Anda di halaman 1dari 14

BIAYA PENDIDIKAN DAN MASALAH DI SEKOLAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Landasan Teori Administrasi Pendidikan

Dosen Pengampu: Dr. Yuyun Elizabeth Patras, M.Pd.

Disusun Oleh:

Papat (072118065)

Wiranti Handayani (072118071)

ADMINISTRASI PENDIDIKAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PAKUAN

2018
BIAYA PENDIDIKAN DAN MASALAH DI SEKOLAH
Papat1 , Wiranti Handayani2
1 2
Kepala Sekolah Dasar Negeri Kopo 03, Guru SDN Cisarua 03
Korespondensi: wirantihandayani865@gmail.com

ABSTRACT
The purpose of this study is to identify education costs and problems at school. This theoretical
study uses the literature review method. The results of the study are then presented to answer the
research problem formulations, namely: 1. Cost of education, 2. Types of education costs.
Education funding consists of investment costs, operating costs, and personal costs. In addition,
the types of tuition fees, namely: direct, indirect, and direct and indirect costs. Educational
problems are: Not yet effective BOS funds, lack of efficiency in the RAPBS (School Budget and
Expenditure Plan), scarcity of education funds, and high tuition fees

Keywords: cost of education, problems in school, and literature method

ABSTRAK
Tujuan kajian ini bermaksud untuk mengidentifikasi biaya pendidikan dan masalah di sekolah.
Kajian teoretik ini menggunakan metode kajian literatur. Hasil kajian kemudian dipaparkan
untuk menjawab rumusan-rumusan permasalahan penelitian yaitu: 1. Biaya pendidikan, 2. Jenis
biaya pendidikan. Kesimpulan dari kajian ini adalah pembiayaan pendidikan terdiri atas, biaya
investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Selain itu, jenis biaya pendidikan, yaitu: biaya
langsung, tidak langsung, dan biaya dari langsung dan tidak langsung. Masalah-masalah
pendidikan yaitu: Belum efektifnya dana BOS, kurangnya efisiensi RAPBS (Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Sekolah), langkanya dana pendidikan, dan mahalnya biaya pendidikan.

Kata Kunci : biaya pendidikan, masalah biaya di sekolah, dan metode literatur
PENDAHULUAN
Belakangan ini upaya pengembangan pendidikan dalam roda kehidupan merupakan suatu
keharusan dan kewajaran. Dikatakan sebagai suatu keharusan, karena pendidikan sangat
berperan sebagai bentuk untuk mengembangkan sumber daya manusia. Disebut sebagai suatu
kewajaran, karena kehadiran pendidikan yang merupakan suatu produk budaya masyarakat dan
bangsa, yang terus berkembang untuk mencari karakternya yang paling cocok, sesuai dengan
perubahan dinamis yang terjadi di dalam masyarakat setiap bangsa (fleksibel).
Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan baik ditingkat makro (negara) maupun di
tingkat mikro (lembaga) yang dianggap penting adalah masalah tentang pembiayaan,
pembiayaan merupakan unsur yang multak harus tersedia. Sebagai contoh pemerintah Republik
Indonesia sesuai amanat Undang-Undang setiap tahunnya telah mencanangkan alokasi anggaran
pendidikan sebesar minimal 20% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
demikian pula pemerintah daerah setiap tahun menetapkan anggaran untuk pendidikan seperti
untuk gaji guru dan gaji tenaga kependidikan lainnya di daerah.
Dalam hal ini, berdasarkan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah, hanya sekitar
30 persen dari sekitar 318 kabupaten/kota yang dapat menikmati proporsi DAU (Dana Alokasi
Umum) perkapita yang cukup lumayan, sehingga APBD nya dapat membiayai pendidikan di
daerahnya dengan baik. Tetapi sisanya, memperoleh pendapatan dari DAU (Dana Alokasi
Umum) yang terbatas sementara PAD (Pendapatan Anggaran Daerah) kecil sehingga dana
pendidikan yang dapat disediakan melalui APBD sangat terbatas, bahkan sebagian hanya
sekedar dapat untuk membiayai gaji guru. Misalnya penerimaan daerah perkapita yang diterima
oleh provinsi Kalimantan Timur dan kabupaten/ kota dilingkungannya mencapai Rp. 2,6 juta per
tahun, sementara provinsi Banten hanya Rp. 229 ribu atau sekitar sepersebelasnya.
Untuk menutup kekurangan inilah kemudian sekolah, terutama di kabupaten/kota yang
miskin, harus meningkatkan pendanaan dari partisipasi orang tua dan masyarakat. Secara
nasional, biaya operasional pendidikan sekolah negeri yang dapat diberikan oleh pemerintah
hanya sekitar 7% dari seluruh biaya rutin pendidikan, pada tingkat kabupaten/kota yang DAU
(Dana Alokasi Umum) nya kecil prosentase itu bisa jauh lebih kecil. Itulah sebabnya, walaupun
sebenarnya SPP untuk Sekolah Dasar dan SLTP seharusnya dibebaskan dari orang tua karena
berkaitan dengan kebijakan wajib belajar seperti tertuang di Undang-undang No.20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, sekolah tetap memerlukan dukungan biaya dari orang tua yang
kemudian dituangkan dalam berbagai bentuk seperti sumbangan BP3 dll. Untuk sekolah swasta
yang umumnya tidak dapat menikmati subsidi dari pemerintah bahkan harus menggantungkan
biaya operasionalnya dari orang tua peserta didik. Orang tua siswa MTs dan MA, baik negeri
maupun swasta, di provinsi Banten ternyata harus membayar lebih besar dari orang tua di
provinsi Kalimantan Timur untuk sekolah yang sejenis. Membayarnya lebih dari orang tua di
provinsi Banten akan terasa sangat mahal dibandingkan kemampuan mereka untuk membayar
karena rendahnya pendapatan perkapita. Persoalan demikianlah yang menimbulkan semakin
besarnya ketidakadilan dalam pendidikan
Berdasarkan uraian keadaan pendidikan saat ini dan fakta-fakta yang ada di lapangan,
kajian ini bermaksud untuk mengetahui biaya pendidikan dan masalah di sekolah.

