beda) semboyan Bhinneka
Tunggal Ika harus diwujudkan.
Kebhinekaan Indonesia merupakan aset yang tidak ternilai harganya. Indonesia
dapat bersatu karena kemajemukan bangsa Indonesia baik suku, etnis, agama, ras,
golongan maupun adat istiadat. Dalam perkembangannya, kebhinekaan justru
dijadikan alasan untuk memecah belah persatuan. Pancasila menghadapi berbagai
tantangan di tengah era globalisasi dan derasnya arus informasi. Kondisi saat ini
menunjukkan menurunnya toleransi antarsuku, antarras, antaragama, dan golongan,
serta perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.1 Isu perpecahan semakin
berkembang dengan kehadiran sosial media. Atlit Asian Games, Jonathan Christie
sempat mengunggah foto dan kutipan ayat agama melalui akun Instagram
@jonathanchristieoffical. Hal ini justru menimbulkan perdebatan dan kebencian
antaragama di kolom komentar yang berisikan lebih dari 47.000 komentar.2 Komite
Relawan Nasional Indonesia (Korni) menyebutkan ada dua paham ideologi yang
berbahaya di Indonesia, yaitu paham radikal agama dan paham radikal sekuler.
Paham radikal agama adalah gerakan untuk mengganti Pancasila dengan ideologi
berbasis agama dan paham radikal sekuler adalah paham yang ingin memisahkan
Pancasila dari nilai-nilai agama. Kedua paham ini mengancam kedamaian Indonesia.3
Radikalisme agama direalisasikan dalam berbagai serangan terorisme. Terorisme
masih menjadi ancaman bagi Indonesia. Data Global Terrorism Index (GTI) 2016
menyebutkan bahwa dari 129 negara, Indonesia menempati urutan ke38 negara
dengan pengaruh terorisme tertinggi. Berbagai upaya penanggulangan terorisme telah
dilakukan, baik secara pencegahan maupun penindakan. Namun, upaya ini dirasa
belum maksimal karena dasar dari kedua upaya tersebut masih sangat terbatas.
Diperlukan informasi tentang potensi terorisme yang mampu mengukur dan
memetakan ancaman terorisme di wilayah Indonesia. Terorisme, ekstremisme, dan
kejahatan antarbangsa merupakan persoalan serius yang perlu segera diatasi. Ketiga
masalah tersebut berpotensi mengancam eksistensi negara.4 Kapolri Jenderal Idham
Azis mengatakan jumlah aksi terorisme di Indonesia pada 2019 sampai dengan saat ini
berjumlah 8 kejadian. Jumlah ini menurun bila dibandingkan dengan jumlah aksi
terorisme pada 2018 sebanyak 19 aksi terorisme. Jumlah akses terorisme tersebut
menurun 57 persen dibanding 2018 dengan 19 kejadian. Sepanjang tahun ini, Polri
menangkap 275 pelaku tindak pidana terorisme. Dari jumlah itu, sebanyak dua pelaku
sudah divonis, 42 orang dalam proses persidangan, 220 dalam proses penyidikan dan
tiga orang pelaku meninggal dunia.5 Dalam sebuah diskusi di Jakarta, juru bicara
Badan Intelijen Negara (BIN), mengatakan anak-anak muda berumur 17-24 tahun itu
menjadi target utama penyebaran paham ekstremis dan terorisme karena mereka
masih muda, energik, mencari jati diri, dan masih memiliki semangat yang tinggi.
Selain itu, mereka relatif belum memiliki tanggungan. Target paparan adalah anak-
anak muda umur 17-24 tahun. Dani Dwi Permana, pelaku peledakan bom Marriott
berumur 18 tahun. Umar yang meledakkan bom di Suriah, anak umur 19 tahun.
Berdasarkan data BIN ada 900-1.000 orang yang terpapar paham tersebut. Dari
jumlah 900 orang itu tidak semuanya dari usia 17-24 tahun. Ada yang dari usia 24-45
tahun dan di atas 50 tahun yang hanya terlibat, tetapi yang menjadi garis terdepan
adalah usia 17-24 tahun.6 Papaaran radikalisme dan aksi terorisme tentu menodai
kesucian Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa. Menurut Mahfud MD, sejarah
bangsa yang mencoreng kesucian Pancasila yang digunakan untuk kepentingan
mempertahankan litigimasi dan justifikasi kehendak kekuasaan, maka sudah saatnya
jati diri dalam komitmen Pancasila sebagai modus vivendiditegaskan kembali.
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas maka penulis akan
membahas makalah ini dengan judul “Pancasila, Kebhinekaan dan Bersosial Media”.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah penulisan makalah ini, antara lain:
1) Apa
. Bagaimana yang dikatakan pancasila & ketahanan jati diri bangsa di era globalisasi ?

2. Coba jelaskan pancasila & ketahanan jati diri bangsa di era globalisasi ? 1
3. Apa- apa saja peran dan fungsi pancasila & ketahanan jati diri bangsa di era
globalisasi ?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini, antara lain:
2) Mengetahui
3) Mengetahui
4) Mengetahui

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pancasila
A. Pengertian Pancasila
Pancasila berasal dari kata panca yang berarti lima dan sila yang berarti dasar,
sendi ,asas, ata peraturan tingkah laku yang penting dan baik . dengan demikian
pancasila merupakan lima dasar yang berisi pedoman atau aturan tentang tingkah laku
yang penting dan baik.Pancasila dapat kita artikan sebagai lma dasar yang dijadikan
dasar negara serta pandangan hidup bangsa. Suatu bangsa tidak akan dapat berdiri
dengan kokoh tampa dasar negara yang kuat dan tidak dapat mengetahui dengan
jelas kemana arah tujuan yang akan dicapai tampa pandangan hidup. Dengan adanya
dasar negara, suatu bangsa tidak akan terombang ambing dalam menghadapi
permasalahan baik yang dari dalam maupun dari luar. Peranan dan funsi pancasila
pada era sekarang masih relevan karena pancasila mencakup aspek –aspek dasar .
selain itu, pancasila juga merupakan alat untuk keamana dan kemakmuran bersama
rakyat indonesia.hanya saja pelakanan sacara konkrtinya belum bisa dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya karena keadilan dan kemakmuran bag seluruh rakyat
indonesia belum juga terwujud sampai saat ini. Pancasila juga merupaksn kepribadian
seluruh rakyat indonesia. Akan tetapi, nilai-nilai luhur sudah sangat pudar,terkikis oleh
perilaku yang hanya mementingkan aspek ekonomi gaya hidup globalisasi yang buruk.
Mengingat sangat pentingnya pancasila sebagai dasar negara, maka kita harus
meneruskan perjuagan serta memelihara, melestarikan menghayati , dan
mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sahari-hari agar tujuan 3 dan
pancasila dapat terpenuhi, sehigga akan menjadi ketahanan jati diri bangsa (1 Effendy
suryana & Kaswan, pancasila & ketahanan jati diri bagsa diera globalisasi, (Bandung:
Pt Refika Aditama,2015,) hlm 153-156)
1. Konsep dasar pancasila Pancasila berasal dari kata panca yang berarti lima dan sila
yang berarti dasar, sendi ,asas, ata peraturan tingkah laku yang penting dan baik .
dengan demikian pancasila merupakan lima dasar yang berisi pedoman atau aturan
tentang tingkah laku yang penting dan baik.Pancasila dapat kita artikan sebagai lma
dasar yang dijadikan dasar negara serta pandangan hidup bangsa. Suatu bangsa tidak
akan dapat berdiri dengan kokoh tampa dasar negara yang kuat dan tidak dapat
mengetahui dengan jelas kemana arah tujuan yang akan dicapai tampa pandangan
hidup. Dengan adanya dasar negara, suatu bangsa tidak akan terombang ambing
dalam menghadapi permasalahan baik yang dari dalam maupun dari luar.
2. Peranan Dan Fungsi Pancasila
a. Pancasila sebagai dasar negara mempunyai makna
1) Sebagai dasar untuk menata nagara yang merdeka da berdaulat.
2) Sebagai dasar mengatur penyelengaraan aparatur negara yang bersih dan
bewibawa, sehingga tecapai tujuan nasional yang tercntum dalam pembukaan undang-
undang dasar 1945 alinea ke-4, dan
3) Sebagai dasar, arah dan petunjuk aktifitas perikehidupan bangsa indonesia
dalam kehidupan sehari- hari
b. Pancasila Sebagai Sumber Hukum Dasar Nasional Istilah ini merupakan istilah baru
dalam tata hukum indonesia, yaitu muncul pasca reformasi melalui tap MPR NO. III
2000,yang kemudian diubah UU NO. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan
perundang- undangan.
c. Sumber Hukum Tertulis Dan Tidak Tertulis Sumber hukum dasar nasional adalah
pancasila sebagaimana yang tertulis dalam perundang-undang dasar 1945,serta
batang tubuh undang-undang dasar 1945.dalam ilmu hukum , istilah sunmber hukum
berarti sumber nilai- nilai yang menjadi penyebab timbulnya aturan hukum. Jadi dapat
diartikan , pancasia sebagai sumber hukum dasar nasional , yaitu segala aturan hukum
yang berlaku dinegara kita tidak boleh bertantangan dan harus bersumber pada
pancasila.
d. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa atau way of life mengandung makna bahwa semua aktivitas
kehidupan bangsa indonesia sehari-hari harus sesuai dengan sila-sila pancasila,
karena pancasila juga merupakan kristalisasi dari nilai-nilai yag dimilki dan sumber dari
kehidupan bangsa indonesia sendiri. Nilai –nilai tersebut yaitu :
1) Nilai dan jiwa ketuhanan dan keagamaan
2) Nilai dan jiwa kemanusiaan
3) Nilai da jiwa persatuan
4) Nilai dan jiwa kerakyatan dan demokrasi
5) Nilai dan jiwa keadilan sosial
e. Pancasila Sebagai Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia Pada saat bangsa indonesia
bangkit untuk hidup sendiri sebagai bangsa yang merdeka, bangsa indonesia telah
sepakatuntuk menjadikan pancasila sebagai dasar negara. Kesepakatan terwujud
pada tanggal 18 agustus 1945 denga disahkanya pancasila sebagai 5 dasar negara
oleh panitia persiapan kemedekaan indonesia ( PPKI ) yang mewakili seliruh bangsa
indonesia.
f. Pancasila Sebagai Ideolagi Negara Pancasila sebagai ideologi negara yang
merupakan tujuan bersama bangsa indonesia yang diimplementasikanndalam
pembengunan nasional, yaiti mewujudkan masyarakat adik dan makmrur yang meratai
material dan spritual berdasarkan pancasila dalam waah negara kesatuan RI ysng
merdeka, berdaulat, bersatu, dan kedulatan rakyat dalam suasana perikehidupan
bangsa yang aman, tentram, tetib, dan dinamais serta dalam lingkungan kehidupan
pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tetib dan damai.
g. Pancasila Sebagai Pemersatu Bangsa Bangsa indonesia yang pluralis dan wilayah
nusantara yang terdiri dari berbagai pulau –pulau, maka sangat tepat apabila pancasila
dijadikan pemersatu bangsa, hal ini karenakan pancasila mempunyai nila-nilai umu
dan universal sehingga memungkinkan dapat mengakomodir semua perikehidupan
yang berbhenika dan dapat diterima oleh semua pihak.
Pancasila adalah Dasar Kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proses
lahirnya Pancasila menjadi sejarah yang tidak akan pernah terlupakan oleh bangsa
Indonesia. Kata pancasila berasal dari bahasa Sansekerta. Panca berarti lima dan Sila
berarti prinsip atau asas. Pancasila berarti lima asas atau Lima Dasar atau lima Sila.
Lima sila tersebut adalah : 1. Ketuhanan yang maha Esa. 2. Kemanusiaan yang adil
dan beradab. 3. Persatuan Indonesia. 4. Kerakyatanyang dipimpin oleh hikmat dan
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan perwakilan, dan 5. Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Masing–masing sila mengandung nilai–nilai yang menjadi
pedoman bagi Bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila terkandung dalam pembukaan
UUD 1945 secara yuridis memiliki kedudukan sebagai pokok kaidah Negara yang
Fundamental. Adapun pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya memuat nilai-nilai
Pancaasila, yang bilamana dianalisis makna yang terkandung di dalamnya tiak lain
merupakan derivasi atau penjabaran dari nilai-nilai Pancasila
B. Nilai Pancasila
Pengertian Nilai
Secara filsafat 1 , Pancasila merupakan sistem-nilai-ideologis yang berdera3
berderajat. Artinya, di dalamnya terkandung nilai-luhur (NL), nilai-dasar (ND), nilai-
instrumental (NI), nilai-praksis (NP), dan nilai-teknis (NT). Agar ia dapat menjadi
ideologi bangsa dan negara Indonesia yang lestari tetapi juga
dinamis/berkembang, NL dan ND-nya harus dapat bersifat tetap, sementara NI,
NP, dan NT-nya harus semakin dapat direformasi sesuai dengan perkembangan
tuntutan zaman.
Pengertian Nilai Menurut Para Ahli Adapun pengertian nilai menurut para ahli,
antara lain sebagai berikut : 1. Mulyana Menurutnya, pengertian Nilai adalah
bagian keyakinan serta kepercyaan yang menajadi rujukan seseorang untuk
melakukan tindakan sosial kepada orang lain. Tindakan ini sendiri di dasari pada
perasaan dan juga pengaruh hubungan sosial yang dijalaninya 2. Kluckhohn Nilai
adalah konsepsi dari berbagai kumpulan yang akan mendorong seseorang untuk
mengaplikasikan beragam kegiatan-kegiatan, baik dalam kegiatan yang berwujud
negatif ataupun kegiatan yang berwujud postif. 3 3. Notonagoro Nilai adalah
sekumpulan tindakan manusia yang tersusun secara sistematis dalam bentuk
material atau nonmaterial. Dengan kegunaan sangat penting untuk kemudian
diterapkan dalam kelompok sosial yang dilakukan dalam keseharian.

