Anda di halaman 1dari 5

Anomali Pendidikan Tinggi Indonesia

Mukhamad Najib - suaraPembaca

Jakarta - Enam puluh tiga tahun sudah pendidikan tinggi Indonesia eksis dan berkembang di
bumi persada ini. Dimulai dari hanya memiliki 200 orang mahasiswa saja pasca perang dunia
kedua sekarang mahasiswa Indonesia telah berjumlah 4,3 juta dengan 155.000 dosen yang
tersebar pada 82 universitas negeri dan 2.800 perguruan tinggi swasta (dikti.go.id).
Investasi di dunia pendidikan sejatinya merupakan bagian dari pengembangan intangible capital
yang merupakan syarat dari suksesnya pembangunan suatu bangsa. Pertanyaan yang mendasar
adalah sejauh mana pendidikan tinggi ini telah melahirkan manusia-manusia terdidik yang siap
berkontribusi bagi kemajuan negeri?
Hari Pendidikan Nasional tahun ini kita rayakan di tengah situasi transisi politik yang sangat
dinamis. Kebijakan lama bisa jadi berlanjut jika formasi pengelola kebijakan tidak berubah.
Begitu juga sebaliknya. Transisi politik memberikan peluang untuk melakukan perubahan dan
perbaikan dalam dunia pendidikan. Oleh karenanya Hari Pendidikan Nasional tahun ini mestilah
menjadi momentum evaluasi nasional atas apa yang terjadi dalam dunia pendidikan tinggi kita.
Salah satu hal yang mesti dievaluasi adalah munculnya anomali dalam dunia pendidikan tinggi.
Out put dari proses pendidikan yang terjadi ternyata memiliki deviasi yang cukup besar dari
tujuan yang seharusnya.
Tidak sedikit lulusan pendidikan tinggi dalam suatu bidang tidak mampu menyelesaikan
permasalahan yang timbul di bidangnya. Sehingga, kehadiran mereka sebagai sarjana di suatu
bidang menjadi kurang bermakna bagi kemajuan bidang tersebut. Pada akhirnya menjadi kurang
bermakna bagi kemajuan bangsa.
Hari ini kita menyaksikan mereka yang dididik untuk menjadi pelayan publik seperti di Institut
Pemerintahan Dalam Negeri, Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, dan lain-lain justru tidak mampu
melayani sesama dengan baik. Kita saksikan malah atribut brutalisme mereka dengan berbagai
aksi kekesaran. Baik yang dilakukan diam-diam mau pun terang-terangan.

Bayangkan. Pelayanan seperti apa yang bisa diberikan ke masyarakat dengan pendidikan
kekerasan semacam ini?
Hari ini kita menyaksikan mereka yang belajar ilmu-ilmu ekonomi setelah lulus justru banyak
yang menjadi beban ekonomi. Bukan sebaliknya memberikan solusi ekonomi dengan pemikiran
dan karyanya. Jumlah pengangguran sarjana dewasa ini melonjak drastis, yakni dari 183.629
lulusan pada tahun 2006 menjadi 409.890 lulusan pada tahun 2007 ditambah dengan pemegang
gelar diploma I, II, dan III yang menganggur lebih dari 740.000 orang.
Hari ini juga kita menyaksikan mereka yang belajar Islam seperti di Universitas Islam Negeri
(UIN) atau Sekolah Tinggi Islam malah banyak yang lebih tertarik (kalau tidak tergila-gila)
untuk mengadopsi ideologi lain daripada mengembangkan dan melaksanakan kehidupannya
berdasarkan nilai-nilai Islam. Bahkan pada titik ekstrim banyak di antara mereka yang justru anti
terhadap berbagai atribut sosial maupun hukum yang bersumber dari Islam.
Anomali juga terjadi pada pendidikan pertanian, teknologi, maupun kedokteran. Hari ini kita
juga menyaksikan mereka yang dididik untuk memajukan dunia pertanian seperti di institut
maupun universitas pertanian malah banyak yang lari dari dunia pertanian.
Anomali atau deviasi yang terlalu jauh antara output yang seharusnya dengan output nyata ini
tidak boleh berlanjut karena akan menyebabkan segala investasi di bidang pendidikan kita
menjadi sia-sia. Pasti ada yang salah dalam proses pembelajaran yang terjadi di institusi
pendidikan kita yang perlu ditemukan dan dibenahi bersama.
Sayangnya banyak pimpinan maupun pakar-pakar pendidikan tinggi kita yang menganggap
deviasi ini sebagai suatu hal yang wajar. Bahkan, tidak jarang di antara mereka yang hobi
berapologi di balik kata "dalam arti luas".
Misalnya seorang professor di sebuah pendidikan tinggi pertanian tidak merasa ada yang salah
ketika lulusannya bekerja sebagai marketer di sebuah perusahaan otomotif. Sang profesor
berapologi kalau mahasiswanya tetap bekerja di bidang pertanian. Namun, dalam arti luas karena
petani juga butuh produk otomotif.
Perlu ada keberanian untuk mengakui adanya deviasi antara output yang diharapkan dari
kurikulum pendidikan yang telah ditetapkan dengan output yang sebenarnya. Hanya dengan
begitu kita akan mampu mencari jalan keluar untuk memperbaiki dunia pendidikan tinggi kita.
Semoga!
Mukhamad Najib
The University of Tokyo, 4-6-41 Shirokanedai, Minato-Ku

