Anda di halaman 1dari 45

MODUL: 05

INOVASI DALAM PEMERINTAHAN

KEMENTERIAN DALAM NEGERI


BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
REGIONAL MAKASSAR
2014
I. DESKRIPSI SINGKAT:
Modul inovasi dalam pemerintahan ini berisikan dasar kebijakan,
daya saing daerah, perubahan dan Inovasi dalam Governance,
Proses Perubahan dalam Inovasi Pemerintahan Daerah, dan
penghargaan pemerintah daerah yang inovastif (Innovation
Government Award).

II. TUJUAN PEMBELAJARAN:

A. KOMPETENSI DASAR

Setelah mempelajari materi ini, peserta pelatihan akan


memahami lingkup inovasi dalam tugas pemerintahan daerah
untuk membawa perubahan umum dalam proses kepemimpinan
kepala daerah (Gubernur ataupun Bupati/Walikota).

B. INDIKATOR KEBERHASILAN

Setelah selesai mempelajari Modul ini peserta diharapkan dapat :

1. Menyebutkan kebijakan dasar dalam penyusunan inovasi


pemerintah daerah.
2. Menyebutkan konsep daya saing daerah menuju inovasi
Pemerintah Daerah.
3. Menjelaskan manfaat perubahan dan inovasi dalam
Pemerintahan Daerah.
4. Menjelaskan proses perubahan dalam inovasi Pemerintah
Daerah.
5. Menyebutkan indikator pemberian penghargaan Pemerintah
Daerah yang inovatif (Innovative Gornment Award).

III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN

1. Kebijakan dasar dalam penyusunan inovasi pemerintah


daerah.
2.Konsep daya saing daerah menuju inovasi Pemerintah Daerah.
3.Perubahan dan inovasi dalam Pemerintahan Daerah.
IV. BAHAN AJAR

1. Modul Inovasi Dalam Pemerintahan.


2. Bahan Ajar
3. Multimedia (OHP/LCD-computer )
4. White Board (+ Spidol)
5. Kertas Koran (+ Spidol)
6. Ruang Diskusi

V. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


1. Menjelaskan inovasi dalam pemerintahan dan gambaran umum
kebijakan inovasi pemerintahan sesuai dengan kepemimpinan
kepala daerah (Gubernur ataupun Bupati/Walikota).
2. Menguraikan materi dengan metode ceramah, tanya jawab dan
dan diskusi tentang materi pokok dan sub pokok bahasan.
3. Menggunakan media dan alat bantu yang tepat disesuaikan
dengan metode yang digunakan.
4. Menyampaikan tugas-tugas atau latihan /exercise yang harus
diselesaikan oleh peserta.
5. Menguraikan rencana evaluasi baik kuantitatif maupun
kualitatif yang akan digunakan untuk mengukur kemampuan
awal peserta maupun pencapaian kompetensi sesuai tujuan
pembelajaran.
6. Menyediakan format evaluasi yang digunakan.
7. Alokasi waktu yang digunakan 12 x 45’ hingga kompetensi
yang diharapkan tercapai.
VI. URAIAN MATERI

A. KEBIJAKAN MENUJU INOVASI PEMERINTAH DAERAH

Pada dasarnya konsekuensi dari penerapan Undang-Undang 32


Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah adanya penyerahan
kewenangan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (Provinsi dan
Kabupaten/Kota) untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Adanya desentralisasi kebijakan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah tersebut telah memberikan kewenangan yang luas kepada
Pemerintah Daerah untuk menyusun dan menetapkan kebijakan pemerintah
daerah dalam rangka mendorong dan memaksimalkan pelayanan,
meningkatkan peranserta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Penyerahan kewenangan kepada Pemerintah Daerah juga


memberikan kesempatan bagi daerah untuk membangun dan
mengembangkan struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan dan
kondisi daerahnya, pembangunan yang tanggap (responsif) terhadap
kepentingan masyarakat luas, memiliki sistem pola karir politik dan
administrasi pemerintahan yang kompetitif, mengembangkan sistem
manajemen pemerintahan yang efektif, meningkatkan efisiensi pelayanan
publik di daerah, serta meningkatkan transparansi pengambilan kebijakan
dan akuntabilitas publik.

Pelaksanaan kewenangan oleh Pemerintah Daerah secara konsekuen


tentunya akan tercermin pada hasil capaian seluruh indikator pembangunan
pelaksanaan urusan pemerintahan yang sesuai dengan tujuan pelaksanaan
otonomi daerah sesuai amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
yaitu:
1. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan
kebutuhan/kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat itu
sndiri;
2. Menjamin keserasian hubungan yang harmonis antara daerah dengan
daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah
untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan
antar daerah;
3. Mampu menjamin hubungan serasi antara daerah dengan pemerintah,
artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara
dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka
mewujudkan tujuan Negara.
Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (Permen PAN RB) Nomor 16 tahun 2014
tentang Pedoman Survei Kepuasan Masyarakat terhadap Penyelenggaraan
Pelayanan Publik, pada bagian sasaran Permen PAN RB tersebut telah
mengamanatkan bahwa sasaran yang ke 3 (tiga): mendorong
penyelenggaran pelayanan menjadi lebih inovatif dalam menyelenggarakan
pelayanan publik. Penyelenggara pelayanan dimaksud adalah aparatur
pemerintah daerah yang bernaung dibawah pemerintah daerah (Provinsi dan
Kabupaten/Kota) itu sendiri.

B. Daya Saing Daerah

Penerapan asas desentralisasi dan otonomi daerah dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah, akan berdampak pertumbuhan


perekonomian daerah yang bervariasi dan inovatif. Salah satu faktor yang
menyebabkan variasi pertumbuhan dan inovatif tersebut adalah daya saing
daerah dan daya saing nasional. Pemerintah Pusat sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintahan di tingkat Nasional, perlu memberikan
perlakuan yang tepat dan berkesinambungan untuk mendukung pertumbuhan
daerah yang seimbang dan merata dalam Wilayah Kesatuan Negara Republik
Indonesia (NKRI).

Berdasarkan temuan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Pusat


Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia dan FE Universitas
Pajajaran diketahui bahwa daya saing daerah ditemuka dengan 9 (sembilan)
indikator utama. Ke-9 (sembilan) indikator utama Penentu Daya Saing Daerah
untuk menumbuhkan inovasi tersebut meluputi: (1) perekonomian daerah, (2)
keterbukaan, (3) sistem keuangan, (4) infrastruktur dan sumber daya alam,
(5) ilmu pengetahuan dan teknologi, (6) kelembagaan, (7) governance dan
kebijakan pemerintah, (8) sumber daya manusia dan (9) manajemen dan
ekonomi mikro.

Memang berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa


DKI Jakarta menempati peringkat I di tingkat Nasional pada umumnya
menggambarkan kinerja perekonomian secara makro daerah maupun di
tingkat mikro perusahaan yang terbaik di seluruh Indonesia. Namun demikian
masih dijumpai beberapa kelemahan dalam aspek kelembagaan,
kepemerintahan dan kebijakan pemerintah di tingkat daerah. Untuk itu, daya
saing dinyatakan sebagai ukuran relatif kompetensi inti yang dimiliki berupa
kombinasi faktor-faktor yang berbasis pada sumber daya dengan faktor-faktor
yang berbasis rantai nilai yang secara agregat menunjukkan kemampuan
yang dimiliki (nasional/daerah termasuk lembaga) untuk berkreasi dan
berinovasi.

Rumusan daya saing daerah yang inovatif dan yang lebih


komprehensif dapat dikatakan sebagai ukuran relatif kompetensi inti daerah,
yang berupa kombinasi faktor-faktor yang berbasis sumber daya dengan
faktor-faktor yang berbasis rantai nilai, yang secara agregat menunjukkan
kemampuan daerah. Berdasarkan rumusan tersebut maka perlu
dikembangkan indikator dan instrumen pengukuran yang lebih inovatif dan
mendetail untuk dapat memetakan kemampuan daya saing daerah
kelurahan/desa secara berjenjang kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi.
Sementara itu dalam skala kecil, indikator spesifik daya saing daerah
merupakan indikator yang memiliki daya ungkit, yaitu sebagai penggagas
dan penggerak aktivitas indikator makro. Indikator spesifik yang inovatif ini
meliputi: “(1) Supra Struktur yaitu: Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; (2) Pengelolaan terdiri Kelembagaan
Daerah, Manajemen Sumber Daya Aparatur, dan Peraturan Daerah; serta (3)
Pemberdayaan Masyarakat.

Berdasarkan indikator makro dan indikator spesifik diketahui bahwa


indikator kelembagaan dan masyarakat masuk pada indikator makro dan
indikator spesifik. Hal ini sebagai indikasi betapa keduanya menentukan
secara signifikan atas keberhasilan pengembangan daya saing. Oleh karena
itu diperlukan upaya yang sungguh-sungguh agar terjadi sinergi yang baik
antara kelembagaan daerah dengan masyarakat, baik itu lembaga sosial,
perorangan atau dunia usaha/industri.

Beberapa pertanyaan penting dalam kaitannya dengan inovasi dan


daya saing daerah adalah sebagai berikut:

a. Mengapa beberapa daerah dapat berkembang dengan cepat, dan


memiliki kinerja perekonomian lebih baik dari daerah lainnya?.

b. Faktor apa yang menyebabkan perbedaan tersebut?

c. Kebijakan apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan


kinerja ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya?.

d. Bagaimana memotivasi daerah untuk meningkatkan daya saing yang lebih


baik demi bangsa dan negera Indonesia.

Berbagai teori perdagangan yang sebelumnya mengandalkan


keunggulan komparatif pada perkembangannya kemudian mulai bergeser
sejalan dengan perkembangan globalisas ekonomi, sehingga muncullah
perdagangan yang disebut sebagai Competitive Advantage of Nation (Porter,
1993). Keunggulan kompetitif dinyatakan suatu cara yang dilakukan oleh
lembaga/perusahaan termasuk pemerintah daerah untuk memperkuat
posisinya dalam menghadapi pesaing dan mampu menunjukkan “perbedaan-
perbedaan” dengan daerah lainnya.
Tujuan atas aspek perubahan fundamental tersebut sekaligus
membedakan rumusan dari kelimpahan faktor-faktor endowment yang
terletak pada faktor-faktor produksi yang dimiliki ada yang sifatnya dasar
(basic factor) seperti daya fisik yang belum terolah atau tenaga kerja non-
terampil, dan faktor-faktor produksi lanjutan (advance factors) yang aneka
faktor produksi canggih misalnya peralatan (sarana dan prasarana), tenaga
kerja yang mempunyai kecakapan pengetahuan serta keterampilan tinggi,
sumber-sumber daya pengetahuan serta institut riset yang diperoleh dari
lembaga ilmiah, swasta serta sumber daya institusional seperti asosiasi bisnis
yang tangguh.

