Pendahuluan
Berangkat dari hasil penelusuran yang dilakukan oleh media Tempo.co pada
laporan utamanya (Edisi 1-7 Februari 2021) yang mencatut pelbagai kampus ternama
di Indonesia karena terlibat dalam pelanggaran akademik—termasuk Universitas
Airlangga—dan rupanya cukup membuat terkejut sebagian mahasiswa, maka wajar
saja jika banyak mahasiswa yang menaruh ‘pertanyaan besar’ terhadap kasus tersebut.
Dalam laporan yang bertajuk ‘Wajah Kusam Kampus’, Tempo.co secara lugas dan
mendalam mengemukakan bagaimana pelanggaran akademik dilakukan oleh—bahkan
sekelas—Rektor Universitas yang diduga menjiplak karya ilmiah dan kemudian lolos
dari jeratan sanksi hukum.
Kasus yang menimpa dosen Unair adalah pemuatan karya ilmiah dosen pada
situs jurnal skala internasional abal-abal. Selain itu, adapula dugaan adanya pungutan
liar dalam pemuatan karya ilmiah agar berindeks scopus. Kasus tersebut merupakan
pelanggaran etik bagi akademisi dan tidak sesuai dengan semangat intelektual karena
tindakan tersebut merupakan suatu kecurangan. Yang lebih memperihatinkan lagi
adalah dedikasi ilmiah yang seharusnya menjadi simbol ‘tri dharma’ perguruan tinggi
dilelang dengan ambisi kenaikan jabatan atau pangkat.
Setidaknya ada sejumlah pertanyaan yang perlu diulas dari mencuatnya kasus
tersebut. Pertama, apakah pemanfaatan predator jurnal ini murni dari kesalahan para
dosen yang nama-namanya tercatut dalam laporan Tempo.co? Kedua, bijakkah kita
memaklumi pembiayaan karya ilmiah di skala internasional?
Perlu kita teliti, penghitungan yang dilakukan oleh birokrat kampus dan
pemerintah adalah mengakumulasi seluruh biaya operasional kuliah dan membaginya
per semester. Dapat kita lihat di Permendikbud No. 93 Tahun 2014, masyarakat harus
menanggung biaya operasional langsung dan tidak langsung dari penyelenggaraan
pendidikan tinggi. Tertulis jika peraturan ini mengacu pada Pasal 88 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dapat kita lihat bersama jika konten
dalam pasal 88 tersebut ialah bagaimana pemerintah mulai mengalihkan pembiayaan
pendidikan kepada mahasiswa secara langsung.
Sehingga akan ada kompetisi antar daerah dan lembaga pendidikan, sebagai
contoh nyata implementasi liberalisasi sektor pendidikan. Implementasi dari UUPT no
12 tahun 2012 yang menggambarkan semakin lepasnya pemerintah dalam tanggung
jawab pendidikan, tergambar jelas dalam substansi permendikti nomer 22 tahun 2015,
yang berbunyi:
Status Unair adalah Perguruan tinggi negeri berbadan hukum sejak tahun 2013-
2014, yang mana otoritas kampusnya memungkinkan untuk mengelola berbagai
kebijakan, termasuk untuk mengelola sektor keuangan. Dalam produk hukumnya,
yakni Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, segalanya telah
diatur mengenai otonomi-otonomi yang dapat dilakukan oleh PTN serta diklaim
bertujuan agar dapat lebih leluasa mengejar visi dan misi kampus yang bersangkutan.
Jika dalil di atas keliru, maka tak mungkin ada kasus penerbitan karya ilmiah
di situs abal-abal—yang berarti juga kualitas karya tersebut turut dipertanyakan. Tidak
akan ada juga pembayaran 13 juta Rupiah demi penerbitan jurnal berindeks scopus,
atau perlombaan naik jabatan antar-dosen yang tidak fair, curang, dan jauh dari
semangat akademis. Namun, lagi-lagi Unair terus menggaungkan pelbagai jargon dan
membangakan diri bahwa dari 2019-2020—hanya dalam waktu satu tahun—peringkat
Unair naik hingga dalam skala ratusan, yakni dari peringkat 650-700 ke 521-530 seperti
yang dilansir oleh news.unair.ac.id (2020). Di samping itu, lembaga yang menilai
adalah juga jelas-jelas produk dari neo-liberalisasi pendidikan yaitu Quacquarelli
Symonds (QS) World University.
Kita pasti menyadari banyak dosen baik yang dalam banyak hal—misalnya
dalam penyelenggaraan pendidikan kita— kerap menjadi korban. Akibat ulah siapa?
Tentunya yang hanya segelintir, berkuasa, dan biasanya tak mau mendengarkan. Inilah
yang kemudian disebut sebagai Oligarki Kampus. Mereka-lah yang berambisi untuk
mengejar peringkat kampus di ranah internasional, yang (sekali lagi, perlu diingat)
tidak diimbangi dengan standar kualitas pendidikan yang tinggi dan orientasi
kemanusiaan.
Parahnya dalam aksi yang dilakukan kawan-kawan massa aksi, yang dikatakan
oleh wakil rektor 1 sebagai keluarga—massa aksi di represi oleh hadirnya aparat
kepolisisan dengan hadirnya enam mobil barakuda ke kampus C Unair. Disaat
mahasiswa ingin bertemu dan melayangakan keluh kesahnya ke Rekor, beliau justru
tidak hadir dan malah terkesan melarikan diri. Pihak aparat yang hadir justru semakin
menciderai hubungan antara konsumen dan penjual pendidikan yang dibungkus dalam
kata “keluarga” oleh oligarki kampus itu sendiri.
(B/R/D)
Referensi
https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/162450/bagaimana-dosen-dan-kampus-
memanfaatkan-jurnal-predator-untuk-menaikkan-peringkat Diakses pada hari
Rabu, 3 Februari 2021 Pukul 12.09
http://news.unair.ac.id/2020/06/10/capai-521-530-kampus-terbaik-dunia-unair-raih-
lompatan-peringkat-tertinggi-di-indonesia/ Diakses pada hari Rabu, 3 Februari
2021 Pukul 15.22
https://medium.com/lingkaran-solidaritas/pedagogi-pendidikan-tinggi-gerbang-
menuju-komersialisasi-1c66c12ef708 Diakses pada hari Kamis, 4 Februari
Pukul 09.00