Anda di halaman 1dari 27

ANALISA NEW INSTITUTIONALISM DALAM SEKOLAH SWASTA BERBIAYA

RENDAH DI JAKARTA

Proposal

JURUSAN
FAKULTAS
UNIVERSITAS
2020
1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang
Terbatasnya sekolah milik pemerintah Hindia Belanda yang kepentingannya bukan
untuk bangsa Indonesia telah membuat beberapa pihak perkumpulan atau perorangan
mendirikan sekolah swasta, seperti taman siswa, ksatrian institute, perguruan rakyat,
muhammadiyah, sarekat islam, dan paguyban pasundan. (Suharto, 2000, p. 18) Peran sekolah
swasta telah memiliki arti penting dalam perkembangan pendidikan bangsa Indonesia.
semangat yang diharapakan masyarakat Indonesia dapat mengakses pendidikan untuk semua
kalangan.
Perkembangan sekolah diera kemerdekaan Indonesia, sekolah negeri milik
pemerintah Hindia Belanda dan Jepang akhirnya dikelola oleh pemerintah Indonesia.
Sedangkan sekolah swasta lainnya tetap berjalan untuk saling melngkapi. Selanjutnya, dalam
sejarah perkembangan madrasah di Indonesia, dikenal dua jenis madrasah, madrasah diniyah
dan madrasah non-diniyah. Madrasah diniyah merupakan lembaga pendidikan keagamaan
yang kurikulum sepenuhnya materi agama. Madrasah non-diniyah mengalami perubahan
sehingga dipandang sebagai sekolah umum berciri khas Islam. (Kosim, 2007, p. 42)
Dalam perkembanganya, Departemen Agama menata dan membina madrasah adalah
percontohan dengan cara penegerian sejumlah madrasah swasta. Melalui cara ini, keberadaan
madrasah yang beranekaragam diharapkan bisa memiliki model yang sama dalam
pengembangannya. (Kosim, 2007, p. 50) diperkuat dengan Undang-undangan Sistem
Pendidikan Nasional (SNP) Nomor 20 tahun 2003 semakin memperkuat posisi madrasah. Di
antara indikatornya adalah penyebutan secara eksplisit madrasah yang selalu bersanding
dengan penyebutan sekolah, yang hal ini tak ditemukan dalam undang-undang sebelumnya.
Sedangkan, madrasah diniyah ini lebih dikenal pesantren. Dalam Undang-undang
nomor 18 tahun 2019 tentang pesantren, menjelaskan pesantren adalah lembaga yang
berbasis masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam
dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasannya. Artinya dalam
penyelenggaraannya pendidikan tersebut tidaklah dikelola oleh pemerintah daerah, ataupun
nasional. Dengan ciri khas, kurikulum sesuai dengan khas yang dimiliki pesantren. Maka dari
itu pesantren merupakan bagian dari pendidikan swasta.
2

Sekolah swasta merupakan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat


atau yayasan yang berbadan hukum. Sekolah swasta berbentuk independen artinya dalam
penyelenggaraannya sekolah tersebut tidaklah dikelola oleh pemerintah daerah, ataupun
nasional seperti sekolah negeri. Isu global mengenai sekolah swasta sebagai pendidikan untuk
semua masyarakat mengalami perdebatan. Inti dari debat ini mengenai pertanyaan yang
disengketakan tentang apakah sekolah dengan menyediakan pendidikan berkualitas,
menjangkau kelompok yang kurang beruntung.(Mcloughlin, 2013, p. 3)
Pendidikan swasta sering dianggap hanya peduli dengan melayani kelas elit atau
menengah, bukan untuk kalangan miskin. Temuan lain pada studi yang dilakukan dua tahun
di India, Ghana, Nigeria, dan Kenya menunjukkan bahwa kesimpulan tersebut tidak
beralasan. Sekolah swasta ternyata memainkan peran penting dalam menjangkau kaum
miskin dan memenuhi kebutuhan pendidikan.(Tooley & Dixon, 2005, p. 1) Sekolah swasta
untuk orang miskin telah menjadi kenyataan yang berbeda di hampir semua negara
berkembang. Bahkan, menurut Save The Children (2002) di Pakistan dan Nepal, ada banyak
sekolah swasta yang melayani untuk kelompok berpenghasilan rendah, baik di daerah
perkotaan dan pedesaan. (Heyneman & Stern, 2013, p. 5)
Mayoritas sekolah swasta di Indonesia terbagi dalam dua kategori besar: sekolah
agama atau sekolah madrasah, dan sekolah swasta didirikan oleh nirlaba yang dikenal sebagai
yayasan. (Bangay, 2005, p. 170) Hadirnya sekolah swasta berbiaya rendah sangat
berhubungan erat dengan semangat yang dibawa oleh pemrakarsa ini. Alasan penting yang
melatarbelakangi tindakan pendiri sekolah karena mereka ingin menyediakan pendidikan
yang terjangkau untuk rumah tangga miskin di lingkungan mereka.(Rahman, 2016, p. 7)
Anggapan sekolah swasta untuk kalangan elit saja tidaklah diterima sepenuhnya. Karena
kehadiran sekolah swasta berbiaya rendah sebagai pelengkap adanya pendidikan formal.
Bahwa sekolah swasta yang independent tidak terikat oleh pihak manapun.

1.2 Permasalahan

Tiga faktor utama membatasi akses ke sekolah negeri di Indonesia: keadaan geografis,
seleksi akademik dan ekonomi. Secara geografis, penyediaan sekolah negeri di Indonesia
secara komprehensif berjarak lintas jauh (Bangay, 2005, p. 171) Rendahnya hasil ujian yang
membuat kendala mengakses dari sekolah negeri, mereka akhirnya berlajut di sekolah swasta.
Sekolah swasta selain sebagai pilihan kedua, namun berbagai faktor lainnya menjadikan
pilihan pertama seperti keadaan geografis dan ekonomi. Keadaan geografis dari kemudahan
3

akses menuju sekolah dan keadaan ekonomi dari kemampuan ekonomi orang tua yang
menyekolahkan anaknya.

