Npm : 2011010461
Kelas :D
Jurusan : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Fakultas : Tarbiyah
Semester : 4 (empat)
Dosen pengampuh : Prof.Dr.Agus Pahrudin,M.P.d
Mata kuliah : Kebijakan Pendidikan Islam
Tugas : Ujian Akhir Semester (UAS)
1. UU SISDIKNAS
C. Kajian Literatur/Teori
Oleh karena itu, tugas guru memang tidaklah mudah, seiring dengan proses
globalisasi yang mengharuskan guru meningkatkan kualitasnya. Dalam proses
belajar mengajar, seorang guru memegang peranan penting. Guru adalah creator
proses belajar mengajar. Ia adalah orang yang akan suasana bebas bagi siswa untuk
mengembangkan kreatifitas dan mengemukakan ide-ide dalam batas-batas yang
yang telah ditentukan.Maka dari itu tugas utama guru adalah mengembangkan
potensi siswa secara maksimal lewat penyajian mata pelajaran. Dalam penyajian
mata pelajaran tersebut tidak sembarangan menyajikan, tetapi seorang guru harus
mempunyai ketrampilan yang nantinya menghasilkan peserta didik yang
berkualitas karena gurunya juga berkualitas.
C. Kajian Litratur/Teori
Pendapat dari beberapa pakar pendidikan bermacam-macam pendapat. Karena
wajah pendidikan kita yang tidak menentu dan memunculkan berbagai pendapat
dikalangan pendidikan terutama para pakar pendidikan. Apalagi mengenai
permasalahan guru. Selama ini profesi guru dipandang sebagai pengabdian. Jargon
pengabdian ini yang sering dijadikan alasan bagi pemerintah maupun pengelola
lembaga pendidikan non pemerintah untuk tidak memenuhi permintaan guru.
Padahal kalau pekerjaan guru dianggap sebagai profesi, maka imbalan yang
diterima seharusnya sesuai dengan tingkat kinerja yang dilaksanakan.
Ada beberapa pendapat tentang ditetapkannya Undang-undang Guru dan
Dosen, yang perlu ditingkatkan dengan adanya Undang-undang Guru dan
Dosen adalah kualitas guru, yaitu:
Pertama, aspek pendidikan guru. Selama ini pendidikan masih dianggap sebagai
media yang efektif untuk mempersiapkan seseorang agar lebih profesional dalam
menjalankan tugasnya, termasuk guru. Semakin tinggi jenjang pendidikan dan
kesesuaian dengan keahlian maka kinerja seseorang akan semakin optimal. Oleh
karena itu, guru yang jenjang pendidikannya masih rendah, apalagi belum sesuai
bidang yang diajarkan, perlu ditingkatkan pendidikannya.
Kedua, Kompetensi Guru. Mengukur kompetensi guru memang cukup sulit. Tetapi
paling tidak, ada indikator-indikator yang bisa mengukur kompetensi guru.
Diantaranya adalah menguasai materi, terampil dalam melaksanakan pembelajaran
mulai dari merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran. Maka
dari itu, seorang guru memerlukan training dalam berbagai bentuk, baik training
yang mengarah pada pengembangan pengetahuan maupun pengembangan
ketrampilan. Problem lain dalam kompetensi ini adalah banyak guru yang tidak
memiliki latar belakang ilmu keguruan.
Ketiga, Kesejahteraan. Kesejahteraan guru memang secara umum masih
memprihatinkan dan perlu mendapatkan perhatian, baik pemerintah maupun
pengelola pendidikan non pemerintah. Kebijakan dan usaha untuk mensejahterakan
guru mulai dari intensif, penghargaan, serta bentuk lainnya menjadi penting demi
kelangsungan pendidikan.
