Fs - Bi.105-19 Nab P
Fs - Bi.105-19 Nab P
SKRIPSI
Oleh
RIFDA NABILA
NIM 121511133049
SKRIPSI
Oleh
RIFDA NABILA
NIM 121511133049
ii
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI
Oleh
RIFDA NABILA
NIM 121511133049
iii
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
HALAMAN MOTTO
-Bruce Lee-
v
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
HALAMAN PERSEMBAHAN
vi
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Allah SWT yang mana telah mengizinkan peneliti
untuk berproses dari awal hingga skripsi yang berjudul “Primbon Tengger:
Suntingan Teks dan Analisis Semiotika” ini selesai. Skripsi ini disusun sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora pada Fakultas Ilmu
deskripsi naskah berdasarkan katalog dan penelitian secara mendalam, kritik teks,
Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak sehingga
1. Diah Ariani Arimbi, S.S., M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sastra Indonesia;
3. Mochamad Ali, S.S., M.A. Min., selaku dosen pembimbing skripsi. Tanpa
bantuan dari Bapak, skripsi ini mungkin tidak akan selesai. Terima kasih
sudah meluangkan waktu Bapak yang begitu padat dan sudah sabar dalam
ix
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Dra., M.S., Mochamad Ali, S.S., M.A. Min., Mochtar Lutfi, S.S., M.Hum.,
Dra. Sutji Hartiningsih, M.Hum., Dra. Retno Asih Wulandari, M.A., dan
5. Kedua orang tua, Ibu Saudail Ghomin dan Bapak Taufiqur Rohman yang
berikan tidak mampu membalas semua yang telah Ibu dan Bapak berikan.
Terima kasih juga untuk empat saudariku, Mbak Ina, Mbak Dina, Hana,
dan Mahda yang selalu menyemangati Bela. Kepada Mbah Khotimah yang
kasih atas segala pengorbanan yang diberikan. Tidak lupa kepada keluarga
kepada Bela dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas segala
segala pertemuan dan pertemanan kita. Terima kasih telah menjadi teman
x
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
8. Teman sedari kecil yang tidak pernah bosan berbagi waktu dan
dukungannya, Ulya, Khoir, Fitri, Asha, Mbak Inul, Mamo, Cikmah, Qoni‟,
Didin, Mansur, Solem, Ulil, terima kasih atas segala dorongan dan
masukan yang telah kalian berikan. Semoga pertemanan ini tak lekang
oleh waktu;
memberikan pengalaman hidup. Untuk Abah Adib dan Ibu Nunuk, terima
kasih atas segala dedikasi yang telah kalian berikan. Untuk teman-teman
pondok tercintaku, Reni, Tya, Dani, Meri, Mbak Ifa, Zaim, Ninok, Mbak
10. Keluarga “Baitus Silmy” Mba Dati, Mba Nita, Mba Fadiah, Mba Dina,
Mba Meme, Mba Riska, Mba Lina, Mba Debi, Diah, Nafis, Nia, Isqi,
11. Kawan-kawan kos GBJ yang selalu rame dan gokil, Iil, Emi, Vita, Napis,
Lutpi, Tsani, Mbak Rimi, Mbak Sheiny, Yeni, Fitri, dan Herlin. Terima
xi
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
12. Teman-teman cantikku, pejuang filologi 2015, Rani, Nina, Iil, Ella, Dewi,
Tiu, Dina, Erma, Nur, Yulia, Nimas, Yolanda, dan Layla. Terima kasih
atas segala diskusi kita selama ini dan semoga ilmu yang kita dapat
dari-Nya. Tsania, Nikma, Sa‟adah, Leoni, Iim yang tak sungkan senang
14. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih atas
Akhir kata, semoga karya skripsi ini mampu memberikan manfaat dan
peneliti menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini jauh dari kata
sempura. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun senantiasa peneliti
Rifda Nabila
xii
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR ISI
xiii
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
xiv
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
xv
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.3 Bentuk nga lêlêt yang diapit dua adeg-adeg .............................. 38
xvi
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR TABEL
xvii
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DAFTAR SINGKATAN
PT : Primbon Tengger
No : Nomor
Lpr : Lempir
xviii
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
ABSTRAK
Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks Primbon Tengger.
Teks PT merupakan teks yang menggunakan bahasa dan aksara Jawa serta
berbentuk prosa. Sumber data penelitian ini adalah naskah kuno koleksi Museum
Negeri Mpu Tantular Sidoarjo. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teori filologi dan teori semiotika. Teori filologi digunakan untuk mengungkap
berbagai macam data filologis sedangkan teori semiotika digunakan untuk
menganalisis isi teks PT. Penelitian ini menggunakan beberapa metode penelitian.
Pertama, metode penelitian naskah, meliputi penentuan sasaran penelitian,
inventarisasi naskah, deskripsi naskah, transliterasi, dan terjemahan. Kedua,
metode suntingan teks, yaitu edisi standar/kritik teks. Penelitian ini juga
menggunakan ilmu bantu lain, yaitu ilmu sastra berupa teori semiotika Peirce.
Hasil penelitian ini meliputi suntingan teks yang representatif dan bersih dari
kesalahan berupa lakuna, adisi, subtitusi, transposisi, ditografi, dan gabungan,
terjemahan teks dengan menggunakan metode terjemahan setengah bebas, tanda-
tanda semiotik berupa ikon, indeks, dan simbol, bentuk dan struktur teks PT, serta
konsep kepercayaan masyarakat Tengger mengenai dewa-dewa.
xix
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
ABSTRACT
This research used The Primbon Tengger text. PT is defined as the text
which uses Javanese in its scripture as in the form of prose. The ancient
manuscript collection of the State Museum of Mpu Tantular Sidoarjo is chosen as
the data source. Philological and semiotic theory are used in conducting this
research, to reveal various kinds of philological data, while semiotic is used to
analyze the contents of the PT text. This research used several research methods.
First, the manuscript research method includes the targeting of research,
manuscript inventory, manuscript descriptions, transliteration, and translation.
Second, the method of text editing, called as the standard edition/text criticism. To
assist this research, Peirce's semiotic theory as a part of literature theory is also
being used. The research resulted that the editing of the text is very representative
and errorless in the form of lacuna, addition, substitution, transposition,
ditography, and combination, the translations using half-free translation methods,
semiotic signs in the form of icons, indices, and symbols, forms and text
structures of PT in accordance with the concept of Tengger tribe beliefs about
gods.
xx
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB I
PENDAHULUAN
Karya seni yang diciptakan oleh manusia secara umum sangat beragam
jenisnya, seperti lukisan, tarian, sastra, dan lain-lain. Bentuk karya seni yang
yang sedang berlangsung pada saat itu. Corak karya seni dalam berbagai jenisnya
pun memiliki kekhasan serta keunikannya masing-masing. Salah satu seni yang
memiliki peran besar dalam perubahan di Nusantara, yaitu seni sastra. Karya seni
dalam tataran khazanah Indonesia khususnya dalam hal karya-karya tulisan masa
lampau merupakan salah satu warisan dari nenek moyang yang patut dilestarikan
Dalam hubungannya dengan budaya, karya seni dapat disebut pula sebagai
sebuah hasil karya seseorang yang monumental. Salah satu seni yang ada, yaitu
seni sastra berupa karya tulisan tangan. Karya tulisan tangan yang dianggap seni
dalam hal ini, yaitu segala dokumentasi atas rekam jejak dan bukti sejarah serta
ide pokok kreatif masa lalu yang dituangkan dalam sebuah karya bertuliskan
tangan dan isinya dapat dimanfaatkan oleh para pembacanya. Karya tulisan tangan
yang dimaksud dalam hal ini, yaitu berupa naskah-naskah kuno yang memiliki
nilai seni.
1
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2
Berbeda dengan produk sekarang ini, hasil penciptaan di masa lampau pada
masa kini berada dalam kondisi yang tidak selalu dapat diterima dengan baik.
Kondisinya dapat dikatakan “gelap” atau “tidak jelas” oleh pembaca sekarang ini
karena banyak yang rusak bahkan hancur. Sebagai akibatnya, banyak karya
tulisan tangan yang tidak mendapat perhatian oleh pembaca karena tulisan-tulisan
yang tidak dapat dipahami dengan baik oleh penikmatnya (Baried, 1994: 1). Oleh
karena itu, penyalinan dan pembacaan kepada khalayak perlu dilakukan demi
mendapatkan naskah yang mengandung sedikit kesalahan atau lebih baik lagi
Naskah sebagai bahasa tulis merupakan wujud konkret adanya buah pikiran
tentu menjadi bukti bahwa tradisi tulis memang sudah berlaku pada saat itu.
sesuai dengan pengaruh yang ada. Menurut Sedyawati (2010: 70) sejumlah sistem
tulisan yang dipakai di Indonesia baik pada masa lalu maupun yang terkenal dan
masih digunakan sampai saat ini berasal dari luar Indonesia, misalnya dalam
Nusantara kuno (untuk Jawa dikenal dengan aksara Jawa kuno). Selain aksara
Pallawa yang mengalami transformasi, berbagai corak aksara lainnya seperti yang
dipengaruhi oleh Hindu atau Buddha juga muncul dalam khazanah sistem tulisan
salah satunya dalam naskah Primbon Tengger yang kemudian disingkat dengan
PT. Contoh corak Hindu, yaitu munculnya nama-nama dewa, seperti Wisnu,
Siwa, dan Brahma. Selain itu, disebutkan pula kata seru untuk menyebut dewa,
yaitu hong/ong. Sebenarnya pada awal abad ke-10 sudah ditemukan prasasti
Tengger yang terbuat dari batu yang tertulis tahun saka 851 atau 929 Masehi yang
pada saat itu menyebutkan bahwa ada sebuah desa bernama Walandit yang
terletak di Pegunungan Tengger sebagai tempat suci karena dihuni oleh Hulun
Hyang atau disebut juga abdi dewa-dewi agama Hindu. Berdasarkan hal tersebut,
mayoritas masyarakat Tengger memeluk agama Hindu yang dibawa oleh Rara
Anteng dan Jaka Seger setelah sebelumnya menganut ajaran animisme dan
dinamisme. Akan tetapi, agama Hindu yang mereka anut berbeda dengan agama
Hindu yang dianut oleh masyarakat Bali. Agama Hindu di Bali, yaitu Hindu
Dharma, sedangkan khusus agama Hindu yang dianut masyarakat Tengger masih
dalem keraton Trowulan yang melarikan diri ke Pulau Bali. Bahasa yang
digunakan oleh masyarakat Tengger adalah bahasa Jawa Tengger yang diyakini
merupakan bahasa Jawa Kuno yang dibawa oleh orang-orang Majapahit karena
Jawa Kuno (Pigeaud, 1967: 3). Hal ini diyakini karena dulu rakyat kerajaan
Tengger dikarenakan adanya pengaruh Islam. Oleh sebab itu, mereka memutuskan
untuk tinggal di Tengger dan mengajarkan suatu hal yang mereka percayai kepada
penduduk asli Tengger, seperti menyebarkan ajaran yang kental dengan Hindu
dan Buddha. Mengenai lokasi Tengger, Malik (2007: xvii) menyatakan bahwa
dijabarkan dalam naskah ini sampai sekarang masih dipercaya sebagai suatu
warisan dari nenek moyang yang patut dilestarikan sebagai salah satu bentuk
menjadi kekhasan serta keunikan tersendiri bagi masyarakat Tengger. Hal ini juga
sebagai titik pengenalan oleh masyarakat Tengger terhadap budaya dan tradisi
yang mereka anut kepada wisatawan lokal maupun mancanegara agar tertarik dan
memberi perhatian yang lebih dengan apa yang mereka yakini dan miliki. Saat
mantra yang tersimpan dalam catatan-catatan salah satunya dalam naskah PT. Hal
ini bertujuan bahwa ketika masyarakat Tengger melakukan suatu tindakan yang
berhubungan dengan budaya atau tradisi yang berkaitan dengan sang pencipta
katalog yang ada di Museum Negeri Mpu Tantular Sidoarjo tertulis Primbon Suku
Tengger. Istilah suku Tengger dalam hal ini masih menjadi kerancuan. Oleh
karena itu, nama PT dipilih untuk dijadikan judul naskah. Berdasarkan katalog
Negeri Mpu Tantular Sidoarjo, sebenarnya ada 13 naskah yang berjudul Primbon
pada Sabtu, 9 Maret 2019, yang merupakan mantan ketua bidang koleksi
terdiri dari 28 naskah lontar di mana 13 naskah telah dibeli oleh Museum Negeri
upacara adat) di berbagai desa di wilayah Tengger, dan 10 naskah yang tidak
tersebut tidak boleh keluar dari Tengger dan menurut penjelasan informan pula,
sebenarnya naskah Tengger yang asli adalah yang ditulis di sebuah batu dan
hal mulai dari keunikan, kejelasan tulisan, keadaan naskahnya mengingat naskah
ini berbahan lontar, dan hal-hal yang dibahas di dalam naskah serta penerapannya
pada masyarakat Tengger. Peneliti menganggap naskah ini unik dari judul yang
diberikan, yaitu “primbon”. Primbon dalam arti luas mengandung banyak ajaran
dari pemikiran orang-orang masa lampau yang di masa kini tidak banyak orang
sampai saat ini banyak masyarakat yang menerapkan ajaran primbon tanpa
karena hal ini akan berdampak pada durasi pekerjaan lambat atau cepatnya
peneliti mengerjakan penelitian dan tingkat kesulitan yang akan dialami peneliti.
Keadaan naskah juga penting diperhatikan karena akan berdampak pada analisis
peneliti mengenai isinya. Keadaan naskah PT dapat dikatakan sudah tidak lagi
baik (moderate) karena ada beberapa tulisan yang sudah menghitam, sobek, dan
hilang karena termakan ngengat di beberapa bagian. Dari segi isi, secara ringkas
naskah PT ini sudah dapat disimpulkan bahwa naskah tersebut dipengaruhi ajaran
Hindu. Berdasarkan deskripsi dari katalog, naskah ini berisi tentang hamba-hamba
yang harus menyembah Dewa Siwa, penceritaan tentang istri-istri serta anak-anak
Dewa Siwa, perlindungan Dewa Wisnu terhadap dunia dan seisinya serta rirual-
Agar pembahasan terhadap objek penelitian ini lebih fokus dan tidak
1. Naskah primbon milik Museum Negeri Mpu Tantular Sidoarjo. Hal ini
Tantular Sidoarjo.
3. Peneliti membatasi ruang lingkup yang akan dibahas pada skripsi ini fokus
4. Penelitian ini terbatas pada suntingan teks dan analisis semiotika pada
Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam
Manfaat dari penelitian ini meliputi dua aspek, yaitu aspek teoretis dan
aspek praktis.
1.5.1 Teoretis
kajian bidang ilmu filologi, khususnya kajian tentang naskah PT sebagai sebuah
hasil karya budaya yang harus dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Penelitian
ini diharapkan juga dapat menunjang kajian budaya melalui aplikasi ilmu sastra
1.5.2 Praktis
membantu mahasiswa khususnya Bahasa dan Sastra Indonesia dan peneliti lain
agar dapat memahami dan mempelajari kebudayaan Tengger serta peduli terhadap
yang meneliti hal yang sama dengan peneliti, akan tetapi ada beberapa penelitian
yang cukup relevan pernah dilakukan oleh Robert W. Hefner, Ursel Newiger,
Sutarto, Titik Indramayu, Yunita Meriana Tanti, Widya Wahyu Pratama, dan
Lincahayati.
Tengger Tradition and Islam yang dimuat dalam jurnal internasional pada tahun
1987. Penelitian ini mendeskripsikan tentang budaya orang Tengger yang identik
dengan Hindu dalam upacara adatnya yang ternyata tidak serta merta disamakan
dengan ajaran Hindu di Bali. Hal ini disebabkan karena ajaran Hindu di Tengger
mendapat banyak interaksi dengan Islam dan Buddha, seperti munculnya tradisi
bentukan sosial masyarakat yang ada. Persamaan penelitian ini dengan yang
dilakukan oleh peneliti, yaitu sama-sama dalam ranah atau ruang lingkup kajian
kajian dan ilmu analisis yang digunakan. Objek penelitian ini berupa tradisi
Tengger yang dilihat pada perspektif budayanya dengan memakai ilmu bantu
Tengger di Gunung Bromo yang telah diterbitkan menjadi buku pada tahun 2006.
Buku ini mendeskripsikan tentang mitos dan legenda dewa-dewa, roh, dan
kisah dalam buku ini dituliskan seperti sebuah dongeng. Dikisahkan bahwa
adanya arus Islam yang muncul dan sebagian lainnya lari ke Bali. Buku ini
menceritakan juga tentang Resi Dada Putih, kisah Jaka Tarup, upacara kasada,
dan lain-lain. Persamaan penelitian ini dengan yang dilakukan oleh peneliti, yaitu
sama-sama fokus pada kepercayaan dan pelbagai kisah yang dianut oleh
objek yang diteliti. Penelitian ini memakai pelbagai cerita masyarakat Tengger
sebagai sumber data utama dalam mengungkap kisah-kisah yang ada, baik kisah
dewa-dewa, roh, dan lain-lain, sedangkan peneliti memakai naskah kuno sebagai
Budaya yang dimuat dalam jurnal nasional pada tahun 2006. Penelitian ini
Purwa Bumi Kamulane. Teks tersebut menyajikan nama-nama dewa Hindu dan
kekuatan yang mereka miliki, seperti Dewa Siwa (Bathara Guru) dan Dewi Durga
diintegrasikan ke dalam tradisi negara dan budaya dari dataran rendah menuju
zaman klasik. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sutarto terletak
standar.
Ri Wengi: Suntingan Teks Disertai Telaah Metafora pada tahun 2010. Penelitian
ini mendeskripsikan metafora dengan nama-nama nabi dan para sahabat Nabi
ini dengan yang dilakukan oleh peneliti adalah sama-sama memakai naskah
07.195 M. Selain itu, metodenya juga berbeda. Penelitian ini memakai metode
standar.
Ruwatan Ing Sajrone Naskah Mantra Tengger pada tahun 2011. Penelitian ini
ruwatan desa dan ruwatan penolak bala, jenis-jenis manusia yang diruwat, seperti
anak yang terkena musibah dan menjauhkan kesialan dan jenis-jenis ruwatan
untuk wayang dan sesajinya. Persamaan penelitian ini dengan yang dilakukan
peneliti memakai nomor 07.195 M. Selain itu, perbedaannya juga terletak pada
dengan pendekatan filologi modern dan kritik teks dengan metode landasan,
dan Isi Naskah Upacara Primbon Suku Tengger: Kajian Religiusitas Masyarakat
Tengger pada tahun 2013. Penelitian ini mendeskripsikan tata cara melakukan dua
upacara selamatan, yakni upacara selamatan apabila ada warga yang sakit dan
Persamaan penelitian ini dengan yang dilakukan oleh peneliti adalah sama-sama
memakai naskah Tengger dan menggunakan metode edisi naskah tunggal dengan
itu, perbedaannya juga terletak pada kajian yang dilakukan. Penelitian ini
Tengger: Suntingan Teks Disertai Analisis Semiotika pada tahun 2013. Penelitian
penelitian ini dengan yang dilakukan oleh peneliti adalah sama-sama memakai
naskah Tengger. Selain itu, kajian analisis yang digunakan juga sama, yaitu
dipakai, yaitu 07.189 M, sedangkan peneliti memakai nomor 07.195 M. Selain itu,
perbedaannya juga terletak pada metode yang digunakan. Penelitian ini memakai
standar.
penemuan, didukung oleh data serta argumentasi yang relevan. Teori diperlukan
sebagai landasan penelitian agar terarah dan fokus pada objek kajian. Teori yang
dipakai ialah teori yang berkesinambungan dengan masalah yang terjadi pada
penelitian. Teori dipakai agar dapat memecahkan permasalahan yang ada pada
penelitian. Teori yang digunakan sebagai landasan penelitian ini ialah teori
Selama ini filologi dikenal sebagai ilmu yang berhubungan dengan karya
masa lampau berupa tulisan tangan. Studi ini dilakukan karena ada anggapan
bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam karya-karya masa lampau masih ada
yang pernah ada. Informasi mengenai masa lampau tersebut dapat diketahui oleh
peninggalan tersebut biasanya lebih terarah dan luas, maka hal ini dapat menjadi
Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Teori Filologi, Baried (1994: 11)
mengungkapkan bahwa:
filologi berkembang mengikuti alur zaman dan kejadian yang ada berdasarkan
hasil dari kerja filologi merupakan perwujudaan dari buah pikiran dan perasaan
yang dilatari kehidupan sosial masyarakat tentu mempunyai nilai yang berharga.
