Anda di halaman 1dari 2

Sinergi antara Orang Tua dengan Sekolah dalam mendidik Anak

oleh Fredy Manuela - somewhere


Orang tua
Kurangnya sinergi antara orang tua dengan guru dalam untuk mengawasi putra-putri
nya di rumah. Guru yang mengajarkan ilmu pengetahuan di sekolah akhirnya seperti
putus rantai karena siswa yang setiba di rumah tidak dianjurkan orang tua untuk
belajar. Seperti anak-anak tidak diawasi dan dibatasi dalam menonton televisi a
tau film. Memang benar masa kanak-kanak identik dengan masa bermain, waktu berma
in tapi yang terjadi masa bermain tersebut digantikan dengan masa menghabiskan w
aktu di depan televisi baik itu menonton atau main game elektronik.
Tiba saatnya kembali sekolah, apalagi jika anak-anak ini beruntung ditangani dit
angani guru-guru yang kurang memahami seni mengajar dan seni mendidik maka anak-
anak ini akhirnya menjadi bulan-bulanan sasaran murka dan amarah, belum ditambah
sedikit porsi cubitan bahkan tidak jarang berakhir dengan sentuhan lembut mista
r papan tulis pada dirinya.
Oknum-oknum guru tertentu merasa senang dan bangga dengan menghukum siswanya, me
marahi siswa, kadang kala mencampuradukan urusan rumah tangga ke dalam kelas, le
pas kendali dengan memberi hukum fisik, pengancaman, agitasi, provokasi. Hukuman
-hukuman yang berlebihan biasanya disampaikan seperti tugas-tugas rumah dengan t
engat waktu pengumpulan yang sesingkat-singkatnya, atau membuat makalah dengan
sistem kebut semalaman, memberikan tugas yang melewati batas kemampuan peserta d
idik. Belum lagi masalah lain, setelah tugas tersebut dikumpulkan malahan tugas
tadi tidak dinilai sebagaimana mestinya.
Hal itu menambah pelik suasana kelas dan menyebabkan siswa semakin malas ke seko
lah yang mana sikap ini kadang tidak terlihat kepada orang tua dengan alasan sis
wa ini ingin menyenangkan hati orang tuanya walau hati mereka terluka!
Di manakah letak sinergitas antara Orang Tua dan Guru ?
Saat anak tadi berada di rumah, sinergitas orang tua dengan menerapkan hal yang
mudah yakni menetapkan waktu-waktu yang bisa untuk menonton dan menonton pun dit
emani atau menonton bersama-sama. Memilih acara televisi yang mendidik, jika ana
k tadi menyenangi telenovela atau bahkan sinetron, dampingi anak-anak dan berika
n penjelasan saat tayangan sehingga dengan demikian anak pun ada yang mengawasi
dan mengikuti jalan cerita dengan pengawasan dari orang tua.
Alangkah naifnya jika kita, para orang tua, lebih berhati-hati menjaga perangkat
telepon seluler atau laptop, juga gadget ditangan kita sendiri ketimbang menjag
a buah hati dan lebih menyandarkan perawatan buah hati, anak kita sendiri, ke ta
ngan orang lain, yang notabene bukan orang tua kandung yang melahirkan dan orang
tua kandung biologisnya sendiri!
Banyak kasus juga, orang tua sukses dan berhasil dalam karir. Namun anak-anak ju
stru menjadi korban, menjadi anak yang kurang sukses kurang berhasil dan ada yan
g menjadi batu sandungan bagi karir orang tuanya.
Sebagaimana iklan salah satu teh kemasan, yakni sediakan waktu berkualitas dalam
keluarga untuk menikmati hidangan sore walaupun waktunya hanya 15 menit sehari.
Luangkan waktu kebersamaan setiap harinya, mendengarkan keluhan dan celotehan m
ereka dengan lepas, bercanda ria tanpa beban. Bukan kemudian mengakhiri pertemua
n dengan anak dengan marah-marah, memberikan instruksi yang cenderung menghakimi
dan melukai hati perasaan anak. Bukankah anak adalah titipan Tuhan?
Sebenarnya yang lebih dominan menerapkan pendidikan adalah di tingkat keluarga.
Didikan orang tua dengan memberikan bekal life skill, seperti memasak air, menan
ak nasi, memasak makanan keluarga, memasak makan siang, belanja harian ke pasar
atau warung, membeli sayur hingga membeli barang-barang keperluan rumah tangga a
tau bagi anak laki-laki memelihara ayam, memelihara ikan, memelihara hewan terna
k lainnya, merawat, membersihkan kadang. Memancing atau menanam dan memelihara b
unga, membersihkan rumah, mencuci pakaian, melipat sampai menyeterika. Akhirnya
anak-anak menjadi lebih siap mandiri karena telah memiliki kemampuan mengerjakan
pekerjaan rumah tangga yang pada kesempatan lain berguna untuk menyambung hidup
di tempat lain.
Sementara sekolah sebagai tempat menambah ilmu pengetahuan yang tidak disampaika
n dalam rumah tangga. Karena sekolah cenderung berada pada ranah akademik, walau
pun ada pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan peningkatan dan pemahaman kara
kter. Guru dipandang sebagai seseorang yang mampu mendidik anak-anaknya menjadi
lebih siap memasuki karir dan dunia kerja atau dunia sekolah lanjutan. Sekolah p
un memiliki keterbatasan terutama waktu dan pengisian jiwa yang lebih akrab ke d
alam diri anak-anak (para peserta didik) yang tidak bisa tergantikan oleh keluar
ga dan rumah tangga.