Penjelasan diatas jika dilakukan oleh seorang guru, maka tidak akan terjadi
dilematika dan problematika profesi guru dan menjadikan seorang guru yang
profesional. Ada sebagian pendapat lain yang mengatakan tentang penyebab
seorang guru itu mengalami sebuah dilematika profesi atau problema, yaitu
menurut H. Muhaimin mengatakan bahwa: “pada saat ini masih banyak orang yang
cerdas, guru yang terampil, pintar, kreatif, produktif dan profesional, tetapi tidak
dibarengi dengan kekokohan aqidah dan kedalaman spiritual serta keunggulan
akhlak, dan sebagai indikatornya akhir-akhir ini kita sering dihadapkan dengan isu-
isu tindak kekerasan,
anarchisme, premanisme, tindakan brutal, perkelahia antar pelajar, konsumsi
minuman keras, narkoba, yang sudah melanda di kalangan pelajar dan mahasiswa,
serta kriminalitas yang semakin hari semakin menjadi-jadi, yaitu isu adanya
kejahatan yang dilakukan oleh guru, eksekutif, birokrat, politisi atau yang setingkat
dengan mereka yang mewarnai halaman surat kabar, majalah dan media massa
lainnya.
D. Realisasinya di Lapangan
Sejak awal pembahasan sampai disahkannya Undang-Undang Guru dan Dosen
(UUGD) sudah menuai polemik di masyarakat. Alih-alih guru tidak mempunyai
UU yang dapat melindungi mereka selama ini, sebagian pihak menyambut hangat
kebijakan tersebut. Akan tetapi, pihak lain juga menilai, UUGD justru dapat
menimbulkan diskriminasi tersendiri di kalangan guru.11 Salah satunya adalah
kebijakan sertifikasi guru yang tertuang dalam Pasal 8, Pasal 11, dan Pasal 13
UUGD. Dalam Pasal 8 disebutkan, ”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.”
Namun pada kenyataannya dalam Pasal 11 disebutkan, sertifikat pendidik
diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Persyaratan tersebut
adalah guru harus sudah mempunyai kualifikasi akademik pendidikan S-1 atau D-
4 dan mengikuti pendidikan profesi sebanyak 36 SKS atau 20 SKS.
Berdasarkan data Depdiknas tahun 2004, guru yang belum memenuhi
kualifikasi akademisnya cukup besar. Jumlah total guru saat ini di Indonesia
mencapai 2,7 juta orang, sedangkan guru yang sudah berstatus S-1 baru mencapai
900.000 orang. Rencana pemerintah memberikan peningkatan gaji hanya kepada
40.000 pertama guru yang sudah bersertifikat.
Dekan FKIP Unpas Drs. Dadang Iskandar, M.Pd. menilai, kebijakan tersebut
notabene hanya mengada-ada. Apalagi biaya untuk sertifikasi guru seperti yang
tertuang dalam pasal 13, harus menjadi beban pemerintah pusat, provinsi, maupun
daerah, sedangkan anggaran pendidikan yang disediakan pemerintah sendiri sangat
minim. Dari 20 % APBN untuk pendidikan, pemerintah hanya mampu
merealisasikannya sebesar 8,1 %. Itu artinya, kebijakan sertifikasi ini bukan hanya
akan membebani guru tetapi juga pemerintah. Padahal, dari hampir semua provinsi
maupun kabupaten kota yang ada, kebanyakan kepala daerah atau dewan mengaku
tidak dapat memenuhi persentase anggaran pendidikan yang diamanatkan UUD
Perubahan tersebut.