Nilai adalah ukuran, patokan-patokan, anggapan-anggapan keyakinan yang


ada di dalam masyarakat. Nilai digunakan sebagai patokan seseorang berperilaku
dalam masyarakat. Selain itu, nilai memberi arah bagi tindakan seseorang. Nilai
dianut oleh banyak orang dalam suatu masyarakat mengenai sesuatu yang benar,
pantas, luhur dan baik untuk dilakukan . Menurut Laning Dwi Vina dan Wismulyani
Endar (2009), fungsi nilai:
a. Nilai sebagai pembentuk cara berpikir dan berperilaku yang ideal dalam
masyarakat
b. Nilai dapat menciptakan semangat pada manusia untuk mencapai sesuatu
yang diinginkannya
c. Nilai dapat digunakan sebagai alat pengawas perilaku seseorang dalam
masyarakat
d. Nilai dapat mendorong, menuntun, dan menekan orang untuk berbuat baik
e. Nilai dapat berfungsi sebagai alat solidaritas diantara anggota masyarakat
Makna Nilai-Nilai Yang Terkandung dalam Pancasila
Suatu dasar negara akan kuat, apabila dasar tersebut berasal dan berakar pada
diri bangsa yang bersangkutan. Bangsa Indonesia mempunyai dasar negara yang
bukan jiplakan dari luar, akan tetapi asli Indonesia. Unsur-unsur Pancasila terdapat
didalam berbagai agama, kepercayaan, adat istiadat, dan kebudayaan. Karena
dalam agama, kepercayaan, adat istiadat dan kebudayaan tersebut berkembang
nilai-nilai antara lain nilai moral, maka Pancasila pun mengandung nilai moral
dalam dirinya.
1. Kedudukan Nilai, Norma, dan Moral dalam Masyarakat
a. Kedudukan Nilai dalam masyarakat Kehidupan manusia dalam masyarakat,
baik sebagai pribadi maupun sebagai masyarakat, senantiasa berhubungan
dengan nilai-nilai, norma dan moral. Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna,
indah, dan memperkaya batin yang menyadarkan manusia akan harkat dan
martabatnya. Nilai merupakan salah satu wujud kebudayaan, disamping sistem
sosial dan karya. Cita-cita, gagasan, konsep, ide tentang suatu hal adalah wujud
kebudayaan sebagai sistem nilai. Olah karena itu nilai dapat dihayati sebagai
kebudayaan dalam wujud kebudayaan abstrak.
Untuk mengidentifikasi nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat ada
6 macam nilai :
1. Nilai teori adalah untuk mengetahui identitas benda dan kejadian yang
terdapat disekitarnya.
2. Nilai ekonomi adalah pemanfaatan benda-benda atau kejadian yang mengikuti
nalar efisiensi.
3. Nila estetik adalah mempelajari sesuatu yang indah.
4. Nilai sosial berorientasi pada hubungan antara manusia dengan yang lainnya
dan menekan pada segi-segi kemanusiaan yang luhur.
5. Nilai politik berpusat pada kekuasaan srta berpengaruh dalam kehidupan
bermasyarakat.
6. Nilai religi adalah manusia menilai alam sekitarnya sebagai wujud rahasia
kehidupan dan alam semesta.
b. Kedudukan Norma dalam masyarakat Norma adalah petunjuk tingkah laku
yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan motivasi tertentu.
Norma sesungguhnya perwujudan martabat manusia sebagai makhluk budaya,
sosial, moral dan religi. Suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh
tata nilai yang harus dipatuhi. Oleh karena norma dalam perwujudannya dapat
berupa norma agama, norma filsafat, kesusilaan, hukum, dan norma sosial.
c. Kedudukan Moral dalam masyarakat Moral adalah ajaran tentang hal yang
baik dan buruk, yang menyangkut perilaku manusia. Seseorang yang taat dan
patuh pada aturan-aturan, kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya
dia sudah dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Moral dalam
perwujudannya dapat berupa aturan, prinsip-prinsip yang benar, yang baik, yang
terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan
norma yang mengikat kehidupan masyarakat, negara dan bangsa. Moral dapat
dibedakan seperti moral ketuhanan atau agama, moral filsafat, etika, hukum, ilmu
dan sebagainya. Nilai, Norma, dan Moral secara bersama mengatur kehidupan
masyarakat dalam berbagai aspeknya. Pancasila secara filsafat mengandung nilai-
nilai yang bersifat Fundamental, universal, mutlak dan abadi dari Tuhan yang Maha
Esa yang tercermin dalam inti kesamaan ajaran-ajaran agama dalam kitab sucinya,
artinya di dalam nilai-nilai tersebut mengandung nilai moral, maka Pancasila pun
mengandung nilai moral dalam dirinya.
Makna Nilai dalam Pancasila:
1. Nilai Ketuhanan
Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti adanya pengakuan dan
keyakinan bangsa terhadap adanya Tuhan pencipta alam semesta. Dengan
nilai ini menyatakan bangsa Indonesia merupakan bangsa yang religius
bukan bangsa atheis. Nilai ketuhanan juga memiliki arti adanya pengakuan
akan kebebasan memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama,
tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif antar umat beragama.
2. Nilai Kemanusiaan
Nilai Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab memiliki arti kesadaran sikap dan
perilaku sesuai dengan nilai moral-moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan
hati nurani dengan memperlakukan sesuatu hal sebagaimana mestinya.
3. Nilai Persatuan
Nilai Persatuan Indonesia mengandung makna usaha ke arah bersatu dalam
kebulatan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai
sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia.
4. Nilai Kerakyatan
Nilai Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-
lembaga perwakilan. 5. Nilai Keadilan Nilai Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya
masyarakat Indonesia yang Adil dan Makmur secara lahiriah ataupun batiniah.
Nilai-nilai dasar itu sifatnya abstrak dan Pnormatif. Karena sifatnya abstrak dan
normatif, isinya belum dapat dioperasionalkan. Agar dapat bersifat operasional dan
eksplisit, perlu dijabarkan ke dalam nilai instrumental. Contoh nilai instrumental
tersebut adalah UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pancasila Sebagai Sumber Nilai
Bagi bangsa Indonesia, yang dijadikan sebagai sumber nilai dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah Pancasila. Ini berarti bahwa
seluruh tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara menggunakan
Pancasila sebagai dasar moral atau norma dan tolak ukur tentang baik buruk dan
benar salahnya sikap, perbuatan dan tingkah laku bangsa Indonesia. Nilai-nilai
Pancasila itu merupakan nilai intrinsik yang kebenarannya dapat dibuktikan secara
objektif, serta mengandung kebenaran yang universal. Dengan demikian, tinjauan
Pancasila berlandaskan pada Tuhan, manusia, rakyat, dan adil sehingga nilai-nilai
Pancasila memiliki sifat objektif. Pancasila dirumuskan oleh para pendiri negara
yang memuat nilai-nilai luhur untuk menjadi dasar negara. Sebagai gambaran, di
dalam tata nilai kehidupan bernegara, ada yang disebut sebagai nilai dasar, nilai
instrumental, dan nilai praktis.
• Nilai dasar
Asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang kurang lebih mutlak. Nilai dasar
berasal dari nilai-nilai kultural atau budaya yang berasal dari bangsa Indonesia itu
sendiri, yaitu yang berakar dari kebudayaan, sesuai dengan UUD 1945 yang
mencerminkan hakikat nilai kultural.
• Nilai instrumental
Pelaksanaan umum nilai-nilai dasar, biasanya dalam wujud nilai sosial atau nilai
hukum, yang selanjutnya akan terkristalisasi dalam lembaga-lembaga yang sesuai
dengan kebutuhan tempat dan waktu.
• Nilai praktis
Nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini merupakan
bahan ujian, apakah nilai dasar dan nilai instrumental sungguhsungguh hidup
dalam masyarakat atau tidak. Di dalam Pancasila tergantung nilai-nilai kehidupan
berbangsa. Nilai-nilai tersebut adalah nilai ideal, nilai material, nilai positif, nilai
logis, nilai estetis, nilai sosial dan nilai religius atau keagamaan.
Nilai-Nilai setiap butiran Pancasila
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
2. Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk
agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah
yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah
sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa kepada orang lain.
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
2. Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap
manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis
kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
4. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
8. Berani membela kebenaran dan keadilan.
9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
10. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa
lain.
3. Persatuan Indonesia
1. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan
bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan
golongan.
2. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila
diperlukan.
3. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
4. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
5. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
6. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
7. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
4. Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan
1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan
bersama.
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil
musyawarah.
6. Dengan i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil
keputusan musyawarah.
7. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan
pribadi dan golongan.
8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang
luhur. 9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara
moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan
kesatuan demi kepentingan bersama.
10. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk
melaksanakan pemusyawaratan.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
1. Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan kegotongroyongan.
2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4. Menghormati hak orang lain.
5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
6. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan
terhadap orang lain.
7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya
hidup mewah.
8. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan
kepentingan umum.
9. Suka bekerja keras.
10. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan
kesejahteraan bersama. 11. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan
kemajuan yang merata dan berkeadilan social.

C. CIRI KHAS IDEOLOGI PANCASIL


Ciri – Ciri dari Ideologi Pancasila Adanya nilai dan dimensi Pancasila
mengkerucutkan ciri – ciri ideologi Pancasila sebagai ideologi terbuka. Oleh karena
itu, kita bisa menyimpulkan bahwa ciri dari ideologi Pancasila adalah antara lain:
1. Berasal dari falsafah masyarakat Pancasila adalah ideologi yang mempunyai
pandangan hidup atau idealisme, tujuan, dan cita-cita masyarakat Indonesia yang
berasal dari kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat sendiri. Bukan
konsep yang dibuat buat untuk masyarakat.
2. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Meskipun mengakui beberapa
agama, ideologi Pancasila percaya pada konsep Tuhan Yang Maha Esa. Dengan
mempercayai ketuhanan yang maha esa, negara Indonesia yang berpegang pada
ideologi Pancasila melarang adanya paham atheis di Indonesia.
3. Demokratis Pemerintahan yang berdasar ideologi Pancasila adalah
pemerintahan yang berdasar persetujuan rakyat. Demokratis sendiri berarti bahwa
pemerintahan indonesia memiliki sifat demokrasi. Dilihat dari asal katanya,
demokrasi berasal dari bahasa Latin demo yang berarti rakyat dan kratos yang
berarti pemerintahan. Dengan begitu sudah jelas bahwa negara yang demokratis
harus tetap meletakkan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Pendapat rakyat
sangat penting, dan pemimpin hanya memberikan keputusan.
4. Berdasarkan hukum Negara yang berdasar ideologi Pancasila adalah negara
yang berdasar hukum. Negara hukum bisa diartikan sebagai negara yang
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya berdasar pada hukum. Kekuasaan
pemerintahan berdasar pada kedaulatan atau supremasi hukum dan bertujuan
untuk menjalankan ketertiban hukum. Negara hukum mempunyai konstitusi yang
jelas. Berbeda dengan ideologi komunis, mereka mempunyai konstitusi, tapi
kekuasaan tertinggi di tangan pemimpin otoriter. Negara dengan ideologi komunis
tidak bisa dikatakan negara hukum.
5. Kreatif dan dinamis Ideologi ini mempunyai tekad untuk secara kreatif dan
dinamis mencapai tujuan nasional. Oleh karena itu, bangsa Indonesia
menggunakan Pancasila sebagai pedoman untuk mencapai tujuan nasional.
Dengan mengamalkan nilai – nilai Pancasila dalam setiap aspek kehidupan,
masyarakat akan bisa ikut serta dalam usaha mencapai tujuan nasional. Salah satu
nilai dalam ideologi Pancasila yang harus dijunjung tinggi demi tercapainya tujuan
nasional adalah nilai persatuan dan kesatuan.
6. Berdasarkan pegalaman sejarah bangsa Bangsa Indonesia mempunyai
sejarah yang panjang untuk menjadi sebuah bangsa yang diakui dunia.
Berdasarkan pengalaman sejarah itulah Pancasila dijadikan ideologi yang akan
mendasari berdirinya sebuah bangsa yang kokoh. Dan terbukti, dengan
menjunjung tinggi nilai persatuan dalam ideologi Pancasila, Indonesia berhasil
mengusir penjajah dan menyatukan rakyat yang berbeda wilayah, suku, dan
budaya menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nilai – nilai tersebut juga
berhasil membersihkan Indonesia dari sistem politik komunis itulah mengapa ada
hari yang memperingati kesaktian Pancasila.
7. Terbentuk dari pikiran rakyat Pancasila terbentuk atas dasar keinginan
bangsa Indonesia, tanpa campur tangan atau paksaan dari sekelompok orang atau
pihak yang berkuasa. Konsep pancasila berasal dari hasil pemikiran rakyat.
Kesamaan pemikiran individu rakyat yang ingin hidup lebih baik lagi membentuk
konsep 11 cita-cita hidup manusia, dan itulah yang menjadi hakikat ideologi.
Sebelum menjadi Pancasila, bangsa Indonesia telah menjunjung tinggi lima nilai
dalam kehidupan berbangsa negara. Kelima nilai tersebut adalah: kebangsaan,
kemanusiaan, ketuhanan, kerakyatan, dan kesejahteraan. Nilai – nilai itulah yang
kemudian disempurnakan dalam Pancasila dan dijadikan ideologi.
8. Isinya tidak operasional. Nilai pancasila yang tidak operasional bukan berarti
bahwa nilai – nilai tersebut tidak bisa diterapkan. Sifatnya yang tidak operasional
justru memungkinkan Pancasila untuk bisa diuraikan secara lebih eksplisit sesuai
dengan kebutuhan. Sifat ideologi yang operasional memang mudah diterapkan.
Akan tetapi itu akan menjadikannya menjadi sangat terbatas dan tidak memenuhi
kebutuhan yang ada
9. Menginspirasi rakyat Pancasila sebagai ideologi mempunyai ciri yang
membuat Pancasila dapat menginspirasi masyarakat untuk bertanggungjawab
sesuai dengan nilai – nilai yang terkandung dalam Pancasila. Rakyat akan terus
terinspirasi dan terdorong untuk mengamalkan nilai praktis Pancasila di semua
aspek kehidupan. Dengan begitu nilai Pancasila sebagai ideologi Indonesia akan
terjaga. Hal itu karena sekuat dan sesempurna apapun suatu ideologi, hanya akan
menjadi suatu semboyan apabila tidak diamalkan. selain itu, nilai idealisme
Pancasila yang tersebut diatas membuat Pancasila sangat mengispirasi rakyat
untuk mencapai tujuan – tujuan dalam hidup.
10. Menghargai keberagaman Dalam sila ketiga Pancasila, disebutkan dengan
jelas bahwa Indonesia menjunjung tinggi nilai persatuan. Hal ini membuat ideologi
Pancasila bisa diterima oleh semua kalangan. Seperti yang kita tahu, Indonesia
terdiri dari beberapa komponen yang berbeda – beda. Indonesia memiliki suku,
agama, dan budaya yang berbeda. Dari segi wilayah pun Indonesia sebagai
negara kepulauan terpisah oleh perairan antar pulau di Indonesia. Tidak sedikit
pula wilayah yang justru lebih dekat dengan negara tetangga daripada dengan
pusat pemerintahan Indonesia. Dengan begitu, nilai persatuan dalam keberagaman
ini harus terus ditekankan dalam tahap-tahap pembinaan persatuan dan kesatuan
untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

