Anda di halaman 1dari 169

IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI

PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN TEKS DAN ANALISIS SEMIOTIKA

Oleh

RIFDA NABILA
NIM 121511133049

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN TEKS DAN ANALISIS SEMIOTIKA

SKRIPSI

Oleh

RIFDA NABILA
NIM 121511133049

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019

ii
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN TEKS DAN ANALISIS SEMIOTIKA

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada


Departemen /Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakulatas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

Oleh

RIFDA NABILA
NIM 121511133049

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019

iii
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

HALAMAN MOTTO

Knowledge will give you power but character


respect

-Bruce Lee-

v
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk orang-orang yang


telah berjuang di belakang layar terkhusus ibu dan
bapak.

Pemberi semangat yang tak pernah padam, mbak-mbakku,


adik-adikku, dan keponakan baruku.

Segenap keluarga dan teman-teman semua yang turut


memberi ribuan senyum manisnya dan mengingatkanku
pantang mundur sebelum berperang.

vi
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah SWT yang mana telah mengizinkan peneliti

untuk berproses dari awal hingga skripsi yang berjudul “Primbon Tengger:

Suntingan Teks dan Analisis Semiotika” ini selesai. Skripsi ini disusun sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora pada Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Airlangga.

Skripsi ini mengkaji tentang analisis filologis dan semiotik mengenai

naskah Primbon Tengger. Pembahasan di dalamnya meliputi berbagai macam

deskripsi naskah berdasarkan katalog dan penelitian secara mendalam, kritik teks,

suntingan teks, hasil terjemahan, dan analisis semiotika yang mengungkap

berbagai tanda yang ada pada naskah Primbon Tengger.

Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak sehingga

pada kesempatan ini peneliti menyampaikan terimakasih kepada:

1. Diah Ariani Arimbi, S.S., M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Airlangga;

2. Dra. Dwi Handayani, M.Hum., selaku Ketua Departemen Bahasa dan

Sastra Indonesia;

3. Mochamad Ali, S.S., M.A. Min., selaku dosen pembimbing skripsi. Tanpa

bantuan dari Bapak, skripsi ini mungkin tidak akan selesai. Terima kasih

sudah meluangkan waktu Bapak yang begitu padat dan sudah sabar dalam

ix
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

membimbing. Semoga kebaikan Bapak dibalas oleh Allah SWT dengan

pahala yang berlipat ganda;

4. Segenap dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Airlangga Surabaya, terkhusus Dr. Trisna Kumala Satya Dewi,

Dra., M.S., Mochamad Ali, S.S., M.A. Min., Mochtar Lutfi, S.S., M.Hum.,

Dra. Sutji Hartiningsih, M.Hum., Dra. Retno Asih Wulandari, M.A., dan

Mardhayu Wulan Sari, S.Hum., M.A;

5. Kedua orang tua, Ibu Saudail Ghomin dan Bapak Taufiqur Rohman yang

selalu memberikan dukungan dan do‟a. Meskipun apapun yang Bela

berikan tidak mampu membalas semua yang telah Ibu dan Bapak berikan.

Terima kasih juga untuk empat saudariku, Mbak Ina, Mbak Dina, Hana,

dan Mahda yang selalu menyemangati Bela. Kepada Mbah Khotimah yang

telah menemani dan membimbing Bela sedari Madrasah Ibtida’, terima

kasih atas segala pengorbanan yang diberikan. Tidak lupa kepada keluarga

besar Bela ucapkan terimakasih;

6. Semua pihak pegawai Museum Negeri Mpu Tantular Sidoarjo, terkhusus

Dra. Endang Purwaningsih, M.Si., yang telah memberikan banyak bantuan

kepada Bela dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas segala

informasi yang diberikan;

7. Nafisatun Nurroh, teman seperjuangan seperantauan. Terima kasih atas

segala pertemuan dan pertemanan kita. Terima kasih telah menjadi teman

dan saudara yang sangat baik untukku;

x
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

8. Teman sedari kecil yang tidak pernah bosan berbagi waktu dan

pengalaman, bermain bersama dan saling memberi semangat dan

dukungannya, Ulya, Khoir, Fitri, Asha, Mbak Inul, Mamo, Cikmah, Qoni‟,

Didin, Mansur, Solem, Ulil, terima kasih atas segala dorongan dan

masukan yang telah kalian berikan. Semoga pertemanan ini tak lekang

oleh waktu;

