Anda di halaman 1dari 5

Hasil Penelitian

Hasil penelitian pada studi kasus ini menunjukkan bahwa subjek penelitian
mengalami temper tantrum yang disebabkan oleh faktor orang tua, yakni pola
asuh. Hal ini dikarenakan anak diasuh tidak hanya oleh keluarga inti yaitu ayah
dan ibu, melainkan juga diasuh oleh nenek dan kakeknya, serta gurunya saat
disekolah. Peran pengasuhan dalam hal ini dilakukan oleh tiga elemen penting
yaitu orang tua, guru serta keluarga lain yaitu nenek dan kakek, dimana ketiga
elemen tersebut tidak sinergi atau tidak konsisten dalam mengasuh anak
tersebut. Orang tua menerapkan pola asuh otoritatif yaitu salah satu gaya
pengasuhan yang memperlihatkan pengawasan ekstra ketat terhadap tingkah
laku anak-anak, tetapi orang tua juga bersikap responsif, menghargai dan
menghormati pemikiran, perasaan, serta mengikutsertakan anak dalam
pengambilan keputusan. Sedangkan pola asuh berbeda dilakukan oleh keluarga
lain dalam hal ini nenek yang membantu mengasuh anak saat orang tua bekerja.

Nenek cenderung menuruti semua kemauan dan keinginan anak, kebiasaan


yang dilakukan oleh nenek ketika di rumah pada anak tersebut salah satunya
selalu memenuhi permintaan anak tentang makanan yang berlebihan. Sang anak
selalu meminta makanan lebih banyak jumlahnya dan harus dituruti saat itu juga.
Saat di sekolah, kebiasaan tersebut di bawa oleh anak dan sang anak
menghendaki perlakuan yang sama dari guru di sekolah. Ketika anak tersebut
lapar, dia selalu meminta makan atau snack kepada guru dengan jumlah lebih dari
satu. Guru di sekolah konsisten tidak memberikan makanan lebih dari satu dan
memberi pengertian pada anak tersebut untuk berbagi dengan temannya. Tetapi
sang anak tidak mau dan merasa kesal karena keinginannya tidak dipenuhi oleh
guru akhirnya dia mengamuk dan tantrum di sekolah. Maka berdasarkan
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoritatif yang konsisten
dan sinergi dari orang tua, guru dan keluarga lain diluar keluarga inti yaitu nenek
dan kakek sangat penting. Hal ini mampu membantu pengelolaan emosi pada
anak sehingga dapat menjadi salah satu cara terbaik dalam mengatasi temper
tantrum pada anak usia taman kanak-kanak.
Pembahasan
Pada kasus ini, anak sering mengalami tantrum di sekolah karena hal-hal
sepele yang menjadi pemicunya, misal meminta alat tulis yang bagus dan tidak
mau memakai alat tulisnya sendiri karena sudah rusak, mendapat antrian bukan
yang pertama juga sering menjadikan anak ini marah dan tantrum. Ketika anak
mengalami tantrum dia selalu mengamuk dan membuang serta merusak barang-
barang yang ada di sekitarnya. Kadang teman-temannya juga menjadi sasaran
lemparan barang tersebut. Apabila temanya sudah pergi menghindar, anak ini
mulai memukul-mukul dirinya sendiri bahkan sering lari keluar dari pintu
halaman. Dia kadang berusaha lari keluar ke jalan raya dan bilang ingin pulang.

