Anda di halaman 1dari 8

ORASI VOKASI

KHITTAH POLITEKNIK SEBAGAI PERGURUAN TINGGI PENYELENGGARA


PENDIDIKAN VOKASI
Oleh: Eko Tjiptojuwono, S.E., M.M., M.MPar
Dibawakan pada acara Wisuda Politeknik NSC Surabaya
Tanggal, 21 Oktober 2018 di Mercure Grand Mirama Hotel, Surabaya

A. Pendahuluan

Menilik dari kata awal judul artikel ini yaitu kata khittah, sengaja digunakan sebagai
penekanan bahwa penting bagi kita untuk meluruskan kembali tujuan dilaksanakannya pendidikan
vokasi utamanya di jenjang pendidikan tinggi khususnya perguruan tinggi yang berbentuk
politeknik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, khittah memiliki makna rencana, langkah,
atau kebijaksanaan. Menurut sumber lain khittah juga memiliki makna garis, prinsip, nilai-nilai,
dan arah perjuangan. Jadi judul diatas memiliki makna rencana, langkah, garis, nilai-nilai,
kebijaksanaan, dan arah perjuangan politeknik sebagai penyelenggara pendidikin tinggi vokasi.

Tentunya, masih ada sebagian kalangan masyarakat yang masih awam dengan istilah pendidikan
vokasi karena jarang dipublikasikan oleh media, yang sering kita dengar dimedia adalah provokasi.
Kedua kata ini memiliki kata dasar yang berbeda, sehingga memiliki makna yang berbeda pula.
Kata vokasi atau istilah lainnya kejuruan, berasal dari kata vocation yang memiliki makna
pekerjaan, keterampilan, dan sejenisnya. Sedangkan provokasi berasal dari kata provocation yang
memiliki makna perbuatan untuk membangkitkan kemarahan, tindakan untuk menghasut, dan
sejenisnya.

Nah, bagaimana dengan kata perguruan tinggi. Masyarakat sudah banyak yang memahami bahwa
perguruan tinggi itu tempat kuliah, tempat menempuh pendidikan yang lebih tinggi setelah
SMA/SMK/MA dan setelah selesai kuliah akan menjadi sarjana. Sebenarnya pengertian perguruan
tinggi tidak sesederhana itu. Menurut Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan
tinggi, perguruan tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
Sedangkan pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang
mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program
profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan
kebudayaan bangsa Indonesia. (Mulai ada titik terangnya).

Menurut undang-undang tersebut juga dijelaskan bahwa jenis pendidikan tinggi yaitu pendidikan
akademik, pendidikan vokasi, program profesi, dan program spesialis. Program profesi dan
spesialis merupakan program lanjutan untuk memperoleh gelar profesi dan spesialis pada bidang-
bidang profesi tertentu. Dalam tulisan ini kita akan bahas lebih jauh tentang perbedaan pendidikan
akademik dan pendidikan vokasi.
Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan/atau program
pascasarjana yang diarahkan pada penguasaan dan pengembangan cabang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Mahasiswa yang menyelesaikan pendidikan akademik ini akan memperoleh gelar
akademik. Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi program diploma yang menyiapkan
mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai program sarjana terapan.
Pendidikan vokasi dapat dikembangkan oleh pemerintah sampai program magister terapan atau
program doktor terapan. Mahasiswa yang menyelesaikan pendidikan vokasi ini akan memperoleh
gelar vokasi. Nah, sudah terlihat jelas bedanya.

Selanjutnya bagaimana membedakan antara perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan


akademik dengan yang vokasi. Kita telusuri terlebih dahulu bentuk-bentuk perguruan tinggi ya.
Terdapat 6 (enam) bentuk perguruan tinggi yaitu universitas, institute, sekolah tinggi, politeknik,
akademi, dan akademi komunitas. Universitas, institute, dan sekolah tinggi merupakan perguruan
tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik, meskipun dapat pula menyelenggarakan
pendidikan vokasi jika memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan pemerintah. Politeknik, akademi,
dan akademi komunitas merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi.
Politeknik dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi mulai diploma tiga, diploma empat,
magister terapan, dan bahkan doctor terapan. Akademik hanya dapat menyelenggarakan
pendidikan vokasi paling tinggi sampai diploma tiga, sedangkan akademi komunitas hanya dapat
menyelenggarakan pendidikan vokasi paling tinggi hingga jenjang diploma dua.