D. Hakikat Pancasila
Sebagai ideologi, Pancasila berhakikat (berperanan utama) sebagai:
(a) pandangan hidup bangsa,
(b) dasar negara, dan
(c) tujuan nasional (negara).
Sebagai pandangan hidup bangsa, hakikat Pancasila diwujudkan dalam P-4 (yang
saat ini dicabut oleh MPR hasil Sidang Istimewa 1998), yang lebih lanjut dilaksanakan
dalam bentuk Anggaran-Dasar (AD) bagi masing-masing organisasi sosial-politik
(seperti Ormas, LSM, Parpol) dan Kode-Etik (KE) bagi masing-masing organisasi
profesi/keahlian (seperti IDI, PGRI, Ikahi)—yang teknis-operasionalnya berbentuk
Anggaran-Rumah-Tangga (ART). Sebagai dasar negara, hakikat Pancasila diwujudkan
dalam Batang Tubuh UUD 1945, yang lebih lanjut dilaksanakan dalam bentuk
Peraturan Perundang-undangan (Tap. MPR, UU, PP, Keppres, Perda, dst.)—yang
teknisoperasionalnya berbentuk Surat-Edaran (SE) berupa Petunjuk Pelaksanaan
(Juklak) atau Petunjuk Teknis (Juknis). Sebagai tujuan nasional (bangsa)/negara,
hakikat Pancasila diwujudkan dalam Garis-garis Besar daripada Haluan Negara
(GBdHN) (seperti Propenas) yang lebih lanjut dilaksanakan dalam bentuk Repetanas
(seperti APBN)—yang teknis-operasionalnya berupa Proyek (seperti DIP/DUK, DIK,
DIKS). Dengan demikian, hakikat pandangan hidup Pancasila berbentuk pada norma
moral bangsa Indonesia; hakikat dasar negara Pancasila berbentuk pada norma
hukum negara Indonesia; dan hakikat tujuan nasional/negara Pancasila berbentuk
pada norma politik (kebijakan) pembangunan nasional Indonesia. Pemahaman
tersebut bersumber pada kerangka dan substansi nilai-nilai yang termuat dalam
Pembukaan UUD 1945. Pembukaan ini merupakan Teks Proklamasi Kemerdekaan
NKRI yang lengkap dan terinci. Teks Proklamasi itu sendiri lahir melalui proses sejarah
perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, dari yang semula sebagai budaya suku-
suku asli, berkembang dalam budaya kerajaan-kerajaan besar (Kutai, Sriwijaya,
Majapahit, dst), kemudian dipengaruhi oleh budaya agama-agama/penjajah-penjajah,
sampai akhirnya dipengaruhi pula oleh ideologi-ideologi besar dunia (bahkan sampai
kini di era globalisasi informasi). Jadi, hakikat Pancasila (demikian pula UUD 1945)
tidak lahir secara mendadak, tetapi mereka ditempa oleh sejarah lahirnya Indonesia
sebagai suatu bangsa.
2.2. Kebhinekaan
Sejarah Bhineka Tunggal Ika
Awalnya, semboyan yang dijadikan semboyan resmi Negara Indonesia sangat
panjang, yaitu Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa. Semboyan Bhineka
Tunggal Ika dikenal untuk pertama kalinya pada masa Majapahit era kepemimpinan
Wisnuwardhana. Perumusan semboyan Bhineka Tunggal Ika ini dilakukan oleh Mpu
Tantular dalam kitab Sutasoma.

Perumusan semboyan ini pada dasarnya merupakan pernyataan kreatif dalam usaha
mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan. Hal itu dilakukan
sehubungan usaha bina Negara kerajaan Majapahit saat itu. Semboyan Negara
Indonesia ini telah memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada
masa kemerdekaan. Bhineka Tunggal Ika pun telah menumbuhkan semangat
persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam kitab Sutasoma, definisi Bhineka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan
dalam hal kepercayaan dan keanekaragaman agama yang ada di kalangan
masyarakat Majapahit. Namun, sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, konsep Bhineka Tungggal Ika bukan hanya perbedaan agama dan
kepercayaan menjadi fokus, tapi pengertiannya lebih luas. Bhineka Tunggal Ika
sebagai semboyan Negara memiliki cakupan lebih luas, seperti perbedaan suku,
bangsa, budaya (adat istiadat), beda pulau, dan tentunya agama dan kepercayaan
yang menuju persatuan dan kesatuan Nusantara.

Jika diuraikan kata per kata, Bhineka berarti Berbeda, Tunggal berarti Satu, dan Ika
berarti Itu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa walaupun berbeda-beda, tapi pada
hakekatnya satu. Dengan kata lain, seluruh perbedaan yang ada di Indonesia menuju
tujuan yang satu atau sama, yaitu bangsa dan Negara Indonesia.

Berbicara mengenai lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, lambang Garuda


Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika ditetapkan secara resmi menjadi
bagian dari Negara Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951
pada 17 Oktober 1951 dan di-Undang-kan pada 28 Oktober 1951 sebagai Lambang
Negara. Usaha pada masa Majapahit maupun pada masa pemerintahan Indonesia
berlandaskan pada pandangan yang sama, yaitu pendangan mengenai semangat rasa
persatuan, kesatuan dan kebersamaan sebagai modal dasar untuk menegakkan
Negara.

Sementara itu, semboyan “Tan Hana Darma Mangrwa dipakai sebagai motto lambang
Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Makna dari semboyan itu adalah “Tidak
ada kebenaran yang bermuka dua”. Namun, Lemhanas kemudian mengubah
semboyan tersebut mejadi yang lebih praktis dan ringkas, yaitu “Bertahan karena
benar”. Makna “Tidak ada kebenaran bermuka dua” sebenarnya memiliki pengertian
agar hendaknya manusia senantiasa berpegangan dan berlandaskan pada kebenaran
yang satu.

Semboyan Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa adalaha ungkapan yang
meamaknai kebenaran aneka unsur kepercayaan pada Majapahit. Tidak hanya Siwa
dan Budha, tapi juga seajumlah aliran (sekte) yang sejak awal telah dikenal lebih duku
sebagian besar anggota masyarakat Majapahit yang memiliki sifat majemuk.

Sehubungan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, cikal bakal dari Singasari, yakni
pada masa Wisnuwardhana sang dhinarmeng ring Jajaghu (candi Jago), semboyan
tersebut dan Candi Jago disempurnakan pada masa Kerajaan Majapahit. Oleh karena
itu, kedua simbol tersebut lebih dikenal sebagai hasil peradaban masa Kerajaan
Majapahit.

Dari segi agama dan kepercayaan, masyarakat Majapahit merupakan masyarakat


yang majemuk. Selain adanya beberapa aliran agama dan kepercayaan yang berdiri
sendiri, muncul juga gejala sinkretisme yang sangat menonjol antara Siwa dan Budha
serta pemujaan terhadap roh leluhur. Namun, kepercayaan pribumi tetap bertahan.
Bahkan, kepercayaan pribumi memiliki peranan tertinggi dan terbanyak di kalangan
mayoritas masyarakat.

Pada saat itu, masyarakat majapahiat tebagi menjadi beberapa golongan. Pertama,
golongan orang-orang Islam yang datang dari barat dan menetap di Majapahit. Kedua,
golongan orang-orang China yang mayoritas beasal dari Canton, Chang-chou, dan
Fukien yang kemudian bermukin di daerah Majapahit.
Namun, banyak dari mereka masuk agama Islam dan ikut menyiarkan agama Islam.
Ketiga, golongan penduduk pribumi. Penduduk pribumi ini jika berjalan tidak
menggunakan alas kaki, rambutnya disanggul di atas kepala. Penduduk pribumi
sepenuhnya percaya pada roh-roh leluhur.
Penetapan Lambang Bhineka Tunggal Ika sebagai Pilar Bangsa Indonesia
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh Mpu Tantular,
pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Raja
Hayamwuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389). Sesanti tersebut terdapat dalam
karyanya; kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma
mangrwa, “ yang artinya “Berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang
mendua.” Semboyan yang kemudian dijadikan prinsip dalam kehidupan dalam
pemerintahan kerajaan Majapahit itu untuk mengantisipasi adanya keaneka-ragaman
agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit pada waktu itu. Meskipun mereka berbeda
agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian.

Pada tahun 1951, sekitar 600 tahun setelah pertama kali semboyan Bhinneka Tunggal
Ika yang diungkap oleh Mpu Tantular, ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai
semboyan resmi Negara Republik Indonesia dengan Peraturan Pemerintah No.66
tahun 1951. Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa sejak 17 Agustus
1950, Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan sebagai seboyan yang terdapat dalam
Lambang Negara Republik Indonesia, “Garuda Pancasila.” Kata “bhinna ika,”
kemudian dirangkai menjadi satu kata “bhinneka”. Pada perubahan UUD 1945 yang
kedua, Bhinneka Tunggal Ika dikukuhkan sebagai semboyan resmi yang terdapat
dalam Lambang Negara, dan tercantum dalam pasal 36a UUD 1945 yang
menyebutkan :”Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika”. Dengan demikian, Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang
merupakan kesepakatan bangsa, yang ditetapkan dalam UUDnya. Oleh karena itu
untuk dapat dijadikan acuan secara tepat dalam hidup berbangsa dan bernegara,
makna Bhinneka Tunggal Ika perlu difahami secara tepat dan benar untuk selanjutnya
difahami bagaimana cara untuk mengimplementasikan secara tepat dan benar pula.

Bhinneka Tunggal Ika berisi konsep pluralistik dan multikulturalistik dalam kehidupan
yang terikat dalam suatu kesatuan. Prinsip pluralistik dan multikulturalistik adalah asas
yang mengakui adanya kemajemukan bangsa dilihat dari segi agama, keyakinan, suku
bangsa, adat budaya, keadaan daerah, dan ras. Kemajemukan tersebut dihormati dan
dihargai serta didudukkan dalam suatu prinsip yang dapat mengikat keanekaragaman
tersebut dalam kesatuan yang kokoh. Kemajemukan bukan dikembangkan dan
didorong menjadi faktor pemecah bangsa, tetapi merupakan kekuatan yang dimiliki
oleh masing-masing komponen bangsa, untuk selanjutnya diikat secara sinerjik
menjadi kekuatan yang luar biasa untuk dimanfaatkan dalam menghadapi segala
tantangan dan persoalan bangsa.