9. Keluarga pondok pesantren “Riyadl” yang sedari Bela remaja selalu

memberikan pengalaman hidup. Untuk Abah Adib dan Ibu Nunuk, terima

kasih atas segala dedikasi yang telah kalian berikan. Untuk teman-teman

pondok tercintaku, Reni, Tya, Dani, Meri, Mbak Ifa, Zaim, Ninok, Mbak

Ummah, Zahrok, Mbah Uyuk, Nayla, Mbak Fitri terimakasih atas 1, 2, 3,

4 tahun dan seterusnya ini. Semoga persudaraan kita tetap terjalin;

10. Keluarga “Baitus Silmy” Mba Dati, Mba Nita, Mba Fadiah, Mba Dina,

Mba Meme, Mba Riska, Mba Lina, Mba Debi, Diah, Nafis, Nia, Isqi,

Dian, dan semuanya. Terima kasih sudah menjadikan Bela sebagai

keluarga tanpa ikatan darah , mengajarkan Bela makna keluarga di

perantauan, belajar disiplin terutama untuk sholat subuh berjamaah dan

dilanjutkan dengan membaca almatsurat meskipun dengan kondisi mata

tinggal setengah sadar;

11. Kawan-kawan kos GBJ yang selalu rame dan gokil, Iil, Emi, Vita, Napis,

Lutpi, Tsani, Mbak Rimi, Mbak Sheiny, Yeni, Fitri, dan Herlin. Terima

kasih untuk beberapa bulan ini;

xi
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

12. Teman-teman cantikku, pejuang filologi 2015, Rani, Nina, Iil, Ella, Dewi,

Tiu, Dina, Erma, Nur, Yulia, Nimas, Yolanda, dan Layla. Terima kasih

atas segala diskusi kita selama ini dan semoga ilmu yang kita dapat

bermanfaat dengan baik;

13. Kawan-kawan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015, bagaimanapun dan di

manapun kalian semoga selalu mendapatkan kemudahan dan lindungan

dari-Nya. Tsania, Nikma, Sa‟adah, Leoni, Iim yang tak sungkan senang

bertandang mengunjungi Bela ketika sendirian di kos. Juga untuk teman

magang, Nay, Dewi Asrof, dan Layli;

14. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih atas

segala do‟a dan bantuan yang diberikan.

Akhir kata, semoga karya skripsi ini mampu memberikan manfaat dan

peneliti menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini jauh dari kata

sempura. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun senantiasa peneliti

harapkan dari berbagai pihak.

Surabaya, 9 Juli 2019

Rifda Nabila

xii
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR ISI

Sampul Depan .................................................................................................. i


Sampul Dalam .................................................................................................. ii
Prasyarat Gelar ................................................................................................. iii
Pernyataan ........................................................................................................ iv
Halaman Motto................................................................................................. v
Halaman Persembahan ..................................................................................... vi
Persetujuan dan Pengesahan Skripsi ................................................................ vii
Kata Pengantar ................................................................................................. ix
Daftar Isi........................................................................................................... xiii
Daftar Gambar.................................................................................................. xvi
Daftar Tabel ..................................................................................................... xvii
Daftar Singkatan............................................................................................... xviii
Abstrak ............................................................................................................. xix
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah............................................................ 1
1.2. Batasan Masalah....................................................................... 7
1.3. Rumusan Masalah .................................................................... 7
1.4. Tujuan Penelitian ..................................................................... 8
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................... 8
1.6. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 9
1.7. Landasan Teori ......................................................................... 13
1.7.1 Teori Filologi .................................................................. 13
1.7.2 Teori Semiotika Peirce .................................................... 18
1.8. Metode Penelitian..................................................................... 20
1.8.1 Metode Penelitian Naskah............................................... 20
1.8.2 Metode Suntingan Teks................................................... 27
1.9 Sistematika Penulisan ................................................................ 28
BAB II DESKRIPSI NASKAH ................................................................... 30
2.1. Pengantar Deskripsi Naskah ................................................... 30
2.2.Deskripsi Naskah ..................................................................... 31
2.2.1 Judul Naskah ................................................................... 31
2.2.2 Nomor Naskah ................................................................ 32
2.2.3 Tempat Penyimpanan Naskah ......................................... 33