Hal ini sangat dimungkinkan bahwa naskah-naskah sampai pada tangan pembaca
masa kini mengalami kerusakan. Hal ini perlu dilakukan penanganan yang serius
penyalinan tidak dapat dilakukan secara sembrono dan seenaknya sendiri. Selain
penyalin seperti itu dalam memperlakukan naskah saksi yang ada menjadikan
lebih fatal lagi adanya kesalahan tulis (Fathurrahman, 2015: 67). Banyaknya
campur tangan dari penyalin tersebut menyebabkan variasi teks yang muncul
menjadi sebuah kerancuan dalam menentukan teks induk. Berdasarkan hal ini
sebenarnya filologi hanya bisa menyentuh satu aspek saja yang terkandung dalam
naskah, yaitu teksnya saja yang dapat dipelajari dalam ranah tekstologi
(Fathurrahman, 2015: 109). Padahal sebenarnya selain teks ada hal lain yang juga
patut mendapatkan perhatian yang lebih, dalam hal ini kajian yang dipakai adalah
ilmu kodikologi. Kodikologi berasal dari dua kata, yaitu codex yang berarti
naskah, dan logos yang berarti ilmu. Jadi, kodikologi merupakan ilmu yang
mempelajari tentang seluk beluk naskah, bisa berupa aspek luar naskah yang
naskah, dan lain-lain. Aspek dalam naskah meliputi bahan naskah, umur naskah,
maka segala informasi tentang aspek fisik naskah dapat digunakan dalam
mengidentifikasi teks.
Teks merupakan isi yang terkandung dalam naskah yang bersifat abstrak
karena hanya dapat dibayangkan saja. Dalam hal ini, ilmu yang mempelajari
tentang seluk beluk teks disebut dengan istilah tekstologi. Berdasarkan wujud
mempelajari teks lisan, tekstologi yang mempelajari tentang teks tulis, dan
tekstologi yang mempelajari tentang teks cetakan. Dalam hal ini, penelitian akan
terfokus pada tekstologi yang mempelajari tentang teks tulis karena objek
turunnya variasi teks. Demi menyelamatkan hal ini, maka perlu diadakan kritik
teks agar memperoleh hasil naskah yang mendekati asli. Kritik teks memberikan
evaluasi terhadap teks, mengecek, meneliti, dan membenarkan teks pada posisi
yang tepat. Kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan teks yang mendekati asli
Pertama, edisi naskah tunggal. Edisi ini dilakukan apabila hanya ada satu-satunya
naskah. Edisi kritik teks naskah tunggal ini ada dua macam, yaitu edisi diplomatik
dan edisi standar/kritik. Edisi diplomatik merupakan edisi yang dilakukan dengan
naskah jamak. Edisi ini dilakukan apabila naskah seversi dan sezaman berjumlah
lebih dari satu. Edisi naskah jamak dilakukan dengan empat metode yang berbeda,
yaitu metode intuitif, objektif, gabungan, dan landasan. Metode ini digunakan
Kritik teks dalam penelitian ini menerapkan metode edisi naskah tunggal dengan
Hasil dari kritik teks tersebut nantinya akan diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia agar lebih bermanfaat. Hal ini akan membantu minat baca masyarakat
untuk memahami dan mengetahui budaya yang ada di Indonesia yang telah
dijadikan objek penelitian ini. Terjemahan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu
2012: 87). Penelitian ini memakai metode terjemahan setengah bebas, yaitu tidak
terikat berdasarkan kata demi kata, tetapi tetap menjaga keaslian kandungan teks.
191). Pengertian tanda sebenarnya cukup rumit, tergantung pada varian dan
yang dibuat oleh North (dalam Christommy & Yuwono, 2004: vii), yaitu dibagi
menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama melihat tanda sebagai relasi
dwipihak (dyadic) dan kelompok kedua melihat tanda sebagai triadik (triadic).
Saussure mendefinisikan tanda dalam relasi konsep (signified concept) dan bentuk
2004: viii).
Menurut Christommy & Yuwono (2004: viii) tanda dapat pula dilihat dalam
perspektif relasi tripihak. Sebuah tanda harus terdiri atas tiga elemen, yaitu
Menurut Peirce tanda adalah sesuatu yang bagi orang berfungsi sebagai
wakil dari sesuatu yang lain dalam hal atau kapasitas tertentu (Eco dalam
sebuah tanda dapat mewakili sesuatu yang lain, dengan ini sebuah tanda
tentu ada yang direpresentasikannya, seperti benda, figure, dan lain-lain yang
disebut dengan object (Y). Sesuatu itu bisa menjadi sebuah tanda yang dimaknai
orang lain atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang
dirujuk sebuah tanda, hal ini disebut dengan interpretan (X=Y) (Patriansyah,
2011: 243).
terjadi menjadikan proses semiosis ini tak berkesudahan dan oleh Umberto Eco
dan Jacques Derrida kemudian dirumuskan sebagai proses semiosis tanpa batas
interpretan. Disebutkan pula bahwa ciri dasar tanda disebut dengan ground.
Dalam hal ini, ground tidak ada yang berlaku umum atau abadi. Tanda tergantung
pada keterbatasan pembatasan dari segala seuatu yang terjadi di dalam dunia.
terdiri atas qualisign, sinsign, dan legisign. Denotatum terdiri atas ikon, indeks,
ikon, indeks, dan simbol untuk menunjukkan tanda-tanda yang muncul dalam teks
PT. Tipe tanda tersebut dipilih karena dianggap dapat mewakili sebagian besar
tanda-tanda yang ada dan muncul dalam teks PT sehingga dapat dipilah dan
dianggap paling simpel dan fundamental yang didasarkan atas relasi di antara
atau dilaksanakan. Dunia keilmuan memang tidak pernah lepas dengan sebuah
metode yang digunakan. Metode merupakan suatu hal yang menyangkut masalah
cara kerja, yakni cara kerja untuk memahami suatu objek yang dijadikan sebagai
berarti pengetahuan berbagai jenis cara kerja yang dapat dikembangkan sesuai
dengan objek studi atau penelitian yang bersangkutan (Hasan & Koentjaraningrat,
dalam Suryani, 2012:73). Metode penelitian yang digunakan harus sesuai dengan
menghasilkan teks yang bersih dari kesalahan sehingga representatif bagi para
pembaca naskah.
sekunder. Tahap awal ini berhubungan dengan pencarian data primer, yakni
naskah itu sendiri. Tahap ini berkaitan dengan kemampuan peneliti dalam
menguasai tulisan, bahasa, kondisi naskah, dan kondisi teks yang ada.
2. Inventarisasi naskah
Tantular Sidoarjo. Tahap ini dilakukan dengan mencari naskah yang seversi
sedangkan katalog yang dipakai sebagai panduan ialah edisi terbaru. Oleh
1) No. Inv 07.187 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 12 lembar, huruf Jawa
dubang (ludah orang yang makan sirih) agar sehat kembali, roh yang
masuk ke ubun-ubun, lutut, paha akan selamat, dan disebutkan pula nama-
nama kemenyan, seperti manik, nur cahya, dan kalaba yang digunakan
2) No. Inv 07.188 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 15 lembar, huruf Jawa
bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang nama-nama wuku yang
Paing di desa Ngadisari. Selain itu, naskah juga berisi tentang mantra-
3) No. Inv 07.189 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 18 lembar, huruf Jawa
bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang permohonan kepada Sang
Hyang Dewata agar dijauhkan dari makhluk halus dengan memberi sesaji
berupa kain kampuh/bakalan, kendi, pengaron, pisang yang bagus, air satu
pikul, legen satu pikul, sirih satu pikul, tumbuh-tumbuhan satu pikul, dan
nasi. Sesaji ini dimaksudkan agar para pengganggu tersebut pergi ke arah
timur.
4) No. Inv 07.190 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 12 lembar, huruf Jawa
bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang mantra yang harus
Kaki Tupu, Kaki Lathi, Kaki Jelapa, Kaki Redi Uda, Kaki Dhoreng, dan
Nini Dhoreng yang memberi penataan di dunia. Kaki Jenggi, Nini Jenggi,
Kaki Benggi, Nini Benggi, Kaki Pernata, Nini Pernata yang menyangga
5) No. Inv 07.191 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 18 lembar, huruf Jawa
bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang raja atau dewa yang
Gunung Dasar, Kaki Guru yang berkuasa di Gunung Semeru, dan lain-
dan ditulis pada hari Jumat Paing, wuku wugu, bulan ke-2. Saat itu penulis
seseorang juga disebutkan dalam teks naskah ini, seperti lahirnya Wasirun
6) No. Inv 07.192 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 13 lembar, huruf Jawa
selamat. Selain itu, berisi juga hari mengenai penciptaan suatu hal, seperti
Hari Minggu yang merupakan hari penciptaan bumi dan langit. Disebutkan
7) No. Inv 07.193 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 41 lembar, huruf Jawa
bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang Allah sejati (Tuhan),
Dewata adalah Yang Maha Tahu dan kejadian manusia ada sejarahnya.
8) No. Inv 07.194 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 15 lembar, huruf Jawa
bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang puisi yang digunakan
untuk mengusir roh halus agar tidak mengganggu dan dibacakan pada
malam hari. Disebutkan pula adanya bidadari yang dijaga malaikat, para
nama nabi, seperti Nabi Adam, Muhammad, Yusuf, Dawud, dan lain-lain
dan sahabat nabi, seperti Ali, Abu Bakar, dan Usman. Ada juga ritual
9) No. Inv 07.195 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 37 lembar, huruf Jawa
bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang hamba-hamba yang harus
menyembah Bethara Suci, yaitu Siwa. Dewa Siwa harus dipuja agar tidak
marah dan tidak merusak dunia. Disebutkan pula prameswari Dewa Siwa
yaitu Parwati yang baik hati dan Durga yang pemarah serta anak-anaknya,
10) No. Inv 07.196 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 28 lembar, huruf Jawa
bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang Ki Banyak Dalang yang
lakat adalah yang memberi hidup dan umur. Disebutkan pula mengenai
desa dan ruwatan penolak bala, jenis-jenis manusia yang diruwat, seperti
11) No. Inv 07.197 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 14 lembar, huruf Jawa
bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang persembahan sesaji bila
telur yang diletakkan di halaman. Jika sesaji ini dilakukan maka bayi akan
12) No. Inv 07.198 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 12 lembar, huruf Jawa
seperti Dewa Siwa, Sang Hyang Catur Pramana, Kaki dan Nini Juru Tolis,
Sang Hyang Atma, Sang Hyang Samatara, Bathara Kerayuan, dan lain-
lain. Semua dewa tersebut adalah para penguasa jagat surga dan neraka.
13) No. Inv 07.199 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 21 lembar, huruf Jawa
bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang para penguasa dunia baik
Sang Hyang Manon, dan lain-lain. setiap penjuru dunia baik ke barat,
3. Deskripsi naskah
naskah, jumlah baris per halaman, huruf, aksara, tulisan naskah, cara
4. Transliterasi
abjad yang satu ke abjad lain, dari satu bentuk ke bentuk lain, dan dari satu
pengubahan teks dari satu ejaan yang lain dengan tujuan menyarankan lafal
5. Suntingan teks
dengan ejaan yang berlaku. Hasil dari suntingan teks ialah sebuah edisi
6. Terjemahan
kandungan teks.
Tantular Sidoarjo. Namun, peneliti memilih naskah dengan No. Inv 07.195 M
sebagai bahan objek penelitian. Naskah ini tertulis dalam aksara Jawa dan
memakai bahasa Jawa Tengger dan dominan memakai bahasa Jawa Kuno.
Metode suntingan teks yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode edisi
standar/kritik.
Menurut Baried (1994: 68) edisi standar atau edisi kritik ialah menerbitkan
dan ketidakajegan sesuai dengan ejaan yang berlaku. Pembetulan yang dilakukan
harus berdasarkan pada pemahaman yang mendalam mengenai isi naskah. Dalam
mudah dipahami. Hal ini juga berguna agar gambaran dari masing-masing bab
dapat dimengerti dengan baik. Berikut sistem penulisan dalam penelitian ini.
Bab I Pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah, batasan masalah,
Bab II Deskripsi Naskah. Bab ini berisi pengantar deskripsi naskah dan
Bab III Kritik Teks. Bab ini berisi tentang pengantar kritik teks dan kritik
Bab IV Suntingan Teks. Bab ini berisi pengantar suntingan teks dan hasil
suntingan teks naskah PT yang telah disesuaikan dengan ejaan yang telah
disepakati.
Bab V Terjemahan. Bab ini berisi pengantar terjemahan dan terjemahan teks
PT.
Bab VI Hasil dan Pembahasan. Bab ini berisi bentuk dan struktur teks PT,
analisis semiotika terhadap teks PT, dan konsep kepercayaan masyarakat Tengger
BAB II
DESKRIPSI NASKAH
mengenai naskah yang akan diteliti atau yang hanya ingin dicari tahu isinya. Hal
ini berarti informasi yang ingin didapat dari sebuah naskah kuno dapat ditemukan
dalam katalog karena katalog menjadi salah satu sumber pertama bagi para
Informasi yang ada dalam katalog mengenai naskah kuno yang dimiliki oleh
deskripsi naskah secara umum yang masih menjadi gambaran singkat naskah. Hal
ini berakibat bahwa tidak semua katalog mencakup hal-hal yang lengkap
mengenai detail naskah itu sendiri, seperti identifikasi naskah, umur, corak atau
1986 M agar mendapatkan susunan informasi yang lengkap mengenai naskah PT.
Deskripsi atau identifikasi naskah yang telah disusun dan ditawarkan oleh
30
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
31
Naskah Nusantara hampir sebagian besar, terutama yang sudah relatif sangat
tua tidak memiliki judul yang eksplisit dan tersendiri (Hermansoemantri, 1986: 2).
Artinya, banyak judul naskah Nusantara yang tidak tertulis pada sampul naskah,
lembaran naskah, atau bagian dari naskah itu sendiri, hal inilah yang terjadi pada
naskah PT ini. Ketiadaan judul naskah tersebut bisa disebabkan karena beberapa
faktor, seperti pengarang atau penulis tidak mencantumkan judul naskah (pada
naskah otograf), penyalin naskah yang lupa menyalin judul naskahnya (pada
naskah salinan), dan naskah berupa bunga rampai (Hermansoemantri, 1986: 3).
Dalam menetapkan judul naskah yang pas pada sebuah naskah, maka bisa
ditempuh dengan cara membaca atau meneliti teks naskah yang menyebutkan
secara langsung atau tidak langsung mengenai judul naskah dan berdasarkan pada
isi naskah yang bersangkutan, bisa berupa tokoh cerita atau latar tempat naskah
berdasarkan latar naskah, yaitu naskah Primbon Tengger karena naskah berasal
dari Tengger dan menjadi pedoman hidup masyarakat Tengger. Jadi, sebenarnya
belum ada nama khusus dari naskah-naskah Tengger yang tersimpan di Museum
Naskah koleksi pribadi justru biasanya tidak diberi nomor. Naskah yang
tersimpan dalam perpustakaan atau museum biasanya diberi nomor dan nomor
penulisan nomor naskah tidak berpatokan pada sistem penomoran tertentu. Dalam
hal ini, naskah koleksi yang ada di Museum Negeri Mpu Tantular Sidoarjo sistem
penomorannya hanya berpacu pada kode koleksi naskah dan nomor urut naskah
datang. Berdasarkan hal ini, nomor naskah PT yang dijadikan sebagai objek
filologika atau kode koleksi naskah yang berasal dari dinas pendidikan dan
kebudayaan, 195 merupakan nomor urut naskah datang dan di simpan di Museum
(lokal). Banyak juga naskah-naskah yang tersebar dan tersimpan yang menjadi
menjadi salah satu koleksi naskah yang tersimpan di Museum Negeri Mpu
dengan naskah-naskah lontar Tengger yang lain dan diberi cengkeh agar naskah
Asal naskah dalam hal ini yang dimaksud ialah dari mana naskah itu berasal,
baik naskah yang tersimpan dalam museum, perpustakaan, atau koleksi pribadi
yang tertempel pada bagian lembar awal naskah PT yang diberikan oleh pihak
dari Desa Sukun, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur dan tercatat dalam katalog
proyek naskah kuno yang dilakukan oleh pihak Museum Negeri Mpu Tantular
informan, naskah PT ini didapat dengan cara dibeli. Pihak museum yang diwakili
oleh Bapak Suharto yang kala itu menjabat sebagai koordinator koleksi naskah
Sukapura, Probolinggo Jawa Timur, dan naskah ini merupakan naskah koleksi
keluarga.
digunakaan istilah utuh, tidak utuh, dan rusak (Hermansoemantri, 1986: 15-16).
Naskah yang dianggap utuh ialah naskah yang keadaannya benar-benar sempurna
ada yang hilang ataupun rusak. Naskah yang dianggap tidak utuh, yaitu apabila
keadaan naskah tidak sempurna atau tidak lengkap seperti sedia kala,
yang hilang dan rusak baik di bagian awal, tengah, ataupun akhir naskah
(damaged/deteriorated).
terdapat pada halaman 2a, 3a, 14a, 27a, 30a, 36a, 2b, 3b, 14b, 27b, 30b, dan 36b.
Naskah yang tulisannya sudah memudar dan menghitam, yaitu pada halaman 3a,
31a, 33a, 35a, 6b, dan 13b. Naskah yang termakan ngengat dan terkikis lembaran
lontarnya, yaitu pada halaman 32a, 33a, 36a, 37a, 32b, 33b, 36b dan 37b. Untuk
menggunakan selotip bening terutama pada kertas yang sobek agar menyatu
penanganan lebih lanjut karena belum ada penyelamatan naskah lontar secara
Gambar 2.1 Lontar halaman 14a sudah terkikis, memudar, dan robek
(sumber: dokumen pribadi, 2018).
2.2.6 Ukuran Naskah
dua macam bagian, yaitu ukuran lembaran naskah dan ukuran ruang tulisan atau
teks naskah. Ukuran lembaran naskah terdiri dari ukuran panjang dan lebar
lembaran-lembaran naskah baik yang berbahan lontar, kertas, dluwang, dan lain-
lain dan ukurannya dinyatakan dengan sentimeter (cm). Ukuran ruang tulisan
terdiri dari panjang dan lebar ruang tulisan atau teks yang digunakan pada
lembaran atau halaman naskah dan ukurannya juga dinyatakan dengan sentimeter
ruang tulisan atau teks naskah PT ini sebagian besar memiliki panjang 17,7 cm
dan lebar 3 cm (17,7 cm x 3 cm). Namun, tidak semua ruang tulisan atau teks
naskah PT memiliki ukuran yang sama. Pada halaman 14a ukuran ruang tulisan
atau teksnya memiliki panjang 12 cm dan lebar 0,8 cm (12 cm x 0,8 cm) karena
terdiri dari 1 baris saja, begitu pula pada halaman 30b ukuran ruang tulisan atau
teksnya memiliki panjang 18 cm dan lebar 2,5 cm (18 cm x 2,5 cm) karena terdiri
Tebal naskah adalah jumlah halaman atau lembaran naskah yang ditulisi
atau yang berisi teks. Lembaran-lembaran atau halaman yang tidak ditulisi
(kosong) yang terletak pada awal ataupun akhir naskah tidak ikut dihitung,
sedangkan lembaran atau halaman yang tidak ditulisi (kosong) yang berada di
tengah-tengah naskah maka tetap dihitung untuk pendataan tebal naskah, tetapi
perlu diberi keterangan yang detail (Hermansoemantri, 1986: 24-25). Maka dari
itu, tebal naskah PT secara keseluruhan terdiri dari sampul depan dan belakang,
37 lembar rekto-verso (74 halaman), dan pada halaman 14b lembaran kosong atau
tidak ditulisi. Halaman 14b ini tetap dihitung sebagai bagian dari pendataan tebal
Pada hal ini yang perlu disebutkan, yaitu pada banyaknya jumlah baris atau
(Hermansoemantri, 1986: 30). Jumlah baris atau larik pada setiap halaman naskah
PT ditulis cukup seragam dan stabil, yaitu 4 baris kecuali pada halaman 14a, 14b,
dan 30b. Pada halaman 14a hanya ada 1 baris, pada halaman 14b kosong atau
tidak ditulisi apapun, dan pada halaman 30b hanya ada 3 baris.
Hal-hal yang perlu dijelaskan mengenai huruf, aksara, dan tulisan naskah
Nusantara tertulis dalam pelbagai macam jenis tulisan, seperti tulisan Sunda
Kuno, Jawa Kuno, Jawi, Pegon, dan lain-lain. Teks naskah PT ditulis
menggunakan aksara Jawa tetapi bentuknya agak berbeda karena arah serat
lontar yang sulit dan menjadikan tulisannya berbeda dengan aksara Jawa yang
yaitu adanya penulisan huruf konsosan secara ganda, artinya banyak kata yang
mengandung dua huruf konsonan yang sama padahal sebenarnya hanya perlu
memakai satu konsonan saja. Hal ini tidak dianggap sebagai kesalahan penulis
naskah karena dianggap sebagai ciri khas naskah, misalnya kata “karuhuni”
dalam teks ditulis “karuhunni”. Selain itu, ada beberapa penulisan nga lêlêt
Dalam hal ini, peneliti tidak bisa menganggap bahwa itu merupakan tanda
pengetahuan peneliti.
