Anda di halaman 1dari 8

PROBLEMATIKA PERGURUAN TINGGI

CATATAN PINGGIR DARI SEBUAH REALITAS


By. Yusrin Ahmad Tosepu
@Des.2020.LSP3I
Membahas mengenai pendidikan,
khususnya pendidikan tinggi di Indonesia,
adalah hal yang menarik dan tidak pernah
selesai dibahas. Sebab, secara umum,
masalah pendidikan adalah masalah yang
amat mendasar dan berkait erat dengan
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan
membentuk sumberdaya manusia Indonesia
seutuhnya.
Masyarakat menganggap bahwa perguruan tinggi memberikan sumbangan besar
terhadap kehidupan. Perguruan tinggi mendidik para mahasiswa agar mampu berpikir
kritis, rasional, obyektif, terbuka, dan bertanggung jawab. Kemampuan seperti itu
diperlukan sebagai bekal menjalani hidup di masyarakat. Perguruan tinggi juga
dirasakan telah banyak berhasil mengantarkan generasi muda memperoleh
pekerjaan. Tidak sedikit generasi muda yang meraih sukses atas jasa institusi modern
tersebut, menjadi politikus, pengusaha, pejabat pemerintah, tentara, polisi, hakim,
jaksa, dan lain-lain. Artinya, sumbangan perguruan tinggi terhadap kehidupan
masyarakat baik di kota maupun khususnya masyarakat di pedesaan luar biasa
besarnya.

Catatan keberhasilan tersebut, menjadikan masyarakat sedemikian percaya terhadap


institusi pendidikan itu. Mereka sanggup membayar berapa saja untuk membiayai
anak-anaknya belajar di perguruan tinggi. Akhirnya pendidikan tinggi, bagi masyarakat
diyakini telah berperan sebagai dewa penolong bagi anak-anaknya yang berkeinginan
memperbaiki kualitas hidupnya; menjadi pejabat, pegawai pemerintah, pekerja di
bank, dan seterusnya.

Akan tetapi di balik keberhasilan itu, juga terdapat masyarakat yang justru amat
kecewa dari kegagalan anak-anaknya setelah lama belajar di perguruan tinggi. Pada
awalnya sedemikian optimis, anaknya akan berhasil. Namun yang diperoleh justru
sebaliknya. Mereka telah menjual apa saja yang dimiliki untuk mencukupi kebutuhan
anaknya kuliah. Berharap semua yang dibayarkan akan kembali tatkala nanti anaknya
nanti sukses dan memperoleh pekerjaan.

Akan tetapi, apa yang dibayangkan sedemikian indah itu ternyata tidak terwujud.
Setelah selesai kuliah dan dinyatakan lulus, ijazah yang diperoleh oleh anaknya,
sekalipun sudah berkirim surat lamaran ke mana-mana, ternyata belum berhasil
mendapatkan pekerjaan. Akibatnya, ia menjadi tidak jelas, sebagai pegawai bukan,
berwirausaha pun juga tidak. Sebagian masyarakat beranggapan, perguruan tinggi
bukan mensejahterakan orang, melainkan justru menjadikan orang menjadi sarjana
pengangguran.

Penulis mencatat bahwa permasalahan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi,


memang cukup banyak dan kompleks. Sehingga, dengan melihat berbagai
permasalah pokok diatas, termasuk masalah relevansi pendidikan di perguruan tinggi
tinggi dan kebutuhan dunia kerja. Salah satu masalah mendasar yang dihadapi
perguruan tinggi adalah problem relevansi dan mutu yang belum menggembirakan.
Pendidikan tinggi belum bisa menjadi faktor penting yang mampu melahirkan lulusan
dengan orientasi job creating dan kemandirian.