xiii
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

2.2.4 Asal Naskah .................................................................... 33


2.2.5 Keadaan Naskah .............................................................. 34
2.2.6 Ukuran Naskah ................................................................ 35
2.2.7 Tebal Naskah................................................................... 36
2.2.8 Jumlah Baris Per Halaman .............................................. 36
2.2.9 Huruf, Aksara, Tulisan Naskah ....................................... 37
2.2.10 Cara Penulisan............................................................... 42
2.2.11 Bahan Naskah................................................................ 45
2.2.12 Bahasa Naskah .............................................................. 46
2.2.13 Bentuk Teks .................................................................. 46
2.2.14 Umur Naskah ................................................................ 47
2.2.15 Pengarang/Penyalin ....................................................... 49
2.2.16 Asal-Usul Naskah.......................................................... 49
2.2.17 Fungsi Sosial Naskah .................................................... 50
2.2.18 Ikhtisar Teks/Cerita ....................................................... 50
2.2.19 Catatan Deskripsi Naskah ............................................. 53
BAB III KRITIK TEKS ................................................................................ 56
3.1. Pengantar Kritik Teks ............................................................. 56
3.2. Kritik Teks .............................................................................. 58
3.2.1 Lakuna ............................................................................. 58
3.2.2 Adisi ................................................................................ 61
3.2.3 Subtitusi ........................................................................... 62
3.2.4 Transposisi ....................................................................... 65
3.2.5 Ditografi .......................................................................... 65
3.2.6 Gabungan ......................................................................... 66
3.2.7 Catatan Kritik Teks.......................................................... 67
BAB IV SUNTINGAN TEKS ...................................................................... 69
4.1 Pengantar Suntingan Teks ....................................................... 69
4.2 Pedoman Suntingan Teks ......................................................... 70
4.3 Hasil Suntingan Teks ............................................................... 74
BAB V TERJEMAHAN ............................................................................. 93

xiv
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

5.1 Pengantar Terjemahan .............................................................. 93


5.2 Hasil Terjemahan Naskah PT................................................... 95
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 112
6.1 Bentuk dan Struktur Teks PT................................................... 112
6.2 Identifikasi dan Analisis Tanda dalam Teks PT ...................... 118
6.2.1 Ikonitas dalam Teks PT................................................... 119
6.2.2 Indeksikalitas dalam Teks PT ......................................... 124
6.2.3 Simbolisme dalam Teks PT ............................................ 129
6.3 Konsep Kepercayaan Masyarakat Tengger dalam Teks PT .... 132
6.4 Pengaplikasian Teks PT ........................................................... 138
BAB VII PENUTUP ...................................................................................... 142
7.1 Simpulan .................................................................................. 142
7.2 Saran......................................................................................... 143
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 145

xv
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Keadaan lempiran lontar naskah PT ........................................... 35

Gambar 2.2 Huruf da dan na yang dipangkon di tengah kalimat .................. 38

Gambar 2.3 Bentuk nga lêlêt yang diapit dua adeg-adeg .............................. 38

Gambar 2.4 Ukuran huruf teks PT.................................................................. 39

Gambar 2.5 Kondisi tulisan teks PT............................................................... 40

Gambar 2.6 Bentuk adeg-adeg/mangajapa sebagai tanda baca kalimat ........ 42

Gambar 2.7 Pungtuasi tanda petik satu (”) ..................................................... 42

Gambar 2.8 Pungtuasi tanda petik dua (“...”) ................................................. 42

Gambar 2.9 Pelabelan nomor halaman oleh pegawai museum ...................... 45

Gambar 2.10 Pemberian nomor halaman oleh penulis naskah PT ................. 45

Gambar 2.11 Bukti registrasi naskah PT ........................................................ 50

Gambar 2.12 Simbol yang tidak dapat didefinisikan ..................................... 54

Gambar 2.13 Simbol tumbuhan padi/jagung .................................................. 54

Gambar 2.14 Simbol hati ................................................................................ 55

xvi
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Daftar kesalahan lakuna teks PT ................................................. 58

