Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

tentang

PERBANDINGAN PENDIDIKAN MASA KOLONIAL BELANDA DAN PENDIDIKAN


MASA SEKARANG

Guru Pembimbing : Elvinaria, S.Pd

Di Susun Oleh :

Kayla Neyza
M. Fitra Wijaya
Restu Hermawan
Restu Safitra
Riski Fitrah Romadon
Syilvia Agustia

Kelas : X IPA 2

SMA NEGERI 1 BANTAN


Jl. Soekarno Hatta Selatbaru
T.A 2022/2023
PERBANDINGAN PENDIDIKAN MASA KOLONIAL BELANDA DAN
PENDIDIKAN MASA SEKARANG

PENDIDIKAN MASA KOLONIAL BELANDA


Pendidikan zaman Penjajahan Belanda bisa dikatakan adalah salah satu pondasi
berbagai sistem yang berlaku di Indonesia.  Dari sekian banyak sistem yang ditinggalkan
Belanda di Indonesia, salah satu adalah pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan
pendidikan bisa dikatakan salah satu poin penting dalam pembangunan negara dan
peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Sistem pendidikan yang baik sedikit
banyak akan dapat meningkatkan, apalagi jika dijalankan dengan semestinya.                                                   
Perkembangan pendidikan di Indonesia menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun
1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat
sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada
tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang kehormatan) Secara umum, sistem
pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat
digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar
Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS),
dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO,
HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. (3) Pendidikan tinggi.
Mereka yang hanya sekolah sampai di Volkschool atau Sekolah Rakyat juga cukup
beruntung. Ketika Indonesia Merdeka di tahun 1945, seperti tercatat dalam buku Haji Agus
Salim (1884-1954): Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme (2004), angka buta huruf masih 90
persen. Sekolah hanya bisa dinikmati 10 persen penduduk saja. Sedangkan lulusan HIS
biasanya melanjutkan sekolah ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang setara
SMP, lalu dari MULO yang masa belajar tiga tahun akan berlanjut ke Algemeene Middelbare
School (AMS) atau setara SMA selama tiga tahun. Lulusan sekolah ELS boleh lanjut ke
HBS, di mana masarakat menjalani sekolah menengah selama lima tahun, hanya butuh waktu
12 tahun sekolah dan Jika melalui HIS, MULO lalu AMS, butuh waktu 13 tahun.
Setelah lulus SMA baik AMS maupun HBS, mereka boleh masuk universitas di
Belanda atau melanjutkan ke sekolah tinggi kedokteran bernama School tot Opleiding van
Indische Artsen (STOVIA) yang dikenal juga sebagai Sekolah Dokter Jawa di Kwitang yang
kemudian berubah jadi Geeneskundig Hoge School di Salemba. Selain sekolah kedokteran, di
Betawi ada sekolah hukum bernama Recht Hoge School. Kampus hukum dan kedokteran
kolonial itu belakangan menjadi fakultas-fakultas dari Universitas Indonesia. Ada juga
sekolah pertanian atau Landbouw School di Bogor yang belakangan jadi Institut Pertanian
Bogor (IPB). Di bidang teknik ada Technik Hoge School di Bandung yang sekarang adalah
Institut Teknologi Bandung (ITB).  Sedangkan dalam hal karier orang pribumi dihambat
ketika masuk dunia kerja, baik di swasta maupun pemerintahan. Karena banyak pribumi yang
masuk HIS atau ELS di usia lebih dari 7 tahun alias telat sekolah, maka kesempatan kerja
lulusan SMA pribumi berkurang.

