Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Krisis multidimensi yang dialami Bangsa Indonesia yang terus


menerus dan seperti tidak ada putus-putusnya ini benar-benar
memukul semua sektor dan lini kehidupan bangsa. Ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pemerintah, keengganan publik untuk bekerja
sama dan menghargai kerja keras pendiri bangsa hingga pada
pergesekan-pergesekan sosial politik budaya dan ekonomi antar
elemen bangsa mengantarkan Bangsa Indonesia ke arah yang krusial
dan mengkuatirkan.
Terlebih-lebih dengan keengganan Pemerintah sebelumnya
menyikapi perkembangan dunia global yang juga memporak-
porandakan perekonomian dan menimbulkan krisis dalam negeri
sangat berdampak pada martabat dan harga diri bangsa di mata
internasional.
Masalah-masalah dunia pendidikan kita selalu dikaitkan dengan
kedudukan Indonesia yang berada di urutan 33 dari 43 negara Asia
yang masih belum berkembang dalam mengelola penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu.
Maka dengan diterbitkannya UU No. 20 Tahun 2003 yang
menyiratkan bahwa Sistem Pendidikan Nasional Indonesia harus
mencapai standar-standar nasional, dimulai dari Standar Isi, Standar
Pengelolaan, Standar Kompetensi Siswa, Standar Kompetensi
Guru, Standar Kompetensi Kepala Sekolah, Standar Kompetensi
Pengawas, Standar Pembiayaan, Standar Sarana Prasarana yang
kesemuanya itu adalah target yang masih harus dikejar agar dapat
mencapai standar pendidikan yang layak dan bermutu sehingga dapat
menghasilkan outcome yaitu peserta didik atau lulusan-lulusan semua
tingkatan pendidikan yang mampu bersaing dan kompetitif hingga
tingkat global.

Dra. Deminesi 1
Namun, untuk mencapai hal-hal tersebut masih banyak kerja
keras dan pembenahan pada sistem dan seluruh elemen yang
menyangkut dan terkait dengan pemberdayaan dan pembangunan
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Pemerintah terus berupaya mencapai tujuan pembangunan
Bangsa yang sudah digariskan dalam amandemen Ke-4 UUD 1945
yang mensyaratkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% untuk
mencapai standar minimal tersebut.
Kota Palangka Raya sebagai kota yang tengah berkembang dan
lambat laun dipandang sebagai barometer pendidikan di Kalimantan
Tengah sudah sepantasnya berada dilini terdepan untuk menghasilkan
layanan pendidikan bagi publik secara bermutu, terjangkau dan
bermartabat. Sehingga dengan pembenahan dan pengelolaan
penyelenggaraan pendidikan di semua tingkatan dari TK/RA, SD/MI,
SMP/MTs, SMA/MA/SMK baik itu yang dikelola oleh Negeri
(Pemerintah) maupun yang dikelola oleh sektor swasta agar dapat
bersinergis dan bahu-membahu untuk mewujudkan tujuan suci dari
konstitusi UUD 1945 yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

B. Tujuan

Tujuan dari makalah ini :


Memberikan langkah konkrit dan relevan untuk meningkatkan mutu
pendidikan di Kota Palangka Raya melalui penerapan manajemen
berbasis sekolah sehingga dapat mencapai standar minimal.

C. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari uraian sebelumnya yaitu : Bagaimana


meningkatkan mutu pendidikan di Kota Palangka Raya melalui
manajemen berbasis sekolah dapat mencapai standar minimal?

Dra. Deminesi 2
D. Manfaat

Manfaat dari makalah ini :


Memberikan langkah alternatif untuk meningkatkan mutu pendidikan di
kota Palangka Raya melalui manajemen berbasis sekolah sehingga
dapat mencapai standar minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah.

E. Tinjauan Pustaka

Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia


secara kuantitatif telah berkembang sangat cepat. Pada tahun 1965
jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah murid dan
guru sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah meningkat pesat menjadi
150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat
Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Jadi dalam waktu sekitar 30
tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Sudah barang tentu
perkembangan pendidikan tersebut patut disyukuri. Namun
sayangnya, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan
peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul
berbagai ketimpangan pendidikan di tengah-tengah masyarakat,
termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara
kualitas output pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang
dibutuhkan, b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota,
antar Jawa dan luar Jawa, antar penduduk kaya dengan penduduk
yang masih berada dalam strata miskin. (Zamroni, 2003).
Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan
untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum
menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan
di tanah air kita dapat dikatakan senantiasa gagal menjawab problem
masyarakat? Sesungguhnya kegagalan berbagai bentuk pembaharuan
pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk
pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal
sulam, melainkan lebih mendasar lagi kegagalan tersebut dikarenakan