Tabel 3.2 Daftar kesalahan adisi teks PT .................................................... 61

Tabel 3.3 Daftar kesalahan subtitusi teks PT .............................................. 62

Tabel 3.4 Daftar kesalahan transposisi teks PT........................................... 65

Tabel 3.5 Daftar kesalahan ditografi teks PT .............................................. 65


Tabel 3.6 Daftar kesalahan gabungan teks PT ............................................ 66
Tabel 4.2.1 Perbandingan bentuk aksara dan pasangannya ........................ 70
Tabel 4.2.2 Perbandingan sandhangan swara ............................................. 71
Tabel 4.2.3 Perbandingan aksara ganten .................................................... 72
Tabel 4.2.4 Perbandingan sandhangan wyanjana ....................................... 72
Tabel 4.2.5 Perbandingan sandhangan panyigeging wanda ....................... 72
Tabel 4.2.6 Perbandingan pada ................................................................... 73

xvii
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR SINGKATAN

PT : Primbon Tengger

No : Nomor

Lpr : Lempir

SWT : Subhanahu Wata‟ala

xviii
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

ABSTRAK

Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks Primbon Tengger.
Teks PT merupakan teks yang menggunakan bahasa dan aksara Jawa serta
berbentuk prosa. Sumber data penelitian ini adalah naskah kuno koleksi Museum
Negeri Mpu Tantular Sidoarjo. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teori filologi dan teori semiotika. Teori filologi digunakan untuk mengungkap
berbagai macam data filologis sedangkan teori semiotika digunakan untuk
menganalisis isi teks PT. Penelitian ini menggunakan beberapa metode penelitian.
Pertama, metode penelitian naskah, meliputi penentuan sasaran penelitian,
inventarisasi naskah, deskripsi naskah, transliterasi, dan terjemahan. Kedua,
metode suntingan teks, yaitu edisi standar/kritik teks. Penelitian ini juga
menggunakan ilmu bantu lain, yaitu ilmu sastra berupa teori semiotika Peirce.
Hasil penelitian ini meliputi suntingan teks yang representatif dan bersih dari
kesalahan berupa lakuna, adisi, subtitusi, transposisi, ditografi, dan gabungan,
terjemahan teks dengan menggunakan metode terjemahan setengah bebas, tanda-
tanda semiotik berupa ikon, indeks, dan simbol, bentuk dan struktur teks PT, serta
konsep kepercayaan masyarakat Tengger mengenai dewa-dewa.

Kata kunci: Pimbon Tengger, suntingan teks, edisi standar, semiotika.

xix
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

ABSTRACT

This research used The Primbon Tengger text. PT is defined as the text
which uses Javanese in its scripture as in the form of prose. The ancient
manuscript collection of the State Museum of Mpu Tantular Sidoarjo is chosen as
the data source. Philological and semiotic theory are used in conducting this
research, to reveal various kinds of philological data, while semiotic is used to
analyze the contents of the PT text. This research used several research methods.
First, the manuscript research method includes the targeting of research,
manuscript inventory, manuscript descriptions, transliteration, and translation.
Second, the method of text editing, called as the standard edition/text criticism. To
assist this research, Peirce's semiotic theory as a part of literature theory is also
being used. The research resulted that the editing of the text is very representative
and errorless in the form of lacuna, addition, substitution, transposition,
ditography, and combination, the translations using half-free translation methods,
semiotic signs in the form of icons, indices, and symbols, forms and text
structures of PT in accordance with the concept of Tengger tribe beliefs about
gods.

Keywords: Primbon Tengger, text editing, standard edition, semiotics.

xx
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya seni yang diciptakan oleh manusia secara umum sangat beragam

jenisnya, seperti lukisan, tarian, sastra, dan lain-lain. Bentuk karya seni yang

bermacam-macam tersebut juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar serta zaman

yang sedang berlangsung pada saat itu. Corak karya seni dalam berbagai jenisnya

pun memiliki kekhasan serta keunikannya masing-masing. Salah satu seni yang

memiliki peran besar dalam perubahan di Nusantara, yaitu seni sastra. Karya seni

dalam tataran khazanah Indonesia khususnya dalam hal karya-karya tulisan masa

lampau merupakan salah satu warisan dari nenek moyang yang patut dilestarikan

karena mengandung unsur estetika dan biasanya terdapat nasihat-nasihat yang

baik serta mampu menginformasikan buah pikiran, perasaan, dan informasi

mengenai berbagai segi kehidupan yang pernah ada.

