Anda di halaman 1dari 15

PTNBH dan

Ketidakmampuannya
Memanfaatkan
Pendanaan Alternatif
Fadhil Ramadhan

24 November 2020

Kajian, Nasional

Diskursus bantuan pemotongan Uang Kuliah Tunggal (UKT) akibat dampak pandemi
Covid-19 di berbagai perguruan tinggi negeri, termasuk Universitas Indonesia, menghiasi
kehidupan mahasiswa pada awal Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Berbagai alasan
dikeluarkan universitas demi mempertahankan besaran UKT. Namun, apakah perguruan
tinggi, khususnya Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH), benar-benar tidak
memiliki kemampuan dalam mencari dan memanfaatkan pendanaan alternatif?

PTNBH: Semangat Membangun PTN Mandiri


Tentu kita sering mendengar istilah PTNBH yang identik dengan PTN favorit
masyarakat, diantaranya adalah Universitas Indonesia (UI)1. Namun, apa
sebenarnya yang dimaksud dengan PTNBH? PTNBH adalah perguruan tinggi negeri
yang didirikan oleh pemerintah yang berstatus sebagai badan hukum publik yang
bersifat otonom. Status hukum PTNBH sendiri didasari oleh UU 12/2012 tentang
Pendidikan Tinggi (UU Dikti).
UU 12/2012 lahir dari berbagai pertimbangan, salah satunya adalah demi mencapai
keterjangkauan dan pemerataan pendidikan tinggi dan memberikan kepastian
hukum2. Sekilas, tujuan tersebut merupakan tujuan yang wajar. Namun, ada sejarah
menarik yang melatari kelahiran PTNBH.
Istilah PTNBH awalnya lahir dari penamaan badan hukum milik negara (BHMN)
yang lahir dari PP 60/1999 tentang Perguruan Tinggi3. BHMN sendiri merupakan
PTN yang kekayaannya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Sehingga,
kekayaan PTN tidak dicatatkan secara langsung milik negara, namun milik PTN
BHMN itu sendiri. Kelahiran BHMN pada awal Reformasi sejalan dengan semangat
pembenahan sistem. Perguruan tinggi dinilai bukan hanya membutuhkan kebebasan
akademik dan otonomi keilmuan, melainkan juga otonomi keuangan.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah merasa membutuhkan payung hukum
perguruan tinggi yang lebih komprehensif. Oleh karena itu, lahirlah UU 9/2009
tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). UU BHP sendiri berlandaskan UU
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang berperan sebagai
landasan operasional sistem pendidikan Indonesia. Pasal 53 UU Sisdiknas
mengamanatkan lahirnya undang-undang yang mengatur tentang badan hukum
pendidikan. Amanat tersebut baru tertunaikan 6 tahun kemudian ketika UU BHP
lahir.
Namun, sengkarut mewarnai kelahiran UU BHP. Hampir seluruh eksponen
masyarakat menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap UU BHP. Pakar pendidikan
HAR Tilaar menyatakan bahwa UU BHP “berbau” neoliberalisme dan mengabaikan
kepentingan peserta didik4. Selain itu, timbul pula gelombang penolakan dari
mahasiswa. Bahkan, salah satu politisi populer, Prabowo Subianto, ketika menjadi
calon wakil presiden pada Pilpres 2009, berani meneken kontrak politik untuk
menghapuskan UU BHP5.
Gelombang penolakan tersebut ditutup oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
yang membatalkan UU BHP. MK menilai bahwa UU BHP memindahkan tanggung
jawab pendidikan formal dari negara menuju BHP tanpa adanya perlindungan
terhadap kepailitan BHP dan prinsip nirlaba dalam UU BHP tidak menjamin
pendidikan terjangkau6. Namun, pencabutan UU BHP sendiri tidak menimbulkan
kekosongan hukum terkait perguruan tinggi, tetapi landasan hukum perguruan tinggi
kembali menggunakan UU Sisdiknas7.
