Anda di halaman 1dari 2

Ijazah Tak Cukup Lagi

Selama ini, jamak pandangan masyarakat bahwa selembar ijazah pendidikan tinggi,
terutama bukti gelar sarjana, merupakan kunci utama untuk mendapatkan pekerjaan impian.
Namun, seiring makin banyaknya sarjana yang diproduksi institusi pendidikan tinggi, selembar
ijazah tak cukup lagi.
Gejala ijazah pendidikan tinggi bukan jaminan mengantarkan ke dunia kerja setidaknya
tergambar dalam data yang dikumpulkan Badan Pusat Statistik. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik pada Agustus 2014, di Indonesia ada 9,5 persen (688.660 orang) dari total penganggur
yang merupakan alumni perguruan tinggi. Mereka memiliki ijazah diploma tiga atau ijazah strata
satu alias bergelar sarjana. Dari jumlah itu, jumlah penganggur paling tinggi, 495.143 orang,
merupakan lulusan universitas yang bergelar sarjana.
Pengangguran terdidik itu (baik berijazah diploma maupun strata 1) meningkat
dibandingkan tahun 2013 dengan persentase penganggur lulusan perguruan tinggi sebesar 8,36
persen (619.288 orang) dan pada 2012 sebesar 8,79 persen (645.866 orang).
Sejumlah ahli pendidikan tinggi, seperti Wardiman Djojonegoro, dalam pemberitaan di
Kompas, menyebutkan, terjadinya pengangguran terdidik merupakan kelindan berbagai faktor,
seperti kurangnya lapangan pekerjaan, pertumbuhan perguruan tinggi dan program studi begitu
pesat, serta minimnya kompetensi para lulusan atau tidak sesuainya kompetensi dengan
kebutuhan pengguna tenaga kerja.
Faktor ketersediaan lapangan kerja merupakan hal kompleks tersendiri yang, antara lain,
terkait dengan ketersediaan investasi memadai untuk menyerap tenaga kerja dari lulusan
berbagai program studi, kinerja ekonomi nasional, dan kondisi ekonomi global.
Penyebab lain, seperti pengendalian mutu institusi pendidikan tinggi dan pembekalan
kompetensi lulusan, sesungguhnya dapat lebih dikendalikan. Jangan sampai, ketika mencari
pekerjaan, individu dalam usia produktif tidak memiliki keahlian tertentu sehingga dianggap tidak
menarik bagi pencari kerja.
Kompetensi
Kesenjangan kompetensi lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan dunia kerja sebenarnya
sudah ada jalan keluar dengan adanya acuan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
KKNI merupakan kerangka penjenjangan kualifikasi dan kompetensi tenaga kerja Indonesia.
KKNI menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan sektor pendidikan dengan sektor
pelatihan dan pengalaman kerja dalam skema pengakuan kemampuan kerja yang disesuaikan
dengan struktur di berbagai sektor pekerjaan.
Dengan KKNI, ijazah bukan segala-galanya. Berbekal kompetensi yang dimiliki,
seseorang bisa memperoleh status setara dengan pemilik ijazah yang memperoleh lewat jenjang
pendidikan tertentu. Tentu saja pengelola perguruan tinggi harus mengubah paradigma, dengan
tidak berpuas diri hanya memberikan ijazah kepada mahasiswa tanpa melihat kemampuan dan
keterampilan alumninya.
Terbitnya KKNI menjadi kerangka penjenjangan kualifikasi dan kompetensi tenaga kerja
Indonesia. Dengan demikian, kebutuhan pengguna dengan kompetensi tertentu lulusan
perguruan tinggi dapat lebih didekatkan.
Perguruan tinggi juga perlu didorong bekerja sama dengan para pengusaha dalam
membuka kesempatan magang bagi mahasiswa ataupun alumni yang baru lulus. Para lulusan
setidaknya dapat memiliki secuplik gambaran nyata tentang dunia kerja yang akan dimasuki.
Satu hal yang perlu diluruskan ialah sering tercampurnya antara tujuan pendidikan tinggi
yang bersifat akademis dan menciptakan manusia berpikir ilmiah dengan pendidikan vokasi yang
bertujuan menyiapkan tenaga terampil siap kerja. Individu kadang berpikir bahwa dengan
memegang gelar sarjana sudah mendapatkan semua yang dibutuhkan untuk bekerja. Padahal,
tidak demikian.
Supaya jumlah penganggur bergelar sarjana berkurang, pemerintah perlu mendorong
pengembangan pendidikan vokasi. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
berencana memprioritaskan pengembangan pendidikan vokasi.
Data Dikti menyebutkan, ada 1.357 akademi, 2.508 sekolah tinggi, 255 politeknik, dan
124 institut. Adapun universitas hanya ada 504. Artinya, mayoritas perguruan tinggi di Indonesia
bergerak di bidang vokasi. Akan tetapi, jumlah program studi (prodi) vokasi hanya 20 persen dari
total prodi yang ada. Dengan menambah program vokasi, diharapkan tercipta tenaga kerja
terampil yang bisa segera diserap pasar.
Namun, perlu diingat, proses pendidikan di perguruan tinggi tak sekadar pencetak
tenaga kerja dan berorientasi pasar. Terdapat sisi dan fungsi penting lain dari penyelenggaraan
pendidikan tinggi, termasuk yang bergerak di pendidikan vokasi.
Seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi, pendidikan tinggi berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak ?serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam ?rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Fungsi
lain ialah mengembangkan sivitas akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya
saing, dan ?kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma. Pendidikan tinggi juga berfungsi untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan
nilai-nilai humaniora. Pada akhirnya, pendidikan tinggi tak hanya persoalan investasi individu
untuk dapat bekerja, tetapi juga menentukan kesejahteraan bangsa dan peradabannya.

Ananalisilah teks editorian yang berjudul “ Ijazah Tak Cukup Lagi” berdasarkan struktur dan kaidah
kebahasaan dengan format berikut:

Struktur Teks Penjelasan


1. Pengenalan Isu
2. Penyampaian
Pendapat /Argumen
3. Penegasan

Kaidah Kebahasaan Penjelasan


1. Menggunaan kalimat
retoris

2. Menggunakan kata-
kata populer
3. Menggunakan kata
ganti penunjuk
4. Banyaknya penggunaan
konjungsi kausalitas

Anda mungkin juga menyukai