Anda di halaman 1dari 10

ADA APA DENGAN UN(F)AIR ?

PELANGGARAN AKADEMIK DALAM LINGKARAN OLIGARKI KAMPUS

Surabaya, 3 Februari 2021

Pendahuluan

Berangkat dari hasil penelusuran yang dilakukan oleh media Tempo.co pada
laporan utamanya (Edisi 1-7 Februari 2021) yang mencatut pelbagai kampus ternama
di Indonesia karena terlibat dalam pelanggaran akademik—termasuk Universitas
Airlangga—dan rupanya cukup membuat terkejut sebagian mahasiswa, maka wajar
saja jika banyak mahasiswa yang menaruh ‘pertanyaan besar’ terhadap kasus tersebut.
Dalam laporan yang bertajuk ‘Wajah Kusam Kampus’, Tempo.co secara lugas dan
mendalam mengemukakan bagaimana pelanggaran akademik dilakukan oleh—bahkan
sekelas—Rektor Universitas yang diduga menjiplak karya ilmiah dan kemudian lolos
dari jeratan sanksi hukum.

Bagi segenap keluarga besar Universitas Airlangga, kabar yang masih


mendingan dan ‘menenangkan’ dari pada kampus lain mungkin adalah bukan Rektor-
nya yang tercatut. Namun, apakah kita cukup merasa tenang? Ternyata tidak. Tiba-tiba
banyak asumsi yang muncul ketika dikaitkan dan mengingat kembali soal bagaimana
kondisi kampus belakangan ini. Bukan hanya masalah predator jurnal dan masalah
ketergesa-gesaan dosen yang ikut berlomba-lomba menerbitkan karya ilmiahnya untuk
naik jabatan, namun setidaknya perlu dipahami juga permasalahan yang lebih
mendasar, yakni ambisi Universitas untuk menaikkan peringkat kampus, yang mana
hal tersebut pada realitanya merupakan bentuk pedagogi pendidikan tinggi sekaligus
‘sampah’ dari komersialisasi pendidikan.

Kasus yang menimpa dosen Unair adalah pemuatan karya ilmiah dosen pada
situs jurnal skala internasional abal-abal. Selain itu, adapula dugaan adanya pungutan
liar dalam pemuatan karya ilmiah agar berindeks scopus. Kasus tersebut merupakan
pelanggaran etik bagi akademisi dan tidak sesuai dengan semangat intelektual karena
tindakan tersebut merupakan suatu kecurangan. Yang lebih memperihatinkan lagi
adalah dedikasi ilmiah yang seharusnya menjadi simbol ‘tri dharma’ perguruan tinggi
dilelang dengan ambisi kenaikan jabatan atau pangkat.

Setidaknya ada sejumlah pertanyaan yang perlu diulas dari mencuatnya kasus
tersebut. Pertama, apakah pemanfaatan predator jurnal ini murni dari kesalahan para
dosen yang nama-namanya tercatut dalam laporan Tempo.co? Kedua, bijakkah kita
memaklumi pembiayaan karya ilmiah di skala internasional?

Untuk menjawabnya, kita perlu menelusuri terlebih dahulu bagaimana


komitmen kampus dalam menyelenggarakan pendidikan dan tanggung jawab
pemerintah dalam mengawasi operasional pendidikan tinggi yang dikelola oleh
kampus—sebab Unair adalah PTN-BH yang memiliki otonom sendiri.

Garis Panjang Komersialisasi Pendidikan

Sebelum memahami apa sebenarnya sistem PTN-BH, secara historis harus


dipahami mengapa pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara
kemudian serasa dilelang dalam koridor komersil. Pembiayaan sektor pendidikan telah
diatur dalam Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945 bahwa negara bertanggung jawab sekurang-
kurangnya mengalokasikan 20% dari APBN.
Komersialisasi sektor pendidikan yang saat ini dirasakan kalangan pelajar
maupun mahasiswa tidak dapat dilepaskan dari perjanjian GATS (General Agreement
on Trade in Service) yang meliberalisasi 12 sektor jasa, termasuk pendidikan. Di sektor
pendidikan tinggi, GATS turut andil dalam pemberian otonomi khusus melalui PP
Nomor 61 Tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik
Negara (BHMN). Terdapat setidaknya 7 perguruan tinggi yang pada saat itu
memperoleh otonomi khusus BHMN; USU, UI, UPI, UGM, UNAIR, IPB, dan ITB.

