Anda di halaman 1dari 2

Komersialisasi pendidikan

Pendidikan adalah kebutuhan dasar (basic need) hidup manusia. Pendidikan juga merupakan
salah satu bagian dari hak asasi manusia, tapi kenyataan yang terjadi pendidikan dan
pengajaran di dalam paradigma neokolonial Indonesia selama ini hanya diajukan demi
fungsinya terhadap kebutuhan penguasa, tidak demi masyarakat Pendidikan merupakan
suatu proses yang tidak pernah berakhir dan menjadi hal yang sangat penting dalam
kehidupan umat manusia. Pendidikan merupakan suatu alat untuk mengubah manusia dari
ketertinggalan. Selain itu pendidikan banyak dipahami sebagai wahana untuk menyalurkan
ilmu pengetahuan, alat pembentukan watak, alat mengasah otak. Maka sudah saatnya kita
merubah paradigma pendidikan yang selama ini keliru.Disisi lain Perlu adanya badan
pengawas intensif yang benar – benar mengawasi jalannya dana untuk lembaga pendidikan.
Tentu diikuti oleh anggota badan pengawas sendiri yang tidak “nakal”. Yang akan
mengakibatkan kerugian Negara. Dan jika mengimpikan sebuah proses pendidikan yang
murah didalam kondisi saat ini. Maka salah satu jalan adalah dengan membuat sebuah model
pendidikan baru, yaitu model pendidikan alternatif. Model pendidikan yang berpihak kepada
kaum menengah kebawah. Model pendidikan yang bertujuan untuk membebaskan dari segala
bentuk ketertindasan. Impian hanya menjadi khayalan jika kita berharap bisa mengubah
system pendidikan formal sekarang ini, tanpa membentuk sebuah sistem pendidikan alternatif
sebagai bentuk perlawanan. Khusus pada sektor mahasiswa yang perjuangannya maksimal
hanya sampai 7 tahun, kita harus menghilangkan sebutan revolusi sampai skripsi yang
melekat pada mahasiswa. Karena perjuangan ini merupakan perspektif seumur hidup.
Apalagi, mayoritas mahasiswa setelah lulus pasti akan menjadi kelas buruh (elemen
tertindas), hanya minoritas mahasiswa yang akan menjadi penguasa, pengusaha besar,
manajer, dan sebagainya karena tidak mungkin ada lowongan sebanyak itu bagi mereka

Di Indonesia, proses komersialisasi pendidikan semakin mengemuka semenjak kekuasaan


rezim Orde Baru (Orba). Pasca kemerdekaan dunia pendidikan yang diarahkan untuk
menuntaskan revolusi nasional, kemudian di balik sedemikian rupa oleh orba untuk
menghambat kepentingan kapital global.Secara garis besar, pendidikan dijadikan barang jasa
yang diperdagangkan dan pasar diberikan keleluasaan untuk mengelola pendidikan.
Kebijakan pemerintah disesuaikan dengan kepentingan WTO. Tahun 2009 misalnya lahir
Undang-Undang Badan Hukum (UU BHP) yang merupakan suatu bentuk badan hukum
lembaga pendidikan formal yang berbasis pada otonomi kampus dan nirlaba. Pemberlakuan
UU BHP menuai banyak terjadi penolakan dari rakyat karena cenderung menghilangkan
kewajiban Negara sebagai penanggung jawab mencerdaskan generasi muda dan menyediakan
fasilitas pendidikan berkualitas, yang membuat lembaga pendidikan dikelola seperti
perusahaan untuk keuntungan sebesar mungkin.

Meskipun UU BHP di hapuskan pada tahun 2010, tidak lantas menghentikan praktek-
praktek komersialisasi dipendidikan tinggi. Pada tahun 2012 muncul Undang-Undang
Perguruan Tinggi (UU PT) yang secara garis besar semangat yang diusung masih sama
dengan UU BHP. Pada periode ini pula lahir kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang diterapkan dan menuai berbagai polemik hingga
kini. Pemberlakuan Sistem UKT membuat Negara semakin meliberalisasikan dunia
pendidikan, dimana mahasiswa yang kaya membantu pembiayaan mahasiswa kurang mampu
(miskin) biasa disebut subsidi silang. Padahal Negara yang seharusnya bertanggung jawab
penuh untuk mencerdaskan generasi muda.

Dampak dari komersialisasi pendidikan secara jelas dapat kita rasakan dari dulu hingga kini.
Lepasnya peran Negara dan otonomi kampus membuat universitas seperti pabrik yang
dengan bebas mencari sumber keuangan mandiri. Salah satunya dengan membuka pintu
masuk seluas-luasnya bagi mahasiswa untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi
sebagai sarana penyerapan anggaran dari biaya masuk calon mahasiswa, yang di PTN kita
kenal sebagai Seleksi Mandiri (SMMPTN). Kebijakan seperti ini membuat universitas lebih
mengedepankan kuantitas dari pada kualitas, di Universitas A misalnya akhir tahun 2015 lalu
memiliki rasio dosen-mahasiswa 1:53,8 (984 dosen tetap dan 32.735 mahasiswa), yang prodi
dengan rasio paling jomplang yakni Ilmu Administrasi Bisnis dengan rasio 1:140,7 (6 dosen
tetap dan 844 mahasiswa). Situasi seperti ini justru tidak membuat produktif aktivitas belajar.
Selain itu, otonomi kampus juga membuat universitas mencari sumber dana dengan
membangun relasi dengan kepentingan bisnis, lihatlah misalnya menjamurnya Indomaret di
berbagai kampus, papan reklame iklan rokok, dan sebagainya. Relasi seperti ini justru akan
membuat usaha mandiri untuk mendorong kreatifitas mahasiswa dan pedagang kecil lainnya
akan kalah bersaing dengan pasar modal yang semakin memperparah kesenjangan sosial.
Selanjutnya, gedung-gedung kampus yang seharusnya menjadi sarana ilmiah untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan justru dikenakan biaya sewa dengan dalih klasik
penyerapan anggaran. Tidak jarang gedung-gedung kampus digunakan untuk panggung
konser, acara pernikahan, dan lain-lain.

Ketidakmampuan Negara dalam menciptakan perguruan tinggi yang berkualitas dan


semakin besarnya kepentingan pasar pada dunia pendidikan membuat semakin banyak
Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Selain itu, kepentingan kapital untuk mencetak tenaga kerja
terdidik, siap kerja (patuh), dan upah murah juga membuat menjamurnya keberadaan institusi
pendidikan non regular di luar S1 (SMK, D1,D2, dan D3) yang membuat angka
pengangguran semakin tinggi sebagai cadangan tenaga kerja. Dari perguruan tinggi yang ada
diseluruh Indonesia yang berjumlah tidak sedikith, sangat tidak sebanding dengan lowongan
pekerjaan yang tersedia di Indonesia. Laporan Understanding Children Work (UCW)
menyebutkan satu dari lima pemuda Indonesia tidak bersekolah/bekerja, dan satu dari tiga
pekerja muda Indonesia hanya memiliki pendidikan dasar. Jika kita melihat lebih jauh, Badan
Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia pada tahun 2016
sebanyak 7,02 juta orang. Tingginya angka pengangguran adalah salah satu upaya kapital
global agar mendapatkan tenaga kerja murah dalam proses akumulasi modal

Anda mungkin juga menyukai