RENDAH DI JAKARTA
Proposal
JURUSAN
FAKULTAS
UNIVERSITAS
2020
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Terbatasnya sekolah milik pemerintah Hindia Belanda yang kepentingannya bukan
untuk bangsa Indonesia telah membuat beberapa pihak perkumpulan atau perorangan
mendirikan sekolah swasta, seperti taman siswa, ksatrian institute, perguruan rakyat,
muhammadiyah, sarekat islam, dan paguyban pasundan. (Suharto, 2000, p. 18) Peran sekolah
swasta telah memiliki arti penting dalam perkembangan pendidikan bangsa Indonesia.
semangat yang diharapakan masyarakat Indonesia dapat mengakses pendidikan untuk semua
kalangan.
Perkembangan sekolah diera kemerdekaan Indonesia, sekolah negeri milik
pemerintah Hindia Belanda dan Jepang akhirnya dikelola oleh pemerintah Indonesia.
Sedangkan sekolah swasta lainnya tetap berjalan untuk saling melngkapi. Selanjutnya, dalam
sejarah perkembangan madrasah di Indonesia, dikenal dua jenis madrasah, madrasah diniyah
dan madrasah non-diniyah. Madrasah diniyah merupakan lembaga pendidikan keagamaan
yang kurikulum sepenuhnya materi agama. Madrasah non-diniyah mengalami perubahan
sehingga dipandang sebagai sekolah umum berciri khas Islam. (Kosim, 2007, p. 42)
Dalam perkembanganya, Departemen Agama menata dan membina madrasah adalah
percontohan dengan cara penegerian sejumlah madrasah swasta. Melalui cara ini, keberadaan
madrasah yang beranekaragam diharapkan bisa memiliki model yang sama dalam
pengembangannya. (Kosim, 2007, p. 50) diperkuat dengan Undang-undangan Sistem
Pendidikan Nasional (SNP) Nomor 20 tahun 2003 semakin memperkuat posisi madrasah. Di
antara indikatornya adalah penyebutan secara eksplisit madrasah yang selalu bersanding
dengan penyebutan sekolah, yang hal ini tak ditemukan dalam undang-undang sebelumnya.
Sedangkan, madrasah diniyah ini lebih dikenal pesantren. Dalam Undang-undang
nomor 18 tahun 2019 tentang pesantren, menjelaskan pesantren adalah lembaga yang
berbasis masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam
dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasannya. Artinya dalam
penyelenggaraannya pendidikan tersebut tidaklah dikelola oleh pemerintah daerah, ataupun
nasional. Dengan ciri khas, kurikulum sesuai dengan khas yang dimiliki pesantren. Maka dari
itu pesantren merupakan bagian dari pendidikan swasta.
2
1.2 Permasalahan
Tiga faktor utama membatasi akses ke sekolah negeri di Indonesia: keadaan geografis,
seleksi akademik dan ekonomi. Secara geografis, penyediaan sekolah negeri di Indonesia
secara komprehensif berjarak lintas jauh (Bangay, 2005, p. 171) Rendahnya hasil ujian yang
membuat kendala mengakses dari sekolah negeri, mereka akhirnya berlajut di sekolah swasta.
Sekolah swasta selain sebagai pilihan kedua, namun berbagai faktor lainnya menjadikan
pilihan pertama seperti keadaan geografis dan ekonomi. Keadaan geografis dari kemudahan
3
akses menuju sekolah dan keadaan ekonomi dari kemampuan ekonomi orang tua yang
menyekolahkan anaknya.
Menurut Asadullah dan Maliki, di Indonesia, faktor yang paling menentukan dalam
pemilihan jenis sekolah (negeri, swasta, atau madrasah) adalah sosio-ekonomi. Kalangan
masyarakat urban yang lebih terdidik dan lebih makmur cenderung menyekolahkan anaknya
di sekolah negeri dan swasta non keagamaan. Keluarga perdesaan yang lebih miskin dan
kurang terdidik cenderung menyekolahkan anak-anaknya, terutama anak perempuan, ke
madrasah. (Asadullah & Maliki, 2018, p. 24)
Berdasarkan data kebutuhan sekolah di Jakarta dan hasil peneltian Asadullah dan
Maliki. Bagi masyarakat urban di Jakarta, menyekolahkan anaknya yang tidak mendapatkan
akses di sekolah negeri, lebih memilih sekolah swasta non keagamaan.