Suatu masyarakat yang tertutup atau eksklusif sehingga tidak memungkinkan


terjadinya perkembangan tidak mungkin menghadapi arus globalisasi yang demikian
deras dan kuatnya, serta dalam menghadapi keanekaragaman budaya bangsa. Sifat
terbuka yang terarah merupakan syarat bagi berkembangnya masyarakat modern.
Sehingga keterbukaan dan berdiri sama tinggi serta duduk sama rendah,
memungkinkan terbentuknya masyarakat yang pluralistik secara ko-eksistensi, saling
hormat menghormati, tidak merasa dirinya yang paling benar dan tidak memaksakan
kehendak yang menjadi keyakinannya kepada pihak lain. Segala peraturan perundang-
undangan khususnya peraturan daerah harus mampu mengakomodasi masyarakat
yang pluralistik dan multikutural, dengan tetap berpegang teguh pada dasar negara
Pancasila dan UUD 1945. Suatu peraturan perundang-undangan, utamanya peraturan
daerah yang memberi peluang terjadinya perpecahan bangsa, atau yang semata-mata
untuk mengakomodasi kepentingan unsur bangsa harus dihindari. Suatu contoh
persyaratan untuk jabatan daerah harus dari putra daerah, menggambarkan sempitnya
kesadaran nasional yang semata-mata untuk memenuhi aspirasi kedaerahan, yang
akan mengundang terjadinya perpecahan. Hal ini tidak mencerminkan penerapan
prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Dengan menerapkan nilai-nilai tersebut secara konsisten
akan terwujud masyarakat yang damai, aman, tertib, teratur, sehingga kesejahteraan
dan keadilan akan terwujud.
1. Penerapan Bhineka Tunggal Ika
Pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an masyarakat multikultural/majemuk
sebagai pilar nasionalisme, sekaligus untuk memberi wacana dan sumbang saran
kepada semua pihak, terutama para pelaksana dan penentu kebijakan diberbagai
instansi tekait, agar dapat dijadikan tambahan acuan dalam menentukan peraturan
berkaitan dengan aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an oleh
masyarakat multikultural sebagai pilar nasionalisme yang kokoh dan trengginas dalam
menghadapi perubahan globalKalimat yang terpampang pada pita putih yang
tercengkeram oleh kaki burung garuda, lambang negara Indonesia yaitu BHINNEKA
TUNGGAL IKA memiliki makna yang menggambarkan keragaman yang dimiliki
bangsa Indonesia, meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya merupakan satu
kesatuan Indonesia.
Bhinneka tunggal ika yang berarti berbeda tetapi satu, bila ditengok dari asal usul
kalimatnya yang tertuang dalam syair kitab sutasoma adalah penggambaran dari dua
ajaran atau keyakinan yang berbeda kala itu, namun pada dasarnya memiliki satu
kesamaan tujuan.
Empu Tantular sebagai pencetus kalimat yang tertuang itu tentunya memahami benar
arti dan makna yang tersimpan di dalamnya. Walaupun kalimat itu merupakan bentuk
pernyataan beliau dari suatu keadaan yang sedang dialami, namun kenyataannya
dapat diterapkan dan diterima hingga saat sekarang ini. Dan memang seperti itulah
seorang yang populis, berani menyampaikan sesuatu yang belum pernah
diperdengarkan sebelumnya dan menyampaikan dengan bahasa yang populer, yaitu
bahasa yang bisa diterima saat itu, saat ini dan suatu saat yang akan datang.
Hanya orang bijaklah yang mampu menyampaikan kata-katanya dengan bahasa yang
dapat dipahami atau dimengerti oleh masing-masing pendengar atau pembacanya
sesuai tingkat pemahamannya masing-masing.
Sangat beragam juga bila kita dapat mengartikan bhinneka tunggal ika dalam
perwujudan sehari-hari. Bhinneka tunggal ika dalam kehidupan sehari-hari seringkali
ditemui, namun untuk memahaminya terkadang masih terasa sulit, apalagi
mengakuinya. Ada ungkapan yang menyatakan “perbedaan adalah rahmat” dan inipun
terkadang menjadi bahan perdebatan.
Matahari dan bulan itu berbeda akan tetapi saling menerangi bumi, siang dan malam
itu berbeda tetapi saling melengkapi hari, laki-laki dan perempuan beda tapi saling
mengisi dalam kehidupan, salah dan benar, baik dan buruk yang Tuhan ciptakan tentu
tidak dapat disangkal, lalu mengapa Tuhan ciptakan itu semua? Apabila perbedaan itu
seharusnya tidak perlu ada, apakah kemudian kita berpikir bagaimana sebaiknya
Tuhan? Mengakui perbedaan terkadang terasa sulit seperti halnya mengakui
kebenaran orang lain daripada melihat sisi salahnya. Tangan dan kaki, telinga dan
mata, yang kanan dan kiri memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda tetapi saling
menyempurnakan bentuk manusia itu secara utuh. Ketika dalam satu keluarga yang
terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya masing-masing memiliki perbedaan pendapat
apakah itu tidak boleh? dan apabila si anak memiliki keinginan yang bertentangan
dengan orang tuanya apakah kemudian menjadikan terputusnya hubungan darah?
Kemudian apabila alam semesta yang beraneka ragam ini tercipta karena adanya
hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, apakah akan menjadikan putusnya hubungan,
apabila ciptaan tidak mengakui penciptanya? Perbedaan adalah kenyataan yang tidak
bisa terelakan lagi, mulai dalam diri sendiri, keluarga, masyarakat, negara atau dunia.
Jika kita perhatikan malam yang digantikan siang, ini berjalan selaras tidak saling
mendahului tentu terasa sempurna hari yang terlewati, oleh karena keselarasan itu
maka dalam pertemuan malam dengan siang terlahir fajar yang indah, begitu pula
siang yang digantikan malam tercipta senja yang penuh misteri, hal itu terwujud karena
adanya keselarasan alam yang berbeda tetapi bersatu menciptakan hari.Lalu
bagaimana dengan perbedaan diantara kita, apakah bisa berjalan selaras agar tercipta
kedamaian?
Para pendiri bangsa Indonesia terdahulu tentu memiliki harapan yang sangat besar
dengan menjadikan kalimat “BHINNEKA TUNGGAL IKA” ini sebagai simbolis Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan memahami arti dan makna yang terkandung
didalamnya serta dengan mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari mulai dari diri
sendiri, berharap bangsa ini berjalan dengan selaras dan tumbuh menjadi bangsa yang
besar.
Bangsa Indonesia menjadikan Pancasila  sebagai landasan ideologi yang berjiwa
persatuan dan kesatuan wilayah dengan tetap menghargai serta menghormati ke-
Bhinneka Tunggal Ika-an (persatuan dalam perbedaan) untuk setiap aspek kehidupan
nasional guna mencapai tujuan nasional. Artinya, sudah menjadi hal yang tidak dapat
dinafikan bahwa masyarakat Indonesia itu jamak, plural, dan daerah yang beragam,
terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, adat-istiadat dan kebiasaan, agama,
kepercayaan  kekayaan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena
itu nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus diwujudkan dan diaktualisasikan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Implementasinya dalam
kehidupan nasional adalah, memahami kemajemukan sosial dan budaya atau
multikulturalisme sebagai dasar untuk membangun kehidupan bermasyarakat,
bernegara dan berbangsa. Pemahaman terhadap nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-
an dimaksud adalah menerapkan atau melaksanakan nilai-nilai Ke-Bhinneka Tunggal
Ika-an dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu, kelompok masyarakat, dan
bahkan secara nasional, mencakup kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya,
serta pertahanan nasional di seluruh lapisan masyarakat yang jumlahnya besar
(sekitar 230 juta jiwa) dan beragam, sehingga tercipta stabilitas nasional yang kondusif
untuk pembangunan masyarakat sejahtera, adil-makmur dan merata.
Sepanjang era reformasi Indonesia menampilkan banyak kesaksian peristiwa yang
menunjukkan perubahan kehidupan warga, baik secara individu atau kelompok, dalam
berkehidupan kemasyarakatan, kehidupan berkenegaraan, dan kehidupan
berkebangsaan  Faktor utama mendorong terjadinya proses perubahan tersebut
adalah  pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, baik oleh rakyat, dan
bahkan pemimpin atau penguasa mengindikasikan gejala memudar. Kondisi ini dapat
dilihat dari kecenderungan terjadinya konflik antar individu, kelompok masyarakat yang
berbeda agama, ras, suku/etnik, budaya, dan berbeda kepentingan, serta rendahnya
moral penguasa seperti banyaknya kepala daerah dan anggota dewan yang terjerat
hukum akibat korupsi.
Berkaitan dengan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang syarat
dengan integrasi nasional dalam masyarakat multikultural,  nilai-nilai budaya bangsa
sebagai keutuhan, kesatuan, dan persatuan negara bangsa harus tetap dipelihara
sebagai pilar nasionalisme. Jika hal ini tidak wujud, apakah persatuan dan kesatuan
bangsa itu akan lenyap tanpa bekas, atau akan tetap kokoh dan mampu bertahan
dalam terpaan nilai-nilai global yang menantang kesatuan negara bangsa (union state)
Indonesia? Bagamanakah mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai ke
Bhinnekatunggal Ikaan  Hal  inilah yang menjadi permasalahan  dalam kajian ini agar
terwujud dan terpelihara secara langgeng integrasi sebagai pilar nasionalisme
Ada beberapa cara untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika lebih membumi dalam
pribadi masyarakat yang heterogen ini, salah satunya yaitu dengan identitas
sosial mutual differentiation model dari Brewer & Gaertner (2003) yang diterapkan
pada diri setiap Individu dalam bangsa ini. Mutual differentiation model adalah suatu
model dimana seseorang atau kelompok tertentu yang mempertahankan identitas asal
(kesukuan atau daerah) namun secara bersamaan kesemua kelompok tersebut juga
memiliki suatu tujuan bersama yang pada akhirnya mempersatukan mereka semua.
Model ini akan memunculkan identitas ganda yang bersifat hirarkis, dengan artian
seseorang tidak akan melepaskan identitas asalnya dan memiliki suatu identitas
bersama yang lebih tinggi nilainya. Sebagai contoh seseorang tidak melupakan
asalnya sebagai orang Minang, namun memiliki suatu kesatuan bersama yang lebih
diutamakan yaitu sebagai rakyat Indonesia. Dengan demikian identitas kesukuan atau
daerah lebih rendah nilai dan
keutamaannya daripada identitas nasional, Sesuai dengan makna Bhinneka Tunggal
Ika itu sendiri, dimana persatuan adalah harga mati.
Pada masa kepemimpinan Ir.Soekarno, beliau pernah melakukan usaha
mempersatukan seluruh bangsa dengan jargon “Ganyang Malaysia”, “Amerika kita
Seterika”, “Jepang kita Panggang”, dan “Inggris kita Linggis” dimana pada kesempatan
tersebut beliau menebar propaganda bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki
musuh bersama yaitu Malaysia, Jepang, Amerika dan Inggris.
Dengan adanya Ultimate Goal maka persatuan akan semakin kuat dikarenakan
tumbuhnya perasaan senasib-sepenanggungan dalam masyarakat sebangsa dan
setanah air. Perasaan, semangat dan tujuan seperti itulah yang akan membuat
masyarakat heterogen menjadi bersatu, membentuk suatu identitas sosial nasional
yang lebih kuat daripada kepentingan kelompok, golongan dan pribadi.
Dengan mengakui perbedaan dan menghormati perbedaan itu sendiri ditambah
kuatnya mempertahankan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa merupakan
suatu model identitas sosial yang sangat baik dalam bangsa ini. Sehingga terjalin
kerjasama antar semua golongan tanpa pernah menyinggung perbedaan karena
memiliki suatu tujuan utama dan kebanggaan bersama atas persatuan bangsa.
Toleransi dalam konteks kehidupan berbangsa adalah sikap menghargai satu sama
lain, melarang adanya dikriminasi dan ketidak-adilan dari kelompok mayoritas terhadap
minoritas, baik secara suku, budaya dan agama dengan tujuan untuk mewujudkan cita-
cita luhur bersama.
Selain masalah kebangsaan, tantangan kedepan pada masa mendatang dari bangsa
ini adalah menghadapi era globalisasi ekonomi, kapitalisme yang menggurita,
imperialis, orientalis, penyusupan paham-paham menyimpang dari pihak luar, serta
dari dalam negeri sendiri seperti pengkhianatan, fundamentalis dan ‘barisan sakit hati’
yang bertujuan memperkeruh keadaan, menyulut konflik dan kesenjangan sehingga
terjadi aksi-aksi dengan hasil keadaan yang menjauhkan kita dari jalur pencapaian
cita-cita luhur.
1. Penerapan Bhineka Tunggal Ika
Pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an masyarakat multikultural/majemuk
sebagai pilar nasionalisme, sekaligus untuk memberi wacana dan sumbang saran
kepada semua pihak, terutama para pelaksana dan penentu kebijakan diberbagai
instansi tekait, agar dapat dijadikan tambahan acuan dalam menentukan peraturan
berkaitan dengan aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an oleh
masyarakat multikultural sebagai pilar nasionalisme yang kokoh dan trengginas dalam
menghadapi perubahan globalKalimat yang terpampang pada pita putih yang
tercengkeram oleh kaki burung garuda, lambang negara Indonesia yaitu BHINNEKA
TUNGGAL IKA memiliki makna yang menggambarkan keragaman yang dimiliki
bangsa Indonesia, meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya merupakan satu
kesatuan Indonesia.
Bhinneka tunggal ika yang berarti berbeda tetapi satu, bila ditengok dari asal usul
kalimatnya yang tertuang dalam syair kitab sutasoma adalah penggambaran dari dua
ajaran atau keyakinan yang berbeda kala itu, namun pada dasarnya memiliki satu
kesamaan tujuan.
Empu Tantular sebagai pencetus kalimat yang tertuang itu tentunya memahami benar
arti dan makna yang tersimpan di dalamnya. Walaupun kalimat itu merupakan bentuk
pernyataan beliau dari suatu keadaan yang sedang dialami, namun kenyataannya
dapat diterapkan dan diterima hingga saat sekarang ini. Dan memang seperti itulah
seorang yang populis, berani menyampaikan sesuatu yang belum pernah
diperdengarkan sebelumnya dan menyampaikan dengan bahasa yang populer, yaitu
bahasa yang bisa diterima saat itu, saat ini dan suatu saat yang akan datang.
Hanya orang bijaklah yang mampu menyampaikan kata-katanya dengan bahasa yang
dapat dipahami atau dimengerti oleh masing-masing pendengar atau pembacanya
sesuai tingkat pemahamannya masing-masing.
Sangat beragam juga bila kita dapat mengartikan bhinneka tunggal ika dalam
perwujudan sehari-hari. Bhinneka tunggal ika dalam kehidupan sehari-hari seringkali
ditemui, namun untuk memahaminya terkadang masih terasa sulit, apalagi
mengakuinya. Ada ungkapan yang menyatakan “perbedaan adalah rahmat” dan inipun
terkadang menjadi bahan perdebatan.
Matahari dan bulan itu berbeda akan tetapi saling menerangi bumi, siang dan malam
itu berbeda tetapi saling melengkapi hari, laki-laki dan perempuan beda tapi saling
mengisi dalam kehidupan, salah dan benar, baik dan buruk yang Tuhan ciptakan tentu
tidak dapat disangkal, lalu mengapa Tuhan ciptakan itu semua? Apabila perbedaan itu
seharusnya tidak perlu ada, apakah kemudian kita berpikir bagaimana sebaiknya
Tuhan? Mengakui perbedaan terkadang terasa sulit seperti halnya mengakui
kebenaran orang lain daripada melihat sisi salahnya. Tangan dan kaki, telinga dan
mata, yang kanan dan kiri memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda tetapi saling
menyempurnakan bentuk manusia itu secara utuh. Ketika dalam satu keluarga yang
terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya masing-masing memiliki perbedaan pendapat
apakah itu tidak boleh? dan apabila si anak memiliki keinginan yang bertentangan
dengan orang tuanya apakah kemudian menjadikan terputusnya hubungan darah?
Kemudian apabila alam semesta yang beraneka ragam ini tercipta karena adanya
hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, apakah akan menjadikan putusnya hubungan,
apabila ciptaan tidak mengakui penciptanya? Perbedaan adalah kenyataan yang tidak
bisa terelakan lagi, mulai dalam diri sendiri, keluarga, masyarakat, negara atau dunia.
Jika kita perhatikan malam yang digantikan siang, ini berjalan selaras tidak saling
mendahului tentu terasa sempurna hari yang terlewati, oleh karena keselarasan itu
maka dalam pertemuan malam dengan siang terlahir fajar yang indah, begitu pula
siang yang digantikan malam tercipta senja yang penuh misteri, hal itu terwujud karena
adanya keselarasan alam yang berbeda tetapi bersatu menciptakan hari.Lalu
bagaimana dengan perbedaan diantara kita, apakah bisa berjalan selaras agar tercipta
kedamaian?
Para pendiri bangsa Indonesia terdahulu tentu memiliki harapan yang sangat besar
dengan menjadikan kalimat “BHINNEKA TUNGGAL IKA” ini sebagai simbolis Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan memahami arti dan makna yang terkandung
didalamnya serta dengan mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari mulai dari diri
sendiri, berharap bangsa ini berjalan dengan selaras dan tumbuh menjadi bangsa yang
besar.
Bangsa Indonesia menjadikan Pancasila  sebagai landasan ideologi yang berjiwa
persatuan dan kesatuan wilayah dengan tetap menghargai serta menghormati ke-
Bhinneka Tunggal Ika-an (persatuan dalam perbedaan) untuk setiap aspek kehidupan
nasional guna mencapai tujuan nasional. Artinya, sudah menjadi hal yang tidak dapat
dinafikan bahwa masyarakat Indonesia itu jamak, plural, dan daerah yang beragam,
terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, adat-istiadat dan kebiasaan, agama,
kepercayaan  kekayaan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena
itu nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus diwujudkan dan diaktualisasikan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Implementasinya dalam
kehidupan nasional adalah, memahami kemajemukan sosial dan budaya atau
multikulturalisme sebagai dasar untuk membangun kehidupan bermasyarakat,
bernegara dan berbangsa. Pemahaman terhadap nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-
an dimaksud adalah menerapkan atau melaksanakan nilai-nilai Ke-Bhinneka Tunggal
Ika-an dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu, kelompok masyarakat, dan
bahkan secara nasional, mencakup kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya,
serta pertahanan nasional di seluruh lapisan masyarakat yang jumlahnya besar
(sekitar 230 juta jiwa) dan beragam, sehingga tercipta stabilitas nasional yang kondusif
untuk pembangunan masyarakat sejahtera, adil-makmur dan merata.
Sepanjang era reformasi Indonesia menampilkan banyak kesaksian peristiwa yang
menunjukkan perubahan kehidupan warga, baik secara individu atau kelompok, dalam
berkehidupan kemasyarakatan, kehidupan berkenegaraan, dan kehidupan
berkebangsaan  Faktor utama mendorong terjadinya proses perubahan tersebut
adalah  pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, baik oleh rakyat, dan
bahkan pemimpin atau penguasa mengindikasikan gejala memudar. Kondisi ini dapat
dilihat dari kecenderungan terjadinya konflik antar individu, kelompok masyarakat yang
berbeda agama, ras, suku/etnik, budaya, dan berbeda kepentingan, serta rendahnya
moral penguasa seperti banyaknya kepala daerah dan anggota dewan yang terjerat
hukum akibat korupsi.
Berkaitan dengan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang syarat
dengan integrasi nasional dalam masyarakat multikultural,  nilai-nilai budaya bangsa
sebagai keutuhan, kesatuan, dan persatuan negara bangsa harus tetap dipelihara
sebagai pilar nasionalisme. Jika hal ini tidak wujud, apakah persatuan dan kesatuan
bangsa itu akan lenyap tanpa bekas, atau akan tetap kokoh dan mampu bertahan
dalam terpaan nilai-nilai global yang menantang kesatuan negara bangsa (union state)
Indonesia? Bagamanakah mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai ke
Bhinnekatunggal Ikaan  Hal  inilah yang menjadi permasalahan  dalam kajian ini agar
terwujud dan terpelihara secara langgeng integrasi sebagai pilar nasionalisme
Ada beberapa cara untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika lebih membumi dalam
pribadi masyarakat yang heterogen ini, salah satunya yaitu dengan identitas
sosial mutual differentiation model dari Brewer & Gaertner (2003) yang diterapkan
pada diri setiap Individu dalam bangsa ini. Mutual differentiation model adalah suatu
model dimana seseorang atau kelompok tertentu yang mempertahankan identitas asal
(kesukuan atau daerah) namun secara bersamaan kesemua kelompok tersebut juga
memiliki suatu tujuan bersama yang pada akhirnya mempersatukan mereka semua.
Model ini akan memunculkan identitas ganda yang bersifat hirarkis, dengan artian
seseorang tidak akan melepaskan identitas asalnya dan memiliki suatu identitas
bersama yang lebih tinggi nilainya. Sebagai contoh seseorang tidak melupakan
asalnya sebagai orang Minang, namun memiliki suatu kesatuan bersama yang lebih
diutamakan yaitu sebagai rakyat Indonesia. Dengan demikian identitas kesukuan atau
daerah lebih rendah nilai dan
keutamaannya daripada identitas nasional, Sesuai dengan makna Bhinneka Tunggal
Ika itu sendiri, dimana persatuan adalah harga mati.
Pada masa kepemimpinan Ir.Soekarno, beliau pernah melakukan usaha
mempersatukan seluruh bangsa dengan jargon “Ganyang Malaysia”, “Amerika kita
Seterika”, “Jepang kita Panggang”, dan “Inggris kita Linggis” dimana pada kesempatan
tersebut beliau menebar propaganda bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki
musuh bersama yaitu Malaysia, Jepang, Amerika dan Inggris.
Dengan adanya Ultimate Goal maka persatuan akan semakin kuat dikarenakan
tumbuhnya perasaan senasib-sepenanggungan dalam masyarakat sebangsa dan
setanah air. Perasaan, semangat dan tujuan seperti itulah yang akan membuat
masyarakat heterogen menjadi bersatu, membentuk suatu identitas sosial nasional
yang lebih kuat daripada kepentingan kelompok, golongan dan pribadi.
Dengan mengakui perbedaan dan menghormati perbedaan itu sendiri ditambah
kuatnya mempertahankan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa merupakan
suatu model identitas sosial yang sangat baik dalam bangsa ini. Sehingga terjalin
kerjasama antar semua golongan tanpa pernah menyinggung perbedaan karena
memiliki suatu tujuan utama dan kebanggaan bersama atas persatuan bangsa.
Toleransi dalam konteks kehidupan berbangsa adalah sikap menghargai satu sama
lain, melarang adanya dikriminasi dan ketidak-adilan dari kelompok mayoritas terhadap
minoritas, baik secara suku, budaya dan agama dengan tujuan untuk mewujudkan cita-
cita luhur bersama.
Selain masalah kebangsaan, tantangan kedepan pada masa mendatang dari bangsa
ini adalah menghadapi era globalisasi ekonomi, kapitalisme yang menggurita,
imperialis, orientalis, penyusupan paham-paham menyimpang dari pihak luar, serta
dari dalam negeri sendiri seperti pengkhianatan, fundamentalis dan ‘barisan sakit hati’
yang bertujuan memperkeruh keadaan, menyulut konflik dan kesenjangan sehingga
terjadi aksi-aksi dengan hasil keadaan yang menjauhkan kita dari jalur pencapaian
cita-cita luhur.
Penerapan Bhineka Tunggal Ika
Pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an masyarakat multikultural/majemuk
sebagai pilar nasionalisme, sekaligus untuk memberi wacana dan sumbang saran
kepada semua pihak, terutama para pelaksana dan penentu kebijakan diberbagai
instansi tekait, agar dapat dijadikan tambahan acuan dalam menentukan peraturan
berkaitan dengan aktualisasi pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an oleh
masyarakat multikultural sebagai pilar nasionalisme yang kokoh dan trengginas dalam
menghadapi perubahan globalKalimat yang terpampang pada pita putih yang
tercengkeram oleh kaki burung garuda, lambang negara Indonesia yaitu BHINNEKA
TUNGGAL IKA memiliki makna yang menggambarkan keragaman yang dimiliki
bangsa Indonesia, meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya merupakan satu
kesatuan Indonesia.