Gambar 2.3 Pada lempir 9a baris pertama terdapat nga lêlêt yang diapit oleh
dua adeg-adeg yang terletak di tengah-tengah teks (sumber: dokumen pribadi,
2018).
b. Ukuran huruf atau aksara
Pencatatan ukuran huruf atau aksara pada sebuah naskah terbagi menjadi
tiga macam ukuran, yaitu kecil, sedang, dan besar (Hermansoemantri, 1986:
38). Tulisan pada naskah PT relatif memiliki ukuran huruf atau aksara yang
kecil mengingat bahan naskah terbuat dari lontar yang mana bahan ini hanya
Gambar 2.4 Ukuran huruf atau aksara naskah PT relatif kecil (sumber:
dokumen pribadi, 2018).
c. Bentuk huruf
Bentuk huruf dalam hal ini yang dimaksud ialah arah letak huruf. Bentuk
huruf biasannya dikategorikan atas dua macam bentuk, yaitu tegak atau tegak
lurus dan miring atau kursif (Hermansoemantri, 1986: 39). Bentuk huruf yang
ada pada naskah PT yaitu tegak lurus, artinya bentuk huruf yang ditampilkan
d. Keadaan tulisan
jelas atau tidaknya suatu tulisan untuk dibaca. Keadaan tulisan dikategorikan
dalam jelas, kurang jelas, atau tidak jelas. Kaitannya dengan keterbacaan
tulisan, yaitu mudah dibaca, kadang-kadang sukar dibaca, sukar dibaca, atau
keterbiasaan seorang penulis atau penyalin dalam menulis naskah atau tulisan
lain, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ada juga tulisan yang memiliki jarak
jarak antarhuruf yang cukup normal, artinya huruf-huruf yang tertulis pada
naskah tidak terlalu renggang ataupun tidak terlalu rapat sehingga tiap-tiap
f. Bekas pena
Bekas pena adalah hasil tulisan yang dihasilkan dari alat tulis dengan
memakai tinta yang digoreskan. Alat tulis ini bisa berasal dari baja, paku, atau
pisau yang diruncingkan. Bekas pena biasanya dinyatakan dalam tumpul atau
tebal, tajam atau tipis (Hermansoemantri, 1986: 41). Bekas pena pada tulisan
naskah PT dapat dikatakan tajam, tipis, dan agak lancip pada goresan akhir
tiap-tiap huruf. Pena yang dipakai dalam menulis naskah ini dapat dikatakan
memakai paku atau pisau yang runcing karena naskah berbahan lontar.
g. Warna tinta
Pencatatan mengenai warna tinta dalam hal ini yang dimaksud ialah
warna tinta yang digunakan untuk menulis naskah. Tinta yang dipakai
biasanya berwarna hitam atau hitam pekat. Selain itu, ada juga tinta berwarna
merah, biru, atau biru tua (Hermansoemantri, 1986: 42). Tinta pada teks
yang dibakar, tetapi karena naskah sudah tua menyebabkan tulisan di beberapa
bagian terlihat cukup usang dan akhirnya warna tinta cenderung kecokelatan.
Di beberapa bagian warna tinta juga hampir tidak terlihat karena menyerupai
Pemakaian tanda baca dalam hal ini dijelaskan mengenai ada atau tidak
adanya tanda baca yang digunakan dalam sebuah naskah atau teks. Tanda baca
dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu berupa pungtuasi dan tanda baca
yang khas dan nonstandar (Hermansoemantri, 1986: 43). Pada teks naskah PT,
dengan bentuk yang berbeda yang digunakan sebagai pembuka, tetapi hal ini
tengah-tengah kalimat. Dalam naskah ini juga terdapat tanda seperti pungtuasi
berupa tanda petik dua (“...”) yang tercantum pada teks naskah PT lempir 14a
baris ke-1 dan petik satu (”) seperti yang tercantum pada teks naskah PT
lempir 6b baris ke-2, tetapi atas dasar kurangnya pengetahuan peneliti maka
Gambar 2.7 Lempir 6b baris ke-2 terdapat pungtuasi tanda petik satu (”)
(sumber: dokumen pribadi: 2018).
Gambar 2.8 Lempir 14a terdapat pungtuasi tanda petik dua (“...”) (sumber:
dokumen pribadi, 2018).
2.2.10 Cara Penulisan
Pada tiap lembar naskah terdiri dari dua halaman, yaitu halaman depan
untuk tulisan dikategorikan dalam dua macam, yaitu satu muka/tempat dan
yang ditulisi ada dua bagian, depan dan belakang. Istilah penulisan bolak-balik
1986: 58). Teks naskah PT ditulis sejajar dengan lebar lembaran atau halaman
naskah dari kiri ke kanan mulai dari halaman pertama sampai halaman
terakhir.
Pengaturan ruang tulisan berkaitan dengan cara mengatur teks atau tata
kata, frasa, klausa, atau kalimatnya ditulis secara mengalir dan tidak terputus,
tidak ditempatkan pada baris baru atau ditulis menjorok. Hal ini bisa
ada dua macam, yaitu jenis tala dan sritala (Hermansoemantri, 1986: 60).
Bahan lontar naskah PT kemungkinan besar adalah jenis lontar tala karena
daunnya agak tebal, kasar, dan kesat sesuai dengan cirinya. Lontar naskah PT
e. Penomoran halaman
kertas ada yang memakai nomor atau angka halaman dan ada pula yang tidak.
Nomor halaman pada naskah PT menggunakan angka Arab dan abjad Latin.
Angka Arab yaitu angka yang berasal dari tulisan atau bahasa Arab yang telah
hanya ditulis pada tiap lembar halaman bagian belakang naskah (verso),
sedangkan pada bagian halaman depan (rekto) tidak ditulisi nomor halaman.
Hal ini diketahui karena sebenarnya pada naskah PT sudah diberi label nomor
halaman memakai abjad Latin (a/b) oleh pihak Museum Negeri Mpu Tantular
Sidoarjo. Selain itu, tidak secara keseluruhan juga halaman bagian belakang
ditulisi nomor halaman. Nomor halaman yang ditulisi, yaitu pada halaman 1b
sampai dengan 10b dan 15b sampai dengan 36b, artinya pada halaman 1a
sampai dengan 37a, 11b, 13b, 14b, dan 37b tidak ditulisi nomor halaman.
Gambar 2.9 Lempir 1a diberi label nomor halaman oleh pihak Museum
Negeri Mpu Tantular Sidoarjo dan tidak diberi nomor halaman oleh
penulis naskah PT (sumber: dokumen pribadi, 2018).
Gambar 2.10 Lempir 1b diberi label nomor halaman oleh pihak Museum
Negeri Mpu Tantular Sidoarjo dan diberi nomor halaman oleh penulis
naskah PT di sebelah pojok kiri tulisan berupa angka 1 (sumber: dokumen
pribadi, 2018).
Bahan naskah ialah benda yang dipakai sebagai objek penulisan teks,
karangan, dan catatan. Bahan naskah Nusantara yang dipakai adalah lontar,
lontar dengan dua penjepit dari bambu sebagai sampulnya dan ada tiga lubang,
yaitu kanan, kiri, dan tengah. Di lubang bagian tengah naskah diberi tali untuk
pengikat lontar. Lontar yang dipakai menurut peneliti kemungkinan besar berjenis
lontar tala karena daunnya keras, tidak bengkak-bengkok, tidak begitu tipis dan
Nusantara merupakan bahasa yang pernah hidup dalam kurun waktu tertentu
maupun yang masih digunakan hingga saat ini di suatu daerah atau etnis tertentu
Mpu Tantular Sidoarjo, bahasa yang digunakan dalam naskah PT, yaitu bahasa
Jawa Tengger. Namun, jika ditelisik lebih lanjut sebenarnya bahasa yang dipakai
adalah bahasa Jawa Kuno atau Kawi dan bahasa Sansekerta. Bahasa Jawa Kuno
diserap melaui bahasa Jawa Kuno atau bahasa Kawi, maka dari itu tidak ada
perbedaan antara vokal panjang dan vokal pendek, munculnya bunyi /ṭ /, /ť/, dan
Bentuk teks pada naskah-naskah Nusantara terdiri dari tiga macam, yaitu
prosa, puisi, dan prosa berirama yang biasa disebut dengan prosa lirik atau bahasa
yang tercantum pada katalog dan pembacaan naskah oleh peneliti, yaitu berbentuk
pada Dewa Siwa. Hal ini sepadan dengan penjelasan Hermansoemantri (1986: 85)
Sedangkan naskah PT yang berbentuk prosa ini dipengaruhi oleh Hindu, yaitu
cerita yang menjadi sebuah primbon atau pegangan hidup masyarakat Tengger.
karena itu, umur naskah hanya dapat diketahui berdasarkan keterangan dari dalam
dan luar. Jika tidak juga dapat diketahui secara pasti maka umur naskah dapat
diklasifikasikan menjadi tua atau relatif tua dan muda atau relatif muda
secara tertulis mengenai umur naskah baik itu penulis ataupun penyalinnya, hanya
saja tercantum tahun masuknya naskah, yaitu pada 1994 M. Pada isi teks naskah
PT juga belum diketahui secara pasti berapa angka ataupun kisaran angka tahun
yang secara implisit menunjukkan umur naskah. Namun, jika berdasarkan pada
macam tulisan yang berupa bentuk tulisan atau aksara Jawa, bahasa naskah berupa
bahasa Jawa Kuno, bahan naskah berupa lontar, serta isi naskah yang bercerita
masyarakat Tengger dan menjadi primbon keseharian mereka maka umur naskah
PT dapat dikatakan relatif tua. Selain itu, dengan melihat kondisi naskah yang
sudah cokelat kehitaman, tulisan naskah yang sudah memudar, dan terkikisnya
Selain itu, berdasarkan cerita yang diungkapkan oleh informan yang belum
tahun 2003 beliau didatangi oleh seorang lelaki setengah tua yang pada waktu itu
bertanya kepada informan apakah beliau tahu siapa penulis naskah tersebut dan
beliau pun menjawab tidak mengetahuinya. Lelaki itu pun berkata bahwa naskah
Tengger selesai ditulis pada tahun 1896 oleh kepala adat Tengger pada saat
usianya 81 tahun. Naskah tersebut ditulis mulai tahun 1864-1896, artinya ke-13
naskah Tengger ditulis selama 32 tahun. Lelaki tersebut juga berkata bahwa
Cerita tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Widya Wahyu
Pratama tahun 2013 yang melakukan penelitian lapangan di Tengger dan bertemu
Bapak Mudjiono, kepala adat Tengger di desa Ngadas Sukapura. Bapak Mudjiono
didatangi oleh orang-orang zaman dahulu. Mengenai umur dan penulis naskah
yang diketahui oleh Bapak Mudjiono juga sama persis dengan informasi yang
didapatkan oleh informan melalui jelmaan resi tersebut. Berdasarkan kedua cerita
tersebut yang belum dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah maka naskah
2.2.15 Pengarang/Penyalin
penulis atau penyalin naskah. Dalam katalog yang disusun oleh pihak Museum
Oleh karena itu, penulis/penyalin naskah PT dapat dikatakan anonim, artinya tidak
ada identitas berupa nama, pekerjaan, ataupun tempat tinggal yang secara tepat
menjadi data diri penulis/penyalin naskah PT. Namun, jika merujuk pada cerita
mengenai asal-usul atau sejarah naskah akan memberi pengaruh yang positif
desa Sukun, Sukapura, Probolinggo Jawa Timur. Naskah ini dibeli oleh pihak
Museum Mpu Tantular Sidoarjo dan tercantum dalam katalog masuk pada tanggal
Gambar 2.11 Bukti registrasi naskah PT dari pihak Bapak Mahmud ke pihak
Museum Negeri Mpu Tantular Sidoarjo (sumber: dokumen pribadi, 2019).
2.2.17 Fungsi Sosial Naskah
arti naskah bagi masyarakat baik pada masa lampau ataupun saat ini
(Hermansoemantri, 1986: 116). Pada isi teks naskah PT tidak menunjukkan secara
tercantum dalam katalog yang disusun oleh pihak pegawai Museum Mpu Tantular
Ikhtisar atau rangkuman cerita dari suatu naskah perlu dikemukaan dalam
sebuah penelitian guna memudahkan pembaca atau peminat agar memperoleh isi
berbentuk prosa maka ikhtisar cerita tidak dijelaskan satu per satu, tetapi hanya
dijelaskan garis besarnya saja dan yang dianggap menjadi ide pokok bahasan.
lempir 1-5: Hamba-hamba harus menyembah kepada bethara suci, yaitu Dewa
Siwa dengan menggunakan kedua tangan. Siwa yang sifatnya dapat merusak
dunia harus dipuja dan disembah agar tidak marah. Keutamaan Siwa yaitu sarung
dewata kalaka supatralepana „dewa yang berselubung air yang memakai burat
harum‟ dan dewata kalikaron. Wisnu melindungi dunia dan seisinya dan ia
dengan bunga yang harus disiram dengan air nirmala dengan dupa yang harum
masyarakat Tengger, yaitu radite (minggu), buda (rabu), dan sukra (jumat).
Lempir 6-10: Istri Siwa, Dewi Durga yang cantik memakai busana dengan manik-
yang ditanam, seperti menghasilkan pala wija, pala wiji, pala bukah, pala gantung,
dan pala kanginan. Semua rakyat kenyang dan tidak kelaparan serta dijauhkan
dari musuh dan pencuri. Semuanya serba murah, tidak mahal. Disebutkan bahwa
Dewa Siwa tidak akan melepaskan siapa saja, yaitu hamba-hamba yang merusak
membersihkan wajah dengan air agar kembali menjadi orang yang suci.
menyembah Dewa Siwa karena Ia adalah dewa yang membawa jiwa yang kokoh.
Jika hamba-hamba termasuk cucu-buyut terus menyembah Siwa maka tidak akan
yang dipercaya oleh masyarakat Tengger bertapa di gunung, seperti Kaki Ayi
Kumala, Kaki Ayi Itên, Kaki Ayi Wuruju, Sang Hyang ngadi pamriyan, Sang
Hyang Ngadi Guru Wisesa, Sang Hyang Butul Patala, Sang Hyang Tata Boga,
Sang Hyang Ngatalaga, sang tempat bergantung. Juga pertapa Citra Gatra, Kaki
cahaya mutiara yang indah dan berjiwa tenang. Juga sang maha tegar yang
terdapat di timur, selatan, barat, utara, tengah, tenggara, dan barat laut yang selalu
timur, tengah, dan luar dijaga oleh pertapa atau begawan nini dan kaki, seperti
Kaki Pudutan, Nini Pudutan, Kaki Mangiton, Nini Mangiton, Nini Bamita, Nini
Saruwok, dan lain-lain. Disebutkan mengenai adanya buta ijo yang bertempat di
pabanyon „perairan‟, buta marus yang ada di pakocorran „air penyembuh luka‟,
Lempir 25-28: Anjuran untuk saling menolong, saling memberi tahu, dan
menjauhkan diri dari banyak godaan. Tidak saling bercerai-berai, berseteru, dan
permusuhan, perseteruan, atau melanggar hal lain maka akan ada hukuman yang
diberikan berupa hukuman dera, tetapi tidak dengan cara dipasung atau diikat agar
dapat sembuh kembali, artinya dapat menjadi pelajaran untuk diri sendiri dan
Lempir 29-34: Disebutkan bahwa pikiran, penglihatan, sifat, dan tingkah laku
seorang hamba semuanya diketahuai oleh Sang Hyang Tutur, Sang Hyang Sabda
Bayu Idep, Sang Hyang Pralina Jati Wisesa, Sang Hyang Manon, Sang Hyang
Bathara Sang Wong, dan Sang Hyang Sukma Dewa Hening. Termasuk perkataan
hamba yang salah, tingkah laku yang salah, sifat yang salah, mata yang salah, akal
yang salah, pikiran yang salah karena mereka juga menyembah dan memuji
kepada-Nya. Hamba juga diberi tahu bahwa sesungguhnya Sang Hyang telah
bersabda dan mengingatkan bahwa hamba harus selalu menyembah dan memuji.
Lempir 35-37: Sang Hyang Sukma Dewa Hening mulia kepada Sang Hyang Jati
Pralina. Sang Hyang Jati Pralina mulia kepada Cabar Tiwas. Cabar Tiwas mulia
kepada Dewa Siwa. Anjuran untuk saling mempererat hubungan antara sang
pertapa dan sang ki pertapa dan peringatan kepada para hamba bahwa dirinya
bukanlah seorang dewa jadi harus selalu menyembah kepada penguasa bumi agar
Naskah yang tersebar di dunia ini ada yang memiliki iluminasi dan ilustrasi
ataupun salah satunya bahkan ada pula yang tidak ada keduanya dan naskah PT
dianggap tidak memiliki keduanya. Namun, pada naskah PT terdapat simbol atau
tanda seperti huruf ya yang divariasi oleh penulis yang terletak pada lempir 8a
baris ke-3, tetapi jika dibaca tidak selaras dengan kalimat sebelum atau
sesudahnya. Maka dari itu, peneliti menganggap bahwa simbol ini tidak dapat
teks dan tidak membingkai teks. Simbol sebuah tanaman padi/jagung terletak
pada lempir 8b baris ke-3 dan simbol hati yang atasnya terdapat segitiga-segitiga
Gambar 2.12 Pada lempir 8a baris ke-3 terdapat simbol yang tidak dapat
didefinisikan (sumber: dokumen pribadi, 2018).
Gambar 2.13 Pada lempir 8b baris ke-3 terdapat simbol seperti tumbuhan
padi/jagung (sumber: dokumen pribadi, 2018).
Gambar 2.14 Pada lempir 26a baris ke-4 terdapat simbol hati (sumber:
dokumen pribadi, 2018).
BAB III
KRITIK TEKS
Naskah Nusantara yang ada dan tersebar di Indonesia maupun di luar negeri
banyak mengalami perubahan baik secara disengaja maupun tidak disengaja. Oleh
karena itu, untuk mengetahui kemurnian dan keaslian isi teks perlu diadakan
langkah-langkah kerja filologi salah satunya, yaitu kritik teks. Kritik teks menurut
sebuah teks, lalu meneliti dan menempatkan teks yang sesuai tersebut pada
tempatnya. Kegiatan kritik teks bertujuan untuk menghasilkan teks yang benar-
benar mendekati aslinya (constitution texus). Hal ini juga dijelaskan oleh Suryani
(2012: 56) bahwa kritik teks dilakukan untuk mendapatkan naskah yang paling
dekat dengan aslinya dan diperkirakan bersih dari kesalahan atau perubahan yang
muncul selama proses penyalinan. Kritik teks yang dilakukan oleh seorang filolog
juga perlu dideskripsikan secara gamblang melalui aparat kritik atau catatan-
catatan kesalahan tulisan berupa tabel-tabel yang dapat diperiksa secara langsung.
penyalinan yang dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan tertentu, salah satunya
karena naskah dianggap sakral dan digemari sehingga penyalin merasa perlu
56
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
57
kurang oleh penyalin mengenai bahasa-bahasa yang digunakan dalam sebuah teks
Penulisan dan penyalinan naskah PT juga tidak terlepas dari kesalahan tulis
(2002: 34-35) dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis, yaitu lakuna, adisi,
a. Lakuna
pengurangan huruf atau bunyi, suku kata, kata, frasa, kalimat, dan
paragraf.
b. Adisi
Adisi adalah kesalahan salin atau tulis yang ditandai dengan penambahan
huruf atau bunyi, suku kata, kata, frasa, kalimat, dan paragraf.
c. Substitusi
penggantian huruf atau bunyi, suku kata, kata, frasa, kalimat, dan paragraf.
d. Transposisi
pemindahan huruf atau bunyi, suku kata, kata, frasa, kalimat, dan paragraf.
e. Ditografi
perangkapan huruf atau bunyi, suku kata, kata, frasa, kalimat, dan
paragraf.
f. Gabungan
Gabungan adalah kesalahan gabungan dua atau lebih kesalahan salin atau
tulis.