KAJIAN TEORI
Teori Biaya Pendidikan
Menurut Levin (1987) pembiayaan sekolah adalah proses dimana pendapatan dan
sumberdaya tersedia digunakan untuk memformulasikan dan mengoperasionalkan sekolah di
berbagai wilayah geografis dan tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Pembiayaan sekolah ini
bekaitan dengan bidang politik pendidikan dan program pembiayaan pemerintah serta
administrasi sekolah. Beberapa istilah yang sering digunakan dalam pembiayaan sekolah, yakni
school revenues, school expenditures, capital dan current cost. Dalam pembiayaan sekolah tidak
ada pendekatan tunggal dan yang paling baik untuk pembiayaan semua sekolah karena kondisi
tiap sekolah berbeda. (Fattah, 2008)
Menurut (Al-busaidi, 2017) Pembiayaan merupakan salah satu kebutuhan pendidikan yang
dapat menunjang segala aktivitas pendidikan baik formal maupun informal. Pembiayaan menjadi
komponen pendidikan yang mempunyai peran penting atas berjalannya proses pembelajaran.
Penyelenggaraan pendidikan yang didukung dengan pembiayaan memadai akan berakibat pada
berlangsungnya pembelajaran yang maksimal.
Mulyasa dalam (Arifi, 2008) menegaskan, bahwa biaya merupakan salah satu sumber daya
yang secara langsung menunjang efektivitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan. Hal ini akan
lebih terasa kgi dalarn implementasi otonomi sekolah yang menuntut kemampuan sekolah untuk
merencanakan, rnelaksanakan dan mengevaluasi serta mempertanggungjawabkan pengelolaan
dana secara transparan, baik kepada masyarakat maupun pemerintah . Dalam penyelenggaraan
pendidikan, Sumber dana merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kajian pengelolaan
pendidikan.
Pembiayaan pendidikan merupakan hubungan saling keterkaitan yang di dalamnya terdapat
komponen-komponen yang bersifat mikro dan makro pada satuan pendidikan. Setiap komponen
memiliki fungsi yang berbeda-beda, namun memiliki tujuan akhir yang sama, untuk peningkatan
potensi SDM yang berkualitas. (W.P, 2004)
Pendanaan pendidikan adalah penyediaan sumberdaya keuangan yang diperlukan untuk
penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan. Secara lebih sederhana Decentralized Basic
Education (2008:11-15) mendefinisikan biaya pendidikan sebagai nilai rupiah dari seluruh
sumber daya (input) baik da- lam bentuk natura (barang), pengorbanan peluang, maupun uang,
yang dikeluarkan untuk seluruh kegiatan pendidikan. (Haryati, 2017)
Dari berbagai pendapat di atas dapat disintesiskan bahwa biaya pendidikan adalah semua
jenis pengeluaran yang berkenaan dengan pelaksanaan pendidikan untuk berperan aktif dalam
penerapan strategi kebudayaan mewujudkan kehidupan yang cerdas menuju masyarakat
Indonesia baru dan bermutu yang memliki kemampuan dan keunggulan di masa depan.
Teori Masalah Pendidikan
(Nurhadi, 2006) menjelaskan bahwa pendidikan semakin mahal merupakan masalah
pendidikan yang ditandai oleh semakin meningkat biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh
orang tua sehingga seakan-akan sekolah diprivatisasikan, disebabkan oleh berbagai hal, yaitu:
ketimpangan pendanaan daerah, kompetisi dengan sektor lain, beban biaya manajemen,
terbatasnya biaya operasional dari pemerintah, meningkatnya aspirasi orang tua akan mutu
pendidikan, rendahnya gaji guru yang diikuti dengan meningkatnya tingkat konsumsi, serta
penyalahgunaan kesempatan dalam kesempitan.
Permasalahan pendidikan nasional merupakan tak pernah usai, lebih khusus lagi jika
menyangkut masalah pembiayaan pendidikan, makin mahalnya biaya untuk memasuki jenjang
pendidikan. (K, 2005)
Masalah pendidikan merupakan salah satu masalah bangsa yang belum dapat ditemukan
solusinya secara tuntas. Jika mencermati dan ikuti perkembangan pendidikan khususnya dalam
hal biaya pendidikan sampai saat ini, biaya tersebut dirasakan semakin mahal. (W.P, 2004)
Keterbatasan anggaran merupakan salah satu masalah pendidikan yang akan membatasi
ruang gerak pengembangan sumberdaya manusia sebagai human investment, menyebabkan
penanganan pendidikan harus diprioritaskan pada program pendidikan yang benar-benar
diperlukan, menunjang langsung pada pembangunan nasional. (Rahman, 2017)
Permasalahan yang terjadi dalam lembaga pendidikan terkait dengan manajemen
pembiayaan pendidikan antara lain adalah sumber dana yang terbatas, pembiayaan program yang
tersendat, tidak mendukung visi, misi dan kebijakan sebagaimana tertulis dalam rencana strategis
lembaga pendidikan. Di satu sisi lembaga pendidikan perlu dikelola dengan baik (good
governance), sehingga menjadi lembaga pendidikan yang bersih dari berbagai penyimpangan
yang dapat merugikan pendidikan. (Ulpha Lisni Azhari, 2016)
Dari berbagai pendapat di atas dapat disintesiskan bahwa masalah biaya pendidikan adalah
keadaan penyelenggaraan pendidikan dibidang pembiayaan yang belum sesuai dengan yang
diharapkan untuk kemajuan bangsa Indonesia.

