Anda di halaman 1dari 47

Nama : Ahmad Nurzaman

Npm : 2011010461
Kelas :D
Jurusan : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Fakultas : Tarbiyah
Semester : 4 (empat)
Dosen pengampuh : Prof.Dr.Agus Pahrudin,M.P.d
Mata kuliah : Kebijakan Pendidikan Islam
Tugas : Ujian Akhir Semester (UAS)

1. UU SISDIKNAS

A. Latar Belakang Permasalahan


Pendidikan sangatlah penting untuk mengubah nasib suatu negara. Pendidikan
yang maju berpengaruh terhadap majunya suatu negara. Negara yang maju dapat
memproduksi suatu produk yang akan digunakan untuk kebutuhan dan kepentingan
orang banyak. Hal ini dapat membuktikan bahwa pendidikan yang maju akan
membawa pada negara yang maju dan negara yang maju akan mempengaruhikebutuhan
dunia. Negara Indonesia sendiri,tenaga kerja yang banyak dibutuhkan adalah orang
yang mempunyai pendidikan yang tinggi. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka
dapat dikatakan semakin mudah dalam mencari pekerjaan. Hal tersebut dibuktikan
dengan adanya penyantuman jenjang pendidikan dalam setiap lowongan
pekerjaan.Dari berbagai pendapat tersebut setiap negara berlomba-lomba memperbaiki
sistem pendidikan agar lebih baik lagi.
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan
merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses
pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan
bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan
bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu,
seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan
salah satu tujuan negara Indonesia. Gerakan reformasi di Indonesia secara umum
menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak
yang mendasar pada kandungan, proses, dan manajemen sistem pendidikan.
Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memperbaharui visi, misi,
dan strategi pembangunan pendidikan nasional sehingga diharapkan visi, misi, dan
tujuan pendidikan nasional dapat terwujud secara efektif dengan melibatkan berbagai
pihak secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan.
UU Sisdiknas 2003 secara umum sudah memberikan garisgaris besar atau
prinsip-prinsip dasar dalam pelaksanaan pendidikan nasional. Hampir semua kebijakan
pokok pendidikan nasional sudah termuat dalam UU tersebut. Namun, sudah pasti
karena UU tersebut merupakan UU induk tentang sistem pendidikan nasional, maka
sudah pasti ketentuan-ketentuan yang ada sangatlah umum dan perlu ketentuan-
ketentuan yang lebihrinci yang sekaligus merupakan aturan pelaksanaan dari UU
tersebut. Aturan pelaksanaan dari UU Sisdiknas 2003 ada yang berupa UU seperti yang
sudah dipaparkan di atas dan ada juga yang berupa Peraturan Pemerintah (PP).

B. Dasar-dasar Kebijakan dan Tujuan UU SISDIKNAS

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah


usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pengertian pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 tersebut menyatakan bahwa
pendidikan adalah suatu usaha yang terencana untuk menciptakan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik dapat aktif membangun potensi yang dimiliki
secara optimal. Salah satu pertanda seseorang telah belajar adalah adanya perubahan
tingkah laku pada diri orang itu yang mungkin disebabkan oleh terjadinya perubahan
tingkat pengetahuan, keterampilan, atau sikapnya. Pembelajaran yang dimaksud adalah
kegiatan belajar yang menuntut peran aktif peserta didik sekaligus menghapus peran
dominasi dari guru.
Dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan
bahwa tujuan dari Pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab. Upaya yang dapat dilakukan untuk
mewujudkan tujuan dari Pendidikan Nasional sebagaimana yang telah disebutkan
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan UU No 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional adalah dengan meningkatkan kualitas dari pendidikan
nasional.
Kualitas dari pendidikan nasional salah satunya dapat dilihat dari motivasi
belajar siswa di setiap jenjang pendidikan. Oleh karena itu, upaya peningkatan mutu
dari pendidikan nasional salah satunya dapat ditempuh dengan meningkatkan motivasi
belajar siswa di setiap jenjang pendidikan.Dalam upaya peningkatan mutu pendidikan
nasional dengan meningkatkan motivasi belajar siswa di setiap jenjang pendidikan
tidaklah lepas dari peran seorang guru. Setiap media, pendekatan dan metode
pembelajaran yang digunakan guru dalam mengajar sangatlah berpengaruh terhadap
motivasi belajar siswa. Meskipun kemajuan teknologi saat ini sangatlah pesat dan
kemajuan teknologi ini sangatlah mungkin menjadi pendukung kemajuan pendidikan
di negara ini. Guru memiliki empat peran strategis dalam kegiatan pendidikan yaitu
sebagai pendidik, fasilitator, motivator, evaluator. Guru sebagai pendidik berarti ada
dua hal yang harus dilakukan oleh guru, yaitu mengajarkan anak nilai-nilai kebaikan
dan membiasakan anak berbuat kebaikan. Sebagai fasilitator berarti guru diharapkan
mampu mengelola kelas dengan baik, sebagai motivator berarti guru selalu
memberikan masukan-masukan yang positif kepada siswa, agar siswa bersemangat dan
antusias dalam belajar, sebagai evaluator berarti guru harus mampu mengevaluasi hasil
belajar siswa. Selain guru harus bertindak sebagai pendidik, fasilitator, motivator,
danevaluator guru juga harus bertindak professional.
Saat ini pendidikan dihadapkan pada tantangan yangmengharuskan mampu
melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang dapat memenuhi tuntutan global dan
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab pendidikan
merupakan suatu wadah kegiatan yang berusaha untuk membangun masyarakat dan
watak bangsa secara berkesinambungan yaitu membina mental, rasio, intelektual dan
kepribadian dalam rangka membentuk manusia seutuhnya yang dapat memperoleh dan
mengembangkan pemikiran, keaktifan, dan kreativitas yang dimilikinya dalam dunia
pendidikan yang berdampak pada motivasi belajar yang semakin tinggi. Oleh karena
itu pendidikan perlu mendapat perhatian, penanganan dan prioritas secara intensif dari
pemerintah, masyarakat maupun pengelola pendidikan.

C. Kajian Literatur/Teori

Undang-undang Sisdiknas 2003 sebenarnya merupakan kelanjutan dari undang-


undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Kehadiran UU No. 2 Th. 1989 (selanjutnya disebut UU Sisdiknas
1989) ini sangat ditunggu oleh masyarakat yang memiliki kepedulian tentang
pendidikan di Indonesia, mengingat UU yang lahir sebelumnya belum mengatur
masalah pendidikan secara komprehensif. Kehadiran UU Sisdiknas 1989 menegaskan
bahwa penyelenggaraan pendidikan di Indonesia merupakan suatu sistem.
Penyelenggaraan sistem pendidikan ini bertujuan untuk memantapkan ketahanan
nasional dan mewujudkan masyarakat maju yang berakar pada kebudayaan bangsa
serta persatuan nasional yang berwawasan Bhinneka Tungga Ika berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945. Kelahiran UU Sisdiknas 1989 ini secara lebih
mendasar dilatarbelakangi juga oleh kehendak untuk mewujudkan UUD 1945 sebagai
hukum dasar yang mengamanatkan bahwa kemerdekaan bertujuan untukmencerdaskan
kehidupan bangsa. Amanat ini langsung menyentuh tanggung jawab pemerintah
Indonesia agar mengupayakandan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional
yang diatur dengan undang-undang.
Isi UU Sisdiknas 2003 ini secara keseluruhan terdiri dari 22 bab dan 77 pasal.
Bab I memuat ketentuan umum yang berisi satu pasal yang berisi penjelasan tiga puluh
kata kunci yang digunakan dalam UU Sisdiknas 2003. Bab II mengenai Dasar, Fungsi,
dan Tujuan yang berisi dua pasal, yakni pasal 2 dan 3. Pasal 2 menyatakan bahwa
pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sedang pasal 3 menegaskan
fungsi dan tujuan pendidikan, yakni pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Bab III berisi tentang Prinsip
Penyelenggaraan Pendidikan yang hanya memuat satu pasal, yakni pasal 4. Pada pasal
ini ditetapkan enam prinsip penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Bab IV
mengatur Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat, dan Pemerintah
Bab V berisi tentang Peserta Didik yang memuat satu pasal saja (pasal 12). Pasal ini
mengatur hak dan kewajiban peserta didik termasuk peserta didik asing. Bab VI
menjelaskan Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan. Bab ini terdiri dari dua puluh pasal
(pasal 13-32) yang terbagi dalam sebelas bagian. Bab VII berisi tentang Bahasa
Pengantar. Bab ini hanya berisi satu pasal saja, yakni pasal 33. Pada bab ini ditegaskan
bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Bab
VIII berisi tentang ketentuan Wajib Belajar yang hanya terdiri dari satu pasal (pasal
34). Bab IX tentang Standar Nasional Pendidikan. Hanya ada satu pasal dalam bab ini,
yakni pasal 35. Pada pasal ini dinyatakan adanya delapan standar nasional, yaitu standar
isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan,
serta standar penilaian. Bab X berisi perihal Kurikulum. Bab ini memuat tiga pasal
penting (pasal 36, 37, dan 38). Bab XI berisi tentang Pendidik dan Tenaga Pendidikan
yang memuat enam pasal (pasal 39-44). Bab XII berisi tentang Saranadan Prasarana
Pendidikan yang hanya memuat satu pasal (pasal 45). Bab XIII tentang Pendanaan
Pendidikan. Bab XIV berisi tentang Pengelolaan Pendidikan. Bab XV berisi tentang
Peranserta Masyarakat dalam Pendidikan. Bab XVI berisi tentang Evaluasi, Akreditasi,
dan Sertifikasi. Bab XVII berisi tentang Pendirian Satuan Pendidikan yang memuat dua
pasal (pasal 62 dan 63). Bab XVIII berisi tentang penyelenggaraan pendidikan oleh
lembaga negara lain. Bab XIX berisi tentang Pengawasan.Bab XX berisi tentang
Ketentuan Pidana terhadap pelanggaran penyelenggaraan pendidikan. Bab XXI berisi
KetentuanPeralihan. Bab XXII yang merupakan bab terakhir dalam undangundang ini
berisi tentang Ketentuan Penutup.
Dari aspek-aspek yang termuat dalam UU Sisdiknas 2003 seperti diuraikan di
atas, jelaslah bahwa banyak kebijakan pendidikan baru yang dibuat dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional. Kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan ini
dibuat dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan dinamika yang di tengah-
tengah masyarakat seiring dan sejalan dengan dinamika dan perkembangan yang terjadi
di dunia pada umumnya. Dan yang paling penting untuk ditegaskan di sini adalah
bahwa kebijakan-kebijakan dalam penyelenggaraan pendidikan ini dibuat dalam rangka
pencapaian tujuan pendidikan nasional seperti dirumuskan dalam UU Sisdiknas 2003
Pasal 3.
D. Realisasinya di lapangan
Perlu disadari bahwa UU No. 20 Tahun 2003 tidak mungkin dapat mengatur
semua kegiatan pendidikan yang terjadi di lapangan. Undang-undang pendidikan
nasional hanya mampu memberikan arah, dan mem-berikan prinsip-prinsip dasar untuk
menuju arah tersebut, serta mengatur prosedurnya secara umum. Realitas pe1aksanan
pendidikan di lapangan akan banyak ditentukan oleh petugas yang berada di barisan
paling depan, yaitu guru, kepala sekolah dan tenaga- tenaga kependidikan lainnya.
Berbagai kebijakan pokok yang terdapat dalam UU Sisdiknas 2003 dalam
implementasinya memunculkan kebijakan-kebijakan pendidikan lain yang tidak bisa
diungkap satu per satu di sini. Sebagai contoh, kebijakan wajib belajar sembilan tahun
berkonsekuensi adanya kebijakan sekolah gratis bagi peserta didik yang mengikuti
wajib belajar sembilan tahun di Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Kebijakan sekolah gratis banyak dijadikan jargon dalam kampanye dan tujuan-
tujuan politis. Tidak sedikit di antara para calon kepala daerah baik di tingkat
kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi yang menawarkan sekolah gratis di
daerahnya jika mereka dipercaya menjadi kepala daerah.
Bersamaan dengan kebijakan wajib belajar ini pemerintah menganggarkan
biaya yang cukup besar untuk mendanai terlaksananya kebijakan wajib belajar dan
sekolah gratis. Kebijakan dalam bidang pendanaan pendidikan di sini kemudian dikenal
dengan istilah biaya operasional sekolah (BOS). Dengan dana BOS inilah sekolah dapat
menjalankan seluruh kegiatan akademik yang ada di sekolah. Dalam implementasinya,
kebijakan BOS ini berjalan dengan baik, meskipun juga ada kelemahan dan
kekurangannya.
Secara umum dapat dianalisis bahwa kebijakan pendidikan di Indonesia,
terutama yang didasarkan pada Undang-Undang Sisdiknas 2003 dan peraturan
perundang-undangan di bawahnya (PP dan Permendiknas) diarahkan untuk mencapai
hal-hal sebagai berikut:
a. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia
menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan
peningkatan anggaran pendidikan secara berarti. Alokasi dana
pendidikan 20% dari APBN dan APBD merupakan rekor tertinggi
selama ini;
b. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta
meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga
tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam
peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat
mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan;
c. Melakukan pembaruan dan pemantapan sistem pendidikan nasional
berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan
manajemen;
d. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan
baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem
pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta dalam
rangka menyongsong globalisasi yang menghadapkan pendidikan
nasional dengan pendidikan di negara-negara lain;
e. Meningkatkan mutu dan kualitas lembaga pendidikan serta pendidik
dan tenaga pendidikannya beserta sarana dan prasarananya melalui
penetapan berbagai standar pendidikan;
f. Meningkatkan profesionalisme tenaga pendidik (guru dan dosen)
dengan memberikan fasilitas yang memadai baik sarana dan
prasarana maupun kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada
jenjang yang lebih tinggi demi peningkatan kualitas mereka.
Kebijakan ini juga disertai dengan kebijakan pemberian tunjangan
profesi bagi guru dan dosen yang cukup memberikan tambahan
motivasi dalam melaksanakan tugas mereka serta memberikan
harapan besar untuk menambah kesejahteraan mereka.

