Anda di halaman 1dari 11

FENOMENA SEKOLAH UNGGUL DAN SEKOLAH MAHAL

Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Politik Dan Etika Pendidikan

DOSEN PENGAMPU :
Dr. H. SHOLEHUDDIN, M.Pd.I

Disusun Oleh :
AYU MARITA
( 2018791103743 )

INSTITUT AGAMA ISLAM AL-KHOZINY


FAKULTAS TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2021

Fenomena Sekolah Unggul Dan Sekolah Mahal

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Pada zaman sekarang, banyak sekolah mempunyai sikap percaya diri yang
berlebihan dengan berbagai ilusi konsep - konsep sekolah unggulan, sekolah
pemimpin masa depan, atau lebih parah lagi pendidikan unggul. Birokrat-
birokrat di lembaga - lembaga pengajaran formal itu merasa mampu
melakukan segalanya asal di bayar. Itu sebabnya sekolah - sekolah dikatakan
terbaik, tetapi sebenarnya tidak jelas bedanya dengan termahal. Dengan
demikian lembaga pengajaran formal itu melembagakan ajaran sesat bahwa
pendidikan yang baik adalah lembaga yang mahal. Mahal sama dengan
bermutu, bahkan jika uang sekolahnya murah artinya buruk atau tidak
bermutu. Paradigma semacam ini dipertegas oleh perusahaan yang dipimpin
oleh orang yang sama sekali tidak mengerti makna pengajaran dan pendidikan
sejati kecuali sekedar mencari atau membeli ketrampilan dan kepribadian para
sarjana dari sekolah - sekolah mahal.

B.Rumusan Masalah
1.Apa yang dimaksud dengan pendidikan?
2.Jelaskan pengertian sekolah Mahal?
3.Jelaskan pengertian sekolah Unggul?

C.Tujuan
1.Agar mahasiswa dapat lebih mengetahui tentang definisi fenomena Sekolah
Mahal dan Sekolah Unggul.
BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Pendidikan
Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, 1889 - 1959)
menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu: Pendidikan umumnya
berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti ( karakter, kekuatan bathin),
pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan
masyarakatnya. John Dewey, mengemukakan bahwa pendidikan adalah suatu
proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di
dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda,
mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk menghasilkan
kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan
dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana dia hidup.

Ibnu Muqaffa (salah seorang tokoh bangsa Arab yang hidup tahun 106 H- 143
H, pengarang Kitab Kalilah dan Daminah) mengatakan bahwa : Pendidikan itu
ialah yang kita butuhkan untuk mendapatkan sesuatu yang akan menguatkan
semua indera kita seperti makanan dan minuman, dengan yang lebih kita
butuhkan untuk mencapai peradaban yang tinggi yang merupakan santaan
akal dan rohani. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, 1991:232, tentang Pengertian
Pendidikan , yang berasal dari kata "didik", Lalu kata ini mendapat awalan kata
"me" sehingga menjadi "mendidik" artinya memelihara dan memberi latihan.
Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan
dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dari beberapa
Pengertian Pendidikan diatas dapat disimpulkan mengenai Pendidikan, bahwa
Pendidikan merupakan Bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang
dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan
tujuan agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak
dengan bantuan orang lain.