Pola asuh yang berbeda antara orang tua, keluarga dekat dengan sekolah
menjadi faktor penyebab tantrum yang ketiga. Anak yang terlalu dimanjakan oleh
orang tuanya dan mendapat apa yang diinginkan akan melakukan tantrum ketika
suatu saat keinginan anak tersebut tidak terpenuhi. Dalam kasus ini ada hal yang
menarik, ketika di rumah, orang tuanya sudah menerapkan peraturan dan
kesepakatan dengan anak, perilaku yang konsisten terhadap anak juga sudah
dilakukan oleh kedua orang tuanya. Anak tersebut jarang melakukan tantrum
apabila dirumah orang tuanya. Keseharian orang tua anak tersebut adalah bekerja
dari pagi sampai sore bahkan sering pulang malam, sehingga intensitas bertemu
dengan anak sangat terbatas. Setelah pulang dari sekolah anak tersebut berada di
rumah nenek sampai orang tuanya menjemput ketika pulang kerja. Konsistensi
perilaku tidak diterapkan oleh nenek terhadap anak tersebut. Karena nenek
mempunyai kegiatan lain, anak selalu di beri apa yang diinginkan supaya anak
tidak rewel atau mengganggu kegiatan nenek. Dari perbedaan pola asuh ini
membuat anak bingung untuk menuruti aturan dari siapa. Sudah bisa dipastikan
anak akan menuruti bahkan cenderung memilih nenek karena ketika bersama
nenek sang anak merasa senang, semua keinginannya terpenuhi dan bisa
melakukan apapun sesuai dengan keinginannya. Saat anak agak lama tinggal
bersama nenek, ketika pulang kerumah orang tuanya sikap dan perilakunya sudah
berbeda, menjadi kolokan, sering marah apabila permintaannya tidak dipenuhi.
Jadi orang tua harus membuat kesepakatan dan aturan dengan anak mulai dari
awal lagi.

Hasil kunjungan guru ke rumah anak dalam kasus ini menemukan beberapa
hal yang menjadikan anak sering mengalami tantrum hanya di sekolah. Pola asuh
dari orang tua yang sudah bagus dan berkomitmen dengan anak berbeda dengan
pola asuh yang diberikan oleh nenek yang menerapkan pola asuh permisif kepada
anak. Dalam keseharian anak lebih sering tinggal dengan nenek karena orang tua
bekerja sampai malam. Anak merasa bingung dengan perilaku yang dia peroleh
antara orang tua dan nenek. Ketika di sekolah, anak berfikir akan mendapat
perhatian dan perlakuan yang sama dengan yang diberikan oleh sang nenek yaitu
pengasuhan permisif yang dirasa anak lebih nyaman bagi dirinya. Tetapi guru di
sekolah menerapkan sikap dan perilaku yang konsisten terhadap semua siswa
tanpa terkecuali. Anak merasa diabaikan oleh guru ketika keinginannya tidak
terpenuhi, dan sering mengamuk untuk melampiaskan kekesalannya. Pola asuh
otoritatif merupakan model pola asuh yang paling ideal dalam pendidikan anak.
Anak akan semakin termotivasi dalam melakukan kegiatan karena adanya
kepercayaan diri yang diberikan oleh orang tua, sehingga semakin bertanggung
jawab.

Strategi yang dilakukan untuk mengatasi tantrum yaitu pada anak yaitu, pertama
mengurangi stress pada anak dengan mengantisipasi sebelum anak stress. Ketika
anak mulai bosan dengan kegiatan dan terlihat capek, maka sebaiknya
menghentikan kegiatan tersebut dan istirahat sebentar. Apabila tetap dipaksakan
untuk mengajak anak mengerjakan kegiatan ini, anak menolak bahkan
memberikan perlawanan dengan membuang alat tulis atau marah-marah. Jadi
sebelum anak menunjukkan tanda-tanda tantrum yang diawali dengan marah-
marah seharusnya kita bisa lebih peka dengan situasi dan kondisi anak dan
membuat suasana yang bisa merubah anak menjadi lebih nyaman. Kita harus bisa
lebih peka dan menghargai perasaan anak dan tidak memaksakan kehendak kita
kepada sang anak.
Cara yang kedua kita harus tetap tenang saat menghadapi anak yang tantrum.
Jangan sampai kita tersulut emosi ketika menghadapi anak tantrum sehingga kita
memarahi anak tersebut. Saat kita marah atau berlaku keras terhadap anak yang
sedang tantrum maka anak tersebut akan semakin mengamuk. Dalam kasus ini
ketika di sekolah anak mengalami tantrum kadang pengajar atau guru tidak sabar
menghadapi anak tersebut dan ikut memarahinya sehingga tantrum anak akan
semakin hebat. Saat anak mengamuk cenderung akan mengganggu teman yang
ada disekitarnya. Ketika anak tidak reda tantrumnya dan semakin bertambah
hebat, maka salah seorang guru langsung memeluk anak tersebut dan mencoba
menenangkannya. Awalnya anak semakin meronta karena merasa dibatasi
keinginannya oleh pelukan gurunya yang erat, tetapi lama kelamaan anak akan
merasa tenang karena selain memeluk anak tersebut guru juga membisikkan
kata-kata yang menenangkan anak. Seorang anak akan lebih peka terhadap orang
disekitarnya, dan akan merasa lebih tenang saat merasa ada yang tulus terhadap
dirinya. Pelukan dan kata-kata yang berasal dari guru dirasakan anak sebagai
ketulusan untuk dirinya.