2. UNDANG-UNDANG GURU DAN DOOSEN

A. Latar Belakang Permasalahan


Kita semua telah memasuki zaman yang serba modern, dimana pengetahuan
adalah sebagai landasan utama dalam segala aspek kehidupan. Oleh karena itu
seorang guru dituntut harus bisa mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Guru
atau Dosen sebagai tonggak utama penentu keberhasilan tujuan pendidikan harus
menyadari profesinya bahwa tugas formal seorang guru tidak hanya berdiri di
hadapan murid pada jam-jam tertentu yang mentransfer pengetahuan pada murid,
lebih dari itu guru juga dikatakan sebagai sosok yang layak digugu dan ditiru dalam
segala aspek kehidupan, dan inilah yang menuntut guru mesti pandai, sabar, jujur,
dan penuh pengabdian, yang dalam konteks pendidikan mengandung makna bahwa
guru merupakan model atau sentral Identifikasi diri, yakni pusat anutan dan teladan
bahkan konsultan bagi peserta didiknya
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan
bahwa guru dan dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat
pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang
dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Undang-Undang ini
dianggap bisa menjadi payung hukum untuk guru dan dosen tanpa adanya
perlakuan yang berbeda antara guru negeri dan swasta.
Undang-Undang Guru dan Dosen secara gamblang dan jelas mengatur secara
detail aspek-aspek yang selama ini belum diatur secara rinci. Semisal, kedudukan,
fungsi dan tujuan dari guru, hak dan kewajiban guru, kompetensi dll. Namun
sayang, masih ada sejumlah kelemahan dan kekurangan yang ada pada Undang-
Undang Guru dan Dosen, dan masih menjadi permasalahan serta perdebatan yang
tak kunjung usai. Dimulai dari bunyi pasal yang tidak jelas, sampai pada beberapa
peningkatan mutu dan kesejahteraan pendidikan yang dituangkan dalam Undang-
Undang tersebut.Masih banyak kalangan pesimis yang berpendapat bahwa
pemerintah tidak akan rela merogoh uangnya untuk menukarnya dengan mutu
pendidikan, apalagi mensejahterakan guru yang sudah akrab dengan penderitaan
itu. Selain itu proses pelaksanaannya pun masih belum optimal, sasaran yang dapat
dicapai hanya beberapa hal dari seluruh pernyataan yang tertuang dalam Undang-
Undang tersebut.

B. Dasar-dasar Kebijakan Dan Tujuan


Penetapan guru dan dosen sebagai jabatan professional berfungsi meningkatkan
harkat dan martabat guru serta mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, serta bertujuan untuk
melaksanakan sistem pendidikan nasional pada umumnya dan mewujudkan tujuan
pendidikan nasional pada khususnya, yakni berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara
yang demokratis serta bertanggungjawab.
Guru maupun dosen memiliki kedudukan yang sama yaitu sebagai tenaga
profesional dan berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan serta bertujuan
untuk melaksanakan sistem pendidikan serta mewujudkan tujuan pendidikan
nasional yaitu mengembangkan potensi anak didik sehingga menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu,
cakap dan kreatif, mandiri serta menjadi warganegara yang demokratis serta
bertanggungjawab. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka guru dan dosen harus
sesuai kriteria yang profesional seperti mempunyai bakat, minat dan panggilan jiwa
serta idealisme, memiliki komitmen meningkatkan mutu pendidikan, keimanan,
serta akhlak mulia, memiliki kualifikasi akademik sarjana untuk guru dan magister
dan doktor untuk dosen dengan latar belakang sesuai dengan bidang tugasnya,
memilki tanggungjawab untuk melaksanakan tugasnya, memperoleh penghasilan
sesuai dengan prestasi kerja, serta mau mengembangkan dirinya untuk lebih
profesional sepanjang hayat.
Sebagai tindak lanjut ditetapkannya undang-undang guru dan dosen oleh DPR,
maka seorang guru harus memiliki persyaratan yang telah dituangkan di dalam
Undang-undang guru dan dosen diantaranya:
1) Seorang guru harus memiliki kualifikasi akademik Diploma IV atau
sarjana,
2) Seorang Guru harus memilki kompetensi pedagogik, kepribadian
sosial kemasyarakatan
3) Seorang guru harus memiliki sertifikasi pendidik.

Oleh karena itu, tugas guru memang tidaklah mudah, seiring dengan proses
globalisasi yang mengharuskan guru meningkatkan kualitasnya. Dalam proses
belajar mengajar, seorang guru memegang peranan penting. Guru adalah creator
proses belajar mengajar. Ia adalah orang yang akan suasana bebas bagi siswa untuk
mengembangkan kreatifitas dan mengemukakan ide-ide dalam batas-batas yang
yang telah ditentukan.Maka dari itu tugas utama guru adalah mengembangkan
potensi siswa secara maksimal lewat penyajian mata pelajaran. Dalam penyajian
mata pelajaran tersebut tidak sembarangan menyajikan, tetapi seorang guru harus
mempunyai ketrampilan yang nantinya menghasilkan peserta didik yang
berkualitas karena gurunya juga berkualitas.

C. Kajian Litratur/Teori
Pendapat dari beberapa pakar pendidikan bermacam-macam pendapat. Karena
wajah pendidikan kita yang tidak menentu dan memunculkan berbagai pendapat
dikalangan pendidikan terutama para pakar pendidikan. Apalagi mengenai
permasalahan guru. Selama ini profesi guru dipandang sebagai pengabdian. Jargon
pengabdian ini yang sering dijadikan alasan bagi pemerintah maupun pengelola
lembaga pendidikan non pemerintah untuk tidak memenuhi permintaan guru.
Padahal kalau pekerjaan guru dianggap sebagai profesi, maka imbalan yang
diterima seharusnya sesuai dengan tingkat kinerja yang dilaksanakan.
Ada beberapa pendapat tentang ditetapkannya Undang-undang Guru dan
Dosen, yang perlu ditingkatkan dengan adanya Undang-undang Guru dan
Dosen adalah kualitas guru, yaitu:
Pertama, aspek pendidikan guru. Selama ini pendidikan masih dianggap sebagai
media yang efektif untuk mempersiapkan seseorang agar lebih profesional dalam
menjalankan tugasnya, termasuk guru. Semakin tinggi jenjang pendidikan dan
kesesuaian dengan keahlian maka kinerja seseorang akan semakin optimal. Oleh
karena itu, guru yang jenjang pendidikannya masih rendah, apalagi belum sesuai
bidang yang diajarkan, perlu ditingkatkan pendidikannya.
Kedua, Kompetensi Guru. Mengukur kompetensi guru memang cukup sulit. Tetapi
paling tidak, ada indikator-indikator yang bisa mengukur kompetensi guru.
Diantaranya adalah menguasai materi, terampil dalam melaksanakan pembelajaran
mulai dari merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran. Maka
dari itu, seorang guru memerlukan training dalam berbagai bentuk, baik training
yang mengarah pada pengembangan pengetahuan maupun pengembangan
ketrampilan. Problem lain dalam kompetensi ini adalah banyak guru yang tidak
memiliki latar belakang ilmu keguruan.
Ketiga, Kesejahteraan. Kesejahteraan guru memang secara umum masih
memprihatinkan dan perlu mendapatkan perhatian, baik pemerintah maupun
pengelola pendidikan non pemerintah. Kebijakan dan usaha untuk mensejahterakan
guru mulai dari intensif, penghargaan, serta bentuk lainnya menjadi penting demi
kelangsungan pendidikan.
Penjelasan diatas jika dilakukan oleh seorang guru, maka tidak akan terjadi
dilematika dan problematika profesi guru dan menjadikan seorang guru yang
profesional. Ada sebagian pendapat lain yang mengatakan tentang penyebab
seorang guru itu mengalami sebuah dilematika profesi atau problema, yaitu
menurut H. Muhaimin mengatakan bahwa: “pada saat ini masih banyak orang yang
cerdas, guru yang terampil, pintar, kreatif, produktif dan profesional, tetapi tidak
dibarengi dengan kekokohan aqidah dan kedalaman spiritual serta keunggulan
akhlak, dan sebagai indikatornya akhir-akhir ini kita sering dihadapkan dengan isu-
isu tindak kekerasan,
anarchisme, premanisme, tindakan brutal, perkelahia antar pelajar, konsumsi
minuman keras, narkoba, yang sudah melanda di kalangan pelajar dan mahasiswa,
serta kriminalitas yang semakin hari semakin menjadi-jadi, yaitu isu adanya
kejahatan yang dilakukan oleh guru, eksekutif, birokrat, politisi atau yang setingkat
dengan mereka yang mewarnai halaman surat kabar, majalah dan media massa
lainnya.

D. Realisasinya di Lapangan
Sejak awal pembahasan sampai disahkannya Undang-Undang Guru dan Dosen
(UUGD) sudah menuai polemik di masyarakat. Alih-alih guru tidak mempunyai
UU yang dapat melindungi mereka selama ini, sebagian pihak menyambut hangat
kebijakan tersebut. Akan tetapi, pihak lain juga menilai, UUGD justru dapat
menimbulkan diskriminasi tersendiri di kalangan guru.11 Salah satunya adalah
kebijakan sertifikasi guru yang tertuang dalam Pasal 8, Pasal 11, dan Pasal 13
UUGD. Dalam Pasal 8 disebutkan, ”Guru wajib memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.”
Namun pada kenyataannya dalam Pasal 11 disebutkan, sertifikat pendidik
diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Persyaratan tersebut
adalah guru harus sudah mempunyai kualifikasi akademik pendidikan S-1 atau D-
4 dan mengikuti pendidikan profesi sebanyak 36 SKS atau 20 SKS.
Berdasarkan data Depdiknas tahun 2004, guru yang belum memenuhi
kualifikasi akademisnya cukup besar. Jumlah total guru saat ini di Indonesia
mencapai 2,7 juta orang, sedangkan guru yang sudah berstatus S-1 baru mencapai
900.000 orang. Rencana pemerintah memberikan peningkatan gaji hanya kepada
40.000 pertama guru yang sudah bersertifikat.
Dekan FKIP Unpas Drs. Dadang Iskandar, M.Pd. menilai, kebijakan tersebut
notabene hanya mengada-ada. Apalagi biaya untuk sertifikasi guru seperti yang
tertuang dalam pasal 13, harus menjadi beban pemerintah pusat, provinsi, maupun
daerah, sedangkan anggaran pendidikan yang disediakan pemerintah sendiri sangat
minim. Dari 20 % APBN untuk pendidikan, pemerintah hanya mampu
merealisasikannya sebesar 8,1 %. Itu artinya, kebijakan sertifikasi ini bukan hanya
akan membebani guru tetapi juga pemerintah. Padahal, dari hampir semua provinsi
maupun kabupaten kota yang ada, kebanyakan kepala daerah atau dewan mengaku
tidak dapat memenuhi persentase anggaran pendidikan yang diamanatkan UUD
Perubahan tersebut.

3. STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN


A. Latar Belakang Permasalahan
Standar dalam dunia industri merupakan suatu kebutuhan sebagai dasar dalam
memudahkan proses produksi dalam menjamin kualitas yang memuaskan sehingga
bebas dari kekurangan dan hal tersebut juga masuk dalam bidang pendidikan
(Tilaar, 2012, 35–36). Standardisasi merupakan pengejewantahan dari “semua
dapat diukur”, dan ketika semua dapat diukur maka akan tercapai efisiensi dan
diketahui kualitas suatu produk atau jasa (Tilaar, 2012:48). Standar diperlukan
dalam bidang pendidikan, hal ini dikarenakan pendidikan merupakan sebuahproses
dengan tujuan yang jelas dan menjadikannya sebagai sebuah sistem yang kita kenal
dengan Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam konteks Sisdiknas
diperlukan standar yang perlu dicapai dalam mencapai tujuan. Perlunya standar
pendidikan disebutkan Tilaar
(2012: 76–77) dikarenakan beberapa alasan antara lain pertama, standardisasi
pendidikan nasional merupakan tuntutan politik untuk menilai sejauh mana warga
negara mempunyai visi yang sama serta pengetahuan dan keterampilan dalam
mengembangkan negara. Kedua, standardisasi pendidikan nasional merupakan
tuntutan globalisasi di mana Indonesia sebagai bagian dari dunia bersaing dan
perlunya untuk terus meningkatkan kualitas agar tidak menjadi budak bangsa lain.
Ketiga, standardisasi pendidikan nasional merupakan tuntutan dari kemajuan di
mana Indonesia sebagai negara berkembang akan terus meningkatkan kualitas
dalam meningkatkan martabatnya untuk menjadi negara maju dengan kualitas
sumber daya
manusia yang tinggi dan dapat berpartisipasi dalam meningkatkan mutu kehidupan
manusia.
Dalam hal tersebut di atas, standar menjadi patokan dalam menentukan acuan
penyelenggaraan pendidikan dalam upaya mencapai tujuan. Penyelenggaraan
pendidikan bukan hanya terbatas pada terselenggaranya pendidikan tetapi lebih
pada
pendidikan yang bermutu. Dalam konsep lain, pendidikan sebagai salah satu jasa
layanan yang harus bermutu. Dunia pendidikan diposisikan sebagai institusi jasa
atau
dengan kata lain industri jasa yang memberikan pelayanan sesuai yang diinginkan
oleh pelanggan dan kemudian dibutuhkan sistem yang mampu membudayakan
institusi pendidikan agar lebih bermutu (Zazin, 2011: 62–63). Zazin melanjutkan
bahwa mutu sesungguhnya diukur dengan mutu produksi sesuai dengan kriteria
dengan spesifikasi, cocok dengan pembuatan, dan penggunaan, tanpa cacat, dan
selalu baik sejak awal.

B. Dasar-dasar Kebijakan dan Tujuan


Pentingnya standar untuk menjadikan acuan dalam penyelenggaraan
pendidikan nasional menjadi suatu hal yang harus dipenuhi. SNP berfungsi sebagai
dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka
mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu, SNP juga bertujuan menjamin
mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Dengan adanya SNP, satuan pendidikan dapat menjadikan SNP sebagai tolok
ukur penyelenggaraan pendidikan, SNP juga dijadikan landasan untuk melakukan
pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia terutama
di satuan pendidikan menjadi lebih mudah diukur serta dinilai mutunya. Pencapaian
standar dapat menjadi tolok ukur untuk menentukan langkah perbaikan serta
kebijakan yang akan dilakukan dalam meningkatkan mutu pendidikan. SNP disusun
oleh Badan Standard Nasional Pendidikan (BSNP) yang merupakan lembaga yang
dibentuk pemerintah sesuai dengan amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 35 ayat (3) yang berisikan tentang
pengembangan SNP serta pemantauan dan pelaporan pencapaian secara nasional
dilaksanakan
oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.
BSNP merupakan lembaga independen dan profesional yang mengemban misi
untuk mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi pelaksanaan
standar nasional pendidikan. Tugas dan kewenangan BSNP adalah membantu
Menteri Pendidikan Nasional dan memiliki kewenangan untuk mengembangkan
SNP, menyelenggarakan Ujian Nasional (UN), memberikan rekomendasi kepada
pemerintah dan pemerintah daerah dalam penjaminan dan pengendalian mutu
pendidikan, merumuskan kriteria kelulusan pada satuan pendidikan jenjang
pendidikan dasar dan menengah, serta menilai kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan
kegrafikaan buku teks pelajaran. Standar yang dikembangkan oleh BSNP berlaku
efektif dan mengikat semua satuan pendidikan secara nasional. SNP yang disusun
harus disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan
tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
BSNP menjadi lembaga penting dalam memastikan penyelenggaraan
pendidikan bermutu. BSNP tentunya perlu terus melakukan kajian dari data yang
diperoleh untuk selalu memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan. BSNP
perlu diperkuat perannya dalam upaya menyusun kebijakan mutu pendidikan
melalui standar-standar yang dibangun sesuai dengan kondisi wilayah Indonesia
yang kemudian agar dapat maju bersama berdampingan bersama negara lain dalam
mewujudkan pendidikan yang bermutu.

C. Kajian Literatur/Teori
Pendidikan nasional Indonesia harus sejalandengan amanat Pasal 31 Undang-
Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945tentang
Pendidikan dan Kebudayaan. Secaraoperasional pelaksanaan pendidikan
merupakan realisasi Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Melalui pendidikan nasional setiapwarga
negara Indonesia diharapkan menjadimanusia yang bertakwa kepada Tuhan
YangMaha Esa, berakhlak mulia, cerdas, produktif, berdaya saing tinggi, dan
bermartabat di tengahpergaulan internasional. Dalam hubungan inisegala upaya
perlu dilakukan agar pelaksanaan pendidikan nasional dapat berhasil
sehinggatujuan pendidikan nasional dapat tercapai.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19Tahun 2005, SNP adalah kriteria
minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukumNegara Kesatuan
Republik Indonesia. SNPbertujuan menjamin mutu pendidikan nasionaldalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsadan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat. Fungsi SNP sebagai dasardalam perencanaan, terarah dan
berkelanjutansesuai dengan tuntutan perubahan lokal, nasional, dan global. Untuk
penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai SNPdilakukan evaluasi,
akreditasi dan sertifikasi. Selan jutnya, SNP disempurnakan secara terencana,
terarah, dan berkelanjutan sesuaidengan perubahan kehidupan lokal, nasional,dan
global. Lingkup SNP meliputi: a) Standar Isi; b)Standar Proses; c) Standar
Kompetensi Lulusan;d) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan; e) Standar
Sarana dan Prasarana; f) StandarPengelolaan; g) Standar Pembiayaan; dan
h)Standar Penilaian Pendidikan . SNP yangdigunakan dalam penelitian ini adalah
standaryang dikeluarkan oleh PP 19/2005, karena BadanAkreditasi Nasional masih
menggunakan acuanPP 19 Tahun 2005 untuk hasil akreditasi tahun2011, 2012 dan
2013.
Komitmen Pemerintah, sebagaimana tertulisdalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitumelaksanakan pendidikan
yang bermutu. Hal ituterdapat dalam Pasal 5 ayat (1): “Setiap warganegara
mempunyai hak yang sama untukmemperoleh pendidikan yang bermutu”. Hal ini
berarti bahwa semua anak Indonesia berhakmendapatkan pendidikan yang bermutu.
Denganadanya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan(SNP), pengertian bermutu menjadi jelas, yaitu memenuhi
standar yang meliputi: 1) standarisi; 2) standar proses; 3) standar
kompetensilulusan; 4) standar pendidik dan tenagakependidikan; 5) standar sarana
dan prasarana;6) standar pengelolaan; 7) standar pembiayaan; dan 8) standar
penilaian. Artinya, jika SNPdilaksanakan maka ada jaminan bahwa mutu
pendidikan nasional akan meningkat.

D. Realisasinya di Lapangan
Dalam pelaksanaannya, pencapaian SNP kerap menghadapi berbagai
permasalahan. Terutama pada komponen standar kompetensi lulusan yang masih
belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dunia usaha dan dunia industri.
Standar kedua yang masih banyak ditemukan masalah adalah standar pada sarana
dan prasarana di mana tidak sedikit juga ditemukan bangunan sekolah yang sudah
tidak layak serta kurangnya prasarana yang memadai. Standar lainnya adalah
standar pendidik dan tenaga kependidikan. Rendahnya mutu guru serta tidak
sesuainya kualifikasi pendidikan pendidik dan tenaga kependidikan menjadi
masalah yang perlu dituntaskan. Persoalan lainnya adalah persoalan standar
pengelolaan. Rendahnya penerapan sistem manajemen mutu kepala sekolah dalam
mengelola satuan pendidikan serta belum optimalnya kemampuan kepala sekolah
di satuan dalam menggali kekuatan dan kelemahan satuan pendidikan.

4. KEBIJAKAN KURIKULUM 2013 DI MADRASAH/SEKOLAH


A. Latar Belakang Permasalahan
Pendidikan merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas dan kuantitas
manusia yang dimiliki suatu bangsa. Salah satu cara menilai pendidikan adalah
dengan melihat sistem pendidikan yang diterapkan. Sistem pendidikan adalah
komponen pendidikan yang dianggap mampu menentukan kualitas manusia
kedepannya. Sistem pendidikan yang diterapkan pemerintah Indonesia adalah
berfakus pada pendidikan karakter dengan dilakukannya penilaian dalam semua
bidang mata pelajaran yang diampu siswa.
Negara Indonesia telah menjamin pendidikan bangsannya, seperti yang telah
dirumuskan pada pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945, yang menyatakan bahwa melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Dari pembukaan UUD
1945 sudah jelas bahwa negara memastikan bahwa penduduknya harus cerdas,
sehingga pemerintah akan mengawasi pelaksanaan pembangunan manusia.
Pembukaan UUD 1945 itu juga menjelaskan bahwa betapa pentingnya pendidikan
untuk pembangunan bangsa Indonesia. Maka dari itu, pemerintah selalu berupaya
memajukan pendidikan Indonesia. Disisi lain, pemerintah juga mengharapkan
dengan majunya pendidikan Indonesia mampu memajukan bangsa Indonesia.
Dalam program pendidikan, kurikulum merupakan pedoman mendasar untuk
kelangsungan proses belajar mengajar. Sukses tidaknya pendidikan dapat ditinjau
dari mampu tidaknya anak didik menyerap pendidikan yang diberikan dan cara
pendidik dalam memberikan pengajaran serta berhasil tidaknya tujuan pendidikan,
yang dibuktikan dengan adanya ujian akhir untuk mata pelajaran yang telah diikuti.
Sedangkan kebijakan ujian akhir ditentukan berdasarkan kurikulum yang
digunakan. Perubahan kurikulum pasca revormasi dimulai dari kurikulum 2004atau
yang dikenal dengaan KBK berikutnya setelah KBK ialah kurikulum 2006 yang
dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Setelah
tujuh tahun KTSP dilaksanakan pada tahun 2013 kurikulum baru yang diterapkan
dalam sistem pendidikan di Indonesia adalah kurikulum 2013 yang dikenal dengan
sebutan K-13. Dengan ini pemerintah mengharapkan ada penyempurnaan pola pikir
perumusan kurikulum, sehingga pelaksanaan kurikulum 2013 akan berjalan seperti
yang telah diharapkan.