B.Fenomena Sekolah Mahal


Laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, bahkan oleh Bank Dunia disebut
ajaib, di negara kita ternyata berdampak secara positif terhadap munculnya
sekolah-sekolah yang berfasilitas memadai. Kalau kita perhatikan dalam
beberapa tahun yang terakhir ini telah muncul sekolah-sekolah yang
fasilitasnya sangat memadai. Fasilitas yang disediakan oleh sekolah-sekolah
tersebut terhitung sangat memadai untuk rata-rata sekolah di Indonesia,
misalnya saja bangunannya yang megah, ruang belajarnya yang sejuk dan ber-
AC, buku-buku perpustakaannya yang lengkap, sarana olahragan yang
memadai, guru yang profesional, suasana belajarnya yang akademis, dan
sebagainya.
Tentu hadirnya sekolah-sekolah yang berfasilitas memadai tersebut layak
mendapat sambutan karena sarana pendidikan dan fasilitas belajar yang
memadai dapat menumbuhkan suasana aka-demis yang memadai pula yang
pada akhirnya akan menghantarkan pencapaian prestasi belajar siswa secara
memuaskan. Secara fisik memang demikianlah seharusnya kita dalam
menyelenggarakan sekolah bagi putra-putra bangsa kita. Sekarang sudah tidak
jamannya lagi menyelenggarakan sekolah dengan bangunan yang tidak kokoh,
atapnya bocor, dindingnya berlubang, perpustakaannya tidak ada, fasilitas
olahraganya memprihatinkan, manajemennya seadanya, dan penguasaan ilmu
gurunya sudah "out of date".
Bahwa dalam realitanya sampai sekarang masih banyak ditemui sekolah yang
"tertinggal" hal itu justru menjadi tantangan kita bersama untuk segera
membenahinya.
Itulah sebabnya kalau kemudian ada kelompok masyarakat yang mau dan
mampu membangun sekolah-sekolah baru dengan fasilitas yang memadai
pasti disambut gembira oleh masyarakat. Kiranya amat wajar dan bisa kita
mengerti bahwa sekolah-sekolah tersebut memer-lukan biaya tinggi untuk
operasionalnya. Tingginya biaya operasional ini tidak membawa permasalahan
bagi kita,permasalahan itu baru muncul ketika sampai pada soal siapa yang
harus memikul beaya operasional yang tinggi itu.
Dari nama-nama sekolah tersebut ternyata masing-masing punya kebijakan
yang berbeda-beda dalam memecahkan masalah tingginya beaya operasional.
Muncullah kemudian istilah "sekolah mahal",yaitu sekolah-sekolah yang siswa
atau orang tuanya harus membayar mahal untuk menutup biaya operasional
yang tinggi itu .Mahalnya biaya yang harus dipikul oleh siswa atau orang
tuanya tersebut menyebabkan tidak semua orang tua mampu menyekolahkan
anak-anaknya ke sekolah itu. Sekolah-sekolah mahal tersebut akhirnya hanya
dapat dimasuki oleh kelompok masyarakat berekonomi tinggi, sehingga ada
yang menyebut sekolah mahal sebagai sekolah eksklusif. Memang eksklusif bila
dilihat dari asal siswanya, meskipun terkadang tidak eksklusif bila dilihat dari
sistem pendidikannya. Hadirnya sekolah-sekolah mahal tersebut ternyata
mengundang berbagai respon masyarakat, dari respon yang positif sampai
respon yang negatif. Sekolah-sekolah mahal tersebut bisa membendung anak-
anak kita yang akan belajar ke luar negeri, bahkan dalam beberapa tahun ke
depan dapat "menarik" anak-anak manca negara untuk belajar ke negara kita
dalam skala nasional tentu hal ini merupakan investasi. Sebaliknya ada juga
pihak-pihak yang merespon negatif dengan menyatakan "keberatan"
menyangkut aspek sosialisasi lulusannya. Bila siswanya saja eksklusif lalu
bagaimana sosialisasinya nanti, kemudian bagaimana pula kalau mereka
menjadi pemimpin bangsa kelak.
Laju pertumbuhan ekonomi yang belum diikuti dengan efektifnya pemerataan
telah menimbulkan garis-garis segmentatif antar kelompok ekonomi, dari 
kelompok ekonomi tinggi, menengah, rendah, sampai sangat rendah. Hadirnya
sekolah mahal tidak bisa memenuhi keinginan masyarakat kelompok ekonomi