Dra. Deminesi 3
ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan
paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah
usang. Ketergantungan ini menyebabkan adanya harapan-harapan
yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.
John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict
Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut
sebagai : a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-
kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk
memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan
sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan.
Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua
peran yang lain merupakan fungsi ekonomi.
Sesuai dengan peran pendidikan sebagai engine of growth, dan
penentu bagi perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem
pendidikan yang paling tepat adalah single track dan diorganisir secara
terpusat sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan pembangunan
nasional. Lewat jalur tunggal inilah lembaga pendidikan akan mampu
menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Agar proses pendidikan efisien dan etektif, pendidikan harus disusun
dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen (bersifat sentralistis,
kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori (text bookish).
Namun, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan
nasional sistem persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggerak
dan lokomotif pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat tulisannya
berjudul Education versus Qualifications menyatakan pendidikan
telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi,
dengan munculnya berbagai kesenjangan: kultural, sosial, dan
khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya
pengangguran terdidik.
Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut di atas
bersumber pada kelemahan pendidikan nasional sistem persekolahan
yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin disempurnakan hanya

Dra. Deminesi 4
lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic).
Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan yang
mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru
atas paradigma peran pendidikan dalam pembangunan.
Penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam embangunan
yang diikuti oleh para penentu kebijakan kita dewasa ini memiliki
kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. Pertama, tidak dapat
diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses
pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu.
Memang secara mudah dapat dikatakan bahwa pendidikan formal
akan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki
sistem teknologi produksi yang semakin kompleks. Tetapi, dalam
kenyataannya, kemampuan teknologis yang diterima dari lembaga
pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Di
samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang cepat, justru
melahirkan apa yang disebut dengan de-skilled process, yakni dunia
industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih
sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.
Kedua, paradigma fungsional dan sosialisasi memiliki
asumsi bahwa pendidikan sebagai penyebab dan pertumbuhan
ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan formal
sistem persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi di
masa mendatang. Tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Bukannya
pendidikan muncul terlebih dahulu, kemudian akan muncul
pembangunan ekonomi, melainkan bisa sebaliknya, tuntutan perluasan
pendidikan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan ekonomi dan
politik. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya
engine of growth, melainkan gerbong dalam pembangunan.
Perkemkembangan pendidikan tergantung pada pembangunan
ekonomi. Sebagai bukti, karena hasil pembangunan ekonomi tidak
bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya kesempatan untuk

Dra. Deminesi 5
mendapatkan pendidikan tidak juga bisa sama di antara berbagai
kelompok masyarakat, sebagaimana terjadi dewasa ini.
Ketiga, paradigma fungsional dan sosialisasi juga memiliki
asumsi bahwa pendapatan individu mencerminkan produktivitas
yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja erat
kaitannya dengan produktivitas. Dalam realitas asumsi ini tidak
pernah terbukti. Upah dan produktivitas tidak selalu sering.
Implikasinya adalah bahwa kesimpulan kajian selama ini yang selalu
menunjukkan bahwa economic rate of return dan pendidikan di negara
kita adalah sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
investasi di bidang lain, adalah tidak tepat, sehingga perlu dikaji
kembali.
Keempat, paradigma sosialisasi hanya berhasil
menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran mengembangkan
kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana
pendidikan dapat meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk
meningkatkan produktivitas. Secara riil pendidikan formal berhasil
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individual yang
diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi modern.
Semakin lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan dan
kemampuan yang dimiliki. Namun, Randal Collins, lewat karyanya The
Credential Society: An Historicaf Sosiology of Education and
Stratification (1979) menentang tesis ini. Berbagai bukti tidak
mendukung tesis atas tuntutan pendidikan untuk memegang suatu
pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja dengan pendidikan formal yang
lebih tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi
dibandingkan dengan pekerja .yang memiliki pendidikan lebih rendah.
Banyak keterampilan dan keahlian yang justru dapat banyak diperoleh
sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja formal. Dengan kata lain,
tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang lebih
canggih.

Dra. Deminesi 6
Penyelenggaraan pendidikan yang bermutu sudah merupakan
keharusan dan tidak bisa ditunda-tunda lagi. Menurut John Stewart,
konsultan di McKinsey definisi dari Mutu adalah perasaan
menghargai bahwa sesuatu lebih baik daripada yang lain.
Perasaan itu berubah sepanjang waktu dan berubah dari generasi
ke generasi, serta bervariasi dengan aspek aktivitas manusia.”
Definisi lain, “mutu” seperti yang biasa digunakan dalam manajemen
berarti lebih dari rata-rata dengan harga yang wajar. Mutu juga berarti
memfokuskan pada kemampuan menghasilkan produk dan jasa yang
semakin baik dengan harga yang semakin bersaing. Mutu juga berarti
melakukan hal-hal yang tepat dalam organisasi pada langkah pertama,
bukannya membuat dan memperbaiki kesalahan. Dengan
memfokuskan hal-hal yang tepat pada kesempatan pertama,
organisasi menghindari biaya tinggi yang berkaitan dengan pengerjaan
ulang.
Namun setelah ditelusuri, ternyata sekolah belum mampu
menempatkan diri sebagai organisasi sosial modern yang berorientasi
peningkatan mutu sehingga pelaksanaan dan pengembangan program
terasa tergesa-gesa dan berimplikasi pada kesenjangan pemahaman
tentang manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah antara
lembaga sekolah dan policy departement (inovator).
Strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat
input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi
bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti
penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya,
penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga
kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan
( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu
sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang
diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek,
1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan
(sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan

Dra. Deminesi 7
industri. Pengelolaan pendidikan selama ini juga lebih banyak bersifat
macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya,
banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi
atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah).
Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya cakupan
permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara
utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
Mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal
terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang
memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan
yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan
kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan
peningkatan kualitas/mutu pendidikan. hal ini akan dapat dilaksanakan
jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan
kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai
dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Walaupun
demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu
tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati
secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan
peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah
mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan
peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis
sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan.
Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan
mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality
Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan
(developmental) disebut School Based Quality Improvement.

Dra. Deminesi 8
BAB II

PEMBAHASAN

Paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat


linier dan unidimensional, sebagaimana dijelaskan oleh paradigma
Fungsional dan Sosialisasi di atas. Melainkan, peranan pendidikan dalam
pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan
kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain. Dalam konstelasi semacam
ini, pendidikan tidak bisa lagi disebut sebagai engine of growth, sebab
kemampuan dan keberhasilan lembaga pendidikan formal sangat terkait
dan banyak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang lain, terutama
kekuatan ekonomi umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Hal ini
membawa konsekuensi bahwa lembaga pendidikan sendiri tidak bisa
meramalkan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan oleh
dunia kerja, sebab kebutuhan tenaga kerja baik jumlah dan kualifikasi
yang diperlukan berubah dengan cepat sejalan kecepatan perubahan
ekonomi dan masyarakat.
Manajemen Berbasis Sekolah adalah model manajemen yang
memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah dan mendorong
pengambilan keputusan secara partisipatif semua warga sekolah, yaitu
guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, oang tua siswa, komite sekolah,
dan masyarakat.
Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah,
masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing - masing
ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian
kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis
dalam rangka proses peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan
sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan
dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami
kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya) untuk kemudian
melaui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke
dalam kebijakan mikro dalam bentuk program - program prioritas yang

Dra. Deminesi 9
harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan
sesuai dengan visi dan misinya masing - masing. Sekolah harus
menentukan target mutu untuk tahun berikutnya. Dengan demikian
sekolah secara mendiri tetapi masih dalam kerangka acuan kebijakan
nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai, memiliki
tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya
sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa
proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih menekankan pada proses
pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching), 2) Pendidikan
diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan
memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik
khusus dan mandiri, 4) Pendidikan merupakan proses yang
berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan
bersifat double tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa
dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia
pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan
masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya.
Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya
ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah,
melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka
kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan kata
lain, pendidikan yang bersifat double tracks menekankan bahwa untuk
mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui
kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan
pendidikan formal sistem persekolahan. Melalui double tracks ini sistem
pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan
dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan
pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat.

Dra. Deminesi 10
Berbagai problem yang muncul di masyarakat, khususnya
ketimpangan antara kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang
dibutuhkan oleh dunia kerja merupakan refleksi adanya kelemahan yang
mendasar dalam dunia pendidikan kita. Setiap upaya untuk
memperbaharui pendidikan akan sia-sia, kecuali menyentuh akar filosofis
dan teori pendidikan. Yakni, pendidikan tidak bisa dilihat sebagai suatu
dunia tersendiri, melainkan pendidikan harus dipandang dan diberlakukan
sebagai bagian dari masyarakatnya. Oleh karena itu, proses pendidikan
harus memiliki keterkaitan dan kesepadanan secara mendasar serta
berkesinambungan dengan proses yang berlangsung di dunia kerja.
Dari kesemua proses utama (mainframe) dari paradigma
pembangunan pendidikan yang menjadi pilar utama pencapaian target
atau sasaran pembangunan itu sendiri adalah : Guru, Pengelolaan
Sekolah oleh Kepala Sekolah, kemitraan dengan partisipasi aktif
masyarakat, payung hukum dan pola kebijakan yang mengkondusifkan
dunia pendidikan oleh Pemerintah setempat, serta memberdayakan
kearifan lokal guna membentuk paradigma kebutuhan pendidikan dan
partisipasi oleh masyakarat lokal.
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menegah
(UU.14/2005 pasal 1; ayat 1). Dalam menjalankan tugasnya pada masa
sekarang, profesionalisme menjadi tuntutan dan menjadi bagian integral
dari profesi guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik.
Guru professional adalah sifat dan tanggungjawab yang dilakukan
guru dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan
keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau
norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Berbagai upaya
telah dilakukan untuk mencapai standard profesionalisme, misalnya
melalui pendidikan dan latihan, proses sertifikasi, atau kegiatan-
kegiatan yang diselenggrarakan dalam menunjang profesionalitas.