Pengangguran terdidik lulusan perguruan tinggi terus bertambah. Perguruan Tinggi


belum sepenuhnya mampu melahirkan lulusan yang tentunya memiliki
kompetensi/keahlian yang dibutuhkan masyarakat. Tentu banyak juga prestasi yang
telah dicapai perguruan tinggi kita, akan tetapi gaung masalah ini lebih bergema
dibanding deretan prestasi-prestasi.

Melihat hal ini, kita selalu dituntut untuk mencari akar masalahnya. Apakah akar
masalahnya berada pada kurikulum dan literatur yang diberikan yang tidak
terkoordinasi, akreditasi kelembagaan yang tidak terukur, tenaga pendidik yang belum
terakreditasi, atau masalah lainnya. Dalam hal ini, setidaknya kita mencatat berbagai
kendala mendasar yang ada dalam dunia pendidikan tinggi yaitu:

Pertama, masih rendahnya kualitas pendidik. Masalah ini merupakan persoalan


krusial yang harus segera diatasi, karena akan berdampak signifikan terhadap lulusan
yang dihasilkan. Salah satu yang akan terdampak adalah indeks pembangunan
manusia (IPM) Indonesia yang selama ini dinilai masih rendah. Terkait dengan ini,
dibutuhkan perhatian yang serius dalam rangka meningkatkan kualitas pendidik. Para
dosen harus secara berkelanjutan melakukan update kemampuan dan ilmunya,
sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berjalan.

Kedua, belum memadainya fasilitas pendidikan. Hingga kini masih banyak


pendidikan tinggi yang belum memiliki fasilitas pendidikan yang lengkap, sehingga
proses pembelajaran dan hasil lulusan menjadi kurang optimal. Perlu diingat bahwa
tanpa fasilitas yang memadai dan relevan dengan kebutuhan, maka hasil pendidikan
tidak akan optimal. Hal ini pada umumnya terjadi di berbagai fakultas yang
membutuhkan alat peraga dan alat praktek dalam proses pembelajaran.

Ketiga, masalah efektivitas pendidikan. Efektivitas pendidikan terkait erat dengan


kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan oleh pendidikan tinggi. Namun
kenyataan yang sangat memprihatinkan adalah, bahwa di Indonesia, hingga kini
masih banyak penyelenggaraan pendidikan tinggi yang belum efektif, sehingga hanya
sedikit pendidikan tinggi Indonesia yang masuk pada ranking atas pendidikan tinggi di
tingkat dunia dan bahkan tingkat Asia. Kenyataan ini menunjukkan betapa rendahnya
kualitas pendidikan tinggi di kebanyakan pendidikan tinggi Indonesia, dan tentu saja
hal ini berimplikasi pada sumber daya manusia yang dihasilkan.

Keempat, mahalnya biaya pendidikan. Sebagaimana kita ketahui bersama, hingga


kini masyarakat masih harus menanggung banyak biaya, sehingga hanya golongan
masyarakat mampu yang dapat membiayai pendidikan anaknya di jenjang pendidikan
ini. Meskipun Pemerintah menyediakan beasiswa untuk mahasiswa dari keluarga tidak
mampu, namun jumlahnya hanya sedikit. Dampak akhir dari kenyataan ini adalah
ketidakadilan dalam memperoleh hak atas pendidikan.

Kelima, masalah pengangguran terdidik. Pengangguran terdidik terkait dengan


kualitas pendidikan tinggi. Banyaknya lulusan pendidikan tinggi yang tidak dapat
segera memasuki dunia kerja, apalagi menciptakan lapangan kerja sendiri,
merupakan permasalahan krusial dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Berdasarkan
pengamatan penulis, pengangguran terdidik di Indonesia terus mengalami
peningkatan sejak beberapa tahun terakhir, sementara jumlah penganggur tidak
terdidik makin turun. Dengan melonjaknya jumlah pengangguran intelektual maka
tugas pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja juga akan semakin susah.