Oknum-oknum guru sulit menerima kesalahan yang dilakukannya. Dibandingkan memint
a maaf mereka lebih memilih menyalahkan siswa untuk menutupi kesalahan atau keku
rangannya tersebut. Guru tipe ini lebih menginginkan siswa berubah secara otomat
is, menurut kehendaknya tanpa harus diberi tahu dan yang lebih tidak masuk akal
harus dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Apakah siswa itu adalah paranormal
yang bisa membaca pikiran gurunya apakah mereka menjadi paranoid pada akhirnya?
Guru yang baik menetapkan batasan sebagai sahabat siswa dalam batasan yang wajar
tanpa takut dilecehkan atau dipermainkan oleh siswa, apalagi dirasa bisa mempen
garuhi harga dirinya (merasa harga diri jatuh). Perasaan dijatuhkan oleh siswa p
un bisa dianulir karena "pertemanan" ini. Namun dengan catatan, guru yang bersan
gkutan telah memberi contoh baik - teladan yang nyata.
Seperti apa teladan yang nyata?
Tidak merokok di ruang publik, tidak membuang sampah sembarangan, datang tepat w
aktu tidak terlambat. Mengerjakan tugas sesuai jadwal dan teratur. Mengenakan se
ragam kerja yang sesuai dengan aturan yang berlaku, tidak menyalahi norma-norma
kesopanan dan etika seorang guru. Tidak menggunakan perhiasan dan riasan yang be
rlebihan ala selebrita sosialita, mengedepankan hidup hemat dan mau belajar mena
mbah wawasannya.
Guru memberi contoh dengan rajin membaca, mengunjungi perpustakaan, menulis di m
edia massa atau menggunakan media teknologi informasi seperti, menggunakan media
pembelajaran yang interaktif, berinovasi menulis di blog, menggunakan jejaring
sosial untuk mendukung proses belajar dan mengajar di kelas.
Memiliki kepekaan sosial dengan lingkungan sekitar, tidak hanya sekolah tetapi j
uga lingkungan tempat tinggalnya. Guru yang baik mengembangkan kompetensi pedago
gik, kompetensi profesional, kompetensi sosial, serta kompetensi akademik.

Anda mungkin juga menyukai