Anda di halaman 1dari 3

UUD PT : Upaya “Bunuh Diri” Pendidikan di Indonesia sebagai Bukti Ketidak

berpihakan Pemerintah Pada Rakyat

Oleh : Ice Trianiza

(1) Tiap-tiap Warga Negara berhak mendapat pengajaran.


(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional,
yang diatur dengan Undangundang.(Pasal 31 UUD 1945)

Ironis, dikala carut marut nya pendidikan di Indonesia justru pemerintah membuat
gebrakan daur ulang dengan mensahkan RUU PT pada Jum’at 13 Juli 2012 yang mana UU ini
merupakan tindak lanjut pasca pembatalan UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi, sedikit
informasi bahwa dalam 3 tahun terakhir MK telah membatalkan 322 UU. Sedangkan biaya
pembuatan per UU sekitar 11 miliar yang jika dikalikan sebesar 3.542 M Setara dengan 3
Triliun pemborosan uang rakyat bukan??. Adapun UU PT yang baru saja disahkan ini dapat
dipastikan tidak ada bedanya dengan pendahulu nya yaitu sarat kepentingan asing dan
meminggirkan kepentingan rakyat sebagai elemen penting yang seharusnya mendapatkan hak
pendidikan. Salah satu prinsip berbau privatisasi dalam UU PT ini adalah semangat untuk
memaksakan otonomi perguruan tinggi. Walhasil, spekulasi pun mengudara, pro dan kontra
berterbangan. Resistensi terkuat justru muncul terutama dari berbagai PT yang tidak berstatus
BHMN dan para akademisi. UU PT pun dituding hanya ganti baju dari UU BHP yang disinyalir
hanya mengakomodasi kepentingan sesaat sekelompok institusi sebagai dampak dibatalkanya
UU BHP. Meskipun pemerintah membantah bahwa UU PT ini bukan pengganti UU BHP,
realitasnya semangat UU PT ini mengatur tentang tata kelola yang sama dengan semangat UU
BHP, terlebih pasal-pasal di dalamnya juga banyak mencomot dari UU BHP.
Adapun Otonomi perguruan tinggi disini diartikan sebagai kewenangan atau kemandirian
perguruan tinggi dalam mengelola lembaganya, termasuk dalam tata kelola keuangan. Pasal 9
Ayat (1) RUU Perguruan Tinggi menyatakan bahwa kemandirian Perguruan Tinggi untuk
mengelola pendidikan tinggi diberikan dengan tahapan sebagai berikut: a) Perguruan Tinggi
dengan kemandirian penuh bagi PTP dan PTM; b) Perguruan Tinggi dengan kemandirian
sebagian bagi PTP dengan cara menerapkan PPK-BLU dan PTM dalam pengelolaan kegiatan
akademik; c) PTP sebagai unit pelaksana teknis pemerintah. Hal ini tidak ubahnya sebagai
pembeda antara PTN dan BHMN. Akhirnya hanya segelintir perguruan tinggi yang menonjol,
sedangkan otonomi keilmuan merupakan hak seluruh perguruan tinggi dan otonomi pengelolaan
harus diberikan dengan catatan tidak mengekang otonomi keilmuan dan tidak mengarah ke
privatisasi pendidikan. Pengesahan nya pun terkesan mengambil settingan libur panjang semester
mahasiswa yang di saat itu pula para mahasiswa tidak memiliki begitu banyak kegiatan di
kampus, tentunya jika ini benar-benar terjadi hanya sebagai peredam perlawanan mahasiswa.
Padahal, Undang Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara
berhak memperoleh pendidikan. Pemerintah mempunyai kewajiban memberikan pendidikan
kepada rakyatnya. Itu artinya, pemerintah mesti berupaya memberikan pendidikan berkualitas
dengan biaya semurah-murahnya –bahkan gratis—kepada seluruh rakyatnya. Namun, fakta yang
terjadi saat ini, pendidikan sulit dijangkau rakyat, kendati anggaran pendidikan sudah 20 persen
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dan biaya pendidikan pun makin
melambung tinggi dengan disahkan nya Undang-Undang (UU) Pendidikan Tinggi. Pasalnya,
UU ini meliberalisasikan pendidikan tinggi di Indonesia. Sehingga tidak perlu heran jika kualitas
uang sangat berperan daripada kualitas otak dalam seleksi masuk mahasiswa baru di kampus-
kampus terkenal. Pemerintah terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya pada
pembiayaan pendidikan. Sebab, mahasiswa menanggung paling banyak 1/3 dari biaya
operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi yang telah ditetapkan pemerintah bersama DPR
(Pasal 86 Ayat (2). Artinya, mahasiswa harus membayar biaya yang sangat mahal akibat dari
otonomi kampus, sehingga pendidikan menjadi diskriminatif karena hanya orang-orang kaya
yang dapat mengenyam pendidikan tinggi, sedang rakyat miskin tidak dapat menikmati bangku
perkuliahan.
Merujuk pada Mohamedbhai (2002) sebagaimana dikutip Agus Suwignyo (2008) dalam