Berdasarkan data, terlihat perbandingan pada tabel 1.2. kebutuhan penyelenggara


pendidikan yang disediakan di Jakarta. Kebutuhan penyelenggara pendidikan hadir tidak
mungkin tanpa permintaan.

Tabel 1.2. Data penyelenggara pendidikan di Jakarta

Sekolah Sekolah Madrasah Madrasah Pesantre


Provinsi
Negeri Swasta Negeri Swasta n
DKI Jakarta 1.960 2.656 86 1753 102
Sumber:

https://dapo.dikdasmen.kemdikbud.go.id/sp diakses pada 2 maret 2020


http://emispendis.kemenag.go.id/dashboard/?content=data-statistik diakses pada 2 maret
2020 https://ditpdpontren.kemenag.go.id/pdpp/statistik diakses pada 2 maret 2020

Menurut Asadullah dan Maliki, di Indonesia, faktor yang paling menentukan dalam
pemilihan jenis sekolah (negeri, swasta, atau madrasah) adalah sosio-ekonomi. Kalangan
masyarakat urban yang lebih terdidik dan lebih makmur cenderung menyekolahkan anaknya
di sekolah negeri dan swasta non keagamaan. Keluarga perdesaan yang lebih miskin dan
kurang terdidik cenderung menyekolahkan anak-anaknya, terutama anak perempuan, ke
madrasah. (Asadullah & Maliki, 2018, p. 24)
Berdasarkan data kebutuhan sekolah di Jakarta dan hasil peneltian Asadullah dan
Maliki. Bagi masyarakat urban di Jakarta, menyekolahkan anaknya yang tidak mendapatkan
akses di sekolah negeri, lebih memilih sekolah swasta non keagamaan.

Hubungan akses terbatasnya akses sekolah negeri dan berkembangnya sekolah


swasta. Pertumbuhan lembaga pendidikan swasta berkualitas rendah untuk menyerap
permintaan pendidikan yang tidak dipenuhi oleh sekolah negeri dan institusi pendidikan
tinggi. (Rosser, 2018, p. 12) Sekolah swasta telah meningkatkan akses ke pendidikan dengan
menyediakan peluang bagi siswa yang tidak dapat mendaftar di sekolah negeri. (Stern &
Smith, 2016, p. 9) Berkembangannya sekolah swasta yang semakin tinggi berpengaruh pada
terhadap kondisi permintaan, hal tersebut untuk memenuhi akses siswa yang tidak mampu
mengakses sekolah negeri.
4

Kepemilikikan sekolah swasta di Indonesia, beberapa yayasan dengan cakupan


nasional memiliki basis pendanaan yang kuat dan mengelola banyak sekolah. Lain halnya
yayasan kecil yang dikelola keluarga yang dikelola lokal mengelola satu sekolah dengan
anggaran yang sedikit uang. (Bangay, 2005, p. 170) Kasus di negara mana pun di mana
sekolah swasta melayani orang miskin. Beberapa sekolah memanfaatkan pensiun pendiri atau
dari keuntungan pendiri dari kegiatan komersial, memberikan bukti bahwa sekolah-sekolah
ini bertindak lebih seperti badan amal atau lembaga filantropi. (Heyneman & Stern, 2013, p.
7) Semangat dari kepemilikan sekolah swasta sebagai pendidikan alternatif yang mengarah
pada keterjangkauan masyarakat. Maka tidak heran Yayasan-yayasan kecil yang berkembang
di sekolah swasta sebenarnya sebagai bentuk kehadiran semangat keterjangkaun pendidikan
formal agar mudah diakses bagi masyarakat.
Semua sekolah swasta harus dijalankan oleh yayasan swasta (lebih dikenal sebagai
yayasan). Yayasan ini memberikan berbagai dukungan dan bimbingan ke sekolah mereka, hal
inilah yang dapat menyebabkan perbedaan dalam pendanaan sekolah swasta dan
infrastruktur. (Stern & Smith, 2016, p. 2) Yayasan sebagai pemilik sekolah memberikan
berbagai dukungan, peran serta ini seperti bagi siswa yang tidak mampu membayar biaya
tetap diberikan akses sekolah yang umumnya terjadi pada sekolah swasta berbiaya rendah di
Indonesia. Peranan dukungan dalam kebijakan yang dilakukan Yayasan terhadap sekolah
mereka sebenarnya untuk keterjangkauan pendidikan bagi masyarakat. Diharapakan proses
partisipasi masyarakat mengakses sekolah mereka dari antusias proses pendafataran siswa.

Beberapa kasus sekolah swasta berbiaya rendah, di Lusaka Peri, Zambia,


keberlanjutan dari banyak sekolah dasar swasta berbiaya rendah tampaknya terancam dengan
kendala keuangan dan penutupan jika tidak ada langkah-langkah yang tepat dilakukan.”
(Daka & Kapambwe, 2018, p. 47) Di Kiberia, Kenya, penutupan sekolah karena anggaran
sangat ketat dan kehilangan sejumlah kecil anak membuat tidak layak secara finansial.
(Tooley et al., 2008, p. 459) Aspek nirlaba yang keberlanjutan ini berhadap pada kemandirian
dana pada sekolah swasta berbiaya rendah.

Kondisi sekolah swasta di Indonesia khususnya di Jakarta tergantung pada


kepemilikian yang dikelola secara cakupan besar atau kecil. Hadirnya sekolah tersebut yang
bertujuan mengakomodir siswa yang tidak memperoleh akses di sekolah negeri. Pada proses
pendaftaran di sekolah swasta cenderung berpengaruh pada jumlah peserta didik. Dengan
jumlah pendaftar semakin sedikit peserta didik, namun bentuk dukungan sekolah swasta
berbiaya rendah dalam mengakomodasi siswa keterjakuan menjadi faktor juga.
5

1.3 Pertanyaan Penelitian


Bagaimana institusi sekolah swasta berbiaya rendah mampu bertahan di Jakarta?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan studi kasus ini adalah mendeskripsikan analisa new institutionalism bagi
sekolah swasta berbiaya rendah di Jakarta. Pada tahap ini, kondisi hubungan institusi antara
kebijakan pendidikan dengan arena organisasi nirlaba yaitu sekolah swasta berbiaya rendah
dianalisa new insitutionalism.