Daya saing dengan inovasi pemerintah daerah dalam hal ini adalah
salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menerapkan
cara membedakan dirinya dengan daerah lainnya (para pesaingnya). Di
samping itu, Porter (1980) melihat bahwa salah satu faktor yang paling
penting untuk menghadapi persaingan global yang inovatif adalah
kemampuan kompetitif yang dimiliki daerah-daerah dalam suatu negara.
Apabila terdapat berbagai daerah (Kabupaten/Kota dan Provinsi) di Indonesia
mempunyai keunggulan dalam hal faktor biaya atau mutu faktor yang
digunakan untuk menghasilkan suatu produk, maka daerah tersebut akan
menjadi tempat produksi dan ekspor akan mengalir ke daerah lain bahkan
negara lain. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa untuk mencapai keunggulan
kompetitif diperlukan 3 (tiga) strategi: (1) strategi keunggulan biaya; (2)
strategi diferensiasi, dan (3) strategi fokus.

Dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini, keunggulan kompetitif


yang inovatif menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan sama sekali. Oleh
karena dalam era seperti ini tidak cukup hanya mengandalkan keunggulan
komparatif yang dimiliki suatu daerah (negara), sebab dalam konteks daya
saing komoditas yang akan diperdagangkan memiliki keunggulan komparatif
dari segi kelimpahan faktor, tetapi belum tentu kompetitif. Oleh karena itu
Thurow (1996) mengungkapkan bahwa suatu saat konsep keunggulan
komparatif itu akan bergeser memperhitungkan teknologi sebagai unsur
dinamis, oleh karena penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
mampu menghasilkan peralatan canggih untuk menggeser sebagian besar
tenaga kerja manusia, sehingga ratio modal/tenaga kerja bukan lagi menjadi
variabel-variabel penting, walaupun tenaga kerja tetap dibutuhkan namun
peranannya menjadi sangat kurang dalam proses produksi.

Selanjutnya, inovasi pemrintah daerah mengharapkan efisiensi


berhubungan dengan pencapaian output maksimum dari penggunaan sumber
daya tertentu. Apabila output yang dihasilkan lebih besar dibandingkan
dengan input yang digunakan berarti tingkat efisiensi lebih tinggi. Dalam hal
ini Debertin (1986) mengemukakan efisiensi dapat dilihat dari dua aspek
yaitu: (1) aspek teknis dan (2) aspek ekonomi. Dalam isu pembangunan
perekonomian lebih menekankan pada efisiensi ekonomi dengan
menggunakan pendekatan Domestic Resource Cost (DRC). Menurut Gray
(1992), dimana efisien tidak hanya suatu produksi barang atau jasa dalam
perdagangan (nasional, regional, dan internasional) dapat ditentukan dengan
menggunakan biaya unit sumber daya domestik atau Domestic Resource
Cost (DRC/BSD). Lebih lanjut dapat ditunjukkan melalui inovasi pemerintah
daerah bahwa efisien tidak hanya produksi jenis barang dan jasa dapat
dipergunakan (tradable) tergantung pada daya bersaingnya di pasar dunia,
artinya sejauhmana penggunaan biaya terhadap pemakaian sumber-sumber
domestik terutama tenaga kerja dan modal cukup rendah, sehingga harga jual
produknya tidak akan melebihi harga jual yang relevan, serta dinyatakan
dalam dollar dengan harga bayangan (shadow price) dari keuntungan atau
devisa.

Dengan demikian untuk inovasi pemerintah daerah akan mampu


membangun daya saing daerah demi kesejahteraan bangsa, maka berbagai
pilihan kebijakan dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagi berkut:

1. Menetapkan daya saing daerah sebagai tujuan bersama dalam suatu


pemerintah daerah yang selanjutnya dikampanyekan sebagai tujuan
daerah yang diperjuangkan oleh seluruh pemerintahan, pengusaha, dan
bahkan lapisan seluruh masyarakat di daerah tersebut.
2. Membangun kekuatan moral (moral force development) masyarakat di
daerah yang hendaknya memiliki moral yang kuat bahwa apapun yang
dikerjakan adalah demi kemajuan daerah, bangsa dan negara. Artinya
bahwa pekerjaan dan produknya harus memenuhi standar mutu dan
kualitas yang mampu bersaing baik secara nasional maupun internasional.
Perubahan mind set warga masyarakat dari self dan local market
orientation kepada internasional market orientation.

3. Melakukan reformasi birokrasi di daerah dengan berbagai kebijakan yang


berkaitan dengan aspek pelayanan, investasi daerah, pengembangan ilmu
pengetahuan dan tehnologi yang dapat dilakukan untuk mendorong
pembangunan dan daya saing, serta meningkatkan kesejahteraan
masyarakan.

4. Standardisasi standardisasi dalam mewujudkan daya saing daerah yang


dapat dilakukan dengan penguasaan berbagai tekhnologi, capacity,
pembiayaan, dan permintaan atas sejumlah barang,

5. Melakukan penelitian dimana pemerintah daerah sebagai aktor


pembangunan yang selalu mengembangkan berbagai kreativitas dan
inovasi melalui penelitian besar dan pengembangan tehnologi, inovasi
produk dan jasa yang berstandard tinggi (nasional, regional, bahkan
internasional).
C. Perubahan dan Inovasi Dalam Governance

Crises have always been part of human experience and they have no doubt served as catalyst for many of the
innovations which have guided the cource of our history (Carl-Goran Heden)

Krisis, liberalisasi ekonomi, dan desentralisasi adalah momentum


yang sangat berdampak terhadap kondisi sosial dan kemiskinan di Indonesia
mengharapkan inovasi pemerintah daerah yang dapat membawa perubahan
dalam jangka panjang. Hasil dari Human Development Index (HDI) yang
dikeluarkan UNDP pada tahun 2000, menempatkan Indonesia pada urutan
109, turun dan urutan 105 pada tahun 1999 dan urutan 96 pada saat sebelum
krisis (tahun 1995). Faktor yang diperhitungkan dalam penentuan indeks ini
adalah angka harapan hidup, pendidikan, dan pendapatan masyarakat
Indonesia.

Dampak sosial dan ekonomi yang timbul akibat krisis telah


menyadarkan bahwa segala persoalan harus dilihat dalam perspektif
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang mendunia dengan penanganan
yang inovatif. Ketergantungan antar-negara semakin tinggi, hingga hampir tak
ada celah untuk mengisolasi masalah dalam negeri dan situasi dunia luar.
Liberalisasi perdagangan maupun investasi, secara bertahap tapi pasti mulai
dirasakan efeknya oleh para petani, nelayan, serta industri kecil dan
menengah dalam negeri. Bagaimana daya tahan dan daya saing daerah
kelompok ini menghadapi liberalisasi ekonomi akan sangat bergantung pada
kebijakan nasional maupun daerah yang tentunya mengharapkan inovasi.
Krisis ekonomi bergandengan dengan ancaman globalisasi menjadi pusaran
utama yang menuntut adanya upaya-upaya inovatif penyelenggaraan
pemerintahan daerah untuk pemecahan masalah.

Di sisi lain, transisi politik menuju desentralisasi sendiri memberikan


unwanted side effects yang cukup mengkhawatirkan. Kerusakan hutan dan
lingkungan, merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sampai ke
level bawah, konflik horizontal antara kelompok masyarakat, merebaknya
berbagai penyakit sosial seperti perjudian dan premanisme, menurunnya
kualitas pelayanan publik, adalah beberapa isu yang meresahkan warga di
era desentralisasi merupakan ancaman dan tantangan penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang penanganannya bukan dengan langkah biasa saja
namun menjadi inovasi yang real dan sesegera mungkin.

Di sisi lain, komunitas tampak semakin tidak terkelola dan rentan


dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sedikit sekali tanda-tanda
terbangunnya modal sosial dan kepercayaan sosial. Situasi ini menuntut
adanya upaya-upaya baru penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
aktual untuk pemecahan masalah. Mendorong partisipasi publik dalam
pengambilan keputusan adalah bentuk inovasi yang sangat esensial agar
bangsa Indonesia dapat bertahan menghadapi krisis sekaligus membangun
kapasitas untuk menghadapi globalisasi dan mencegah dampak negatif
desentralisasi. Melalui pendekatan partisipatif dan inovatif, akan dihasilkan
alternatif solusi yang akan mendorong capaian lebih dan biasanya. Tanpa itu,
sulit dicapai proses percepatan untuk pemecahan masalah penyelenggaraan
pemerintahan daerah.

Masa transisi sendiri menawarkan peluang munculnya inovasi dan


kreativitas dan pemerintah lokal maupun civil society untuk menajamkan
fungsi masing-masing dalam penyelenggaraan governance. Antusiasme
berbagai pihak penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk mempraktikkan
demokrasi dan melakukan reformasi di berbagai bidang, telah mempengaruhi
dinamika yang menjadi motor perubahan. Penyelenggaraan good
governance menuntut adanya perubahan-perubahan yang ekstensif, terutama
dalam peran pemerintah. Mengadopsi istilah Osborne & Gaebler (1992:25-48)
yaitu “steering”, ketimbang “rowing”, dan “enabling” ketimbang “providing”,
pemerintah tidak perlu melakukan segalanya sendiri tetapi lebih memfasilitasi
dan mengkoordinir, bukan mengarahkan dan mengontrol.

Pergeseran fokus dan “old government” ke “new governance” di era


transisi menuju demokratisasi pada praktiknya akan menghadapi
permasalahan yang sangat kompleks dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Inti dan reformasi adalah bagaimana mengelola suatu proses
perubahan. Satu tahap penting dalam proses perubahan adalah recognition
stage, yaitu tahap mengenali dan menyadari bahwa perubahan memang
betul-betul diperlukan. Mengetahui bahwa perubahan diperlukan tidak berarti
bahwa agen perubahan akan dengan serta merta mampu menginisiasi dan
sukses mengimplementasikan perubahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Setiap agenda untuk melakukan perubahan, dalam
implementasmya selalu menimbulkan reaksi balik. Kemampuan untuk
mendiagnosis dan memilth strategi untuk mendorong perubahan, adalah
langkah berikut yang diperlukan untuk melakukan perubahan secara efektif
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Teori perubahan yang dikemukakan Kurt Lewin (1951) menyebutkan


adanya dua kekuatan perubahan, yaitu kekuatan untuk mendorong
perubahan (driving force) dan kekuatan untuk menentang perubahan
(restraining forces). Beberapa contoh kekuatan penentang terhadap
perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah ketakutan
akan kegagalan, ketakutan akan kehilangan status, kebiasaan yang sudah
menetap, atau kurangnya sumber daya.