Dra. Deminesi 11
Profesionalisme Guru merupakan cara yang logis untuk
menghadapi perubahan sosial sebagai konsekuensi globalisasi dalam
berbagai bidang. Profesionalisme diyakini mampu meningkatkan kinerja
yang optimal dunia pendidikan sehingga pada akhirnya dapat
menciptakan cita-cita pendidikan sebagai insan kamil yang cerdas dan
berakhlak mulia, mampu menghadapi perubahan zaman, secara damai,
terbuka, demokratis, dan berkompetisi yang bermuara pada
meningkatnya kesejahteraan seluruh warga Indonesia.
Oleh sebab itulah telah menjadi sebuah keharusan kalau setiap
lembaga pendidikan dasar dan menegah di Palangka Raya khususnya,
menjadikan profesionalisme guru sebagai faktor utama dari pengelolaan
pembelajaran yang bermutu dikelas untuk dikembangkan lebih intensif
dan tindakan pertama dimulai dari kegiatan belajar mengajar dan
kegiatan kependidikan sehari-hari baik dikelas maupun pada organisasi
guru. Sejalan dengan berbagai tuntutan profesionalisme dan perubahan
sosial, budaya mutu merupakan suatu pradigma yang dapat dijadikan
pijakan dalam pencapaian tujuan pendidikan. Dalam pelaksanaannya
dapat dimulai dari tata kelola proses-proses pembelajaran dan
pendidikan di sekolah.
Dalam bidang pendidikan, kehadiran Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) telah memberikan angin segar yang menjanjikan, karena pada
tataran teoritis, MBS memberikan kewenangan kepada sekolah untuk
melahirkan berbagai kebijakan dan keputusan perbaikan menyangkut
kepentingan kemajuan sekolah itu sendiri.
Sebagai contoh, kepala sekolah sebagai pemimpin ternyata belum
mampu memahami dan apalagi mentransfer konsep Manajemen Berbasis
Sekolah, kepada guru-guru dan karyawan lainnya. Pemahaman dan
pelaksanaannya hanya dilakukan sebatas program yang diajukan dalam
proposal. Padahal peran kepemimpinan sangat menentukan maju
mundurnya suatu organisasi dalam mencapai manajemen kualitas.

Dra. Deminesi 12
Alternatif pemecahan masalah manajemen berbasis sekolah yang
perlu dikuasai oleh Kepala Sekolah sebagaimana teori yang dipaparkan
oleh Deming (1986) menyatakan bahwa implementasi konsep mutu
dalam sebuah organisasi memerlukan perubahan dalam filosofi yang ada
di sekitar manajemen. Deming mengusulkan beberapa butir pemikiran
yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan mutu dan produktivitas
suatu organisasi juga dalam bidang pendidikan. Keempat belas butir
pemikiran tersebut adalah:
1. Ciptakan Tujuan yang Mantap Demi Perbaikan Produk dan Jasa
Sekolah memerlukan adanya tujuan akhir yang mampu
mengarahkan siswa menghadapi masa depan secara mantap. Jangan
membuat siswa sekedar memiliki nilai bagus tetapi juga harus mampu
membuat siswa memiliki kemauan belajar seumur hidup.
2. Adopsi Filosofi Baru
Siswa berhak mendapatkan pembelajaran yang berkualitas.
Dengan kata lain, mereka tidak lagi sebagai siswa yang pasif dan rela
diperlakukan seburuk apapun tanpa dapat berkomentar.

3. Hentikan Ketergantungan pada Inspeksi Masal


Dalam bidang pendidikan, evaluasi yang dilakukan jangan hanya
pada saat ulangan umum ataupun ujian akhir, tetapi dilakukan setiap
saat selama proses belajar mengajar berlangsung. Selain itu, dalam
menetapkan standar uji, maka perlu diperhatikan teori-teori
kepemimpinan yang berkembang dalam Total Quality Management dan
lainnya, seperti teori sifat, teori lingkungan, teori perilaku, teori
humanistik, dan teori kontigensi.
Sejalan dengan masalah evaluasi, masalah rekrutmen dalam
menentukan pimpinan kependidikan, beberapa prosedur “Fit and
proper test” bisa dilakukan dalam pengambilan keputusan :
(a) Melakukan “hearing” didepan tim, yaitu menyampaikan program, visi
dan misi apabila terpilih menjadi pimpinan nantinya.