1.5 Signifikasi Peneltian


1.6.1 Signifikasi Akademis
Pada studi sebelumnya mengenai sekolah swasta berbiaya rendah lebih dipandang
kualitas, akses, keterjangkauan dan keberlanajutan bagi masyarakat berpenghasilan
rendah. Penelitian berbeda dengan pendekatan penelitian sosial, yaitu dengan new
institutionalism terhadap sekolah swasta berbiaya rendah mampu bertahan dengan
kondisi minimal secara indikator standar nasional pendidikan. Sehingga studi kasus ini
memungkinkan munculnya bertahannya insitusi lainnya ini yang berada di daerah
lainnya.
1.6.2 Signifikasi Praktis
Kebijakan pendidikan gratis yang telah ditetapkan pemerintah sebenarnya berlaku
bagi mereka yang diterima pada sekolah negeri. Hadirnya sekolah swasta berbiaya
rendah di tengah kota sebagai pendidikan alternatif dan keterjangkauan sebenarnya
membantu bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pada studi kasus ini diharapkan
menjadi refleksi kebijakan pendidikan, khusunya sekolah berbiaya rendah lainnya yang
ada berbagai tempat di Indonesia.
Diperikirakan hasil penelitian melihat kondisi bertahannya institusi sekolah swasta
berbiaya rendah pendidikan ditengah kota. Harapan bagi negara dapat membantu
mempromosikan keberlanjutan sekolah swasta berbiaya rendah untuk tetap bertahan
dalam upaya mereka untuk melengkapi dan mempromosikan akses ke pendidikan yang
berkualitas tetapi terjangkau bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah
6

1.6 Sistematika Penulisan

Bab 1 dalam proposal tesis ini berisi penjelasan mengenai latar belakang,
permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, dan signifikansi penelitian. Pada
dasarnya, bab ini akan menunjukkan pentingnya kajian mengenai institusi sekolah swasta
berbiaya rendah dalam pembahasannya tentang kebijakan pendidikan Indonesia dan kondisi
institusi.

Selanjutnya, bab 2 membahas mengenai tinjauan pustaka membahas mengenai


sekolah swasta berbiaya rendah. Beberapa kritik terhadap studi sebelumnya dan kritik
tersebut dijadikan sebagai acuan untuk melakukan penelitian ini. Selain itu, bab ini juga
berisi kerangka konseptual sebagai bingkai dalam alur pemikiran proposal tesis ini.

Bab 3 menjelaskan mengenai metodologi penelitian yang digunakan. Bab ini


menguraikan metode yang sesuai untuk kajian institusi dan bagaimana hubungan antar
institusi mempengaruhinya. Metode penelitian ini adalah metode kualitatif yang akan
memberikan deskripsi data dan analisis mendalam.
7

BAB 2

KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Pustaka


Berdasarkan beberapa hasil penelitian mengenai sekolah swasta berbiaya rendah.
Disertasi karya Luke Akaguri, Household Choice of Schools in Rural Ghana: Exploring the
Contribution and Limits of Low-Fee Private Schools to Education for All ditemukan sekolah
swasta berbiaya rendah mungkin diakses oleh latar belakang sosial ekonomi yang lebih baik,
minoritas rumah tangga miskin memilih pendidikan swasta dengan biaya fleksibel. Namun
demikian, membayar uang sekolah dan biaya sekolah lainnya tidak dapat dipertahankan oleh
orang miskin karena pendapatan yang rendah. (Akaguri, 2011)
Di India secara kebijakan pada tahun 2009, mengadopsi Undang-Undang Hak atas
Pendidikan, untuk desa atau kota dengan mengharuskan 25% tempat kelas sekolah swasta
ditawarkan kepada anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah. (Ahmed & Govinda,
2010, p. 327) Menurut Härmä, sekolah swasta berbiaya rendah dengan analisa pendapatan
sebagai ukuran kemiskinan, pada penghasilan tetap dari variabel kontrol: pekerjaan keluarga
terbukti tidak signifikan. (Härmä, 2011b, p. 355)
Sekolah swasta menjangkau orang miskin.(Tooley et al., 2008; Woodhead et al.,
2013) Pengaruh penghasilan tidak menjadi minat masyarakat miskin untuk mengakses
sekolah tersebut. Permintaan hadir dari sejumlah individu, kelompok-kelompok kecil dan
organisasi non-pemerintah untuk menyediakan sekolah bagi mereka yang tidak mampu
membayar biaya tinggi dari sekolah elit. (Walford, 2011, p. 402). Faktor harga dari keluarga
dengan pendapatan miskin tidak mempengaruhi minat untuk mengakses, ditambah lagi
penyediaan ini sebagai pilihan anggapan bahwa ketersediaan sekolah swasta bukan hanya
untuk kalangan elit saja.