Apabila kekuatan pendorong perubahan seimbang atau lebih besar


dan kekuatan penentang perubahan, maka perubahan akan terjadi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tetapi kalau kekuatan penentang
Iebih kuat, maka perubahan tidak akan berlangsung. Lewth juga merumuskan
adanya tiga langkah dalam “unfreezing” yaitu proses pencairan kebekuan dan
kondisi status quo, “change” yaitu proses perubahan itu sendiri, dan
“refreezing” yaitu proses konsolidasi kondisi baru yang sudah berubah. Untuk
membuat perubahan yang sejati berlangsung perlu dipastikan bahwa ketiga
proses terjalani dan untuk itu kekuatan pendorong ke arah perubahan harus
terus-menerus diperkuat dan sebaliknya, kekuatan penentang harus
diperlemah.

Kunci sukses perubahan dalam proses governance ditentukan oleh


beberapa faktor. Salah satu yang terpenting adalah mereka yang
menciptakan dan memelihara perubahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Kalau mereka terlibat, komit dan siap untuk melakukan
adaptasi, kondisi yang diharapkan akan lebih mudah dicapai. Kalau tidak,
setiap individu bisa menghambat perubahan. Cukup banyak literatur yang
secara teliti mencoba menelaah resistensi terhadap perubahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Wilson dan Rosenfeld (1990),
misalnya, mengemukakan empat alasan, yaitu: (1) kepentingan pribadi; (2)
rendahnya tingkat kepercayaan dibarengi dengan salah pengertian; (3)
perbedaan pandangan atau penilaian terhadap keuntungan dan perubahan;
dan (4) rendahnya toleransi terhadap perubahan.

Selanjiutnya, apa yang dikemukakan oleh Wilson dan Rosenfeld di


atas menunjukan bahwa komunikasi antara pemrakarsa perubahan dan pihak
lain memegang peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Rendahnya tingkat kepercayaan dan salah interpretasi
akan dengan mudah muncul apabila komunikasi lemah. Oleh karena itu untuk
megelola perubahan diperlukan upaya yang keras untuk menjamin adanya
komunikasi yang efektif antar agen perubahan dengan berbagai pihak lainnya
dalam rangka mencairkan situasi status quo maupun konsolidasi perubahan
penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Berbagai studi tentang reformasi di sektor publik dalam kerangka


inovasi menyimpulkan pentingnya keberadaan agen perubahan. Agen
perubahan bisa berasal dan dalam atau dan luar penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Agen dan dalam bisa menjadi sangat efektif karena
biasanya mereka lebih menguasasi aspek-aspek detail yang perlu dirubah. Di
pihak lain, agen perubahan dan luar bisa sangat efektif karena mereka lebih
bebas mengemukakan masalah maupun situasi yang sering kali agen dan
dalam “sungkan” untuk mengemukakannya. Idealnya tentu agen perubahan
dan dalam dan agen perubahan dan luar saling melengkapi dan saling
memperkuat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Seorang pemimpin memiliki peran yang besar dalam suatu proses


perubahan karena pemimpin tersebut memiliki kekuatan untuk mengubah
banyak hal dalam lingkup kekuasaannya. Tetapi perubahan yang sejati tidak
akan terjadi tanpa dukungan luas dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah dan mereka yang terpengaruh oleh proses perubahan yang terjadi. Itu
sebabnya terlalu banyak menggantungkan proses perubahan semata-mata
pada pimpinan melalui cara-cara dan metode otoriter, seringkali tidak efektif
penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Mengelola perubahan adalah suatu proses untuk menghasilkan


perubahan dengan tingkat resistensi yang minimal dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Untuk itu, keterlibatan berbagai pihak yang
terpengaruh harus dilakukan sejak awal. Keterlibatan bukan sekadar mereka
diberitahu tentang adanya rencana untuk berubah tetapi juga memberikan
kesempatan kepada mereka untuk mendefinisikan dan menentukan agenda
perubahan dan secara penuh memberikan komitmennya untuk
mengimplementasikan proses perubahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Tugas seorang agen perubahan tidak hanya membuat
orang lain berubah, tetapi untuk memotivasi orang agar membuat perubahan
terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Kisah-kisah sukses yang dikemukakan oleh Judith Tendler dalam


bukunya Good Government in the Tropics (Tendler, 1997:135-142)
menekankan dedikasi sebagai faktor yang mempengaruhi adanya kinerja
yang baik dan “best practices”. Tendler menyatakan bahwa para pegawai
pemerintah dalam program-program yang sukses memperlihatkan dedikasi
yang tinggi terhadap pekerjaannya dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Ada dua kemungkinan, bisa jadi dedikasi muncul sejak awal, yang
kemudian terdukung lingkungan kerja yang menghargai dedikasi, hingga
dedikasi yang sudah ada menjadi semakin tinggi. Namun dedikasi juga bisa
muncul karena memang situasi kerja yang diciptakan menuntut adanya
komitmen dan mereka yang bekerja di dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah.

Tendiler juga menambahkan bahwa pada program yang sukses,


pemerintah mencoba mempertahankan dedikasi yang tinggi dan para
pegawainya dengan berulang kali menunjukkan penghargaan terhadap apa
yang mereka lakukan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Caranya dengan mempublikasikan capaian program, bahkan untuk sukses-
sukses kecil sekalipun, misalnya memberi hadiah bagi kinerja yang baik,
mengundang jurnalis, politisi dan tamu lain untuk mengunjungi komunitas
yang programnya menunjukkan hasil baik. Dengan menunjukkan
keberhasilan program penyelenggaraan pemerintahan daerah, mereka
secara tidak langsung telah memberikan ‘beban moral’ kepada para pegawai
untuk bersikap bertanggung jawab. Selain itu ia juga menekankan pentingnya
proses monitoring dan kontrol karena informasi dan pesan yang diberikan
kepada publik tentang program, akan menarik minat masyarakat untuk
berlaku sebagai pengontrol dan luar. Pada sisi lain, pesan ini sekaligus
membuat para petugas penyelenggaraan pemerintahan daerah merasa diakui
dan dihargai oleh warga.

Terakhir, kasus-kasus yang dikemukakan Tendler menunjukkan bahwa


pemerintah juga membutuhkan dukungan moral dan publik untuk
melindunginya dan gangguan politisi atau orang-orang lam di pemerintahan
yang memiliki kekuasaan (tapi tidak mau berubah) dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah`. Sangatlah penting untuk melindungi pegawai
pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memiliki
kemampuan dan dedikasi dan gangguan sesama, atasan, dan anggota
legislasi yang bersikap mencari rente.

Persoalan terbesar yang ditemui dalam penyelenggaraan program


inovatif dan partisipatori penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah
adanya resistensi dan organisasi untuk menjalankan perubahan-perubahan
yang diperlukan. Resistensi selalu muncul dan penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang merasa akan dirugikan. Berbagai pengalaman
juga menunjukkan bagaimana pendekatan baru yang diperkenalkan ternyata
dilaksanakan secara mekanistis, tanpa antusiasme padahal ditujukan untuk
melakukan perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
Salah satu perubahan mendasar yang diharapkan terjadi secara sejati
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah agar pendekatan
pembangunan menjadi lebih partisipatori. Dalam salah satu workshop yang
diselenggarakan Institute of Development Studies (IDS) pada waktu tertentu,
disimpulkan bahwa agar suatu organisasi penyelenggaraan pemerintahan
daerah berubah lebih partisipatori dibutuhkan berbagai syarat. Terumuskan
tiga kelompok kemampuan yang diperlukan organisasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah untuk memfasilitasi dan menginstitusionalisasikan
pendekatan partisipatori secara efektif.

Pertama, hal-hal yang terkait dengan keterampilan dan ciri-ciri


personal penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu kemampuan untuk
mendengar dan terlibat dalam dialog dan pembelajaran bersama; adanya
sikap reflektif, yaitu keterbukaan dan keinginan untuk berubah; serta adanya
kapasitas untuk melihat ke depan.

Kedua, hal-hal yang terkait dengan prosedur penyelenggaraan


pemerintahan daerah, meliputi apresiasi yang lebih besar terhadap proses
dan peningkatan kapasitas sebagai indikator yang relevan untuk mengukur
keberhasilan; adanya mekanisme insentif baru untuk menghargai perilaku
partisipatori dalam organisasi maupun di lapangan; serta adanya mekanisme
umpan-balik dan kemauan untuk dievaluasi oleh stakeholders.

Ketiga, hal-hal yang terkait dengan sistem dan struktur


penyelenggaraan pemerintahan daerah, antara lain adanya ruang bagi unit
pembelajaran yang fleksibel, adhoc, dan inovatif; keuangan yang fleksibel,
akuntabilitas dan transparansi ke bawah berdasarkan kepercayaan; serta
struktur organisasi dan manajemen yang mendatar (flat) (Blackburn &
Holland, 1998: 146-152).

Asumsi yang menyatakan bahwa adanya interaksi antara pemerintah


dan civil society adalah cara yang paling baik unthk meningkatkan kualitas
pemerintah, tampaknya tidak sulit untuk dibuktikan penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Berbagai kasus perbaikan kualitas pemerintahan yang
berhasil umumnya memperlihatkan situasi adanya civil society cukup kuat
dan aktif. Kuat tidak hanya dalam arti cukup terorganisir dan independen,
tetapi lebih jauh lagi, dapat menjalankan peran sebagai sumber gagasan,
memperkuat kapasitas pemerintah untuk menjalankan pendekatan baru yang
lebih partisipatori, serta melakukan monitoring secara efektif dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Patut dikemukakan pula bahwa
perguruan tinggi, asosiasi profesi, dan media massa sebagai komponen civil
society, memiliki peran masing-masing yang khas untuk meningkatkan
tuntutan warga terhadap penyelenggaraan governance yang inovatif dan
partisipatori.

Berdasarkan uraian di atas, inovasi dalam pemerintahan adalah upaya


untuk memperkenalkan sesuatu yang baru berupa ide baru, metode baru,
maupun pendekatan baru, serta upaya untuk mencari solusi kreatif dalam
rangka meningkatkan partisipasi dan memperbaiki kinerja governance.
Inovasi tersebut dapat dinyatakan proses saat warga, sebagai individu
maupun kelompok sosial dan organisasi, mengambil peran dalam proses
perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan-kebijakan yang
langsung mempengaruhi kehidupan masyarakat itu sendiri.