3 tahun pascapembatalan UU BHP, pemerintah melahirkan UU Dikti sebagai
landasan hukum pendidikan tinggi. Lahirnya UU Dikti mengubah konsep PTN BHMN
yang telah ada sebelumnya menjadi PTNBH. UU Dikti menjelaskan bahwa PTNBH
memiliki kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah
dan memiliki wewenang untuk mengelola dirinya sendiri secara mandiri (baik dari
segi program, personalia, hingga keuangan)8. PTNBH sendiri dapat disandingkan
statusnya dengan BUMN9. Selain istilah PTNBH, UU Dikti mendorong munculnya
istilah lain terkait dengan status PTN melalui peraturan turunannya, yakni PTN
Satuan Kerja (PTN Satker) dan PTN Badan Layanan Umum (PTN BLU).
Dibandingkan dengan PTNBH, kedua jenis PTN tersebut memiliki tingkat otonomi
keuangan yang lebih rendah.
UU Dikti pun lahir bukan tanpa karut-marut. Penolakan UU Dikti kembali timbul
seperti mengulang penolakan masyarakat terhadap UU BHP. Penolakan terhadap
UU Dikti disebabkan oleh potensi pembebanan biaya pendidikan secara berlebihan
kepada masyarakat dan disinyalir mendorong privatisasi pendidikan10.
Gelombang penolakan yang terjadi tak ayal menimbulkan pertanyaan, apakah
PTNBH memang benar-benar buruk bagi pendidikan di Indonesia? Jawabannya
tentu tergantung sudut pandang yang ingin diambil. Namun, Sekretaris Dewan
Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nizam memiliki jawaban
yang positif. Menurutnya, UU Dikti justru mengerem laju liberalisasi pendidikan tinggi
dan melindunginya dari anarkisme pasar bebas. Selain itu, UU Dikti melindungi
masyarakat dari praktik komersialisasi pendidikan melalui pengaturan biaya
pendidikan dan mendorong perguruan tinggi untuk memanfaatkan sumber
pendanaan alternatif11.
Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), perguruan tinggi
harus bersifat otonom. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, yakni misi Tridharma
(pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat) yang diemban perguruan tinggi
menimbulkan tugas sebagai pilar pencari kebenaran masyarakat, kebutuhan
independensi pengambilan keputusan, kebutuhan fleksibilitas manajemen, sifat
proaktif dan responsif perguruan tinggi terhadap persoalan yang dihadapi
masyarakat dan bangsa, dan praktik terbaik dalam perguruan tinggi12.
Sumber Pendanaan PTNBH
Dalam praktiknya, otonomi keuangan PTNBH tertuang dalam PP 8/2020 tentang
Perubahan atas PP 26/2015 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan
Tinggi Negeri Badan Hukum. PP 8/2020 mengatur bahwa pendanaan PTNBH
berasal dari APBN dan selain APBN. Pendanaan APBN untuk PTNBH dibagi
menjadi dua, yakni bantuan pendanaan PTNBH dan bentuk lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Bantuan pendanaan PTNBH digunakan
untuk membayar biaya operasional, biaya dosen, biaya tenaga kependidikan, biaya
investasi, dan biaya pengembangan yang dialami oleh PTNBH13.
Sedangkan pendanaan selain APBN yang diperoleh PTNBH dapat berasal dari
masyarakat (bersifat sumbangan), biaya pendidikan, pengelolaan dana abadi, usaha
PTNBH, kerja sama Tridharma Perguruan Tinggi, pengelolaan kekayaan PTNBH,
APBD, dan/atau pinjaman. Sifat otonom PTNBH membuat pendanaan selain APBN
yang diperoleh dikelola secara mandiri, tidak dikategorikan sebagai PNBP.
Pendanaan selain APBN dapat digunakan sebagai insentif dan manfaat tambahan
bagi para dosen dan tenaga pendidikan14.
Selain pendapatan yang tidak dikategorikan sebagai PNBP, otonomi PTNBH dalam
pendanaan juga terlihat dari penentuan tarif biaya pendidikan. PTNBH menentukan
tarif biaya pendidikan berpedoman pada teknis penerapan tarif yang ditetapkan oleh
Mendikbud atau Menteri Agama dan berkonsultasi kepada dua menteri tersebut
sebelum menetapkan tarif. Tarif biaya pendidikan juga ditetapkan dengan
mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau
pihak lain yang membiayai mahasiswa15.