Bhinneka tunggal ika yang berarti berbeda tetapi satu, bila ditengok dari asal usul
kalimatnya yang tertuang dalam syair kitab sutasoma adalah penggambaran dari dua
ajaran atau keyakinan yang berbeda kala itu, namun pada dasarnya memiliki satu
kesamaan tujuan.

Empu Tantular sebagai pencetus kalimat yang tertuang itu tentunya memahami benar
arti dan makna yang tersimpan di dalamnya. Walaupun kalimat itu merupakan bentuk
pernyataan beliau dari suatu keadaan yang sedang dialami, namun kenyataannya
dapat diterapkan dan diterima hingga saat sekarang ini. Dan memang seperti itulah
seorang yang populis, berani menyampaikan sesuatu yang belum pernah
diperdengarkan sebelumnya dan menyampaikan dengan bahasa yang populer, yaitu
bahasa yang bisa diterima saat itu, saat ini dan suatu saat yang akan datang.

Hanya orang bijaklah yang mampu menyampaikan kata-katanya dengan bahasa yang
dapat dipahami atau dimengerti oleh masing-masing pendengar atau pembacanya
sesuai tingkat pemahamannya masing-masing.

Sangat beragam juga bila kita dapat mengartikan bhinneka tunggal ika dalam
perwujudan sehari-hari. Bhinneka tunggal ika dalam kehidupan sehari-hari seringkali
ditemui, namun untuk memahaminya terkadang masih terasa sulit, apalagi
mengakuinya. Ada ungkapan yang menyatakan “perbedaan adalah rahmat” dan inipun
terkadang menjadi bahan perdebatan.

Matahari dan bulan itu berbeda akan tetapi saling menerangi bumi, siang dan malam
itu berbeda tetapi saling melengkapi hari, laki-laki dan perempuan beda tapi saling
mengisi dalam kehidupan, salah dan benar, baik dan buruk yang Tuhan ciptakan tentu
tidak dapat disangkal, lalu mengapa Tuhan ciptakan itu semua? Apabila perbedaan itu
seharusnya tidak perlu ada, apakah kemudian kita berpikir bagaimana sebaiknya
Tuhan? Mengakui perbedaan terkadang terasa sulit seperti halnya mengakui
kebenaran orang lain daripada melihat sisi salahnya. Tangan dan kaki, telinga dan
mata, yang kanan dan kiri memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda tetapi saling
menyempurnakan bentuk manusia itu secara utuh. Ketika dalam satu keluarga yang
terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya masing-masing memiliki perbedaan pendapat
apakah itu tidak boleh? dan apabila si anak memiliki keinginan yang bertentangan
dengan orang tuanya apakah kemudian menjadikan terputusnya hubungan darah?
Kemudian apabila alam semesta yang beraneka ragam ini tercipta karena adanya
hubungan Tuhan dengan ciptaan-Nya, apakah akan menjadikan putusnya hubungan,
apabila ciptaan tidak mengakui penciptanya? Perbedaan adalah kenyataan yang tidak
bisa terelakan lagi, mulai dalam diri sendiri, keluarga, masyarakat, negara atau dunia.

Jika kita perhatikan malam yang digantikan siang, ini berjalan selaras tidak saling
mendahului tentu terasa sempurna hari yang terlewati, oleh karena keselarasan itu
maka dalam pertemuan malam dengan siang terlahir fajar yang indah, begitu pula
siang yang digantikan malam tercipta senja yang penuh misteri, hal itu terwujud karena
adanya keselarasan alam yang berbeda tetapi bersatu menciptakan hari.Lalu
bagaimana dengan perbedaan diantara kita, apakah bisa berjalan selaras agar tercipta
kedamaian?

Para pendiri bangsa Indonesia terdahulu tentu memiliki harapan yang sangat besar
dengan menjadikan kalimat “BHINNEKA TUNGGAL IKA” ini sebagai simbolis Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan memahami arti dan makna yang terkandung
didalamnya serta dengan mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari mulai dari diri
sendiri, berharap bangsa ini berjalan dengan selaras dan tumbuh menjadi bangsa yang
besar.

Bangsa Indonesia menjadikan Pancasila sebagai landasan ideologi yang berjiwa


persatuan dan kesatuan wilayah dengan tetap menghargai serta menghormati ke-
Bhinneka Tunggal Ika-an (persatuan dalam perbedaan) untuk setiap aspek kehidupan
nasional guna mencapai tujuan nasional. Artinya, sudah menjadi hal yang tidak dapat
dinafikan bahwa masyarakat Indonesia itu jamak, plural, dan daerah yang beragam,
terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, adat-istiadat dan kebiasaan, agama,
kepercayaan kekayaan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena
itu nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an harus diwujudkan dan diaktualisasikan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Implementasinya dalam
kehidupan nasional adalah, memahami kemajemukan sosial dan budaya atau
multikulturalisme sebagai dasar untuk membangun kehidupan bermasyarakat,
bernegara dan berbangsa. Pemahaman terhadap nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-
an dimaksud adalah menerapkan atau melaksanakan nilai-nilai Ke-Bhinneka Tunggal
Ika-an dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu, kelompok masyarakat, dan
bahkan secara nasional, mencakup kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya,
serta pertahanan nasional di seluruh lapisan masyarakat yang jumlahnya besar
(sekitar 230 juta jiwa) dan beragam, sehingga tercipta stabilitas nasional yang kondusif
untuk pembangunan masyarakat sejahtera, adil-makmur dan merata.

Sepanjang era reformasi Indonesia menampilkan banyak kesaksian peristiwa yang


menunjukkan perubahan kehidupan warga, baik secara individu atau kelompok, dalam
berkehidupan kemasyarakatan, kehidupan berkenegaraan, dan kehidupan
berkebangsaan Faktor utama mendorong terjadinya proses perubahan tersebut
adalah pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an, baik oleh rakyat, dan
bahkan pemimpin atau penguasa mengindikasikan gejala memudar. Kondisi ini dapat
dilihat dari kecenderungan terjadinya konflik antar individu, kelompok masyarakat yang
berbeda agama, ras, suku/etnik, budaya, dan berbeda kepentingan, serta rendahnya
moral penguasa seperti banyaknya kepala daerah dan anggota dewan yang terjerat
hukum akibat korupsi.