Dra. Deminesi 13
(b) Menjawab pertanyaan lisan dan tertulis yang telah didesain
sedemikian rupa. Adapun pertanyaan yang diajukan dapat
menyangkut integritas, moralitas, profesionalisme, intelektualitas,
keahlian.
(c) Keharusan mengumumkan harta kekayaan dari para calon Kepala
Sekolah sebelum yang bersangkutan menduduki jabatan yang
dipercayakan kepadanya. Kebohongan atas kekayaan ini dapat
mengakibatkan pemecatan (impeachmant).
(d) Harus memahami sistem manajemen yang efektif dan efisien
terhadap lembaga yang akan dipimpinnya. Termasuk dalam
rekruitment karyawan, kesejahteraan, peningkatan kualitas hasil dan
kinerja.
(e) Mengemukakan masalah pribadi, seperti apakah calon itu pernah
bercerai. Masalah anak bagaimana. Mengapa sampai terjadi
perceraian. Kemudian menyangkut masalah kebebasan dari
tekanan, intimidasi, teror atau ancaman.
(f) Tim seleksi melakukan investigasi dan melacak semua kebenaran
informasi yang disampaikan lisan maupun tertulis. Apabila calon-
calon tersebut tidak dapat memberikan jawaban secara memuaskan,
atau setelah melakukan investigasi ternyata terdapat kebohongan-
kebohongan, tentu saja yang bersangkutan tidak dapat terpilih
sebagai pimpinan.

4. Akhiri Kebiasaan Melakukan Hubungan Bisnis Hanya Berdasarkan


Biaya
Dalam bidang pendidikan pernyataan di atas terutama dikaitkan
dengan biaya pendidikan yang ada hubungannya dengan perbandingan
junlah guru dan siswa pada satu ruangan/kelas. Kelas besar memang
akan membuat sekolah tersebut melakukan penghematan biaya, tetapi
mutu yang dihasilkan tidak terjamin dan bukan tidak mungkin terjadi
peningkatan biaya di bagian lain pada sistem tersebut.

Dra. Deminesi 14
5. Perbaiki Sistem Produksi dan Jasa Secara Konstan dan Terus
Menerus
Dalam bidang pendidikan seorang guru harus berpikir secara
strategis agar siswa dapat menjalani proses belajar mengajar secara
baik sehingga memperoleh nilai yang baik pula. Guru jangan hanya
berpikir bagaimana siswa mendapatkan nilai yang baik.

6. Lembagakan Metode Pelatihan yang Modern di Tempat Kerja


Hal ini perlu dilakukan agar terdapat kesamaan dasar
pengetahuan bagi semua anggota staf dalam suatu lembaga
pendidikan. Setelah itu barulah guru dan administrator
mengembangkan keahlian sesuai yang diperlukan bagi peningkatan
profesionalitas.

7. Lembagakan Kepemimpinan
Kepemimpinan (leadership) berbeda dengan pemimpin (leader).
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku
orang atau kelompok dengan maksud mencapai suatu tujuan yang
dinginkan bersama. Sedangkan pemimpin adalah seseorang atau
sekelompok orang seperti kepala, komandan, ketua dan sebagainya.
Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan itu
adalah suatu proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau
kelompok dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan bersama.
Artinya terjadi proses interaksi antara pemimpin, yang dipimpin,
dan situasi. Dengan demikian, kepemimpinan itu seyogianya
melekat pada diri pemimpin dalam wujud kepribadian
(personality), kemampuan (ability), dan kesanggupan (capability),
guna mewujudkan kepemimpinan bermutu atau Total Quality
Management (TQM). Dikatakan bahwa, pemimpin yang efektif
menurut konsep TQM adalah pemimpin yang sensitif atau peka
terhadap adanya perubahan dan pemimpin yang melakukan
pekerjaannya secara terfokus.

Dra. Deminesi 15
Dalam konsep TQM, memimpin berarti menentukan hal-hal yang
tepat untuk dikerjakan, menciptakan dinamika organisasi yang
dikehendaki agar semua orang memberikan komitmen, bekerja
dengan semangat dan antusias untuk mewujudkan hal-hal yang telah
ditetapkan. Memimpin berarti juga dapat mengkomunikasikan visi dan
prinsip organisasi kepada bawahan. Kegiatan memimpin termasuk
kegiatan menciptakan budaya atau kultur positif dan iklim yang
harmonis dalam lingkungan lembaga atau organisasi, serta
menciptakan tanggung-jawab dan pemberian wewenang dalam
pencapaian tujuan bersama. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa,
terdapat hubungan positif antara tanggung jawab, wewenang dan
kemampuan pemimpin dengan derajat atau tingkat pemberdayaan
karyawan dalam suatu lembaga.
Secara umum, pada dasarnya terdapat delapan kunci tugas
pimpinan untuk melaksanakan komitmen perbaikan kualitas terus
menerus, yaitu:
(a) Menetapkan suatu dewan kualitas.
(b) Menetapkan kebijaksanaan kualitas.
(c) Menetapkan dan menyebarluaskan sasaran kualitas.
(d) Memberikan dan menyiapkan sumber-sumber daya.
(e) Memberikan dan menyiapkan pendidikan dan pelatihan yang
berorientasi pada pemecahan masalah kualitas.
(f) Menetapkan tim perbaikan kualitas yang bertanggungjawab pada
manajemen puncak untuk menyelesaikan masalah-masalah
kualitas kronis.
(g) Merangsang perbaikan kualitas terus menerus.
(h) Memberikan pengakuan dan penghargaan atas prestasi dalam
perbaikan kualitas terus-menerus (Vincent Gaspersz, 1997: 203-
204).

