PRO:
Boarding school terdiri dari dua kata yaitu boarding dan school. Boarding berarti
asrama. Dan school berarti sekolah. Boarding School adalah sistem sekolah berasrama,
dimana peserta didik dan juga para guru dan pengelola sekolah tinggal di asrama yang
berada dalam lingkungan sekolah dalam kurun waktu tertentu biasanya satu semester
diselingi dengan berlibur satu bulan sampai menamatkan sekolahnya.
Boarding school atau sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari
pagi hingga siang di sekolah kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau
pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah
pendidikan dan pengawasan para guru pembimbing.
Boarding school adalah lembaga pendidikan di mana para siswa tidak hanya belajar
tetapi juga bertempat tinggal dan hidup menyatu dengan di lembaga tersebut. Boarding
School mengkombinasikan tempat di rumah, dipindah ke institusi sekolah, di mana di
sekolah tersebut disediakan berbagai fasilitas tempat tinggal; ruang tidur, ruang tamu,
ruang belajar dan tempat olah raga, perpustakaan, kesenian.
Maksudin mendefinisikan bahwa boarding school adalah sekolah yang memiliki asrama,
di mana para siswa hidup; belajar secara total di lingkungan sekolah. Karena itu segala
jenis kebutuhan hidup dan kebutuhan belajar disediakan oleh sekolah (Maksudin, 2006,
hlm.8). Mengapa boarding school ? Jawabnya adalah karena kelebihan model sekolah
ini. Adapun kelebihannya yaitu: kelas lebih kecil, semua siswa dapat berpartisipasi
dalam program belajar, mutu akademik dan skill menjadi prioritas boarding school,
dapat memanfaatkan secara optimal sumber-sumber belajar, dan dapat berkomunikasi
langsung dengan pembimbing.[1]
Boarding School bukan sesuatu yang baru dalam konteks pendidikan di Indonesia.
Karena sudah sejak lama lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia menghadirkan
konsep pendidikan boarding school yang mengadopsi “Pondok Pesantren”.
Ketika dipertengahan tahun 1990 an masyarakat Indonesia mulai gelisah dengan kondisi
kualitas generasi bangsa yang cenderung terdikotomi secara ekstrim-yang pesantren
terlalu ke-agama dan yang sekolah umum terlalu ke-duniawian-ada upaya untuk
mengawinkan pendidikan umum dan pesantren dengan melahirkan term baru yang
disebut boarding school atau internat yang bertujuan untuk melaksanakan pendidikan
yang lebih komprehensif-holistik, ilmu dunia (umum) dapat capai dan ilmu agama juga
dikuasai. Maka sejak itu mulai munculah banyak sekolah-sekolah boarding yang
didirikan.
Hal ini juga dilatar belakangi oleh pendidikan bangsa Indonesia yang selama ini
dipandang belum memenuhi harapan yang ideal. Boarding school yang pola
pendidikannya lebih komprehensif-holistik lebih memungkinkan untuk menciptakan
lingkungan pendidikan yang ideal untuk melahirkan orang-orang yang akan dapat
membawa gerbong dan motor pergerakan kehidupan social, politik, ekonomi dan
agama.[2]
Kehadiran boarding school (pesantren) menjadi suatu keniscayaan untuk dilibatkan.
Sebab sekolah ini didirikan dengan tujuan mengadakan transformasi sosial bagi
masyarakat sekitar.[3]
Dari banyak sekolah-sekolah boarding di Indonesia, terdapat 3 corak yaitu bercorak
agama, nasionalis-religius, dan ada yang nasionalis. Untuk yang bercorak agama terbagi
dalam banyak corak ada yang fundamentalis, moderat sampai yang agak liberal.
Kehadiran boarding school telah memberikan alternative pendidikan bagi para orang
tua yang ingin menyekolahkan anaknya. Seiring dengan pesatnya modernitas, dimana
orang tua tidak hanya Suami yang bekerja tapi juga istri bekerja sehingga anak tidak lagi
terkontrol dengan baik maka boarding school adalah tempat terbaik untuk menitipkan
anak-anak mereka, baik makannya, kesehatannya, keamanannya, sosialnya, dan yang
paling penting adalah pendidikanya yang sempurna. Namun juga tidak dipungkiri kalau
ada factor-faktor yang negative kenapa orang tua memilih boarding school yaitu
keluarga yang tidak harmonis, dan yang ekstrim karena sudah tidak mau/mampu
mendidik anaknya dirumah.[4]
KONTRA:
Berlainan dengan pihak yang setuju dengan adanya pendidikan inklusif, pihak yang
kontra justru menolak dengan adanya pelaksanaan sekolah inklusi. Menyatukan siswa
normal dengan siswa penyandang disabilitas dalam satu ruang kelas akan menimbulkan
masalah dan hambatan yang mengganggu pembelajaran siswa normal pada umumnya
ataupun bagi siswa penyandang disabilitas itu sendiri.
Masalah pertama yang akan timbul dalam pelaksanaan pendidikan inklusif adalah
terkait dengan proses belajar mengajar dalam kelas dengan perbedaan yang sangat jauh
antara kemampuan siswa normal dan siswa penyandang disabilitas, tentu saja akan
menjadi kesulitan bagi guru untuk melaksanakan proses pembelajaran. Akan sulit bagi
guru untuk mengelola kelas dengan baik dengan harus mengajari semua siswa termasuk
penyandang disabilitas dalam waktu yang bersamaan. Diperlukan metode bahkan media
yang berbeda bagi siswa-siswa penyandang disabilitas.
Kedua, pihak yang tidak setuju dengan pendidikan inklusi mengkritiki masalah
pembiayaan yang tidak sedikit terkait pelaksanaan pendidikan inklusi di sekolah-sekolah
umum. Keterbatasan siswa penyandang disabilitas mengharuskan adanya sarana dan
fasilitas yang menunjang pembelajaran yang memang tepat untuk penyandang
disabilitas. Ketersediaan buku dengan huruf braile, lantai ruang belajar khusus untuk
tunanetra, alat bantu pendengaran dan lain sebagainya menjadi masalah yang
menghambat pendidikan inklusif karena ketidakadaan biaya untuk mengadakan semua
fasilitas yang dibutuhkan tersebut.
Selain terkait pembiayaan pengadaan sarana, media, dan fasilitas bagi siswa
penyandang disabilitas, masalah ketiga yang menjadikan beberapa pihak kontra
terhadap pendidkan inklusi adalah masalah kompetensi guru. Guru yang berlatar
belakang pendidikan umum tentu tidak akan memiliki kompetensi khusus mengenai
bagaimana mengajari atau membantu proses belajar siswa yang menyandang
disabilitas. Kurangnya kompetensi ini bisa berakibat buruk bagi siswa penyandang
disabilitas tersebut untuk menguasai keterampilan yang ia butuhkan setidaknya untuk
bertahan hidup mengurus dirinya sendiri.