Quo Vadis Pendanaan PTNBH
Dalam Sospolnet Terbuka BEM UI (1/7)16 yang membahas UKT UI kala pandemi
Covid-19, penulis melontarkan pertanyaan terkait dana abadi dan ventura UI kepada
Majelis Wali Amanat UI Unsur Mahasiswa Zaki Zamzami17. Zaki menyatakan bahwa
rencana strategis yang dimiliki oleh Rektor UI Ari Kuncoro telah memuat target
pengembangan pendapatan nonbiaya pendidikan. Hal ini telah terejawantahkan
dengan injeksi modal sebesar Rp1 miliar kepada Daya Makara UI, salah satu anak
perusahaan UI, untuk menyelamatkan perusahaan tersebut. Sedangkan untuk dana
abadi, Zaki yang kala itu tidak memiliki informasi yang cukup dan menjanjikan
“nanti bisa dibahas bareng melalui forum lainnya.”
Dahi penulis mengernyit ketika mendengar pemaparan Zaki. Bagaimana universitas
yang menyandang nama bangsa dan bersifat otonom tidak memiliki sumber
pendanaan alternatif yang memadai dan hanya menggantungkan nyawanya kepada
pendapatan biaya pendidikan? Bukankah menggantungkan diri kepada pendapatan
biaya pendidikan dengan status PTNBH merupakan sesuatu “hil yang mustahal”?
Ternyata, hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil. Penulis mengamati data laporan
keuangan UI dan UGM18 sejak tahun 2017 hingga 2019 dan mendapatkan fakta
bahwa kedua perguruan tinggi terkemuka di Nusantara ini, walaupun sudah
menyandang status PTNBH, tetap saja menggantungkan nasibnya kepada para
mahasiswanya.
Komposisi
Pendapatan UI (2017 – 2019, dalam juta Rupiah) Sumber: Laporan Keuangan UI, Olahan

Penulis
Komposisi Pendapatan UGM (2017 – 2019, dalam juta Rupiah) Sumber: Laporan
Keuangan UGM, Olahan Penulis
Berdasarkan paparan data di atas, dapat dilihat bahwa pendapatan pendidikan (yang
bersumber dari mahasiswa) masih menyumbang sekitar 37% hingga 40% pendapatan
universitas. Namun, terdapat tren yang berbeda antara UI dan UGM. Dalam 3 tahun
terakhir, justru UI mengalami kenaikan ketergantungan terhadap pendapatan pendidikan.
Sedangkan ketergantungan UGM terhadap pendapatan pendidikan relatif tidak berubah.
Persentase
Pendapatan Pendidikan terhadap Total Pendapatan UI dan UGM
Sumber: Laporan Keuangan UI, Laporan Keuangan UGM, Olahan Penulis
Dengan penyajian perincian pendapatan yang berbeda dalam laporan keuangan UI
dan UGM, penulis mencoba merinci kembali komposisi pendapatan UI yang lebih
detail dari perincian sebelumnya. Dalam laporan keuangan, UI membagi pendapatan
tidak terikat dan pendapatan terikat temporernya menjadi 4 sumber utama, yakni
operasional, APBN/Bantuan Pendanaan PTN (BPPTN), hibah, dan lainnya.
Pendapatan operasional UI adalah pendapatan yang berasal dari pendapatan
pendidikan, pelayanan masyarakat, penelitian, dan lain-lain. APBN/BPPTN adalah
pendanaan operasional UI yang diberikan dari pemerintah dalam bentuk alokasi
dana pendidikan dalam APBN. Hibah yang dimaksud dalam laporan keuangan
adalah hibah yang diberikan berbagai pihak kepada UI. Dan pendapatan lainnya
adalah pendapatan lain-lain yang diterima oleh UI, seperti bunga deposito dan jasa
giro.
Sebelumnya, penulis hanya membagi pendapatan UI hanya bersumber dari
pendapatan pendidikan, APBN, dan lainnya. Namun, bagaimana jika pendapatan UI
dirincikan lebih dalam? Apakah terdapat informasi komposisi pendapatan yang
menarik? Dengan membagi sumber pendapatan UI menjadi pendapatan pendidikan,
pendapatan operasional nonpendidikan, APBN, dan lainnya, maka sekitar 62%
pendapatan UI berasal dari pendapatan operasional. Sedangkan 22% pendapatan
UI berasal dari bantuan pemerintah dalam bentuk alokasi APBN dan BPPTN. Lalu,
pendapatan lain menyumbang sekitar 16% dari pendapatan UI.