Kondisi lokasi penelitian yang berbeda pengaruh terhadap sistem pendidikan. Akses
sekolah pada penelitaian Akaguri terjadi biaya fleksibilitas terhadap siswa. Persamaan
penelitan terjadi pada faktor biaya siswa sekolah swasta berbiaya rendah untuk
mengakomodasi siswa dengan keterjangkauan. Perbedaan lokasi peneltian difokuskan
masyarakat kota, kondisi sekolah swasta berbiaya rendah secara insititusi mampu bertahan.
Dengan jumlah pendaftar semakin sedikit peserta didik, maka penerimaan Biaya Operasional
Sekolah (BOS) juga sedikit. Faktor lainnya mengakomodasi siswa dengan keterjangkauan.
8

Disertasi karya Wong Tsz Yan, Why the popularity? A case study on a low-fee private
school in Cambodia ditemukan anggapan orang tua memiliki kualitas di sekolah swasta
berbiaya rendah. Pemerintah hanya memandang sekolah swasta berbiaya rendah sebagai
pilihan sekolah berdampak terhadap sistem pendidikan tidak signifikan. Kurangnya
mekanisme regulasi sistematis untuk memantau kualitas sekolah swasta berbiaya rendah di
wilayah tersebut. (Yan, 2013)
Pandangan terhadap kualitas, di Uganda, alasan orang tua memilih pertimbangan
lokasi yang lebih dekat dari tempat tinggal, kelas yang lebih kecil, dan hubungan murid-guru
yang lebih baik. (Eldridge, 2010). Pertimbang akses lokasi yang dekat, membuat sekolah
swasta berbiaya rendah menjadi pilihan bagi orang tua daripada sekolah negeri dengan
kondisi yang jauh. Terkadang akses penyediaan pelayanan publik tidak melihat aksesbiltas
untuk mudah dijangkau
Potensi sekolah swasta berbiaya rendah sebenarnya akan semakin berkembang pesat.
Kondisi pasar low-cost private school terjadi diantarnya, di India, menjamur sekolah kecil
yang didanai hanya dari pembayaran biaya orang tua. Dengan tingkat biaya serendah
mungkin untuk menarik pasar. (Härmä, 2011b, p. 351). Kurangannya mekanisme regulasi
terhadap sekolah swasta oleh pemerintah, sekolah swasta biasanya tidak disetujui pemerintah,
dan tidak diketahui oleh pemerintah negara bagian. (Härmä, 2011a, p. 1; Mcloughlin, 2013,
p. 7).
Berkembangnya sekolah pada penelitaian Yan terjadi sekolah swasta berbiaya rendah
sebagai pilihan dan minimnya pengawasan kualitas. Persamaan penelitan terjadi pada
regulasi yang memantau sekolah swasta berbiaya rendah. Perbedaan terdapat insititusi
mampu bertahan dengan regulasi yang ada. Secara sosiologis memandang institusi sebagai
arena pada tingkatan meso dan regulasi pada tingkatan makro

2.2 Konsep Teori


2.2.1. Definisi Sekolah Swasta Berbiaya Rendah
Sekolah swasta berbiaya rendah dikenal 'low-fee' ​atau 'low-cost' diberbagai
negara ditujukan untuk target pasar ke beberapa keluarga termiskin. Dengan
kondisi keluarga hanya mampu menghabiskan sejumlah kecil uang untuk sekolah
anak-anak mereka. (Walford, 2011, p. 401) Kategori sekolah swasta berbiaya
rendah: pertama, beroperasi dengan motif beragam dan campuran (agama,
filantropi, nirlaba). Kedua, skala yang berbeda (dari pengusaha perorangan, ke
pengaturan kecil, hingga rantai nasional dan internasional). Dan, Ketiga,
9

menargetkan kelompok pendapatan yang relatif lebih tinggi atau lebih rendah.
(Mcloughlin, 2013, p. 2)
Istilah “biaya rendah” dalam sekolah swasta berbiaya rendah
dioperasionalisasi: sekolah dengan menargetkan kelompok-kelompok yang kurang
beruntung; sepenuhnya membiayai sendiri melalui biaya dan membebankan biaya
bulanan tidak melebihi sekitar penghasilan satu hari dari buruh. (Srivasta 2013, p.
15) Metode untuk mendefinisikan apa sekolah swasta 'berbiaya rendah' ​('sangat
murah') yaitu sebuah sekolah yang terjangkau oleh keluarga biasa atau diatas garis
kemiskinan, menggunakan proporsi tertentu dari pengeluaran mereka untuk
mengirim semua anak-anak usia sekolah ke sekolah swasta semacam itu. (Tooley
& Longfield, 2016, p. 456)
Istilah ‘biaya rendah’ adalah relatif daripada dianggap absolut, hal ini
tergantung pada konteks dan kelompok orang. Meskipun masih belum disepakati
secara universal definisi dalam literatur sesuai dengan konteks dan pendekatan
studi mereka (Srivasta 2013) Berbagai pendapat mengenai kondisi sekolah swasta
berbiaya rendah yang beragam pada konteks ini dibatasi pentingnya keterjangkuan
keluarga terhadap pilihan sekolah swasta. Bahkan, sekolah swasta ini dapat juga
tidak memberijan pembiayaan pendidikan apapun bagi siswa. Terdapat proporsi
bagi keluarga biasa atau miskin dengan pertimbangan pembiayaan. Kondisi
tertentu mungkin dapat berubah dengan pendapatan yang dimiliki keluarga.
Sekolah swasta berbiaya rendah di Indonesia, hampir selalu
memungkinkan siswa untuk mendaftar walaupun mereka tidak mampu membayar
biaya apa pun atau memberikan sumbangan apa pun. (Heyneman & Stern, 2013,
p. 5) Berdasarkan penelitian sekolah swasta berbiaya rendah di Jakarta, terdapat 9
sekolah swasta di Jakarta yang disurvei dalam penelitian ini tidak memungut
biaya pendidikan sama sekali atau hanya memungut biaya pendidikan bulanan
sebesar antara Rp30.000 hingga Rp130.000. (Rahman, 2016, p. 9).