Muncul pertanyaan, berapa banyak perguruan tinggi yang berbentuk politeknik di Indonesia?
Berdasarkan data dari Kemristekdikti (Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi),
jumlah politeknik di Indonesia sebanyak 278 dari total 3.276 perguruan tinggi atau sekitar 8,49%
saja. Sedikit yaaa.

Sumber: forlap.ristekdikti.go.id
Jumlah politeknik yang masih sedikit ini karena menurut sejarah politeknik pertama di Indonesia
baru didirikan tahun 1973, dan saat ini pemerintah telah mendorong perkembangan politeknik
seperti yang diungkapkan oleh Menristekdikti dalam sebuah acara: “Supaya bisa memenuhi
kebutuhan industri. Target kami semua lulusan harus punya sertifikat. Ijazah pasti. Karena akan
menghadapi persaingan global. Negara bisa maju karena politeknik, negara manapun didunia.
Saya ingin menjadikan politeknik garis depan dalam perekonomian Indonesia,” jelasnya.

Kalau diperhatikan tag line banner di atas yaitu: “Politeknik menciptakan kompetensi tenaga kerja
sesuai kebutuhan industri”, maka bisa dipahami bersama bahwa tugas politeknik adalah
menghasilkan tenaga kerja yang kompeten dan sesuai kebutuhan industri.

B. Ruang lingkup
Tulisan ini akan membatasi ruang lingkup bahasannya pada bagaimana khittah politeknik
yang sesungguhnya sebagai perguruan tinggi penyelenggara pendidikan vokasi dalam
menghasilkan tenaga kerja yang kompeten sesuai dengan kebutuhan industri.

Untuk lebih melengkapi wawasan kita bersama, dilakukan pula beberapa perbandingan penerapan
pendidikan vokasi di beberapa negara yang dirangkum dari berbagai sumber melalui kajian
literatur.

C. Kajian Literatur
1. Aksesabilitas Pendidikan Tinggi
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara
berhak mendapatkan pendidikan guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat 1 menyatakan
bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu, dan pasal 11 ayat 1 menyatakan pemerintah dan pemerintah daerah wajib
memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Undang-undang No. 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi pasal 7 ayat 3 (c) dinyatakan bahwa tugas dan wewenang menteri
atas penyelenggaraan pendidikan tinggi meliputi: …… peningkatan penjaminan mutu,
relevansi, keterjangkauan, pemerataan yang berkeadilan, dan akses pendidikan tinggi secara
berkelanjutan.

Langkah-langkah implementasi untuk meningkatkan aksesabilitas masyarakat untuk


pemerataan pendidikan tinggi telah dilakukan pemerintah. Untuk melihat hasil pemerataan
tersebut dapat digunakan rasio Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT). Rasio
APK PT merupakan hasil bagi antara jumlah mahasiswa S1 dan Diploma di PTN dan PTS
dibagi dengan jumlah penduduk usia 19-23 tahun. Berdasarkan laporan tahunan 2017
Ristekdikti diperoleh data APK sebagai berikut:

Berdasarkan data tahun 2017 tersebut APK Indonesia hanya sebesar 30,69% sangat jauh
dibandingkan APK Malaysia sebesar 38%, APK Thailand 54%, APK Singapura sebesar
78%, dan APK Korea Selatan sebesar 92%. Ini mengindikasikan bahwa sebanyak 69,31%
penduduk usia 19-23 tahun atau sebanyak 16.893.924 orang belum menempuh pendidikan
tinggi.

2. Posisi Pendidikan Vokasi


Jumlah program studi pada perguruan tinggi di Indonesia posisi 2017 sebanyak 26.184
program studi, dan dari jumlah tersebut hanya 5.597 program studi jenjang vokasi yang
mencetak lulusan yang siap kerja (laporan tahunan ristekdikti 2017).
Bisa dibayangkan berapa banyak lulusan dari jenjang vokasi yang dihasilkan Indonesia
dengan jumlah program studi vokasi yang hanya 21,4 % tersebut. Berdasarkan data ini maka
masih dibutuhkan lebih banyak lagi program studi jenjang vokasi, paling tidak bisa
memperoleh perbandingan 50:50 dengan program studi jenjang non vokasi. Untuk mencapai
rasio 50:50 maka seharusnya terdapat 20.587 program studi jenjang vokasi, atau perlu
penambahan 14.990 program studi jenjang vokasi. Salah satu langkah yang perlu dilakukan
yaitu mendorong penambahan program studi yg ada di perguruan tinggi vokasi yang sudah
ada utamanya di Politeknik, atau memberi insentif kepada masyarakat untuk mendirikan
perguruan tinggi vokasi di setiap daerah yang memiliki sentra-sentra industri yang
membutuhkan tenaga kerja yang kompeten.