Dra. Deminesi 16
Sementara itu, bagi kalangan follower/pengikut/bawahan seperti
guru, karyawan dan lain-lain, perlu memperhatikan ketentuan berikut : (1)
Mendukung program-program pimpinan yang baik dan benar. (2) Memiliki
kebutuhan berprestasi. (3) Klarifikasi kemampuan, wewenang dan peran.
(4) Memiliki organisasi kerja. (5) Kemampuan bekerja sama. (6)
Kecukupan sumber daya (kuantitas). (7) Memiliki koordinasi eksternal.
Ditambahkan bahwa, untuk melaksanakan tugas dan fungsi
kepemimpinan, maka kepala sekolah perlu memperhatikan dan
mengontrol Variabel situasi, yaitu seperangkat keadaan atau kondisi yang
harus dikelola dan diciptakan secara kondusif. Situasi ini antara lain : (1)
kekuatan posisi, (2) keadaan bawahan, (3) tugas dan kemampuan
menggunakan teknologi, (4) struktur organisasi, (5) keadaan lingkungan
lembaga (fisik dan non-fisik), (6) ketergantungan eksternal, (7) kekuatan
sosial politik, (8) rasa aman dan demokratis. Keseluruhan proses interaksi
kepemimpinan antara pemimpin, yang dipimpin dan situasi, ditujukan
untuk mencapai variabel hasil akhir yaitu : (1) Kepuasan pelanggan. (2)
Loyalitas pelanggan. (3) Profitabilitas. Dan (4) kepuasan seluruh personil
lembaga dan stakeholders.
8. Hilangkan Rasa Takut
Perlu disadari bahwa rasa takut menghambat karyawan untuk
mampu mengajukan pertanyaan, melaporkan masalah, atau
menyatakan ide padahal itu semua perlu dilakukan untuk menghasilkan
kinerja yang maksimum. Oleh karena itu para pelaku pendidikan
hendaknya jangan menerapkan sistem imbalan dan hukuman kepada
siswa karena akan menghambat berkembangnya motivasi internal dari
siswa masing-masing.
9. Pecahkan Hambatan di antara Area Staf
Hambatan antardepartemen fungsional berakibat menurunkan
produktivitas. Hambatan ini dapat diatasi dengan mengembangkan
kerjasama kelompok. Oleh karena itu para anggota staf harus
bekerjasama dan memprioritaskan diri pada peningkatan kualitas.

Dra. Deminesi 17
10. Hilangkan Slogan, Nasihat, dan Target untuk Tenaga Kerja
Perbaikan secara berkesinambungan sebagai sasaran umum
harus menggantikan simbol-simbol kerja.

11. Hilangkan Kuota Numerik


Kuota cenderung mendorong orang untuk memfokuskan pada
jumlah sering kali dengan mengorbankan mutu. Terlalu banyak
menggunakan slogan dan terlalu berpatokan pada target dapat
menimbulkan salah arah untuk pengembangan sistem yang baik.
Tidak jarang patokan terget akan lebih terfokus pada guru dan siswa
daripada sistem secara keseluruhan.

12. Hilangkan Hambatan Terhadap Kebanggaan Diri atas


Keberhasilan Kerja
Kebanggaan diri atas hasil kerja yang dicapai perlu dimiliki oleh
guru dan siswa. Adanya kebanggaan dalam diri membuat guru dan
siswa bertanggungjawab atas tugas dan kewajiban yang
disandangnya sehingga mereka dapat menjaga mutu.

13. Lembagakan Program Pendidikan dan Pelatihan yang Kokoh.


Hal ini berlaku bagi para pelaku pendidikan karena memiliki
dampak langsung terhadap kualitas belajar siswa.

14. Lakukan Tindakan Nyata/ Contoh Nyata


Manajer harus menjadi”lead manager” bukan “boss manager”.
Seorang “lead manager” akan berusaha mengkomunikasikan
pandangannya selalu berusaha mengembangkan kerjasama,
meluangkan waktu dan tenaga untuk sistem sehingga dengan adanya
contoh nyata, pekerja menyadari cara untuk melakukan pekerjaan
yang berkualitas.