METODOLOGI
Kajian atas mendeskripsikan biaya pendidikan dan masalah sekolah ini dengan
menggunakan metode literatur. Metode Literatur merupakan penelitian yang mengkaji atau
meninjau secara kritis pengetahuan, gagasan, atau temuan yang terdapat di dalam tubuh literatur
berorientasi akademik (academic-oriented literature), serta merumuskan kontribusi teoritis dan
metodologisnya untuk topik tertentu (Syaodih, 2009). Pengertian lainnya menyatakan bahwa
metode literature adalah berisi ulasan, rangkuman & pemikiran penulis tentang beberapa pustaka
(buku, jurnal, majalah) yang berkaitan dengan topik yang dibahas (Sharma, 2001). Dengan kata
lain, bahwa metode literatur adalah uraian tentang teori, temuan dan bahan penelitian lain yang
diperoleh dari bahan acuan untuk dijadikan landasan kegiatan penelitian. Atas dasar pada
metode literature tersebut, penulisan ini memaparkan beberapa hal yang terumuskan dalam
rumusan masalah penulisan, yaitu: (1) bagaimana pengertian biaya pendidikan?; (2) bagaimana
masalah pendidikan di sekolah?

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Biaya Pendidikan
Untuk dapat tercapai tujuan pendidikan yang optimal, salah satu hal paling penting, yaitu
mengelola biaya dengan baik sesuai dengan kebutuhan dana yang diperlukan. Administrasi
pembiayaan minimal mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Penyaluran
anggaran perlu dilakukan secara strategis dan integratif antara pemangku kepentingan
(stakeholder) untuk mewujudkan kondisi ini, perlu dibangun rasa saling percaya, baik internal
Pemerintah maupun antara Pemerintah dengan masyarakat dan masyarakat dengan masyarakat
itu sendiri dapat ditumbuhkan. Keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas dalam
penyelenggaraan pendidikan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan menjadi
kata-kata kunci untuk mewujudkan efektivitas pembiayaan pendidikan. (W.P, 2004)
Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal, yaitu:
1. Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud di atas meliputi biaya penyediaan
sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap.
2. Biaya personal meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk
bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
3. Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud meliputi: a) gaji pendidik dan
tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang mele- kat pada gaji; b) bahan atau
peralatan pendidikan habis pakai; dan c) biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya,
air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi,
konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.