Governance sendiri merupakan sebuah mekanisme, praktik dan tata


cara pemerintah dan warga masyarakat mengatur sumber daya dan
memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan. Kualitas governance dinilai
dan kualitas interaksi yang terjadi antara komponen governance yaitu
pemerintah, civil society dan sektor swasta. Governance yang baik memiliki
unsur-unsur akuntabilitas, partisipasi, predictability dan transparansi dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Dalam proses pelaksanaan tugas pemerintahan, ruang tempat


kelompok-kelompok sosial dapat eksis dan bergerak sesuai dengan tujuan
pelaksanaan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat.
Secara umum yang dimaksud dengan kelompok sosial meliputi Organisasi
NonPemerintah/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), institusi masyarakat
di akar rumput, media, institusi pendidikan, asosiasi profesi, organisasi
keagamaan, dan lain-lain yang secara keseluruhan dapat menjadi kekuatan
penyeimbang dan pemerintah maupun sektor swasta. Bentuk dan
keseimbangan inilah yang merupakan wujud dan implementasi inovasi
pemerintahan itu sendiri.

Berbagai hal dipelajari untuk melihat bentuk pemerintahan juga


merupakan inovasi pemerintahan. Bentuk pemerintahan yang diterapkan oleh
banyak negara di dunia dengan ciri keputusan publik dibuat oleh masyarakat
secara langsung ataupun melalui perwakilannya. Bentuk ini merupakan
bentuk demokrasi yang menjadi efektif, diperlukan warga yang terinformasi
dan aktif berpartisipasi dalam governance. Selanjutnya, dalam perjalanannya
individu, kelompok atau organisasi perempuan dan laki-laki yang memiliki
kepentingan, terlibat atau dipengaruhi (secara positif maupun negatif) oleh
suatu kegiatan atau program pembangunan menjadi pelaku atau pelaksana
inovasi pemerintahan daerah itu sendiri.

Bagian yang tidak dapat dibaikan dalam inovasi pemerintahan adalah


satu faktor yang ikut menentukan “produksi” atau “penciptaan”, selain modal
fisik yang selama ini dikenal (finansial, physical & human capital). Modal
sosial dalam inovasi pemerintahan terbangun melalui interaksi antar-manusia
yang membentuk jaringan, norma-norma, kepercayaan sosial, dan
memfasilitasi koordinasi dan kerja sama bagi kepentingan bersama. Kualitas
yang baik dan modal sosial akan memiliki dampak positif terhadap
kesejahteraan dan pembangunan di tingkat local sebagai wujud inovasi
pemerintahan itu sendiri.

Hasil yang dapat dirasakan atau bahkan dinikmati oleh masyarakat


adalah hubungan yang terjadi antara civil society, pemerintah dan atau sektor
swasta dalam rangka mencapai suatu tujuan pemerintahan daerah yang
didasarkan pada prinsip kepercayaan, kesetaraan dan kemandirian
kehidupan bermasyarakat. Keberhasilan dan kemajuan dalam pelaksanaan
tugas pemerintahan merupakan tujuan yang dapat menjadikan kehidupan
masyarakat yang manidiri dan berdaya saing. Hal ini dapat ditempuh dengan
model deliberative, yaitu salah satu model pengambilan keputusan kolektif
yang didahului dengan proses diskusi. Diskusi dalam proses deliberatif
bukanlah diskusi biasa, melainkan diskusi inovatif yang secara serius
menimbang alasan-alasan yang mendukung atau menentang suatu proposisi
atau tindakan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Mereka yang
mendukung proses deliberatif berargumentasi bahwa diskusi akan
meningkatkan kualitas keputusan yang diambil.

Good governance saat ini menjadi sangat “trendi”, alias sebagai


inovasi dalam penyelenggaraan pemrerintahan, begitu juga istilah yang
menjadi bagian atau turunannya seperti istilah civil society, partisipasi,
transparansi dan akuntabilitas. Istilah-istilah tersebut sering digunakan
sebagaimana institusi/organisasi maupun nama suatu program/proyek.
Walaupun wacana governance dalam pembangunan daerah, sebagaimana
wacana demokrasi, relatif baru bagi bangsa Indonesia, istilah tersebut cepat
sekali populer. Namun demikian, karena konsep good governance adalah
konsep mutahir yang diimpor dan luar, maka sampai saat ini, belum
menemukan padanan kata yang tepat dalam bahasa sendiri.

Sebagian besar ada yang menrerjemahkan good governance sebagai


“kepemerintahan yang prima” atau “tata pemerintahan yang baik”. Dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah sekarang ini, banyak orang merasa
lebih nyaman menggunakannya dalam bahasa aslinya daripada memaksa
mencari padanannya, padahal maknanya bisa menjadi sangat berbeda.
Persoalan serupa ini terjadi ketika civil society diterjemahkan menjadi
masyarakat sipil. Masyarakat awam memaknai masyarakat sipil sedemikian
rupa sehingga terjadi pergeseran makna yang cukup signifikan.

Harapan dan tekanan yang besar, baik dan luar maupun dan dalam,
untuk segera melakukan langkah-langkah aksi membangun civil society,
mendorong partisipasi, dan mewujudkan good governance di Indonesia,
menyebabkan pihak-pihak yang menjadi bagian dan gerakan partisipasi dan
good governance tidak sempat mendalami dan memahami konsep-konsep ini
secara serius terlebih dahulu. Semua merasa “harus segera mulai melakukan
proses perubahan. Terima saja konsep yang ada, lalu dipraktikkan”. Tidak
banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun kalangan akademisi di
Indonesia saat ini yang kritis terhadap konsep civil society, partisipasi, dan
good governance. Memang ada beberapa pihak yang “curiga” serta
mewaspadai adanya agenda global di balik gagasan ini. Namun, upaya
membangun civil society, partisipasi, dan good governance pada umumnya
diterima sebagai bagian dari inovasi untuk upaya demokratisasi yang secara
fundamental diterima hampir semua kalangan, sebagai sesuatu yang
diinginkan di masa depan.

Dorongan yang kuat untuk cepat bertindak menyebabkan banyak pihak


tidak mendapat kesempatan “mengunyah” terlebih dahulu gagasan
governance. Akibatnya, di lapangan banyak muncul kebingungan dan
inkonsistensi gerakan yang menggunakan label demokratisasi, civil society,
partisipasi, dan good governance. Situasi ini ibarat sebuah permainan, semua
pihak irigin ikut bermain tanpa mengetahui persis apa aturan mainnya. Aturan
mainnya baru dibuat saat permainan beijalan. Kebanyakan mereka yang
bergerak dalam isu civil society, partisipasi dan good governance di Indonesia
saat ini lebih berpikir pragmatis, kurang memiliki kesempatan menelaah teori
dan konsep inovasi sebelum menentukan arah gerakannya. Cukup banyak
institusi yang menyatakan visinya yang inovasit membangun civil society,
tetapi sampai saat ini masih mengalami kesulitan mereposisi diri akibat
ketidakjelasan makna civil society itu sendiri.

D. Proses Perolehan Inovasi Pemerintahan

Ide atau gagasan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah


adalah hal yang paling penting dalam suatu inovasi pemerintahan daerah.
Munculnya suatu gagasan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
pada awalnya bisa berasal dan individu atau kelompok. Pada inovasi yang
terkait dengan partisipasi dan governance, gagasan efektif biasanya dibangun
dan diimplementasikan oleh kelompok inti yang lebih besar. Pada kasus
Indonesia, sangat menarik untuk mengedepankan peran penting kaukus-
kaukus informal yang menjadi wadah “perbenturan” gagasan partisipasi dan
perbaikan governance hingga terbangun prakarsa tindak lanjut yang lebih
solid dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Beberapa kaukus dibangun oleh kelompok minat atau kelompok yang


memiliki aktivitas di bidang-bidang khusus, seperti kaukus desentralisasi
penyelenggaraan pemerintahan daerah, kaukus partisipasi, kaukus
perencanaan partisipatori, kaukus pembangunan berbasis komunitas, kaukus
iristitusi lokal, kaukus forum warga/forum perkotaan, kaukus demokratisasi
pedesaan, kaukus politik lokal, kaukus perempuan, dan sebagainya dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Biasanya anggota kaukus ini tidak
terbatas pada kalangan aktivis organisasi, tetapi juga melibatkan akademisi
(dalam dan luar negeri), aparat pemerintah, dan kadang-kadang lembaga
donor.

Mereka yang memiliki gagasan penyelenggaraan pemerintahan daerah


untuk mendorong partisipasi dan good governance di Indonesia, umumnya
memperoleh inspirasi dan bahan-bahan tertulis seperti literatur baru, tulisan
best practices, laporan-laporan, maupun proposal yang pernah ditulis orang
lain. Bahan-bahan tertulis diperoleh dan internet, meng-copy dan individu
yang memiliki cukup akses dan dana untuk membeli buku-buku baru, dan dari
perpustakaan umum di perguruan tinggi. Di beberapa kota seperti Bandung
dan Yogyakarta, tradisi membagi informasi tentang buku baru dan bahan lain
yang dianggap menarik dan penting, mulai terbangun. Sumber gagasan lain
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang paling berpengaruh
adalah pengalaman mengunjungi negara-negara yang telah menjalani proses
demokratisasi dan desentralisasi untuk studi banding, mengikuti
seminar/lokakarya, atau pelatihan. Negara yang paling sening dikunjungi
sebagai tempat studi banding partisipasi dan proses perbaikan kinerja
governance adalah Filipina, India, Amerika Latin, Afrika Selatan, dan Amerika
Serikat.

Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa gagasan dan inovasi


penyelenggaraan pemerintahan daerah itu muncul dari sekelompok kecil
orang-orang yang umumnya berpendidikan tinggi, lancar berbahasa Inggris,
atau memiliki hubungan baik dengan lembaga donor yang memberi mereka
kesempatan melakukan kunjungan ke luar negeri.

Cara lain yang dilakukan untuk memperoleh gagasan dan inovasi


penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka mendorong partisipasi
dan memperbaiki kinerja governance di Indonesia adalah dengan melibatkan
para konsultan berpengalaman di level regional atau internasional. Cara ini
paling sering digunakan NGO Internasional dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Melalui cara ini mereka dengan mudah dapat
mentrasfer pengalaman serupa di negara lain dalam penyelenggaraan
pemerintahan. The Asia Foundation (TAF) misalnya, mendatangkan
konsultan dan Filipina sebagai Local Governance Adviser untuk
mengembangkan berbagai teknik partisipatori dan tools untuk melakukan
Rapid Appraisal tentang perkembangan desentralisasi di Indonesia. Metode
serupa memang pernah dikembangkan di Filipina. TAF juga mendatangkan
konsultan dan Afrika Selatan yang berpengalaman mengembangkan kegiatan
Gender Budget Analysis di tiga belas negara. Konsultan tersebut
memfasilitasi proses pelatihan bagi organisasiorganisasi yang diharapkan
akan melakukan tindak lanjut (kegiatan) terkait dengan topik ini. Salah satu
sesi paling menarik dalam pelatihan adalah pembahasan pengalaman
advokasi dan Gender Budget Analysis di enam negara (Australia, Meksiko,
Filipina, Afrika Selatan, Tanzania, dan Uganda). Terbukti, mempelajari studi
kasus pengalaman negara lain merupakan salah satu cara praktis untuk
memperoleh inspirasi.