Laba Ventura UI
(2017 – 2019, dalam juta Rupiah) Sumber: Laporan Keuangan UI, Olahan Penulis
Walakin, apakah 16% pendapatan lainnya yang didapatkan UI sudah
menggambarkan diversifikasi pendapatan sesuai dengan kemampuan PTNBH?
Ternyata tidak. Penulis mengolah data pendapatan lainnya yang didapatkan UI dan
mendapatkan bahwa sekitar 82% pendapatan lainnya UI berasal dari bunga
deposito, alias “jasa parkir” dari dana UI yang tidak digunakan.
Lalu, bagaimana upaya ventura UI? Apakah pernyataan Zaki Zamzami pada
Sospolnet Terbuka benar? Ternyata benar. Kondisi laba ventura UI pada 3 tahun
terakhir dalam kondisi yang memprihatinkan. Daya Makara UI, unit ventura
konsultan milik UI, justru mengalami kerugian selama 3 tahun berturut-turut.
Sedangkan Makara Mas masih mendapatkan laba, walaupun dalam kondisi yang
sangat tipis dibandingkan pendapatan deposito UI. Alhasil, bukanlah sesuatu yang
berlebihan jika kita kategorikan bahwa UI masih gagal dalam mengembangkan
venturanya. Apalagi mengingat salah satu ventura UI sempat terseret dalam
pusaran kasus korupsi19.
Aset Ventura
(2017 – 2019, dalam juta Rupiah) Sumber: Laporan Keuangan UI, Laporan Keuangan
UGM, Olahan Penulis
Lain ladang, lain belalang. Lain Depok Jabar, lain pula Depok Sleman. Begitu pula
dengan konteks kondisi ventura UI dan UGM. Walaupun terkenal dengan julukan
“kampus kerakyatan”, UGM dapat dinilai lebih handal dalam mengembangkan
venturanya. Jumlah aset ventura UGM hampir sebesar 40 kali aset ventura UI.
Dengan jumlah aset yang jauh lebih besar, sudah sewajarnya ventura UGM memiliki
kemampuan menghasilkan laba lebih besar.

Aset Ventura
(2017 – 2019, dalam juta Rupiah) Sumber: Laporan Keuangan UI, Laporan Keuangan
UGM, Olahan Penulis
Jika mengamati perolehan laba dan membandingkannya dengan jumlah aset yang
dimiliki, maka dapat disimpulkan bahwa ventura UGM memiliki kemampuan
menghasilkan laba yang lebih besar dibandingkan dengan ventura UI. Walaupun
demikian, tren penurunan laba hingga berbalik rugi patut dicermati oleh UGM
maupun UI. Tetapi, penulis rasa tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa UGM
merupakan contoh yang baik bagaimana PTNBH dapat memanfaatkan otonominya
melalui pengusahaan ventura.
Lalu, bagaimana dengan pemanfaatan dana abadi? Apakah PTNBH memiliki dana
abadi? Jawabannya ya, PTNBH memiliki dana abadi. Namun, pertanyaan
lanjutannya adalah apakah PTNBH memiliki dana abadi yang memadai untuk
menunjang aktivtasnya dalam mengejawantahkan Tridharma? Jawabannya tidak.
Seperti cuitan Achmad Zaky pada tahun lalu, dana abadi milik perguruan tinggi
Indonesia dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang menyedihkan. Achmad Zaky
mencuit bahwa UI dan ITB masing-masing hanya memiliki dana abadi US$30 juta
(Rp424,53 miliar) dan US$15 juta (Rp212,27 miliar). Jauh lebih kecil dibandingkan
tetangganya, National University of Singapore (NUS) yang memiliki dana abadi
sebesar US$4 miliar (Rp56,60 triliun). Bahkan, jika kita bandingkan dengan Harvard
University yang memiliki dana abadi terbesar di dunia (US$37 miliar; Rp523,59
triliun), maka dana abadi UI dan ITB hanyalah bagaikan debu kosmik yang
beterbangan di alam semesta.