Dalam hubungannya dengan budaya, karya seni dapat disebut pula sebagai

sebuah hasil karya seseorang yang monumental. Salah satu seni yang ada, yaitu

seni sastra berupa karya tulisan tangan. Karya tulisan tangan yang dianggap seni

dalam hal ini, yaitu segala dokumentasi atas rekam jejak dan bukti sejarah serta

ide pokok kreatif masa lalu yang dituangkan dalam sebuah karya bertuliskan

tangan dan isinya dapat dimanfaatkan oleh para pembacanya. Karya tulisan tangan

yang dimaksud dalam hal ini, yaitu berupa naskah-naskah kuno yang memiliki

nilai seni.

1
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2

Berbeda dengan produk sekarang ini, hasil penciptaan di masa lampau pada

masa kini berada dalam kondisi yang tidak selalu dapat diterima dengan baik.

Kondisinya dapat dikatakan “gelap” atau “tidak jelas” oleh pembaca sekarang ini

karena banyak yang rusak bahkan hancur. Sebagai akibatnya, banyak karya

tulisan tangan yang tidak mendapat perhatian oleh pembaca karena tulisan-tulisan

yang tidak dapat dipahami dengan baik oleh penikmatnya (Baried, 1994: 1). Oleh

karena itu, penyalinan dan pembacaan kepada khalayak perlu dilakukan demi

mendapatkan naskah yang mengandung sedikit kesalahan atau lebih baik lagi

dapat menghadirkan naskah yang mendekati murni atau asli.

Naskah sebagai bahasa tulis merupakan wujud konkret adanya buah pikiran

orang-orang zaman dahulu dalam melakukan bermacam-macam kegiatan. Hal ini

tentu menjadi bukti bahwa tradisi tulis memang sudah berlaku pada saat itu.

Aksara yang digunakan dalam sebuah naskah kadang ditemukan berbeda-beda

sesuai dengan pengaruh yang ada. Menurut Sedyawati (2010: 70) sejumlah sistem

tulisan yang dipakai di Indonesia baik pada masa lalu maupun yang terkenal dan

masih digunakan sampai saat ini berasal dari luar Indonesia, misalnya dalam

sistem aksara Pallawa yang kemudian mengalami transformasi menjadi aksara

Nusantara kuno (untuk Jawa dikenal dengan aksara Jawa kuno). Selain aksara

Pallawa yang mengalami transformasi, berbagai corak aksara lainnya seperti yang

dipengaruhi oleh Hindu atau Buddha juga muncul dalam khazanah sistem tulisan

yang dipakai di Indonesia.

Corak Hindu muncul dalam naskah tulisan tangan di kalangan Nusantara

salah satunya dalam naskah Primbon Tengger yang kemudian disingkat dengan

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
3

PT. Contoh corak Hindu, yaitu munculnya nama-nama dewa, seperti Wisnu,

Siwa, dan Brahma. Selain itu, disebutkan pula kata seru untuk menyebut dewa,

yaitu hong/ong. Sebenarnya pada awal abad ke-10 sudah ditemukan prasasti

Tengger yang terbuat dari batu yang tertulis tahun saka 851 atau 929 Masehi yang

pada saat itu menyebutkan bahwa ada sebuah desa bernama Walandit yang

terletak di Pegunungan Tengger sebagai tempat suci karena dihuni oleh Hulun

Hyang atau disebut juga abdi dewa-dewi agama Hindu. Berdasarkan hal tersebut,

mayoritas masyarakat Tengger memeluk agama Hindu yang dibawa oleh Rara

Anteng dan Jaka Seger setelah sebelumnya menganut ajaran animisme dan

dinamisme. Akan tetapi, agama Hindu yang mereka anut berbeda dengan agama

Hindu yang dianut oleh masyarakat Bali. Agama Hindu di Bali, yaitu Hindu

Dharma, sedangkan khusus agama Hindu yang dianut masyarakat Tengger masih

tercampur dengan kepercayaan-kepercayaan yang tumbuh di masyarakat sekitar

(Malik, 2007: 114).