Tujuan studi kasus ini adalah mendeskripsikan analisa new institutionalism bagi
sekolah swasta berbiaya rendah di Jakarta. Pada tahap ini, kondisi hubungan institusi antara
kebijakan pendidikan dengan arena organisasi nirlaba yaitu sekolah swasta berbiaya rendah
dianalisa new insitutionalism.
Bab 1 dalam proposal tesis ini berisi penjelasan mengenai latar belakang,
permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, dan signifikansi penelitian. Pada
dasarnya, bab ini akan menunjukkan pentingnya kajian mengenai institusi sekolah swasta
berbiaya rendah dalam pembahasannya tentang kebijakan pendidikan Indonesia dan kondisi
institusi.
BAB 2
KERANGKA PEMIKIRAN
Kondisi lokasi penelitian yang berbeda pengaruh terhadap sistem pendidikan. Akses
sekolah pada penelitaian Akaguri terjadi biaya fleksibilitas terhadap siswa. Persamaan
penelitan terjadi pada faktor biaya siswa sekolah swasta berbiaya rendah untuk
mengakomodasi siswa dengan keterjangkauan. Perbedaan lokasi peneltian difokuskan
masyarakat kota, kondisi sekolah swasta berbiaya rendah secara insititusi mampu bertahan.
Dengan jumlah pendaftar semakin sedikit peserta didik, maka penerimaan Biaya Operasional
Sekolah (BOS) juga sedikit. Faktor lainnya mengakomodasi siswa dengan keterjangkauan.
8
Disertasi karya Wong Tsz Yan, Why the popularity? A case study on a low-fee private
school in Cambodia ditemukan anggapan orang tua memiliki kualitas di sekolah swasta
berbiaya rendah. Pemerintah hanya memandang sekolah swasta berbiaya rendah sebagai
pilihan sekolah berdampak terhadap sistem pendidikan tidak signifikan. Kurangnya
mekanisme regulasi sistematis untuk memantau kualitas sekolah swasta berbiaya rendah di
wilayah tersebut. (Yan, 2013)
Pandangan terhadap kualitas, di Uganda, alasan orang tua memilih pertimbangan
lokasi yang lebih dekat dari tempat tinggal, kelas yang lebih kecil, dan hubungan murid-guru
yang lebih baik. (Eldridge, 2010). Pertimbang akses lokasi yang dekat, membuat sekolah
swasta berbiaya rendah menjadi pilihan bagi orang tua daripada sekolah negeri dengan
kondisi yang jauh. Terkadang akses penyediaan pelayanan publik tidak melihat aksesbiltas
untuk mudah dijangkau
Potensi sekolah swasta berbiaya rendah sebenarnya akan semakin berkembang pesat.
Kondisi pasar low-cost private school terjadi diantarnya, di India, menjamur sekolah kecil
yang didanai hanya dari pembayaran biaya orang tua. Dengan tingkat biaya serendah
mungkin untuk menarik pasar. (Härmä, 2011b, p. 351). Kurangannya mekanisme regulasi
terhadap sekolah swasta oleh pemerintah, sekolah swasta biasanya tidak disetujui pemerintah,
dan tidak diketahui oleh pemerintah negara bagian. (Härmä, 2011a, p. 1; Mcloughlin, 2013,
p. 7).
Berkembangnya sekolah pada penelitaian Yan terjadi sekolah swasta berbiaya rendah
sebagai pilihan dan minimnya pengawasan kualitas. Persamaan penelitan terjadi pada
regulasi yang memantau sekolah swasta berbiaya rendah. Perbedaan terdapat insititusi
mampu bertahan dengan regulasi yang ada. Secara sosiologis memandang institusi sebagai
arena pada tingkatan meso dan regulasi pada tingkatan makro
menargetkan kelompok pendapatan yang relatif lebih tinggi atau lebih rendah.
