Akan tetapi di balik keberhasilan itu, juga terdapat masyarakat yang justru amat
kecewa dari kegagalan anak-anaknya setelah lama belajar di perguruan tinggi. Pada
awalnya sedemikian optimis, anaknya akan berhasil. Namun yang diperoleh justru
sebaliknya. Mereka telah menjual apa saja yang dimiliki untuk mencukupi kebutuhan
anaknya kuliah. Berharap semua yang dibayarkan akan kembali tatkala nanti anaknya
nanti sukses dan memperoleh pekerjaan.
Akan tetapi, apa yang dibayangkan sedemikian indah itu ternyata tidak terwujud.
Setelah selesai kuliah dan dinyatakan lulus, ijazah yang diperoleh oleh anaknya,
sekalipun sudah berkirim surat lamaran ke mana-mana, ternyata belum berhasil
mendapatkan pekerjaan. Akibatnya, ia menjadi tidak jelas, sebagai pegawai bukan,
berwirausaha pun juga tidak. Sebagian masyarakat beranggapan, perguruan tinggi
bukan mensejahterakan orang, melainkan justru menjadikan orang menjadi sarjana
pengangguran.
Melihat hal ini, kita selalu dituntut untuk mencari akar masalahnya. Apakah akar
masalahnya berada pada kurikulum dan literatur yang diberikan yang tidak
terkoordinasi, akreditasi kelembagaan yang tidak terukur, tenaga pendidik yang belum
terakreditasi, atau masalah lainnya. Dalam hal ini, setidaknya kita mencatat berbagai
kendala mendasar yang ada dalam dunia pendidikan tinggi yaitu:
Keenam, link and match antara pendidikan tinggi dan kebutuhan akan
sumberdaya manusia di lapangan kerja. Pendidikan tinggi bagai berjalan dengan
iramanya sendiri, sementara kondisi riil di lapangan kurang diperhatikan secara
matang. Akhirnya pendidikan tinggi tidak mampu menjadi faktor yang penting dalam
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pendidikan tinggi belum mampu
sepenuhnya melahirkan sumberdaya manusia yang layak diterima di lapangan kerja
yang ada, dan pendidikan tinggi juga belum mampu menghasilkan entrepreneur yang
memiliki keberanian dan kemandirian.
Tujuan penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
penyelenggaraan pendidikan nasional, tidak dapat dilepaskan dari amanat pasal 31
ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang”. Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 pasal 3
bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu,
dan masih banyak lagi.
Penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagai bagian yang tidak dapat dilepaskan dari
kebutuhan masyarakat. Tentu saja diharapkan bahwa dunia pendidikan tinggi dapat
menghadapi perkembangan globalisasi yang makin mengutamakan basis ilmu
pengetahuan dan peran strategis dalam memajukan peradaban dan kesejahteraan
masyarakat. Selain itu, Pendidikan Tinggi, diharapkan sejumlah persoalan yang
menjadi kendala dalam mewujudkan pendidikan tinggi dapat terjawab.
Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tinggi saat bersekolah tidaklah masuk
dalam peringkat 10 besar. Lalu berada di posisi manakah nilai-nilai sekolah?
Ternyata, penilaian tinggi di sekolah hanya berada pada faktor ke-30, sementara
faktor IQ berada pada urutan ke-21, dan faktor bersekolah di universitas atau sekolah
favorit menempati peringkat ke-23. Kalaulah ada yang berkilah bahwa parameter
kesuksesan yang dimaksud terlalu sempit, yakni sekedar mengukur kesuksesan
berdasarkan kekayaan, maka mari kita perhatikan juga korelasi antara tujuan
pendidikan nasional dengan hasil pendidikan selama ini.
Jika kita perhatikan seksama faktor terbesar penentu kesuksesan yang diteliti oleh
Stanley dan tujuan pendidikan nasional, semuanya bermuara kepada keutamaan
sikap, karakter, soft skills. Jika Stanley berbicara jujur, pembentukan sikap, karakter,
soft skills adalah yang utama. Jika Stanley berbicara mengenai disiplin keras, sikap,
maka dunia pendidikan harusnya memberikan kita lebih dari itu, yakni taat, begitu
juga seterusnya sikap mudah bergaul (kemampuan berkomunikasi dan kolaborasi),
sikap kompetitif, kemampuan menjual ide (kreatif dan inovatif), dan masih banyak lagi.
Intinya, seluruh sikap maupun sifat utama penentu kesuksesan dalam penelitian J.
Stanley, harusnya menjadi penguatan pendidikan yang diajarkan kepada peserta didik
selain penguatan hardskill.