3.2.1 Lakuna
1. 1a annêbah annêmbah
2. 3b litang lintang
3. 3b draya drawya
4. 4a summira summiram
5. 5b mrang marang
6. 5b gawa garwa
7. 6a ma maring
8. 7a tinakil tinangkil
9. 7b tinubas tinumbas
10. 7b na ana
3.2.2 Adisi
1. 1b angkaram angkara
2. 2a marudra mudra
3. 2a anêmabah anêmbah
4. 3a samapun sampun
5. 3b samapun sampun
6. 6a kalapika kalpika
7. 7b langrang larang
8. 7b mangngandohênna mangadohêna
9. 9b drarwa drawa
3.2.3 Substitusi
1. 2b renna rinna
2. 4a sing ring
3. 4a denna denne
4. 4b orip urip
5. 6b paomanan paomahan
6. 7b salira salire
7. 7b bramma brahma
8. 9a rabe rabi
9. 9a renna rinna
3.2.4 Transposisi
1. 4b buburwah burbuwah
2. 6a wrata warta
3.2.5 Ditografi
1. 5b pupurusa purusa
2. 7a kastrannana kastranna
3.2.6 Gabungan
subtitusi
lakuna
subtitusi
subtitusi
subtitusi
subtitusi
subtitusi
subtitusi
lakuna
lakuna
pangawan subtitusi
lakuna
adisi
lakuna
Hyang. Teks naskah PT menyebut kata Sang Hyang sebanyak 65 kali dengan
penulisan yang berbeda-beda, yaitu Sang Hyang, San Yang, Sa Hyang, Sang
Nyang, Sa Nya, dan Sa Hya yang kesemuanya sebenarnya merujuk pada satu
makna, yaitu Tuhan. Penulisan Sang Hyang ditulis sebanyak 9 kali, San Yang 33
kali, Sa Hyang 17 kali, Sang Nyang 3 kali, Sa Nya 2 kali, dan Sa Hya 1 kali.
Munculnya variasi penyebutan ini tidak dimasukkan dalam kritik teks karena
peneliti menganggap bahwa hal ini adalah variasi pengucapan penulis naskah PT.
Namun, penjelasan mengenai kata yang sebenarnya ada dalam teks naskah akan
tetap dicantumkan dalam suntinagn teks agar pembaca dapat mengetahui isi teks
PT yang sebenarnya. Berdasarkan hal ini, intensitas yang muncul lebih banyak
BAB IV
SUNTINGAN TEKS
signifikan. Penggunaan aksara ini kerap kali dipengaruhi oleh zaman yang
berlaku. Pada saat ini, aksara yang berkembang di masyarakat merupakan aksara
yang dapat dipahami secara jelas baik bentuk maupun maknanya. Adanya aksara
pada zaman dahulu yang tidak dipahami di masa sekarang terutama dalam
pernaskahan Nusantara merupakan salah satu problem bagi pembaca naskah pada
Teks naskah dianggap memiliki nilai guna yang lebih apabila dapat dibaca
dan dipahami oleh berbagai kalangan. Oleh karena itu, untuk mengatasi kendala
menurut Baried (1985: 63) adalah penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari
abjad satu ke abjad lainnya. Hasil transliterasi suatu teks naskah dapat dikatakan
belum sempurna karena kadang kala naskah merupakan teks salinan. Teks salinan
merupakan teks hasil menyalin, memindah, atau menulis kembali dari teks induk.
ini mempunyai berbagai alasan salah satunya karena penyesuaian zaman. Adanya
berbagai bentuk salinan ini diperlukan tahap penyuntingan teks agar terbebas dari
69
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
transposisi,
70
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
71
ditografi, dan gabungan. Suntingan teks ini juga dimaksudkan untuk mengurangi
adanya ketidakajegan penulisan atau penyalinan baik berupa kata, frasa, klausa,
Metode edisi kritik atau standar adalah metode yang menerbitkan satu naskah
(Baried, 1985: 68). Metode ini dipilih karena naskah PT merupakan naskah
dengan penulisan carakan yang terdapat dalam teks PT, seperti pada tabel-
tabel berikut.
Wa
La
Pa
Dha
Ja
Ya
Nya
Ma
Ga
Ba
Tha
Nga
Latin dengan angka Arab. (a) untuk rekto (halaman depan) dan (b) untuk
kritik pada kata yang mengalami kesalahan dan dijelaskan pada catatan
kaki.
4. Penggunaan konsonan rangkap, seperti /h/, /n/, /t/, dan lain-lain tidak
penulis naskah.
dalam pembuka teks awal naskah PT, tetapi hal ini tidak bersifat secara
kalimat.
6. Tanda petik dua (“...”) yang terletak di antara teks tidak memiliki fungsi
tempat tanda petik juga muncul dengan hanya berjumlah 1 petik saja (”).
8. Tanda [...] digunakan untuk menandai kalimat yang dicoret oleh penulis
padi/jagung.
11. Tanda # digunakan untuk menandai adanya simbol yang muncul seperti
variasi aksara ya, tetapi tidak dapat didefinisikan karena tidak selaras
13. Terdapat simbol yang tidak bisa peneliti artikan. Peneliti mengalami
(1a) // pukulun pukulun auma prana prameya annêmbah 1 anangan kalih anak tan
bêthara sasatt angusapp ira rabi rinna ngucarrana ring padhadha2 jajani paduka
1
Dalam teks tertulis: annêbah
bathara suci nami Siwa ya ring wênnanngngan ning anak tan nak bathara
asalah palungguhan 3 sisiku (1b) susu sang carik saka daga sangka uluyan mata
angkara4 tan adenni pepelika kabêbêdda denni tarulata gulma jaga mayan manta
akesi nganna deni paksi mibêr kasigita denne walang ngunnar tampa manggihêna
guna cipta wikara samantara kewuh sira sang luma kang (.) tu salah arta pawitrana
(2a) mahotaman nira paduka bathara suci nama Siwa ya pukulun// ngesir jagat sri
purrusa purusi sarira sarini batên sarira sarini lêpassêna agnyana wisesa supapêr
lêpas pukulun// auma apra aprameya anêmbah6 a(2b)nangan kalih anak tan nak na
bathara sasatt angusap ira rabi rinna7 ngucarrana pado jajanni paduka bathara
nata mahotaman nira Sang Hyang8 dewata kalikaron sangka sabut sangka riwana
(3a) tiba tiba pucak ira Sang Hyang ngarga kelah matrahan Sang Hyang giri
kêlanna pinulcikan ron ning kusaraga tinêgêkan sêkar rura sinnaren sarwakusuma
linna pakan ron ni kuda liwarna timna ring maapadma sulah ri pratiwi batur
2
Dalam teks tertulis: padado
3
Dalam teks tertulis: paruguhhan
4
Dalam teks tertulis: angkaram
5
Dalam teks tertulis: marudra
6
Dalam teks tertulis: anêmabah
7
Dalam teks tertulis: renna
8
Dalam teks tertulis: San Yang
patapan kalêrêkên dennira Sang Hyang naga nadyan sampun 9 karaka (.) denni
brama (3b) Wisnu kasuluhan denni raditya wulan lintang10 tarangganna kaabêt
denni pawaraman bima ngambara kaaras denni catur para manudyan sampun 11
sukla biniseka Sang Hyang pusapa kaki siniramm ing tirta nirmala angabêt
wanginni dupa titise (.) bun pinaka wong arcamanah ring ngulah ring ngaholaken
drawya12
(4a) tan kuda la suwungan nira Sang Hyang dewata kalpika umadêppa gansaponni
paduka bathara suci nama Siwa ya tumuta gumawang [ring yen nari kang sabakar
madahinê manah gagang] denne13 ring kang sabakar dya ayu summiram14
urip16 pagêha kang sapta suurga umadêlla ta kang nawa dewa pihuwuna kahuwa
kanni kang purwa duksina pacima utara madya genneya nariti byabya harsanya
burbuwah17 ingkang sapta patala naga naga na ditya dana wa rasaksa raksaksi ana
(5a) madistapa manomm arga panga paksi matranni jumi pepelika kekelika sami
ing ngadêlan denni tutur jati denne saktining hulujanne nneng paduka bathara suci
nama Siwa ya muwah ingkang sapta rêsa (.) radite sumagara buda rêsa gati sukra
9
Dalam teks tertulis: samapun
10
Dalam teks tertulis: litang
11
Dalam teks tertulis: samapun
12
Dalam teks tertulis: draya
13
Dalam teks tertulis: denna
14
Dalam teks tertulis: summira
15
Dalam teks tertulis: sing
16
Dalam teks tertulis: orip
17
Dalam teks tertulis: buburwah
sani lara sumahu maring warta dewa kapidosanning paduka bathara suci nama
si(5b)wa pamuwah ing kang watêk babik sun arada kapilake umracuk undat trisna
widu tripurusa18 marang19 sapta rêsa (.) gaga widadara widadari muwah ingkang
watêk garwa20 sumahu maring warta dewa kapidosanni paduka bathara suci nama
Siwa ya muwah ingkang watêk babik sun narada kapilake umucuk undat
(6a) trisna widu trikurus tripurusa marang21 sapta rêsa (.) gaga widadara widadari
muwah ingkang watêk garwa sumahu maring warta22 dewa kadosanni paduka
bathara suci nama Siwa ya// sumahu lingasdaan nira sowang sowang sapêt tanya
kalpika25 sumiram mratani paduka batha(6b)ra suci nama Siwa ya mangke paduka
bathara tumurun saking dalêm paomahan26 nitihi padma tarana” angêmbanna japa
kalawan matra anurunna aji wisesa atigala tirta lêmar angrattakkênna Yang padi
pabudêrran kang nusa jawa niwah Sang Hyang baturra dika buduttan saktia nni
(7a) dassa nni Durga ayu sang prabu wiraja nagara awetta nitihi singangsana” 27
kastranna29 denni bujaga sewa sugata rêsa (.) aji bumi sama patuttanne kang prabu
18
Dalam teks tertulis: pupurusa
19
Dalam teks tertulis: mrang
20
Dalam teks tertulis: gawa
21
Dalam teks tertulis: mrang
22
Dalam teks tertulis: wrata
23
Dalam teks tertulis: ma
24
Dalam teks tertulis: Sang Nyang
25
Dalam teks tertulis: kalapika
26
Dalam teks tertulis: paomanan
27
Dalam teks tertulis: singasonna
28
Dalam teks tertulis: tinakil
29
Dalam teks tertulis: kastrannana
tiga rama rêsa (.) dadianni tahun ladunnga nning warsa dadiani sarwa tinandur
(7b) pala bukah pala wija pala wiji pala gatung salire 30 pala kanginan murah
asarwa tinumbas31 sarwa tinadah tan anna larang32 tan ana33 murah asomah
warrêga mangngadohênna34 kang satru musuh sasra bra gella maling ngaweh
(8a) lamur minggat 36 mulih maring taya tan adoh para kali sa(.)ngaraha ikat
ajujuga pinnaku denni manusanni anak tan nak bathara pukulun// lê// titipa Lawu
agung//#37// garit racik sinuryya padasa munni derangêma sitrana tarulata sangka
sampar sangka riwêd sangka paca(8b)k sangka sarapad sangka duk ring tingal
sangka cakra ring ngulat sangka sodan ning ngakasa ring prêtiwi simuno den ta
ngêmasi dewata paraga pamulih sukma jatmika (@)38 buh cari buh ya nama Siwa
(9a) tan magugud nama Siwa a// lê// pukulun auma prana prameya anêmbah40
anangan41 kalih anak tan nanak bathara sasatt angusap ira rabi 42 rinna43
30
Dalam teks tertulis: salira
31
Dalam teks tertulis: tinubas
32
Dalam teks tertulis: langrang
33
Dalam teks tertulis: na
34
Dalam teks tertulis: mangngandohênna
35
Dalam teks tertulis: bramma
36
Dalam teks tertulis: migat
37
Terdapat simbol yang tidak dapat didefinisikan
38
Terdapat simbol tanaman padi/jagung
39
Dalam teks tertulis: batana
40
Dalam teks tertulis: anêbah
41
Dalam teks tertulis: nêngngên
42
Dalam teks tertulis: rabe
43
Dalam teks tertulis: renna
wênnangngan ning anak tan nanak bathara ana pan ana kêrtta nugraha(9b)nne
paduka bathara tan kabête tulah sari kaluputta ring ngila-ila dên dahupa drawa44
unniweh kapêtha siyung ira bathara kala kabêbêdda wikunnira Sang Hyang 45
nagar kuta leya dennira Sang Hyang46 gana uweh labetan suwing ngaututan
rogo llailat
(10a) tan kêrêdda ulon tan kêdêk kairung47 tan tu bungnga mata tan wutaha
kuping48 tan tuliya rabut tan rutuwa bahu tan mikusa (.) jariji tan kithing ngasuku
tan lupuwa ati tan bungêngnga bayu tan sudda kahhanan paca suda hagan pana
krêta nugrahane49 (10b) paduka bathara suci nama Siwa ya pukulun// kaasuwunna
ring adi wuwunan kaêbanna ujana wisesa kêtalenna sutagi mannik sidik kêna
matra kapido bayu pangusap50 agêmi ron51 saka mahotaman52 nira paduka bathara
(11a) nne musthi kacorah kara bbanna denne sawang latêk latu kang nabett ing
carma busana roma salaba lulunne sarira sirat temuwun tuwine salah arta
pawitranna denne lawu sangka rri utaman nira paduka bathara suci nama Siwa ya
pukulun// auma prana prameya nêmbah54 anangan55 (11b) // pukulun auma prana
44
Dalam teks tertulis: drarwa
45
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
46
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
47
Dalam teks tertulis: kaerung
48
Dalam teks tertulis: koping
49
Dalam teks tertulis: nugrane
50
Dalam teks tertulis: pusap
51
Dalam teks tertulis: run
52
Dalam teks tertulis: mahotaman
53
Dalam teks tertulis: susuci
54
Dalam teks tertulis: nêbah
55
Dalam teks tertulis: nêngên
prameya nêmbah56 anangan57 kalih anak tan nanak bathara sasatt angusap ira
rabi58 rinna59 ngucarrana ring padu jajane paduka bathara suci nama Siwa ya ri
wênnang ngan ning anak tan nanak bathara angaturrêna sarênni sukma diraka yan
kacucuk kade
(12a) kalih anak tan bathara sumurudda galang layun nira Sang Hyang 60 dewata
tan polah rakna muliya suwarga wisesa pukulun sabatahê nama Siwa ya// pukulun
auma prana prameya nêmbah61 anangan62 kalih anak tan bathara naga pana kêrta
nugrahane paduka bathara den sama(.)n sanada (12b) sadaya 63 angastutti ning
putu buyut paduka bathara suci nama Siwa ya pukulun// pukulun angaturrakên
mangalangan sangkênna ring puja batên bathari pertiwi bêthari nipêni bathari
(13a) wisesa unniweh Sang Hyang66 dewata batur sami kalerrena sêmbah67 para
camanah ngenne babu darma parripuja wotên68 Sang Hyang69 sukma diraka
56
Dalam teks tertulis: nêbah
57
Dalam teks tertulis: nêngên
58
Dalam teks tertulis: rabe
59
Dalam teks tertulis: renna
60
Dalam teks tertulis: sa hyang
61
Dalam teks tertulis: nêbah
62
Dalam teks tertulis: nêngên
63
Dalam teks tertulis: sasadya
64
Dalam teks tertulis: sêbah
65
Dalam teks tertulis: sakêh
66
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
67
Dalam teks tertulis: sêbah
Wotên yang dimaksud adalah wontên „ada‟. Kata ini tidak dikritik karena dianggap sebagai
68
manggihena70 cipta wikara samantara71 kewuh sira sang lumêka (.) tu usalah
ar(13b)ta72 kapawitranna denne lawu sangka rri utaman nira paduka bêthara suci
nama siwa a// pukulun// kayata susun bathara guru sangking73 palah pada yang
kêbayan sang muguh ring langga tan sinadokkên denning bangun raja sokur
(15a) // pukulun muwah sira muguh ring arga tan pêgawan78 kaki ayi kumala kaki
ayi itên kaki pêkik kaki ayi wuruju kaki samarata kaki 79 togul wolung kaki ayi
bathara raden Sang Hyang80 gana pati pêgawan rêsa (.) ti pêgawan dêrmesthi guru
Sang Hyang81 mula carita sira sang82 lumalang sang la(15b)ku sang mangngite
sang ngipet sang manginget sang mangiton Sang Hyang 83 ngasihe prana Sang
Hyang84 rêcipta dewa Sang Hyang85 ngadi pamriyan Sang Hyang86 ngadi guru
wisesa Sang Hyang87 butul patala Sang Hyang88 tata89 boga Sang Hyang90
70
Dalam teks tertulis: manggihuna
71
Dalam teks tertulis: samatara
72
Dalam teks tertulis: artata
73
Dalam teks tertulis: sangnging
74
Dalam teks tertulis: diwêngga
75
Dalam teks tertulis: pêkolun
76
Dalam teks tertulis: pido
77
Halaman tidak ditulisi/kosong
78
Dalam teks tertulis: pangawan
79
Dalam teks tertulis: kakaki
80
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
81
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
82
Dalam teks tertulis: sa
83
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
84
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
85
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
86
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
87
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
88
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
89
Dalam teks tertulis: ngata
90
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
ngatalaga sang gumantung91 tanpa wilayutan muwah pêgawan citra gatra kaki
pêgawan
(16a) panyarikkan kaki pêgawan samatara kaki pêgawan besa warna bêthari
saluputte sari jumênêngnga sukma purusa purusa93 sarira sarinne buktikêm hong
caksuh sarira sarinne batên (16b) sarira sarinni lêpas anglêpasna agnyana wisesa
supapêr lêpas hong hong parama sunya ya nama Si(.)wa94 a// ngêrti panglawu
jatmika// pukulun Sang Hyang95 ngadi pamrayan Sang Hyang ngadi guru wisesa
Sang Hyang96 tata boga Sang Hyang97 ngatalaga sung gumantung98 Sang Hyang99
(17a) wilayutan muwah sira sang muguh ring purwa duksi(.)nna101 pacima hutara
madya giniya nariti byabya102 rêsa (.) nyang madya sami kasatya ya wotên Sang
akirang tasik kaduka tana (.) ibuh105 kara banna denne sawang latêk latu
ka(17b)lêbêtt ing carma ruma salaba lulunni sarira sira tteng amuwus tuwin salah
arta kapawitranna denne lawu sangka ri utaman nira paduka bathara suci nama
91
Dalam teks tertulis: gumatung
92
Dalam teks tertulis: diwêgga
93
Dalam teks tertulis: pursa-pursa
94
Dalam teks tertulis: sawa
95
Dalam teks tertulis: San Yang
96
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
97
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
98
Dalam teks tertulis: gumutu
99
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
100
Dalam teks tertulis: gutung
101
Dalam teks tertulis: dukanna
102
Dalam teks tertulis: brobro
103
Dalam teks tertulis: San Yang
104
Dalam teks tertulis: sanadokkakên
105
Dalam teks tertulis: aingibuh
Siwa ya den sampun106 katusuka pawitra ing idêp107 têlas kang pari bukti sukma
lan jatmika prathistha prathisthêmas ti jalma muktinêm pralina 108 jati pamu
(18a) pamuktinêm bujanêm sarwa dewa ya nama Si(.)wa 109 ya //ngêrti pênglawu
pêgajar// pukulun paduka bêthara raja lasmi paduka bêthari gri paduka bathari
uma dewi paduka bathara sranggênni paduka bêthari nnipênni paduka bathari
nukuli paduka bathari sukawiratti paduka bathari pradana wisesa paduka bathari
nungkurrat (18b) paduka bathari jatmika paduka bathari ayu tanpa ayas paduka
bathari sun paduka bathari satmata sami kastuti ya wotên Sang Hyang 110 sukma
diraka katurra suka pawitra ing ngidêp têlas kang pari bukti sukma lawan jatmika
hong prathistha prathisthêman ti jalma muktinêm pralina jati wastu purusa (.)