Peran Mailing List (milis) dalam proses membangun gagasan baru


untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah mewujudkan partisipasi dan
good governance di Indonesia juga cukup menarik untuk dikemukakan.
Mailing List adalah fasilitas yang dibangun dengan menggunakan teknik
penyebaran e-mail sekaligus keseluruh alamat yang terdaftar dalam milis
tersebut. Walaupun berkesan informal, milis sangat efektif sebagai media
diskusi interaktif. Namun demikian, beberapa mailis yang terkait dengan isu
partisipasi dan governance di Indonesia saat ini kurang efektif karena tidak
dipandu oleh moderator yang baik. Potensi milis sebagai media pengujian
serta penghalusan gagasan partisipasi dan governance di Indonesia masih
sangat besar dan dapat dikembangkan lebih lanjut. Selain milis lokal, cukup
banyak milis internasional yang terkait dengan topik partisipasi. Sayangnya,
karena daftar topik diskusi (‘listservs’) berbasis pada institusi dan negara-
negara utara maka diskusi cenderung didominasi individu dan negara-negara
maju.

Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pemerintahan daerah,


berbagai inisiatif untuk mendorong partisipasi yang ber-good governance di
Indonesia, jarak antara pelontaran gagasan hingga siap menjadi bahan
implementasi membutuhkan waktu setidaknya enam bulan sampai satu
tahun. Waktu yang cukup panjang ini diperlukan terutama untuk merinci
gagasan penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi aktivitas konkret
serta mencari dukungan sumber daya yang diperlukan untuk menindaklanjuti
gagasan. Cukup banyak gagasan cemerlang untuk mendorong inovasi,
partisipasi, dan good governance terhenti di tahap ide dan tidak pernah
direalisasikan menjadi kegiatan konkret.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, beberapa lembaga donor


menyediakan proposal grant yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan
workshop penyusunan action plan sehingga proposal dibangun melalui
proses partisipatori penyelenggaraan pemerintahan yang dapat dikategorikan
sebagai langkah pengembangan inovasi pemerintah daerah. Trend baru
berupa inovasi dalam perumusan proposal seperti ini ternyata sangat
membantu calon penerima grant maupun pemberi grant.

Selanjutnya, proses difusi gagasan inovatif penyelenggaraan


pemerintahan daerah untuk mendorong partisipasi dan good governance
dapat dipercepat apabila ada katalis. Katalis inovasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah adalah orang-orang atau lembaga yang secara
sistematis mensosialisasikan dan menularkan gagasan inovatif, baik gagasan
dan proses kreatif sendiri (lokal), maupun gagasan baru yang diadopsi dari
luar (negeri). Dalam hal partisipasi dan good governance, cukup banyak
katalis inovasi berasal dan kalangan LSM atau perguruan tinggi. Namun
demikian, di dalam institusi pemerintah juga ada yang berperan sebagai
katalis inovasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Badan
PerencanaanDaerah (Bapeda) misalnya, termasuk sumber penghasil katalis
inovasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam isu partisipasi dan
good governance.

Salah satu cara yang banyak dipilih untuk mensosialisasikan gagasan


yang inovatif penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam mendorong
partisipasi dan mewujudkan good governance adalah melakukan eksperimen
melalui proyek uji coba yang intensif penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Uji coba sebagai concrete demonstration models banyak dipakai sebagai alat
mobilisasi dukungan terhadap gerakan inovatif. Kelemahan utama dan
pendekatan ini adalah skalanya sangat terbatas sehingga sulit diambil
konklusi yang jelas ketika dihadapkan pada isu replikasi, yaitu bagaimana
gagasan penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat ditransfer di daerah
lain dengan lingkungan yang berbeda.

Berbicara tentang partisipasi dan governance adalah bicara tentang


orang-orang dan institusi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tidak ada
satu daerah pun yang persis sama dalam hal ini. Pendekatan eksperimental
menjadi sangat berbahaya ketika diadopsi secara serta merta menjadi
program massal penyelenggaraan pemerintahan pada suatu daerah. Apalagi
kebanyakan eksperimen tidak dirancang sekaligus sebagai suatu riset
sehingga tidak ada analisis yang kuat untuk menjawab faktor-faktor apa yang
menjadi pendorong kesuksesan atau kegagalan implementasi suatu gagasan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Menyadari hal ini, beberapa lembaga
mencoba menganalisis secara cermat proses uji coba yang dilakukannya
melalui studi empirik untuk memperoleh basis scientific-nya.

IPGI (Indonesian Partnership on Local Governance Initiatives),


misalnya, mencoba melakukan proses riset aksi di tiga kota sebagai upaya
membangun body of collective knowledge tentang partisipasi dan governance
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Informasi yang diperoleh dari
kegiatan riset penyelenggaraan pemerintahan daerah aksi serupa ini
selayaknya didiseminasi secara efektif mungkin karena bagi mereka yang
terlibat dalam proses perubahan berupa inovasi, informasi berbasis
pengalaman serupa ibarat “bahan bakar”.

Publikasi meluas tentang berbagai pengalaman uji coba akan


menghasilkan efek katalis untuk mempromosikan inovasi dalam
penyelenggaraan partisipasi dan good governance. Pengalaman The
Governance and Local Democracy (GOLD) Project di Filipina yang rutin
mempublikasikan seri Occasional Paper adalah salah satu contoh efek katalis
tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Publikasi GOLD
menunjukkan kontribusi penting sebagai sumber informasi wacana dan
perdebatan proses desentralisasi dan devolusi yang terjadi akibat munculnya
Local Government Code tahun 1991 dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Hal ini menunjukkan pengalaman berbagai daerah berkaitan dengan
topik manajemen pemenintahan lokal, pelayanan publik, partisipasi warga,
dan isu-isu kebijakan. Asosiasi pemerintah daerah (Leagues of Local
Governments) di tingkat provinsi, kota, dan kabupaten di Filipina memiliki
posisi kunci dalam membantu mendifusikan inovasi antar anggotanya.

Di Indonesia, upaya serupa dikembangkan dalam program


Breakthrough Urban Initiatives for Local Development (BUILD). Pengalaman
dan hasil-hasil aktivitas BUILD mengembangkan inovasi manajemen
perkotaan di sembilan kota di Indonesia disebarluaskan melalui media BUILD
dan website. Upaya lainnya dikembangkan URDI (Urban and Regional
Development Institute) dan USAID melalui proyek Monitoring dan Evaluasi
Proyek-proyek USAID di bawah Office of Decentralization and Local
Government. Salah satu bagian programnya yang disebut Local Government
Best Practices mencoba mengidentifikasi berbagai inovasi yang telah
dikembangkan dan diimplementasikan pemerintah daerah. Hasil
identifikasinya tentunya akan disebarluaskan dan diharapkan dapat menjadi
katalis sekaligus “energizer” gerakan mewujudkan good governance dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Harus diingat pula bahwa eksperimen untuk mendorong partisipasi dan
good governance menuntut stamina dan waktu yang tidak sedikit. Berbagai
diskusi-diskusi dan persiapan intensif, kerja advokasi untuk mendorong
perubahan kebijakan dan pengorganisasian dalam rangka penguatan institusi
penyelenggaraan pemerintahan daerah sangat sulit mencapai hasil optimal.
Bahkan bisa menjadi bumerang dan menghasilkan efek counter productive.
Membuat kompromi antara membangun eksperimen yang mendekati kondisi
ideal dan menghadapi kendala-kendala yang biasa muncul dalam kegiatan
berorientasi proyek dengan batasan waktu ketat adalah seni tersendiri bagi
para katalis inovasi untuk mendorong partisipasi dan good governance dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kesulitan ini akan lebih kentara
apabila gagasan awal muncul dan kalangan birokrasi yang masih terikat
aturan-aturan dan prosedur administratif seperti pada masa sebelum
reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Demikian juga di dalam
tubuh donor, walaupun sudah banyak kemajuan dalam internal governance
mereka, tetap saja ada aturan main tertentu yang kerap menghambat
implementasi suatu gagasan inovatif mewujudkan partisipasi yang genuine
dan good governance.

E. Inovasi dan Keterlibatan Stakeholder GOOD GOVERNANCE

Berbicara tentang good governance, membutuhkan pemahaman yang


cukup tentang apa dan siapa stakeholder penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Dalam setiap lokalitas, ada sejumlah institusi dan organisasi yang
merupakan parapihak (stakeholder) yang memiliki kepentingan dan pengaruh
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Masing-masing stakeholder
memiliki kontribusi untuk membentuk governance yang baik. Dalam konsep
dan menjalankan fungsinya masing-masing, yaitu state (negara atau
pemerintah), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society
(masyarakat) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Institusi
pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang
kondusif, sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan
masyarakat berperan dalam membangun interaksi sosial, ekonomi, dan politik
termasuk mengajak kelompok-kelompok masyarakat untuk berpartisipasi
dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan politik dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.

Selama ini masing-masing pihak penyelenggaraan pemerintahan


daerah berada pada sistem yang terfragmentasi. Hampir tidak pernah
terpikirkan pentingnya integrasi penyelenggaraan pemerintahan daerah
sebagai syarat kunci good governance. Oleh sebab itu, untuk membangun
good governance, dibutuhkan perubahan dan inovasi yang menuntut adanya
ciri kepemimpinan penyelenggaraan pemerintahan daerah pada masing-
masing pihak yang memungkinkan terbangunnya Partnership di antara
stakeholder di dalam lokalitas tersebut adalah hubungan kerja sama atas
dasar kepercayaan, kesetaraan, dan kemandirian untuk mencapai tujuan
bersama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pihak eksekutif
maupun legislatif, tidak dapat lagi menerapkan model kepemimpinan yang
mengasumsikan stakeholder lain sebagai “pengikut” pasif yang akan
menerima setiap keputusan dan tindakan yang diambil. Dalam good
governance, pemerintah dan legislatif harus lebih dekat dengan warga dan
inklusif melibatkan warga, baik dan sektor swasta maupun civil society, baik
perempuan maupun laki-laki, kelompok tua maupun kelompok muda.