Data jumlah mahasiswa yang menempuh pendidikan tinggi jenjang vokasi D1-D4 di
Indonesia tahun 2017 (Statistik Pendidikan Tinggi, 2017) sebanyak 886.692 mahasiswa dari
total jumlah mahasiswa yang terdaftar di seluruh perguruan tinggi sebanyak 6.924.511
mahasiswa, atau sekitar 12,81%. Data jumlah mahasiswa politeknik negeri dan swasta di
Indonesia sebanyak 247.852 mahasiswa, atau sekitar 3,58% saja dari total seluruh mahasiswa
terdaftar. Bisa diperkirakan berapa banyak kontribusi politeknik di seluruh Indonesia dalam
menghasilkan lulusan kompeten yang siap kerja.

3. Tipe Pendidikan Vokasi


Menurut Ferari dalam buku Sistem Pendidikan Vokasi di Inggris (2018) diutarakan bahwa
terdapat dua tipe pendidikan vokasi. Pertama adalah pendidikan vokasi yang berfokus pada
pembelajaran di institusi, baik itu sekolah vokasi maupun institusi profesional. Melalui jalur
ini, peserta didik lebih banyak melakukan pembelajaran di dalam sebuah institusi pendidikan.
Kedua, pendidikan vokasi yang berfokus pada pembelajaran praktikal melalui program
magang (apprenticeship). Melalui program magang peserta didik lebih banyak melakukan
pembelajaran praktikal di perusahaan sambil mengambil kelas yang lebih bersifat teoretikal
di institusi pendidikan lokal (CA4P, 2017). Melalui jalur ini, peserta didik menerima upah
kerja dari perusahaan. Perserta didik biasanya menghabiskan satu hari per minggu di
perguruan tinggi untuk memelajari sertifikat teknis dan sisa waktu mereka dalam pelatihan
atau bekerja.

Tie pendidikan vokasi di Indonesia sebagian besar (atau mungkin seluruhnya) menerapkan
tipe pendidikan yang pertama dimana peserta didik lebih banyak melakukan pembelajaran di
sekolah, nanti pada semester-semester akhir baru dilakukan pemagangan pada industri.

4. Kurikulum Pendidikan Vokasi


Menurut Lestari (2018) dikemukakan bahwa kurikulum pendidikan vokasi di Inggris
memadukan ilmu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills) dan sikap/tingkah laku
(attitude and behaviour) untuk memenuhi standar kecakapan calon tenaga kerja. Hal ini
dilakukan dengan memadukan keterampilan dasar (core skills/basic skills), keterampilan
kerja (employability skills) dan keterampilan vokasi (vocational skills).

Hal ini sama dengan kurikulum pendidikan vokasi di Indonesia, hanya implementasi dari
kurikulum ini di perguruan tinggi vokasi yang masih banyak yang tidak sesuai. Misalnya
mata kuliah – mata kuliah yang awalnya disiapkan untuk mengajarkan keterampilan, tapi
laksanaannya justru lebih banyak pada knowledge-nya saja, mata kuliah yang seharusnya
lebih banyak pada employability skills dan vocational skills tapi justru lebih banyak hanya
pada basic skills. Ini perlu diinventarisir kembali utamanya pada politeknik.

5. Triple Helix Model dan Pendidikan Vokasi


Dalam paparan Visi Indonesia 2085 disampaikan pula bahwa perlu adanya kerjasama antara
perguruan tinggi, industri, dan pemerintah atau lebih polpuler disebut Triple Helix. Model
triple helix, sebagaimana diteorikan oleh Etzkowitz dan Leydesdorff, didasarkan pada
interaksi antara perguruan tinggi (yang terlibat dalam penelitian dasar), industri (yang
memproduksi barang-barang komersial), dan pemerintah (yang mengatur pasar).

Dalam kaitannya dengan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi maka
dengan meng-adopt triple helix model ini maka interaksi antara perguruan tinggi vokasi
dengan industri lebih diarahkan pada kesesuaian antara kualitas dan kompetensi lulusan
perguruan tinggi vokasi dengan kompetensi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri.