C. Kajian Literatur/Teori
Pendidikan nasional Indonesia harus sejalandengan amanat Pasal 31 Undang-
Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945tentang
Pendidikan dan Kebudayaan. Secaraoperasional pelaksanaan pendidikan
merupakan realisasi Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Melalui pendidikan nasional setiapwarga
negara Indonesia diharapkan menjadimanusia yang bertakwa kepada Tuhan
YangMaha Esa, berakhlak mulia, cerdas, produktif, berdaya saing tinggi, dan
bermartabat di tengahpergaulan internasional. Dalam hubungan inisegala upaya
perlu dilakukan agar pelaksanaan pendidikan nasional dapat berhasil
sehinggatujuan pendidikan nasional dapat tercapai.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19Tahun 2005, SNP adalah kriteria
minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukumNegara Kesatuan
Republik Indonesia. SNPbertujuan menjamin mutu pendidikan nasionaldalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsadan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat. Fungsi SNP sebagai dasardalam perencanaan, terarah dan
berkelanjutansesuai dengan tuntutan perubahan lokal, nasional, dan global. Untuk
penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai SNPdilakukan evaluasi,
akreditasi dan sertifikasi. Selan jutnya, SNP disempurnakan secara terencana,
terarah, dan berkelanjutan sesuaidengan perubahan kehidupan lokal, nasional,dan
global. Lingkup SNP meliputi: a) Standar Isi; b)Standar Proses; c) Standar
Kompetensi Lulusan;d) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan; e) Standar
Sarana dan Prasarana; f) StandarPengelolaan; g) Standar Pembiayaan; dan
h)Standar Penilaian Pendidikan . SNP yangdigunakan dalam penelitian ini adalah
standaryang dikeluarkan oleh PP 19/2005, karena BadanAkreditasi Nasional masih
menggunakan acuanPP 19 Tahun 2005 untuk hasil akreditasi tahun2011, 2012 dan
2013.
Komitmen Pemerintah, sebagaimana tertulisdalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitumelaksanakan pendidikan
yang bermutu. Hal ituterdapat dalam Pasal 5 ayat (1): “Setiap warganegara
mempunyai hak yang sama untukmemperoleh pendidikan yang bermutu”. Hal ini
berarti bahwa semua anak Indonesia berhakmendapatkan pendidikan yang bermutu.
Denganadanya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan(SNP), pengertian bermutu menjadi jelas, yaitu memenuhi
standar yang meliputi: 1) standarisi; 2) standar proses; 3) standar
kompetensilulusan; 4) standar pendidik dan tenagakependidikan; 5) standar sarana
dan prasarana;6) standar pengelolaan; 7) standar pembiayaan; dan 8) standar
penilaian. Artinya, jika SNPdilaksanakan maka ada jaminan bahwa mutu
pendidikan nasional akan meningkat.
D. Realisasinya di Lapangan
Dalam pelaksanaannya, pencapaian SNP kerap menghadapi berbagai
permasalahan. Terutama pada komponen standar kompetensi lulusan yang masih
belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dunia usaha dan dunia industri.
Standar kedua yang masih banyak ditemukan masalah adalah standar pada sarana
dan prasarana di mana tidak sedikit juga ditemukan bangunan sekolah yang sudah
tidak layak serta kurangnya prasarana yang memadai. Standar lainnya adalah
standar pendidik dan tenaga kependidikan. Rendahnya mutu guru serta tidak
sesuainya kualifikasi pendidikan pendidik dan tenaga kependidikan menjadi
masalah yang perlu dituntaskan. Persoalan lainnya adalah persoalan standar
pengelolaan. Rendahnya penerapan sistem manajemen mutu kepala sekolah dalam
mengelola satuan pendidikan serta belum optimalnya kemampuan kepala sekolah
di satuan dalam menggali kekuatan dan kelemahan satuan pendidikan.
D. Realisasinya di Lapangan
Kebijakan kurikulum 2013 dimaksudkan untuk melengkapi dan menyempurnakan
berbagai kekurangan yang ada pada kurikulum sebelumnya.Kurikulum 2013
disusun dengan mengembangkan dan memperkuat sikap, pengetahuan, dan
keterampilan secara berimbang. Penekanan pembelajaran diarahkan pada
penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan sikap
spiritual dan sosial sesuai dengan kerakteristik Pendidikan Agama Islam dan Budi
Pekerti sebagaimana amanat tujuan pendidikan nasional mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Perubahan kebijakan 2013
menyangkut empat elemen perubahan kurikulum yaitu pada Standar Kompetensi
Lulusan (SKL), Standar Isi (SI),
Standar Proses, dan Standar Penilaian. Sedangkan perubahan kebijakan kurikulum
2013 berdampak pada empat hal yaitu model pembelajaran berupa tematik-
integratif, pendekatan saintifik, strategi aktif, dan penilaian autentik. Perubahan
kebijakan tersebut dalam rangka menyiapkan generasi masa depan Indonesia yang
kreatif, innovatif, produktif, dan afektif yang mampu membawa bangsa Indonesia
maju dan berperadapan di masa yang akan datang.