Beberapa jenis dan golongan biaya pendidikan yang dikaji dalam jurnal artikel ini sebagai
berikut:
1. Biaya langsung (direct cost) diartikan sebagai pengeluaran uang yang secara langsung
membiayai penyelenggaraan pendidikan, pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat (Anwar dan Idochi, 1991). Biaya langsung juga diartikan sebagai biaya yang
secara langsung menyentuh aspek dan proses pendidikan. Sebagai contoh biaya untuk gaji
guru dan pengadaan fasilitas belajar-mengajar (Gaffar, 1991).
Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar
peserta didik berupa pembelian alat-alat pelajaran, sarana belajar, biaya transportasi, dan gaji
guru, baik yang dikeluarkan oleh Pemerintah, orang tua, maupun peserta didik sendiri
(Fattah, 2000).
2. Selanjutnya biaya tidak langsung, berikut ini jenis-jenis biaya yang merupakan bagian dari
biaya tidak langsung (indirect cost), yaitu: 1) biaya pribadi (private cost), adalah biaya yang
dikeluarkan keluarga untuk membiayai sekolah anaknya dan termasuk di dalamnya forgone
opportunities. Dalam kaitan ini, Jones (1985) mengatakan “In the context of education these
include tuitions, fees and other expenses paid for by individuals”. Dengan kata lain, biaya
pribadi adalah biaya sekolah yang dibayar oleh keluarga atau individu; 2) biaya masyarakat
(social cost), adalah biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiayai sekolah (di
dalamnya termasuk biaya pribadi). Dalam kaitan ini, Thomas, H. Jones (1985) mengatakan
“Sometimes called public cost, the include cost of educations financed through taxation.
Most public school expenses are examples of sosial costs”. Dengan kata lain, biaya
masyarakat adalah biaya sekolah yang dibayar oleh masyarakat
3. Ketiga, monetary cost adalah semua bentuk pengeluaran dalam bentuk uang, baik langsung
maupun tidak langsung yang dikeluarkan untuk kegiatan pendidikan. Keempat. non
monetary Cost adalah semua bentuk pengeluaran yang tidak dalam bentuk uang, meskipun
dapat dinilai ke dalam bentuk uang, baik langsung maupun tidak langsung yang dikeluarkan
untuk kegiatan pendidikan, misalnya materi, waktu, tenaga, dan lain-lain.
Sumber-sumber pembiayaan pendidikan secara makro telah diatur dalam pasal 31 UUD
1945 yang mengamanatkan pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab menyediakan
anggaran pendidikan. Dipertegas lagi oleh Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
(UUSPN Tahun 2003) pasal 49 ayat (2) yang menyatakan bahwa: "Dana pendidikan selain gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)". Pembiayaan pendidikan dengan asumsi bahwa
pembiayaan pendidikan tidak boleh lepas dari kebijaksanaan keuangan negara. Juga asumsi yang
lain ialah bahwa kegiatan-kegiatan pendidikan itu adalah dalam rangka pencapai tujuan
pembangunan nasional.
Amanat undang-undang tersebut sangat terkait dengan kewajiban negara pemerintah)
terhadap warga negara untuk menjamin setiap warga negara memperoleh pendidikan yang layak
bermutu). Paling tidak hal ini bisa dilihat dari program penuntasan wajib belajar 9 tahun, yang
pada kenyataannya dalam praktek banyak masalah yang timbul berkenaan dengan pembiayaan
pendidikan. Sebagian besar masyarakat Indonesia berada dalam garis kemiskinan akibat krisis
ekonomi yang berkepanjangan, yang berimbas pada rendahnya daya beli masyarakat, termasuk
untuk menyekolahkan anaknya. Sementara pendidikan persekelohan yang bermutu
membutuhkan biaya yang mahal, sehingga hal itu hanya bisa dijangkau oleh golongan
masyarakat mampu. Sedangkan masyarakat yang kurang (tidak) mampu harus rela
menyekolahkan anaknya di sekolah- sekolah yang terjangkau, meski dengan konsekuensi mutu
rendah. (Arifi, 2008)
Peran atau kewajiban pemerintah dalam pembiayaan pendidikan terlihat dengan adanya
program BOS (Bantuan Operasional Sekolah/Madrasah), sebagaimana terjelaskan dalam buku
Panduan BOS, Pengelolaan Keuangan serta Monitoring dan EvaluasL Buku tersebut
menjelaskan tentang petunjuk pelaksanaan Bantuan Operasional Sekolah, Petunjuk Teknis
Keuangan Bantuan Operasional Sekolah, serta Petunjuk Teknis Monitoring dan Evaluasi.
Sementara keterlibatan masyarakat khususnya orang tua peserta didik) dalam pembiayaan
pendidikan, belum ada standar minimum maupun maksimum yang terikat secara yuridis.
Keterlibatan masyarakat lebih didasarkan pada kebijakan yang ada dalam Dewan Komite
Sekolah.(Arifi, 2008)
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan pendidikan sekolah dipengaruhi oleh: 1)
kenaikan harga (rising prices); 2) perubahan relatif dalam gaji guru (teacher’s sallaries); 3)
perubahan dalam populasi dan kenaikannya prosentasi anak di sekolah negeri; 4) meningkatnya
standar pendidikan (educational standards); 5) meningkatnya usia anak yang meninggalkan
sekolah; dan 6) meningkatnya tuntutan terhadap pendidikan lebih tinggi (higher education).
Terkait dengan model pembiayaan pendidikan, Amhar (dalam Wibisono, 2006)
berpendapat bahwa terdapat 4 (empat) model pembiayaan pendidikan, yaitu: 1) subsidi penuh
dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi; 2) pendidikan gratis pendidikan tinggi
diberikan kepada peserta didik sampai usia tertentu; 3) pendidikan gratis diberikan sampai SMA,
dan pendidikan tinggi tetap membayar SPP sekalipun masih menerima subsidi; dan 4) semua
jenjang pendidikan wajib membiayai diri sendiri. Penggalian sumber dana dapat diperoleh dari
upaya kerja sama dengan industri atau memanfaatkan bantuan CSR (corporate social
responsiblity), membentuk komunitas alumni, atau bersumer dari orangtua/wali peserta didik.