PENDIDIKAN MASA SEKARANG


Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat.Setiap manusia membutuhkan
pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab
tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan
demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang
berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral
yang baik.
Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Pendidikan harus mampu mempersiapkan
warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif,
kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan
mengutamakan persatuan bangsa dan bukannya perpecahan.
Mempertimbangkan pendidikan anak-anak sama dengan mempersiapkan generasi yang
akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-
apa, siap merefleksikan semua yang ditampakkan padanya.
Empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang dicanangkan oleh UNESCO
yang perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal, yaitu: (1) learning to Know
(belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) dalam hal
ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu, (3) learning to be (belajar untuk
menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan
bersama).
Dalam rangka merealisasikan `learning to know`, Guru seyogyanya berfungsi sebagai
fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan sebagai teman sejawat dalam
berdialog dengan siswa dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu
tertentu.
Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) akan bisa berjalan jika sekolah
memfasilitasi siswa untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan
minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan namun
tumbuh berkembangnya bakat dan minat tergantung pada lingkungannya. Keterampilan dapat
digunakan untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan
daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan
seseorang.REPORT THI
Pendidikan yang diterapkan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau kebutuhan
dari daerah tempat dilangsungkan pendidikan. Unsur muatan lokal yang dikembangkan harus
sesuai dengan kebutuhan daerah setempat.
Learning to be (belajar untuk menjadi seseorang) erat hubungannya dengan bakat dan
minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya.
Bagi anak yang agresif, proses pengembangan diri akan berjalan bila diberi kesempatan
cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya bagi anak yang pasif, peran guru dan guru sebagai
pengarah sekaligus fasilitator sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri siswa secara
maksimal.
Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima (take
and give), perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya proses
“learning to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Penerapan pilar
keempat ini dirasakan makin penting dalam era globalisasi/era persaingan global. Perlu
pemupukkan sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama agar tidak menimbulkan
berbagai pertentangan yang bersumber pada hal-hal tersebut.
Dengan demikian, tuntutan pendidikan sekarang dan masa depan harus diarahkan pada
peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan
moral manusia Indonesia pada umumnya. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia
yang demikian diharapkan dapat mendudukkan diri secara bermartabat di masyarakat dunia
di era globalisasi ini.
Mengenai kecenderungan merosotnya pencapaian hasil pendidikan selama ini, langkah
antisipatif yang perlu ditempuh adalah mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat
terhadap dunia pendidikan, peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, serta perbaikan
manajemen di setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan. Untuk meningkatkan mutu
pendidikan di daerah, khususnya di kabupaten/kota, seyogyanya dikaji lebih dulu kondisi
obyektif dari unsur-unsur yang terkait pada mutu pendidikan, yaitu:
(1) Bagaimana kondisi gurunya? (persebaran, kualifikasi, kompetensi penguasaan materi,
kompetensi pembelajaran, kompetensi sosial-personal, tingkat kesejahteraan)
(2) Bagaimana kurikulum disikapi dan diperlakukan oleh guru dan pejabat pendidikan
daerah?
(3) Bagaimana bahan belajar yang dipakai oleh siswa dan guru? (proporsi buku dengan
siswa, kualitas buku pelajaran)
(4) Apa saja yang dirujuk sebagai sumber belajar oleh guru dan siswa?
(5) Bagaimana kondisi prasarana belajar yang ada?
(6) Adakah sarana pendukung belajar lainnya? (jaringan sekolah dan masyarakat, jaringan
antarsekolah, jaringan sekolah dengan pusat-pusat informasi)
(7) Bagaimana kondisi iklim belajar yang ada saat ini?
Mutu pendidikan dapat ditingkatkan dengan melakukan serangkaian pembenahan
terhadap segala persoalan yang dihadapi. Pembenahan itu dapat berupa pembenahan terhadap
kurikulum pendidikan yang dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal,
menerapkan konsep belajar tuntas dan membangkitkan sikap kreatif, demokratis dan mandiri.
Perlu diidentifikasi unsur-unsur yang ada di daerah yang dapat dimanfaatkan untuk
memfasilitasi proses peningkatan mutu pendidikan, selain pemerintah daerah, misalnya
kelompok pakar, paguyuban mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat daerah, perguruan
tinggi, organisasi massa, organisasi politik, pusat penerbitan, studio radio/TV daerah, media
masa/cetak daerah, situs internet, dan sanggar belajar.