Keenam, link and match antara pendidikan tinggi dan kebutuhan akan
sumberdaya manusia di lapangan kerja. Pendidikan tinggi bagai berjalan dengan
iramanya sendiri, sementara kondisi riil di lapangan kurang diperhatikan secara
matang. Akhirnya pendidikan tinggi tidak mampu menjadi faktor yang penting dalam
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pendidikan tinggi belum mampu
sepenuhnya melahirkan sumberdaya manusia yang layak diterima di lapangan kerja
yang ada, dan pendidikan tinggi juga belum mampu menghasilkan entrepreneur yang
memiliki keberanian dan kemandirian.

Upaya Menjawab Resistensi Masyarakat

Fenomena Sarjana Pengangguran ini menimbulkan pertanyaan, “jika parameter


kesuksesan pendidikan di perguruan tinggi tidak sejalan dengan kesuksesan
lulusanya di masyarakat, lantas perguruan tinggi mempersiapkan peserta didiknya
untuk apa? Bukankah perguruan tinggi mempersiapkan peserta didik untuk siap
sukses di masyarakat?

Tujuan penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
penyelenggaraan pendidikan nasional, tidak dapat dilepaskan dari amanat pasal 31
ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang”. Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 pasal 3
bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu,
dan masih banyak lagi.

Dengan Undang-undang tersebut, tentu saja diharapkan bahwa perguruan tinggi


memiliki peran strategis dalam memajukan peradaban dan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, dengan adanya UU Pendidikan Tinggi, diharapkan sejumlah persoalan
yang menjadi kendala dalam mewujudkan pendidikan tinggi dapat terjawab.
Bagaimana kenyataannya? Apakah lulusan perguruan tinggi kita siap menghadapi
tantangan dunia kerja? Apakah sarjana kita siap beradaptasi dengan perkembangan
zaman? Apakah luaran perguruan tinggi sudah dibekali komptensi/keahlian hardskills
dan softskills yang memadai? Siapakah yang siap berwirausaha, mereka yang lulusan
sarjana atau orang tidak sarjana?

Untuk menjawab berbagai persoalan pendidikan tinggi ternyata tidak berlangsung


dengan mudah. Resistensi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di
perguruan tinggi terkait fenomena sarjana penggangguran, dan memerlukan jawaban
dan kesungguhan dari seluruh kalangan pemangku kepentingan pendidikan tinggi
tinggi kita.

Penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai bagian yang tidak dapat dilepaskan dari
kebutuhan masyarakat. Tentu saja diharapkan bahwa dunia pendidikan tinggi dapat
menghadapi perkembangan globalisasi yang makin mengutamakan basis ilmu
pengetahuan dan peran strategis dalam memajukan peradaban dan kesejahteraan
masyarakat. Selain itu, Pendidikan Tinggi, diharapkan sejumlah persoalan yang
menjadi kendala dalam mewujudkan pendidikan tinggi dapat terjawab.

Terkait erat dengan kesuksesan seseorang di masyarakat, Thomas J. Stanley


melakukan penelitian dengan cara memetakan 100 faktor yang berpengaruh terhadap
tingkat kesuksesan seseorang berdasarkan survey terhadap 733 miliarder Amerika
Serikat. Hasilnya? 10 besar faktor paling menentukan terhadap kesuksesan
seseorang ternyata adalah kejujuran, disiplin keras, mudah bergaul, dukungan
pendamping/pasangan, kerja keras, kecintaan terhadap apa yang dikerjakan,
kepemimpinan, kepribadian yang kompetitif, hidup teratur, dan kemampuan menjual
ide.

Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tinggi saat bersekolah tidaklah masuk
dalam peringkat 10 besar. Lalu berada di posisi manakah nilai-nilai sekolah?
Ternyata, penilaian tinggi di sekolah hanya berada pada faktor ke-30, sementara
faktor IQ berada pada urutan ke-21, dan faktor bersekolah di universitas atau sekolah
favorit menempati peringkat ke-23. Kalaulah ada yang berkilah bahwa parameter
kesuksesan yang dimaksud terlalu sempit, yakni sekedar mengukur kesuksesan
berdasarkan kekayaan, maka mari kita perhatikan juga korelasi antara tujuan
pendidikan nasional dengan hasil pendidikan selama ini.