Selanjutnya, lahir serangkaian Peraturan Pemerintah yang menjadi dasar


hukum (Statuta) dari PP BHMN pada tahun 2000. UU Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional kemudian melahirkan konsep yang senada dengan BHMN
yakni “Badan Hukum Pendidikan” dalam pasal 53 ayat 1. Konsep ini dipertegas dengan
UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Artinya, pemerintah
semakin berupaya melegalkan liberalisasi sektor pendidikan yang semakin tidak
menunjukkan realisasi pemenuhan pendidikan sebagai hak warga negara.

Logika pasar dalam pelaksanaan pendidikan semakin tampak ketika pada 13


Juli 2012 pemerintah kembali menghantam sistem pendidikan tinggi dengan paket UU
baru bertajuk UU Pendidikan Tinggi (UUPT 2012). Upaya penolakan terhadap UU
BHP yang sebelumnya berhasil, sepertinya tidak berlaku terhadap UUPT. Gugatan
yang banyak dilayangkan oleh kalangan masyarakat dan elemen mahasiswa ditolak
oleh Ketua MK, Hamdan Zoelya, karena dianggap tidak bertentangan dengan UUD
1945. Padahal sangat jelas bahwa UUPT adalah wajah baru UU BHP.

Dengan bahasa hukum yang diskursif, pemerintah mempertegas tanggung


jawab negara hanya di tingkat birokrasi dan membantu biaya pendidikan hanya melalui
subsidi. Pemerintah menyerahkan tanggung jawab finansial pendidikan ke masyarakat,
mahasiswa dan dunia usaha. Hal ini dapat dilihat secara subtansial pada Pasal 50 UUPT
no 12 tahun 2012, yaitu:

(1) Kerja sama internasional Pendidikan Tinggi merupakan proses interaksi


dalam pengintegrasian dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik
untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai
keindonesiaan.
(2) Kerja sama internasional harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan
saling menghormati dengan mempromosikan Ilmu Pengetahuan,
Teknologi, dan nilai kemanusiaan yang memberi manfaat bagi kehidupan
manusia.
(3) Kerja sama internasional mencakup bidang Pendidikan, Penelitian, dan
Pengabdian kepada Masyarakat.
(4) Kerja sama internasional dalam pengembangan Pendidikan Tinggi dapat
dilakukan, antara lain, melalui:
a. hubungan antara lembaga Pendidikan Tinggi di Indonesia dan
lembaga Pendidikan Tinggi negara lain dalam kegiatan
penyelenggaraan Pendidikan yang bermutu;
b. pengembangan pusat kajian Indonesia dan budaya lokal pada
Perguruan Tinggi di dalam dan di luar negeri; dan
c. pembentukan komunitas ilmiah yang mandiri.
(5) Kebijakan nasional mengenai kerja sama internasional Pendidikan Tinggi
ditetapkan dalam Peraturan Menteri.”

UUPT memberikan otonomi kampus dalam mengatur dan mengelola


pendanaan pendidikan tinggi. Birokrat kampus bebas menentukan “tarif pendidikan’
sendiri dengan satuan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Pemerintah mengklaim bahwa
dengan adanya UKT maka masyarakat tidak dibebani penuh biaya gedung dan hanya
perlu membayar satuan biaya semester.