B. Masalah Biaya di Sekolah


Terkait dengan dikucurkannya BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sebagai tindak lanjut
dari Program Kompensasi Pengurangan (penghapusan) Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), di
mana seluruh sekolah dasar atau yang sederajat dan menengah atau yang sederajat, baik negeri
maupun swasta mendapat dana BOS." Tetapi faktanya, di luar itu (dana BOS) masih banyak
'tarikan' atau iuran-iuran lain yang cukup besar dan bervariatif di beberapa sekolah dasar yang
bermutu dengan argumentasi untuk peningkatan mutu pendidikan atau prestasi siswa. Alhasil,
masyarakat/ orang tua ibarat 'sapi perah' bagi sekolah, yang setiap saat bisa diminta sumbangan
pendidikan. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa sekolah-sekolah yang bermutu adalah
sekolah-sekolah yang mempunyai dukungan finansial besar dari masyarakat (orang tua).
Akibatnya anak-anak dari kelompok masyarakat ekonomi lemah terpaksa harus merelakan
dirinya mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah yang hanya mengandalkan subsidi
pemerintah tersebut (BOS) yang mutu pendidikannya tidak dijamin. Meski diantara mereka ada
anak yang memiliki kemampuan dasar (kecerdasan) yang baik, namun tidak diterima di sekolah
yang bermutu karena orang tuanya tidak mampu. Akibat lanjut, para luaran (output) dari sekolah
yang kurang (tidak) bermutu otomatis tidak bisa bersaing dengan anak-anak yang luaran
sekolah-sekolah yang bermutu.
Oleh sebab itu, anggaran pendidikan yang 20 % perlu disikapi secara cerdas dan profesional.
Jika tidak, malah tidak menutup kemungkinan, dengan berlimpahnya dana yang disediakan
pemerintah tersebut justru memunculkan persoalan baru, yakni mampukah sekolah-sekolah
mendistribusikan (mengalokasikan) dana yang tersedia untuk menjamin mutu pendidikan. Bagi
pengelola pendidikan tidak hanya berlomba-lomba untuk membangun sarana fisik semata, akan
tetapi juga konsep peningkatan mutu pendidikan harus jelas, terutama berkaitan dengan sumber
daya dan modal insani sekolah guru dan tenaga kependidikan yang dimilki harus menjadi
perhatian utama. (Arifi, 2008).
Pembiayaan berkaitan erat dengan kelancaran pembelajaran di sekolah, termasuk pengadaan
sarana-prasarana dan sumber belajar. Berapa banyak sekolah yang tidak dapat melakukan
kegiatan belajar-mengajar secara optimal hanya karena masalah keuangan baik untuk menggaji
guru maupun untuk pengadaan sarana dan prasarana pembelajaran. Dalam kaitan ini, meskipun
tuntutan reformasi menghendaki pendidikan yang murah dan berkualitas, namun pendidikan
yang berkualitas senantiasa memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Langkanya sumber daya dan dana untuk memenuhi kebutuhan pendidikan diperlukan