Jika kita perhatikan seksama faktor terbesar penentu kesuksesan yang diteliti oleh
Stanley dan tujuan pendidikan nasional, semuanya bermuara kepada keutamaan
sikap, karakter, soft skills. Jika Stanley berbicara jujur, pembentukan sikap, karakter,
soft skills adalah yang utama. Jika Stanley berbicara mengenai disiplin keras, sikap,
maka dunia pendidikan harusnya memberikan kita lebih dari itu, yakni taat, begitu
juga seterusnya sikap mudah bergaul (kemampuan berkomunikasi dan kolaborasi),
sikap kompetitif, kemampuan menjual ide (kreatif dan inovatif), dan masih banyak lagi.
Intinya, seluruh sikap maupun sifat utama penentu kesuksesan dalam penelitian J.
Stanley, harusnya menjadi penguatan pendidikan yang diajarkan kepada peserta didik
selain penguatan hardskill.

Belajar di perguruan tinggi merupakan kegiatan untuk mendapatkan pengetahuan,


pemahaman tentang suatu hal, atau penguasaan kecakapan dalam suatu hal atau
bidang hidup tertentu lewat usaha, pengajaran atau pengalaman. Hasil belajar adalah
perubahan pandangan, cara berpikir, berperasaan, berkehendak cara kerja, dan
keseluruhan perilaku hidup. Tanggung jawab belajar diperguruan tinggi tidak
seluruhnya dipercayakan pada para dosen tapi lebih kepada mahasiswa. Oleh karena
itu, pada mahasiswa dituntut adanya sikap dan perilaku yang benar dalam belajar.
Salah satu hal yang penting ketika belajar di perguruan tinggi adalah perlu adanya
motivasi yang tinggi pada diri mahasiswa untuk belajar. Peran Pengajar atau dosen
diharapkan sebagi fasilitor, motivator dan dinamisator dalam kegiatan pendidikan dan
pembelajaran.

Selama ini, pola pendidikan diperguruan tinggi hanya mengutamakan kognitif tapi
minim softskils. Fokus utama hanya mengasah kognitif atau kecerdasan peserta
didiknya. Mereka mengesampingkan pendidikan karakter atau softskills. Rutinitas
harian peserta didik dipenuhi dengan bekal penunjang kognitif, porsi pendidikan
penguatan softskills sangatlah minim atau bahkan tidak ada sama sekali. Pola inilah
yang menghasilkan generasi-generasi muda tak mampu menghadapi perubahan--
tantangan zaman. Padahal, mahasiswa perlu didorong kekuatan mentalnya. Kekuatan
mental itu berupa keinginan, perhatian, kemauan, atau cita-cita.

Dosen harus mampu menerapkan metode belajar yang mampu membekali peserta
didik menguasai, menyerap, mengingat informasi, pengetahuan, dan menguasai
kecakapan baik secara dalam arti efisien maupun efektif. Atau Metode belajar yang
baik dapat membantu peserta didik belajar secara poduktif; dimana informasi,
pengetahuan dan kecakapan dikembangkan dan dimanfaatkan untuk hidup bagi kerja
pribadi dan kesejahteraan orang lain. Kompetensi, Kreativitas, Inovasi, Kemampuan
Berpikir Kritis dan beradaptasi menjadi Kunci pendidikan di perguruan tinggi sekarang
ini dalam menjawab tantangan zaman.