sebelumnya.Dalam implementasi kurikulum 2013 ini tentunya guru dituntut
untuk lebih meningkatkan kinerjanya. Pengetahuan, keterampilan, dan sikap dari
pendidik ini sangat diperlukan agar dapat melaksanakan kurikulum 2013 sesuai
dengan amanat kurikulum. Bukankah untuk menciptakan generasi berpengetahuan
tinggi, berketerampilan, dan berkarakter bagus diperlukan guru yang pengetahuan,
keterampilan, dan karakternya dapat diandalkan. Pada tahun pertama penerapan
kurikulum 2013 masih ada kendala/hambatan, peneliti ingin mengetahui apakah
pada tahun ketiga pelaksanaan kurikulum 2013 di madrasah masih dijumpai
kendala/hambatan dalam implementasi dan sampai sejauh mana implementasi
kurikulum 2013 dilihat dari berbagai aspek seperti kondisi siswa, kondisi guru,
kondisi sarana prasarana, penyusunan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran, dan penilaian pembelajaran.
D. Realisasinya di Lapangan
Untuk menciptakan guru yang profesional tersebut, diperlukan adanya
bimbingan dan supervisi dari kepala Madrasah. Tanpa adanya supervisi,
peningkatan mutu pendidikan akan sulit tercapai. Hal ini disebabkan karena kinerja
guru tergantung bagaimana gaya kepemimpinan kepala Madrasah dalam
memimpin. Bila kepala Madrasah bersifat otokratik, maka guru akan cenderung
bersikap pasif dan menunggu
komando dari pimpinan. Dalam kepemimpinan yang laissez faire, guru akan
melakukan inisiatif sebisanya atau akan mencoba bereksperimen dalam kegiatan
belajar mengajar sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan dalam kepemimpinan
yang demokratis, guru dapat berdiskusi dan memberi masukan kepada kepala
Madrasah dalam peningkatan mutu pendidikan. Kinerja guru dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang melingkupinya dan masing-masing individu berbeda satu sama
lain.. Secara garis besar perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu :
faktor individu dan situasi kerja. Faktor individu menentukan bagaimana ia dapat
mengaktualisasikan dirinya dalam lingkungan pekerjaan,sementara faktor situasi
kerja mempengaruhi bagaimana individu dapat mengaktualiasikan diri sesuai
dengan lingkungan sekitarnya.
Sumber:
D. Realisasinya di Lapangn
Peningkatan mutu sekolah/madrasah mengacu pada Sistem Penjaminan Mutu
Pendidikan, yang mana sekolah/madrasah dibina dan dievaluasi untuk mencapai dan
mengukur ketercapaian acuan mutu yang telah ditetapkan. Pembinaan
sekolah/madrasah untuk mencapai acuan mutu satuan pendidikan diperankan oleh
Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), dan evaluasi ketercapaiannya dilakukan
oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M).
Evaluasi pencapaian sekolah/madrasah terhadap acuan mutu satuan pendidikan
dilakukan melalui Akreditasi. Kegiatan penilaian kelayakan berdasarkan kriteria yang
telah ditetapkan dan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. Sebagai badan
evaluasi mandiri yang berwenang untuk menentukan capaian kualitas
sekolah/madrasah, BAN S/M memiliki peran strategis dalam peningkatan mutu
pendidikan. Karena hasil evaluasi tersebut akan menjadi tolok ukur mutu pendidikan
sekolah/madrasah saat ini sekaligus menjadi dasar kebijakan Pemerindah dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan selanjutnya.