Berkaitan dengan pemahaman nilai-nilai ke-Bhinneka Tungal Ika-an yang syarat


dengan integrasi nasional dalam masyarakat multikultural, nilai-nilai budaya bangsa
sebagai keutuhan, kesatuan, dan persatuan negara bangsa harus tetap dipelihara
sebagai pilar nasionalisme. Jika hal ini tidak wujud, apakah persatuan dan kesatuan
bangsa itu akan lenyap tanpa bekas, atau akan tetap kokoh dan mampu bertahan
dalam terpaan nilai-nilai global yang menantang kesatuan negara bangsa (union state)
Indonesia? Bagamanakah mengaktualisasikan pemahaman nilai-nilai ke
Bhinnekatunggal Ikaan Hal inilah yang menjadi permasalahan dalam kajian ini agar
terwujud dan terpelihara secara langgeng integrasi sebagai pilar nasionalisme

Ada beberapa cara untuk menjadikan Bhinneka Tunggal Ika lebih membumi dalam
pribadi masyarakat yang heterogen ini, salah satunya yaitu dengan identitas sosial
mutual differentiation model dari Brewer & Gaertner (2003) yang diterapkan pada diri
setiap Individu dalam bangsa ini. Mutual differentiation model adalah suatu model
dimana seseorang atau kelompok tertentu yang mempertahankan identitas asal
(kesukuan atau daerah) namun secara bersamaan kesemua kelompok tersebut juga
memiliki suatu tujuan bersama yang pada akhirnya mempersatukan mereka semua.

Model ini akan memunculkan identitas ganda yang bersifat hirarkis, dengan artian
seseorang tidak akan melepaskan identitas asalnya dan memiliki suatu identitas
bersama yang lebih tinggi nilainya. Sebagai contoh seseorang tidak melupakan
asalnya sebagai orang Minang, namun memiliki suatu kesatuan bersama yang lebih
diutamakan yaitu sebagai rakyat Indonesia. Dengan demikian identitas kesukuan atau
daerah lebih rendah nilai dan

keutamaannya daripada identitas nasional, Sesuai dengan makna Bhinneka Tunggal


Ika itu sendiri, dimana persatuan adalah harga mati.

Pada masa kepemimpinan Ir.Soekarno, beliau pernah melakukan usaha


mempersatukan seluruh bangsa dengan jargon “Ganyang Malaysia”, “Amerika kita
Seterika”, “Jepang kita Panggang”, dan “Inggris kita Linggis” dimana pada kesempatan
tersebut beliau menebar propaganda bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki
musuh bersama yaitu Malaysia, Jepang, Amerika dan Inggris.

Dengan adanya Ultimate Goal maka persatuan akan semakin kuat dikarenakan
tumbuhnya perasaan senasib-sepenanggungan dalam masyarakat sebangsa dan
setanah air. Perasaan, semangat dan tujuan seperti itulah yang akan membuat
masyarakat heterogen menjadi bersatu, membentuk suatu identitas sosial nasional
yang lebih kuat daripada kepentingan kelompok, golongan dan pribadi.
Dengan mengakui perbedaan dan menghormati perbedaan itu sendiri ditambah
kuatnya mempertahankan ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa merupakan
suatu model identitas sosial yang sangat baik dalam bangsa ini. Sehingga terjalin
kerjasama antar semua golongan tanpa pernah menyinggung perbedaan karena
memiliki suatu tujuan utama dan kebanggaan bersama atas persatuan bangsa.

Toleransi dalam konteks kehidupan berbangsa adalah sikap menghargai satu sama
lain, melarang adanya dikriminasi dan ketidak-adilan dari kelompok mayoritas terhadap
minoritas, baik secara suku, budaya dan agama dengan tujuan untuk mewujudkan cita-
cita luhur bersama.

Selain masalah kebangsaan, tantangan kedepan pada masa mendatang dari bangsa
ini adalah menghadapi era globalisasi ekonomi, kapitalisme yang menggurita,
imperialis, orientalis, penyusupan paham-paham menyimpang dari pihak luar, serta
dari dalam negeri sendiri seperti pengkhianatan, fundamentalis dan ‘barisan sakit hati’
yang bertujuan memperkeruh keadaan, menyulut konflik dan kesenjangan sehingga
terjadi aksi-aksi dengan hasil keadaan yang menjauhkan kita dari jalur pencapaian
cita-cita luhur.
Implementasi Bhineka Tunggal Ika dan Cita-Cita Luhur Bangsa Indonesia
Untuk dapat mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara dipandang perlu untuk memahami secara mendalam prinsip-prinsip
yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai
berikut :
1.  Dalam rangka membentuk kesatuan dari keaneka ragaman tidak terjadi
pembentukan konsep baru dari keanekaragaman konsep-konsep yang terdapat
pada unsur-unsur atau komponen bangsa. Suatu contoh di negara tercinta ini
terdapat begitu aneka ragam agama dan kepercayaan. Dengan ke-tunggalan
Bhinneka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk membentuk agama baru.
Setiap agama diakui seperti apa adanya, namun dalam kehidupan beragama di
Indonesia dicari common denominator, yakni prinsip-prinsip yang ditemui dari
setiap agama yag memiliki kesamaan, dan common denominator ini yang kita
pegang sebagai ke-tunggalan, untuk kemudian dipergunakan sebagai acuan
dalam hidup berbangsa dan bernegara. Demikian pula halnya dengan adat
budaya daerah, tetap diakui eksistensinya dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berwawasan kebangsaan. Faham Bhinneka Tunggal Ika, yang
oleh Ir Sujamto disebut sebagai faham Tantularisme, bukan faham sinkretisme,
yang mencoba untuk mengembangkan konsep baru dari unsur asli dengan
unsur yang datang dari luar.
2.  Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif; hal ini bermakna
bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan merasa
dirinya yang paling benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan
martabat pihak lain. Pandangan sektarian dan eksklusif ini akan memicu
terbentuknya keakuan yang berlebihan dengan tidak atau kurang
memperhitungkan pihak lain, memupuk kecurigaan, kecemburuan, dan
persaingan yang tidak sehat. Bhinneka Tunggal Ika bersifat inklusif. Golongan
mayoritas dalam hidup berbangsa dan bernegara tidak memaksakan
kehendaknya pada golongan minoritas.
3. Bhinneka Tunggal Ika tidak bersifat formalistis yang hanya menunjukkan
perilaku semu. Bhinneka Tunggal Ika dilandasi oleh sikap saling percaya
mempercayai, saling hormat menghormati, saling cinta mencintai dan rukun.
Hanya dengan cara demikian maka keanekaragaman ini dapat dipersatukan.
4.  Bhinneka Tunggal Ika bersifat konvergen tidak divergen, yang bermakna
perbedaan yang terjadi dalam keanekaragaman tidak untuk dibesar-besarkan,
tetapi dicari titik temu,  dalam bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan
terwujud apabila dilandasi oleh sikap toleran, non sektarian, inklusif,
akomodatif, dan rukun.
5. Prinsip atau asas pluralistik dan multikultural Bhinneka Tunggal Ika
mendukung nilai:
1. inklusif, tidak bersifat eksklusif,
2. terbuka,
3. ko-eksistensi damai dan kebersamaan,
4.  kesetaraan,
5. tidak merasa yang paling benar,
6. toleransi,
7. musyawarah disertai dengan penghargaan terhadap pihak lain yang
berbeda.
Setelah kita fahami beberapa prinsip yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika,
maka langkah selanjutnya adalah bagaimana prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika ini
diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
1. 1.   Perilaku inklusif. 
Dalam kehidupan bersama yang menerapkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika
memandang bahwa dirinya, baik itu sebagai individu atau kelompok masyarakat
merasa dirinya hanya merupakan sebagian dari kesatuan dari masyarakat yang lebih
luas. Betapa besar dan penting kelompoknya dalam kehidupan bersama, tidak
memandang rendah dan menyepelekan kelompok yang lain. Masing-masing memiliki
peran yang tidak dapat diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.
1. 2.    Mengakomodasi sifat pluralistik. 
Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh
masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan
bahasanya masing-masing, dan menempati ribuan pulau yang tiada jarang terpisah
demikian jauh pulau yang satu dari pulau yang lain. Tanpa memahami makna
pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman secara
tepat, dengan mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling hormat
menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran, harkat dan
martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi
menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi
lestarinya negara-bangsa Indonesia. Kerukunan hidup perlu dikembangkan dengan
sepatutnya. Suatu contoh sebelum terjadi reformasi, di Ambon berlaku suatu pola
kehidupan bersama yang disebut pela gandong, suatu pola kehidupan masyarakat
yang tidak melandaskan diri pada agama, tetapi semata-mata pada kehidupan
bersama pada wilayah tertentu. Pemeluk berbagai agama berlangsung sangat rukun,
bantu membantu dalam kegiatan yang tidak bersifat ritual keagamaan. Mereka tidak
membedakan suku-suku yang berdiam di wilayah tersebut, dan sebagainya.
Sayangnya dengan terjadinya reformasi yang mengusung kebebasan, pola kehidupan
masyarakat yang demikian ideal ini telah tergerus arus reformasi.
1. 3.      Tidak mencari menangnya sendiri. 
Menghormati pendapat pihak lain, dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya
sendiri yang paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur
dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat
merupakan hal yang harus berkembang dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan
ini tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan
divergensi, tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari
berbagai keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan musyawarah untuk
mencapai mufakat.
1. 4.   Musyawarah untuk mencapai mufakat.
Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan
“musyawa-rah untuk mencapai mufakat.” Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan
kesepakatan bersama, tetapi common denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih
sebagai kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan tercapai dengan proses
musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan yang timbul
diakomodasi dalam kesepa-katan. Tidak ada yang menang tidak ada yang kalah. Inilah
yang biasa disebut sebagai win win solution.
1. 5.   Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban.
Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling curiga mencurigai harus dibuang jauh-
jauh. Saling percaya mempercayai harus dikembangkan, iri hati, dengki harus dibuang
dari kamus Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini akan berlangsung apabila pelaksanaan
Bhnneka Tunggal Ika menerap-kan adagium “leladi sesamining dumadi, sepi ing
pamrih, rame ing gawe, jer basuki mowo beyo.” Eksistensi kita di dunia adalah untuk
memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh tanpa pamrih pribadi dan
golongan, disertai dengan pengorbanan. Tanpa pengorbanan, sekurang-kurangnya
mengurangi kepentingan dan pamrih pribadi, kesatuan tidak mungkin terwujud.
1. 6.   Toleran dalam perbedaan.
Setiap penduduk Indonesia harus memandang bahwa perbedaan tradisi, bahasa, dan
adat-istiadat antara satu etnis dengan etnis lain sebagai, antara satu agama dengan
agama lain, sebagai aset bangsa yang harus dihargai dan dilestarikan. Pandangan
semacam ini akan menumbuhkan rasa saling menghormati, menyuburkan semangat
kerukunan, serta menyuburkan jiwa toleransi dalam diri setiap individu.
Bila setiap warga negara memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, meyakini akan
ketepatannya bagi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mau dan
mampu mengimplementasikan secara tepat dan benar, Negara Indonesia akan tetap
kokoh dan bersatu selamanya.
Bhineka Tunggal Ika pada era Glablisasi saat ini, Indonesia pada saat ini banyak
mengalami kemunduran persatuan dan kesatuan. Penyebabnya adalah adanya
ketimpangan sosial, kesenjangan ekonomi, belum stabilnya kondisi politik
pemerintahan di Indonesia menjadikan rakyat tumbuh menjadi rakyat yang apatis
terhadap pemerintah. Dampak  buruk globalisasi yang membawa kebudayaan-
kebudayaan baru menjadikan komposisi kebudayaan masyarakat Indonesia menjadi
lebih kompleks atau rumit. Karena banyaknya kebudayaan baru yang datang dan
diterima begitu saja, menyebabkan terjadinya penyimpangan kebudayaan di
masyarakat. Belum lagi masalah klasik yang sepele namun berdampak serius seperti
perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan yang semakin memecah belah
kesatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Melihat kondisi seperti ini tentu kita semua
tidak boleh pesimis dan patah semangat, Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika
yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua, selamanya akan tetap relevan untuk
mengiringi kehidupan bernegara di negeri yang multikultural ini, karena komposisi
kehidupan rakyat Indonesia akan terus beragam sampai kapanpun. Ketimpangan
sosial, kesenjangan ekonomi, perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan di
antara kita janganlah dijadikan pembeda. Perkembangan jaman yang cepat dan
masuknya budaya baru biarkanlah berlalu, karena pada dasarnya kita semua satu,
satu bangsa, Bangsa Indonesia. Satu tanah air, Tanah air Indonesia. Satu bahasa,
bahasa Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua. Jaya
Indonesia !