(Mcloughlin, 2013, p. 2)
Istilah “biaya rendah” dalam sekolah swasta berbiaya rendah
dioperasionalisasi: sekolah dengan menargetkan kelompok-kelompok yang kurang
beruntung; sepenuhnya membiayai sendiri melalui biaya dan membebankan biaya
bulanan tidak melebihi sekitar penghasilan satu hari dari buruh. (Srivasta 2013, p.
15) Metode untuk mendefinisikan apa sekolah swasta 'berbiaya rendah' ('sangat
murah') yaitu sebuah sekolah yang terjangkau oleh keluarga biasa atau diatas garis
kemiskinan, menggunakan proporsi tertentu dari pengeluaran mereka untuk
mengirim semua anak-anak usia sekolah ke sekolah swasta semacam itu. (Tooley
& Longfield, 2016, p. 456)
Istilah ‘biaya rendah’ adalah relatif daripada dianggap absolut, hal ini
tergantung pada konteks dan kelompok orang. Meskipun masih belum disepakati
secara universal definisi dalam literatur sesuai dengan konteks dan pendekatan
studi mereka (Srivasta 2013) Berbagai pendapat mengenai kondisi sekolah swasta
berbiaya rendah yang beragam pada konteks ini dibatasi pentingnya keterjangkuan
keluarga terhadap pilihan sekolah swasta. Bahkan, sekolah swasta ini dapat juga
tidak memberijan pembiayaan pendidikan apapun bagi siswa. Terdapat proporsi
bagi keluarga biasa atau miskin dengan pertimbangan pembiayaan. Kondisi
tertentu mungkin dapat berubah dengan pendapatan yang dimiliki keluarga.
Sekolah swasta berbiaya rendah di Indonesia, hampir selalu
memungkinkan siswa untuk mendaftar walaupun mereka tidak mampu membayar
biaya apa pun atau memberikan sumbangan apa pun. (Heyneman & Stern, 2013,
p. 5) Berdasarkan penelitian sekolah swasta berbiaya rendah di Jakarta, terdapat 9
sekolah swasta di Jakarta yang disurvei dalam penelitian ini tidak memungut
biaya pendidikan sama sekali atau hanya memungut biaya pendidikan bulanan
sebesar antara Rp30.000 hingga Rp130.000. (Rahman, 2016, p. 9).
(Heyneman & Stern, 2013, p. 6) Ada proses negosiasi mengenai pembiayaan bagi
anak (peserta didik) mereka yang di sekolah berbiaya rendah. Hal penting bagi
sekolah ini yaitu peserta didik dapat menimkati proses pendidikan yang
terjangkau.
Pada sekolah swasta berbiaya rendah di negara India, seringkali ada
fleksibilitas dalam hal biaya aktual yang dibayarkan oleh orang tua miskin. Orang
tua dan kepala sekolah melaporkan kebijakan ‘tiga untuk harga dua’ pada biaya
bulanan. (Härmä, 2009, p. 163; Tooley & Longfield, 2016, p. 447) Selanjutnya,
banyak orang tua menggunakan 'strategi tawar-menawar biaya' dan
menegosiasikan jumlah yang lebih rendah, sehingga tidak membayar biaya penuh
(Srivastava, 2008, p. 454; Tooley & Longfield, 2016, p. 447)
Di Indonesia penyediaan semua sekolah swasta dengan dana operasional
dapat digunakan untuk meringankan beberapa masalah fiskal sekolah swasta
berbiaya rendah. (Heyneman & Stern, 2013, p. 9) Pada sekolah ini, keterjangkuan
untuk agar siswa dapat menikmati proses pendidikan, dengan memungkinkan
siswa untuk mendaftar walaupun mereka tidak mampu membayar biaya apa pun
atau memberikan sumbangan apa pun. Sehingga sekolah swasta berbiaya rendah
ini dimaksudkan agar terjangkau untuk semua.