mnajib23@yahoo.com
+81-90-982-10-982
Anomali Pendidikan
Jakarta (Kompas: 11/12/06) Kebijakan pendidikan nasional saat ini masih tidak jelas, hanya berkutat
pada hal-hal yang bersifat teknis, dan belum menyentuh persoalan-persoalan substansial, sehingga mutu
pendidikan tidak kunjung membaik.(Mochtar Buchori, Kompas, 2 November 2006) Fakta bahwa secara
individual ada beberapa siswa yang menunjukkan prestasi dalam olimpiade sains tingkat internasional
adalah benar adanya. Akan tetapi, keberhasilan itu tidak serta-merta menggambarkan mutu pendidikan di
Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari laporan tentang pembangunan manusia Indonesia yang dipublikasikan UNDP
pada tahun 2004, di mana Human Development Index Indonesia berada di urutan ke-111 dari 175
negara. Sementara penguasaan matematika siswa kelas II SMP, sebagaimana tercermin dalam hasil tes
Trends in Mathematics and Sciences Study 2003, Indonesia berada pada urutan ke-34 dan 36 untuk
sains dari 46 negara.
Kondisi pendidikan yang memprihatinkan ini mestinya disikapi oleh pemerintah (Depdiknas) dengan
mengambil kebijakan yang strategis dan berkesinambungan. Akan tetapi, kenyataannya justru banyak
kebijakan pendidikan yang anomali, menyimpang dari kenormalan.
Pertama, pembagian kupon pendidikan yang dilakukan oleh ketua dan beberapa anggota DPR. Selain
tidak transparan dan akuntabel, kebijakan ini membuktikan pendidikan digunakan sebagai media
propaganda politik oleh segelintir penguasa guna meraih kekuasaan semata. Barangkali maksudnya
baik, tetapi caranya yang tidak benar sehingga dihentikan oleh Wapres Jusuf Kalla.
Mestinya tidak cukup dihentikan, tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mengusut tuntas dan
kalau terbukti melawan hukum, maka harus dimejahijaukan. Apa pun alasannya, peredaran kupon
pendidikan ini merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang dan bernuansa KKN. Kalau pemberian
parsel saja dilarang KPK, mengapa pendidikan pendidikan yang jumlahnya miliaran rupiah didiamkan
saja?
Kedua, pemberlakuan Kurikulum 2006 atau biasa disebut kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Kurikulum ini pengganti Kurikulum 2004; lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Ketika KBK disosialisasikan kepada sekolah dan guru, para birokrat pendidikan dengan "semangat 45"
mengatakan bahwa KBK merupakan wujud dari desentralisasi pendidikan dan sebuah terobosan
pendidikan yang nantinya bakal mendongkrak mutu pendidikan. Setelah dua tahun KBK dilaksanakan
hampir di semua jenis dan jenjang sekolah di Tanah Air, Depdiknas dengan enteng mengatakan bahwa
KBK adalah kurikulum uji coba dan belum ada landasan hukumnya karena belum ditandatangani oleh
Mendiknas sehingga layak untuk diganti.
Pada awalnya, KBK memang diujicobakan pada beberapa sekolah yang disebut dengan sekolah mini
piloting. Tetapi, belum dilakukan evaluasi secara menyeluruh, Depdiknas sudah memberlakukan KBK
secara nasional. Dan, tiba-tiba KBK diganti KTSP, dengan alasan yang irasional. Lagi-lagi sekolah, guru,
orangtua, dan siswa yang menjadi korban.
Pemberlakuan KTSP pun dilakukan tanpa sebuah persiapan matang. Hal ini dapat dilihat dari rentang
waktu penandatanganan dengan pelaksanaan Peraturan Mendiknas No 22, 23, dan 24. Peraturan
Mendiknas ditandatangani tanggal 23 Mei 2006, tetapi sekolah wajib melaksanakan mulai bulan Juli
tahun pelajaran 2006-2007.
Peraturan Mendiknas memberi amanat, KTSP disusun dan dikembangkan oleh masing-masing jenis dan
jenjang sekolah dengan berpedoman pada Standar Isi yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional

Pendidikan, serta disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan daya dukung sekolah. Untuk menyusun
dokumen KTSP, sekolah wajib menyelenggarakan workshop dengan melibatkan seluruh pemangku
kepentingan. Dokumen KTSP dinyatakan berlaku setelah mendapatkan legalisasi dari kepala dinas
pendidikan kabupaten/kota untuk jenjang pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs), dan kepala dinas
pendidikan provinsi untuk jenjang menengah (SMA/MA dan SMK). Secara teknis, proses penyusunan
dokumen KTSP ternyata membutuhkan waktu yang tidak singkat sehingga pada tahun pelajaran 20062007 secara de jure sekolah menggunakan KTSP, tetapi de facto sekolah belum memiliki dokumen
KTSP.
Ketiga, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai sebuah produk hukum
yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan di Tanah Air ternyata tidak sepenuhnya
ditaati oleh pemerintah. Pasal (5) dengan tegas menyebutkan, "... negara menjamin setiap warga
memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu". Dan untuk mewujudkan itu,
dalam Pasal (49) dinyatakan, "Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan
dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD".
Realitasnya, hingga saat ini amanat itu belum terwujud. Bahkan, keputusan Mahkamah Konstitusi yang
memenangkan gugatan PGRI dan ISPI pun tidak "digubris" pemerintah.
Keempat, privatisasi pendidikan. Amanat konstitusi dengan tegas menyebutkan bahwa pemerintah
mempunyai tanggung jawab dalam membiayai penyelenggaraan pendidikan. Akan tetapi, pemerintah
akan mengingkari tanggung jawab itu dengan mengeluarkan RUU Badan Hukum Pendidikan yang saat
ini sedang dibahas oleh DPR. Dengan privatisasi pendidikan, sama saja negara melegitimasi masuknya
kapitalisme pendidikan sehingga hanya orang-orang "berduit" yang dapat mengakses pendidikan.
Kelima, soal otonomi sekolah dan guru. Menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 39 Ayat 2 menyebutkan, "Pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai pembelajaran, melakukan
pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama
bagi pendidik perguruan tinggi". Dan dalam Pasal 58 Ayat 1 dinyatakan, "Evaluasi belajar peserta didik
dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik
secara berkesinambungan".
Dua pasal ini mengamanatkan bahwa otoritas evaluasi pendidikan itu ada di tangan guru. Artinya,
penetapan kedalaman, keleluasaan evaluasi, penetapan kisi-kisi, penetapan butir soal, analisis item soal,
sampai pada pengambilan keputusan semestinya ada di tangan guru. Namun, kenyataannya otonomi itu
diambil alih oleh Depdiknas melalui ujian nasional (UN) dengan legitimasi Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang justru bertentangan dengan UU Sisdiknas.
Gugatan guru, orangtua, dan siswa korban UN yang sekarang masih dalam proses peradilan adalah
fakta yang tak terelakkan.
Keenam, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Harapannya melalui undang-undang ini
ada jaminan atas profesionalisme, perlindungan, karier, dan kesejahteraan guru sehingga dapat menjadi
modal dasar dalam mendongkrak mutu pendidikan. Sebab, guru adalah ujung tombak dalam proses
pendidikan.
Akan tetapi, UU ini hanyalah pepesan kosong karena tidak sesuai dengan realitas kualifikasi dan
kompetensi guru di Indonesia sekarang.
Hasil evaluasi yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas pada tahun 2004, dari
2,7 juta guru menunjukkan bahwa ketidaksesuaian ijazah yang mengajar di jenjang pendidikan dasar dan
menengah menunjukkan kecenderungan yang kurang menggembirakan jika mengacu pada persyaratan
yang ada. Guru SD tercatat 66,11 persen yang tidak memiliki ijazah sesuai ketentuan, guru SMP 39,99
persen, dan guru SMA sebanyak 34,08 persen.
Selain itu, secara umum terdapat 15,21 persen guru pada berbagai jenjang pendidikan dasar dan
menengah mengajar tidak sesuai dengan kompetensinya. UU Guru dan Dosen mengamanatkan dalam
kurun waktu 10 tahun persoalan tersebut akan teratasi. Ini target yang tidak realistis: "bagai pungguk

merindukan bulan".
Masih banyak anomali (kebijakan) pendidikan yang harus dibenahi. Apabila pendidikan diyakini sebagai
investasi masa depan bangsa, saatnya pemerintahan SBY-JK berani menempatkan pendidikan sebagai
pilar utama pembangunan dan mendekrontruksi semua bentuk regulasi dan paradigma pendidikan agar
sesuai dengan semangat pembukaan UUD 45. Jangan biarkan bangsa ini menjadi bangsa yang gagal.
-----------------FA Agus Wahyudi Guru SMA Negeri 1 Purwokerto, Pegiat Forum Interaksi Guru Banyumas
Sumber : http://www.sampoernafoundation.org/content/view/578/48/lang,id/

Anda mungkin juga menyukai