Akurasi hasil evaluasi sekolah/madrasah akan sangat berkontribusi terhadap
akurasi kebijakan Pemerintah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan selanjutnya.
Artinya BAN S/M turut memiliki peran yang penting dalam keberhasilan mencetak
generasi bangsa yang lebih berkualitas. Penilaian akreditasi belum mampu memotret
performa sekolah/madrasah yang stabil (sustained performance). Performa sekolah
cenderung sangat baik saat penilaian akreditasi yang dilakukan selama beberapa hari,
bahkan hanya 1 hari, dan kembali menurun setelah tim penilai meninggalkan
sekolah/madrasah.Penilaian akreditasi cenderung “paper based assessment”. Kualitas
dokumen memiliki peran dominan dalam menentukan hasil akreditasi.
D. Realisasinya di Lapangan
Selama pembentukan MBS, Komite Sekolah telah menjalankan berbagai peran
dan fungsinya meskipun belum begitu optimal. Situasi ini berdasarkan pengamatan
di lapangan diketahui bahwa tidak jarang Komite Sekolah hanya melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya, hanya pada hal-hal tertentu saja misalnya realisasi
Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) setelah itu tidak ada lagi wujud
keterlibatannya, terjadinya komplik antara pengurus Komite Sekolah dengan pihak
sekolah, vakumnya Komite Sekolah dan berbagai persoalan lainnya.
Sesungguhnya kehadiran Komite Sekolah sebagai bagian dari sistem
persekolahan, memberi peluang yang signifikan bagi peningkatan mutu manajerial
sekolah. Komite Sekolah memiliki peran, fungsi dan tujuan yang sesuai dengan
pencapaian tujuan sekolah yaitu meningkatkan proses mutu pendidikan dan
pembelajaran sehingga memungkinkan peserta tumbuh dan berkembang untuk
dapat menyesuaikan diri dengan potensi yang dimilikinya.
D. Realisasinya di Lapangan
Dinamika pendidikan Islam dengan seluruh bentuknya secara yuridis
mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah. Meskipun disadari bahwa
pendidikan Islam belum berjalan secara total. Selanjutnya kita harus senantiasa
mempertahankan dan meningkatkan eksistensi kuantitas dan kualitas pendidikan
Islam di Indonesia. Kebijakan pendidikan paling kurang dipengaruhi oleh 2 faktor,
yaitu faktor ideologi dan faktor politik. Kebijakan pendidikan di Indonesia pada
dasarnya adalah pergumulan/pergolakan antara dua kutub ideologi besar yang
dibungkus dalam politik, atau sebaliknya. Diawali dari UUSPN Nomor 2 Tahun
1989, UU SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003, PP Nomor 55 Tahun 2007
sampai pada PMA Nomor 16 Tahun 2010 Singkatnya, lahirnya macam-macam
kebijakan di atas merupakan hasil dari perang kepentingan ideologi, yakni agama
Islam dan non Islam.
D. Realisasinya di Lapangan
Ada dua alternatif dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Pertama,
antara pendidik, orang tua, dan lingkungan itu menyatu dan dapat berbagi peran.