Achmad Zaky boleh bercuit, namun bagaimana dana abadi dalam laporan keuangan
PTNBH? Penulis kembali menelisik laporan keuangan UI dan UGM dan
mendapatkan bahwa, pada tahun 2019, UI dan UGM masing-masing tercatat
memiliki dana abadi sebesar Rp61,53 miliar dan Rp125 miliar. Tentu, angka ini
masih sangat jauh dibandingkan dengan dana abadi Harvard pada akhir tahun fiskal
2019 yang tercatat sebesar US$40,9 miliar (Rp575,35 triliun)20.
Aset dan
Persentase Dana Abadi terhadap Aset (2017 – 2019) Sumber: Laporan Keuangan UI,
Laporan Keuangan UGM, Olahan Penulis
Dengan dana abadi yang masih berukuran relatif kecil, perkembangan dana abadi
UI dan UGM pun relatif tidak ada perkembangan yang pesat. Dalam 3 tahun
terakhir, dana abadi UI memiliki perkembangan dari sisi nilai nominal, dengan
pertumbuhan majemuk tahunan (CAGR) sebesar 12,35%. Namun, jika dibandingkan
dengan nilai aset, dana abadi UI relatif jalan di tempat.
Berbeda dengan UI, UGM mengalami kenaikan pesat untuk dana abadinya.
Rektorat UGM memutuskan untuk menambah dana abadi menjadi Rp150 miliar
pada tahun 2018, naik 75 kali dari tahun sebelumnya. Namun, kenaikan tersebut
tidak berlanjut pada tahun 2019.
Perbedaan pertumbuhan dana abadi dari UI dan UGM disebabkan oleh perbedaan
sumber pendanaan dan pemanfaatannya. Dalam laporan keuangannya, UI mencatat
bahwa dana abadi UI berasal dari dana wisudawan dan komitmen donor.
Sedangkan UGM menyisihkan kas yang dimilikinya untuk menambah pundi-pundi
dana abadi. Terkait pemanfaatan, dana abadi UI tercatat memiliki dua manfaat,
yakni penyaluran beasiswa dan lainnya. Sedangkan pemanfaatan dana abadi UGM
tidak tercatat dalam laporan keuangannya.
Dengan dana abadi tersebut, tentu menjadi tanda tanya apakah memang dana
abadi tersebut benar-benar menghasilkan. Namun, jawaban pertanyaan tersebut
tidak dapat dijawab langsung karena memang laporan keuangan kedua PTNBH ini
tidak mencantumkan secara langsung tingkat pengembalian investasi dana abadi
mereka.

Catatan
Laporan Keuangan UGM terkait dana abadi Sumber: Laporan Keuangan UGM 2019
Dalam catatan laporan keuangan terkait dana abadi, UI hanya merinci sumber
pendanaan bagi dana abadi tanpa memperjelas instrumen dan tingkat pengembalian
investasi dana abadi. Walaupun demikian, UI bekerja sama dengan BNI Asset
Management dengan peluncuran Reksa Dana BNI-AM Makara Investasi sebagai
wadah pengembangan dana abadi21. Dalam fund fact sheet yang dirilis oleh BNI
Asset Management, BNI-AM Makara Investasi tercatat memiliki nilai aset bersih
sebesar Rp74,87 miliar dan mencatatkan tingkat pengembalian selama setahun
terakhir sebesar 6,9%22.
Sedangkan UGM hanya menuliskan saldo dana abadi dan tingkat suku bunga
deposito yang berlaku pada tahun tersebut. Mengasumsikan nilai tengah tingkat
suku bunga deposito pada tahun 2019, penulis memperkirakan tingkat
pengembalian investasi dari dana abadi UGM adalah sebesar Rp9 miliar (2018:
Rp10,05 miliar).
Selain dana abadi yang tercatat dalam laporan keuangan, UI dan UGM memiliki
program urun dana (crowdfunding) yang masing-masing bernama Sahabat Makara
dan Sahabat UGM. Kedua program ini memiliki sasaran untuk mendanai program
Tridharma Perguruan Tinggi, mengembangkan infrastruktur, hingga kapitalisasi
investasi dana abadi. Namun, kedua program ini memiliki perbedaan nasib. Sahabat
UGM tercatat berhasil mengumpulkan donasi sebesar Rp53,37 miliar23. Sedangkan
Sahabat Makara tercatat hanya berhasil mengumpulkan donasi sebesar Rp1,42
miliar. Kembali lagi kita melihat bumi dan langit dalam konteks pengelolaan
keuangan PTNBH24.