2.3. Bersosial Media


A. Era Globalisasi
Era Gobalisasi Menurut Setiawan globalisasi merupakan suatu porses dengan
kejadian, keputusan, dan kegiatan disalah satu bagian dunia menjadi satu
konsekuensi yang signifikan bagi individu dan masyarakat d idaerah yang jauh.
Globalisasi mendorong adanya perubahan yang terjadi dalam beberapa bidang,
seperti politik, ekonomi, sosial,budaya, teknologi, pertahanan keamanan,
lingkungan hidup,dan pergaulan hidup (Maulana Arafat Lubis,Pembelajaran ppkn di
SD/MI implementasi pendidikan a bad 21(Medan: AKASHA SAKTI, 2018) , hlm. 57)
Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yng mendunia dan tdak
mengenal batas wilayah. Globlisasi pada hakikatna adalah suatu proses dari
gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti olh bangsa lain
yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi
pedoman bersma bagi bangsa-bangsa diseluruh dunia. Proses globalisasi
berlangsung melalui dua dimensi, yaitu dimensi ruang dan waktu. Globalisasi
seakan telah mampu menciptakan hubungan interpersonal masyarakat indonesia
menjadi lebih individualistik, mementingkan diri sendiri, dan pragmatis. Masyarakat
kita ini cenderung pragmatis sebagai akibat dari prngaruh persoalan gaya hidup
global yang sudah merasuk kedalam kesadaran pola hidup mereka. Selain itu,
pemahaman nasionalisme bangsa mulai menurun disaat negara butuh solidaritas
dan persatuan hingga sikap gotong royon, sebagian kecil masyaralat terutamayan
ada diprotaaan justru lebih mengutamakan kelompok nya, golonganya,bahkan
negara lain dibandingkan kepentingan negaranya. Diera globalisasi sepeti
sekarang ini, setiap negara dituntut untuk lebih maju mengikuti setiap
perkembengan demi perkembangan, yanh terkadang jauh dari sebuah keteraturan.
Pihak yang diuntugkan dalam situasi tersebut, tentunya adalah negara maju yang
memiliki tingkat kemapanandan kemanpuan yang jauh lebih tinggijika dibandingkan
dengan negara-negara berkembang.selain itu, globaisasi mampu menciptakan
peningkatan terkaittan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia
diseluruh manusia. Akibatnya, tidak jarang banyak pengaruh yang masuk dari luar
baik yang memilikinilai positip maupun negatip. Perkembangan globalisasi, mampu
memberikan pengaruh yang besar terhadap nilai-nilai yang telah berkembang
dimasyarakat. Bahkan dalam konteks yang lebih luas, globalisasi mampu
menghancurkan nilai-nilai yang telah ada dimasyarakat, seperti nilai- nilai sosial
buday, ideologi, agama, politik, dan ekonomi.
1. Politik ,meliputi perkembangan sistem demokrasi dan krja sama antar
negaramenjadi berkembangannya suatu negara
2. Ekonomi, ditandai adanya perdangangan bebas yang menimbulkan barang tidak
original lagi.
3. Sosial, meliputi berkembangannya intraksi sosia masyarakat baik dalam tta
muka maupun menggunkan aplikasi media sosial seperti facebook dan lain-lain.
4. Budaya ditandai dengan timbulnya seniyang inovatif baik dalam bahas, tarian.
nyanyian, maupun kuliner dapat melekat sebagai ciri khas suku-suku yang ada
diindonesia.

PERMASALAHANAANNNN
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan atau moto dari bangsa Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika berasal dari kutipan Kitab Sutasoma, yang ditulis oleh Mpu
Tantular pada masa Kerajaan Majapahit, yang mengajarkan sifat toleransi antar
umat. Bila diartikan secara harfiah, frasa ini bermakna ‘berbeda-beda tetapi tetap
satu juga,’ yang mana semboyan ini dipakai untuk menggambarkan adanya
persatuan dan kesatuan dari bangsa Indonesia, yang sejatinya memiliki
keanekaragaman budaya, bahasa daerah, ras, suku, agama dan keyakinan.
Keberagaman ini merupakan kekayaan yang seharusnya patut menjadi
kebanggaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, potensi kebanggaan tersebut
bisa menjadi tidak bermakna, ketika kebhinekaan yang ada, tidak dipahami
sepenuhnya serta tidak menjadi bagian hidup dari setiap diri anak bangsa,
sehingga rasa nasionalismenya lama kelamaan dapat tergerus. Ketika rasa
nasionalisme dan kebangsaan semakin tergerus, maka fenomena ini bisa
termanifestasi/terlihat pada tindakan nyata dari tiap-tiap individu dalam 2
kesehariannya, disertai dengan munculnya berbagai konflik belakangan ini, seperti:
Perang Antar Suku (Ibele dengan Muliama) yang pernah terjadi di Distrik Ibele,
Wamena, Kabupaten Jayawijaya pada Sabtu (2/1/2016). Penyebabnya yakni
adanya pembunuhan warga Suku Muliama di Jayapura yang dilakukan oleh
sejumlah warga sehingga terjadi aksi balas dendam. Untuk contoh konflik lainnya,
yakni pernah terjadinya aksi Pembakaran Vihara Juanda dan Klenteng di
Tanjungbalai, Sumatera Utara pada 29 Juli 2016, yang mana persoalannya
bermula dari adanya keluhan salah seorang warga Etnis Tionghoa yang merasa
terganggu, atas bunyi suara azan yang dikumandangkan oleh salah satu masjid di
dekat rumahnya. Berhubung isu keagamaan merupakan konflik yang sensitif,
ditambah dengan kondisi emosional masyarakat yang mudah tersulut, maka
timbullah keributan dengan disertai aksi pengerusakan dan pembakaran tersebut.
Selanjutnya, untuk contoh konflik ketiga yang masih berkaitan dengan konteks
kebhinekaan, yaitu adanya aksi massa menolak pemimpin non-muslim yang
mereka sebut dengan ‘Pemimpin Kafir.’ Aksi ini tercatat dilakukan oleh massa yang
tergabung dalam Aliansi Peduli Umat dan Bangsa yang menggelar aksi unjuk rasa
di Jakarta pada tanggal 4 Agustus 2016. Massa yang terdiri dari Hizbut Tahrir
Indonesia, Front Pembela Islam, Forum RT/RW, Laskar Luar Batang dan Amju,
mengajak warga Ibu Kota untuk bersatu padu melakukan penolakan dan tidak
memilih Gubernur Non-Muslim pada Pemilihan Gubernur DKI 2017 mendatang.
Sementara itu, seruan untuk menolak pemimpin non muslim ini tidak hanya
dilakukan dengan turun ke jalan, tetapi melakukannya juga di beberapa media
sosial, tercatat seperti: Twitter dengan hastag #tolakpemimpinkafir, #tangkapahok,
lalu ada pula di Facebook dengan membuat grup ‘100.000.000 Umat Islam--
>>Tolak Pemimpin Kafir (Ahok dkk) di Indonesia.’ Untuk contoh berikutnya, masih
terkait dengan konflik berkonteks kebhinekaan, yakni terjadi pada tanggal 7
Desember 2016, yang mana pada waktu itu sekelompok ormas Islam yang
menamakan dirinya sebagai Pembela Ahlu Sunnah dan Dewan Dakwah Islam
menghentikan acara natal yang diselenggarakan oleh Kebaktian Kebangunan
Rohani di Gedung Sabuga (Bandung), karena ormas ini menganggap acara
keagamaan tersebut seharusnya dilakukan di tempat ibadah, bukan di tempat
umum. Realita ini merupakan tindakan yang memprihatinkan serta dapat
berpotensi untuk memperpecah 3 persatuan dan kesatuan bangsa. Lalu, dengan
adanya aksi pembubaran tersebut memunculkan beragam kritikan dari para
pengguna media sosial melalui hastag #BandungIntoleran, untuk contoh
kritikannya dapat dilihat pada salah satu tweet di akun NEG@negativisme:
“Jumatan di Monas boleh, Sholat Ied di jalan-jalan boleh juga. Kenapa yang dari
agama lain beribadah di tempat lain tidak boleh? Aneh! #BandungIntoleran.” Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika moto Bhinneka Tunggal Ika, tidak bisa
menjadikan negara ini sebagai negara yang toleran, setidaknya terlihat dari hasil
temuan survey Setara Institute terhadap 94 kota di seluruh Indonesia, di mana
terdapat sepuluh kota dengan intensitas intoleran yang tinggi, yaitu Bogor, Bekasi,
Tangerang, Depok, Bandung, Serang, Mataram, Sukabumi, Banjar Tasikmalaya
dan Aceh. Kota Bogor misalnya, dengan kasus-kasus seperti Gereja Kristen
Indonesia Yasmin, Ahmadiyah, dan pelarangan Asyura menjadi salah satu
indikator kota intoleran. Selain itu, kota-kota di Provinsi Jawa Barat ternyata juga
memiliki banyak perda diskriminatif (contohnya: Perda Pelarangan Pendirian
Rumah Ibadah di Bogor). Perda tersebut bukan hanya menyudutkan satu atau dua
pihak golongan saja, tetapi melarang secara jelas praktik keagamaan yang tidak
sesuai dengan kepercayaan mainstream, sehingga kondisi ini dapat dikatakan
bahwa Bangsa Indonesia saat ini tidak hanya sedang mengalami darurat narkoba,
tetapi juga sedang mengalami yang namanya darurat/krisis rasa kebhinekaan,
yang mana masingmasing pihak yang sedang berkonflik (baik itu berkonflik melalui
media sosial maupun yang turun di jalan), hanya berupaya memperjuangkan
keegoan suku, agama dan keyakinannya masing-masing, tanpa memperdulikan
nasib dan urusan pihak lain. Kondisi ini tentunya sekali lagi bertentangan dengan
Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan pemersatu bangsa. Akhirnya, melalui
makalah ini, Penulis ingin melihat bagaimana deskripsi kontestasi isu kebhinekaan
muncul dalam media sosial, bila dilihat dari asumsiasumsi teoritis?, serta
bagaimana membangun rasa santun berkomunikasi dalam media sosial, agar
ujaran-ujaran kebencian terhadap suku, golongan, agama dan keyakinan tertentu,
setidaknya bisa dikurangi di media sosial?

PEMBAHASAN
Pembahasan Perkembangan teknologi komunikasi yang pesat, telah membawa
perubahan yang signifikan bagi masyarakat dalam berbagai aspek. Melalui
teknologi komunikasi yang baru, 4 juga melahirkan apa yang kemudian dikenal
sebagai media baru (new media). McQuail secara tegas menyatakan bahwa media
baru telah mengubah dan memperluas seluruh spektrum sosio-teknologi dalam
komunikasi publik. McQuail menekankan pemahaman mengenai ‘media baru’ dari
‘media tradisional’, dengan ciri utamanya berupa adanya digitalisasi dan keluasaan
akses informasi bagi pengguna pribadi. Oleh karena itu, McQuail merujuk ‘media
baru’ pada penggunaan internet yang berkaitan dengan penggunaan publik, seperti
berita daring, iklan, aplikasi penyiaran, forum dan aktivitas diskusi, world wide web
(www), pencarian informasi dan potensi adanya pembentukan komunitas tertentu.
Hal senada diungkapkan pula oleh Mondry (2008: 13), yang menyatakan new
media sebagai media yang berbasis pada internet, media online berbasis teknologi,
berkarakter fleksibel, berpotensi interaktif, serta dapat berfungsi secara privat
maupun secara publik. Selanjutnya, McQuail juga menyatakan sejatinya sifat dari
media baru merupakan hal yang baru, karena media baru mengaburkan batasan
antara model media cetak dan model penyiaran, sehingga memungkinkan
terjadinya percakapan dengan melibatkan banyak pihak; memungkinkan adanya
penerimaan, pengiriman dan penyebaran kembali objek-objek budaya;
memindahkan posisi tindakan komunikasi dengan mengabaikan persoalan negara
dan wilayah; serta menyediakan kontak global dengan mudah (McQuail, 2010:
136-138). Sementara itu, bila mengutip pemaparan McQuail bahwa ‘media baru’ itu
selalu berkaitan dengan penggunaan internet yang berorientasi publik, maka dapat
dikatakan kalau media sosial (blog/microblog (twitter), jejaring sosial (facebook,
instagram dan lainlain), wiki serta forum dunia virtual) yang mana sama-sama
menggunakan internet, juga termasuk bagian dalam media baru/new media. Lebih
lanjut Kaplan dan Haenlein (2010: 59–68), mendefinisikan media sosial sebagai
kelompok aplikasi berbasis internet yang dibangun atas dasar ideologi dan
teknologi web 2.0, yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated
content. User-Generated Content ini artinya semua pihak yang terlibat dalam
media/jejaring sosial menjadi lebih interaktif, dan telah menjadi area untuk semua
pengguna, tidak hanya dimiliki oleh beberapa pihak saja. Semua user dapat
langsung mengambil peran dan menaruh apapun ke dalam internet.
Perkembangan Web 2.0 sebagai platform, telah 5 mengubah sifat interaktivitas dan
membuka alam semesta bagi pengguna media sosial. Sedangkan, metafora
sebelumnya dari Web 1.0, users hanya dikenankan untuk mengunduh informasi
semata, oleh sebab itu tidak jauh berbeda kondisinya dengan ketika mengonsumsi
media penyiaran. Untuk aplikasi Web 2.0 ini, memungkinkan para pengguna blog,
youtube, wiki, flickr dan situs jaringan sosial online lainnya, menjadi produsen
informasi yang otonom. Selain itu, media sosial juga memiliki ciri-ciri, yaitu sebagai
berikut: pertama, pesan yang disampaikan bersifat bebas, tanpa harus melalui
suatu gatekeeper; kedua, pesan yang disampaikan cenderung lebih cepat
dibandingkan dengan media lainnya; ketiga, penerima pesan yang menentukan
waktu interaksi; serta keempat, pesan yang disampaikan tidak hanya untuk satu
orang saja, namun bisa ke banyak orang (many to many), contohnya pesan melalui
internet. Melalui internet (seperti halnya media sosial) di era digital, menurut
Castells (2009), akan muncul bentuk baru dari komunikasi interaktif dengan
kapasitas pengiriman pesan bersifat ‘many to many’, ‘real time’ dan juga
memungkinkan untuk menggunakan komunikasi ‘point to point’, ‘broadcasting’,
yang mana kesemuanya itu bisa diatur sesuai dengan maksud/tujuan komunikasi
yang diinginkan, dan Castells menyebutnya sebagai ‘mass self-communication’.
Alasan penyebutan ‘mass self-communication’ ini karena setiap orang mampu
membuat dan mengirim pesan sendiri, serta bisa menentukan sendiri pihak-pihak
yang akan dituju (‘receiver’). Berbeda halnya dengan konteks komunikasi
interpersonal, di mana pengirim dan penerima pesan merupakan subyek
komunikasi dan bersifat interaktif, sedangkan komunikasi massa bisa bersifat
interaktif maupun satu arah serta punya potensi untuk menyebar secara luas di
masyarakat (one to many). Bila konsep mass self-communication ini dikaitkan
dengan konteks kontestasi kebhinekaan dalam media sosial, maka bagi mereka
produsen informasi dan penyebar ujaran kebencian yang pemikirannya sempit
(seperti artikel-artikel bermuatan kebencian terhadap Ahok/non muslim melalui
blog, lalu hastag #tolakpemimpinkafir, #tangkapahok di Twitter serta bikin grup
Facebook ‘100.000.000 Umat Islam-->>Tolak Pemimpin Kafir (Ahok dkk) di
Indonesia),’ berpotensi dapat mempengaruhi pihak-pihak yang dituju (receiver)
agar mau mengikuti pola pikir mereka, yakni menolak Ahok dan calon pemimpin
non muslim lainnya. Selain itu, akun-akun di jejaring sosial bisa digunakan pula
sebagai 6 ‘produsen’ penggali solidaritas bagi sesama (misalnya melalui hastag
#BandungIntoleran dan gerakan #PrayForAceh).
Posisi dan peranan media/jejaring sosial di Indonesia sangatlah penting, karena
menurut data dari WeAreSocial (Kompas, tanggal 21 November 2016) bahwa
pengguna aktif internet di Indonesia mengalami peningkatan 10% pada tahun
2016, dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni mencapai lebih dari 88 juta
orang. Apalagi ditambah dengan Rilis Hasil Survei Nasional yang diumumkan pada
13 September 2016 oleh Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS)
yang menunjukkan bahwa tingkat penggunaan publik/masyarakat atas beberapa
media sosial di Indonesia (mulai dari BBM, WhatsApp, Facebook, Path ataupun
Twitter) masih tergolong tinggi. Survei CSIS ini sendiri dilakukan pada tanggal 8-15
Agustus 2016 dengan mengambil 1000 responden secara acak (random sampling)
dari 34 provinsi di Indonesia. Respondennya merupakan masyarakat Indonesia
yang sudah memiliki hak pilih secara politik.
Penggunaan teknologi internet yang massif ini, perlahan menggeser perilaku
masyarakat, khususnya dalam berkomunikasi dengan orang lain atau publik (Katz
dalam Salmon, 2001: 6). Kegiatan yang bersifat publik seperti isu kebhinekaan
(politik, suku, agama ataupun keyakinan, bisa disampaikan melalui media sosial
dan messenger. Selain itu, dengan jumlah pengguna internet yang banyak seperti
ini, bisa dimanfaatkan oleh user media sosial (misalnya tokoh agama (Aa Gym dan
Habib Rizieq)) yang mana memiliki basis loyalis massa/umat yang besar, dengan
menggerakkan mereka melalui akun jejaring sosialnya, untuk melakukan Aksi Bela
Islam secara Damai dan lain-lain. Hal ini dapat terjadi, karena adanya hubungan
parasosial antara umat Islam dengan pemilik akun (tokoh agama). Hubungan
Parasosial (Parasocial Relationship) merupakan hubungan yang dimediasi melalui
berbagai media komunikasi (Cohen dalam Nabi dan Oliver, 2009: 224- 229).
Sementara untuk interaksi parasosial (Parasocial Interactions) dapat digambarkan
sebagai pengalaman ilusi, sehingga khalayak media sosial (umat) dapat
berinteraksi dengan yang mereka kagumi (misalnya selebriti, ataupun tokoh
agama) yang mana seolah-olah khalayak terlibat dalam hubungan timbal balik
secara face to face dengan mereka, dan merasa seolah-olah di mediasi untuk
berinteraksi langsung dengan tokohtokoh tersebut. Horton & Wohl (dalam Nabi dan
Oliver, 2009: 224-229) menyebut fenomena ini sebagai sebuah ‘keintiman dari
kejauhan’ (intimacy at a distance). Umat Islam/masyarakat pada umumnya akan
merasa intim dengan tokoh agama/tokoh adat dan akan mengikuti setiap perintah
dari tokoh agama/tokoh adat yang mereka idolakan, meskipun perintah tersebut
disampaikan melalui blog ataupun akun jejaring sosial. Oleh karena itu, dibutuhkan
adanya konsistensi kesantunan oleh para tokoh agama/tokoh adat dan juga orang-
orang yang memiliki basis massa yang besar, ketika berkomunikasi di media sosial.
Users (umat Islam/masyarakat) dianalogikan bisa berekspresi dengan
berkomunikasi secara negatif disertai dengan menghujat calon pemimpin non
muslim, namun gate keepers dari ujaran dan aksi negatif tersebut, seharusnya
tetap ada pada diri tokoh-tokoh ini untuk tidak terpancing mengeluarkan
pernyataan-pernyataan yang bernada provokatif dan juga pernyataan yang dapat
merusak persatuan bangsa. Penulis merasa hal inilah merupakan salah satu cara
dalam membangun rasa santun berkomunikasi dalam bermedia sosial di
Indonesia.