tinggi meskipun bukan berarti kelompok masyarakat lainnya tidak ingin
mendapatkan pelayanan dari sekolah yang berfasilitas memadai. Kalau
memang sekolah mahal ini dapat memberikan pelayanan pendidikan yang
sekualitas pendidikan di luar negeri, tentu saja yang bermutu, apa salahnya
mereka menyekolahkan putra-putrinya tidak di luar negeri cukup di Indonesia
saja.
Sekolah-sekolah mahal tersebut apabila kualitasnya benar-benar kompetitif
pasti dapat "menarik" siswa dari luar negeri, bukankah ini merupakan
investasi. Sudah barang tentu terminologi investasi di sini tidak dimaksudkan
untuk mengurangi dan mengaburkan fungsi sosial lembaga pendidikan
sebagaimana yang diatur di dalam UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Secara empirik sekolah-sekolah di luar negeri yang dapat "menarik" siswa pada
umumnya juga memungut beaya mahal. Sebagai misal di Melbourne,Victoria,
Australia setidak-tidaknya ada dua seko-lah yang bonafide; yaitu Methodist
Ladies College (MLC) dan The Westbourne School (WS). Untuk menjadi siswa
MLC, primary atau secondary, setiap tahunnya harus menyediakan dana
paling tidak A$ 10.000 atau sekitar 16,5 juta rupiah. Meski demikian sekolah ini
tetap "laris" karena terbukti banyak orang tua yang berminat; sekarang ada
2.800-an siswa MLC. Kondisi WS juga sama dengan MLC. Sekolah-sekolah
serupa di negara lain demikian pula keadaannya; misalnya saja Sri
Kuning dan KTJ di Kuala Lumpur Malaysia, Showa Woman School di Tokyo
Jepang, Hsin Shing Technical and Commercial High School (HSTCHS)  di
Taoyuan Taiwan, dan sebagainya. Tetapi bagaimana dengan konsep
horizontalitas pendidikan yang dipesankan Bapak Pendidikan kita, Ki Hadjar
Dewantara? Dalam hal ini Ki Hadjar menyatakan bahwa sekolah itu merupakan
pengabdian untuk rakyat banyak sehingga pelayanan untuk rakyat banyak
harus didahulukan tanpa dengan mengorbankan kualitas.
Kalau saja sekolah-sekolah mahal tersebut dapat mengalokasikan 10%-25%
kursi belajarnya dengan biaya murah bagi putra-putra kita yang berasal dari
kelompok masyarakat berekonomi menengah dan rendah kiranya akan
berkuranglah polemik tentang kehadiran sekolah-sekolah mahal tersebut.
Lebih dari pada itu konsep horizontalitas pendidikan tersebut juga lebih bisa
direalisasi tanpa harus mengorbankan mutu. Sistem pengalokasian ini kiranya
juga bisa mengeliminasi, atau setidaknya  bisa mengurangi kekhawatiran atas
aspek sosialisasi para lulusannya nanti. 
C.Fenomena Sekolah Unggulan.
Kelahiran sekolah unggulan pada dasarnya tidak terlepas dari upaya
peningkatan dan pengembangan kualitas SDM, terutama menyongsong
pembangunan jangka panjang II dan diresmikannya program wajib belajar 9
tahun. Salah satu tujuannya adalah menjaring sekaligus mengembangkan
kader bangsa yang baik dalam artian memiliki kelebihan dari berbagai aspek
dibandingkan dengan kader – kader bangsa pada umumnya sehingga ia
mampu mengantisipasi dan menjawab berbagai tantangan zaman.
Namun, Sekolah unggulan ini perlu dicermati kembali, karena ada yang kurang
kata unggul menyiratkan super otoritas atas sekolah yang lain, sekaligus
menunjukkan kesombongan intelektual yang sengaja ditanamkan lingkungan
sekolah atas sekolah yang lain. Dalam konsep sekolah unggulan yang ada
sekarang diterapkan sekedar untuk menciptakan prestasi siswa, dirancang
kurikulum yang sarat muatan , diajar guru – guru yang berkualitas, dengan
sarana yang bagus, tapi biayanya sangat mahal. Padahal sekolah unggulan yang
sebenarnya, dapat dicapai dengan seluruh sumber daya sekolah dimanfaatkan
secara optimal. Mulai dari tenaga administrasi, pengembangan kurikulum,
tenaga pendidikan, termasuk masyarakat harus dilibatkan secara berdaya
guna, karena sumberdaya itu akan dapat menciptakan iklim dan kultur yang
mampu membentuk keunggulan sekolah.