buktikêm
(19a) ing ngibu// pukulun para watêk binagawan kaki pêgawan 111 kaki samantara
kaki bathara lumalang kaki braja bungsami kastuti ya wotên Sang Hyang 112
sukma diraka katurra suka pawitra pukulun saking113 atappan// pukulun Sang
Hyang114 suwara satti Sang Hyang115 catur muksika sami kastuti ya wotên Sang
Hyang116 (19b) sukma diraka katurra suka pawitra pukulun santi dêngngên//
pukulun sira sang muguh ring prayayen kaki117 ayi nini ayi mênyang118 ngasmara
106
Dalam teks tertulis: samapun
107
Dalam teks tertulis: ithêp
108
Dalam teks tertulis: pralinang
109
Dalam teks tertulis: sapa
110
Dalam teks tertulis: San Yang
111
Dalam teks tertulis: pagawan pangawan
112
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
113
Dalam teks tertulis: sating
114
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
115
Dalam teks tertulis: San Yang
116
Dalam teks tertulis: San Yang
117
Dalam teks tertulis: kani
mukya sarri Sang Hyang120 mraja ki maraja muwah buta maca desa rêka(.)k rêrêk
(20a) nggadêrwo// pukulan muwah sang tugu 121 babahan nira122 Sang Hyang123
Mahameru kang miring mêngngetan saguna 124 pati pangastan nira tunna pajang
sami mukti ya sari sawa dubalan125 nira pukulun// muwah sang tugu
nagasthi pangngastan nira ring padang sami 129 mukti ya sarri sawa dubala
ni(20b)ra pukulun130 muwah sang tugu babahan131 nira Sang Hyang132 Mahameru
sami133 mukti ya sari sawa dubalan nira pukulun134 muwah135 sang tugu babahan
nira Sang Hang136 Mahameru kang miring137 mangngalor pênniti gorri pangastan
118
Dalam teks tertulis: yang
119
Dalam teks tertulis: yang
120
Dalam teks tertulis: San Yang
121
Dalam teks tertulis: satugu
122
Dalam teks tertulis: nara
123
Dalam teks tertulis: San Yang
124
Dalam teks tertulis: sagana
125
Dalam teks tertulis: duban
126
Dalam teks tertulis: babannira
127
Dalam teks tertulis: San Yang
128
Dalam teks tertulis: mahmeru
129
Dalam teks tertulis: sasami
130
Dalam teks tertulis: pukolun
131
Dalam teks tertulis: baban
132
Dalam teks tertulis: San Yang
133
Dalam teks tertulis: mami
134
Dalam teks tertulis: pukolun
135
Dalam teks tertulis: mawah
136
Dalam teks tertulis: San Yang
137
Dalam teks tertulis: kamih ring
Hyang142 Mahameru kang mireng madya kaki puduttan nini puduttan kaki pêkik
nini pêkik kaki mêngikih nini mêngikih kaki mangiton nini mangngiton kaki
mangngingêt nini mangngingêt pada mukti ya sarri sawa dubalan nira pukulun//
muwah sang tu(21b)gu babahan nira Sang Hyang 143 Mahameru kang miring
mangedul ring ranu bawa ki rabut galidig ki lêbuwok ki tunnon ki rabut butit ki
sêkar gadung pada amukti ya sari sawa dubalan nira muwah sawa dubalan nira
(22a) lêtre ni tereh ni siti darran ni mita nini bamita nini saruwok ni dêling sêkar
gadung ni kekejek ni dani ni sudanêm ni wati nini sarri nini rêbu nnini madubrata
ni ratna sari sami mutiya sari sawa dubalan nira pukulun// muwah sang tugu
babahan nira Sang Hyang144 Mahameru kang miring jaba ki lêgawong ki tuban
jaya ki badar pada amutiya sari sawa dubalannira pukulun // lê// muwah Sang
Hyang145 dewata batur bagawan caci wuri nni sagar kaki suwarna ring palayon
sang buta kali mucis sêla nni sagar raja lasmi dewata nning ngumah ya
ngassêmmara
138
Dalam teks tertulis: sasawa
139
Dalam teks tertulis: pakolun
140
Dalam teks tertulis: mawah
141
Dalam teks tertulis: babannira
142
Dalam teks tertulis: San Yang
143
Dalam teks tertulis: San Yang
144
Dalam teks tertulis: San Yang
145
Dalam teks tertulis: San Yang
(23a) ya ngasmari dewata nni paturon Sang Hyang146 syawarasati dewata nni
pamutakkan srir mandêl dewata nni tobong tambuh mênêng passêkuk lan paduka
bêthari tanpa sereng dewata nni pomahhan buta matugu dewata nni pagêr kaki
pingin nini pingngin dewata nni padadan pulung rodon (23b) dongngan pulung
kêbang pakêbang burngan sang buta sewu ring pasapon jagat nata ring latar
lilawarr ana ring lolorung kaki kudama ni kudali dewata nni pakacahan sri
manukma147 dewata nni pawuhhan dara kaya ring pawukalan sada kaya ring
pakayon sada jaya ring kêkadang buta ijo ring pabanyon buta marus ring
(24a) padassan dura kala ring babahanna gamalang ngudag gudag Sang Hyang 148
kêrti sang kara dewata nning bajarran sri bungah kala gadi yo dewata nning adong
Sang Hyang149 ngasmara ngudara dewata nni kêmbang Sang Hyang selama reka
dewatanni parrigin// muwah ki tulak tagul tudung musah ki kala samua ki balaba
ki bamita (24b) ki kala ngadang ki kala sunya muwah kang muguh ring panatarran
jêmbar sangka riwêd sangka la pipit sangka la ejejer150 sami amukti ya sari
muwah ki kala samua ing têngahi pênnataran151 jêmbar152 muwah ki buta balatên
ki buta bali ki buta rong ki buta siwah sang jêmbar riti sang dadung awuk kaki
146
Dalam teks tertulis: San Yang
147
Dalam teks tertulis: manumak
148
Dalam teks tertulis: San Yang
149
Dalam teks tertulis: San Yang
150
Dalam teks tertulis: ejerjer
151
Dalam teks tertulis: pênnatar
152
Dalam teks tertulis: jênbar
(25a) sang rara wudu amukti ya sari muwah sang muguh ring ganaga dennira 153
muwah sang muguh154 ring watu agung lêmah mêdêk ucur ucur simpangngan
ning awaton totogga ning uwot kayu agung oyod agung muwah sang muguh ring
pidikkan muwah sira manawi ana babaru saking sanak batur saking gunung ngalit
(25b) saking gunung ngamor muwah sang buta lumaku mako isun tan wêruh
dennira155 pada maba ring panatarran jêmbar sang wuta tuntunên156 sang tuli
(26a) bacann adohenna satru musuh dustha durjanna lara roga atigalla tirta lêmar
angrêtakkênna tri prêngtapan maka diraja sang kari ya pukulun sangka candra160
sangka tedih ibuh aja nêmmu sika namasya alarut pada nning awan ngêrti sakti161
dukun (^)162// wantu tan pawastu sira (26b) sang langlang buwanna rahhina
kalawan wêngi muwah sira pêgawan163 citra gutra bagawan panyarikan bagawan
aganthi bagawan agênni kang putra bagawan namong ra resi ra bathara lumalang
muwah sira bagawan narrada sira sangka sêdah aja kêkayopan mênna wotên
mannasa
153
Dalam teks tertulis: dannira
154
Dalam teks tertulis: muhuh
155
Dalam teks tertulis: dannira
156
Dalam teks tertulis: tutunên
157
Dalam teks tertulis: lompuh
158
Dalam teks tertulis: gedongên
159
Dalam teks tertulis: karripahnnana
160
Dalam teks tertulis: cadra
161
Dalam teks tertulis: sati
162
Terdapat simbol hati
163
Dalam teks tertulis: pagawan
(27a) bêbaru sisiku sungsu sangsa rik sabda kaduk kaliwat saka daga sangka ulu
mêna mêdêk mêdêk ing apêtêngaa miyak pagêr arang angalangkahi 164 pager adap
amisesa duwe ning aduwe larangnganni larangan punnika pukulun sapu pinugêl
(27b) pinarigêl linuwarran saking balabagan saking pamugêrran den woli waluya
jati sabda kang kakayop Hyang kang ngayopa jati rupa purusa165 macadra hong
anêrrtah anêretih aheng aheng ahong ahong pralena pralengga waluh gumulung
sagugung ngetasnana
(28a) lêbak tan nana mêdokul tan jurang tan nana gunung ra resi 166 ling adêg
bukah eng ati nirlêngis tanpa wêkas mangkon ta ingsun angangayopa sama(.)n
denne beda sanu kêrta167 sina matara angadêg lakonni lakon apan pun (28b)
angaturi dêda kêkayopa(.)n // hong awang ngawang nguwung nguwung tan 168
nana rat buwana buta dêngngên cadi kabuttan tan nana pati aran samana ulun
tunggal samana angadêg ngawiyatte tan nana kabeh tan duga ara kupur satara
(29a) hong tirta jati tumiba ratna jati ta lotuha gêlêh gêlêhi ilang kang dura kala
kari ya kang tur jati kadêlla dewamurti ngebuh ana bayu kayuhanan pasêk pagêh
Sang Hyang169 ngurip hong tirta pawitra ya nama 170 Siwa atipa pakayopan//
pukulun (29b) silanni ngulun171 sêmbahe ngulun idêppi ngulun tingalle ngulun
abêkke ngulun polahe ngulun kawruh anna dennira Sang Hyang 172 tetutur mengêt
164
Dalam teks tertulis: angalakahi
165
Dalam teks tertulis: pursa
166
Dalam teks tertulis: reci
167
Dalam teks tertulis: kêrtna
168
Dalam teks tertulis: tan tan
169
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
170
Dalam teks tertulis: namas
171
Dalam teks tertulis: bulun
172
Dalam teks tertulis: Sang Yang
(30a) salah idêp salah agnyana salah kamurahan176 dennira Sang Hyang177 tutur
mengngêt pukulun// pukulun pukulun sila nni ngulun sêmbahi ngulun tingale
ngulun idêppe ngulun agnyananne ngulun kawruh ana dennira Sang Hyang178
sabda bayu idêp apan Sang Hyang179 sabda bayu idêp (30b) anêmbah180 angastuti
maring ngawak sariranne ngulun sabda salah polah salah abêk salah tingal salah
idêp salah agnyana salah kapuraha dennira Sang Hyang 181 sabda bayu idêp
pukulun
(31a) // pukulun pukulun silanni ngulun sêmbah ing nglun tingal ing ngulun
kawruh182 ana dennira Sang Hyang183 jati wasesa apan184 Sang Hyang185 pramana
jati wisesa kang sun astuti186 Sang Hyang187 pramana jati wisesa anêmbah
angastuti maring awak sêrirane ngulun sabda salah polah salah (31b) abêk salah
tingal salah idêp salah agnyana salah kapurraha dennira Sang Hyang 188 pramana
jati wisesa pukulun// pukulun pukulun silanni ngulun sêmbah189 ngulun tingale
173
Dalam teks tertulis: mapan
174
Dalam teks tertulis: San Ya
175
Dalam teks tertulis: tulun
176
Dalam teks tertulis: kamuraha
177
Dalam teks tertulis: San Yang
178
Dalam teks tertulis: San Yang
179
Dalam teks tertulis: Sabyang
180
Dalam teks tertulis: anêbah
181
Dalam teks tertulis: San Yang
182
Dalam teks tertulis: kawrah
183
Dalam teks tertulis: San Yang
184
Dalam teks tertulis: apa
185
Dalam teks tertulis: San Yang
186
Dalam teks tertulis: nastuti
187
Dalam teks tertulis: San Yang
188
Dalam teks tertulis: San Yang
189
Dalam teks tertulis: sêbah
ngulun sabdanni ngulun abêkke ngulun idêpi190 ing ngulun tingal ing ngulun
agnyananne ngulun
(32a) kawruh191 ana dennira Sang Hyang192 manon apan Sang Hyang193 manon
kang sun sêmbah194 sun astuti195 Sang Hyang196 manon anêmbah197 angastuti
maring ngawak sêrrira nning ngulun sabda salah polah salah abêk salah tingal
salah idêp salah agnyana salah kapuraha dennira Sang Hyang 198 manon pukulun
(32b) // pukulun pukulun silani ngulun sêmbah ing ngulun sabdanni ngulun tingal
ing ngulun idêp199 ing ngulun agnyananni ngulun kawruh ana dennira Sang
Hyang200 bathara sang wong apan Sang Hyang201 bêthara sang wong ing sun
(33a) angastuti maring ngawak sêrriranne ngulun sabda salah polah salah abêk
salah tingal salah idêp salah agnya salah kapuraha dennira Sang Hyang204 bêthara
sang wong pukulun// pukulun pukulun silanni ngulun sêmbahe ngulun sabda
ngulun (33b) abêkke ngulun tingall ing ulun agnyana nning ulun kawruh ana
dennira Sang Hyang205 prammana jati wênnang apan Sang Hyang206 pramana jati
190
Dalam teks tertulis: idêpa
191
Dalam teks tertulis: kawrah
192
Dalam teks tertulis: San Yang
193
Dalam teks tertulis: San Yang
194
Dalam teks tertulis: sêbah
195
Dalam teks tertulis: nastuti
196
Dalam teks tertulis: San Yang
197
Dalam teks tertulis: anêbah
198
Dalam teks tertulis: San Yang
199
Dalam teks tertulis: idêpa
200
Dalam teks tertulis: San Yang
201
Dalam teks tertulis: Sang Nyang
202
Dalam teks tertulis: sêbah
203
Dalam teks tertulis: nastuti
204
Dalam teks tertulis: San Yang
205
Dalam teks tertulis: Sang Nyang
206
Dalam teks tertulis: San Yang
wênnang kang sun sêmbah sun astuti207 Sang Hyang208 pramana jati wênnang
anêmbah209 angastuti maring ngawak sarira nning ulun sabda salah polah salah
(34a) abêk salah tingal salah idêp salah agnyana 210 salah kapuraha dennira Sang
Hyang211 pramana jati wênnang pukulun// pukulun pukulun sila nning ulun
sêmbah ingng ulun sabda ngulun abêkk eng ulun tingal ingng ulun idêp (.) ing
ulun agnyana nning ulun ka(34b)wruh212 ana dennira Sang Hyang213 pramana214
sukma dewa hênning apan Sang Hyang215 sukma dewa hênning kang sun sêmbah
sun astuti216 Sang Hyang217 sukma dewa hênning anêmbah angastuti maring
ngawak sêrrira nning ngulun sabda salah polah salah abêk salah idêp salah tingal
(35a) Sang Hyang218 sukma dewa hênning pukulun// Sang Hyang219 sukma dewa
hênning muliya maring Sang Hyang220 jati pralina Sang Hyang221 jati pralina
muliya maring cabar tiwas cabar tiwas muliya maring Siwa222 êdohênna sajaba
nning langit gêmping ulun masa laba tinugêl patak pêssagi kagêrusa (.) dennira
Sang Hyang223 ata (35b) wisesa muksa kang ngastuti pukulun// lê// // bapa
207
Dalam teks tertulis: nastuti
208
Dalam teks tertulis: San Yang
209
Dalam teks tertulis: anêbah
210
Dalam teks tertulis: agnyangna
211
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
212
Dalam teks tertulis: kawrah
213
Dalam teks tertulis: Sa Nya
214
Dalam teks tertulis: praman
215
Dalam teks tertulis: San Yang
216
Dalam teks tertulis: nastuti
217
Dalam teks tertulis: Sang Yang
218
Dalam teks tertulis: San Yang
219
Dalam teks tertulis: San Yang
220
Dalam teks tertulis: San Yang
221
Dalam teks tertulis: San Yang
222
Dalam teks tertulis: kiwa
223
Dalam teks tertulis: Sa Hya
manning nirmala babu maning nirmala muwah sira dewata kabeh muwah sira
dewata224 batur muwah sira bathara guru muwah kaki pêgawan citra nini
(36a) Sang227 Hyang nata wisesa ring rahinna tanpa tuduhan tanpa wilangan tanpa
lampit tanpa cara olihêna olih ira Sang 228 Hyang darma tan kamrahan dennira
sang kinayoppan tan kênna ring dina nnira Sang Hyang 229 darma tan kênna ring
baya kewuhh pukulun//(...)230 (36b) Sang Hyang231 upapêl ana sira kenne lah
(...)232 wêhasseti gasah mursah ilang ananne malapataka lararo gadêdaha padawa
rumakêtta sira sang kakayop lawan sang kiayoppan punah tatas huta kakayoppan
prasida ayu
dêdamalanni pun kajênêngng anna kaki pêgawan astiti jatmika parama suci
muhênning parama suciman nini mala sata baya nama sa(.) pamakarana nama233
paduka bêthara pukulun pun pudut pun baru pare wara angaturi kakayopan
224
Dalam teks tertulis: dawata
225
Dalam teks tertulis: pagawan
226
Dalam teks tertulis: pênyari
227
Dalam teks tertulis: sa
228
Dalam teks tertulis: sa
229
Dalam teks tertulis: San Yang
230
Teks korup/hilang
231
Dalam teks tertulis: Sa Nya
232
Teks korup/hilang
233
Dalam teks tertulis: namas
234
Dalam teks tertulis: jamika
BAB V
TERJEMAHAN
pemahaman seseorang dengan orang lain dengan syarat masih dalam satu
menjadi tidak lagi dapat dimengerti secara spesifik apabila tidak dapat dipahami
antara satu dengan lainnya. Pemahaman mengenai bahasa ini menjadi masalah
banyak naskah yang memakai bahasa zaman dahulu (kuno) yang ternyata tidak
serta merta digunakan di masa sekarang sehingga tidak mudah dipahami dan
menjadi tidak menarik lagi. Persoalan ini dapat diatasi salah satunya dengan
menerjemahkan naskah agar segala isi dan ide pokok pikiran naskah dapat
Pada dasarnya, tahap penerjemahan naskah bukanlah hal yang paling utama
dalam penelitian filologi. Namun, hal ini dirasa sangat perlu dilakukan untuk
terjemahan merupakan hasil dari usaha pemindahan suatu teks dari bahasa sumber
ke bahasa sasaran. Dalam hal ini, bahasa sumber yang dimaksud adalah bahasa
yang digunakan dalam naskah PT, yaitu bahasa Jawa Kuno dan bahasa sasaran
93
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
94
Proses terjemahan yang dilakukan pada suatu naskah tidak bisa dilakukan
tinggi. Banyak pesan dan kesan naskah sumber yang tidak tersampaikan
adalah model terjemahan setengah bebas. Model ini dipilih agar pembaca dapat
memahami dengan mudah maskud dari bahasa sumber sehingga pesan dan
naskah aslinya, dan tidak terikat berdasarkan kata demi kata, tetapi tetap menjaga
keaslian kandungan teks. Terjemahan kata yang tidak dapat diserap secara
langsung dalam istilah bahasa Indonesia dan atau yang tidak dapat ditemukan
dalam kamus maka dituliskan apa adanya dan diuraikan dalam catatan kaki.
(Lempir 1)
Hamba bersimpuh Auma prana prameya 235 menyembah dengan kedua tangan.
Kamu bukanlah dewa. Usaplah dengan nyata dalam bentuk tubuh perempuan236 di
siang hari. Berkatalah di dalam hatimu “paduka dewa suci nama Siwa”, ialah yang
berhak beranak ataupun tidak beranak. Dewa yang sabar dan baik. Keutamaannya
adalah dewa yang berselubung air yang memakai burat harum. Memandang pada
keberadaannya. Goresan/garis yang tak beraturan dari ujung kaki sampai kepala.
Mata yang tampak tenang, dibalut oleh banyak daun-daunan (sayup), burung yang
menciptakan perubahan. Lalu engkau (hamba) masih merasa sulit menuju sebuah
(Lempir 2)
Engkau yang maha utama, paduka dewa suci nama Siwa ya tuanku. Sri guru raja
yang menguasai bumi, karrana mudra 237 buddha nama Siwa ya tuanku. Ngicak
purrusa purusi sarira sarini batên sarira sarini lêpassêna agnyana wisesa
tangan. Kamu bukanlah dewa. Usaplah dengan nyata dalam bentuk tubuh
perempuan di siang hari. Berkatalah di dalam hatimu “paduka dewa suci nama
235
Kalimat ini digunakan sebagai pembuka ritual persembahan terhadap Dewa Siwa. Dalam
kamus dijelaskan bahwa auma bersinonim dengan kata aum, om, dan ong/hong yang merujuk pada
satu makna, yaitu kata-kata suci yang digunakan sebagai pengantar kata-kata pujian.
236
Kemungkinan perempuan yang dimaksud adalah mengusap “patung” Dewi Durga.
237
Dalam kamus diartikan dengan posisi jari-jari yang khas dengan fungsi dan arti sakral dengan
kemujaraban supranatutal. Dalam arti lain disebutkan sikap jari atau tangan dalam bersemedi pada
agama Buddha.
Siwa”, ialah yang berhak beranak ataupun tidak beranak. Dewa raja yang maha
Utama Sang Hyang Dewata Kalikaron, dari sesuatu yang tertutup, yaitu dari
tumbuh-tumbuhan yang menjalar, yang sedikit demi sedikit belum tentu diketahui
(Lempir 3)
Tiba pada puncaknya Sang Hyang Arga. Sang Hyang Giri berkelana berpercikan
dedaunan. Dalam tubuhnya terdapat bunga yang berhamburan dan segala macam
bunganya bercahaya, tetapi tertutup oleh dedaunan itu. Di atas padma 238
senjatanya berada, di bumi pertapaan hamba berada, Sang Hyang Naga sudah
kerak oleh api. Wisnu diterangi oleh matahari, bulan, bintang-bintang yang
dikelilingi oleh pawaraman bima dan suka mengembara setelah tanggal 15 paro
terang. Ditahbiskan dengan bunga yang harus disiram air nirmala dengan
semerbak wanginya dupa dan tetesan embun serta menghadap ke Sang Hyang
(Lempir 4)
agar tidak kosong. Sang Hyang Dewata Kalpika menghadap paduka dewa suci
nama Siwa yang berkilau dan bersinar untuk memberi kegembiraan dan semangat.