sumber daya dan dana yang mencukupi guna memenuhi kebutuhan pendidikan, seperti
penyediaan guru, gedung, buku dan sarana penganjar, beasiswa, serta biaya lainnya. Meskipun
sumber daya dan dana sudah berlipat ganda, namun akibatnya banjir murid, kebutuhan
pendidikan semakin meningkat akibatnya kemampuan sumber daya dan guna semakin menipis.
Efisiensi pendanaan pendidikan ditentukan oleh ketepatan dalam mendayagunakan anggaran
pendidikan dengan memberikan prioritas pada faktor-faktor input pendidikan yang dapat
memacu prestasi belajar peserta didik. Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah
(RAPBS) merupakan suatu rancangan pembiayaan pendidikan di sekolah dalam rangka
mengatur dan mengalokasikan dana pendidikan yang sumbernya sudah terkalkulasi jumlah dan
besarannya, baik merupakan dana rutin bantuan dari Pemerintah berupa dana bantuan opera-
sional atau dana lain yang berasal dari sumbangan masyarakat atau orang tua peserta didik.
Dalam merancang dan menyususun RAPBS ada beberapa hal yang harus diperhatikan, di
antaranya masalah efektivitas pembiayaan sebagai salah satu alat ukur efisiensi. Efektivitas
pembiayaan merupakan faktor penting yang senantiasa diperhitungkan bersamaan dengan
efisiensi. Artinya, suatu program kegiatan tidak hanya menghitung waktu yang singkat, tetapi
tidak memperhatikan anggaran yang harus dikeluarkan seperti biaya operasional dan dana
pemeliharaan sarana yang mengarah pada pemborosan. Kepala Sekolah bersama-sama guru dan
Komite Sekolah dalam menentukan anggaran pembelajaran harus berdasarkan kebutuhan yang
riil dan benar-benar sangat dibutuhkan untuk keperluan dalam rangka menunjang
penyelenggaraan proses pembelajaran yang bermutu.(W.P, 2004)
Pendidikan yang semakin mahal. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, di usahakan mutu
guru harus ditingkatkan, gaji guru, harus ditingkatkan, jumlah dan mutu buku juga harus
ditingkatkan, alat bantu pengajaran pun harus ditingkatkan pula sehingga untuk meningkatkan
mutu pendidikan tentu dibutuhkan juga peningkatan biaya pendidikan bagi setiap murid.
(Kurniawan, 2017)
Sebagian masyarakat biaya pendidikan masih dianggap mahal. Kita lihat contoh real
mengenai program Wajib Belajar Sembilan Tahun, yang sejatinya masih menjadi pekerjaan
rumah bagi kita. Karena pada kenyataannya banyak anak-anak usia sekolah yang tidak
bersekolah atau putus sekolah dengan alasan biaya. Padahal ada dana bantuan dari pusat, tapi
tetap saja ada pungutan- pungutan liar yang dilakukan sekolah berkedok kesepakatan antara
sekolah dan orang tua siswa. Tapi serta merta kita tidak bisa menyalahkan sekolah saja. Praktek
di luar, dana bantuan dari pusat tidak utuh sampai di sekolah. Entah di tingkat mana dana-dana
tersebut dipangkas oleh oknum-oknum yang terhormat. (Musyaddad, 2013)