Perlu kita teliti, penghitungan yang dilakukan oleh birokrat kampus dan
pemerintah adalah mengakumulasi seluruh biaya operasional kuliah dan membaginya
per semester. Dapat kita lihat di Permendikbud No. 93 Tahun 2014, masyarakat harus
menanggung biaya operasional langsung dan tidak langsung dari penyelenggaraan
pendidikan tinggi. Tertulis jika peraturan ini mengacu pada Pasal 88 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dapat kita lihat bersama jika konten
dalam pasal 88 tersebut ialah bagaimana pemerintah mulai mengalihkan pembiayaan
pendidikan kepada mahasiswa secara langsung.

Pemerintah lalu menjadikan sebuah standart dalam pembiayaan dengan


memperhitungkan;

a).capaian Standar Nasional Pendidikan Tinggi;

b. jenis Program Studi; dan

c. indeks kemahalan wilayah.

Sehingga akan ada kompetisi antar daerah dan lembaga pendidikan, sebagai
contoh nyata implementasi liberalisasi sektor pendidikan. Implementasi dari UUPT no
12 tahun 2012 yang menggambarkan semakin lepasnya pemerintah dalam tanggung
jawab pendidikan, tergambar jelas dalam substansi permendikti nomer 22 tahun 2015,
yang berbunyi:

“Pasal 7 (1) UKT yang dibebankan kepada mahasiswa penerima


bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa miskin dan berprestasi (bidikmisi)
paling banyak Rp2.400.000,00 (dua juta empat ratus ribu rupiah) per semester.
(2) UKT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan oleh Kementerian
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi kepada PTN. Pasal 8 PTN dilarang
memungut uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT dari mahasiswa
baru Program Sarjana dan Program Diploma. Pasal 9 (1) PTN dapat memungut
uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT, dari mahasiswa baru Program
Sarjana dan Program Diploma yang terdiri atas: a. mahasiswa asing; b.
mahasiswa kelas internasional; c. mahasiswa yang melalui jalur kerja sama;
dan/atau d. mahasiswa yang melalui seleksi jalur mandiri. (2) Jumlah
mahasiswa baru Program Sarjana dan Program Diploma sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling banyak 20% (dua puluh persen) dari keseluruhan
mahasiswa baru.”
Secara garis besar, transisi sistem pendidikan nasional yang dirasakan dari
tahun ke tahun menunjukkan bahwa neoliberalisme dan kapitalisme memasuki era
baru. Kesadaran palsu eksploitasi dunia pendidikan yang merasuki hampir kebanyakan
akademisi sangatlah kronis. Anggapan bahwa mahalnya biaya pendidikan adalah
jaminan masa depan sukses harus dientaskan dari masyarakat. Logika ini adalah logika
pasar yang merupakan kepentingan dari sistem kapitalisme untuk mereproduksi
kekuatan modal mereka.

Hubungan pendidikan tinggi dan dunia usaha dalam UUPT mempertegas


bahwa tujuan pendidikan tinggi saat ini adalah melayani kebutuhan inovasi pengusaha
dan mencetak tenaga kerja terdidik sesuai dengan permintaan pasar. Dunia usaha
leluasa berinvestasi di dunia pendidikan untuk mengeksploitasi hasil penelitian-
penelitian institusi pendidikan. Lulusan-lulusan terdidik bukan mengabdi untuk
kemajuan masyarakat namun diperbudak untuk memenuhi kantong-kantong pemodal.
Inilah dasar dari setiap pelanggaran akademik yang saat ini banyak dinormalisasi oleh
masyarakat awam.

WCU: World Cheat University ?

Status Unair adalah Perguruan tinggi negeri berbadan hukum sejak tahun 2013-
2014, yang mana otoritas kampusnya memungkinkan untuk mengelola berbagai
kebijakan, termasuk untuk mengelola sektor keuangan. Dalam produk hukumnya,
yakni Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, segalanya telah
diatur mengenai otonomi-otonomi yang dapat dilakukan oleh PTN serta diklaim
bertujuan agar dapat lebih leluasa mengejar visi dan misi kampus yang bersangkutan.