Dya Ayu disiram secara merata, paduka dewa yang menghidupkan dunia, untuk
ketetapan 7 surga, 9 dewa yang terdapat di timur, selatan, barat, utara, tengah,
238
Dalam kamus diartikan dengan bunga teratai dan merupakan rajanya bunga karena dapat hidup
dalam tiga tempat, yaitu tanah, air, dan udara atau sebagai simbol Triloka Stana, Tuhan Yang
Maha Esa.
239
Dalam kamus diartikan dengan pertemuan yang 3, nama Tritunggal, yaitu Brahma, Wisnu,
Siwa
tenggara, barat daya, barat laut, dan timur laut. Bumi yang 7. Ada gergasi,
kemudian raksaksa-raksaksi yang ada di bumi yang suka semak belukar, daun-
daunan.
(Lempir 5)
Gunung Panga, burung kecil yang khas semua di ngadelan. Sedang perkataan
yang benar atau nyata adalah oleh kesaktian kepala paduka dewa suci nama Siwa
yang menjaga. Minggu di laut, Rabu di jalan, dan Jumat menjaga dari penyakit.
Semua diketahui dari berita dewa, sepertinya paduka dewa suci nama Siwa sedang
bidadari berubah berwatak angkuh terhadap berita dewa, sepertinya paduka dewa
suci nama Siwa berubah berwatak babik. Penghormatan hamba, cahaya merah
yang memercikkan
(Lempir 6)
suci nama Siwa. Dan di setiap sesuatu yang mencapai sejauh pertanyaan yang
menyiram secara rata. Paduka dewa suci nama Siwa, nanti paduka dewa turun dari
rumahnya menaiki padma tarana, mengemban japa dan mantra yang menurunkan
240
Dalam kamus diartikan dengan Brahma, Wisnu, Siwa.
aji wisesa241 atigala air lemar242 untuk melihat kejelasan dan kebenaran hyang
padi pabuderran pulau Jawa. Sang Hyang, kesaktian perasaan atau hati hamba
(Lempir 7)
Durga Ayu, sang prabu wiraja nagara naik ke singgasana berpakaian permata. Ada
kegembiraan yang tampak muncul oleh dama triwarga 243 pangangasan kastrana
oleh pujaan hamba dengan jamuan yang menjaga hasil bumi. Prabu Tiga Rama
ikut serta menjaga agar warga tetap dapat menikmati panen musiman. Berkat
pujaan yang dilakukan terhadap Durga maka dapat memberi kesuburan yang serba
ditanam, maka hasilnya subur semua dan dapat dipanen, diantaranya pala bukah,
pala wija, pala wiji, pala gantung, serta pala kanginan yang murah, semuanya
membeli, semuanya menerima, tidak ada harga yang mahal, hanya ada harga
(Lempir 8)
Durga melarikan diri kembali kepada kekosongan yang tidak jauh dari para kali
yang memerintahkan untuk datang kepada anak manusia, bukan anak dewa,
tuanku. Titiplah kegembiraan yang besar. Membuat guratan dengan matahari oleh
sesama orang suci, daun-daunan yang bergerak cepat, dari kesulitan, dari rambu,
dari laluan yang cepat, dari arah pandangan, dari tanda pada pandangan, dari
kemurnian di bumi. Dewata pergi menempuh jiwa yang berbudi luhur. Buh cari
241
Dalam kamus diartikan dengan teks suci yang unggul.
242
Dalam kamus diartikan dengan obat tradisional yang didapatkan dari seorang dukun.
243
Dalam kamus diartikan dengan tiga tujuan dalam kehidupan manusia
buh ya nama Siwa ya dewa Siwa 244. Mengetahui sesuatu yang agung, semuanya
(Lempir 9)
dan tidak dengan pertengkaran. Pukulun auma prana prameya hamba bersimpuh
menyembah dengan kedua tangan. Kamu bukanlah dewa. Usaplah dengan nyata
dalam bentuk tubuh perempuan di siang hari. Berkatalah di dalam hatimu “paduka
dewa suci nama Siwa”, ialah yang berhak beranak ataupun tidak beranak. Dewa
yang memiliki anugerah yang sejahtera. Paduka dewa yang tidak pernah lalai dan
memberi hukuman atau kutukan bagi orang-orang yang melanggar hal-hal yang
dianggap sakral. Dia tidak membiarkan lepas pada sesuatu yang dilarang.
Bersihkanlah wajahmu dengan mengalirkan air agar hilang segala bahaya dan
kembali menjadi orang yang suci. Sang Hyang Nagar membentengi diri dengan
tangkas. Sang Hyang Gana245 memberi luka sumbing, badan yang terbawa
(Lempir 10)
tidak terinjak, mata yang tidak buta, telinga yang tidak tuli, tempat suci yang tidak
rutuwa, bahu yang tidak mikusa, jari-jari yang tidak cacat, kaki yang tidak
lumpuh, hati yang tidak hampa, angin yang tidak kurang, dan tempat yang
suci nama Siwa ya tuanku. Manusia meminta pada yang maha indah berupa
penambahan keindahan yang baik. Intan yang samar-samar nampak nyata, angin
244
Dalam kamus diartikan dengan bumi, tanah, tumbuh berlimpah-limpah berada dan disuburkan
oleh Siwa. Digunakan untuk memuja Siwa agar Siwa tetap memberi keberkahan dan tidak
memberi kesulitan dalam hidup.
245
Dalam kamus diartikan dengan istilah yang digunakan untuk menggambarkan raksasa setengah
dewa.
yang mengusap dengan daun dari engkau yang maha utama paduka dewa suci
(Lempir 11)
Tentu tercurahkan sinar cahaya yang tampak seperti lumpur, percikan api yang
mencambuk kulit yang melekat pada pakaian yang menjadikan badanmu kacau
kegembiraan hanya dari keutamannya, paduka dewa suci nama Siwa ya tuanku.
Auma prana prameya menyembah dengan tangan. Auma prana prameya, hamba
dengan nyata dalam bentuk tubuh perempuan di siang hari. Berkatalah di dalam
hatimu “paduka dewa suci nama Siwa”, ialah yang berhak beranak ataupun tidak
(Lempir 12)
bergerak, permata yang mulia, dan surga yang nyata, tuanku nama Siwa ya. Auma
bukanlah dewa naga. Anugerah yang sejahtera tidak pernah berkurang jika engkau
semua menyembah termasuk cucu-buyut, paduka dewa suci nama Siwa ya tuanku.
mangalangan, yaitu Dewi Pertiwi, Dewi Nipeni, Dewi Nukuli, Dewi Nungkurat,
(Lempir 13)
Sang Hyang Dewata semua yang hadir, hamba menyembah dan menyucikan diri.
Kewajiban hormat pada Sang Hyang Sukma yang kokoh dan suci agar dapat
membuat semua ketenangan. Lalu engkau (hamba) masih merasa sulit menuju
sebuah kegembiraan yang suci. Engkau yang maha utama, paduka dewa suci
nama Siwa ya tuanku. Seperti yang telah tersusun, Bathara Guru dari palah,
tempat istirahat dewa. Seseorang yang tegar yang tunduk pada keberadaan Raja
(Lempir 14)
(Lempir 15)
Tuanku, engkau tetap bertahan di gunung, yaitu pertapa Kaki246 Ayi Kumala,
Kaki Ayi Iten, Kaki Pekik, Kaki Ayi Wuruju, Kaki Samarata, Kaki Togul
Wolung, Kaki Ayi Dewa Raden Sang Hyang Gana Pati, pertapa penjaga, pertapa
dermesthi, Guru Sang Hyang Mula Carita, Sang Lumalang, Sang Laku, Sang
Mangngite, Sang Ngipet, Sang Manginget, Sang Mangiton, Sang Hyang Ngasihe
Prana (jiwa yang penuh cinta), Sang Hyang Rêcipta Dewa, Sang Hyang Ngadi
Pamriyan, Sang Hyang Ngadi Guru Wisesa, Sang Hyang Butul Patala, Sang
Hyang Tata Boga, Sang Hyang Ngatalaga, Sang tempat bergantung. Juga pertapa
(Lempir 16)
246
Dalam kamus diartikan dengan kakek, laki-laki tua yang patut dimuliakan.
Kaki Pertapa Samatara, Kaki Pertapa Besa Warna, Dewi Kapuri Gasara pergi ke
purusa-purusa sarira sarinne buktikêm hong caksuh sarira sarinne batên sarira
sarinni lêpas anglêpasna agnyana wisesa supapêr lêpas hong hong parama sunya
ya nama Siwa ya 247. Mengetahui pembukaan yang sopan santun. Tuanku, Sang
Hyang Ngadi Pamrayan, Sang Hyang Ngadi Guru Wisesa, Sang Hyang Tata Boga
Sang Hyang Butul Patala (dapat menembus alam), sang tempat bergantung.
(Lempir 17)
Juga engkau sang maha tegar yang terdapat di timur, selatan, barat, utara, tengah,
tenggara, dan barat laut semua menjaga dengan setia, ada Sang Hyang Sukma
yang kokoh dan berbudi luhur yang bergerak membuat tumbuh secara melimpah.
Tentu tercurahkan sinar cahaya anak panah yang tampak seperti lumpur, percikan
api yang mencambuk kulit yang melekat pada pakaian yang menjadikan badanmu
kacau balau dan lagi meletakkan tujuan yang menghilangkan dosa, sedang
kegembiraan datang dari keutamannya paduka dewa suci nama Siwa ya tuanku
yang suci dalam pikiran yang pari bukti, jiwa, dan hati yang tinggal sebagai
(Lempir 18)
247
Kata-kata pujian yang digunakan saat melakukan ritual persembahan terhadap Dewa Siwa.
Semuanya tergantung pada keputusan Dewa Siwa, yang mengerti dengan baik dan
maha tahu. Tuanku, Dewa Raja Lasmi, Paduka Dewi Gri, Paduka Dewi Uma
Dewi, Paduka Dewa Sranggeni, Paduka Dewi Nipeni, Paduka Dewi Nukuli,
Paduka Dewi Sukawirati, Paduka Dewi Pradana Wisesa, Paduka Dewi Nungkurat,
Paduka Dewi Jatmika, Paduka Dewi Ayu tanpa hiasan, Paduka Dewi Sun, Paduka
Dewi yang tinggi semua memuji pada Sang Hyang Sukma yang kokoh,
dipersembahkan kebahagiaan yang suci di dalam pikiran yang gembira dalam jiwa
dan hati. Hong (Tuhan Yang Maha Kuasa) turun berinkarnasi menjadi manusia
(Lempir 19)
Tuanku, para golongan orang suci, kaki pertapa, Kaki Samantara, Kaki Dewa
Lumalang, Kaki Braja yang semua memuji pada Sang Hyang Sukma yang kokoh,
Sati, Sang Hyang Catur Muksi yang semua memuji pada Sang Hyang Sukma
yang kokoh, dipersembahkan kegembiraan yang suci, ketenangan tempat suci ini.
Hambamu yang teguh pada niat. Kaki Ayi, Nini248 Ayi pergi ke ngasmara-
keindahan Sang Hyang Maha Raja. Ki Maha Raja melihat apa yang ada atau
(Lempir 20)
248
Dalam kamus diartikan dengan nenek, perempuan tua yang patut dimuliakan
Tuanku, sang tonggak gerbang, Sang Hyang Mahameru yang miring ke timur,
kemuliaan raja, sembahnya, cahaya yang semua mulia dan indah. Tuanku, sang
makanan, sembahnya pada pemberi makanan yang semua mulia dan indah.
Tuanku sang tonggak gerbangnya, Sang Hyang Mahameru yang miring ke barat
dari permukaannya, sembahnya pada pangapan semua mulia dan indah. Tuanku,
sang tonggak gerbang Sang Hyang Mahameru yang miring ke utara, peniti gori249,
(Lempir 21)
Tuanku, sang tonggak gerbang Sang Hyang Mahameru yang miring ke tengah,
Kaki Puduttan, Nini Pudutan, Kaki Pekik, Nini Pekik, Kaki Mengikih, Nini
semua mulia dan indah. Sang tonggak gerbang, Sang Hyang Mahameru yang
Rabut Butit, Ki Sekar Gadung, Semua Mulia Dan Indah. Nini Lor, Nini Kedul, Ni
(Lempir 22)
Ni Letre, Ni Tereh, Ni Siti Daran, Ni Mita, Nini Bamita, Nini Saruwok, Ni Deling
Sekar Gadung, Ni Kekejek, Ni Dani, Ni Sudanem, Ni Wati, Nini Sari, Nini Rebu,
Nini Madubrata, Ni Ratna yang semua mulia dan indah. Tuanku, Sang tonggak
249
Dalam kamus diartikan dengan dewi yang cemerlang, yaitu Parwati salah seorang dari sakti
Dewa Siwa.
Kalamuka Kala Jaya, Ki Badar yang semua mulia dan indah. Sang Hyang Dewata
Batur, Pertapa Caci Wuri di sanggar, Kaki Suwarna di palayon, Sang Buta Kali
(Lempir 23)
Dewata di tempat tidur Sang Hyang Syawarasati, dewatani mutakkan srir mandel,
dewatani tobong tambuh meneng, dewatani pasekuk, dan paduka dewi yang tidak
keras hatinya, dewata di rumah raksasa yang bertugu, dewata di pagar, Kaki
tempat istirahat. Sang Buta Sewu di tempat bersih, Bethara Guru di halaman, Kaki
persaudaraan, Buta Ijo di perairan, Buta Marus di air untuk menyembuhkan luka,
(Lempir 24)
Dura Kala di gerbang jalan mengejar-ngejar Sang Hyang Kerti, sang kara, dewata
di bajaran, sri bungah kalagadi ya dewata di adong, sang hyang ngasmara terbang
di udara, dewatani kembang, sang hyang selama reka, dewatani parigin. Ki Tulak
Kala Sunya, yang teguh dalam penataran yang luas dari kesulitan, yang semua
mulia dan indah. Ki Kala Samua di tengah penataran yang luas, Ki Buta Balaten,
Ki Buta Bali, Ki Buta Rong, Ki Buta Siwah, sang jembar riti, sang dadung awuk,
(Lempir 25)
sang rara wudu, semua mulia dan indah. Sang teguh di ganaga, sang teguh di batu
besar, tanah mendekat, menyimpang, mendorong, meniti kayu besar, akar besar,
sang teguh di pijakan. Engkau mungkin ada rohaniawan dari sanak saudara, dari
gunung kecil, dari gunung ngamor, sang buta berjalan kepada yang tidak
diketahuinya di penataran yang luas, yang buta tuntunlah, yang tuli sentuhlah,
(Lempir 26)
jauhilah perseteruan dan permusuhan, dusta durjana, dan penyakit. Atigala air
lemar yang melihat kejelasan dan kebenaran 3 pertapaan yang menyala, sang kari
menemukannya karena hanyut di atas awan, yang mengerti seperti ini adalah
dukun yang sakti. Hebat tetapi seperti tidak sesuatu yang nyata. Engkau sang
langlang buwana pada siang hari, kecuali malam hari engkau berubah menjadi
Ageni250 yang putra. Tetapi, tidak resi dan tidak dewa melanglang berubah engkau
250
Kemungkinan yang dimaksud Bagawan Ageni adalah Bathara Agni atau Dewa Api.
Bagawan Narada dari sedah251. Jangan menghukum dengan akibat bahwa ada
kesukaran
(Lempir 27)
yang nyaring yang terlampau dari ujung kepala sampai ujung kaki mendekat di
pendek. Penguasa utama mempunyai larangan, yaitu hukuman dera tetapi yang
bebas dari pasung dan dari suatu tempat yang terikat sehingga dapat sembuh
kembali. Perkataan yang suci, Hyang Hyang yang suci berwujud orang laki-laki
ong aneretah aneretih aheng aheng ahong ahong pralena pralengga. Waluh252
(Lempir 28)
lembah/tanah rendah yang tidak di jurang, tidak di gunung. Ra 253 resi berdiri dan
duduk membungkuk dengan hormat pada hati yang tak bersinar, tanpa bekas. Jadi,
terbang mengarungi udara tidak ada di dunia raksasa yang jahat, tidak ada raja
yang sendirian, sendiri berdiri di langit atau udara tidak ada semua yang tidak
mengira.
251
kemungkinan yang dimaksud adalah seorang pujangga.
252
Dalam kamus diartikan dengan wadah yang terbuat dari labu botol, dipakai para pertapa
brahmana.
253
Dalam kamus diartikan dengan menunjukkan kategori orang-orang yang ada hubungan
kekerabatan dengan orang yang berderajat lebih tinggi.
(Lempir 29)
Hong, air suci yang nyata yang turun dari atas permata suci itu tak mengenal lelah
menghilangkan dosa atau keburukan, menjauhkan dari kejahatan, yang suci, yang
dekat ataupun jauh. Dewa murti menyatu pada angin menangkap kelakuan yang
buruk, tetap pada Sang Hyang yang memberi hidup. Hong, air suci ya nama Siwa
penglihatan hamba, sifat hamba, tingkah laku hamba, diketahui olehnya Sang
Hyang yang bersabda dan mengingatkan karena Sang Hyang Tutur sudah
salah, tingkah laku yang salah, sifat yang salah, mata yang yang salah,
(Lempir 30)
pikiran yang salah, akal yang salah. Kebaikan hatinya, Sang Hyang telah bersabda
penglihatan hamba, pikiran hamba, akal hamba, diketahui olehnya Sang Hyang
Sabda Bayu Idep sebab Sang Hyang Bayu Idep menyembah dan memuji
kepadanya. Perkataan hamba yang salah, tingkah laku yang salah, sifat yang
salah, mata yang salah, akal yang salah, pikiran yang salah. Kebaikan hatinya,
(Lempir 31)
diketahui olehnya Sang Hyang Jati Wisesa, sebab Sang Hyang Pramana Jati
Wisesa yang hamba puji, Sang Hyang Pramana Jati Wisesa yang hamba sembah
memuji kepadanya. Perkataan hamba yang salah, tingkah laku yang salah, abek
yang salah, penglihatan yang salah, pikiran yang salah, akal yang salah, diketahui
olehnya Sang Hyang Pramana Jati Wisesa. Hamba bersimpuh, perangai hamba,
(Lempir 32)
diketahui olehnya Sang Hyang Manon, sebab Sang Hyang Manon yang hamba
sembah dan puji, Sang Hyang Manon menyembah dan memuji kepadanya.
Perkataan hamba yang salah, tingkah laku yang salah, sifat yang salah,
penglihatan yang salah, pikiran yang salah, akal yang salah, kebaikan hatinya
olehnya Sang Hyang Bathara Sang Wong, sebab Sang Hyang Bathara Sang Wong
yang hamba sembah dan puji, Sang Hyang Bathara Sang Wong menyembah
(Lempir 33)
dan memuji kepadanya. Perkataan hamba yang salah, tingkah laku yang salah,
sifat yang salah, penglihatan yang salah, pikiran yang salah, akal yang yang salah,
kebaikan hatinya Sang Hyang Bathara Sang Wong. Hamba bersimpuh, perangai
akal hamba, diketahui olehnya sang hyang pramana jati wenang, sebab Sang
Hyang Pramana Jati Wenang yang hambah sembah dan puji, Sang Hyang
Pramana Jati Wenang menyembah dan memuji kepadanya. Perkataan hamba yang
(Lempir 34)
sifat yang salah, penglihatan yang salah, pikiran yang salah, akal yang salah,
kebaikan hatinya Sang Hyang Pramana Jati Wenang. Hamba bersimpuh, perangai
pikiran hamba, diketahui olehnya Sang Hyang Pramana Sukma Dewa Hening,
sebab Sang Hyang Sukma Dewa Hening yang hamba sembah dan puji, Sang
hamba yang salah, tingkah laku yang salah, sifat yang salah, pikiran yang salah,
(Lempir 35)
Sang Hyang Sukma Dewa Hening. Sang Hyang Sukma Dewa Hening mulia
kepada Sang Hyang Jati Pralina. Sang Hyang Jati Pralina mulia kepada Cabar
Tiwas. Cabar Tiwas mulia kepada Siwa. Jauhkan sampai ke luar langit, masa
keuntungan patah menjadi persegi dan tergerus oleh Sang Hyang Ata Wisesa
menuju ke tempat abadi, yang hamba puji. Bapak memberi nirmala, ibu memberi
nirmala. Juga engkau dewata semua, juga engkau dewata hamba, juga engkau
bathara guru, juga Kaki Pegawan Citra, Nini Pegawan Citra Gutra, Kaki Pegawan
Penyarikan,
(Lempir 36)
Di siang hari, Sang Hyang Raja yang tertinggi tanpa petunjuk, tanpa golongan,
tanpa tikar rotan, tanpa cara memperoleh perolehannya, Sang Hyang Darma tidak
bermurah hati olehnya, sang pertapa tidak cocok di harinya, Sang Hyang Darma
tidak cocok dalam bahaya dan kesulitan, tuanku. Sang Hyang upapel, engkau
terkena oleh (...)254 hilangnya malapetaka dan penyakit. Eratlah engkau sang
(Lempir 37)
dinamai Kaki Pegawan Astiti Jatmika, Parama Suci Muhening, Parama Suciman,
Nini Mala Sata Baya, Nama Sa Pamakarana, Nama Siwa Asukma Jatmika di
malam hari, Nini Kaki Majeneng, Nini Majeneng, Kaki Mangeling, Nini
Mangeling, ingatlah bahwa kau adalah anak manusia bukan paduka dewa.