Guru mempunyai cara tersendiri untuk mengalihkan perhatian anak supaya tidak
tantrum. Karena anak suka menggambar maka saat anak sudah tenang guru
mengajaknya menggambar. Ketika menggambar anak lebih terbuka dan bercerita
tentang gambarnya. Dalam kasus ini anak tidak mau bercerita dan terbuka
dengan semua guru, hanya dengan guru tertentu yang dia rasa nyaman saja sang
anak mau bercerita. Sambil menggambar dengan anak, guru tersebut bercerita
tentang gambar yang dibuat, sang anak pun terpancing untuk bercerita juga
karena merasa nyaman dengan guru tersebut. Anak secara tidak sadar
menceritakan kenapa dia sampai marah dan mengamuk. Saat seperti inilah guru
memberikan nasehat kepada anak untuk lebih bisa mengendalikan emosinya,
tentu saja dengan bahasa yang mudah dipahami oleh anak. Nasehat disampaikan
oleh guru tidak hanya sekali tetapi berkali-kali dengan cara yang berbeda. Bahkan
guru membuat kesepakatan dengan anak apabila sang anak bisa mengendalikan
emosinya atau perilaku mengamuknya, guru akan memberikan reward kepada
anak. Anak semakin termotivasi dengan kesepakatan tersebut karena anak juga
merasa dihargai oleh guru dan orang disekitarnya. Karena cara ini disampaikan
berkali-kali terhadap anak, hasilnya bisa dilihat ketika anak mulai terpancing
dengan hal yang menyebabkan tantrum dan melihat guru yang telah membuat
kesepakatan tersebut maka anak akan langsung teringat dengan reward atau
kesepakatan yang sudah dibuat dan hal ini bisa mengingatkan serta
mengendalikan anak untuk tidak marah dan mengamuk.

Salah satu hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa mengambar


berupa finger painting, merupakan cara yang efektif dalam menurunkan perilaku
temper tantrum pada anak. Melalui finger painting anak dapat mengekspresikan
perasaan dengan gambar, melalui sentuhan tangan dapat merangsang hormon
endorphin yang dapat memberikan ketenangan dan melalui berbagai warna
diharapkan anak dapat lebih rileks.

Kesimpulan
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penting bagi orang tua bersikap benar
dalam merespon perilaku anak. Pola pengasuhan yang penuh kehangatan dan
cinta kasih, tetapi pada saat yang bersamaan pula menciptakan sebuah struktur
dan batas yang jelas merupakan hal yang penting untuk mengatasi anak yang
berkeinginan kuat dan mengurangi temper tantrum. Maka berdasarkan
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoritatif yang konsisten
dan sinergi dari orang tua, guru dan keluarga lain diluar keluarga inti yaitu nenek
dan kakek sangat penting. Hal ini mampu membantu pengelolaan emosi pada
anak sehingga dapat menjadi salah satu cara terbaik dalam mengatasi temper
tantrum pada anak usia taman kanak-kanak.

Anda mungkin juga menyukai