Pada tahun-tahun terakhir ini triple helix telah berkembang menjadi quadruple helix dan
bahkan sampai pada N-helix dimana interaksi yang terlibat tidak hanya perguruan tinggi,
industri, dan pemerintah saja namun termasuk juga civil society dan media, juga stake holder
lainnya.

6. Persepsi Masyarakat terhadap Pendidikan Vokasi

Permasalahan utama yang dihadapi saat ini di Indonesia adalah persepsi masyarakat yang
menomorduakan pendidikan vokasi, hal ini sangat mempengaruhi tumbuh kembangnya
perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi D1-D4. Padahal pendidikan
vokasi memiliki peran yang tinggi sebagai sebuah alat pencetakan tenaga kerja terampil dan
berproduktivitas tinggi, sehingga secara makro dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
negara.

Atkins & Flint (2015) dalam artikel mereka yang membahas persepsi dari pemerintah,
masyarakat dan juga anak muda mengenai pendidikan vokasi di Inggris, mengatakan bahwa
ada kecenderungan pemerintah dan masyarakat Inggris dan juga dunia internasional
menggunakan konsep ‘defisit’ dalam retorika pendidikan vokasi. Maksud dari kata defisit
disini yaitu bahwa pendidikan vokasi hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki
prestasi akademik rendah atau dengan latar belakang ekonomi yang rendah. Hal ini juga
terlihat di Indonesia.

Cara yang bisa dilakukan untuk mengeliminir persepsi ini secara bertahap yaitu dengan cara
melakukan peningkatan kualitas berbagai aspek sistem pendidikan vokasi, yang pada
akhirnya diharapkan bisa mengurangi stigma negatif yang ditujukan kepada peserta didik
vokasi sehingga peserta didik dari berbagai latar belakang dan kemampuan bisa tertarik untuk
bergabung pada perguruan tinggi vokasi.
D. Rekomendasi

Berdasarkan beberapa uraian singkat terdahulu, maka dapat diperoleh gambaran tentang
perguruan tinggi vokasi, politeknik, dan positioning-nya di dunia pendidikan, industri, dan
masyarakat. Selain itu telah disinggung pula tentang implementasi perguruan tinggi vokasi
utamanya politeknik yang secara konsep sudah sesuai yang telah diinginkan oleh pemerintah dan
industri , namun komitmen, konsistensi, dan kontrol terhadap nilai-nilai dan arah yang dituju bagi
sebuah politeknik membuat banyak politeknik di Indonesia, bukan hanya yang swasta saja, negeri
juga, yang melupakan khittah nya sebagai perguruan tinggi vokasi yang tugas utamanya
menghasilkan tenaga kerja yang kompeten sesuai kebutuhan industri.
Untuk itu direkomendasikan untuk politeknik berdasarkan tugas utamanya dalam
menghasilkan tenaga kerja yang kompeten diantaranya:
- Melakukan peningkatan kualitas pendidikannya dengan mengevaluasi implementasi
kurikulumnya dan menginventarisir kembali elemen-elemen knowledge, skill, dan
attitude, serta merekomposisikan lagi tentang basic skill, employability skill, dan
vocational skill. Jika memungkinkan dapat dielaborasi tipe pendidikan vokasi yang dipilih
dengan menggunakan tipe apprenticeship.
- Merujuk pada triple helix model yang disesuaikan dengan tujuan perguruan tinggi vokasi
maka politeknik dituntut pula untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas interaksi dengan
industri dan pemerintah. (topik ini akan dibahas pada tulisan selanjutnya).
- Perkembangan senjutnya diharapkan politeknik dapat merangkul seluruh stake holder agar
dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi politeknik.

Daftar Pustaka
Atkins, L., & Flint, K. J. (2015). Nothing changes: Perceptions of vocational education in
England. International Journal of Training Research, 13(1), 35–48
Utami, A.D., A. C. Pratikta, A. R. Febrianto, B. Waluyo, D. A. Khan, D. Ferary, M. Apriyani,
N. Roslidah, R. S. Kurnia, S. Lestari, T. Y. Harjatanaya, dan U. Nishar, 2018. Sistem
Pendidikan Vokasi di Inggris. Penerbit: Kantor Atase Pendidikan dan Kebudayaan,
Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) London
CA4P (Careers Advice for Parents) (2017), Apprenticeship explained,[Online],
https://www.careersadviceforparents.org/p/apprenticeship. html
Laporan Tahunan 2017, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Statistik Pendidikan Tinggi 2017, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi

Anda mungkin juga menyukai