Pemerintah dalam suatu lokalitas akan menghadapi komunitas yang


tidak homogen dalam kepentingan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Komunitas dapat dibagi berdasarkan area geografis (rukun tetangga, rukun
warga, dusun, desa); berdasarkan concern atau interest-nya; berdasarkan
mata pencaharian (sektoral); usia (anak-anak, pemuda, manula); jenis
kelamin (perempuan, laki-laki); status perkawinan (lajang, janda); tingkat
pendapatan (penganggur, kelompok miskin), etnis, kelainan fisik (penyandang
cacat), penggunaan moda angkutan (pejalan kaki, pengguna angkutan
umum); berdasarkan kepedulian terhadap isu-isu tertentu (misalnya isu
kesehatan, lingkungan hidup, pengembangan usaha kecil, dll).
Pengelompokkan berdasarkan concern/interest seringkali lebih penting dan
berpengaruh ketimbang pengelompokkan berdasarkan spasial. Kelompok
interest adalah kelompok yang terorganisir, menyandang nilai-nilai yang
sama, dan berupaya mempengaruhi kebijakan publik dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Agar efektif, kelompok interest harus menguasai
sumber daya tertentu. Bisa uang, bisa juga jumlah pengikutnya. Kelompok
interest yang sukses juga harus memiliki kepemimpinan yang kuat,
kemampuan marketing, dan tujuan yang jelas. Di negara-negara maju, Senior
Citizen Association atau Association of Retired Persons misalnya, adalah
kelompok interest yang cukup kuat mempengaruhi kebijakan publik, terutama
kebijakan tentang jaminan sosial dan kesehatan.

Pemberian pelayanan publik selama ini seringkali tidak


memperhitungkan interest masing-masing kelompok dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Tentu saja setiap interest bisa menuntut
penyelenggaraan pemerintahan daerah, pelayanan berbeda bahkan bisa jadi
bertentangan satu sama lain, yang penting ada saluran untuk mendengar
suara komunitas. Walaupun kehadiran kelompok interest membuka peluang
lebih besar bagi partisipasi warga, mereka juga memiliki kelemahan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kelompok interest bisa saja merusak
proses demokratik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena
mereka hanya memperjuangkan kepentingannya. Bisa jadi kepentingarmya
tidak sesuai dengan kepentingan umum atau kelompok yang lebih besar.
Tugas pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
untuk melakukan proses agregasi kepentingan dan membuat keputusan
politis atas perbedaan yang ada dalam komunitas sehingga tercapai suatu
keadilan sosial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Beberapa instansi pemerintah belakangan ini telah berinovasi dan


telah mencoba membawa serta stakeholder utama di wilayahnya untuk
mengidentifikasi isu-isu utama yang dihadapi dan membangun kesepahaman
tentang masalah dan peluang yang ada. Namun, pada umumnya stake
holder yang dilibatkan masih dan kalangan elit (ahli dan perguruan tinggi,
aktivis organisasi terkenal, tokoh-tokoh yang umumnya berasal dan kelompok
ekonomi kuat dan tidak selalu memiliki konstituen yang jelas). Ke depan,
kesadaran akan adanya keragaman stakeholder menjadi sangat penting
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk menjamin terciptanya
good governance. Tantangan terbesar forum multi stakeholder adalah bisa
menjamin kelompok yang telah termarjinalisasi dalam proses pembangunan
sosial-ekonomi yang ada untuk tetap terlibat, menjamin agar forum tidak
didominasi oleh kelompok kecil atau kelompok vested interest, serta
menjamin adanya proses yang adil dan seimbang dalam pengambilan
keputusan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pada kenyataannya, tidak semua unsur stakeholders penyelenggaraan


pemerintahan daerah yang berkepentingan bersedia hadir dan bisa ikut aktif
berpartisipasi dalam forum-forum dialog maupun pengambilan keputusan.
Mahasiswa misalnya, yang dipercaya sebagai unsur pendorong perubahan
sosial, ternyata dalam konteks good governance menjadi stakeholder yang
sering “ragu-ragu”. Di pusat pendidikan Jatinangor misalnya, mahasiswa yang
menjadi salah satu stakeholder penting kelihatan apatis dan cenderung
menghindar terlibat dalam “Forum Jatinangor” yang dimisiasi
pembentukannya oleh suatu gugus kerja yang dibentuk secara demokratis. Di
samping masih merasa curiga dengan forum-forum multi stakeholders yang
melibatkan komponen pemerintah daerah, ternyata berbagai kelompok
mahasiswa yang ada di Jatinangor masih sulit mengkoordinir dirinya sendiri
sebagai satu kesatuan yang solid. Mahasiswa non-IPDN (Institut
Pemerintahan Dalam Negeri), misalnya, merasa enggan disatukan dengan
mahasiswa IPDN yang dianggap sebagai “agen” pemerintah.

Stake holder yang berperan dalm implementasi inovasi strategis dalam


komponen civil society adalah media massa. Peran utamanya adalah
mendorong transparansi sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai corong
kepentingan stake holder lain dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Di masa depan, media massa diharapkan dapat memperbesar fungsinya
dalam memperkuat suara dari bawah. Dalam berbagai forum civil society
maupun forum multi-stakeholders yang marak berkembang di berbagai
daerah belakangan ini, kadang-kadang personil dan media massa ikut
terlibat. Kehadiran mereka membuat upaya membangun komunikasi dua arah
menjadi inovatif dan lebih efektif. Berbagai gerakan menuju partisipasi dan
good governance yang memanfaatkan media massa, baik cetak maupun
elektronik sebagai alat penyebaran informasi sekaligus alat penampung dan
penyalur aspirasi warga, ternyata berjalan lebih cepat dan dinamis ketimbang
gerakan yang kurang memanfaatkan media dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Sayangnya, sebagai institusi, media massa adalah
bisnis yang memiliki kepentingannya sendiri sehingga tidak otomatis selalu
memiliki pemihakan kepada warga pada umumnya.

Satu unsur stakeholder lain yang penting dan perlu disorot peran
sertanya dalam mewujudkan good governance adalah sektor swasta. Dalam
good governance, sektor swasta adalah kelompok yang sama pentingnya
dengan pemerintah maupun civil society. Namun, mereka kurang menyadari
perannya dalam mewujudkan good governance, dan bahkan sering merasa
dimusuhi, sehingga lebih banyak menghindar untuk terlibat dalam berbagai
urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang tidak langsung terkait
dengan kepentingan bisnisnya.

Selain tidak seimbangnya atau kurangnya peran beberapa stake


holder seperti media massa, mahasiswa dan sektor swasta, isu penting terkait
dengan stakeholder governance adalah keterlibatan kelompok miskin dan
perempuan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam banyak
kasus, kelompok miskin, baik laki-laki maupun perempuan, sering terabaikan
dalam proses governance. Malahan, apabila ditilik lebih seksama,
perempuanlah yang menanggung beban lebih besar atas tidak kompetennya
pelayanan publik dan keputusan-keputusan buruk yang diambil pihak lain.
Selama perempuan tidak terlibat dalam governance di Iingkungan terkecil
maupun di lingkungan lebih luas, maka masalah mereka sulit terangkat
menjadi masalah komunitas secara keseluruhan. Selain perlu lebih banyak
pemimpin perempuan di semua level governance, para pengambil keputusan,
perencana, maupun pelaksana diharapkan Iebih memperhatikan isu-isu yang
dihadapi perempuan khususnya perempuan miskin. Saat mi, masih sangat
sedikit keterlibatan perempuan dalam governance di perkotaan maupun
pedesaan. Sedikit sekali perempuan yang menjadi walikota, bupati, anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), kepala desa, anggota Badan
Perwakilan Desa (BPD), maupun anggota Forum Warga/Forum Perkotaan.
Bahkan, beberapa peraturan daerah baru yang seharusnya berwatak
reformatif menuju demokratisasi ternyata justru mengabaikan peran
perempuan dalam governance penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Misalnya, ada perda yang dalam salah satu pasalnya mengemukakan


bahwa kepala keluargalah yang berhak mengikuti pemilihan wakil warga
dalam dewan kota/kelurahan. Berdasarkan UU Perkawinan No. 1 Tahun
1974, yang menyatakan bahwa kepala keluarga adalah laki-laki, maka perda
ini akan memberikan dampak diskriminatif terhadap perempuan berdasarkan
status perkawinannya. Ke depan, tantangan besar berkaitan dengan isu
perempuan adalah bagaimana agar stakeholder dan kelompok perempuan
lebih banyak terlibat dalam proses governance serta bagaimana agar setiap
keputusan publik yang diambil lebih sensitif gender dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
F. Penghargaan Pemerintah Daerah Inovatif (INNOVATIVE
GOVERNMENT AWARD)

Pada tahun 2007 yang merupakan awal pelaksanaan kegiatan


pemberian Penghargaan Pemerintah Daerah Inovatif (Innovative
Government Award) Ketegori inovasi yang menjadi dasar pelaksanaan
dibagi dalam 3 (tiga) kategori yaitu: “Management Pengelolaan
Pemerintah Daerah, Peningkatan Pelayanan Publik dan Pemasaran
dan Promosi Investasi Daerah”. Pada tahun 2008 Ketegori inovasi
disempurnakan menjadi 4 (empat) ketegori yaitu : “Pengelolaan
Pemerintahan Daerah, Peningkatan Pelayanan Publik, Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan sumberdaya Manusia serta Pemasaran dan
Promosi Investasi Daerah”. Pada tahun 2010 kategori inovasi kembali
disempurnakan dengan jumlah 4 (empat) kategori akan tetapi lebih
dispesifikasikan terhadap hal-hal yang terkait dengan ; “Tata Kelola
Pemerintahan, Peningkatan Pelayanan Publik, Pemberdayaan
Masyarakat dan Peningkatan Daya saing daerah”. Kategori ini yang
masih tetap konsisten dipergunakan sampai dengan sekarang.
Penetapan kategori penilaian ini di dasari oleh pemikiran yang
inovatif bahwa secara garis besar konsepsi peran penting sebuah entitas
pemerintahan daerah adalah untuk menghasilkan output dan outcome.
Output tersebut berupa kebijakan pelayanan publik. Outcome adalah
kemanfaatan dari output tersebut keapada seluruh stakeholder yang
berkaitan dengan kebijakan dan pelayanan termaksud.
Output dalam bentuk praktis adalah adanya regulasi dan kebijakan
yang mengarah pada penguatan atau pemberdayaan masyarakat,
peningkatan peran serta stakeholder, dan peningkatan daya saing daerah.
Outcome dalam bentuk praktis adalah adanya percepatan pertumbuhan
kesejahteraan masyarakat. Maka, dalam pemahaman ini, inovasi bisa
dilakukan oleh entitas pemerintah daerah dalam proses-proses
pembentukan dan pelaksanaan kebijakan pelayanan publik. Hal ini
sejalan dengan 3 (tiga) filosofi penting terbentuknya otonomi daerah,
yaitu:

1. Peningkatan pelayaan publik;

2. Yang meningkatkan daya saing daerah;

3. Sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu, pelaksanaan pemberian penghargaan IGA


diharapkan mampu mendorong Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk
melakukan Tata Kelola Pemerintahan yang baik (good governance) yang
diarahkan untuk penciptaan manajemen publik yang handal dan
peningkatan kualitas penyelenggaraan administrasi publik. Melakukan
Peningkatan pelayanan Publik yang sesuai standar kualitas pelayanan
yang baik. Meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat melalui
upaya Pemberdayaan Masyarakat, serta mengupayakan Peningkatan
Daya Saing Daerah agar tercipta kemandirian dalam pelaksanaan otonomi
daerah.
Penyelenggaraan pemberian penghargaan Pemerintah Daerah
Inovatif (Innovative Government Award) dilaksanakan dalam 6 (enam)
tahap, yakni:
1. Identifikasi Pemda Kabupaten/Kota yang memiliki program
inovasi.
Kegiatan ini merupakan upaya yang dilakukan dalam rangka menggali
data dan informasi untuk menemukan Pemerintah Kabupaten/Kota
yang telah melakukan dan menerapkan langkah-langkah kebijakan
inovatif dalam pelaksanaan pemerintahannya. Upaya ini dapat
dipenuhi malalui pendekatan konteks realitas-situasional dengan
memanfaatkan informasi-informasi umum yang sudah beredar, baik
yang bersumber dari media cetak, publikasi website pada masing-
masing Pemerintah Kabupaten/Kota, makalah hasil seminar, ataupun
stakeholder yang dapat dipercaya. Sumber-sumber informasi tersebut
yang kemudian menjadi acuan dalam melakukan proses verifikasi
sebelum penentuan jumlah daerah yang teridentifikasi dan layak ikut
dalam tahap selanjutnya pada kegiatan pemberian penghargaan IGA
dimaksud.