C. Solusi Pembiayaan Pendidikan

Menurut (Prasojo, 2010) terdapat model kebijakan (Policy models) untuk memecahkan
masalah mengenai pembiayaan pendidikan. Model kebijakan (Policy models) adalah representasi
sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk
tujuan-tujuan tertentu. Model kebijakan harus ada karena sangat bermanfaat. Model kebijakan
merupakan penyederhanaan sistem masalah dengan cara mengurangi kompleksitas masalah
untuk dapat dikelola oleh para analis.
Proses analisis kebijakan menurut Carl V. Patton & David S. Sawicki (1986:25) terdiri dari
enam langkah berikut: Langkah Pertama: Verifikasi, Perumusan dan Perincian Masalah.
Perumusan masalah dianggap sebagai hal yang sulit karena ketidak jelasan tujuan yang
ditetapkan rekanan atau tujuan yang ditetapkan dalam keadaaan konflik. Kemungkinan lain
terdapat perbedaan pendapat antara rekanan dengan analis dalam proses penetapan. Dalam
melakukan proses analisis kebijakan, analis memerlukan sejumlah informasi yang dikumpulkan
dari data-data yang tersedia.
Langkah Kedua: Menetapkan Kriteria Evaluasi. Untuk melakukan perbandingan,
pengukuran dan pemilihan alternatif yang harus diputuskan diperlukan kriteria evaluasi yang
sesuai. Secara umum dipakai pengukuran atas biaya, keuntungan, efektivitas, efesiensi, keadilan,
legalitas dan akseptabilities secara politis.
Langkah Ketiga: Identifikasi Alternatif Kebijakan. Mengurutkan sejumlah alternatif yang
cocok dengan rumusan permasalahan. Hal ini juga berkaitan dengan keragaman dan berbagai
kemungkinan dari alternatif yang dipertimbangkan. Langkah Keempat: Evaluasi Kebijakan
Alternatif. Kegiatan untuk menilai kebijakan yang ditetapkan dengan berpedoman pada kriteria-
kriteria evaluasi yang ditetapkan. Langkah Kelima: Memilih Kebijakan Alternatif. Penyajian
suatu hasil akhir pemilihan atas alternatif-alternatif dengan urutan kriteria dari setiap alternatif
terpilih.
Langkah Keenam: Monitoring Dampak Kebijakan. Melihat dampak-dampak atau pengaruh-
pengaruh dari kebijakan yang ditetapkan yang kemudian diperlihatkan secara utuh.
Selanjutnya, menurut (Tius & Margareta, 2017) Pengelola pembiayaan sekolah telah
berupaya meningkatkan mutu dengan menentukan skala prioritas. Pertimbangan terkait anggaran
yang dimiliki dan prioritas pemenuhan kebutuhan sekolah dilakukan bersama seluruh
stakeholders sekolah. Mulai dari penyebaran angket kebutuhan selama satu tahun ajaran hingga
pengambilan keputusan, didiskusikan secara kekeluargaan oleh pihak- pihak terkait (Kepala
sekolah, bendahara, guru, karyawan, dan komite).