Selama ini, pola pendidikan diperguruan tinggi hanya mengutamakan kognitif tapi
minim softskils. Fokus utama hanya mengasah kognitif atau kecerdasan peserta
didiknya. Mereka mengesampingkan pendidikan karakter atau softskills. Rutinitas
harian peserta didik dipenuhi dengan bekal penunjang kognitif, porsi pendidikan
penguatan softskills sangatlah minim atau bahkan tidak ada sama sekali. Pola inilah
yang menghasilkan generasi-generasi muda tak mampu menghadapi perubahan--
tantangan zaman. Padahal, mahasiswa perlu didorong kekuatan mentalnya. Kekuatan
mental itu berupa keinginan, perhatian, kemauan, atau cita-cita.
Dosen harus mampu menerapkan metode belajar yang mampu membekali peserta
didik menguasai, menyerap, mengingat informasi, pengetahuan, dan menguasai
kecakapan baik secara dalam arti efisien maupun efektif. Atau Metode belajar yang
baik dapat membantu peserta didik belajar secara poduktif; dimana informasi,
pengetahuan dan kecakapan dikembangkan dan dimanfaatkan untuk hidup bagi kerja
pribadi dan kesejahteraan orang lain. Kompetensi, Kreativitas, Inovasi, Kemampuan
Berpikir Kritis dan beradaptasi menjadi Kunci pendidikan di perguruan tinggi sekarang
ini dalam menjawab tantangan zaman.
Perguruan tinggi harus memberikan bekal bagaimana agar para mahasiswa memiliki
cara berpikir yang kreatif, bagaimana cara melakukan inovasi, dan bagaimana cara
untuk berpikir kritis, sehingga mereka dapat menghadapi tantangan masa depan
yang makin kompleks. Selain itu, pembelajaran yang diberikan kepada mahasiswa
harus dekat kehidupan nyata tidak bergantung pada materi perkuliahan dan
mengandalkan apa yang disampaikan oleh dosen saja. Mahasiswa harus dibekali pula
dengan kemampuan literasi, baik itu literasi data, literasi teknologi, dan juga literasi
manusia. Jika literasi mahasiswa sudah berjalan dengan baik, akan berkembang
mengenai kemanusiaan, komunikasi, dan kerjasama dalam diri mahasiswa.
Selain itu, mahasiswa tidak hanya mempelajari satu bidang saja, karena dalam
menghadapi tantangan zaman, khususnya di dunia kerja dan industri tidak lagi
bertanya mengenai latar belakang pendidikan, melainkan keahlian yang dimiliki.
dalam hal ini adalah bagaimana agar mahasiswa memiliki entrepreneur mindset. Oleh
karena itu, seharusnya praktek pendidikan perguruan tinggi harus berimbang hardskill
dan softskill. Inilah implementasi sesungguhnya dari amanat pasal 31 ayat (3) UUD
1945 dan UU No. 20 tahun 2003 pasal 3.
Penguatan Hardskils dan SoftSkills sebagai jawaban
Agar kita tidak terjebak dalam pusaran uji coba sistem pendidikan tanpa henti,
orientasi pendidikan haruslah difokuskan pada pengembangan dan penguatan
hardskill dan softskills peserta didik secara berimbang. Penilaian tertinggi peserta didik
selama proses pendidikan tidak hanya nilai intelektualnya tapi juga hal yang tak kalah
penting adalah “soft skillnya”.
Soft skills seperti sikap terbuka, jujur, bertanggungjawab, kerja keras, pantang
menyerah, kemampuan berkomunikasi, beradaptasi, kolaborasi dan dsb. adalah
potensi dasar peserta didik yang harus dikuatkan dan dikembangkan dalam aktifitas
dan kegiatan pendidikan dan pembelajaran di perguruan tinggi sebagai bekal peserta
didik dalam menghadapai tantangan zaman selain bekal hardskills tentunya. Artinya
pendidikan softskills menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kegiatan dan aktifitas
pendidikan dan pengajaran di perguruan tinggi.
Persepsi inilah yang harus menjadi orientasi seluruh pemangku kebijakan pendidikan
tinggi, termasuk dalam merumuskan visi, misi, kurikulum pendidikan dan instrumen
belajar di perguruan tinggi. Jika ini dilakukan dengan semestinya, maka sistem
pendidikan di perguruan tinggi kita akan segera memiliki landasan kokoh dalam
mendidik dan membelajarkan generasi muda pelanjut masa depan negeri ini.
Oleh karena itu, perguruan tinggi harus memperbaiki diri dengan reorientasi
pendidikan dan pengajaran ke arah filsafat pendidikan, yakni pendidikan yang tidak
hanya mencerdaskan, tapi pendidikan yang berwatak atau berkarakter. Hal itu telah
diajarkan para tokoh bangsa ini; Boedi Oetomo mendirikan Pergerakan yang
mengajarkan budi pekerti yang mulia atau, Bung Karno dengan membangun karakter
bangsa yang bertanggung jawab.