1.Tipe – Tipe dan Definisi Sekolah Unggulan.


Untuk mengetahui akan definisi dari sekolah unggulan, sebaiknya kita
mengetahui akan konsep tentang sekolah unggulan.

a.Tipe Pertama
Yaitu dimana sekolah menerima dan menyeleksi secara ketat siswa yang
masuk dengan kriteria prestasi akademik yang tinggi, meskipun proses belajar
dan mengajar tidak terlalu luar biasa bahkan cenderung ortodok, namun
dipastikan karena input yang unggul maka output yang hasilkan juga unggul.
b.Tipe Kedua
Yaitu sekolah yang menawarkan fasilitas yang serba mewah, yang ditebus
dengan SPP yang sangat tinggi, otomatis prestasi akademik yang tinggi bukan
menjadi acuan input untuk diterima di sekolah ini, namun sekolah ini biasanya
mengandalkan beberapa jurus pola pelajar dengan membawa pendekatan
teori tertentu sebagai daya tariknya, sehingga output yang dihasilkan dapat
sesuai dengan yang dijanjikan.
c.Tipe Ketiga
Yaitu sekolah yang menekankan pada iklim belajar yang positif di lingkungan
sekolah. Menerima dan mampu memproyek siswa yang masuk sekolah
tersebut dengan prestasi rendah menjadi lulusan yang bermutu tinggi .

Jadi dengan kata lain sekolah unggulan adalah sekolah yang mampu


membawa setiap siswa mencapai kemampuannya secara terukur dan
mampu ditunjukkan prestasinya sekaligus potensi psikis, etika, moral,
religius , emosi, spirit, kreatifitas serta intelegensinya.

Akan tetapi realita yang terjadi sekolah unggulan itu tidak otomatis
mencerminkan realitas empirisnya sebagai sekolah yang unggul, sebab antara
unggulan dan unggul itu merupakan dua hal yang berbeda. Artinya sebutan itu
dapat menyesatkan warga masyarakat yang tidak kritis. Masyarakat akan
memasuki sekolah unggulan itu dengan maksud untuk mencapai kualitas yang
maksimal, ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Memang
betul ada sekolah unggulan yang unggul, tapi tidak semua sekolah unggulan
adalah sekolah unggul. Wajar bila kemudian sekolah – sekolah yang masuk
kategori sekolah unggulan, tidak secara otomatis ke dalam daftar sekolah
unggul berdasarkan pencapaian nilai akhir ujian nya .

2.Dimensi Keunggulan.
Dimensi keunggulan dalam sekolah paling tidak meliputi hal – hal sebagai
berikut:
a.Para calon siswa yang akan memasuki sekolah yang bersangkutan diseleksi
secara ketat yang menggunakan kriteria tertentu dan prosedur yang dapat
dipertanggungjawabkan . Kreteria umum yang dipakai adalah prestasi belajar
superior dan skor psikotes.
b.Sarana dan prasarana diarahkan untuk menunjang secara maksimal untuk
memenuhi kebutuhan belajar siswa serta penyaluran bakat dan minatnya, baik
dalam kegiatan kurikulum maupun ekstra kurikulum. Sarana adalah segala
sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses belajar
mengajar misal media pembelajaran dan alat - alat pelajaran, sedang
prasarana adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung dapat mendukung
keberhasilan proses pembelajaran, misal penerangan sekolah, kamar kecil dan
lain – lain
c.Lingkungan belajar yang kondusif untuk berkembangnya potensi keunggulan
menjadi keunggulan yang riil, baik lingkungan dalam arti fisik maupun sosial
psikologis
d.Guru yang kreatif dan profesional, serta unggul baik dalam bidang
penguasaan materi maupun metode pembelajaran. Guru kreatif mengandung
pengertian ganda yaitu guru yang secara kreatif mampu menggunakan
pelbagai pendekatan dalam proses pembelajaran dan membimbing peserta
didik dan guru yang senang melakukan kegiatan- kegiatan kreatif dalam
hidupnya . Untuk mendapatkan guru yang kreatif dan profesional perlu
diadakannya kegiatan - kegiatan yang berupaya meningkatkan skill dan
profesionalisme guru .
e.Kurikulum yang jelas, Kontek ini tetap berpegang pada kUrikulum Nasional
yang standar, namun dilakukan semacam modifikasi secara maksimal sesuai
dengan tuntutan belajar peserta didik. Misalnya dengan menerapkan
kurikulum teknologi yang menekankan pad efektifitas program metode dan
material untuk mencapai suatu manfaat dan keberhasilan. Teknologi
mempengaruhi kurikulum dalam dua cara yaitu aplikasi dan teori. Aplikasi
teknologi merupakan suatu rencana penggunaan beragam alat dan media,
atau tahapan basis intruksi, sebagai teori teknologi digunakan alam
pengembangan evaluasi material kurikulum dan instruksional .
f.Rentang waktu belajar di sekolah lebih panjang atau lebih lama dibandingkan
dengan sekolah - sekolah umum lainnya. Hal ini salah satunya bertujuan untuk
mengantisipasi kekurangan jam pelajaran agama di sekolah - sekolah umum .
g.Partisipasi orang tua atau masyarakat yang aktif dalam kegiatan sekolah,
kontribusi orang tua dalam kegiatan sekolah misalnya di libatkannya orang tua
dalam penyusunan kurikulum sekolah, sehingga orangtua memiliki tanggung
jawab yang sama di rumah dalam mendidik anak sesuai tujuan yang telah
dirumuskan, sehingga terjadi sinkronisasi antar pola pendidikan di sekolah
dengan pola pendidikan di rumah, selain itu orang tua diberi kesempatan
untuk bersama sama menganalisa seluruh infrastruktur yang ada di sekolah
baik menyangkut SDM, sarana prasarana, sistem informasi dan semua yang
dianggap punya keterkaitanh.Jaringan organisasi yang solid , baik organisasi
guru atau orangtua. Hal ini dapat menambah wawasan dan kemampuan tiap
anggotanya untuk belajar dan terus berkembang, serta perlu pula dialog antar
organisasi tersebut, misalnya forum orangtua murid dengan guru dalam
menjelaskan harapan dari guru dan kenyataan yang dialami guru dalam kelas.
i.Proses belajar dan mengajar yang berkualitas , serta hasilnya selalu dapat
dipertanggungjawabkan kepada siswa, lembaga dan masyarakat.