Langkah Pemanfaatan Pendanaan Alternatif
Sebagai lembaga pendidikan, tentu kita tidak mungkin (dan tidak ingin) PTNBH
berorientasi mengejar keuntungan. Namun, kita tak dapat mengelak bahwa PTNBH
rawan mengalami kerugian. Dari 2 PTNBH yang penulis ambil sebagai contoh, UI
telah mengalami kondisi defisit selama 2 tahun terakhir.
Surplus/Defisit
UI dan UGM (2017 – 2019, dalam juta Rupiah) Sumber: Laporan Keuangan UI, Laporan
Keuangan UGM, Olahan Penulis
Secara common sense, ketika organisasi mengalami kerugian, maka terdapat 2
pilihan untuk menanggulangi kerugian tersebut, antara organisasi tersebut
melakukan efisiensi biaya atau diversifikasi pendapatan. Bagaimana dalam konteks
universitas? Sebagai pengemban amanah konstitusi, “mencerdaskan kehidupan
bangsa”, universitas pantang melakukan efisiensi biaya dan diversifikasi pendapatan
secara serampangan.
Apalagi setelah menghadapi ekses pandemi Covid-19, tentu universitas harus
memutar otaknya untuk menjaga keberlangsungan hidupnya agar tetap
mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam konteks Indonesia, Sekretaris Universitas
UI Agustin Kusumayati mengatakan bahwa diperlukan gotong royong seluruh pihak
dalam memikul beban dampak Covid-19. Oleh karena itu, UI tidak
mempertimbangkan pemotongan UKT bagi seluruh mahasiswa25.
Akan tetapi, apakah burden sharing tidak dapat dihindari? Ya, memang tidak dapat
dihindari. Namun, pertanggungan beban dapat lebih ringan apabila universitas
sudah memiliki bantalan dalam menghadapi pasang surut kondisi perekonomian.
Bantalan apa yang dapat diupayakan oleh universitas, khususnya PTNBH? Ventura
dan dana abadi.
Dalam konteks UI, penulis menilai ventura UI memiliki potensi besar untuk
berkembang. Daya Makara UI26 dapat berkembang sebagai perusahaan konsultan
terkemuka di Indonesia karena memiliki akses terhadap sumber daya manusia yang
berkualitas tinggi. Ditambah lagi dengan rekam jejak Daya Makara UI dalam
menggaet BUMN sebagai kliennya dapat menegaskan fokus pasar Daya Makara UI.
Selain itu, Makara Mas dapat dikembangkan sedemikian rupa apabila sudah
menemukan segmen bisnis yang tepat. Apalagi Makara Mas memiliki sejarah
panjang berganti usaha, dari yang awalnya direncanakan mengelola SPBU hingga
saat ini bergerak di bidang konsultan teknologi informasi27. Ditambah pula dengan
pendirian UI Corpora pada tahun 2019 yang nampaknya belum secara resmi
diluncurkan oleh Rektorat UI. Patut ditunggu upaya Ari Kuncoro dalam
mengembangkan ventura UI.
Potensi pengembangan aset UI dalam bentuk ventura atawa kongsi sendiri bukan
tanpa sejarah kelam. Perjanjian bangun-guna-serah (build-operate-transfer, BOT)
antara UI dengan PT Nurtirta Nusa Lestari yang dimiliki oleh Kentjana Widjaja 28 telah
menimbulkan gelombang kritik sejak tahun 2008, ketika perjanjian BOT
ditandatangani. Ade Armando, salah satu kritikus keras, menegaskan bahwa
perjanjian tersebut melanggar hukum29. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan
memperkirakan kerugian negara sebesar Rp41,11 miliar dari perjanjian tersebut 30.
Bagaimana dengan pemanfaatan dana abadi yang dapat dilakukan? Tentu saja
dengan memperbesar ukuran dana abadi terlebih dahulu. Dengan ukuran dana
abadi PTNBH, dicontohkan dari UI dan UGM, yang ada saat ini, tentu
memanfaatkan imbal hasil dari dana abadi untuk menunjang operasional bagaikan
mimpi di siang bolong. Dalam konteks UI yang memiliki dana abadi sebesar Rp61,53
miliar, dengan mengasumsikan imbal hasil sama dengan risk-free rate sebesar
6,24%31, UI “hanya” mendapatkan imbal hasil sebesar Rp3,84 miliar dalam setahun.