2.4. Kaitan
Pancasila dalam Menghadapi Ancaman Kebhinekaan Dalam sejarah panjang
Indonesia, Pancasila merupakan nilai-nilai dasar kebangsaan yang disepakati sebagai
pengikat dan perekat bagi persatuan dan kesatuan Indonesia yang multikultur. Bangsa
Indonesia juga memiliki pandangan hidup, filsafat hidup, dan pegangan hidup dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yaitu Pancasila yang dibentuk
berdasarkan suatu asas kultural yang dimiliki dan melekat pada diri bangsa Indonesia
sendiri(Agus, 2016) Norma-norma dasar yang terkandung dalam Pancasila sebagai
dasar negara dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa, bermakna:
a)Dasar kehidupan bernegara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
b)Jaminan memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaan;
c)Toleransi antar pemeluk agama dan aliran kepercayaan;d) Hak dan kebebasan
mengembangkan agama dan kepercayaan, tanpa melanggar kebebasan yang lain.
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, bermakna: a) Pengakuan negara
terhadap hak tiap bangsa menentukan nasibnya sendiri;b) Perlakuan tiap manusia
secara adil, sama, dan sederajat; c) Jaminan negara terhadap hukum dan pemerintah
secara sama, dengan kewajiban menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan. 3)
Persatuan Indonesia, bermakna: a) Perlindungan negara terhadap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial; b) Peran negara mengatasi segala paham golongan dan
paham perseorangan; c) Pengakuan negara terhadap Bineka Tunggal Ika. 4)
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, bermakna: a) Kedaulatan di tangan rakyat; b) Keputusan dengan asas
musyawarah mufakat, dengan pengecualian suara terbanyak jika tidak tercapai
mufakat; c) Negara berdasar atas hukum (rechstaat), bukan kekuasaan belaka.
(machstaat); d) NKRI berdasarkan konstitusi tidak bersifat absolutism(kekuasaan yang
tidak terbatas). 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bermakna: a)
Perekonomian disusun dengan asas demokrasi ekonomi; b) Penguasaan negara
terhadap cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak; c) Kekayaan Indonesia untuk kemakmuran rakyat; d) Perlakuan adil terhadap
setiap orang Indonesia di segala bidang; e) Hak pendidikan bagi setiap warga
negara.Terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa (Achmad Fauzi, dkk, 1981)
Secara khusus Pancasila juga berfungsi sebagai sebagai dasar filsafat Negara
Republik Indonesia (Philosofische Gronslag) yang tercantum dalam pembukaan
Undang-undang Dasar 1945 (UUD1945) alinea IV. Hal ini mengandung konsekuensi
bahwa dalam setiap aspek penyelenggaraan negaa harus sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila. Hal ini meliputi segala perundang-undangan dalam negara, pemerintahan
dan aspek-aspek kenegaraan lainnya.21Pancasila sebagai dasar negara memang
berkonotasi yuridis dalam arti melahirkan berbagai peraturan perundangan yang
tersusun secara hierarkis dan bersumber darinya; sedangkan Pancasila sebagai
ideologi dapat dikonotasikan sebagai program sosial politik tempat hukum menjadi
salah satu alatnya dan karennya juga harus bersumber darinya.22 Nilai-nilai Pancasila
harus digunakan sebagai dasar dalam memerangi radikalisme, karena paham ini tentu
saja sangat bertentangan dengan Pancasila. Nilai-nilai Pancasila dapat
diimplementasikan dalam berbagai upaya nyata. Upaya yang dapat dilakukan agar
radikalisme tidak berkembang adalah sebagai berikut : 1) Pemerintah harus
menciptakan kualitas dan taraf pendidikan yang baik, kesejahteraan masyarakat,
hukum ditegakkan secara benar, dan pemerintah berwibawa. 2) Penguatan identitas
dan kohesivitas kelompok ditemukan memiliki kontribusi yang relevan dalam bias
proses pengambilan keputusan peledakan bom sebagai jihad. Keputusan itu lebih
didorong oleh motivasional dan bukan rasional, sehingga rekonstruksi skema kognitif
tertentu berkaitan dengan jihad bukan menjadi pilihan utama dalam kegiatan counter-
terorisme. Menurunkan kohesivitas kelompok dan identitas kelompok merupakan
merupakan langkah awal yang bermanfaat dalam mengurangi kecenderungan
dihasilkannya keputusan dalam kelompok yang lebih beresiko dalam relasi antar
kelompok. 3) Peminimalan akses terhadap berbagai permasalahan dan informasi yang
dapat digunakan sebagai justifikasi, di antara dua penilaian ketidakadilan terhadap
kelompok yang disebabkan oleh penindasan dan penganiayaan, pengurangan
ancaman terhadap kelompok, serta akses yang terbuka untuk berperan serta dalam
struktur sosial dengan sistem yang beragam tanpa mengabaikan pemenuhan
kebutuhan mereka akan identitas muslim yang integralistik, akan berguna dalam
mengembalikan mereka dalam strategi yang moderat dalam relasi antarkelompok yang
bersifat kompetitif tersebut.23
Menurut Abdurrahman Wahid, penerimaan Pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa merupakan bentuk kesadaran akan realitas keberagaman di Indonesia. Islam
di Indonesia bukanlah satu-satunya agama yang ada. Dengan demikian, negara harus
memberikan pelayanan yang adil kepada semua agama yang diakui. Itu juga berarti
negara harus menjamin pola pergaulan yang serasi dan berimbang antarsesama
umat.24 Keberagaman yang adalah hendaknya selalu dijadikan aset yang tidak ternilai
dan membanggakan bagi masyarakat Indonesia.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan atau moto dari bangsa Indonesia, yang
mengajarkan sifat toleransi antar umat. Semboyan ini dipakai untuk menggambarkan
adanya persatuan dan kesatuan dari bangsa Indonesia, yang sejatinya memiliki
keanekaragaman budaya, bahasa, ras, suku, agama dan keyakinan. Keberagaman ini
merupakan kekayaan yang seharusnya patut menjadi kebanggaan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Namun, kebanggaan tersebut bisa menjadi tidak bernilai, ketika
kebhinekaan yang ada, tidak dipahami secara utuh dari setiap diri anak bangsa,
sehingga rasa nasionalismenya lama kelamaan dapat tergerus/hilang. Rasa
kebhinekaan yang utuh dari setiap anak bangsa, seharusnya tercermin dengan
melepaskan egosentrisme yang berpikiran sempit, yang mana hanya memikirkan
sukunya, daerahnya, agamanya ataupun keyakinannya saja. Setiap anak bangsa
seharusnya melihat keberagaman bukan sebagai masalah, tetapi sebagai modal untuk
memajukan bangsa. Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh kita, tentunya dengan
menahan diri atau tidak mudah tersulut emosi, dengan cara memposting hal-hal yang
bernada persatuan/positif di media sosial, lalu juga memberikan kesempatan bagi
setiap anak bangsa untuk menjadi pemimpin, dengan tidak melihat latar belakang
agama ataupun suku dari calon pemimpin tersebut. Setiap anak bangsa seharusnya
berpikiran luas dan jauh ke depan, demi persatuan dan kemajuan bangsa Indonesia.
3.2. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kesalahan, oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan masukan yang
membangun agar kedepannya penulis dapat menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
MIN 5
10%
14 Hal

Agus SB, (2016), Deradikalisasi Nusantara: Perang Semesta Berbasis Kearifan Lokal
Melawan Radikalisasi dan Terorisme, Daulat Press, Jakarta
Effendy suryana & Kaswan, pancasila & ketahanan jati diri bagsa diera globalisasi,
(Bandung: Pt Refika Aditama,2015,) hlm 153-156
Achmad Fauzi, dkk, (1981), Pancasila Ditinjau Dari Segi Historis, Segi Yuridis
Konstitusional, dan Segi Filosofis, Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya, Malang.
Kaelan, (2002), Filsafat Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.
Mahfud MD, (2007), Perdebatan Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LPES,
Jakarta
Maulana Arafat Lubis,Pembelajaran ppkn di SD/MI implementasi pendidikan a bad
21(Medan: AKASHA SAKTI, 2018) , hlm. 57
Isnawan, Fuadi., (2018), Program Deradikalisasi Radikalisme dan Terorisme Melalui
Nilai-Nilai Luhur Pancasila, FIKRI (Jurnal Kajian Agama, Sosial dan Budaya), vol. 3 no.
1, edisi Juli, hlm. 20-21

TAMBAHAN
Castells, Manuel. (2009). Communication Power. Oxford: Oxford University Press.
Kaplan, Andreas M. and Haenlein, Michael. (2010). Users of The world, unite! The
Challenges and Opportunities of Social Media. Business Horizons 53 (1).
Katz, Elihu. (2001). Ownership, Technology, Content and Context in The Continuing
Search for Media Effects. Dalam ‘Communication year Book 35,’ Charles T. Salmon
(Ed.). New York and London: Routledge.
McQuail, Denis. (2010). McQuail’s Mass Communication Theory (Sixth Edition).
Thousand
Oaks, California: SAGE Publications Inc.
Mondry. (2008). Pemahaman Teori dan Praktek Jurnalistik. Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia.
Nabi, Robin L. and Oliver, Mary Beth (Eds.). (2009). The SAGE Handbook of Media
Processes and Effects. Los Angeles: SAGE Publications, Inc.
Surat Kabar Kompas, Edisi Senin, tanggal 21 November 201

Anda mungkin juga menyukai