254
Teks korup.
BAB VI
Pada bab ini yang menjadi objek penelitian adalah hasil suntingan dan
terjemahan teks PT. Hasil dan pembahasan ini akan disajikan dalam empat
bagian. Bagian pertama adalah bentuk dan struktur teks PT, bagian kedua adalah
analisis tanda dalam teks PT yang meliputi ikon, indeks, dan simbol berdasarkan
masyarakat Tengger dalam naskah PT, dan bagian keempat adalah pengaplikasian
teks PT.
Teks PT merupakan teks yang berbentuk prosa dengan jenis sastra kitab
karena strukturnya hampir mirip dengan struktur kitab agama. Teks PT ini tidak
dikatakan sebagai prosa jenis sastra fiksi karena pada dasarnya teks PT lebih
diulang-ulang pada beberapa bagian yang menunjukkan adanya suatu hal yang
kuat yang ingin ditunjukkan. Diketahui bahwa teks PT ini adalah teks primbon
upacara adat, seperti ketika hendak menikah, mendirikan rumah, dan lain-lain.
Lebih kompleks lagi, teks PT ini dikatakan sebagai naskah penglawu, yaitu teks
112
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
yang digunakan sebagai pembuka pada proses upacara sehingga persoalan tentang
113
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
114
cukup terarah, yaitu terdiri atas bagian awal, tengah, dan akhir.
terhadap Dewa Siwa, Dewi Durga, dan penggambaran Dewa Wisnu yang
dan nini „nenek yang dimuliakan‟, serta dewa-dewa yang menjaga di setiap
1. Unsur Pertama
Unsur pertama dalam teks PT, yaitu penjelasan mengenai hamba yang harus
selalu menyembah dan memuji terhadap Dewa Siwa, Dewi Durga, dan
penggambaran Dewa Wisnu yang dikelilingi oleh matahari, bulan, dan bintang.
Berikut penjelasan satu per satu mengenai Dewa Siwa, Dewi Durga, dan Dewa
Wisnu.
Pada bagian pertama dalam unsur pertama ini, yaitu mengenai penyembahan
terhadap Dewa Siwa. Dewa Siwa adalah Dewa yang maha utama dan mempunyai
terhadap Dewa Siwa serta kalimat yang harus selalu tertanam dalam hati ketika
melakukan persembahan atau pemujaan. Bagian ini juga mengingatkan pada para
pula bahwa Dewa Siwa akan turun menggunakan padma tarana mengemban japa
Bagian selanjutnya dalam unsur pertama ini, yaitu anjuran untuk selalu
memuji kepada Dewi Durga, istri Dewa Siwa. Dewi Durga digambarkan memakai
busana yang dipenuhi dengan manik atau permata dan Ia naik ke singgasananya.
Durga akan memberi kesuburan yang tak ternilai dan semuanya akan bermanfaat
bagi seluruh masyarakat Tengger. Semua tanaman akan subur dan tidak ada
satupun makanan yang bernilai mahal. Begitu pula dengan pencuri dan musuh
Bagian akhir dari unsur pertama ini, yaitu disebutkanya Dewa Wisnu yang
diterangi oleh matahari, bintang-bintang, dan bulan. Dewa Wisnu yang dikenal
sebagai dewa penjaga ini diceritakan suka mengembara pada tanggal 15 paro
terang. Selain tatacara yang dilakukan terhadap Dewa Siwa, tatacara persembahan
terhadap Dewa Wisnu juga dijelaskan pada bagian akhir unsur pertama ini, yaitu
dengan mempersiapkan bunga, air nirmala, dan dupa. Kesemuannya ini akan
2. Unsur Kedua
Hyang, kaki „kakek yang dmuliakan‟ dan nini „nenek yang dimuliakan‟, serta
dewa-dewa yang menjaga di setiap penjuru bumi dan menjaga Gunung Mahameru
memuliakan para leluhur dan para pertapa terdahulunya. Hal ini dimaksudkan
Dewi Pertiwi, Dewi Nipeni, Dewi Nukuli, Dewi Nungkurat, Dewi Pradana
Wisesa, semuanya dipuji agar hamba dapat suci kembali. Pada bagian ini
disebutkan pula untuk hormat kepada Sang Hyang Sukma agar selalu memberikan
ketenangan.
Pertapa yang diagungkan diantaranya Kaki Ayi Kumala, Kaki Ayi Iten,
Kaki Pekik, Kaki Ayi Wuruju, Kaki Samarata, Kaki Togul Wolung, Kaki Ayi
Dewa Raden. Selain itu banyak pula Sang Hyang, seperti Sang Hyang Gana Pati,
pertapa penjaga, Pertapa Dermesthi Guru, Sang Hyang Mula Carita, sang
lumalang, sang laku, sang mangngite, sang ngipet, sang manginget, sang
mangiton, Sang Hyang Ngasihe Prana (jiwa yang penuh cinta), Sang Hyang
Rêcipta Dewa, Sang Hyang Ngadi Pamriyan, Sang Hyang Ngadi Guru Wisesa,
Sang Hyang Butul Patala, Sang Hyang Tata Boga, Sang Hyang Ngatalaga, sang
tempat bergantung. Juga pertapa Citra Gatra, Kaki Pertapa Penyarikkan, Kaki
Pertapa Samatara, Kaki Pertapa Besa Warna, Dewi Kapuri Gasara pergi ke
berjiwa tenang.
miring ke timur, selatan, barat, utara, tengah, dan ke arah luar. Gunung Mahameru
disebutkan sebagai sang tonggak gerbang. Kaki dan nini yang ada di Gunung
hanya disebutkan nini dan kaki pada bagian tengah, selatan, dan bagian luar.
Kaki dan nini yang ada di Gunung Mahameru bagian tengah adalah Kaki
Puduttan, Nini Pudutan, Kaki Pekik, Nini Pekik, Kaki Mengikih, Nini Mengikih,
Kaki Mangiton, Nini Mangiton, Kaki Manginget, Nini Manginget yang semuanya
Kaki dan nini yang ada di Gunung Mahameru bagian selatan tepatnya di
Sekar Gadung, Nini Lor, Nini Kedul, Ni Agung, Ni Balerah, Ni Ayu Tanpa Ayas,
Ni Letre, Ni Tereh, Ni Siti Daran, Ni Mita, Nini Bamita, Nini Saruwok, Ni Deling
Sekar Gadung, Ni Kekejek, Ni Dani, Ni Sudanem, Ni Wati, Nini Sari, Nini Rebu,
Kalamuka Kala Jaya, dan Ki Badar yang semua mulia dan indah.
3. Unsur Ketiga
masyarakat Tengger untuk tetap menjaga kerukunan, saling tolong menolong, dan
tetap saling bersaudara. Pada teks PT diberi pemberitahuan yang mendasar untuk
kehidupan.
dijelaskan secara gamblang dalam teks PT dengan menyebutkan bahwa jika ada
seseorang yang buta secara harfiah maupun batiniah maka tuntunlah dan ajarilah,
semua ingin hidup tenteram dan damai maka satu-satunya cara, yaitu menjauhkan
diri dari segala godaan. Tidak membuat keributan agar tidak terjadi perseteruan
dan permusuhan, tidak ada dusta durjana, dan hilangnya segala penyakit.
4. Unsur Keempat
Pada bagian unsur keempat atau unsur terakhir dalam teks PT ini
perbuatan yang dilakukan diketahui oleh Sang Hyang dan semua akan kembali
padanya.
Tutur, Sang Hyang Pramana Jati Wisesa, Sang Hyang Sabda Bayu Idep, Sang
Hyang Manon, Sang Hyang Pramana Jati Wenang, Sang Hyang Pramana Sukma
Dewa Hening, Sang Hyang Bathara Sang Wong yang bersabda dan mengingatkan
untuk menyembah dan memuji. Segala perkataan seorang hamba yang salah,
tingkah lakunya yang salah, sifatnya yang salah, matanya yang salah, pikirannya
salah, akal yang salah semua diketahu oleh para Sang Hyang karena para Sang
Hyang juga memuji dan menyembah kepadanya. Sang Hyang Sukma Dewa
Hening mulia kepada Sang Hyang Jati Pralina. Sang Hyang Jati Pralina mulia
Pada unsur akhir ini para hamba juga diiingatkan kembali untuk selalu
menjaga dengan erat hubungan keharmonisan yang telah ada, khususnya bagi
sang pertapa dan ki pertapa, yakni para hamba dan leluhurnya sehingga tiada
tujuan akhir dalam mantra teks PT, yaitu bebasnya seorang hamba dari perbuatan
dosa karena dianggap suci kembali. Segala persembahan dan pujian yang telah
Siwa tetap memberi perlindungan dari segala kerusuhan yang dapat memperpecah
salah satu trikotomi yang telah ditawarkan oleh Pierce, yaitu berupa ikon, indeks,
dan simbol. Seperti yang telah dijelaskan pada poin landasan teori, tipe-tipe tanda
ini dipilih karena dianggap paling cocok, fundamental/pokok, dan simpel sesuai
dengan hubungan tanda dengan objeknya. Objek yang dimaksud tidak lain adalah
dilakukan analisis mengenai tiap tanda tersebut. Namun, sebelum melangkah pada
objeknya.
objeknya.
tanda berupa bahasa dan tanda-tanda nonverbal, yaitu tanda berupa bentuk simbol
atau lambang tertentu. Tanda-tanda ini tidak hanya dipandang sebagai tanda
individu saja, tetapi juga dihubungan dengan tanda lain yang dapat mengungkap
pemaknaan tanda-tanda tersebut. Hasil temuan dan analisis data dalam penelitian
ini akan mencakup beberapa hal, yaitu ikonitas dalam teks naskah PT,
indeksikalitas dalam teks naskah PT, dan simbolisme dalam teks naskah PT.
Ikon ialah tanda sebagai sebuah kemungkinan yang ada sedemikian rupa
dapat dikaitkan dengannya atas dasar suatu persamaan yang secara potensial
Lebih sederhana lagi, Zoest menyatakan bahwa ikon sebenarnya berfungsi sebagai
sebuah kemiripan (Zoest, 1993: 24). Budiman (2011: 78) dalam hal ini juga
mengatakan bahwa ikon adalah tanda yang di antara representamen dan objeknya
1. Air/Tirta
Air dalam definisi umum merupakan benda cair yang mengandung banyak
manfaat yang tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau. Secara kimia
sungai, dan danau (Nimpuno, dkk, 2014: 17). Namun, dalam teks PT ini air bukan
hanya menjadi pelengkap keperluan dalam kehidupan manusia. Air menjadi salah
satu benda yang sangat diperlukan dan disucikan keberadaannya terutama yang
dijadikan sebagai bahan ritual. Kata ini disebutkan dalam teks naskah PT sebagai
berikut.
.....Sang Hyang pusapa kaki siniramm ing tirta nirmala.... (PT lempir 3)
„Hong, air suci yang nyata yang turun dari atas permata suci‟
Berdasarkan pada ketiga kutipan teks tersebut, air dalam teks naskah PT
merupakan ikon sebuah kesucian. Kata ini disebutkan dalam tiga macam jenis
a. Air nirmala
Nirmala menurut Mardiwarsito (1990: 372) berarti suci, bersih, dan tak
bernoda. Jadi, air nirmala yang dimaksud dalam teks PT, yaitu air yang suci,
menyiram/membasuh kaki.
b. Air lemar
didapat dari seorang dukun. Berdasarkan definisi tersebut, air lemar dalam teks
PT berarti air yang didapat dari seorang dukun atau sesepuh adat yang sudah
c. Tirta jati
Tirta berasal dari bahasa Sansekerta tĭrtha yang berarti air suci
(Mardiwarsito 1990: 605). Jati juga berasal dari bahasa Sansekerta jăti yang
berarti nyata (Prawiroatmodjo, 1981: 179) Oleh karena itu, tirta jati dimaknai
sebagai air suci yang nyata yang digunakan dalam ritual. Air ini dimanfaatkan
untuk penyucian jiwa karena airnya berasal dari atas permata yang suci.
2. Dupa
Dupa merupakan nama lain dari luban, kemenyan, setanggi, dan lain-lain
yang memiliki bau harum apabila dibakar. Benda ini digunakan untuk
menjadi salah satu benda yang digunakan untuk ritual dalam upacara adat Tengger
dan digunakan juga dalam persembahyangan. Dupa dalam teks PT menjadi salah
satu ikon tersendiri yang dipakai ketika berlangsungnya sebuah ritual. Kata ini
salah satu benda ritual yang digunakan dengan cara membakarnya agar semerbak
wanginya dapat tercium dan membumbung kemana-mana. Dalam hal ini, filosofi
dupa ternyata tidak begitu saja. Dupa diyakini sebagai perantara yang
menghubungkan pemuja dengan yang dipuja. Hal ini diyakini karena asap dari
3. Sarwa kusuma
Sarwa kusuma merupakan istilah yang terdiri dari dua kata, sarwa dan
diartikan dengan bunga (Mardiwarsito 1990: 300). Jadi, istilah Sarwa kusuma
diartikan dengan segala macam bunga. Bunga merupakan bagian dari tumbuhan
yang mempunyai warna yang bagus dan berbau wangi. Bunga dalam teks PT
dijelaskan berada dalam tubuh Sang Hyang giri atau berada di gunung. Bunganya
dijelaskan sangat bercahaya. Dalam analisis lain, jika dihubungkan dengan sebuah
upacara adat, posisi bunga tentu memiliki peran yang berbeda. Bunga mempunyai
dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai simbol Dewa Siwa dan sebagai sarana
persembahan seiring dengan adanya dupa dan air (Sudarta: 2000). Kata ini
Sang Hyang Giri kêlanna pinulcikan ron ning kusaraga tinêgêkan sêkar
rura sinnaren sarwakusuma (PT lempir 3)
„Sang Hyang Giri berkelana berpercikan dedaunan. Dalam tubuhnya
terdapat bunga yang berhamburan dan segala macam bunganya bercahaya‟
4. Padma
Menurut Mardiwarsito (1990: 386) padma adalah seroja siang atau bunga
teratai merah. Kata ini berasal dari bahasa Sansekerta. Padma adalah rajanya
bunga karena dapat hidup dalam tiga tempat, yaitu, air, tanah, dan udara. Padma
dalam teks PT tidak hanya dianggap sebagai tumbuhan atau bunga pada
“kendaraan” yang digunakan oleh Dewa Siwa ketika turun dari kayangan atau
tempat Ia berada dan beristirahat. Hal ini dijelaskan dalam teks PT sebagai
berikut.
paduka bathara suci nama Siwa ya mangke paduka bathara tumurun saking
dalêm paomahan nitihi padma tarana (PT lempir 6)
„Paduka dewa suci nama Siwa, nanti paduka dewa turun dari rumahnya
menaiki padma tarana‟
5. Mahameru
Mahameru atau Meru adalah sebutan puncak Gunung Semeru yang terletak
di Jawa Timur. Gunung ini menjadi salah satu gunung tertinggi di Indonesia, dan
menjadi pembuka untuk gunung-gunung lainnya. Kata ini disebutkan dalam teks
PT sebagai berikut.
Sang tugu babahan nira Sang Hyang Mahameru kang miring mêngngetan
mangngedul mangngulon mangngalor madya mangedul jaba (PT lempir 20-
22)
Indeks menurut Zoest (1993: 24) adalah sebuah tanda yang dalam hal corak
indeks adalah tanda yang memiliki kaitan fisik, eksistensial, atau kausal antara
2011: 78). Indeks lebih sederhana lagi didefinisikan dengan adanya hukum sebab-
akibat di antara tanda dan objeknya. Indeksikalitas dan teks naskah PT dapat
1. Hong/Ong/Auma
Kata hong, ong, dan auma berasal dari bahasa Sansekerta yang sebenarnya
merujuk pada satu maksud. Kata hong atau ong merupakan ucapan salam yang
digunakan oleh masyarakat Tengger. Hong dalam hal ini diartikan dengan Tuhan
Yang Maha Kuasa (Lincahayati, 2013: 5). Auma menurut Zoetmulder (2000: 15)
memiliki padanan kata dengan ahom, aum, dan om yang diartikan bersama-sama.
mengucapkan salam auma prana prameya, khususnya dalam teks PT ini ditujukan
kepada Dewa Siwa. Sebenarnya terdapat sedikit perbedaan antara auma dan hong
yang digunakan dalam teks naskah PT ini. Namun, perbedaannya tidak begitu
signifikan. Kata auma digunakan pada kalimat awal-awal teks, sedangkan kata
sebagai berikut.
Sang Hyang ngurip hong tirta pawitra ya nama Siwa (PT lempir 29)
„Sang Hyang yang memberi hidup. Hong, air suci ya nama Siwa‟
penggunaan kata auma dan hong/ong. Namun, jika dilihat dari konteks kalimatnya
sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar. Kedua kutipan tersebut merujuk
2. Mabusana Manik
sifatnya yang dibalik. Jika gerund membendakan kata kerja, maka sifat ma di sini
adalah menjadikan kata benda menjadi sebuah kata kerja. Mabusana berasal dari
sedangkan manik diartikan dengan intan/permata (1981: 334). Kedua kata ini
berasal dari bahasa Jawa Kuno/Kawi. Apabila terdapat suku kata ma yang
bertemu dengan kata benda, dalam hal ini busana, maka akan menjadi sebuah kata
kerja. Oleh karena itu, mabusana dalam hal ini adalah kata benda yang berubah
sifat menjadi kata kerja. Jadi, mabusana manik diartikan dengan berpakaian
Durga ayu sang prabu wiraja nagara awetta nitihi singangsan mabusana
manik... dadianni tahun ladunnga nning warsa dadiani sarwa tinandur pala
bukah pala wija pala wiji pala gatung (PT lempir 7)
Pada konteks ini, yang dimaksud sebagai subjek yang berpakaian permata
adalah Dewi Durga. Dewi Durga dalam teks PT dijelaskan bahwa Ia naik ke
singgasananya dengan berpakaian permata. Kata ini dianggap menjadi salah satu
indeks karena berpakaian permata merujuk pada sebuah perhiasan yang memiliki
harga tinggi. Artinya, kata ini juga merujuk pada sebuah kekayaan dan kekuasaan
yang hakiki. Jika sudah memiliki kekayaan dan kekuasaan maka tidak heran
banyak dipuja dan disembah. Hal ini tentu jika dibandingkan dengan sifat manusia
tidak ada tandingannya. Hal inilah yang menjadikan masyarakat Tengger juga
menjadikan Dewi Durga sebagai salah satu dewi yang mereka sembah.
3. Nawa Dewa
Istilah nawa dewa merupakan istilah dari gabungan 2 kata, yaitu nawa dan
dewa yang berasal dari bahasa Sansekerta. Nawa oleh Mardiwarsito (1990: 365)
diartikan dengan 9. Dewa mempunyai makna yang tidak berubah dari bentuk
asalnya, yaitu dewa (Mardiwarsito 1990: 151). Jadi, nawa dewa diartikan dengan
9 dewa. Istilah ini digambarkan dalam teks PT sebagai 9 dewa yang menjaga
bumi dari sudut manapun. 9 dewa ini diindeksikan dengan dewa yang menjaga di
setiap penjuru mata angin. Istilah ini dalam teks PT disebutkan sebagai berikut.
nawa dewa pihuwuna kahuwa kanni kang purwa duksina pacima utara
madya genneya nariti byabya harsanya (PT lempir 4)
„9 dewa yang terdapat di timur, selatan, barat, utara, tengah, tenggara, barat
daya, barat laut, dan timur laut‟
barat daya, barat laut, dan timur laut. Dewa-dewa ini diyakini sebagai penjaga
bumi dan bertempat sesuai dengan penjuru mata angin. Namun, Lincahayati
(2013: 83) menjelaskan bahwa arah penjuru mata angin tersebut berjumlah 8
sesuai dengan jumlah helai yang terdapat dalam bunga teratai. 8 sudut tersebut
Sang wuta dimaknai sebagai seseorang yang buta/tidak bisa melihat, sang
tuli dimaknai sebagai seseorang yang tuli/tidak bisa mendengar, dan sang lumpuh
berhubungan dengan anggota tubuh manusia. Dalam teks PT, disebutkan bahwa
orang-orang yang buta, tuli, dan lumpuh atau memiliki kekurangan lainnya
diharapkan untuk dapat saling menolong dan tidak mengajak pada kehancuran.
sang wuta tuntunên sang tuli jawillên sang lumpuh gendongên pada sira
tatajakon na sawalang walang sowang aja ana karripahanna kari
ngêdohênna gêguda bacann adohenna satru musuh dustha durjanna lara
roga (PT lempir 25)
„yang buta tuntunlah, yang tuli sentuhlah, yang lumpuh gendonglah, engkau
jangan mengajak pada kehancuran dan percerai-beraian, ketenteraman
didapat dengan tinggal menjauhkan godaan, jauhilah perseteruan dan
permusuhan, dusta durjana, dan penyakit.‟
Pada kutipan teks PT di atas, kata “buta, tuli, dan lumpuh” dalam hal ini
informasi-informasi yang bermanfaat, tuli terhadap hal-hal baik atau tidak mau
mendengarkan nasihat, dan lumpuh dapat dimaknai dengan enggan berbuat baik.