2.2.2. Sekolah swasta berbiaya rendah di Indonesia


Kondisi beberapa sekolah tidak dapat menutupi semua biayanya dengan
dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan pada aturanya berakhir pada
membebankan biaya atau meminta sumbangan. Namun, sekolah-sekolah ini
hampir selalu memungkinkan siswa untuk mendaftar walaupun mereka tidak
mampu membayar biaya apa pun atau memberikan sumbangan apa pun.
10

(Heyneman & Stern, 2013, p. 6) Ada proses negosiasi mengenai pembiayaan bagi
anak (peserta didik) mereka yang di sekolah berbiaya rendah. Hal penting bagi
sekolah ini yaitu peserta didik dapat menimkati proses pendidikan yang
terjangkau.
Pada sekolah swasta berbiaya rendah di negara India, seringkali ada
fleksibilitas dalam hal biaya aktual yang dibayarkan oleh orang tua miskin. Orang
tua dan kepala sekolah melaporkan kebijakan ‘tiga untuk harga dua’ pada biaya
bulanan. (Härmä, 2009, p. 163; Tooley & Longfield, 2016, p. 447) Selanjutnya,
banyak orang tua menggunakan 'strategi tawar-menawar biaya' dan
menegosiasikan jumlah yang lebih rendah, sehingga tidak membayar biaya penuh
(Srivastava, 2008, p. 454; Tooley & Longfield, 2016, p. 447)
Di Indonesia penyediaan semua sekolah swasta dengan dana operasional
dapat digunakan untuk meringankan beberapa masalah fiskal sekolah swasta
berbiaya rendah. (Heyneman & Stern, 2013, p. 9) Pada sekolah ini, keterjangkuan
untuk agar siswa dapat menikmati proses pendidikan, dengan memungkinkan
siswa untuk mendaftar walaupun mereka tidak mampu membayar biaya apa pun
atau memberikan sumbangan apa pun. Sehingga sekolah swasta berbiaya rendah
ini dimaksudkan agar terjangkau untuk semua.
2.2.3. New Institutionalism
Menurut Nee, Institusi adalah “sistem dominan dari elemen-elemen yang
bersifat formal dan informal seperti kebiasaan, kesepakatan, norma-norma dan
kepercayaan bersama (shared beliefs), para aktor mendasarkan tindakannya ketika
memenuhi kepentingan-kepentingannya.” (Nee 2005, p. 55) Bahwa institusi
sebagai struktur sosial memiliki norma untuk tindakan kolektif yang mengatur
kepentingan masing-masing aktor dan hubungan antar mereka, karena perilaku
individu mempengaruhi individu lainnya.
Mengenai model New Institunalism, lingkungan kelembagaan
didalamnya terdapat peraturan formal yang dipantau dan dilaksanakan oleh negara
seperti mengatur hak kepemilikan, pasar, dan perusahaan. (Nee 2005, p. 56)
Mengutip Achwan, mengenau Nee menggambarkan kausal multilevel: Level
makro yaitu mekanisme formal yang mempengaruhi mekanisme informal pada
hubungan kelompok sosial dan individu. Level meso, arena organisasi ditempati
oleh semua kelompok ekonomi seperti perusahaan, kelompok bisnis, asosiasi, dan
11

organisasi nirlaba. Level mikro, kelompok sosial dan individu (Achwan, 2014, p.
60)

Diagram 2.1 Model New Institutionalsm

Sumber: (Achwan, 2014, p. 59; Nee 2005, p. 56)

Mengenai new institusionlsm ini melihat kembali ide tentang rasionalitas


yang terikat dengan konteks social. Nee memfokuskan pemikirannya pada
persoalan keselarasan (compliance) dan ketidakselarasan (decoupling) antara
aturan informal dan formal dalam mempengaruhi perubahan kelembagaan
(Brinton & Nee, 1998, p. xv) lingkungan kelmbangaan terdapat insentif dan
disinsentif, dalam kombinasi dengan minat, kebutuhan, dan preferensi individu,
memengaruhi apakah norma dan jaringan memunculkan kaitan erat antara aturan
12

informal dan formal, atau dipisahkan melalui norma-norma yang berbeda (norms
opposition). (Nee 2005, p. 59)

2.3 Kerangka Pemikiran:


Mengacu pada konsep teori, sekolah swasta berbiaya rendah terdapat istilah ‘biaya
rendah’ adalah relatif daripada dianggap absolut, hal ini tergantung pada konteks dan
kelompok orang. Sesuai dengan konteks dan pendekatan studi mereka Pembatasan ini dilihat
dari keterjangkuan keluarga terhadap pilihan sekolah swasta. Bahkan sekolah swasta ini
cederung membebaskan pembiayaan bagi siswa.
Keterjangkuan untuk agar siswa dapat menikmati proses pendidikan adalah konsep
utama. Dalam konsep sekolah swasta berbiaya rendah di Indonesia, kondisi siswa tidak
mampu membayar atau memberikan sumbangan apapun. Biasnya seperti kebijakan afirmatif
untuk kondisi siswa tertentu, seperti siswa miskin, siswa tanpa orang tua, siswa diberikan
keringan pembiayaan, dan lain-lainnya.
Kerangka institusi ini memiliki hubungan antara kebijakan pendidikan dengan arena
organisasi nirlaba dibalik bertahannya sekolah swasta berbiaya rendah menempatkan
kebijakan pendidikan Indonesia dari bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah
menempatkan sebagai regulasi formal, struktur, dan tingkatan makro. Sekolah swasta sebagai
arena merupakan organisasi nirlaba berinteraksi antarorganisasi sekolah menempatkan
sebagai institusi dan tingkatan meso. Pemilik, pengelola, dan individu yang terlibat pada
sekolah swasta sebagai aktor yang saling berinterkasi sebagai aturan informal dan tingkatan
mikro.

Diagram 2.2 Model Kerangka berfikir


13

Sumber: olahan penulis

Pada level makro mekanisme formal untuk Sistem pendidikan nasional secara
tindakan kolekti membuat partispasi masyarakat dengan membentuk level meso yaitu
organisasi nirlaba (sekolah swasta berbiaya rendah). Selanjutnya, mekanisme formal bantuan
operasional sekolah sebagai indikator secara tindakan kolektif mempengaruhi level meso
yaitu organisasi nirlaba (sekolah swasta berbiaya rendah). Terkakhir, mekanimse formal
Bantuan Opersional Sekolah secara tindakan kolektif untuk memberikan bantuan biaya pada
level meso yaitu organisasi nirlaba (sekolah swasta berbiaya rendah).