Seperti petuah klasik “kadang harapan tak sesuai kenyataan”, Kampus-kampus


di Indonesia ternyata juga tak mampu memahami UU-PT, yang sebaiknya juga tak
ada—karena resikonya terlalu besar dan cenderung keluar jalur dalam
implementasinya. Unair pun begitu, Kampus ini juga ‘gugup’ dan ‘gagap’ dalam
mengartikulasikan upaya internasionalisasi pendidikan. Unair sepertinya tidak cukup
bermutu untuk mendeklarasikan bahwa internasionalisasi pendidikan itu sebagai
langkah untuk memperluas akses dan meningkatkan mutu pendidikan, yang akhirnya
malah diselewengkan hanya untuk mengejar ‘gengsi’ atas persaingan antar-kampus
negeri di Indonesia.

Jika dalil di atas keliru, maka tak mungkin ada kasus penerbitan karya ilmiah
di situs abal-abal—yang berarti juga kualitas karya tersebut turut dipertanyakan. Tidak
akan ada juga pembayaran 13 juta Rupiah demi penerbitan jurnal berindeks scopus,
atau perlombaan naik jabatan antar-dosen yang tidak fair, curang, dan jauh dari
semangat akademis. Namun, lagi-lagi Unair terus menggaungkan pelbagai jargon dan
membangakan diri bahwa dari 2019-2020—hanya dalam waktu satu tahun—peringkat
Unair naik hingga dalam skala ratusan, yakni dari peringkat 650-700 ke 521-530 seperti
yang dilansir oleh news.unair.ac.id (2020). Di samping itu, lembaga yang menilai
adalah juga jelas-jelas produk dari neo-liberalisasi pendidikan yaitu Quacquarelli
Symonds (QS) World University.

Bukankah ini suatu ironi? Sedangkan produktifitas penelitian ilmiah dari


mahasiswa maupun dosen di Unair secara kasat mata saja sangat rendah. Namun secara
tiba-tiba, tercatat dalam satu tahun terdapat 2000 karya ilmiah yang dipublikasikan
secara internasional. Bukankah wajar ketika mahasiswa skeptis dan kritis untuk
mempertanyakan asal dari karya tersebut? Belum lagi ditautkan dengan masalah
fasilitas-fasilitas penunjang akademik kampus yang jauh dari kata memadai.

Kembali ke inti permasalahan. Dari fenomena yang diungkap oleh Tempo.co,


yang harus mulai kita refleksikan adalah nama-nama dosen Unair yang tercatut itu
sebetulnya bukanlah orang yang paling bersalah dan layak mendapatkan sanksi.
Bangsa kita sudah terbiasa tergesa-gesa dalam mengudar permasalahan, meninjau
fenomena dari ‘kemasan’, dan melakukan justifikasi berlarut-larut sehingga cenderung
menghiraukan dari mana ‘akar’ dari problematikanya.
Lingkar Oligarki Kampus

Kita pasti menyadari banyak dosen baik yang dalam banyak hal—misalnya
dalam penyelenggaraan pendidikan kita— kerap menjadi korban. Akibat ulah siapa?
Tentunya yang hanya segelintir, berkuasa, dan biasanya tak mau mendengarkan. Inilah
yang kemudian disebut sebagai Oligarki Kampus. Mereka-lah yang berambisi untuk
mengejar peringkat kampus di ranah internasional, yang (sekali lagi, perlu diingat)
tidak diimbangi dengan standar kualitas pendidikan yang tinggi dan orientasi
kemanusiaan.