B. Dasar-dasar Kebijakan dan Tujuan


Kebijakan kurikulum 2013 merupakan salah satu kebijakan bidang pendidikan
yang dicanangkan oleh pemerintah dimana pemerintah menambahkan penilaian
sikap dalan struktur kurikulum dalam kebijakan kurikulum 2013. Adanya penilaian
inilah
yang kemudian menjadi dasar bahwa kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang
berbasis karakter. Tujuannya agar siswa yang mendapatkan pendidikan kurikukum
2013 tidak hanya mampu menguasai dalam hal kompetensi pengetahuan dan
keterampilan. Namun juga didukung oleh sikap perilaku yang berkarakter.
Implementasi kurikulum merupakan upaya untuk menjelaskan pelaksanaan
kebijakan bidang pendidikan yang dimulai dari proses aktualisasi peraturan,
persiapan pelaksanaan dan penerapan langsung kebijakan tersebut.
Kebijakan Kurikulum 2013 dalam proses pembelajaran untuk mencapai
kompetensi merupakan tujuan pembelajaran kurikulum. Dalam kurikulum 2013
peranan guru semakin berkurang, guru hanya menjadi mediator pembelajaran yang
mengarahkan peserta didik untuk lebih memahami pelajaran yang diajarkan.
Karena implementasi kebijakan kurikulum 2013 menggunakan pendekatan
scientific dalam proses belajar mengajar. Pendekatan ini menuntun siswa bukan
hanya sekedar diberitahu tetapi lebih mencari tahu (discovery learning) dan
menuntut siswa untuk memahami pelajaran menggunakan berbagai media, yang
diwujudkan dengan metode 5M yaitu mengamati (observing), menanyakan
(questioning), menalar (associating), mencoba (experimenting) dan
mengkomunikasikan (creating networking communicating implementating).
pemberlakuan kurikulum 2013 ini hanya untuk beberapa sekolah saja. Ditingkat
nasional total keseluruhan awal pemberlakuan pasca keluarnya Permendikbud
mencapai 16.965 sekolah untuk semua jenjang dengan jumlah untuk tingkat SMA
yang langsung keputusan dari pusat sejumlah 3307, yang melaksanakan kurikulum
2013 secara mandiri terdapat 1163 SMA dengan pelaksana kurikulum 2013
terbanyak di DKI Jakarta dan kedua Provinsi Jawa Timur sedangkan SMK dengan
jumlah pelaksana mandiri 409 dan pelaksana berdasarkan keputusan pusat sejulah
998 Hingga kini yang jumlah tersebut masih belum ada perbaruan kecuali untuk
SMK dengan data Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
No. 305/KEP/D/KR/2016 tanggal 8 Mei 2016 dengan jumlah SMK menjadi
bertambah 1631. Sehingga total SMA yang melaksanakan kurikulum 2013 di
Indonesia secara keseluruhan menjadi 4470, sedangkan SMK dengan jumlah 3038
sekolah.
Sekolah-sekolah pilot project dalam kurikulum 2013 tentu ada beberapa syarat
khusus yang harus dipenuhi sebagai sekolah rintisan. Syarat tersebut seperti sekolah
yang terakreditasi A, lokasi sekolah yang strategis dan bisa berkembang, sarana dan
prasarana yang memenuhi standar kelayakan dan sumber daya manusia yang
terampil. Hal ini terlihat pihak sekolah dipaksa memenuhi tuntutan kelengkapan
fisik kurikulum 2013 bagi sekolah yang akan melaksanakan kurikulum tersebut.
Oleh karena itu, ada kesepakatan dari pusat bahwa yang menjalankan kurikulum
2013 hanyalah sekolah yang telah menggunakan kurikulum 2013 selama tiga
semester, untuk yang baru satu semester dikembalikan ke kurikulum 2006. Dengan
kata lain sekolah yang memang dari awal ditunjuk pemerintah pusat dijadikan
sekolah percontohan penggunaan kurikulum 2013.
Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
160 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Kurikulum Tahun 2006 dan Kurikulum
2013 pada pasal (2) Ayat 1yang berbunyi “Satuan pendidikan dasar dan pendidikan
menengah yang telah melaksanakan Kurikulum 2013 selama 3 (tiga) semester tetap
menggunakan Kurikulum 2013”.

C. Kajian Literatur/Teori yang Relevan


Kurikulum 2013 merupakan kurikulum baru yang mulai diterapkan pada tahun
ajaran 2013/ 2014. Kurikulum ini adalah pengembangan dari kurikulum
sebelumnya, baik kurikulum berbasis kompetensi (KBK) maupun kurikulum
tingkan satuan pendidikan (KTSP). Dalam konteks ini, “kurikulum 2013 berusaha
untuk lebih menanamkan nilai-12 Imas Kurinasih dan Berlin Sani, Implementasi
Kurikulum 2013 Konsep dan Penerapannya. Nilai yang tercemin pada sikap dapat
dibandingkan keterampilan yang diperoleh peserta didik melalui pengetahuan di
bangku sekolah”.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh, Dia mengatakan bahwa
kurikulum 2013 ini lebih ditekankan pada kompetensi dengan pemikiran
kompetensi berbasis sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Adapun ciri kurikulum
2013 yang paling mendasar ialah:
a) Menuntut kemampuan guru dalam berpengetahuan dan mencari tahu
pengetahuan sebanyak-banyaknya karena siswa zaman sekarang telahmudah
mencari informas dengan bebas melalui perkembangan teknologi dan informasi.
b) Siswa lebih didorong untuk memiliki tanggung jawab kepada lingkungan,
kemampuan interpersonal, antarpersonal, maupun memiliki kemampuan berfikir
kritis.
c) Memiliki tujuan agar terbentuknya generasi produktif, kreatif, inovatif, dan
efektif.
d) Khusus tingkat SD, pendekatan tematik integratif memberi kesempatan siswa
untuk mengenal dan memahami suatu tema dalam berbagai mata pelajaran.
e) Pelajaran IPA dan IPS diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa
Indonesia.

Pengembangan kurikulum 2013 dilandasi secara filosofis, yuridis, dan


konseptual sebagai berikut.
a. Landasan Filosofis
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
pasal 1 butir 1 menyatakan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”. Undang-
undang ini dirumuskan dengan berdasarkan pada dasar falsafah negara yaitu
Pancasila. Oleh karena itu, pancasila sebagai falsafah bangsa dan negara Indonesia
menjadi sumber utama dan penentu arah yang akan dicapai dalam kurikulum.

b. Landasan Yuridis dan Empiris


Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang standar proses pendidikan dasar dan
menengah menetapkan bahwa perencanaan pembelajaran dirancang dalam bentuk
silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), penilaian proses
pembelajaran menggunakan pendekatan penilaian outentik (authentic assesment)
yang menilai kesiapan siswa, proses dan hasil belajar secara utuh. Pelaksanaan
pembelajaran juga melaksanakan program remidial dan program pengayaan.
Implementasi kurikulum akan sesuai dengan harapan apabila guru mampu
menyusun RPP serta melaksanakan dan memahami konsep penilaian autentik serta
melaksanakannya.
c. Aspek Konseptual
Aspek ini mencakup relefansi, model kurikulum berbasis kopetensi, kurikulum
lebih dari sekedar dokumen, proses pembelajaran mencakup aktivitas belajar,
output belajar dan outcome belajar serta cakupan mengenai penilaian. Jika melihat
dari ketiga aspek ini maka kita dapat melihat dan juga menilai bahwasannya apakah
pergantian kurikulum ini telah memang dirasakan perlu dengan kondisi rill
dilingkungan kita masing-masing disetiap satuan pendidikan.

D. Realisasinya di Lapangan
Kebijakan kurikulum 2013 dimaksudkan untuk melengkapi dan menyempurnakan
berbagai kekurangan yang ada pada kurikulum sebelumnya.Kurikulum 2013
disusun dengan mengembangkan dan memperkuat sikap, pengetahuan, dan
keterampilan secara berimbang. Penekanan pembelajaran diarahkan pada
penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan sikap
spiritual dan sosial sesuai dengan kerakteristik Pendidikan Agama Islam dan Budi
Pekerti sebagaimana amanat tujuan pendidikan nasional mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Perubahan kebijakan 2013
menyangkut empat elemen perubahan kurikulum yaitu pada Standar Kompetensi
Lulusan (SKL), Standar Isi (SI),
Standar Proses, dan Standar Penilaian. Sedangkan perubahan kebijakan kurikulum
2013 berdampak pada empat hal yaitu model pembelajaran berupa tematik-
integratif, pendekatan saintifik, strategi aktif, dan penilaian autentik. Perubahan
kebijakan tersebut dalam rangka menyiapkan generasi masa depan Indonesia yang
kreatif, innovatif, produktif, dan afektif yang mampu membawa bangsa Indonesia
maju dan berperadapan di masa yang akan datang.
sebelumnya.Dalam implementasi kurikulum 2013 ini tentunya guru dituntut
untuk lebih meningkatkan kinerjanya. Pengetahuan, keterampilan, dan sikap dari
pendidik ini sangat diperlukan agar dapat melaksanakan kurikulum 2013 sesuai
dengan amanat kurikulum. Bukankah untuk menciptakan generasi berpengetahuan
tinggi, berketerampilan, dan berkarakter bagus diperlukan guru yang pengetahuan,
keterampilan, dan karakternya dapat diandalkan. Pada tahun pertama penerapan
kurikulum 2013 masih ada kendala/hambatan, peneliti ingin mengetahui apakah
pada tahun ketiga pelaksanaan kurikulum 2013 di madrasah masih dijumpai
kendala/hambatan dalam implementasi dan sampai sejauh mana implementasi
kurikulum 2013 dilihat dari berbagai aspek seperti kondisi siswa, kondisi guru,
kondisi sarana prasarana, penyusunan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran, dan penilaian pembelajaran.

5. KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU MELALUI PENDIDIKAN PROFESI


GURU
A. Latar Belakang Permasalahan
Sebagian besar masyarakat terutama para guru mengalami banyak kendala atau
kesulitan untuk dapat mengikuti program pemerintah tentang sertifikasi untuk guru
dalam jabatan (Kompas 17 september 2007). Para guru yang telah terdaftar sebagai
peserta sertifikasi ternyata pesimistis dan putus harapan dapat lolos seleksi dengan
portofolio sebagai pemenuhan persyaratan kepada guru sebagai tenaga profesional.
Pemberlakuan sertifikasi guru menjadi topik pembicaraan para praktisi pendidikan.
Penilaian portofolio yang telah ditetapkan oleh pemerintah (MENDIKNAS) jelas
dirasakan tidak relevan untuk diterapkan.
Berdasarkan PP No 18 Tahun 2007, proses sertifikasi bagi para guru dalam
jabatan dilakukan dengan penilaian terhadap portofolio dengan memberikan skor
berdasarkan standar kompetensi. Fakta menunjukkan berbagai kemungkinan terjadi
“ permainan dalam sertifikasi dilakukan antara guru peserta sertifikasi dengan tim
asesor atau atasannya, atau dengan pihak – pihak lain yang kemungkinan terkait
kepentingan guru peserta sertifikasi. Kristi Poerwandari ( Kompas, 16 Mei 2007 )
menyatakan bahwa masyarakat khususnya para guru ‘sedang dilanda fatalisme’.
Akibat sikap mental fatalistik tersebut para guru emoh kerja keras dan bersungguh
sungguh untuk menghadapi program sertifikasi.

B. Dasar-dasar Kebijakan dan Tujuan


Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen disebut sertifikat pendidik. Pendidik
yang dimaksud disini adalah guru dan dosen. Proses pemberian sertifikat pendidik
untuk gurudisebut sertifikasi guru, dan untuk dosen disebut sertifikasi dosen.
Sertifikasi guru adalahproses pemberian sertifikat pendidik kepada guru. Sertifikat
pendidik diberikan kepadaguru yang telah memenuhi standar profesional guru.
Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan
praktikpendidikan yang berkualitas. Sertifikat pendidik adalah sebuah sertifikat
yang
ditandatangani oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi sebagai bukti formal
pengakuan profesionalitas guru yang diberikan kepada guru sebagai tenaga
profesional.
Sertifikasi guru bertujuan untuk :
a. Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen
pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
b. Meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan
c. Meningkatkan martabat guru
d. Meningkatkan profesionalitas guru.

Adapun manfaat sertifikasi guru adalah sebagai berikut :


a. Melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang
dapatmerusak citra profesi guru.
b. Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas
dan tidak profesional.
c. Meningkatkan kesejahteraan guru.

Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan,


bukan tujuan itu sendiri. Perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua fihak
bahwa sertifikasiadalah sarana untuk menuju kualitas. Kesadaran dan pemahaman
ini akan melahirkanaktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah
untuk mencapai kualitas.Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk
meningkatkan kualifikasinya, makabelajar kembali ini bertujuan untuk
mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan danketrampilan, sehingga mendapatkan
ijazah S-1. Ijazah S-1 bukan tujuan yang harusdicapai dengan segala cara, termasuk
cara yang tidak benar melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah
mendapatkan tambahan ilmu dan keterampilan baru.Demikian pula kalau guru
mengikuti sertifikasi, tujuan utama bukan untukmendapatkan tunjangan profesi,
melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yangbersangkutan telah memiliki
kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standarkompetensi guru. Tunjangan
profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanyakemampuan yang
dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencarijalan lain guna
memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang
benar untuk menghadapi sertifikasi. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka
sertifikasiakan membawa dampak positif, yaitu meningkatnya kualitas guru.