Level meso organisasi nirlaba mempengaruhi level mikro yaitu kelompok sosial
(pemilik dan pengelola) dan individu akan terjadi proses pemantauan dan penegakan norma
(aturan) antara aturan informal dan formal dalam mempengaruhi perubahan kelembagaan.
Perubahan pada kelembagaan untuk deskripsikan bertahannya organisasi nirlaba (sekolah
swasta berbiaya rendah).
14

Level mikro yaitu kelompok sosial (pemilik dan pengelola) dan individu yang
terlibat pada sekolah swasta akan terjadi sebagai berikut. Pertama, terjadinya keselarasan
(compliance) antara aturan informal dan formal dalam mempengaruhi perubahan level meso
pada kelembagaan yaitu organisasi nirlaba. Kedua ketidakselarasan (decoupling) antara
aturan informal dan formal dalam mempengaruhi perubahan level meso pada kelembagaan
yaitu organisasi nirlaba. Perubahan pada kelembagaan untuk deskripsikan bertahannya
organisasi nirlaba (sekolah swasta berbiaya rendah). Terakhir, level meso yaitu organisasi
nirlaba mempengaruhi kondisi regulasi negara dan mekanisme pasar terhadap level makro.
15

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian


Secara konseptual penelitian dengan pendekatan kualitatif menggunakan paradigma
intepretif yang menekankan pada analisis sistematik dari tindakan sosial melalui observasi
terhadap manusia dalam seting alami dalam rangka memahami dan mengintepretasikan
bagaimana subjek penelitian menciptakan dan hidup didalam dunia sosialnya. (Neuman,
2007). Pendekatan kualitatif dipilih sesuai dengan tujuan penelitian, untuk mengembangkan
keberlanjutan institusi sekolah swasta berbiaya rendah di Jakarta.

3.2 Jenis Peneltian

Jenis peneltian yang digunakan adalah studi kasus, penyeledikan studi kasus
memahami program, peristiwa, aktivitas, proses atau sekelompok individu, dengan
penggunaan prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang ditentukan. (Creswell,
2009). Menurut Stake (1995), tipe studi kasus terbagi: pertama, Instrumental memfokuskan
isu atau persoalan, kemudian memilih satu kasis terbatas untuk mengilustrasikannya. Kedua,
kolektif merupakan satu isu dipilih, tetapi beragam studi kasus untuk mengilustrasikan
isunya. Terakhir, instrinsik merupakan hanya fokus pada kasus itu sendiri. (Creswell, 2009)

Kerangka institusi ini memiliki hubungan antara bantuan operasional sekolah dengan
arena organisasi nirlaba dibalik bertahannya sekolah swasta berbiaya rendah. Penyeledikan
studi kasus dengan memahami program sebagai bantuan pendidikan, aktivitas dari program
yang diranah arena organisasasi. Dengan tipe studi kasus kolektif, dari berbagai kasus pada
institusi yang terjadi pada arena organisasi mampu menujukan bertahannya institusi. Studi
kasus memungkinkan penelitian untuk melakukan secara mendalam penyelidikan dan
memberikan informasi deskriptif.

3.3 Informan Peneltian

Dalam menentukan arena organisasi yang berkategori sekolah swasta berbiaya


rendah. pada proses pengumpulan data nanti. Pemetaan data jumlah sekolah swasta secara
dokumen dan memverifikasi. Memverifikasi dokumen penetuan sekolah swasta dengan
indikator minimal mengratiskan pembiyaan pendidikan.
16

Penentuan sejumlah sekolah swasta berbiaya rendah, penetnuan pemilihan informan.


menentukan informan dengan tujuan dapat menjelaskan data-data yang diperoleh sehingga
dapat memperoleh pemahaman terkait tujuan penelitian. Pemilihan informan utama dalam
penelitian ini dibagi kedalam beberapa kategori yaitu: pemilik sekolah swasta, kepala sekolah
dan pengawas sekolah.

3.4 Posisi Peneliti

Peneliti terkait secara langsung dan belum pernah mengenal sebelumnya informan
dalam penelitian ini. Dengan kata lain, peneliti merupakan outsider bagi informan. Hal ini
mengharuskan peneliti untuk mengidentifikasi nilai pribadi, asumsi dan bias sejak awal studi
dilakukan (Creswell, 2007). Peneliti menyadari sedapat mungkin harus menghindari
terjadinya bias. Untuk itu peneliti tetap melakukan beberapa upaya. Pertama, memposisi diri
pada lingkup sosiologi dengan mengikuti teori pada kerangka pemikiran sebelumnya. Kedua,
peneliti menempatkan institusi ini sebagaimana adanya dan bukan yang seharusnya, sesuai
dengan yang ditemukan dan terjadi di lapangan. Dalam pengumpulan data nanti peneliti
sebagai instrumen penelitian juga menggunakan alat rekam suara sebagai bukti dan alat bantu
untuk mencatat data-data yang dipaparkan oleh informan.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Isu pendidikan untuk semua memang menjadi ketertarikan peneliti dalam sosiologi
terutama isu mengenai guru, pendidikan formal, dan pendidikan non-formal. Ketertarikan
peneliti ini ada sejak hampir satu tahun terakhir sejak bekerja di sekolah. Dengan menerima
amanat sebagai wakil kepala sekolah swasta, berhubungan langsung dengan sistem kebijakan
secara internal dan eksternal. Walaupun isu sekolah swasta berbiaya rendah merupakan isu
baru dalam kajian sosiologi pendidikan, namun peneliti berusaha untuk melihat dari konteks
yang berbeda dengan berbagai kajian sebelumnya yaitu mengenai keberlanjutan insitusi.

Penentuan sejumlah sekolah swasta berbiaya rendah, pada proses ini peneiti tidak
memerlukan gatekeeper, dikarena posisi peneliti sebagai bagian dari sekolah swasta.
Sehingga cukup menemui pihak yang terkait dan mengizinkan proses peneltian di sekolah
tersebut. Setelah penentuan sekolah, proses obervasi non partisipan, untuk mengamati kondisi
lapangan. Hal ini digunakan untuk memverifikasi indikator yang telah ditentukan dan
17

pemahan terhadap objek. Selanjutnya, proses wawacana cara dengan informan yang
ditentukan.

