ANALYSIS
Nama Kelompok :
1. Asih Porwandari (1451800057 / 5B)
2. Diansih Natalia (1451800072 / 5B)
3. Subekti Nurtriyani (1451800048 / 5B)
4. Putri Kartika Sari (1451800046 / 5B)
2016/2017
“Komersialisasi Pendidikan”
Keluhan bertubi-tubi datang. Orang tua mengadu tentang besarnya biaya
sekolah negeri dan swasta yang sama-sama “ganas” melakukan pungutan. Istilah
komersialisasi pendidikan marak belakangan ini. Berbeda dengan tahun lalu,
keluhan komersialisasi tahun ini lebih masif. Unjuk rasa masyarakat menggaris
bawahi keluhan orang tua.
Penegasan pemerintah, pungutan boleh dilakukan asal terkendali dan tidak
komersial, bisa kontraproduktif. Penegasan itu dianggap bukan pelarangan, tetapi
pembenaran. Sekolah negeri, juga perguruan tinggi negeri tidak kalah mahal
dibandingkan swasta. Sebagai contoh, uang penerimaan siswa baru SMA negeri
di Jakarta Timur Rp 7.375.000, sementara di SMA swasta di Jakarta pusat Rp
11.718.000. Bangku sekolah dijual belikan!
Keresahan orang tua mengingatkan para pengambil keputusan. Meski
Indonesia sudah merdeka lebih dari 60 tahun, belum pernah masalah pendidikan
ditangani serius. Belum selesai soal ujian, muncul soal buku, kurikulum,
merosotnya mutu, dan seterusnya. Memang setelah reformasi dibanding era
sebelumnya, ada langkah maju setapak. Dulu baru sebatas penegasan pentingnya
pendidikan (pengembangan SDM), sekarang penambahan alokasi 20 persen dari
total anggaran nasional. Sampai tahun ini, baru terealisasi 8 persen. Pro dan
kontra masih riuh, di antaranya daya dukung manajemen Depdiknas.
Oleh karena itu, tak perlu kaget ketika Jepang mengalokasikan anggaran
pendidikan 100 kali lipat dibanding Indonesia. Sebaliknya, harus kaget ketika
Banglades, negara kecil dan miskin, mengalokasikan anggaran 2,9 persen dari
anggaran nasional mereka; sementara Indonesia di era bersamaan hanya 1,4
persen.
Pendidikan adalah tugas masyarakat dan pemerintah. Ketika praksis
pendidikan tidak lagi dominan sebagai kegiatan sosial tetapi bisnis, hukum
dagang “ada rupa ada harga” berkembang subur. Menyelenggarakan lembaga
pendidikan serupa lembaga bisnis. Memang dari sana pula lembaga pendidikan
swasta berkembang.
Ketika pemerintah juga melakukan praktik yang sama, timbul pertanyaan,
negeri dan swasta kok sama? Lembaga-lembaga sekolah negeri ikut “ganas”
melakukan berbagai pungutan. Parodi pendidikan hanya menghasilkan air mata
memperoleh pembenaran.
Anggaran cukup bukan segala-galanya. Ketersediaan anggaran baru
memenuhi salah satu dari sekian persyaratan praksis pendidikan. Namun,
ketersediaan anggaran mencerminkan seriusnya perhatian, keberanian
memberikan prioritas, dan sesuatu yang tidak selesai hanya jadi wacana
berkepanjangan.
(Sumber: Kompas, Jum’at ,13 Juli 2007)
ANALYSIS
1. Subyek
Dalam tajuk wacana diatas Orang tua dan masyarakat berposisi sebagai
subyek.
2. Obyek
Dalam tajuk wacana diatas Pemerintah berposisi sebagai obyek yang
dituju oleh masyarakat.
Siapa: Orang tua dan juga masyarakat terhadap pemerintah dan juga
sekolah - sekolah di Indonesia.
http://mataelangdunia.blogspot.co.id/2016/07/pengertian-tajuk-rencana-
beserta.html
Kompas, Jum’at ,13 Juli 2007