2. Penetapan Nominator Terpilih IGA,


Melakukan kajian analisis atas proses strategik inovatif yang dilakukan
Pemerintah Daerah melalui program dan kebijakan yang dilaksanakan,
yang diselaraskan dengan tujuan pembangunan nasional dalam
kerangka NKRI. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan akan
ditetapkan pemerintah Kabupaten/Kota yang menjadi Nominator
Terpilih IGA. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam
penetapan Nominator Terpilih IGA adalah sebagai berikut

 Inisiatif inovasi
Pengukuran inisiatif inovasi yang dimaksud adalah sumber
pemrakarsa atau ide dan gagasan program inovatif. Inisiatif inovasi
ini terbagi dalam 4 skala penilaian yaitu: inovasi yang datang dari
pemerintah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Inisiatif
inovasi dari masyarakat. Program inovatif yang berasal dari
program pemerintah pusat atau pemerintah provinsi dan inisiatif
inovasi yang berasal dari lembaga donor dan lembaga di luar
pemerintah. Selain itu motif atau dorongan terhadap munculnya
inovasi merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan, motif, alasan
dan pertimbangan munculnya inovasi yang berbeda-beda tersebut
dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu ; Pertama, inovasi muncul
dari adanya pemikiran baru atau dari kajian yang dilakukan
pemerintah daerah terhadap sesuatu fokus yang berhubungan
dengan penyelesaian permasalahan tertentu. Kedua, Inovasi
kebijakan karena adanya tuntutan internal dalam organisasi itu
sendiri atau tuntutan eksternal untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pemerintah daerah serta tuntutan
peraturan perundang-undangan dan program nasional, provinsi
yang harus dilaksanakan dan disesuaikan dengan karakteristik
daerah yang bersangkutan.
 Sumber Pembiayaan
Pengukuran sumber pembiayaan yang dimaksud adalah sumber
pendanaan program inovatif. Sumber pembiayaan ini terdiri dari 4
(empat) klasifikasi sumber pembiayaan untuk melakukan program
inovatif, yaitu: sumber pendanaan dari pemerintah daerah sendiri
(APBD), dari partisipasi publik (termasuk swasta), dari pemerintah
(APBN dan APBD Provinsi) dan dari lembaga donor. Masing-
masing sumber pembiayaan program inovatif ini memiliki bobot
nilai yang berbeda. Karena yang dinilai adalah pemerintah daerah
(local government), maka sumber pembiayaan program inovatif
yang berasal dari pemerintah daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan mendapatkan bobot/nilai paling tinggi dibandingkan
dengan sumber pembiayan yang berasal dari sumber lain.
Pengukuran sumber pembiayaan program inovatif ini diharapkan
akan menghasilkan kemanfaatan dimasa depan yaitu: mendorong
peningkatan kemandirian daerah.

 Replikasi Program Inovatif


Pengukuran replikasi program inovatif yang dimaksud adalah
sejauh mana program inovatif tersebut menjadi repilkasi atau
rujukan secara langsung atau tidak langsung bagi pemerintah
kabupaten/kota atau bahkan Negara lain.

3. Seminar Sosialisasi IGA dan Pemberian Penghargaan kepada 30


(tiga puluh) Nominator Terpilih IGA
Menyelenggarakan seminar sosialisasi dengan nara sumber
pemenang Penghargaan Pemerintah Daerah Inovatif (Innovative
Government Award) tahun sebelumnya yang akan hadiri oleh
nominator terpilih, dan disebarluaskan melalui iklan (advertorial) media
cetak (surat kabar nasional dan majalah) untuk dipublikasikan secara
luas.
4. Penetapan 12 (dua belas) Nominator Unggulan IGA
Mengkaji dan menganalisis program inovasi daerah pada 30 (tiga
puluh) Nominator Terpilih IGA, untuk ditetapkan sebagai sebagai 12
(dua belas) Nominator Unggulan. Fokus kajian dalam menentukan
unggulan disesuaikan dengan 4 (empat) kategori penilaian yaitu :

 Tata Kelola Pemerintahan


Penilaian inovasi pemerintah daerah untuk kategori Tata Kelola
Pemerintahan terbagi dalam empat indikator yaitu, pertama,
efektivitas penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan yaitu dengan
perbandingan (rasio) antara belanja publik terhadap total APBD.
Diasumsikan bahwa penggunaan dana APBD akan efektif apabila
belanja publik lebih besar daripada belanja pegawai. Kedua,
kapasitas fiskal daerah dilihat dari perkembangan (trend)
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ketiga, Akuntabilitas
Pengelolaan APBD didasarkan pada hasil audit Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Keempat, Partisipasi dinilai berdasarkan
peranserta pelaku usaha, masyarakat dan pemerintah daerah
dalam proses penyelenggaraan pembangunan.

 Pelayanan Publik
Penilaian inovasi pemerintah daerah untuk kategori Pelayanan
Publik terbagi dalam empat indikator yaitu, pertama, keterbukaan
(transparansi) informasi pelayanan publik. Kedua, penyediaan
unsur pendukung efektivitas pelayanan publik. Ketiga, adanya
pelayanan pengaduan masyarakat. Keempat, Indeks Kepuasan
Masyarakat (IKM) terhadap pelayanan publik yang
diselenggarakan pemerintah daerah. Masing-masing indikator
terdiri dari beberapa skala pengukuran dengan bobot/nilai yang
berbeda.
 Pemberdayaan Masyarakat
Penilaian inovasi pemerintah daerah untuk kategori Pemberdayaan
Masyarakat terbagi menjadi empat indikator yaitu, pertama,
pencapaian kelompok sasaran program yang diukur dari
perbandingan antara realisasi kelompok sasaran program dengan
target program. Kedua, meningkatnya kemandirian masyarakat
yang meliputi kemandirian dari aspek pembiayaan, manajemen,
dan kelembagaan. Ketiga, meningkatnya pendapatan per kapita
yang dihitung dari perbandingan antara Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) dengan jumlah penduduk. Keempat, berkurangnya
angka kemiskinan. Masing- masing indikator terdiri dari beberapa
skala pengukuran dengan bobot nilai yang berbeda.

 Daya Saing Daerah


Penilaian inovasi pemerintah daerah untuk kategori Daya Saing
Daerah terbagi menjadi empat indikator yaitu, pertama, penyediaan
infrastruktur ekonomi yang meliputi empat komponen: input,
pengolahan, distribusi dan promosi . Kedua, pelayanan ijin
investasi. Ketiga, peningkatan keterampilan tenaga kerja, yang
meliputi empat komponen kegiatan: pendidikan vokasi/ kejuruan,
pelatihan keterampilan melalui Balai Latihan Kerja (BLK), program
pemagangan. Keempat, meningkatnya pertumbuhan ekonomi.
Masing-masing indikator terdiri dari beberapa skala pengukuran
dengan bobot/nilai yang berbeda.

5. Penetapan 4 (empat) Pemenang IGA per masing-masing Kategori.


Pada tahap menentukan 4 (empat) pemenang Penghargaan
Pemerintah Daerah Inovatif (Innovative Government Award - IGA),
akan dilakukan verifikasi lapangan untuk melihat dan memastikan
bahwa seluruh indikator capaian yang ada dalam dokumen sesuai
dengan kondisi lapangan. Selain itu penilaian juga difokuskan kepada
beberapa hal yang spesifik yaitu:
 Dukungan Regulasi Terhadap Program Inovatif
Indikator Dukungan Regulasi Terhadap Program Inovatif
digunakan untuk menilai komitmen dan kebijakan Pemerintah
Daerah mengenai program inovatif, sehingga memiliki kekuatan
hukum yang dapat menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah,
Pelaku Usaha, dan Masyarakat dalam mengawal proses
pengelolaan, capaian hasil, dan kesinambungan pelaksanaan
program inovasi tersebut. Indikator ini dirinci ke dalam 4 (empat)
parameter, yaitu :
a. Parameter-1: Peraturan Daerah Kabupaten atau Peraturan
Daerah Kota;
b. Parameter-2: Peraturan Bupati atau Peraturan Walikota;
c. Parameter-3: Keputusan Bupati atau Keputusan Walikota;
d. Parameter-4: Surat Edaran Bupati atau Surat Edaran Walikota;

 Dampak (Impact) Terhadap Pencapaian Tujuan Pembangunan


Milenium
(Millenium Development Goals / MDG’s)
Indikator Dampak (Impact) Terhadap Pencapaian Tujuan
Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals / MDG’s)
digunakan untuk menilai keberhasilan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dalam mencapai 8 (delapan) sasaran dari Tujuan
Pembangunan Milenium (MDG’s), yakni: (1) pemberantasan
kemiskinan dan kelaparan; (2) penyediaan pendidikan dasar untuk
semua; (3) pencapaian kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan; (4) penurunan tingkat kematian anak; (5) peningkatan
kualitas kesehatan ibu; (6) memerangi berbagai penyakit menular,
seperti HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya; (7)
memastikan kelestarian lingkungan hidup; dan (8) membangun
kemitraan global untuk pembangunan. Indikator ini dirinci ke
dalam 4 (empat) parameter Yaitu :
a. Parameter-1: Terdapat 4
(empat) atau lebih capaian sasaran MDG’s;
b. Parameter-2: Terdapat 3 (tiga)
capaian sasaran MDG’s;
c. Parameter-3: Terdapat 2 (dua)
capaian sasaran MDG’s;
d. Parameter-4: Terdapat 1
(satu) capaian sasaran MDG’s.
Cerita Sukses:
INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH: MEMPERTANYAKAN PARTISIPASI MASYARAKAT
Cerita sukses dan keberhasilan beberapa pemerintahan daerah paska
diberlakukannya otonomi daerah telah membuktikan bahwa desentralisasi memberi
dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat di daerah. Kabupaten Jembrana, misalkan,
sebuah kabupaten yang dahulu tidak terkenal dan bahkan tergolong miskin di provinsi Bali,
dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun telah menjelma menjadi kabupaten percontohan
bagi penyelenggara pemerintahan daerah belakangan ini dengan pendapatan asli daerah
(PAD) meningkat drastis dan signifikan. Kegigihan dan ketekunan Bupati Jembrana yang
melakukan berbagai gebrakan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat luas yaitu
pendidikan gratis, asuransi kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat, membuktikan
hasilnya pada dukungan nyata masyarakat dalam Pilkada tahun 2006 kepada Bupati
Winasa untuk melanjutkan kepemimpinannya.