Tabel. 3.1 Perencanaaan Penelitian

Bulan
No
Kegiatan Penelitian April Mei Juni
.
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Seminar tesis
2 Revisi tesis
3 Permohonan izin peneltian
4 Pemberian izin peneltian
5 Dokumentasi
6 Obervasi non partisipan
7 Wawancara
8 Teknik analisa data
9 penyusunan laporan
Sumber: olahan penelti

3.6 Teknik Pengolaan Data

Kerangka institusi ini memiliki hubungan antara kebijakan pendidikan dengan arena
organisasi nirlaba dibalik bertahannya sekolah swasta berbiaya rendah menempatkan
beberapa ranah bantuan pendidikan menempatkan sebagai regulasi formal, struktur, dan
tingkatan makro. Sekolah swasta sebagai arena merupakan organisasi nirlaba berinteraksi
antarorganisasi sekolah dan kebijkan pendidikan menempatkan sebagai institusi dan
tingkatan meso. Pemilik dan pengelola sekolah swasta sebagai aktor yang saling berinterkasi
sebagai aturan informal dan tingkatan mikro.

Analisa data temuan penelitian kemudian diklasifikasikan kedalam data yang


didasarkan tema-tema umum yang telah ditetapkan. Setelah itu data di kelompokkan secara
terbuka yang kemudian dikelompokkan secara langsung dengan dilanjutkan didalam subab
analisis. Kemudian data akan diringkaskan ke dalam narasi-narasi yang menjadikan tiap-tiap
temuan dapat terlihat hubungan diantaranya. (Neuman, 2007) Setelah itu data dan analisa
yang sudah ada dituang dalam narasi di kesimpulan.
Daftar Pustaka

Achwan, R. (2014). Sosiologi ekonomi di Indonesia. Penerbut Univeresitas Indonesia.

Ahmed, M., & Govinda, R. (2010). Introduction: Universal primary education in South Asia:
A right that remains elusive. Prospects, 40(3), 321–335.
https://doi.org/10.1007/s11125-010-9165-3

Akaguri, L. (2011). Household Choice of Schools in Rural Ghana : Exploring the


Contribution and Limits of Low- Fee Private Schools To Education for All. University of
Sussex.

Asadullah, M. N., & Maliki. (2018). Madrasah for girls and private school for boys? The
determinants of school type choice in rural and urban Indonesia. International Journal
of Educational Development, 62(11362), 96–111.
https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2018.02.006

Bangay, C. (2005). Private education: Relevant or redundant? Private education,


decentralisation and national provision in Indonesia. Compare, 35(2), 167–179.
https://doi.org/10.1080/03057920500129742

Brinton, M. C., & Nee, V. (Eds.). (1998). New Institutionalism in Sociology. Russel Sage
Foundation.

Creswell, J. W. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design Choosing among Five
Approaches (Second). Sage Publication Inc.

Creswell, J. W. (2009). Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods


Approaches (Third). Sage Publication Inc.

Daka, H., & Kapambwe, M. (2018). Sustainability and Accessibility of Private Schools in
Zambia: Experiences of Low-Cost Private Primary Schools In Lusaka’s Peri-Urban
Areas. Journal Positive Psychology and Counselling, 2(2).

Eldridge, G. (2010). Low‐cost private education: impacts on achieving universal primary


education. Compare: A Journal of Comparative and International Education, 40(1),
129–130. https://doi.org/10.1080/03057920903425622

Fadjar, A. M. (1999). Madarsah dan Tantangan Modernitas. Mizan.

Härmä, J. (2009). Can choice promote education for All? Evidence from growth in private

18
primary schooling in India. Compare, 39(2), 151–165.

Härmä, J. (2011a). Lagos Private School Census 2010–11 Report. In Education Sector
Support Programme in Nigeria (ESSPIN).

Härmä, J. (2011b). Low cost private schooling in India: Is it pro poor and equitable?
International Journal of Educational Development, 31(4), 350–356.
https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2011.01.003

Heyneman, S. P., & Stern, J. M. B. (2013). Low cost private schools for the poor: What
public policy is appropriate? International Journal of Educational Development, 35,
3–15. http://dx.doi.org/10.1016/j.ijedudev.2013.01.002

Kosim, M. (2007). Madrasah di Indonesia (Pertumbuhan dan Perkembangan). Tadris,


2(1Kosim, M. (2007). Madrasah di Indonesia (Pertumbuhan dan Perkembangan). Tadris,
2(1), 41–57.), 41–57.

Mcloughlin, C. (2013). Low-Cost Private Schools : Evidence , Approaches and Emerging


Issues.

Neuman, W. L. (2007). Basic of Social Research (Second). Pearson Education.

Rahman, M. A. (2016). Sekolah Swasta Berbiaya Rendah Sebuah Studi Kasus di Jakarta.

Rosser, A. (2018). Beyond access: Making Indonesia’s education system.

Smelser, N. J., & Swedberg, R. (Eds.). (2005). The Handbook Of Economic Sociology
(Second). Rus. http://books.google.com/books?id=2ZAV5fCs1NcC&pgis=1

Srivastava, P. (2008). The shadow institutional framework: Towards a new institutional


understanding of an emerging private school sector in india. Research Papers in
Education, 23(4), 451–475.

Srivastava, P. (Ed.). (2013). Low-fee Private Schooling: aggravating equity or mitigating


disadvantage? Oxford Studies in Comparative Education Series. Symposium Books.