Perguruan tinggi harus memberikan bekal bagaimana agar para mahasiswa memiliki
cara berpikir yang kreatif, bagaimana cara melakukan inovasi, dan bagaimana cara
untuk berpikir kritis, sehingga mereka dapat menghadapi tantangan masa depan
yang makin kompleks. Selain itu, pembelajaran yang diberikan kepada mahasiswa
harus dekat kehidupan nyata tidak bergantung pada materi perkuliahan dan
mengandalkan apa yang disampaikan oleh dosen saja. Mahasiswa harus dibekali pula
dengan kemampuan literasi, baik itu literasi data, literasi teknologi, dan juga literasi
manusia. Jika literasi mahasiswa sudah berjalan dengan baik, akan berkembang
mengenai kemanusiaan, komunikasi, dan kerjasama dalam diri mahasiswa.

Selain itu, mahasiswa tidak hanya mempelajari satu bidang saja, karena dalam
menghadapi tantangan zaman, khususnya di dunia kerja dan industri tidak lagi
bertanya mengenai latar belakang pendidikan, melainkan keahlian yang dimiliki.
dalam hal ini adalah bagaimana agar mahasiswa memiliki entrepreneur mindset. Oleh
karena itu, seharusnya praktek pendidikan perguruan tinggi harus berimbang hardskill
dan softskill. Inilah implementasi sesungguhnya dari amanat pasal 31 ayat (3) UUD
1945 dan UU No. 20 tahun 2003 pasal 3.
Penguatan Hardskils dan SoftSkills sebagai jawaban

Beragam fenomena pendidikan yang telah dipaparkan membawa kita pada


kesimpulan bahwa Kemajuan zaman menuntut mahasiswa tak hanya pintar secara
IQ, akan tetapi juga sukses dalam EQ dan SQ. Kegagalan perguruan tinggi dalam
melahirkan lulusan sarjana yang “berkualitas” karena pola pendidikan saat ini berfokus
mengasah salah satu cabang kecerdasan saja, yakni kognitif (kecerdasan intelektual)
dan telah terbukti tidak banyak membantu peserta didik untuk sukses bermasyarakat.

Agar kita tidak terjebak dalam pusaran uji coba sistem pendidikan tanpa henti,
orientasi pendidikan haruslah difokuskan pada pengembangan dan penguatan
hardskill dan softskills peserta didik secara berimbang. Penilaian tertinggi peserta didik
selama proses pendidikan tidak hanya nilai intelektualnya tapi juga hal yang tak kalah
penting adalah “soft skillnya”.

Soft skills seperti sikap terbuka, jujur, bertanggungjawab, kerja keras, pantang
menyerah, kemampuan berkomunikasi, beradaptasi, kolaborasi dan dsb. adalah
potensi dasar peserta didik yang harus dikuatkan dan dikembangkan dalam aktifitas
dan kegiatan pendidikan dan pembelajaran di perguruan tinggi sebagai bekal peserta
didik dalam menghadapai tantangan zaman selain bekal hardskills tentunya. Artinya
pendidikan softskills menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kegiatan dan aktifitas
pendidikan dan pengajaran di perguruan tinggi.

Persepsi inilah yang harus menjadi orientasi seluruh pemangku kebijakan pendidikan
tinggi, termasuk dalam merumuskan visi, misi, kurikulum pendidikan dan instrumen
belajar di perguruan tinggi. Jika ini dilakukan dengan semestinya, maka sistem
pendidikan di perguruan tinggi kita akan segera memiliki landasan kokoh dalam
mendidik dan membelajarkan generasi muda pelanjut masa depan negeri ini.

Oleh karena itu, perguruan tinggi harus memperbaiki diri dengan reorientasi
pendidikan dan pengajaran ke arah filsafat pendidikan, yakni pendidikan yang tidak
hanya mencerdaskan, tapi pendidikan yang berwatak atau berkarakter. Hal itu telah
diajarkan para tokoh bangsa ini; Boedi Oetomo mendirikan Pergerakan yang
mengajarkan budi pekerti yang mulia atau, Bung Karno dengan membangun karakter
bangsa yang bertanggung jawab.

Anda mungkin juga menyukai