c. Kelemahan - Kelemahan Sekolah unggulan.


Kalau kita cermati bersama secara mendalam, banyak sekolah unggulan yang
secara pedagogis menyesatkan, bahkan merugikan bagi pendidikan. Adapun
diantara kelemahan dari sekolah unggulan yaitu :
1).Sekolah Unggulan hanya mengandalkan legitimasi pemerintah dan bukan
inisiatif masyarakat, sehingga penetapan sekolah unggulan cenderung
bermuatan politik, daripada edukatif. Kadang ujung ujungnya juga uang, kalau
sekolah unggulan didasarkan pad pengakuan masyarakat, pemerintah tidak
perlu mengucurkan biaya besar, biar masyarakat yang memikirkan biaya itu.
2).Sekolah hanya melayani golongan kaya, sementara golongan miskin masih
terpinggirkan meski prestasi akademiknya bagus. Untuk mengikuti kelas
unggulan, selain memiliki kemampuan akademis anak didik harus membayar
puluhan juta rupiah, sehingga penyelenggaraan sekolah unggulan sering kali
bertentangan dengan prinsip Equity, yakni terbukanya akses dan kesempatan
yang sama bagi siswa untuk memperoleh pendidikan di semua jenjang, jenis
dan tingkatan.
3).Profil sekolah unggulan hanya dilihat dari karakteristik prestasi yang berupa
NEM tinggi, bisa dibayar mahal, tenaga pendidik baik, sarana lengkap, dana
sekolah besar dan kegiatan belajar mengajar berikut pengelolaannya bagus,
diproses di tempat bagus dengan cara bagus hingga outputnya bagus,
seharusnya yang di kategori sekolah unggulan adalah anak didik dari warga
miskin tapi proses di sekolah baik, dengan cara baik, untuk itu perlu redefinisi
dan reorientasi sekolah unggulan.[3]
DAFTAR PUSTAKA

Sidarta, Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka


Cipta.
Raflis Kosasi, (1999), Profesi Keguruan, Jakarta : PT Rineka Cipta
Abu Ahmad, (2001), Ilmu Pendidikan, Jakarta : PT Rineka Cipta
[1]Made Sidarta,  Manajemen Pendidikan Indonesia(Jakarta:PT Rineka
Cipta,2004)
[2]Abu Ahmad,Ilmu Pendidikan (Jakarta:PT Rineka Cipta,2001)
[3]Raflis Kosasi,Profesi Keguruan(Jakarta:Rineka Cipta,1999)

Anda mungkin juga menyukai