Kedua, jika orang tua merasa kurang mampu dalam mendidik anaknya, maka
orang tua bisa menyerahkan anaknya sepenuhnya kepada pendidikan, sehingga
tempat pendidikan itulah yang akan mengawasi anak sepenuhnya, seperti
halnya di pondok pesantren yang 24 jam mengontrol atau mengawasi
anak.Yang menjadi persoalan di madrasah adalah regulasi kebijakan-kebijakan
dari pusat. Belum lagi pendidikan ini disibukkan dengan pola pelaporan yang
harus menggunakan sistem online. Sehingga guru terkadang tidak bisa benar-
benar berkonsentrasi atau fokus dalam mengajar. Yang menjadi penghambat
atau kesulitan dalam pendidikan karakter ini yang paling mendasar adalah
pribadi peserta didik itu sendiri. Karena yang utama dalam pendidikan karakter
yang paling penting adalah bagaimana guru atau pendidik memberikan
keteladanan. Sebagaimana orang jawa mengatakan bahwasannya guru adalah
seseorang yang digugu dan ditiru. Ketika seorang guru tidak memiliki
keduanya, digugu dan ditiru, maka anak-anak atau peserta didiknya tentu tidak
akan mengikuti yang baik. Jadi, yang paling pokok bagaimana guru sebagai
seorang pendidik harus menjadi contoh, sebagai seorang figur yang baik bagi
peserta didik. Karena seperti yang kita lihat saat ini, anak-anak seperti
kehilangan figur. Ketika di sekolah, anak-anak selalu dingatkan untuk
beribadah (sholat 5 waktu) oleh guru. Namun, ketika mereka pulang ke rumah,
orang tuanya tidak memberikan contoh yang baik kepada anak.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Malik, dkk. 2020. Pedoman Akreditasi Sekolah/Madrasah Tahun 2020.Jakarta Selatan.
Berlian, I. 2013. Manajemen Berbasis Sekolah Menuju Sekolah Berprestasi. Jakarta : Erlangga.
Dedi Supriyadi, Manajemen Mutu Terpadu, ( Bogor: Ghalia Indonesia, 2003), hal.13
Digilib.uinsby.ac.id
e-journal.uajy.ac.id
Handayani, Meni. 2016. Pencapaian Standar Nasional Pendidikan Berdasarkan Hasil Akreditasi SMA Di
Provinsi DKI Jakarta.
http://etheses.uin-malang.ac.id
https//ejournal.unsri.ac.id
https//journal.unair.ac.id
https//repo.iain-tulungagung.ac.id
https//Repository.radenfatah.ac.id
Journal.uinmataram.ac.id
JURNAL TARBIYAH, Vol. 25, No. 2, Juli-Desember 2018 P-ISSN: 0854–2627, E-ISSN: 2597-4270 39
Kementerian Agama RI. 2011. Panduan Pelaksanaan Program Percepatan Akreditasi Madrasah.
Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah.
Maksudin, Pendidikan Karakter Non Dikotomik, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2013)
Muhaimin, H. Prof, 2002. Reorientasi Pengembangan Guru, Malang, Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri.
Mulyasa,E. (2009) . Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Nur Ainiyah, Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam, Jurnal AlUlum Volume. 13
Nomor 1, Juni 2013 Hal 25-3 Hasbullah.
Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah (Teori, Model, dan Aplikasi). Jakarta: PT. Grasindo.
Pasaribu, A. 2017. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Dalam Pencapaian Tujuan Pendidikan
Nasional di Madrasah. [Online], Jurnal EduTech Vol. 3 No. 1. Tersedia:
https://media.neliti.com/media/publications/54598-ID-implementasi- [19 Juni 2021]
Persada, 2008. Nurkolis. 2006. “Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model, dan Aplikasi”(Jakarta:
Grasindo).
Rachmad, Hidayat dkk. 2014. Implementasi Kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010
Tentang Disiplin PNS Pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Berau. Dalam e-Journal
Administrasi Reform, vol. 2, no. 2 hal. 1238-1250
Raharjo, Sabar Budi. 2014. Kontribusi Delapan SNP terhadap Pencapaian Prestasi Belajar.
Berlian, I. 2013. Manajemen Berbasis Sekolah Menuju Sekolah Berprestasi. Jakarta : Erlangga.
Handayani, Meni. 2016. Pencapaian Standar Nasional Pendidikan Berdasarkan Hasil Akreditasi SMA Di
Provinsi DKI Jakarta.
Repository.radenintan.ac.id
Repository.usd.ac.id