KESIMPULAN
Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Jenis-
jenis biaya langsung dan biaya tidak langsung. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan
pendidikan sekolah dipengaruhi oleh: 1) kenaikan harga (rising prices); 2) perubahan relatif
dalam gaji guru (teacher’s sallaries); 3) perubahan dalam populasi dan kenaikannya prosentasi
anak di sekolah negeri; 4) meningkatnya standar pendidikan (educational standards); 5)
meningkatnya usia anak yang meninggalkan sekolah; dan 6) meningkatnya tuntutan terhadap
pendidikan lebih tinggi (higher education). Terkait dengan model pembiayaan pendidikan,
berpendapat bahwa terdapat 4 (empat) model pembiayaan pendidikan, yaitu: 1) subsidi penuh
dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi; 2) pendidikan gratis pendidikan tinggi
diberikan kepada peserta didik sampai usia tertentu; 3) pendidikan gratis diberikan sampai SMA,
dan pendidikan tinggi tetap membayar SPP sekalipun masih menerima subsidi; dan 4) semua
jenjang pendidikan wajib membiayai diri sendiri. Penggalian sumber dana dapat diperoleh dari
upaya kerja sama dengan industri atau memanfaatkan bantuan CSR (corporate social
responsiblity), membentuk komunitas alumni, atau bersumer dari orangtua/wali peserta didik.
Masalah-masalah pendidikan, meliputi: Belum efektifnya dana BOS, kurangnya efisiensi
RAPBS, langkanya dana pendidikan, dan mahalnya biaya pendidikan.

REFERENSI
Al-busaidi, K. A. (2017). Manajemen Pembiayaan Pendidikan Menuju Pendidikan yang
Bermutu. Jurnal Ansiru, 1(45), 39.
Arifi, A. (2008). Anggaran Pendidikan dan Mutu Pendidikan. Jurnal Pendidikan Agama Islam.
Fattah, N. (2008). Pembiayaan Pendidikan: Landasan Teori dan Studi Empiris. JURNAL
Pendidikan Dasar, 9(April).
Haryati, S. (2017). Journal of Economic Education, 6(2), 114–123.
K, R. F. (2005). Pembiayaan Pendidikan di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar, 43–64.
Kurniawan, R. Y. (2017). IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI
INDONESIA UNTUK. Jurnal Pendidikan Dasar, (October 2016).
Musyaddad, K. (2013). PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI INDONESIA. Jurnal Ilmiah
Pendidikan, 4, 55–60.
Nurhadi, M. A. (2006). Desentralisasi Dan Mahalnya Biaya Pendidikan. Jurnal Manajemen
Pendidikan, 02(02), 50–58. Retrieved from
https://media.neliti.com/media/publications/114279-ID-desentralisasi-dan-mahalnya-biaya-
pendid.pdf
Prasojo, L. D. (2010). Financial Resources Sebagai Faktor Penentu. Manajemen Pendidikan,
4(2), 19–27. https://doi.org/10.1590/S1984-92302011000300002
Rahman, A. (2017). Efisiensi dalam Pembiayaan Pendidikan untuk Meningkatkan Kualitas
Pendidikan. Jurnal Eklektika, 5(April), 87–103.
Sharma, A. (2001). Literatur Review. Jurnal Kependidikan.
Syaodih, N. (2009). Metode Penelitian Pendidikan. (Vol. 26). Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. https://doi.org/10.11212/jjca1963.26.43
Tius, R., & Margareta, B. I. (2017). Strategi Perencanaan Pembiayaan Sekolah dalam
Peningkatan Mutu di SMP Negeri. Jurnal Manajemen Pendidikan, 4(2), 195–204.
Retrieved from http://ejournal.uksw.edu/kelola/article/download/1123/713
Ulpha Lisni Azhari, D. A. K. (2016). Manajemen Pembiayaan Pendidikan, Fasilitas
Pembelajaran, dan Mutu Sekolah. Jurnal Administrasi Pendidikan, XXIII(2), 26–36.
https://doi.org/10.1016/j.bbamcr.2006.10.001.ROLES
W.P, F. (2004). Cost of Education. Journal of Gastroenterologie Clinique et Biologique, 28(5),
506–507. https://doi.org/10.1016/S0399-8320(04)94976-7

Anda mungkin juga menyukai