Tentu angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan beban yang dikeluarkan UI.
Bagaimana contoh pemanfaatan dana abadi untuk operasional yang baik? Kita
dapat menilik apa yang dilakukan Harvard. CNBC mencatat, pada tahun 2018,
bahwa Harvard menggunakan US$1,9 miliar yang berasal dana abadinya untuk
menunjang operasional universitas. Pengeluaran tersebut setara dengan 35%
anggaran operasional tahunan Harvard32. Hal tersebut menunjukkan adanya bauran
pendanaan yang tepat, tanpa semata-mata menggantungkan harapan terhadap
mahasiswa ataupun sumbangan yang dilakukan satu kali.
Dengan pengelolaan khusus yang dilakukan Harvard Management Company, dana
abadi Harvard dapat tumbuh sebesar 37 kali selama 40 tahun, atau dengan CAGR
sebesar 9,46% per tahun. Dengan ukuran, tingkat pertumbuhan, dan pemanfaatan
dana abadi yang tepat guna, tak heran jika Harvard menjadi kiblat bagi hampir
seluruh universitas dalam mengelola dana abadi. Bahkan, Rektor Institut Teknologi
Sepuluh Nopember (ITS) Mochamad Ashari33 mencetuskan bahwa Harvard
merupakan contoh yang baik dalam pengelolaan dana abadi.
Sebenarnya, apa saja manfaat dana abadi selain dapat menunjang operasional
universitas? Rhenald Kasali mengemukakan bahwa dengan memanfaatkan hasil
investasi dana abadi, universitas dapat mengembangkan riset, memberikan subsidi
uang kuliah, dan bahkan menambah fasilitas yang menunjang kegiatan akademik
dan kegiatan sosial mahasiswa34. Setali tiga uang, Mochamad Ashari pun senada
dengan Rhenald Kasali. Ia mengatakan bahwa untuk menjadi universitas kelas
dunia, dibutuhkan dana besar yang disokong melalui dana abadi35. Jelas kebutuhan
dana abadi mendesak jika mengingat kondisi riset Indonesia yang cukup
memprihatinkan36.
Tak ada gading yang tak retak, tentu besarnya dana abadi Harvard tak sepi dari
kritik. Di tengah pandemi Covid-19, Harvard mengambil langkah pengetatan
anggaran yang dapat menimbulkan pemutusan hubungan kerja dan berdampak
pada ketidakjelasan nasib pegawai. Kebijakan tersebut menuai kritik pedas karena
Harvard dinilai memiliki dana abadi yang sangat besar, namun tidak digunakan
untuk membantu civitas academica yang terdampak. Bahkan, kritik yang lebih pedas
dilayangkan oleh aktivis kampus yang menilai seharusnya Harvard fokus
menggunakan dana abadi untuk kebaikan umat manusia, bukan sekadar fokus
menambahkan angka nol (0) di saldo dana abadi37.
Epilog
Kembali ke pertanyaan yang penulis ajukan di awal tulisan ini, apakah PTNBH
benar-benar tidak memiliki kemampuan dalam mencari dan memanfaatkan
pendanaan alternatif? Penulis rasa jawabannya adalah PTNBH sebenarnya
mampu dalam mencari dan memanfaatkan pendanaan alternatif. Apalagi hal ini
senada dengan sifat otonom yang dimiliki oleh PTNBH.
Namun, pertanyaan selanjutnya, apakah PTNBH mau mencari dan memanfaatkan
pendanaan alternatif? Penulis hanya dapat menjawab bahwa dibutuhkan political
will dari rektorat dalam upaya aktif mencari dan memanfaatkan pendanaan alternatif
bagi berjalannya kampus. Dengan berbagai alternatif pendanaan, khususnya
ventura dan dana abadi yang menjanjikan di masa depan, sudah seharusnya
PTNBH dapat memanfaatkan opsi tersebut untuk menunaikan amanat
mencerdaskan kehidupan bangsa secara paripurna.
“Kampus tak boleh menjadi “pemalak” bagi bangsanya yang akan
memimpin masa depan, melainkan harus menjadi ajang kontribusi,
ajang perjuangan para pemimpin”

– Rhenald Kasali38

Anda mungkin juga menyukai