2.2.3. New Institutionalism
Menurut Nee, Institusi adalah “sistem dominan dari elemen-elemen yang
bersifat formal dan informal seperti kebiasaan, kesepakatan, norma-norma dan
kepercayaan bersama (shared beliefs), para aktor mendasarkan tindakannya ketika
memenuhi kepentingan-kepentingannya.” (Nee 2005, p. 55) Bahwa institusi
sebagai struktur sosial memiliki norma untuk tindakan kolektif yang mengatur
kepentingan masing-masing aktor dan hubungan antar mereka, karena perilaku
individu mempengaruhi individu lainnya.
Mengenai model New Institunalism, lingkungan kelembagaan
didalamnya terdapat peraturan formal yang dipantau dan dilaksanakan oleh negara
seperti mengatur hak kepemilikan, pasar, dan perusahaan. (Nee 2005, p. 56)
Mengutip Achwan, mengenau Nee menggambarkan kausal multilevel: Level
makro yaitu mekanisme formal yang mempengaruhi mekanisme informal pada
hubungan kelompok sosial dan individu. Level meso, arena organisasi ditempati
oleh semua kelompok ekonomi seperti perusahaan, kelompok bisnis, asosiasi, dan
11
organisasi nirlaba. Level mikro, kelompok sosial dan individu (Achwan, 2014, p.
60)
informal dan formal, atau dipisahkan melalui norma-norma yang berbeda (norms
opposition). (Nee 2005, p. 59)
Pada level makro mekanisme formal untuk Sistem pendidikan nasional secara
tindakan kolekti membuat partispasi masyarakat dengan membentuk level meso yaitu
organisasi nirlaba (sekolah swasta berbiaya rendah). Selanjutnya, mekanisme formal bantuan
operasional sekolah sebagai indikator secara tindakan kolektif mempengaruhi level meso
yaitu organisasi nirlaba (sekolah swasta berbiaya rendah). Terkakhir, mekanimse formal
Bantuan Opersional Sekolah secara tindakan kolektif untuk memberikan bantuan biaya pada
level meso yaitu organisasi nirlaba (sekolah swasta berbiaya rendah).
Level meso organisasi nirlaba mempengaruhi level mikro yaitu kelompok sosial
(pemilik dan pengelola) dan individu akan terjadi proses pemantauan dan penegakan norma
(aturan) antara aturan informal dan formal dalam mempengaruhi perubahan kelembagaan.
Perubahan pada kelembagaan untuk deskripsikan bertahannya organisasi nirlaba (sekolah
swasta berbiaya rendah).
14
Level mikro yaitu kelompok sosial (pemilik dan pengelola) dan individu yang
terlibat pada sekolah swasta akan terjadi sebagai berikut. Pertama, terjadinya keselarasan
(compliance) antara aturan informal dan formal dalam mempengaruhi perubahan level meso
pada kelembagaan yaitu organisasi nirlaba. Kedua ketidakselarasan (decoupling) antara
aturan informal dan formal dalam mempengaruhi perubahan level meso pada kelembagaan
yaitu organisasi nirlaba. Perubahan pada kelembagaan untuk deskripsikan bertahannya
organisasi nirlaba (sekolah swasta berbiaya rendah). Terakhir, level meso yaitu organisasi
nirlaba mempengaruhi kondisi regulasi negara dan mekanisme pasar terhadap level makro.
15
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis peneltian yang digunakan adalah studi kasus, penyeledikan studi kasus
memahami program, peristiwa, aktivitas, proses atau sekelompok individu, dengan
penggunaan prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang ditentukan. (Creswell,
2009). Menurut Stake (1995), tipe studi kasus terbagi: pertama, Instrumental memfokuskan
isu atau persoalan, kemudian memilih satu kasis terbatas untuk mengilustrasikannya. Kedua,
kolektif merupakan satu isu dipilih, tetapi beragam studi kasus untuk mengilustrasikan
isunya. Terakhir, instrinsik merupakan hanya fokus pada kasus itu sendiri. (Creswell, 2009)
Kerangka institusi ini memiliki hubungan antara bantuan operasional sekolah dengan
arena organisasi nirlaba dibalik bertahannya sekolah swasta berbiaya rendah. Penyeledikan
studi kasus dengan memahami program sebagai bantuan pendidikan, aktivitas dari program
yang diranah arena organisasasi. Dengan tipe studi kasus kolektif, dari berbagai kasus pada
institusi yang terjadi pada arena organisasi mampu menujukan bertahannya institusi. Studi
kasus memungkinkan penelitian untuk melakukan secara mendalam penyelidikan dan
memberikan informasi deskriptif.