PERBEDAAN
Pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan
sebagai berikut: Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah seperti (ELS, HCS, HIS) dengan
menggunakan pengantar Bahasa Belanda. Pendidikan lanjutan terdiri dari (MULO, HBS,
AMS) dan pendidikan kejuruan. Pendidikan tinggi. Mereka yang hanya sekolah sampai di
Volkschool atau Sekolah Rakyat juga cukup beruntung. Pada saat itu sekolah hanya dapat
dinikmati 10 persen penduduk saja. Pendidikan masa sekarang sudah bersifat wajib dan
semua orang diizinkan untuk mendapatkan pendidikan tanpa melihat status golongannya.
Tentunya sistem pendidikannya juga sama tidak ada pembedanya.
Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan
banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Pada zaman kolonial Belanda
pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-
cepatnya melalui pendidikan Barat. Praktek pendidikan Barat ini diharapkan bisa
mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai
“pangreh praja”. Tetapi praktek pendidikan kolonial tersebut masih menunjukkan
diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh
anak-anak dari lapisan atas.
Politik pendidikan colonial erat hubungannya dengan politik mereka pada umumnya.
Suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa dan tidak didorong oleh nilai-
nilai etis dengan maksud untuk membina kematangan politik dan kemerdekaan tanah
jajahannya. Berhubungan dengan sikap itu dapat kita lihat sejumlah ciri politik dan prakti
pendidikan tertentu.
Menurut Tilaar (1995) dalam pandangannya menyebutkan ada 5 ciri yang dapat
ditemukan pendidikan kita dimasa colonial belanda yaitu: Pertama Sistem Dualisme. Dalam
Sistem dualisme diadakan garis pemisahan antara Sistem pendidikan untuk golongan Eropa
dan Sistem pendidikan untuk golongan bumi putra. Ke dua Sistem Korkondasi, sistem
pendidikan ini disesuaikan dengan pendidikan yang terdapat di Belanda. Maka mutu
pendidikan tersebut diasumsikan setingkat pendidikan di Negara Belanda. Ke tiga
Sentralisasi, Kebijakan pendidikan di zaman colonial diurus oleh departemen pengajaran.
Departemen tersebut yang mengatur segala sesuatu mengenai pendidikan dengan
perwakilannya yang terdapat dipropinsi-propinsi Besar. Ke empat Menghambat gerakan
Nasional. Di dalam kurikulum pendidikan kolonial pada waktu itu, diutamakan penguasaan
bahasa belanda dan hal-hal mengenai negeri belanda. Misalnya dalam pengajaran ilmu bumi,
anak-anak bumi putra harus menghapal kota-kota kecil yang ada di negeri Belanda, dan ke
lima tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis
KESIMPULAN

Pendidikan zaman Penjajahan Belanda bisa dikatakan adalah salah satu pondasi
berbagai sistem yang berlaku di Indonesia.  Dari sekian banyak sistem yang ditinggalkan
Belanda di Indonesia, salah satu adalah pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan
pendidikan bisa dikatakan salah satu poin penting dalam pembangunan negara dan
peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Sistem pendidikan yang baik sedikit
banyak akan dapat meningkatkan, apalagi jika dijalankan dengan semestinya.     
Tuntutan pendidikan sekarang dan masa depan harus diarahkan pada peningkatan
kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral manusia
Indonesia pada umumnya. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian
diharapkan dapat mendudukkan diri secara bermartabat di masyarakat dunia di era globalisasi
ini.
Praktek pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1965 bisa dikatakan
banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Pada zaman kolonial Belanda
pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-
cepatnya melalui pendidikan Barat. Praktek pendidikan Barat ini diharapkan bisa
mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas menengah baru yang mampu menjabat sebagai
“pangreh praja”. Tetapi praktek pendidikan kolonial tersebut masih menunjukkan
diskriminasi antara anak pejabat dan anak kebanyakan. Kesempatan luas tetap saja diperoleh
anak-anak dari lapisan atas.

                                           

Anda mungkin juga menyukai