Dra. Deminesi 18
Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan di Kota Palangka Raya
Melalui pergulatan yang panjang dan rumit, penulis memberikan
paparan berupa langkah-langkah konkrit dan sistemik agar Mutu
Pendidikan di Kota Palangka Raya dapat dijadikan barometer dunia
pendidikan di Kalimantan Tengah melalui berbagai macam strategi dan
langkah-langkah nyata yang patut menjadi rencana strategis di masa
mendatang, yaitu :
1. Perlunya program beasiswa bagi peserta didik yang berpotensi dan
menyeluruh secara berjenjang dan berdasarkan data-data yang
teraudit dan valid serta bisa dipertanggung-jawabkan yang sinergis
dengan program kesejahteraan masyarakat serta program pemerataan
pendidikan di segala lapisan masyarakat.
2. Perlunya kesadaran tinggi dari seluruh Tenaga Kependidikan di segala
tingkatan dan unit penyelenggara pendidikan dari tingkat TK hingga
perguruan tinggi untuk terus meningkatkan kompetensinya mencapai
taraf optimal sehingga kompetensi tenaga kependidikan ini benar-
benar mumpuni dan berkualitas sehingga potensi Tenaga
Kependidikan tidak dipandang sebelah mata oleh masyarakat karena
memang benar-benar diperhatikan. Faktor-faktor insentif tersebut yang
dapat menjadi pemicu untuk mendorong semangat berkompetisi dan
meningkatkan kompetensi tenaga kependidikan dengan memberikan
bantuan pendidikan (bea siswa full bright) sehingga guru atau tenaga
kependidikan yang berpotensi dan berprestasi dapat meningkatkan
kualifikasi mereka hingga mencapai jenjang pasca sarjana S2 bahkan
S3.
3. Mendorong peranan serta stakeholder atau pemangku kebijakan
pendidikan yaitu masyarakat sebagai pengguna dan evaluator proses
sistem pendidikan publik ini untuk turut aktif mendanai atau
memberikan sumbangsih konkrit dalam pemenuhan kelayakan
standar-standar nasional pendidikan di sekolah-sekolah
penyelenggara pendidikan baik oleh Negeri maupun swasta.

Dra. Deminesi 19
4. Membangun dan memperkokoh sistem Manajemen Berbasis Sekolah
di lembaga penyelenggara pendidikan agar menjadi sebuah sistem
manajemen yang handal dan kompeten untuk membentuk,
membimbing, dan membina para generasi muda, kader-kader bangsa
agar menjadi generasi penerus yang kompeten, handal, bertanggung
jawab, mapan, loyal, tawakal, dan berakhlak mulia.
5. Meningkatkan akuntabilitas dan profesionalitas manajerial pengelolaan
Sekolah/ Lembaga Penyelenggara Pendidikan lebih terukur, validitas
yang tinggi, serta reliabel serta teraudit dengan baik dan kokoh yang
serta merta meningkatkan kewibawaan Lembaga Penyelenggara
Pendidikan dan sekaligus membangun kepercayaan masyarakat yang
sudah lama terpuruk dalam krisis kepercayaan akibat krisis
multidimensial yang berkepanjangan dan tidak pernah berkesudahan.
6. Membangun semangat berkompetisi semua warga sekolah atau
lembaga penyelenggara pendidikan agar mempunyai daya saing atau
daya bargain yang tinggi hingga ke taraf internasional salah satunya
dengan program sister school atau pertukaran tenaga pengajar
dengan sekolah bertaraf internasional lainnya di tempat lain serta
menjajagi adanya pertukaran pelajar antar sekolah untuk saling
mengimbas dan saling belajar demi mencapai harapan yang dicita-
citakan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional terutama mempunyai
Kompetensi Lulusan yang berkualitas dan kompeten serta memiliki
kecakapan hidup yang optimal dalam membentuk watak dan karakter
warga Indonesia yang dicita-citakan para pendiri bangsa.
7. Memberikan penghargaan atas dedikasi dan prestasi yang diberikan
para guru/ tenaga kependidikan secara rutin untuk meningkatkan
loyalitas dan tanggung jawab sekaligus membangun semangat untuk
terus berjuang dan maju demi mencapai mutu pendidikan yang baik
dan bermartabat sekaligus membangun watak dan karakter guru
sebagai warga yang bermartabat, terhormat, dan bertanggung jawab
serta memiliki harkat yang tinggi juga mengembalikan kepercayaan

Dra. Deminesi 20
masyarakat atas profesi luhur seorang tenaga pendidik yang dikenal
dengan sebutan Guru.
8. Mendorong keikut-sertaan guru dan siswa dalam setiap perlombaan-
perlombaan ilmiah atau akademik yang bertujuan membangun dan
membentuk watak yang logis, cara berpikir pragmatis, sistematis dan
handal serta siap menghadapi perubahan-perubahan dunia secara
global dan terjadi terus-menerus dan mampu menyiapkan pola pikir
dan paradigma yang berkaitan dengan sense of crisis maupun sense
of crucial.

Dra. Deminesi 21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Peningkatan mutu pendidikan di Kota Palangka Raya agar