C. Kajian Literatur/ Teori yang Relevan


Sertifikasi guru dalam jabatan pada hakikatnya merupakan penerapan
standarpendidik dan tenaga kependidikan. Sebagaimana kita ketahui, pasal 2 ayat
(1) PP Nomor19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan 8
standar nasionalpendidikan, yakni (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar
kompetensi lulusan, (4)standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar
sarana dan prasarana, (6) standarpengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8)
standar penilaian pendidikan.
Pasal 8 UU Nomor 14 Tahun 2005 disebutkan bahwa guru wajib
memilikikualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan
rohani, sertamemiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Dengan kata lain,guru merupakan profesi seperti profesi lain, misalnya dokter,
akuntan, pengacara,apoteker, dan sebagainya. Pembuktian profesionalitas guru
perlu dilakukan. Seorangakuntan harus mengikuti pendidikan profesi terlebih
dahulu demikian juga untuk profesilainnya, termasuk profesi guru. Sedangkan
bagaimana sertifikasi guru dalam jabatan tersebut dilaksanakan oleh asesor di
LPTK dijelaskan pada Pasal 2 ayat (1) dalam Permendiknas tersebut menyatakan
bahwa “sertifikasi guru dalam jabatan dilaksanakanmelalui uji kompetensi untuk
memperoleh peserta didik” Selain itu, dalam ayat (2) dinyatakan dengan tegas
bahwa “sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melaluiuji kompetensi
untuk memperoleh sertifikat pendidik” Dalam ayat (3) juga dinyatakansecara
eksplisit bahwa “uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam bentuk penilaian portofolio”.
Dasar utama pelaksanaan sertifikasi adalah Undang-Undang Nomor 14
Tahun2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang disahkan tanggal 30 Desember
2005. Pasalyang menyatakannya adalah Pasal 8 : guru wajib memiliki kualifikasi
akademik,kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuanuntuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pasal lainnya adalah Pasal 11, ayat (1) menyebutkan bahwa sertifikat
pendidiksebagaimana dalam pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi
persyaratan.Landasan hukum lainnya adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang SistemPendidikan Nasional, dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan yang
ditetapkan pada tanggal 4 Mei 2007. Landasan yuridis lain diberlakukan sertifikasi
guru dan dosen antara lain: (1)peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan; (3)Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen; (4) Draff RancanganPeraturan Pemerintah (RPP) yang
rencananya Oktober 2006 akan segera diberlakukanbahkan menurut Fasla Djalal,
Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan TenagaKependidikan (PMPTK)
Depdiknas mengatakan bahwa: ‘’Awal Januari 2007 take home pay guru Minimal
3 juta”.

D. Realisasinya di Lapangan
Untuk menciptakan guru yang profesional tersebut, diperlukan adanya
bimbingan dan supervisi dari kepala Madrasah. Tanpa adanya supervisi,
peningkatan mutu pendidikan akan sulit tercapai. Hal ini disebabkan karena kinerja
guru tergantung bagaimana gaya kepemimpinan kepala Madrasah dalam
memimpin. Bila kepala Madrasah bersifat otokratik, maka guru akan cenderung
bersikap pasif dan menunggu
komando dari pimpinan. Dalam kepemimpinan yang laissez faire, guru akan
melakukan inisiatif sebisanya atau akan mencoba bereksperimen dalam kegiatan
belajar mengajar sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan dalam kepemimpinan
yang demokratis, guru dapat berdiskusi dan memberi masukan kepada kepala
Madrasah dalam peningkatan mutu pendidikan. Kinerja guru dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang melingkupinya dan masing-masing individu berbeda satu sama
lain.. Secara garis besar perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu :
faktor individu dan situasi kerja. Faktor individu menentukan bagaimana ia dapat
mengaktualisasikan dirinya dalam lingkungan pekerjaan,sementara faktor situasi
kerja mempengaruhi bagaimana individu dapat mengaktualiasikan diri sesuai
dengan lingkungan sekitarnya.

Sumber:

6. KEBIJAKAN WAJIB BELAJAR


A. Latar Belakang Permasalahan
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam membangun sebuah
Negara. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa salah satu
tujuan Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Undang-
Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 60 ayat 1 menyatakan
bahwa “setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
pengembangan pribadi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasanya”. Hal
tersebut dapat diartikan bahwa setiap anak Indonesia berhak memperoleh
pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa
memandang status sosial, ras, etnis, agama, serta gender.
Menurut Soedijarto (2008 : 295) Wajib Belajar merujuk pada suatu kebijakan
yang mengharuskan warga negara dalam usia sekolah mengikuti pendidikan
sekolah sampai jenjang tertentu, dan pemerintah berupaya memberikan dukungan
sepenuhnya, agar warga negara peserta wajib belajar dapat mengikuti pendidikan
sekolah. Program Wajib Belajar pendidikan 9 tahun merupakan perwujudan
pendidikan dasar untuk semua anak usia 6-15 tahun. Pelaksanaan Wajib Belajar
selain menjadi hak dan kewajiban orang tua, juga menjadi hak dan kewajiban
masyarakat dalam menyukseskan pelaksanaannya. Dan tak kalah pentingnya
pelaksanaan Wajib Belajar menjadi hak dan kewajiban pemerintah. Demikian juga
peserta didik memiliki hak untuk mendapatkan biayapendidikan bagi mereka yang
orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Secara hakiki Wajib Belajar
telah menjadi tekad pemerintah. Tekad ini hendaknya tidak hanya dalam bentuk
slogan, wacana dan sebatas konsep, tetapi harus diimplementasikan dengan
konkret, terutama yang menyangkut penyediaan dana. Tanpa dana mana mungkin
tujuan penuntasan wajib belajar dapat terwujud.

B. Dasar-dasar Kebijakan dan Tujuan


Dasar-Dasar kebijakan Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD)
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sejalan dengan pembukaan UUD itu, batang tubuh konstitusi tersebut di antaranya
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1),Pasal 31, dan Pasal 32, juga mengamanatkan
bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur
dengan undang-undang. Sistem pendidikan nasional tersebut harus mampu
menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi
dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan
tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Untuk itu, perlu
dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan
berkesinambungan.
Pendidikan dasar bertujuan memberi bekal kemampuan dasar kepada siswa
untuk mengembangkan kehidupan sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga
Negara dan anggota umat manusia serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti
pendidikan menengah (pasal 3 peraturan pemerintah No. 28 tahun 1990 tentang
Pendidikan Dasar).
Pendidikan dasar yang diselenggarakan di sekolah dasar (SD) bertujuan untuk
memberikan bekal kemampuan dasar baca tulis hitung, pengetahuan dan
ketrampilan dasar yang bermanfaat bagi siswa sesuai dengan tingkat
pengembangan serta mempersiapkan mereka untuk mengikuti pendidikan di SLTP.
Pendidikan dasar yang diselenggarakan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP), bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar yang merupakan
perluasan serta peningkatan pengetahuan da ketrampilan yang diperoleh di Sekolah
Dasar yang bermanfaat bagi siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai
pribadi, anggota masyarakat dan warga Negara sesuai dengan tingkat
perkembangannya serta mempersiapkan mereka untuk mengikuti pendidikan
menengah (Kurikulum Pendidikan Dasar dalam Soepono, 2002). Mengacu kepada
tujuan pendidikan pada jenjang dan satuan pendidikan dasar bertujuan member
bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan kehidupannya
sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga Negara dan anggota umat manusia serta
mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan menengah (Pasal 3 PP No. 28
Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar).Maka tujuan Wajib Belajar Pendidikan
Dasar 9 Tahun adalah : menciptakan kondisi nasional dibidang pendidikan dan
pengajaran, agar anak usia 7 tahun sampai dengan 12 tahun seluruhnya dapat masuk
di Sekolah Dasar (SD) atau yang sederajat, setelah tamat kemudian melanjutkan ke
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau sederajat. Diharapkan sekian tahun
mendatang bangsa Indonesia berpendidikan serendahnya SLTP (Engkoswara
dalam Soepono,2002).

C. Kajian Literatur/ Teori yang Relevan


Wajib belajar merupakan program pendidikan yang harus diikuti oleh warga Negara
Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah (UU Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidian Nasional). Sedangkan menurut (Soedijarto,
2008) penegertian wajib belajar sebagai terjemahan dari “Compulsary Education”
merujuk pada suatu kebijakan yang mengharuskan warga negara dalam usia sekolah
untuk mengikuti pendidikan sekolah sampai pada jenjang tertentu dan pemerintah
memberikan dukungan sepenuhnya agar peserta wajib belajar dapat mengikuti
pendidikan.
Adapun tujuan wajib belajar adalah untuk memberikan pendidikan minimal bagi
warga negara indonesia untuk dapat mengembangkan potensi dirinya agar dapat
hidup mandiri dalam bermasyarakat atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi. Sedangkan wajib belajar berfungsi mengupayakan perluasan dan
pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi setiap warga
negara Indonesia. (PP nomor 47 Tahun 2008 tentang wajib belajar).
Penyelenggaraan wajib belajar diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
pendidikan non formal dan pendidikan informal. Pada jalur formal dilaksanakan
pada jenjang pendidikan dasar yaitu SD, MI, SMP, MTs, dan bentuk lain yang
sederajat. Sedangkan pada pendidikan non formal dilaksanakan melalui program
paket A, B,C dan bentuk lain yang sederajat. Untuk pendidikan informal
dilaksanakan melalui pendidikan keluarga atau pendidikan lingkungan (PP nomor
47 Tahun 2008 tentang wajib belajar)Penyelenggaraan wajib belajar pada satuan
pendidikan yaitu wajib menerima peserta didik dari lingkungan sekitarnya dan
sesuai dengan daya tampung dan melaksanakan wajib belajar yang bermutu dan
memenuhi standar nasional pendidikan. Sedangkan pengelolaan wajib belajar
menurut PP no 47 Tahun 2008 tentang wajib belajar yaitu wajib belajar secara
nasional menjaditanggung jawab Menteri, tanggung jawab Kepala Daerah baik
pada tingkat Provinsi Kabupaten/Kota dan pada tingkat satuan pendidikan dasar
menjadi tanggung jawab pemimpin satuan pendidikan dasar dan menengah.
Pengelolaan wajib belajar menurut PP 47 tahun 2008 tentang wajib belajar
bahwa pengelolaan wajib belajar secara nasional adalah tanggung jawab
Pemerintah, tanggung jawab Kepala Daerah pada tingkat Provinsi kabupatnen/kota
sedangkan pada tingkat satuan pendidikan adalah tanggung jawab pimpinan satuan
pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Pemerintah daerah dapat
meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pada pendidikan menengah
dan Pemerintah Daerah berhak mengatur sesuai dengan kondisi daerah masing-
masing melalui Peraturan Daerah serta mencantumkan kebijakan dibidang
pendidikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, rencana
Pembangunan jangka Panjang Daerah dan Peraturan Perundang-undangan daerah
bidang pendidikan.
Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah tanpa memungut biaya dan
memberikan biaya pendidikan kepada warga negara yang orang tuanya kurang
mampu. Pemerintah Provinsi/Kota daerah juga menjamin ketersedian sarana dan
parasarana pendidikan yang belum memenuhi Standar pelayanan Minimal dan
ketersediaan sumber daya di bidang pendidikan yang adil dan merata bagi seluruh
masyarakat lintas Kabupaten/Kota diwilayahnya untuk pelaksanaan wajib belajar.
Setiap warga negara Indonesai usia sekolah wajib mengikuti program wajib belajar
dan pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengupayakan agar setiap warga negara
Indonesia yang usia sekolah wajib mengikuti program wajib belajar.
D. Realisasinya di Lapangan
Realisasi program wajib belajar 12 tahun dinilai belum berjalan secara
sistematis. Meskipun regulasi sudah dibentuk, implementasi lebih lanjut dari
pemerintah daerah tidak optimal. Hal ini terutama terkait komitmen penyediaan
anggaran pendidikan di tingkat daerah. Pemerintah telah berkomitmen menjalankan
program wajib belajar 12 Tahun atau Wajar 12 Tahun di tahun 2022. Untuk
mendukung program tersebut, pemerintah pusat pun telah menganggarkan 20
persen biaya APBN untuk sektor pendidikan, yaitu sekitar Rp 444 triliun di tahun
2018. Dari jumlah tersebut, lebih dari 60 persen anggaran ditujukan untuk transfer
daerah.