Oleh karenanya, jiwa saling mengingatkan dan tolong menolong harus tetap
dikedepankan.
karena itu, dalam teks disebutkan agar para masyarakat tetap menjaga keindahan
persaudaraan yang telah lama terjalin sehingga tidak ada kehancuran dan percerai-
beraian.
Simbol atau lambang adalah hubungan antara tanda dan objeknya ditentukan
oleh suatu peraturan yang berlaku umum. Simbol difungsikan sebagai konvensi
atau berdasarkan kesepakatan (Zoest, 1993: 25). Dalam definisi lain, Budiman
objeknya. Secara lebih sederhana, simbol dimaknai sebagai tanda yang dihadirkan
Simbolisme dalam teks naskah PT terdapat dua bentuk, yaitu verbal dan
nonverbal. Simbol verbal ditujukan dengan adanya tanda bahasa, sedangkan tanda
nonverbal ditujukan dengan adanya bentuk gambar dalam teks. Simbolisme dalam
1. Simbol Padi/Jagung
Padi atau jagung adalah salah satu bentuk tanda simbolisme nonverbal, yaitu
Simbol ini belum dapat dipastikan apakah merujuk pada tanaman padi atau
menjuntai. Bentuk simbol ini dapat dilihat pada bab dua dengan nomor gambar
„Dewata pergi menempuh jiwa yang berbudi luhur. Buh cari buh ya nama
Siwa ya dewa Siwa’
Pada kutipan di atas dijelaskan bahwa simbol tanaman padi/jagung berada
sebelum kalimat buh cari buh ya nama Siwa. Buh merupakan kata yang berasal
dari bahasa Sansekerta bhūḥ yang berarti bumi, tanah (Mardiwarsito, 1990: 129)
dan kata cari juga berasal dari bahasa Sansekerta cāri yang diartikan dengan
Siwa dimaknai dengan bumi, tanah, tumbuh dan hidup berlimpah-limpah berada
dan disuburkan oleh Siwa. kalimat ini digunakan untuk memuja Siwa agar Siwa
memang diharapkan tumbuh subur dan melimpah oleh masyarakat Tengger. Hal
ini sepadan dengan yang dikatakan Sutatto (2006: 3) bahwa jagung adalah
dengan beras. Oleh karena itu, masyarakat Tengger berharap bahwa segala macam
2. Simbol Hati
Hati dalam definisi ilmu anatomi merupakan salah satu organ dalam yang
dimiliki oleh tubuh manusia yang berwarna merah dan berfungsi untuk
(Nimpuno, dkk, 2014: 307). Dalam teks PT ini, hati tidak dimaksudkan demikian.
Simbol hati merupakan salah satu tanda nonverbal yang berupa gambar/lambang.
Penggambaran mengenai hati dalam teks PT, yaitu seperti daun pohon waru
mengelilinginya. Simbol ini dapat dilihat pada bab dua gambar 2.14. Simbol hati
adohenna satru musuh dustha durjanna lara roga atigalla tirta lêmar
angrêtakkênna tri prêngtapan maka diraja sang kari ya pukulun sangka
candra sangka tedih ibuh aja nêmmu sika namasya alarut pada nning awan
ngêrti sakti dukun (simbol hati) (PT lempir 26)
Pada kutipan teks tersebut menjelaskan bahwa simbol hati merujuk pada
menimbulkan penyakit. Dalam hal ini, gambar hati merupakan simbolisasi sebuah
3. Gunung Mahameru
Selain sebagai sebuah ikon, Gunung Mahameru juga dapat dijadikan sebagai
sebagai tempat bersemayamnya Dewa Siwa. Dalam teks PT, sudah dijelaskan
Hal ini dikatakan demikian karena dijelaskan bahwa ia merupakan sang tonggak
dewa-dewa dan sebagai sarana penghubung antara bumi (manusia) dan kayangan.
Hal ini digambarkan dalam teks PT lempir 6, yaitu terdapat penceritaan bahwa
Dewa Siwa akan turun ke bumi dengan menaiki kendaraannya, yaitu padma atau
teratai. “Turun” dalam hal ini dimaksudkan bahwa pada mulanya Dewa Siwa
kepercayaan masyarakat suku lain yang memeluk agama Hindu. Perbedaan yang
mendasar dan mencolok antara agama Hindu di Tengger dan juga agama Hindu di
wilayah lain, terutama Bali adalah seperti yang telah dikatakan oleh Malik bahwa
agama Hindu Bali lebih condong kepada Hindu Dharma, sedangkan konsep
utama yang dilakukan, diluar memuja kepada Sang Hyang Widi. Dewa-dewa
tersebut dikenal secara umum dengan sebutan Trimurti yang terdiri dari Dewa
Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Namun, dalam teks naskah PT ini tidak
sekalipun disebutkan istilah Trimurti. Istilah ini digantikan dengan istilah lain,
yaitu Trisamaya dan Tripurusa. Istilah Trisamaya dan Tripurusa merupakan istilah
yang berasal dari bahasa Sansekerta trisamaya dan tripuruṣ a. Trisamaya oleh
Tritunggal, yaitu Brahma, Wisnu, Siwa. Istilah Tripurusa juga diartikan dengan 3
dewa, yaitu Brahma, Wisnu, Siwa. Istilah ini disebutkan dalam teks PT sebagai
berikut.
„....Dya ayu disiram secara merata, paduka dewa yang menghidupkan dunia,
untuk mengetahui trisamaya (Brahma, Wisnu, Siwa)‟
paduka bathara suci nama Siwa ya muwah ingkang watêk babik sun narada
kapilake umucuk undat trisna widu trikurus tripurusa... (PT lempir 5 akhir
sampai 6)
„paduka dewa suci nama Siwa sedang berwatak babik. Penghormatan
hamba, cahaya merah yang memercikkan cinta pada pemimpin, yaitu
tripurusa (Brahma, Wisnu, Siwa)‟
atau persembahan terhadap Dewa Brahma dan Dewa Wisnu,. Teks PT justru lebih
dominan terhadap satu dewa, yaitu Dewa Siwa dan sedikit menyinggung tentang
Dewa Wisnu. Selain itu, ada pula pembahasan mengenai Dewi Durga yang mana
merupakan istri Dewa Siwa. Teks mantra ini memang diberlakukan secara khusus
Dalam pembuka atau awalan kalimatnya sudah sangat jelas bahwa memang
isi teksnya ditujukan untuk Dewa Siwa. Hamba-hamba harus menyembah dengan
kedua tangannya dan secara khusyuk memuja dan memuji kepada Siwa.
Dipertegas lagi dalam teks tersebut bahwa hamba-hamba bukanlah seorang yang
spesial, bukanlah seorang dewa jadi semua hamba harus tetap memuji dan
hati seorang hamba juga harus fokus dengan kalimat “paduka dewa suci nama
Siwa” dan harus selalu tertancap dalam hati. Dewa Siwa dipercayai sebagai dewa
yang baik dan sabar, dewa yang mempunyai segala wewenang. Hal ini disebutkan
pukulun pukulun auma prana prameya annêmbah anangan kalih anak tan
bêthara sasatt angusapp ira rabi rinna ngucarrana ring padhadha jajani
paduka bathara suci nami Siwa ya ring wênnanngngan ning anak tan nak
bathara ajuminahakna (PT lempir ke-1)
„Hamba bersimpuh Auma prana prameya menyembah dengan kedua tangan.
Kamu bukanlah dewa. Usaplah dengan nyata dalam bentuk tubuh
perempuan di siang hari. Berkatalah di dalam hatimu “paduka dewa suci
nama Siwa”, ialah yang berhak beranak ataupun tidak beranak. Dewa yang
sabar dan baik‟
Keutamaan Dewa Siwa yang disebutkan dalam teks PT, yaitu dewa yang
berselubung air dan memiliki bau yang harum. Selain itu, Dewa Siwa disebut juga
dewa yang menguasai bumi. Perkataan yang benar atau nyata dari Dewa Siwa
adalah sebuah kebenaran dan kenyataan yang sakti, karena Dewa Siwa juga
menjaga para hamba dari penyakit. Semua ini diketahui berdasarkan berita dewa
Dewa Siwa dalam teks PT digambarkan bahwa nantinya Dewa Siwa ketika
turun dari rumahnya, dalam hal ini yang dimaksud adalah tempat di mana Dewa
Siwa tinggal, dengan menaiki padmatarana atau bunga teratai. Tidak hanya turun
semata-mata saja, Dewa Siwa juga membawa japa atau mantra kemudian akan
menurunkan aji wisesa „teks suci yang unggul‟ karena Dewa Siwa memiliki
Walaupun ia dewa yang baik, sebenarnya Dewa Siwa tidak segan untuk
baik berupa melanggar hal-hal yang dianggap sakral. Namun, hukuman tersebut
bukanlah seperti hukuman pasung atau hukuman dimana para hamba diikat dalam
ruang yang gelap, tetapi hukuman yang dapat menjadikan hamba tersebut sembuh
kembali. Hal ini dimaksudkan agar para hamba sadar akan kesalahannya dan tidak
mengulangi untuk kedua kalinya. Dalam kepercayaan agama Hindu Dewa Siwa
dikenal sebagai dewa pelebur, sedangkan Dewa Brahma sebagai dewa pencipta
Tengger apabila semua masyarakatnya, baik yang muda sampai tua, cucu-buyut
sekalipun selalu memuja dan menyembah kepada Dewa Siwa dan tidak sekalipun
Tengger juga percaya terhadap adanya Dewa Wisnu. Namun, dalam teks PT ini
pemujaan terhadap Dewa Siwa serta Dewi Durga. Dewa Wisnu hanya disebutkan
dikelilingi oleh itu semua karena masyarakat Tengger percaya bahwa Dewa
Wisnulah yang menjadi pelindung dunia. Oleh karenanya matahari, bulan, dan
sebenarnya Dewa Wisnu sangat suka mengembara pada tanggal 15 paro terang.
telah dicampur dengan bunga-bunga. Selain itu, dupa yang wangi juga harus
kepada Sang Hyang Dewata agar masyarakat Tengger juga selalu mendapatkan
sukla biniseka Sang Hyang pusapa kaki siniramm ing tirta nirmala angabêt
wanginni dupa titise (.) bun pinaka wong arcamanah (teks PT lempir ke-3)
„Wisnu diterangi oleh matahari, bulan, bintang-bintang yang dikelilingi oleh
pawaraman bima dan suka mengembara setelah tanggal 15 paro terang.
Ditahbiskan dengan bunga yang harus disiram air nirmala dengan semerbak
wanginya dupa dan tetesan embun serta menghadap ke Sang Hyang
Dewata.‟
Masyarakat Tengger merupakan masyarakat yang selalu bersyukur dan tidak
lupa berterima kasih atas segala sesuatu yang didapatkan, baik berupa kesuburan
dalam teks PT ini juga disebutkan pemujaan dan persembahan terhadap Dewi
Durga, istri Siwa yang dipercaya menjadi lambang kesuburan oleh masyarakat
pemujaan terhadap Dewi Durga maka segala keuntungan baik berupa kesuburan
Dalam teks PT, tidak hanya menjelaskan tentang apa-apa saja yang
tetapi mereka juga selalu memuja dan memuji kepada Dewi Durga. Pujian itu
Durga.
kesenangan hati, terutama dalam hal kesuburan tanah. Hal ini dikatakan dalam
naskah PT bahwa semua yang serba ditanam dapat tumbuh dengan baik. Tumbuh-
tumbuhan tersebut berupa pala wija, pala wiji, pala kanginan, pala gantung yang
kesemuanya merupakan salah satu hasil bumi yang dimiliki oleh masyarakat
Tengger. Atas melimpahnya semua tanaman ini, maka tidak ada satupun
masyarakat Tengger yang merasakan kesulitan, baik karena harga yang mahal
atau apapun itu dan semuanya menerima dengan senang hati. Selain itu,
dijelaskan pula berkat Dewi Durga masyarakat Tengger dijauhkan dari musuh dan
Durga ayu sang prabu wiraja nagara awetta nitihi singangsana” mabusana
manik mada hana tinangkil den ita dama triwarga pangngangasan
kastranna denni bujaga sewa sugata rêsa (.) aji bumi sama patuttanne kang
prabu tiga rama rêsa (.) dadianni tahun ladunnga nning warsa dadiani
sarwa tinandur pala bukah pala wija pala wiji pala gatung salire pala
kanginan murah asarwa tinumbas sarwa tinadah tan anna larang tan ana
murah asomah warrêga mangngadohênna kang satru musuh sasra bra gella
maling (teks PT lempir ke-7).
„Durga Ayu, sang prabu wiraja nagara naik ke singgasana berpakaian
dengan manik/hiasan. Ada kegembiraan yang tampak muncul oleh dama
triwarga pangangasan kastrana oleh pujaan hamba dengan jamuan yang
menjaga hasil bumi. Prabu Tiga Rama ikut serta menjaga agar warga tetap
dapat menikmati panen musiman. Berkat pujaan yang dilakukan terhadap
Durga maka dapat memberi kesuburan yang serba ditanam, maka hasilnya
subur semua dan dapat dipanen, diantaranya pala bukah, pala wija, pala wiji,
pala gantung, serta pala kanginan yang murah, semuanya membeli,
semuanya menerima, tidak ada harga yang mahal, hanya ada harga murah
untuk semua warga. Dijauhkan dari musuh dan pencuri‟
Selain memuja dan menyembah terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu, dan
Dewi Durga masyarakat Tengger tentu tidak begitu saja melupakan leluhur
mereka. Mereka menganggap bahwa dahulu para leluhur adalah orang-orang yang
dewi dan para Sang Hyang yang ada. Leluhur-leluhur tersebut adalah pertapa-
pertapa yang selalu memperjuangkan dan menyucikan diri. Banyak sekali pertapa-
pertapa yang disebutkan dalam teks PT yang selalu dimuliakan oleh masyarakat
Tengger. Pertapa-pertapa tersebut disebut dengan kaki dan nini oleh masyarakat
Tengger. Maksud dari kata kaki dan nini telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Masyarakat Tengger percaya bahwa dengan adanya bantuan dari para kaki dan
nini ini menjadikan mereka selalu dipenuhi dengan keberkahan, kesucian, dan
ketenteraman hidup.
didapat bahwa naskah mantra yang dipercaya oleh masyarakat Tengger ada
upacara adat. Dalam setiap upacara, ternyata tidak hanya satu atau dua mantra saja
upacara adat. Mantra kayopan alit/bhuwana alit adalah mantra yang ditujukan
agung adalah mantra yang ditujukan untuk diri sendiri dan alam semesta. Naskah
PT yang menjadi bahan penelitian ini menurut dukun setempat merupakan bagian
Istilahnya, naskah PT ini masih menjadi sebuah muqaddimah atau pengantar atas
mantra-manta yang lain. Mantra penglawu, kayopan alit, dan kayopan agung
biasa dibacakan dalam berbagai upacara adat seperti yang disebutkan oleh Sutarto
1. Upacara Kasada
Upacara kasada atau yang disebut dengan hari raya kasada atau kasodoan
dan sekarang lebih dikenal dengan sebutan yadnya kasada merupakan hari raya
yaitu tanggal 14, 15, atau 16 tepatnya pada bulan Kasada. Bulan Kasada ditandai
upacara ini merupakan pesan dari leluhur, yaitu Raden Kusuma alias Kyai
Kusuma alias Dewa Kusuma, putra bungsu Rara Anteng dan Jaka Seger, yang
telah merelakan dirinya menjadi korban demi kesejahteraan ayah, ibu, serta para
dengan Hyang Widi Wasa dan roh-roh halus yang menjaga Tengger. Komunikasi
2. Upacara Karo
Perayaan upacara karo atau hari raya karo sebenarnya mempunyai konsep
yang mirip dengan lebaran atau hari raya idul fitri dalam agama Islam. Perayaan
ini jatuh pada bulan ke-2 kalender Tengger (bulan Karo). Hari raya ini dianggap
memiliki konsep yang sama dengan lebaran karena pada waktu itu masyarakat
Perayaan ini berlangsung selama satu sampai dua minggu. Selama waktu itu
untuk dinikmati.
3. Upacara Unan-Unan
Kata unan-unan berasal dari kata tuna yang berarti rugi. Hal ini
membersihka n desa dari gangguan makhluk halus dan menyucikan para arwah
yang belum sempurna agar dapat kembali ke alam asal yang sempurna, yaitu
nirwana.
4. Upacara Entas-Entas
meninggal dunia pada hari ke-1000 agar dapat masuk surga. Biaya upacara ini
sebagian dikurbankan.
kesembilan. Seluruh masyarakat Tengger tanpa mengenal gender dan usia, semua
berkeliling desa dengan berjalan dari batas desa bagian timur menuju empat
penjuru desa bersama dukun sambil memukul ketipung. Upacara ini bertujuan
diakhiri dengan makan bersama di rumah dukun atas sumbangsih warga desa.
BAB VII
PENUTUP
7.1 Simpulan
Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan terhadap naskah PT, baik
berupa analisis filologis dan analisis semiotik maka dapat disimpulkan beberapa
bagian-bagian kata yang kurang tepat dan disertai pula dengan catatan kaki.
prosa, tetapi bukan prosa fiksi melainkan prosa kitabi karena sedikit-banyak
Wisnu, dan Dewi Durga. Kedua, pemuliaan masyarakat Tengger terhadap para
144
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
145
4. Analisis semiotika yang dipakai dalam penelitian ini adalah ikon, indeks, dan
suci, sakral, dan penting dalam melakukan ritual. Tanda indeksial digunakan
nonverbal (bahasa) yang masih memiliki kaitan erat dengan isi naskah PT.
agama Hindu sebenarnya sama saja dengan pemeluk Hindu dari suku lain,
yakni meyakini adanya Trimurti, yaitu Brahma, Wisnu, Siwa dan menyembah
mengenai istilah Trimurti, yaitu sebutan Trisamaya dan Tripurusa. Selain itu,
7.2 Saran
nilai pada sebuah teks naskah kuno, terutama teks primbon/mantra. Penelitian
yang hanya sebatas pada analisis filologis dan semiotik ini tentu masih banyak hal
yang mampu diungkapkan lebih luas lagi. Naskah ini sangat mungkin dan
potensial untuk dilakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam, baik di bidang
banyak pembaca dan atau peneliti yang melirik naskah-naskah lontar dan naskah-
DAFTAR PUSTAKA
Baried, Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan
Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi, Fakultas Sastra,
Universitas Gadjah Mada.
Behrend, T.E. 1995. Serat Jatiswara: Struktur dan Perubahan di dalam Puisi
Jawa 1600-1930. Jakarta: INIS.
Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonitas.
Yogyakarta: Jalasutra.
Malik, MTT. 2007. Pura dan Masjid. Konflik dan Integrasi Pada Suku Tengger.
Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta.
Nimpuno, Hanjoyo Bono, dkk. 2014. Kamus Bahasa Indonesia Edisi Baru.
Jakarta: Pandom Media Nusantara.
Pratama, Widya Wahyu. 2013. “Tinjauan Bentuk dan Isi Naskah Upacara
Primbon Suku Tengger: Kajian Religiusitas Masyarakat Tengger”. Skripsi,
Universitas Negeri Surabaya.
147
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
148
Sedyawati, Edi. 2010. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.
Jakarta: Rajawali Press.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknis Analisis Bahasa. Yogyakarta: Sanata
Dharma University Press.
Sutarto. 2006. “Pesan Spiritual dalam Mantra Tengger Purwa Bumi Kamulane
dan Implikasinya Bagi Pendidikan Budaya”. Pendidikan dan Pembelajaran
13 (2).
Tanti, Yunita Meriana. 2011. “Aspek Ruwatan ing Sajrone Naskah Mantra
Tengger”. Skripsi, Universitas Negeri Surabaya.
Zoest, Aart Van. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang
Kita Lakukan Dengannya. Diterjemahkan oleh Ani Soekowati. Jakarta:
Yayasan Sumber Agung.
Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 2000. Kamus Jawa Kuna-Indonesia 1 A-O.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wawancara
Purwaningsih, Endang, wawancara oleh Rifda Nabila. 2019. Penulis dan Umur
Naskah Tengger (9 Maret).