Peneliti terkait secara langsung dan belum pernah mengenal sebelumnya informan
dalam penelitian ini. Dengan kata lain, peneliti merupakan outsider bagi informan. Hal ini
mengharuskan peneliti untuk mengidentifikasi nilai pribadi, asumsi dan bias sejak awal studi
dilakukan (Creswell, 2007). Peneliti menyadari sedapat mungkin harus menghindari
terjadinya bias. Untuk itu peneliti tetap melakukan beberapa upaya. Pertama, memposisi diri
pada lingkup sosiologi dengan mengikuti teori pada kerangka pemikiran sebelumnya. Kedua,
peneliti menempatkan institusi ini sebagaimana adanya dan bukan yang seharusnya, sesuai
dengan yang ditemukan dan terjadi di lapangan. Dalam pengumpulan data nanti peneliti
sebagai instrumen penelitian juga menggunakan alat rekam suara sebagai bukti dan alat bantu
untuk mencatat data-data yang dipaparkan oleh informan.
Isu pendidikan untuk semua memang menjadi ketertarikan peneliti dalam sosiologi
terutama isu mengenai guru, pendidikan formal, dan pendidikan non-formal. Ketertarikan
peneliti ini ada sejak hampir satu tahun terakhir sejak bekerja di sekolah. Dengan menerima
amanat sebagai wakil kepala sekolah swasta, berhubungan langsung dengan sistem kebijakan
secara internal dan eksternal. Walaupun isu sekolah swasta berbiaya rendah merupakan isu
baru dalam kajian sosiologi pendidikan, namun peneliti berusaha untuk melihat dari konteks
yang berbeda dengan berbagai kajian sebelumnya yaitu mengenai keberlanjutan insitusi.
Penentuan sejumlah sekolah swasta berbiaya rendah, pada proses ini peneiti tidak
memerlukan gatekeeper, dikarena posisi peneliti sebagai bagian dari sekolah swasta.
Sehingga cukup menemui pihak yang terkait dan mengizinkan proses peneltian di sekolah
tersebut. Setelah penentuan sekolah, proses obervasi non partisipan, untuk mengamati kondisi
lapangan. Hal ini digunakan untuk memverifikasi indikator yang telah ditentukan dan
17
pemahan terhadap objek. Selanjutnya, proses wawacana cara dengan informan yang
ditentukan.
Bulan
No
Kegiatan Penelitian April Mei Juni
.
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Seminar tesis
2 Revisi tesis
3 Permohonan izin peneltian
4 Pemberian izin peneltian
5 Dokumentasi
6 Obervasi non partisipan
7 Wawancara
8 Teknik analisa data
9 penyusunan laporan
Sumber: olahan penelti
Kerangka institusi ini memiliki hubungan antara kebijakan pendidikan dengan arena
organisasi nirlaba dibalik bertahannya sekolah swasta berbiaya rendah menempatkan
beberapa ranah bantuan pendidikan menempatkan sebagai regulasi formal, struktur, dan
tingkatan makro. Sekolah swasta sebagai arena merupakan organisasi nirlaba berinteraksi
antarorganisasi sekolah dan kebijkan pendidikan menempatkan sebagai institusi dan
tingkatan meso. Pemilik dan pengelola sekolah swasta sebagai aktor yang saling berinterkasi
sebagai aturan informal dan tingkatan mikro.