7. KEBIJAKAN AKREDITASI MADRASAH/SEKOLAH


A. Latar Belakang Permasalahan
Satu upaya penting untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidkan di
madrasah melalui kegiatan akreditasi madrasah. Undang undang Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sisdiknas Pasal 60, ayat 1 menjelaskan akreditasi dilakukan untuk menentukan
kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal
pada setiap jenjang dan jenis pendidikan dan dilakukan oleh pemerintah melalui
lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas public.
Bagi Kementerian Agama, seluruh kebijakan mengenai akreditasi madrasah
bersinergi dengan rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) 2005-2025 dan
Rencana
Strategis pembangunan Pendidikan Islam 2010-2014 Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam, Kementerian Agama RI, yang salah satunya memfokuskan pada peningkatan
mutu pendidikan Islam. Hal ini semakin menegaskan pentingnya pelakasanaan
akreditasi sebagai instrumen penilaian bagi penjaminan dan pengembangan mutu
pendidikan nasionalKementerian Agama khususnya Direktorat Pendidikan Madrasah
sebagai Lembaga pemerintah yang berwenang mengawasi penyelenggraan pendidikan
di madrasah telah melakukan upaya-upaya guna mempersiapkan madrasah untuk
diakreditasi oleh BAN S/M, sebagaimana yang tertuang dalam Renstra Pembangunan
Pendidikan Islam (2010-2014) bahwa semua madrasah sudah harus terakreditasi oleh
Badan Akreditasi Nasioanl Sekolah/Madrasah (BAN S/M) pada tahun 2014 dengan
50% madrasah terakreditasi minimal B. 1
Namun data di lapangan menunjukkan adanya beberapa madrasah (MI, MTs
dan
MA) yang terakreditasi sebanyak 16364 (73%) dan madrasah yang belum terakreditasi
sebesar 6104 (27%) madrasah. Khusus bagi madrasah yang belum terakreditasi perlu
menjadi perhatian bagi pemerintah, karena konsekuensi yang sangat berat harus
diterima bagi setiap madrasah bila tidak terakreditasi dimana lembaga tersebut tidak
diperkenankan.

B. Dasar-dasar Kebijakan dan Tujuan


Peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015, dalam pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa
penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan yang sesuai dengan Standar Nasional
Pendidikan (SNP) perlu di lakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi. Penjaminan
mutu pendidikan ini bertujuan untuk mengetahui apakah satuan pendidikan atau
program telah memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan
Proses Akreditasi dilakukan secara terbuka dengan tujuan untuk membantu dan
memberdayakan program dan satuan pendidikan agar mampu mengembangkan sumber
dayanya dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Mengingat pentingnya akreditasi
sebagai salah satu upaya untuk menjamin dan mengendalikan kualitas pendidikan,
Pemerintah membentuk Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M)
Selain itu juga terdapat tujuan lain dari adanya kebijakan Akreditasi
sekolah/madrasah yaitu:
- Memberikan Informasi tentang kelayakan Sekolah/Madrasah atau program yang
dilaksanakannya berdasarkan SNP
- Memberikan pengakuan peringkat kelayakan
- Memetakan mutu pendidikan berdasarkan SNP, dan
- Memberikan pertanggungjawaban kepada pemangku kepentingan
(stakeholder)sebagai bentuk akuntabilitas public
Jadi secara rinci dasar hukum pedoman Akreditasi Sekolah/Madrasah adalah
sebagai berikut:
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
sebagaimana telah beberapa kali di ubah, terakhir dengan undang-undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
3) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, sebagaimana telah beberapa kali di ubah, terakhir dengan peraturan
Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedia atas Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan;
4) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan;
5) Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan;
6) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2007 Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah;
7) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru;
8) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2007 Tentang Standar Pengelolaan Oleh Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah;
9) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2007 Tentang Standar Sarana dan Prasarana Sekolah/Madrasah Pendidikan
Umum;
10) Peraturan Menteru Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2008 Tentang Standar Proses Pendidikan Khusu, Tuna Netra, Tuna Rungu,
Tuna Grahita, Tuna Daksa, dan Tuna Laras;
11) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2008 Tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah.

C. Kajian Literatur/Teori yang Relevan


Sesuai dengan amanat yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional, bahwa perlu adanya keterlaksanaan
pengembangan sistem akreditasi. Menurut pengertian yang di kenal oleh umum,
akreditasi adalah suatu penilaian yang dilkukan oleh pemerintah terhadap sekolah
swasta untuk menentukan peringkat pengakuan pemerintah terhadap sekolah
tersebut.24 Akan tetapi kebijakan tersebut sekarang ini mulai dilaksanakan terhadap
sekolah-sekolah secara keseluruhan baik negeri maupun swasta. Sedangkan menurut
kamus besar bahasa Indonesia “ Akreditasi adalah pengakuan terhadap lembaga
pendidikan yang di berikan oleh badan yang berwenang setelah di nilai bahwa lembaga
itu memenuhi syarat kebakuan atau kriteria tertentu”.
Peringkat akreditasi sekolah berlaku selama 4 (empat) tahun terhitung sejak
ditetapkan peringkat akreditasinya, sekolah diwajibkan permohonan akreditasi ulang,
sebelum 6 (enam) bulan masa berlakunya peringkat akreditasi berakhir, dan bagi
sekolah yang peringkat akreditasinya berakhir masa berlakunya dan menolak untuk
diakreditasi ulang oleh badan akreditasi sekolah (BAS) maka peringkat akreditasi yang
bersangkutan dinyatakan tidak berlaku.

D. Realisasinya di Lapangn
Peningkatan mutu sekolah/madrasah mengacu pada Sistem Penjaminan Mutu
Pendidikan, yang mana sekolah/madrasah dibina dan dievaluasi untuk mencapai dan
mengukur ketercapaian acuan mutu yang telah ditetapkan. Pembinaan
sekolah/madrasah untuk mencapai acuan mutu satuan pendidikan diperankan oleh
Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), dan evaluasi ketercapaiannya dilakukan
oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M).
Evaluasi pencapaian sekolah/madrasah terhadap acuan mutu satuan pendidikan
dilakukan melalui Akreditasi. Kegiatan penilaian kelayakan berdasarkan kriteria yang
telah ditetapkan dan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. Sebagai badan
evaluasi mandiri yang berwenang untuk menentukan capaian kualitas
sekolah/madrasah, BAN S/M memiliki peran strategis dalam peningkatan mutu
pendidikan. Karena hasil evaluasi tersebut akan menjadi tolok ukur mutu pendidikan
sekolah/madrasah saat ini sekaligus menjadi dasar kebijakan Pemerindah dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan selanjutnya.
Akurasi hasil evaluasi sekolah/madrasah akan sangat berkontribusi terhadap
akurasi kebijakan Pemerintah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan selanjutnya.
Artinya BAN S/M turut memiliki peran yang penting dalam keberhasilan mencetak
generasi bangsa yang lebih berkualitas. Penilaian akreditasi belum mampu memotret
performa sekolah/madrasah yang stabil (sustained performance). Performa sekolah
cenderung sangat baik saat penilaian akreditasi yang dilakukan selama beberapa hari,
bahkan hanya 1 hari, dan kembali menurun setelah tim penilai meninggalkan
sekolah/madrasah.Penilaian akreditasi cenderung “paper based assessment”. Kualitas
dokumen memiliki peran dominan dalam menentukan hasil akreditasi.

8. MANAJEMEN BERBASIS MADRASAH/SEKOLAH


A. Latar Belakang Permasalahan
Latar belakang munculnya Manajemen Berbasis Sekolah disebabkan oleh
system pemerintah pusat yang memberikan hak wewenang dan keleluasaan kepada
daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Kewenangan diberikan kepada daerah kabupaten dan kota
berdasarkan asas desentralisasi dalam wujud otonomi luas, nyata, dan bertanggung
jawab (Mulyasa, 2006). Kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat tersebut meliputi banyak hal salah satunya kewenangan mengenai
pendidikan. Desentralisasi pemerintah yang telah melahirkan otonomi daerah,
khususnya dalam bidang pendidikan, dan kemudian dalam penyelengaraan
pendidikan, otonomi daerah tersebut telah melahirkan satu kebijakan yang
kemudian dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah. Itulah sebabnya, kebijakan
Manajemen Berbasis sekolah dapat disebut sebagai pengejawantahan dari
kebijakan pemerintah
yang lebih tinggi, yaitu desentralisasi pemerintah dan otonomi daerah (Suparlan,
2013). Akan tetapi, penerapan model Manajemen Berbasis Sekolah masih terdapat
suatu permasalahan.

B. Dasar-dasar Kebijakan dan Tujuan


Manajemen Berbasis Sekolah mempunyai tujuh pilar (Triwiyanto, 2015), yaitu
kurikulum dan pembelajaran, peserta didik pendidik dan tenaga kependidikan,
sarana dan prasarana, pembiayaan, hubungan sekolah dan masyarakat, dan budaya
dan lingkungan sekolah.
Tujuan utama Manajemen Berbasis Sekolah adalah meningkatkan efisiensi,
mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui
keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat, dan
penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang
tua, kelenturan pengelolaan sekolah,peningkatan profesionalisme guru, adanya
hadiah dan hukuman sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat
menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak
pada tumbuhnya partisipasi masyarakat terutama yang mampu dan peduli,
sementara yang kurang mampu akan menjadi tanggung jawab pemerintah
(Mulyasa, 2006: 13). Pada pendefinisian tujuan Manajemen Berbasis Sekolah yang
disampaikan oleh Mulyasa, pendefinisiannya masih secara luas. Penyampaian yang
berbeda dengan pendefinisian tujuan Manajemen Berbasis Sekolah secara
terperinci yang disampaikan oleh Berlian.

C. Kajian Literatur/Teori yang Relevan


Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 juga
menyebutkan tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan tentang tiga jalur
pendidikan yang saling terkait dan saling memengaruhi antara ketiganya, yaitu (1)
jalur pendidikan formal, (2) jalur pendidikan non formal, dan (3) jalur pendidikan
informal. Dalam lingkungan pendidikan jalur yang sering digunakan adalah jalur
pendidikan formal atau yang sering disebut sebagai jalur pendidikan sekolah. Pada
pendidikan formal, untuk aspek-aspek yang terkait dengan manajemen atau
pengelolaan pendidikan sekolah atau dewasa ini telah dikembangkan satu konsep
yang dikenal dengan manajemen berbasis sekolah (MBS).
Manajemen Berbasis Sekolah adalah suatu pendekatan dalam upaya
meningkatkan mutu pendidikan yang pengelolaan sekolah sepenuhnya diserahkan
kepada pihak sekolah guna menentukan suatu kebijakan-kebijakan tertentu untuk
mencapai tujuan-tujuan penyelenggaraan pendidikan dengan menjalin kerja sama
antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah.Manajemen Berbasis Sekolah bisa
diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja
organisasi sekolah, proses belajar mengajar, pengelolaan sumber daya manusia, dan
pengelolaan sumber daya dan administrasi.
D. Realisasinya di Lapangan
Pengimplementasian Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia cenderung
belum sesuai apa yang diharapkan karena masih sebagian wilayah di Indonesia yang
dapat mengimplementasikannya. Pemahaman tentang Manajemen Berbasis
Sekolah masih sangat sulit dipahami oleh para pemangku kepentingan diluar
sekolah, hal tersebut menjadi salah satu faktor penghambat dalam
mengimplementasikan Manajemen Berbasis
Sekolah. Dengan demikian, sumber daya manusianyalah yang harus segera
dibentuk agar mempunyai kemampuan yang mumpuni. Sebagaimana dikemukakan
oleh Mahdayeni (2016: 27) Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah akan
berjalan efektif dan efisien apabila didukung oleh sumber daya manusia yang
profesional untuk mengoperasikan sekolah, dana yang cukup agar sekolah mampu
menggaji staf sesuai dengan fungsinya, sarana dan prasarana yang mamadai untuk
mendukung proses pembelajaran, serta dukungan orang tua dan masyarakat yang
tinggi. Hal ini merupakan persyaratan umum untuk mengimplementasikan
Manajemen Berbasis Sekolah.