Hal yang sama juga terjadi pada Kabupaten Sragen Jawa Tengah. Bupati Untung melakukan
reformasi pada struktur birokrasi pemerintahan agar memudahkan penyelenggaraan
pelayanan yang terpadu. Tujuannya sangat jelas, mudahnya pelayanan memiliki implikasi
bagi kepercayaan kepada pemerintah. Peningkatan pendapatan daerah pun secara
perlahan meningkat seiring dengan kepercayaan masyarakat dan investasi terhadap
pelayanan yang diberikan. Dalam hal politik, kepercayaan tersebut diwujudkan dengan
terpilihnya kembali Bupati Untung dalam Pilkada tahun 2006.

Dua daerah yang terkenal dengan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan tersebut
memiliki karakter yang juga hampir sama yaitu memiliki kepemimpinan pemerintahan yang
kuat disertai political will dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat luas.
Hal ini ditandai dengan komitmen yang luar biasa dari pemimpin daerah tersebut sedari
awal dengan melakukan reformasi dan restrukturisasi birokrasi untuk menunjang berbagai
kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Namun demikian, kedua daerah tersebut masih
menyisakan persoalan dalam hal tiadanya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan
kebijakan. Sebagian besar program dan kegiatan pembangunan daerah berasal dari inisiatif
pemerintah, baik dari kepala daerah ataupun jajarannya. Pembangunan model top down
yang dikembangkan oleh kedua daerah tersebut memang terbukti efektif dikarenakan figur
kepala daerah yang memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan rakyat. Persoalannya
kemudian, seberapa besar dan luas masyarakat dilibatkan dalam setiap pembangunan yang
ada di daerah tersebut? Dan seberapa besar pula pemerintah daerah memahami seluruh
kebutuhan dan keinginan masyarakat di masing-masing daerah? Artinya bagaimana
keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan dan pembangunan masih perlu
dieksplorasi lebih lanjut kenyataan di kedua daerah ini.

Partisipasi dalam Pembuatan Kebijakan

Demokrasi perwakilan yang menekankan pentingnya perwakilan dari berbagai


unsur masyarakat untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan tengah dikritik. Keinginan
masyarakat untuk terlibat dan tahu secara rinci mengenai proses pembuatan kebijakan
tidak menjadi menarik manakala hal ini dinafikkan oleh para anggota legislatif dan pihak
eksekutif bahwa yang mempunyai kewenangan atas proses pemutusan kebijakan adalah
mereka atas dasar mandat dari rakyat. Akibatnya yang terjadi adalah masyarakat menjadi
penonton di pinggir arena pembuatan kebijakan, dan hanya berperan baik sebagai
penerima manfaat dan juga yang dimanfaatkan oleh para pembuat kebijakan.

Ide dalam perluasan partisipasi berasal dari Juergen Habermas yang memberi inspirasi
bahwa perlu adanya ruang publik yang otonom di luar dari domain negara sebagai
prasyarat pelibatan aktivitas masyarakat yang tidak semudahnya mendapat legitimasi
terhadap sistem politik. Ruang publik tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana debat
opini, bersuara dan menyeleraskan posisi yang sama dengan argumentasi yang rasional.
Habermas sebenarnya berkeingan agar setiap individu menjadi aktor yang penting dan
berarti dalam komunitas politik.

Penekanan Habermas sebenarnya adalah tersedianya ruang publik yang ada dan terjamin di
dalam konstitusi. Karena negara sebagai aktor dan institusi politik punya kewenangan yang
luar biasa dalam mengarahkan maksud dan tujuan pembangunan, dengan atau tanpa
keterlibatan masyarakat. Padahal objek dan penerima manfaatnya adalah masyarakat itu
sendiri. Dalam hal tersebut, masyarakat sudah waktunya dilibatkan dalam pembuatan
kebijakan dengan memanfaatkan ruang publik yang disampaikan oleh Habermas tadi. Pada
masa lampau, untuk mengatasi adanya kesenjangan antara pemerintah dan masyarakat,
pemerintah melakukan berbagai tindakan politik dalam rangka memperkuat partisipasi
dimana kelompok marjinal diberi kesempatan dan ruang untuk menyuarakan aspirasinya. Di
samping itu, penguatan kelembagaan juga dilakukan oleh pemerintah untuk menjadi lebih
responsif, akuntabel dan transparan terhadap berbagai tuntutan dari masyarakat.
Pertanyaannya kemudian, dimana kelompok marjinal dan kelompok miskin bisa
memperoleh ruang dan mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah serta dimana
pemerintahan yang berubah dapat mempertanggung jawabkan akuntabilitasnya?[

Dalam beberapa tahun belakangan, konsep partisipasi politik telah berkonvergen dengan
memperhatikan aspek pelibatan warga dalam formulasi kebijakan dan implementasi
kebijakan tersebut. Partisipasi politik yang dimaksud menjadi lebih dalam sebagai upaya
warga dalam mempengaruhi pemerintah dan meminta komitmen terhadap
akuntabilitasnya.[4] Partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan tadinya
hanyalah sebuah mekanisme konsultatif. Namun belakangan menguatnya kebutuhan dan
perspektif dalam pelayanan seperti apa dan kebijakan yang semestinya harus ada,
meyakinkan bahwa perlu ada peningkatan dan pendalaman partisipasi yang nantinya akan
menjadi kontrol terhadap kehidupan mereka secara keseluruhan. Partisipasi warga dengan
demikian dapat didefenisikan sebagai perluasan agenda masyarakat, di mana masyarakat
dapat memobilisasi dan merumuskan tuntutannya.

Dalam banyak negara, upaya pelibatan kelompok marjinal dan kelompok miskin sudah
terlihat. Hanya saja hal ini meyakinkan kita bersama bahwasanya mekanisme perwakilan
tidaklah efektif dapat memberi pengaruh terhadap kebutuhan dan keinginan kelompok
minoritas. Penekanannya kemudian masyarakat memiliki hak atas pembangunan tidak lagi
diposisikan sebagai penerima manfaat. Hak akan menjadi kenyataan bila warga negara
dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terutama menyangkut hidupnya. Laporan
UNDP terlihat jelas bahwa pemilu tidak lagi cukup untuk pemenuhan hak dari warga negara.
Cara baru yang mesti ditempuh adalah bagaimana menjamin hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya tidak dicabut/dilanggar dan untuk memastikan partisipasi dalam proses
pengambilan keputusan. Disini terlihat bahwa negara memiliki kewajiban untuk menjamin
terwujudnya hak-hak dari warga negara, termasuk di dalamnya turut berpartisipasi dalam
pembangunan.

Refleksi

Berangkat dari konteks teori serta konsep partisipasi yang tengah berkembang belakangan,
maka patut dipertimbangkan untuk mendalami lagi apakah berbagai inovasi yang dilakukan
oleh pemerintahan daerah sepenuhnya melibatkan masyarakat sebagai penerima layanan.
Argumennya bila dikaitkan dengan cerita sukses pemerintahan daerah seperti Jembrana dan
Sragen akan menjadi lebih bermakna bagi pemerintah dan juga masyarakat terhadap
pembangunan yang dilakukan. Pemerintah daerah tahu dan mengerti apa yang dibutuhkan
masyarakat dan masyarakat pun sadar bagaimana memanfaatkan ruang untuk
mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhannya kepada pemerintah daerah. Hal ini yang
semestinya harus dikembangkan bagi daerah agar terciptanya keadilan bagi semua.
DAFTAR PUSTAKA

Brown, Lawrence A., Innovation Diffusion: A New Perpevtive. New York:


Methuen and Co.

Byrd, J & Brown, P.L. 2003. The Innovation Equation. Building Creativity and
Risk

Clark, John dan Ken Guy (1997). Innovation and Competitiveness.


Technopolis. July 1997.

De Jong, J & Hartog, D D. 2003. Leadership as a determinant of innovative


behaviour. A Conceptual framework. http://www.eim.net/pdf-
ez/H200303.pdf. 21 April 2006

De Jong, JPJ & Kemp, R. 2003. Determinants of Co-workers’s Innovative


Behaviour: An Investigation into Knowledge Intensive Service.
International Journal of Innovation Management. 7 (2) (Juni 2003)
189 - 212. Diakses melalui EBSCO Publisher 22 Maret 2005.
Management. 7 (2) (Juni 2003) 189 - 212.

DISR. (1999). Shaping Australia’s Future: Innovation - Framework Paper.


Department of Industry, Science and Resources. Australia. October
1, 1999.

Edquist, Charles. (2001). The Systems of Innovation Approach and


Innovation Policy: An Account of the State of the Art. Lead paper
presented at the DRUID Conference, Aalborg, June 12-15, 2001,
under theme F: ‘National Systems of Innovation, Institutions and
Public Policies’.

Hanafi, Abdillah. 1987. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya: Penerbit


Usaha Nasional

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi


(Permen PAN RB) Nomor 16 tahun 2014, Jakarta.

Rogers, Everett, M., “Diffussion of Innovation”, (Canada: The Free Press of


Macmillan Publishing Co., 1983).

Rogers, E.M. dan Shoemaker, F.F., 1971, Communication of Innovations,


London: The Free Press.

Scott, S. G & Bruce, R. A. 1994. Determinants of Innovative behavior: A Path


Model Of Individual Innovation in the Workplace. Academy of
Management Journal.. 37 (3) 580-607. Diakses melalui EBSCO
Publisher 22 Maret 2005
Taufik, T. A. (2005). Pengembangan Sistem Inovasi Daerah: Perspektif
Kebijakan. P2KTPUDPKM-BPPT dan KNRT.

Anda mungkin juga menyukai