Stern, J. M. B., & Smith, T. M. (2016). Private secondary schools in Indonesia: What is
driving the demand? International Journal of Educational Development, 46, 1–11.
https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2015.11.002

Suharto. (2000). Pendidikan Swasta di Indonesia pada masa kolonial studi kasus: sekolah
pasundan, 1922-1942.
19
Tooley, J., & Dixon, P. (2005). Private Education Is Good for the Poor: A Study of Private
Schools Serving the Poor in Low-Income Countries. Cato Institute.
https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2

Tooley, J., Dixon, P., & Stanfield, J. (2008). Impact of free primary education in kenya: A
case study of private schools in Kibera. Educational Management Administration and
Leadership, 36(4), 449–469. https://doi.org/10.1177/1741143208095788

Tooley, J., & Longfield, D. (2016). Affordability of private schools: exploration of a


conundrum and towards a definition of ‘low-cost.’ Oxford Review of Education, 42(4),
444–459. https://doi.org/10.1080/03054985.2016.1197830

Walford, G. (2011). Low-fee private schools in England and in less economically developed
countries. What can be learnt from a comparison? Compare, 41(3), 401–413.
https://doi.org/10.1080/03057925.2010.542033

Woodhead, M., Frost, M., & James, Z. (2013). Does growth in private schooling contribute to
Education for All? Evidence from a longitudinal, two cohort study in Andhra Pradesh,
India. International Journal of Educational Development, 33(1), 65–73.
https://doi.org/10.1016/j.ijedudev.2012.02.005

Yan, W. T. (2013). Why the popularity? A case study on a low-fee private school in
Cambodia. University of Hong Kong.

20
Pedoman observasi

No. Indikator Temuan Obeservasi


1 kemandirian finansial dari negara

2 motif bervariasi (agama, filantropis,


nirlaba)

3 kepemilikan dari pengusaha individu,


lingkungan kecil, atau dari nasional ke
jaringan internasional

4 menargetkan kelompok pendapatan yang


relatif lebih tinggi atau lebih rendah.

5 Keterjangakuan bagi kelompok yang


berpengasilah rendah

6 Menerima siswa walaupun tidak membayar

21
Pedomana wawancara

Pemilik Sekolah Nama Sekolah :……………………………….


Nama :……………………………….. Umur :………………………………..
Hubungan dengan pemilik :………………………………..
Jabatan awal :……………………………….. Jabatan sekarang :………………………………..
Periode jabatan awal :……………………………….. Periode jabatan sekarang :………………………………..
tanggal wawancara :……………………………….. Waktu wawancara :………………………………..
Pertemuan wawancara ke :………………………………..

No. Indikator Pertanyaan Wawancara


1 kemandirian finansial dari negara Bagaimana awal mula pendirian sekolah ini dari modal dan perizinannya?
2 motif bervariasi (agama, filantropis, nirlaba) Bagaimana orientasi sekolah ini berbasis agama atau nasional?
Apa niat awal anda mendirikan sekolah ini?
3 kepemilikan dari pengusaha individu, Apa status kepemilikan sekolah ini? secara individu, beberapa individu, atau cakupan
lingkungan kecil, atau dari nasional ke luas?
jaringan internasional
4 menargetkan kelompok pendapatan yang Apa kelompok menjadi target di sekolah ini ? dominan berpengasil rendah atau
relatif lebih tinggi atau lebih rendah. berpengehasilan tinggi ?
5 Keterjangakuan bagi kelompok yang Bila menerima penghasilan rendah, apakah kriteria untuk kelangan berpenghasilan
berpengasilah rendah rendah?

22
6 Menerima siswa walaupun tidak membayar Bila menerima penghasilan rendah, apakah menerima siswa dengan kriteria: gratis
(tanpa uang pendaftaran dan bulanan), sebagaian (tanpa uang pendaftaran atau
bulanan), atau beasiswa ?

23
Pedomana wawancara

Kepala sekolah Nama Sekolah :……………………………….


Nama :……………………………….. Umur :………………………………..
hubungan dengan pemilik :………………………………..
Jabatan awal :……………………………….. Jabatan sekarang :………………………………..
Periode jabatan awal :……………………………….. Periode jabatan sekarang :………………………………..
tanggal wawancara :……………………………….. Waktu wawancara :………………………………..
Pertemuan wawancara ke :………………………………..

No. Indikator Pertanyaan Wawancara


1 kemandirian finansial dari negara Apakah mencukupi pengelolaan finansial sekolah? Bila tidak cukup, biasanya hal apa
yang akhirnya dikorbankan?
2 menargetkan kelompok pendapatan yang Apa kelompok menjadi target di sekolah ini? Dominan berpengasil rendah atau
relative lebih tinggi atau lebih rendah. berpengehasilan tinggi?
3 Keterjangakuan bagi kelompok yang Bila menerima penghasilan rendah, apakah kriteria untuk kelangan berpenghasilan
berpengasilah rendah rendah?
4 Menerima siswa walaupun tidak membayar Bila menerima penghasilan rendah, apakah menerima siswa dengan kriteria: gratis
(tanpa uang pendaftaran dan bulanan), sebagaian (tanpa uang pendaftaran atau bulanan),
atau beasiswa?

24
6 Pemantauan Norma Bagaimana pengeolaan BOS untuk disekolah ini ?
5 Decoupling dan Coupling Bagaimana pengelolaan dana BOS di sekolah ? terdapat kendala dan kemudahan seperti
apa ? mengikuti alokasi sesuai kebijakan atau menyesuaikan kondisi sekolah ?
7 Regulasi Negara Bagaimana dengan pelaporan BOS sekarang ?

25
Pedomana wawancara

Pengawas sekolah Nama Sekolah :……………………………….


Nama :……………………………….. Umur :………………………………..
tanggal wawancara :……………………………….. Waktu wawancara :………………………………..
Pertemuan wawancara ke :………………………………..

No. Indikator Pertanyaan Wawancara


1 Tindakan kolektif Apakah sosialisasi BOS telah diterima sekolah ini ? dan mereka memahami terhadap
kebijakan BOS ini ?
2 Pemantaua Norma Bagaimana Kebijakan BOS ini mengalami kendala atau kemudahan bagi sekolah ini ?
bagaimana model transparansi alokasi BOS ini ?

26

Anda mungkin juga menyukai