Alih-alih hanya berkuasa, benarkah mereka tidak mendengar? Ambil contoh


pada suatu demonstrasi mahasiswa jilid 2 di tahun 2020, yang saat itu massa aksi
mengupayakan pemotongan uang kuliah tunggal di masa pandemi, tidak satu pun
tuntutan yang alih-alih dikompromikan, melainkan sama sekali tidak didengar. Pun
sebuah pertanyaan yang—pada waktu yang sama—keluar dari mulut salah satu
mahasiswa, yaitu mengapa kampus tidak mau memastikan fasilitas perkuliahan di
masa-masa sulit seperti ini, serta selain itu massa aksi juga menginginkan adanya
transparansi rancangan anggaran dana. Namun, jawaban yang dilontarkan oleh salah
seorang pejabat Universitas tepatnya Wakil Rektor 1 adalah, “Unair hanya merasa
perlu bertanggung jawab kepada negara, bukan kepada mahasiswa.” logika yang
digunakan oleh Unair dalam penyelenggaraan pendidikan tak lagi jenis logika
intelektual yang mendorong bagaimana pendidikan harus menyentuh setiap elemen
rakyat dan berorientasi terhadap ilmu pengetahuan, namun bahkan lebih buruk dari
pada logika pasar.

Parahnya dalam aksi yang dilakukan kawan-kawan massa aksi, yang dikatakan
oleh wakil rektor 1 sebagai keluarga—massa aksi di represi oleh hadirnya aparat
kepolisisan dengan hadirnya enam mobil barakuda ke kampus C Unair. Disaat
mahasiswa ingin bertemu dan melayangakan keluh kesahnya ke Rekor, beliau justru
tidak hadir dan malah terkesan melarikan diri. Pihak aparat yang hadir justru semakin
menciderai hubungan antara konsumen dan penjual pendidikan yang dibungkus dalam
kata “keluarga” oleh oligarki kampus itu sendiri.

Dalam pasar, konsumen diperlakukan sedikit lebih manusiawi dan memiliki


hak yang tentu dipertimbangkan, namun—karena pendidikan telah menjadi
komoditas—‘konsumen’ di dalam penyelenggaraan pendidikan di Unair hanya
dipandang bukan seperti manusia, tidak dihargai sebagai mana mestinya.
Kesimpulannya adalah, kasus yang memalukan tersebut tak adil jika dilimpahkan
kepada (hanya) dosen-dosen yang dicatut dalam laporan investigasi Tempo.co,
melainkan pimpinan kampus yang lalai dan turut melanggengkan ambisinya agar Unair
secara akseleratif naik peringkat 500 besar di dunia.

Jika ingin kasus-kasus pelanggaran akademik seperti demikian tak terulang


kembali, sistem pendidikan di Unair tidak mengkehendaki penyelewengan akademik
seperti itu, bukan hanya meningkatkan pengawasan saja, melainkan mengubah
pandangan secara fundamental untuk berfokus kepada peningkatan kualitas dan
pemerataan pendidikan. Pembayaran dalam penerbitan jurnal pada situs-situs tertentu
sebetulnya bukan hanya menguji kualitas dosen-dosen Unair, namun lebih dari itu
menguji apakah sistem pendidikan di Unair telah berkualitas, demokratis, dan humanis.
Sebab jikalau kualitas para dosen atau mahasiswa itu mumpuni, tak dapat disangkal
pula jika karya yang dihasilkan juga berbanding lurus, tanpa harus membayar untuk
penerbitan jurnal berindeks internasional atau cepat naik jabatan.

Internasionalisasi pendidikan dapat bermakna ideal apabila dilakukan dengan


hati-hati, tak terburu-buru apalagi hanya untuk menaikkan peringkat Universitas, serta
berorientasi terhadap peningkatan mutu serta kualitas demi pemerataan pendidikan
bagi seluruh rakyat Indonesia.

(B/R/D)
Referensi

https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/162450/bagaimana-dosen-dan-kampus-
memanfaatkan-jurnal-predator-untuk-menaikkan-peringkat Diakses pada hari
Rabu, 3 Februari 2021 Pukul 12.09

http://news.unair.ac.id/2020/06/10/capai-521-530-kampus-terbaik-dunia-unair-raih-
lompatan-peringkat-tertinggi-di-indonesia/ Diakses pada hari Rabu, 3 Februari
2021 Pukul 15.22

https://medium.com/lingkaran-solidaritas/pedagogi-pendidikan-tinggi-gerbang-
menuju-komersialisasi-1c66c12ef708 Diakses pada hari Kamis, 4 Februari
Pukul 09.00

Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi

Anda mungkin juga menyukai