Tengger merupakan hasil cerita dari kejayaan kerajaan Majapahit yang

menolak adanya pengaruh Islam dengan meninggalkan tempat mereka. Rakyat

kala itu memilih untuk berlari ke pegunungan yang penduduknya tinggal di

lereng-lereng Pegunungan Tengger dan Semeru, sedangkan sisanya dari abdi

dalem keraton Trowulan yang melarikan diri ke Pulau Bali. Bahasa yang

digunakan oleh masyarakat Tengger adalah bahasa Jawa Tengger yang diyakini

merupakan bahasa Jawa Kuno yang dibawa oleh orang-orang Majapahit karena

dialek yang digunakan sama (Newiger, 2006).

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
4

Dataran tinggi Tengger dipercaya sebagai pusat pemeliharaan kepercayaan

Jawa Kuno (Pigeaud, 1967: 3). Hal ini diyakini karena dulu rakyat kerajaan

Majapahit banyak yang melakukan transmigrasi dari daerah kekuasaannya ke

Tengger dikarenakan adanya pengaruh Islam. Oleh sebab itu, mereka memutuskan

untuk tinggal di Tengger dan mengajarkan suatu hal yang mereka percayai kepada

penduduk asli Tengger, seperti menyebarkan ajaran yang kental dengan Hindu

dan Buddha. Mengenai lokasi Tengger, Malik (2007: xvii) menyatakan bahwa

masyarakat Tengger merupakan penduduk yang tinggal di pedalaman Pegunungan

Bromo tepatnya terletak di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Berdasarkan

persebaran bahasa dan pola kehidupan sosial masyarakatnya, daerah persebaran

masyarakat Tengger, yaitu di sekitar Probolinggo, Lumajang (Ranupane

Kecamatan Senduro), Malang (Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo), dan

Pasuruan. Sementara itu, pusat kebudayaannya yang asli, yaitu di sekitaran

pedalaman kaki Pegunungan Bromo.

Upacara-upacara, ritual, dan hal-hal yang mengandung kebaikan yang

dijabarkan dalam naskah ini sampai sekarang masih dipercaya sebagai suatu

warisan dari nenek moyang yang patut dilestarikan sebagai salah satu bentuk

penghargaan terhadap peninggalan zaman dahulu. Upacara-upacara serta ritual ini

menjadi kekhasan serta keunikan tersendiri bagi masyarakat Tengger. Hal ini juga

sebagai titik pengenalan oleh masyarakat Tengger terhadap budaya dan tradisi

yang mereka anut kepada wisatawan lokal maupun mancanegara agar tertarik dan

memberi perhatian yang lebih dengan apa yang mereka yakini dan miliki. Saat

melakukan upacara serta ritualnya, masyarakat Tengger banyak memiliki mantra-

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
5

mantra yang tersimpan dalam catatan-catatan salah satunya dalam naskah PT. Hal

ini bertujuan bahwa ketika masyarakat Tengger melakukan suatu tindakan yang

berhubungan dengan budaya atau tradisi yang berkaitan dengan sang pencipta

menurut keyakinan mereka, mereka tidak hanya asal melakukannya tetapi

berlandaskan tata cara yang memang telah diajarkan oleh leluhurnya.

Sebenarnya penamaan naskah PT berasal dari peneliti sendiri karena dalam

katalog yang ada di Museum Negeri Mpu Tantular Sidoarjo tertulis Primbon Suku

Tengger. Istilah suku Tengger dalam hal ini masih menjadi kerancuan. Oleh

karena itu, nama PT dipilih untuk dijadikan judul naskah. Berdasarkan katalog

Dokumentasi Koleksi Benda Cagar Budaya Filologika (Lontar) milik Museum

Negeri Mpu Tantular Sidoarjo, sebenarnya ada 13 naskah yang berjudul Primbon

Suku Tengger, yaitu mulai nomor inventarisasi 07.187 M - 07.199 M.