9. KOMITE MADRASAH/ SEKOLAH


A. Latar Belakang Permasaahan
Penyelenggaraan pendidikan harus berjalan sesuai dengan tujuan pendidikan,
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab, salah satu indikasi kemajuan bangsa
terletak pada pendidikan yang bermutu, sehingga mampu menghasilkan output
yang memberikan perubahan-perubahan bagi bangsanya. Bentuk perubahan yang
dapat dilakukan adalah dengan menerapkan kebijakan pemerintah yaitu Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS). Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menurut Fattah
(2013:42): sebagai terjemahan dari School Based Management (SBM), adalah suatu
pendekatan praktis yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah
dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah serta meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru,
siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat. Maka dari itu, salah satu
upaya yang dapat dilakukan kepala sekolah adalah dengan membangun hubungan
yang harmonis dengan komite sekolah. Hubungan yang terjalin baik akan
memudahkan kepala sekolah dalam menjalankan programprogram sekolah yang
mana bertujuan meningkatkan mutu pendidikan utamanya mutu sekolah.
Keberadaan komite sekolah dalam satuan pendidikan merupakan wadah
partisipasi masyarakat terhadap layanan pendidikan di sekolah dengan kata lain
komite menjembatani hubungan antara sekolah dan masyarakat. Penting untuk
komite sekolah menjalankan tugas dan fungsinya agar mutu pendidikan sesuai
dengan visi, misi, dan tujuan sekolah. Disamping itu, kepala sekolah berperan
sebagai promotor penggerak lembaga pendidikan juga berwenang untuk
mengaktifkan komite sekolah dengan cara mengikutsertakannya pada setiap
rencana pengembangan program sekolah, pelaksanaan, hingga evaluasi.

B. Dasar-dasaj Kebijakan dan Tujuan


Komite sekolah dibentuk bermaksud agar ada suatu organisasi masyarakat
sekolah yang konsen, komit, dan mempunyai loyalitas serta peduli terhadap
peningkatan kualitas sekolah. Organisasi yang dibentu ni dapat dikembangkan
secara khas dan berakar dari budaya, demografis,ekologis, nilai kesepakatan serta
kepercayaan yang dibangun sesuai potensi masyarakat setempat. Komite sekolah
yang dibangun dimanapun harus mengembangkan konsep yang berorientasi pada
pengguna. Yang
difokuskan pada pelayanan mutu peningkatan pendidikan. Pengembangan konsep
menekankan pada komite sekolah aga secara konsisten melakukan suatu perbaikan
yang berkelanjutan untk mencapai kebutuhan dan kepuasan pengguna.
Komite Sekolah bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan
di sekolah dengan melibatkan masyarakat. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional No. 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, tujuan
dibentuknya komite
sekolah adalah sebagai berikut:
1. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan
kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan.
2. Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta aktif dari seluruh lapisan
masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
3. Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam
penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.
C. Kajian Literatur/Teori yang Relevan
Pembentukan Komite Sekolah yang telah ditetapkan dalam keputusan Menteri
Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 Tanggal 2 April 2002, merupakan amanat
dari Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas) Tahun 2000-2004, dengan tujuan agar pembentukan Komite Sekolah
dapat mewujudkan manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/masyarakat
school/community-based management) Pembentukan Komite Sekolah/Madrasah
menjadi lebih kuat dari aspek legalitasnya, karena telah dituangkan dalam Pasal 56
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Komite Sekolah / Madrasah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta
masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi
pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan madrasah, baik pada pendidikan
prasekolah maupun pendidikan dasar dan menengah. Nama badan disesuaikan
dengan kondisi dan kebutuhan daerah masing- masing satuan pendidikan, seperti
Komite Sekolah, Komite Pendidikan, Komite Pendidikan Luar Sekolah, Dewan
sekolah, Majelis Sekolah, Majelis Madrasah, Komite TK, atau nama lain yang
disepakati.
Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat
dalam rangka peningkatan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan
disatuan pendidikan baik pada pendidikan prasekolah, jalur pendidikan sekolah,
maupun jalur pendidikan luar sekolah. Nama badan disesuaikan dengan kondisi
yang ada dan kebutuhan masingmasing satuan pendidikan, seperti Komite Sekolah,
Komite Pendidikan, Komite Pendidikan Luar Sekolah, Dewan Sekolah, Majelis
Sekolah, Majelis Madrasah, atau nama lain yang disepakati. Berdasarkan beberapa
pengertian tentang komite sekolah tersebut, dapat disimpulkan bahwa Komite
Sekolah adalah wadah atau organisasi kerjasama orangtua siswa, tokoh masyarakat,
kepala sekolah dan guru yang tidak bersifat mencari keuntungan dan berperan
dalam peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan.
Cara komite sekolah dalam menjalankan fungsinya diatur dalam pasal 196 ayat
2 yang mengandung penjelasan bahwa komite sekolah/ madrasah menjalankan
fungsinya secara mandiri dan profesional. Sebagai badan yang mandiri, komite
sekolah tidak mengkesampingkan masukan, saran, kritik, maupun aspirasi
masyarakat. Pada pasal 196 ayat 3 disebutkan bahwa dalam menjalankan fungsinya,
komite mendengarkan segala masukan masyarakat komite sekolah/ madrasah
menindaklanjuti segala aspirasi masyarakat terkait peningkatan mutu pendidikan.
Selain itu menggunakan teori Desain evaluasi model Stake’s Countenance Model
menekankan adanya pelaksanaan dua hal pokok yakni deskripsi (description) dan
pertimbangan keputusan (judgements).

D. Realisasinya di Lapangan
Selama pembentukan MBS, Komite Sekolah telah menjalankan berbagai peran
dan fungsinya meskipun belum begitu optimal. Situasi ini berdasarkan pengamatan
di lapangan diketahui bahwa tidak jarang Komite Sekolah hanya melaksanakan
tugas dan tanggung jawabnya, hanya pada hal-hal tertentu saja misalnya realisasi
Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) setelah itu tidak ada lagi wujud
keterlibatannya, terjadinya komplik antara pengurus Komite Sekolah dengan pihak
sekolah, vakumnya Komite Sekolah dan berbagai persoalan lainnya.
Sesungguhnya kehadiran Komite Sekolah sebagai bagian dari sistem
persekolahan, memberi peluang yang signifikan bagi peningkatan mutu manajerial
sekolah. Komite Sekolah memiliki peran, fungsi dan tujuan yang sesuai dengan
pencapaian tujuan sekolah yaitu meningkatkan proses mutu pendidikan dan
pembelajaran sehingga memungkinkan peserta tumbuh dan berkembang untuk
dapat menyesuaikan diri dengan potensi yang dimilikinya.

10. KEBIJAKAN PENDIDIKAN AGAMA DAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN


A. Latar Belakang Permasalahan
Kebijakan merupakan suatu rangkaian konsep dan asas menjadi suatu garis
pelaksanaan dalam suatu pekerjaan, kepemimpinan ataupun cara bertindak.
Kebijakan harus selalu ada dalam kehidupan bernegara. Kebijakan ini sangat
berpengaruh terhadap kehidupan warga negara, jika dalam suatu negara tidak
memiliki kebijakan, maka peraturan yang ada dalam negara pun tidak dapat berjalan
secara teratur. Kebijakan juga merujuk pada proses pembuatan keputusan-
keputusan yang penting pada suatu organisasi. Kebijakan juga dapat sebagai
mekanisme politis, finansial ataupun dalam bentuk apapun. Dalam suatu kebijakan
harus selalu di pikirkan matang-matang dalam memiliki suatu keputusan. Jadi
Pengertian Kebijakan merupakan suatu seperangkat keputusan yang diambil oleh
para politik dalam rangka untuk memilih tujuan dan juga cara untuk mencapainya.
Pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dapat dikatakan sebagai sebuah
proses pendidikan yang memiliki kekhususan mengajarkan ilmu pengetahuan yang
berbasis agama. Indonesia memiliki enam agama yang diakui negara,
dengandemikian, pendidikan agama dan pendidikan keagamaanpun mencakup
enam agama tersebut,yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha,dan
Konghucu.34Namun demikian, dalam tulisan ini yang akandikaji dibatasi padailmu
yang berkaitan dengan agama Islam. Oleh sebab itu,ruanglingkup kajian ini khusus
kepada pendidikan agama danpendidikan keagamaan dalamkonteks agama Islam.

B. Dasar-dasar Kebijakan dan Tujuan


Mutu Pendidikan Keagamaan berkaitan dengan derajat kebaikan , kehadalan ,
keunggulan sehingga menjadi kepuasan seluruh pemangku kepentingan Mengukur
dan Memetakan Mutu Benchmarking internal berarti membandingkan mutu lulusan
antar tahun pada satu Lembaga Pendidikan Keagamaan. dalam ketentuan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 12 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
menjadikan pendidikan agama hanya merupakan hak dan bukan merupakan
kewajiban bagi peserta didik. Karena dalam pasal 12 undang-undang tentang sistem
pendidikan nasional menetapkan bahwa “setiap peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Ketentuan dari pasal 12 ini,
memiliki akibat hukum bahwa pendidikan agama itu boleh diikuti oleh peserta didik
dan boleh juga tidak.
Walaupun ketentuan undang-undang dalam pasal 37 telah menetapkan bahwa
pelajaran pendidikan agama wajib dicantumkan dalam kurikulum, tetapi untuk
mengikuti pelajaran pendidikan agama tersebut bersifat tentatif, karena dia hanya
sebagai hak dan bukan sebagai kewajiban. Padahal ketentuan pasal 1 menetapkan
bahwa: “Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian salah satu unsur penting dari
tujuan pendidikan nasional adalah “untuk berkembangnya potensi agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia. Ketentuan ini berarti bahwa secara konseptual, asas Ketuhanan Yang Maha
Esa untuk menciptakan manusia yang beriman harus menjiwai dan menjadi dasar
dalam semua aspek dan kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia.
Ketentuan ini juga mengandung nilai-nilai yang religius bagi seluruh bangsa
Indonesia. “Karena hakikat kedua dasar tersebut secara filosofis merupakan bagian
dari filsafat Islam. Artinya, seluruh kandungan isi dan maknanya tidak bertentangan
dengan ajaran Islam, bahkan tercerminkan dalam ajaran Islam. Karena itu, kedua
dasar tersebut harus diterjemahkan dan ditafsirkan secara Islami

C. Kajian Literatur/Teori yang Relevan


Dalam PP. No. 55 tahun 2007 pasal 2 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa :
Pendidikan agama bertujuan pendidikan agama untuk berkembangnya kemampuan
peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama
yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni.Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang
memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli
ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak
mulia.
Dari tujuan pendidikan agama dan keagamaan makna pendidikan mampu
dipahami, tidak sampai tereduksi atau distorsi menjadi sekadar pengajaran. Padahal,
Pembukaan UUD 1945 bagian dari konstitusi kita yang dianggap paling bertuah
daripada batang tubuhnya sendiri disebutkan poin utama pendidikan kita adalah
“untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.” Ini jelas mengandaikan adanya
transformasi nilai-nilai yang positif yang melampaui dari peran yang dimainkan
sekolah. Menurut Azyumardi Azra, perbedaan antara pendidikan dan pengajaran
terletak pada penekanan pendidikan terhadap pembentukan kesadaran dan
kepribadian anak didik di samping transfer ilmu dan keahlian.Dengan proses
semacam ini, suatu negara-bangsa (state-nation) dapat mewariskan nilai-nilai
keagamaan, kebudayaan, pemikiran dan keahlian kepada generasi mudanya,
sehingga benar-benar siap menyongsong kehidupan. Totalitas pendidikan, dalam
konteks ini, meliputi semua jenis pendidikan: “informal,” “formal,” dan “non-
formal.”
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya
dan/atau menjadi ahli ilmu agama dimana tujuannya untuk terbentuknya peserta
didik yang memahami dan mengamalkan nilainilai ajaran agamanya dan/atau
menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan
dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa,
dan berakhlak mulia. Disamping tertuang secara umum dalam undang-undang
sistem pendidikan nasional, kebijakan pemerintah terhadap pendidikan agama dan
keagamaan secara operasional terdapat dalam bentuk peraturan-peraturan, yaitu PP
No. 55 Tahun 2007, PMA No 16 Tahun 2010, dan PMA No 13 Tahun 2014.