buku Pendidikan Tinggi & Goncangan Perubahan, dampak neoliberalisasi pendidikan tinggi di
negara berkembang meliputi tiga hal. Pertama, neoliberalisasi mengaburkan misi pendidikan
tinggi di negara berkembang yang saat ini terfokus "secara merata" pada aspek ekonomi,
sosialbudaya, dan politik. Neoliberalisasi membuat misi pendidikan terfokus hanya pada aspek
ekonomi. Hal ini terbukti pada UU PT Pasal 91 Ayat (3) menyebutkan bahwa Perguruan Tinggi
dapat melaksanakan kerja sama internasional dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di
Indonesia atau membuka perguruan tinggi di negara lain. Maksudnya ialah perguruan tinggi
asing dapat membuka cabang di Indonesia. Inilah "semangat dagang" dalam UU PT.
Siapa yang menjamin jika kerja sama pendidikan tinggi asing dengan kampus lokal
berjalan fair? Jangan-jangan kampus lokal nantinya hanya dijadikan boneka. Di situlah terletak
potensi bahaya. Tanpa konsep, tanpa visi nasional tentang pendidikan nasional, modal asing
dibolehkan ikut. Di balik modal tentu ada pikiran konseptual, betapa pun "kecil" konsep itu.
Adapun mentalitas kolonial masih melekat pada pejabat kita cenderung "menelan saja" pendapat
yang diucapkan orang asing. Enggan berdebat karena tidak punya argumen yang nalariah (Daoed
Joesoef, 2007). Kedua, neoliberalisasi merampas otonomi pendidikan tinggi, sebab pendidikan
tinggi negara berkembang yang sedang mencari "jati dirinya" selepas bayang-bayang
kolonialisme itu harus tunduk pada mekanisme dan dorongan pasar.
Pemberian otonomi berimplikasi dibolehkannya pendirian usaha mandiri yang dilakukan
perguruan tinggi. Kebijakan kemandirian finansial membuat perguruan tinggi dipaksa memutar
otak mencari dana sehingga berdampak usaha memperbesar aktiva. Persaingan berkembang
seperti hukum rimba; siapa yang kuat, dia yang menang. Semua berlomba mengejar modal agar
tidak berdampak pada kebangkrutan institusi pendidikan. Ketiga, deregulasi dalam
neoliberalisasi memungkinkan pendidikan tinggi di negara maju diselenggarakan di negara
berkembang. Karena keterbatasan sumber daya ekonomi dan manusia, juga karena legasi
kolonial, pendidikan tinggi di negara berkembang akan kesulitan jika harus bersaing dengan
pendidikan tinggi dari negara maju. Sehingga UU Pendidikan Tinggi merupakan kepanjangan
tangan sekelompok orang yang memiliki tujuan menjadikan negeri ini tetap terbelakang. Bahkan,
ia menjadi penguat legitimasi supaya praktik neoliberalisasi pendidikan tinggi menjadi kian
bertambah tumbuh subur di negeri ini.
Padahal Pendidikan merupakan bagian penting dari sejarah panjang perjuangan bangsa
Indonesia melawan penjajahan. Berawal dari munculnya kelompok-kelompok terdidik karena
adanya kesempatan mengakses pendidikan, maka perjuangan kemerdekaan mampu terorganisir
dan mencapai keberhasilannya. Seperti sepenggal pepatah “to build nation build school”, untuk
membangun sebuah bangsa maka bangunlah pendidikan. Bukan sembarang pendidikan, namun
pendidikan yang berkarakter dan terjaga orientasinya, yang tentu harus bebas dari muatan
kapitalisme, liberalisme, komersialisasi dan emosi kepentingan golongan. Itulah pendidikan
sebenarnya, mencetak manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga Negara yang
bertanggung jawab. Hal ini dapat kita tiru pada masa kejayaan islam yang mana pendidikan
dapat di akses dengan mudah secara gratis, buku yang dikarang saat itu pun di hargai seberat
dengan emas, bahkan pendidikan dimasa Negara Islam sejatinya tidak hanya membentuk
individu-individu yang unggul dan cakap dalam satu bidang tapi beberapa bidang keilmuan
(Polymath) yang pada zaman daulah ustmaniyah melahirkan banyak ilmuan seperti Jabir Al
Hayyan, Ibnu Sina, Al –Kindi, Ibnu kHaldun, Al-Biruni dsb . Para ilmuwan tersebut tidak
terkotak pada satu bidang ilmu saja tetapi cakap dengan ilmu kedokteran, fisika, kimia, ahli
tafsir, astronomi, farmasi, geografi dll. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran Negara yang
menyokong pendidikan bagi bangsa nya. Jika contoh dan buktinya dari islam sudah ada, kenapa
kita tidak mencontoh yang sudah pernah terbukti?? Mari bersama-sama mewujudkannya.

Ice Trianiza
Mahasiswi ITS Surabaya 2009
Alumni SMAN 1 Banjarmasin

Anda mungkin juga menyukai