dapat mencapai standar minimal memerlukan kerja keras dan
perjuangan yang panjang, namun jika tidak dimulai dari saat ini
bagaimana ? Yang menjadi faktor penting adalah :
1. Perlunya Pengelolaan Manajemen Sekolah yang akuntabel dan
kondusif sehingga tercipta iklim Sekolah yang menyenangkan,
meningkatkan keharmonisan antar pegawai dan pimpinan, antara
guru dengan siswa, antar sesama warga sekolah membentuk
atmosfer atau suasana yang menghantarkan semangat belajar dan
berkompetisi yang sehat dan segar serta bertanggung jawab dan
berhasil guna dan akhirnya berdaya guna.
2. Pola Manajemen Berbasis Sekolah yang harus semakin kokoh dan
semakin tegas dengan menerapkan pola manajemen modern
sebagaimana yang diungkapkan oleh Deming (1996).
3. Adanya semangat berubah di setiap lini pengelola dan
penyelenggara pendidikan agar terwujud penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu dengan tetap mengedepankan
peningkatan potensi diri baik guru maupun peserta didik,
kebersamaan, penghargaan atas prestasi dan dedikasi dengan
reward dan membuat kesepakatan yang tegas, kokoh, dan
dihormati berbagai pihak untuk membentuk kewibawaan lembaga
penyelenggara pendidikan sekaligus kewibawaan tenaga
kependidikan. Semangat untuk terus meningkatkan kualitas dalam
diri tenaga pendidik yang akan secara otomatis menjalar kepada
para pembelajar atau peserta didik.
4. Meningkatkan peran serta dan partisipasi aktif masyarakat sebagai
mitra penyelenggara pendidikan yang bermutu dan bermartabat
sebab masyarakat inilah pengguna sekaligus evaluator proses

Dra. Deminesi 22
pendidikan yang bermutu dan kompeten tersebut serta selalu
mengedepankan semangat kerjasama antara lembaga
penyelenggara pendidikan lainnya secara aktif dan konsekuen
serta menjajagi adanya kemungkinan pengembangan
penyelenggaraan pendidikan secara global melalui pertukaran
tenaga pendidikan bahkan siswa ke sekolah pasangan (sister
school).
5. Pemerataan pendidikan dan pemberian beasiswa kepada peserta
didik maupun guru berpotensi untuk meningkatkan kualitas dan
kualifikasinya sehingga kompetensi lulusan maupun kompetensi
tenaga kependidikan berjalan sinergis dan korelatif.

B. Saran

Berdasarkan uraian dan penjabaran maka Penulis menyarankan


beberapa faktor penting antara lain :
1. Perlunya penerapan sistem informasi manajemen (SIM) yang
efektif dan efisien untuk menyajikan informasi, guna
mendukung pimpinan organisasi dalam pengambilan
keputusan, karena kualitas informasi juga menentukan kualitas
manajemen dan produk tindakan yang dihasilkan dari sebuah
keputusan manajerial.
2. Kepala Sekolah adalah pimpinan tertinggi di sekolah. Pola
kepemimpinannya akan sangat berpengaruh dan sangat
menentukan kemajuan sekolah. Karena itu dalam
penyelenggaraan pendidikan modern, kepemimpinan Kepala
Sekolah perlu mendapat perhatian yang serius.
3. Makalah ini akan lebih terasa manfaat dan kebermaknaannya
jika dapat diterapkan dan dijalankan sebagaimana kajian
pustaka dan pembahasan yang melekat didalamnya dan dapat
dikembangkan secara logis dan konsekuen di antara pihak-
pihak yang berwenang dan semoga dapat memberikan

Dra. Deminesi 23
gambaran konkrit dan relevan demi peningkatan mutu
pendidikan di Kota Palangka Raya, kota Cantik.

Dra. Deminesi 24
DAFTAR PUSTAKA

Creech, Bill. (1996) Lima pilar manajemen mutu terpadu (TQM).


Jakarta: Binarupa Aksara.

Dikmenum, (1999), Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah:


Suatu Konsepsi Otonomi Sekolah (paper kerja), Depdikbud,
Jakarta.

Dikmenum. (2001). Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.


Depdiknas. Jakarta

Gaspersz, Vincent. (1997) Manajemen kualitas: penerapan konsep-


konsep kualitasdalam manajemen bisnis total. Jakarta : PT.
Gramedia.

Gaspersz, Vincent. (2001). “Penerapan TQME pada Perguruan Tinggi


di Indonesia” dalam Jurnal Pendidikan dan kebudayaan. Jakarta:
Balitbang Diknas. Edisi Mei 2001, tahun ke-7, No. 029.

Goestc, D.L. and S. Davis (1994). Introduction to total quality: quality,


productivity, competitiveness. Englewood, Cliffs,N.J: Prentice
Hall International, Inc.

Kristianty, Theresia. (2005). “Peningkatan Mutu Pendidikan Terpadu


Cara Deming” dalam Jurnal Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV
/Juli 2005

Sallis, Edward. (1994). Total quality management in education. London:


Kogan Page Limited.

Suardi, Rudi (2001) Sistem manajemen mutu ISO 9000:2000


penerapannya untuk mencapai TQM. Jakarta: PPM.

Sudjana, H.D. (1993). Manajemen PLS. Bandung : UNINUS Press.

Tjiptono, Fandy dan Anastasia Diana. (1995). Total quality management


(TQM). Yokyakarta: Andi Offset.

Wilkinson, Adrian, et.al. (1998) Managing with total quality


management : Theory and practice. London : Macmillan Press
Ltd.

Zamroni. (2003). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Jakarta :


Depdiknas. Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SMU.

Dra. Deminesi 25

Anda mungkin juga menyukai