Ahmed, M., & Govinda, R. (2010). Introduction: Universal primary education in South Asia:
A right that remains elusive. Prospects, 40(3), 321–335.
https://doi.org/10.1007/s11125-010-9165-3
Asadullah, M. N., & Maliki. (2018). Madrasah for girls and private school for boys? The
determinants of school type choice in rural and urban Indonesia. International Journal
of Educational Development, 62(11362), 96–111.
https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2018.02.006
Brinton, M. C., & Nee, V. (Eds.). (1998). New Institutionalism in Sociology. Russel Sage
Foundation.
Creswell, J. W. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design Choosing among Five
Approaches (Second). Sage Publication Inc.
Daka, H., & Kapambwe, M. (2018). Sustainability and Accessibility of Private Schools in
Zambia: Experiences of Low-Cost Private Primary Schools In Lusaka’s Peri-Urban
Areas. Journal Positive Psychology and Counselling, 2(2).
Härmä, J. (2009). Can choice promote education for All? Evidence from growth in private
18
primary schooling in India. Compare, 39(2), 151–165.
Härmä, J. (2011a). Lagos Private School Census 2010–11 Report. In Education Sector
Support Programme in Nigeria (ESSPIN).
Härmä, J. (2011b). Low cost private schooling in India: Is it pro poor and equitable?
International Journal of Educational Development, 31(4), 350–356.
https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2011.01.003
Heyneman, S. P., & Stern, J. M. B. (2013). Low cost private schools for the poor: What
public policy is appropriate? International Journal of Educational Development, 35,
3–15. http://dx.doi.org/10.1016/j.ijedudev.2013.01.002
Rahman, M. A. (2016). Sekolah Swasta Berbiaya Rendah Sebuah Studi Kasus di Jakarta.
Smelser, N. J., & Swedberg, R. (Eds.). (2005). The Handbook Of Economic Sociology
(Second). Rus. http://books.google.com/books?id=2ZAV5fCs1NcC&pgis=1
Stern, J. M. B., & Smith, T. M. (2016). Private secondary schools in Indonesia: What is
driving the demand? International Journal of Educational Development, 46, 1–11.
https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2015.11.002
Suharto. (2000). Pendidikan Swasta di Indonesia pada masa kolonial studi kasus: sekolah
pasundan, 1922-1942.
19
Tooley, J., & Dixon, P. (2005). Private Education Is Good for the Poor: A Study of Private
Schools Serving the Poor in Low-Income Countries. Cato Institute.
https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2
Tooley, J., Dixon, P., & Stanfield, J. (2008). Impact of free primary education in kenya: A
case study of private schools in Kibera. Educational Management Administration and
Leadership, 36(4), 449–469. https://doi.org/10.1177/1741143208095788
Walford, G. (2011). Low-fee private schools in England and in less economically developed
countries. What can be learnt from a comparison? Compare, 41(3), 401–413.
https://doi.org/10.1080/03057925.2010.542033
Woodhead, M., Frost, M., & James, Z. (2013). Does growth in private schooling contribute to
Education for All? Evidence from a longitudinal, two cohort study in Andhra Pradesh,
India. International Journal of Educational Development, 33(1), 65–73.
https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2012.02.005
Yan, W. T. (2013). Why the popularity? A case study on a low-fee private school in
Cambodia. University of Hong Kong.
20
Pedoman observasi
21
Pedomana wawancara
22
6 Menerima siswa walaupun tidak membayar Bila menerima penghasilan rendah, apakah menerima siswa dengan kriteria: gratis
(tanpa uang pendaftaran dan bulanan), sebagaian (tanpa uang pendaftaran atau
bulanan), atau beasiswa ?
23
Pedomana wawancara
24
6 Pemantauan Norma Bagaimana pengeolaan BOS untuk disekolah ini ?
5 Decoupling dan Coupling Bagaimana pengelolaan dana BOS di sekolah ? terdapat kendala dan kemudahan seperti
apa ? mengikuti alokasi sesuai kebijakan atau menyesuaikan kondisi sekolah ?
7 Regulasi Negara Bagaimana dengan pelaporan BOS sekarang ?
25
Pedomana wawancara
26