D. Realisasinya di Lapangan
Dinamika pendidikan Islam dengan seluruh bentuknya secara yuridis
mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah. Meskipun disadari bahwa
pendidikan Islam belum berjalan secara total. Selanjutnya kita harus senantiasa
mempertahankan dan meningkatkan eksistensi kuantitas dan kualitas pendidikan
Islam di Indonesia. Kebijakan pendidikan paling kurang dipengaruhi oleh 2 faktor,
yaitu faktor ideologi dan faktor politik. Kebijakan pendidikan di Indonesia pada
dasarnya adalah pergumulan/pergolakan antara dua kutub ideologi besar yang
dibungkus dalam politik, atau sebaliknya. Diawali dari UUSPN Nomor 2 Tahun
1989, UU SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003, PP Nomor 55 Tahun 2007
sampai pada PMA Nomor 16 Tahun 2010 Singkatnya, lahirnya macam-macam
kebijakan di atas merupakan hasil dari perang kepentingan ideologi, yakni agama
Islam dan non Islam.

11. KEBIJAKAN PENDIDIKAN KARAKTER


A. Latar Belakang Permasalahn
Penyelenggaraan pendidikan karakter yang berorientasi pada mutu yang
terjamin cukup kompleks. Sekolah mengalami hambatan baik di level sistem
maupun implementasi kebijakan. Masalah yang umum dalam penyelenggaraan
pendidikan karakter adalah lemahnya sistem penjaminan mutu internal
pendidikan karakter. Persyaratan umum seperti identifikasi proses secara
terperinci dari kebijakan kepala sekolah, perencanaan, program dan
implementasi maupun kendala program belum dijadikan sebagai kebutuhan
untuk menjamin mutu dalam pendidikan karakter. Interaksi dari proses tersebut
tidak didokumentasikan. Hal ini disebabkan lemahnya penetapan kriteria dan
metode yang dibutuhkan untuk menjamin bahwa kebijakan, perencanaan,
implementasi serta hambatan akan efektif dengan pengendalian serta
peninjauanulang untuk perbaikan berkelanjutan.
Keberhasilan pendidikan karakter terletak pada mutu
penyelenggaraannya artinya bahwa sistem penjaminan mutu pada pendidikan
karakter merupakan sebuah kebutuhan utama mengingat persoalan karakter
yang cukup memprihatinkan dan belum terselesaikan hingga saat ini. Hasil
penelitian Klaus dan Kriegsman (Megawangi, 2004, hlm.6) menunjukkan
bahwa Indonesia memiliki kredibilitas yang rendah dalam masalah karakter.
Hasil penelitian tersebut dinilai masih relevan dengan kondisi saat ini. Kualitas
pendidikan karakter memiliki implikasi praktis terhadap kehidupan masyarakat.
Megawangi (2004, hlm. 1) menegaskan bahwa: nilai-nilai moral yang
ditanamkan akan membentuk karakter (akhlak mulia) yang merupakan fondasi
penting bagi terbentuknya sebuah tatanan masyarakat yang beradab dan
sejahtera” Menurut Budimansyah bahwa: “walaupun sudah
diselenggarakamelalui berbagai upaya, pembangunan karakter Bangsa belum
terlaksana secara optimal dan pengaruhnya terhadap pembentukan karakter baik
(good character) warga negara belum cukup signifikan.

B. Dasar-dasar Kebijakan dan Tujuan


Pelaksanaan pembinaan watak atau karakter peserta didik di sekolah
menjadi tanggung jawab semua elemen sekolah, baik tenaga pendidik dan
tenaga kependidikan sampai kepada peran aktif orang tua. Pembinaan watak di
sekolah merupakan suatu proses yang membutuhkan waktu lama guna
mengubah watak siswa yang amoral menjadi bermoral, proses tersebut
bukanlah proses yang bisa dilakukan sekali jadi. Semua pihak sekolah baik
kepala sekolah, guru mata pelajaran, guru bimbingan konseling, OSIS, bahkan
siswa itu sendiri menjadi bagian penting yang terlibat aktif dalam membentuk
karakter anak di sekolah. Pada proses pendidikan, guru dan kepala sekolah
adalah komponen yang melaksanakan kebijakan pendidikan di tingkat yang
paling mendasar dan mereka memerlukan bantuanbantuan khusus dalam
memecahkan masalah mereka. Bantuan khusus sesuai dengan tuntutan
pengembangan pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum
Tujuan pendidikan karakter adalah mendorong lahirnya anak-anak yang
baik. Begitu tumbuh dalam karakter yang baik, anak-anak akan tumbuh dengan
kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan
melakukan segalanya dengan benar, dan cenderung memiliki tujuan hidup.
Meletakkan tujuan pendidikan karakter dalam rangka tantangan di luar kinerja
pendidikan, seperti situasi kemorosotan moral dalam masyarakat yang
melahirkan adanya kultur kematian sebagai penanda abad, memang bukan
merupakan landasan yang kokoh bagi pendidikan karakter itu sendiri. Sebab
dengan demikian, pendidikan karakter memperhambakan demi tujuan korektif,
kuratif situasi masyarakat. Sekolah bukanlah lembaga demi reproduksi nilai-
nilai sosial, atau demi kepentingan korektif bagi masyarakat di luar dirinya,
melainkan juga mesti memiliki dasar internal yang menjadi ciri bagi lembaga
pendidikan itu sendiri.

C. Kajian Literatur/Teori yang Relevan


Kebijakan Pendidikan Karakter Dalam pendidikan karakter Muslich
Masnur (2011:75) Lickona (1992) “menekankan pentingnya tiga komponen
karakter yang baik (components of good character), yaitu moral knowing atau
pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral, dan
moral action atau perbuatan moral”. Hal ini diperlukan agar anak mampu
memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebijakan.
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan
aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Menurut Lickona Thomas, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan
karakter tidak akan efektif. Karena Pendidikan karakter adalah suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-
nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama,
lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Pelaksanaan pembelajaran pendidikan karakter yang dituntut oleh Lickona
Thomas (1992:54) yaitu “mempunyai dasar kurikulum yang mengandung nilai-
nilai karakter dan terintegrasi dalam mata pelajaran yang akan diajarkan kepada
peserta didik nantinya”. Begitu juga dengan cara penilaian yang digunakan
dalam pelaksanaan pendidikan karakter ini, yang mana penilaian yang harus
dilakukan dengan mencantumkan nilai-nilai karakter yang telah tercapai oleh
peserta didik baik dalam proses pembelajaran maupun dilingkungan sekitarnya.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pendidikan
karakter dalam pembelajaran.

D. Realisasinya di Lapangan
Ada dua alternatif dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Pertama,
antara pendidik, orang tua, dan lingkungan itu menyatu dan dapat berbagi peran.
Kedua, jika orang tua merasa kurang mampu dalam mendidik anaknya, maka
orang tua bisa menyerahkan anaknya sepenuhnya kepada pendidikan, sehingga
tempat pendidikan itulah yang akan mengawasi anak sepenuhnya, seperti
halnya di pondok pesantren yang 24 jam mengontrol atau mengawasi
anak.Yang menjadi persoalan di madrasah adalah regulasi kebijakan-kebijakan
dari pusat. Belum lagi pendidikan ini disibukkan dengan pola pelaporan yang
harus menggunakan sistem online. Sehingga guru terkadang tidak bisa benar-
benar berkonsentrasi atau fokus dalam mengajar. Yang menjadi penghambat
atau kesulitan dalam pendidikan karakter ini yang paling mendasar adalah
pribadi peserta didik itu sendiri. Karena yang utama dalam pendidikan karakter
yang paling penting adalah bagaimana guru atau pendidik memberikan
keteladanan. Sebagaimana orang jawa mengatakan bahwasannya guru adalah
seseorang yang digugu dan ditiru. Ketika seorang guru tidak memiliki
keduanya, digugu dan ditiru, maka anak-anak atau peserta didiknya tentu tidak
akan mengikuti yang baik. Jadi, yang paling pokok bagaimana guru sebagai
seorang pendidik harus menjadi contoh, sebagai seorang figur yang baik bagi
peserta didik. Karena seperti yang kita lihat saat ini, anak-anak seperti
kehilangan figur. Ketika di sekolah, anak-anak selalu dingatkan untuk
beribadah (sholat 5 waktu) oleh guru. Namun, ketika mereka pulang ke rumah,
orang tuanya tidak memberikan contoh yang baik kepada anak.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Malik, dkk. 2020. Pedoman Akreditasi Sekolah/Madrasah Tahun 2020.Jakarta Selatan.

Ary H. Gunaawan, 1995, Kebiajak-kebijakan Pendidikan, Jakarta : PT Raja Grafindo.

Berlian, I. 2013. Manajemen Berbasis Sekolah Menuju Sekolah Berprestasi. Jakarta : Erlangga.

Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Edisi Revisi. Cet. VI ,Jakarta: Rajagrafindo

Dedi Supriyadi, Manajemen Mutu Terpadu, ( Bogor: Ghalia Indonesia, 2003), hal.13

Digilib.uinsby.ac.id
e-journal.uajy.ac.id

Hamalik, Oemar . 2007. Implementasi Kurikulum, Bandung : Yayasan Al-Madani

Hamalik, Oemar, Prof.DR, 2004. “Pendidikan Guru”, Jakarta, PT.Bumi Aksara.

Handayani, Meni. 2016. Pencapaian Standar Nasional Pendidikan Berdasarkan Hasil Akreditasi SMA Di
Provinsi DKI Jakarta.

http://etheses.uin-malang.ac.id

https//ejournal.unsri.ac.id

https//journal.unair.ac.id

https//repo.iain-tulungagung.ac.id

https//Repository.radenfatah.ac.id

Journal.uinmataram.ac.id

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol 20 Nomor 4 Tahun 2014

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 1, Nomor 2, Agustus 2016.

Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 17, No.2, Oktober 2012: 16-38

JURNAL TARBIYAH, Vol. 25, No. 2, Juli-Desember 2018 P-ISSN: 0854–2627, E-ISSN: 2597-4270 39

Kamdi, Waras. ( 2010, November 24). Sertifikasi Guru . Kompas . Dalam


http://edukasi.kompas.com/read/2010/11/24/1022321/Sertifikasi.Guru, di akses pada 19 juni 2021

Kementerian Agama RI. 2011. Panduan Pelaksanaan Program Percepatan Akreditasi Madrasah.
Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah.
Maksudin, Pendidikan Karakter Non Dikotomik, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2013)

Misbah, M. Peran Dan Fungsi Komite Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu

Muhaimin, H. Prof, 2002. Reorientasi Pengembangan Guru, Malang, Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri.

Mulyasa, Memnejemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Rosda Karya, 2012), hal. 39

Mulyasa,E. (2009) . Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Nur Ainiyah, Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam, Jurnal AlUlum Volume. 13
Nomor 1, Juni 2013 Hal 25-3 Hasbullah.

Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah (Teori, Model, dan Aplikasi). Jakarta: PT. Grasindo.

Pasaribu, A. 2017. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Dalam Pencapaian Tujuan Pendidikan
Nasional di Madrasah. [Online], Jurnal EduTech Vol. 3 No. 1. Tersedia:
https://media.neliti.com/media/publications/54598-ID-implementasi- [19 Juni 2021]

Pendidikan, Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan, vol. 14, No. 1 hal.3-4

Persada, 2008. Nurkolis. 2006. “Manajemen Berbasis Sekolah, Teori, Model, dan Aplikasi”(Jakarta:
Grasindo).

Rachmad, Hidayat dkk. 2014. Implementasi Kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010
Tentang Disiplin PNS Pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Berau. Dalam e-Journal
Administrasi Reform, vol. 2, no. 2 hal. 1238-1250

Raharjo, Sabar Budi. 2014. Kontribusi Delapan SNP terhadap Pencapaian Prestasi Belajar.

Berlian, I. 2013. Manajemen Berbasis Sekolah Menuju Sekolah Berprestasi. Jakarta : Erlangga.

Hamalik, Oemar . 2007. Implementasi Kurikulum, Bandung : Yayasan Al-Madani

Hamalik, Oemar, Prof.DR, 2004. “Pendidikan Guru”, Jakarta, PT.Bumi Aksara.

Handayani, Meni. 2016. Pencapaian Standar Nasional Pendidikan Berdasarkan Hasil Akreditasi SMA Di
Provinsi DKI Jakarta.

Repository.radenintan.ac.id
Repository.usd.ac.id

Anda mungkin juga menyukai