Menurut informasi yang peneliti dapatkan dari Ibu Endang Purwaningsih

pada Sabtu, 9 Maret 2019, yang merupakan mantan ketua bidang koleksi

pernaskahan Museum Negeri Mpu Tantular Sidoarjo dan telah pensiun

pertengahan 2018 silam, beliau menyatakan bahwa sebenarnya naskah Tengger

terdiri dari 28 naskah lontar di mana 13 naskah telah dibeli oleh Museum Negeri

Mpu Tantular Sidoarjo, 5 naskah dipegang oleh masing-masing dukun (pemimpin

upacara adat) di berbagai desa di wilayah Tengger, dan 10 naskah yang tidak

diketahui tempat penyimpanannya. 5 naskah yang dipegang oleh para dukun

tersebut tidak boleh keluar dari Tengger dan menurut penjelasan informan pula,

sebenarnya naskah Tengger yang asli adalah yang ditulis di sebuah batu dan

disimpan di Gunung Lingga yang tidak diketahui letak geografisnya.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
6

Berdasarkan informasi tersebut, peneliti hanya memilih satu naskah yang

menjadi objek penelitian skripsi. Peneliti memilih naskah PT dengan nomor

inventarisasi 07.195 M. Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan dari berbagai

hal mulai dari keunikan, kejelasan tulisan, keadaan naskahnya mengingat naskah

ini berbahan lontar, dan hal-hal yang dibahas di dalam naskah serta penerapannya

pada masyarakat Tengger. Peneliti menganggap naskah ini unik dari judul yang

diberikan, yaitu “primbon”. Primbon dalam arti luas mengandung banyak ajaran

dari pemikiran orang-orang masa lampau yang di masa kini tidak banyak orang

memercayai dan memerdulikannya karena dianggap tidak logis. Kenyatannya,

sampai saat ini banyak masyarakat yang menerapkan ajaran primbon tanpa

mereka sadari, seperti memanfaatkan ilmu tentang hari baik menikah,

membangun rumah, melakukan hajatan, dan lain-lain.

Kejelasan tulisan dianggap penting dalam pertimbangan pemilihan naskah

karena hal ini akan berdampak pada durasi pekerjaan lambat atau cepatnya

peneliti mengerjakan penelitian dan tingkat kesulitan yang akan dialami peneliti.

Keadaan naskah juga penting diperhatikan karena akan berdampak pada analisis

peneliti mengenai isinya. Keadaan naskah PT dapat dikatakan sudah tidak lagi

baik (moderate) karena ada beberapa tulisan yang sudah menghitam, sobek, dan

hilang karena termakan ngengat di beberapa bagian. Dari segi isi, secara ringkas

naskah PT ini sudah dapat disimpulkan bahwa naskah tersebut dipengaruhi ajaran

Hindu. Berdasarkan deskripsi dari katalog, naskah ini berisi tentang hamba-hamba

yang harus menyembah Dewa Siwa, penceritaan tentang istri-istri serta anak-anak

Dewa Siwa, perlindungan Dewa Wisnu terhadap dunia dan seisinya serta rirual-

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
7

ritual yang dilakukannya, kemakmuran masyarakat dengan bantuan Durga, serta

dijelaskan pula nama-nama hari pada masyarakat Tengger.

1.2 Batasan Masalah

Agar pembahasan terhadap objek penelitian ini lebih fokus dan tidak

melebar maka penelitian ini dibatasi pada hal-hal sebagai berikut.

1. Naskah primbon milik Museum Negeri Mpu Tantular Sidoarjo. Hal ini

menujukkan bahwa naskah primbon menjadi objek utama yang akan

dipakai sebagai bahan penelitian.

2. Naskah PT yang dipilih hanya satu, yaitu yang bernomor inventarisasi

07.195 M dari 13 naskah PT yang tersimpan di Museum Negeri Mpu

Tantular Sidoarjo.

3. Peneliti membatasi ruang lingkup yang akan dibahas pada skripsi ini fokus

pada kajian filologisnya. Kajian filologi ini memiliki langkah-langkah

yang harus dilakukan, yaitu penentuan sasaran atau objek penelitian,

inventarisasi naskah atau metode pencatatan naskah, deskripsi naskah,

transliterasi, dan terjemahan.

4. Penelitian ini terbatas pada suntingan teks dan analisis semiotika pada

naskah PT nomor inventarisasi 07.195 M.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah suntingan teks PT?

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
8

2. Bagaimanakah bentuk dan struktur teks PT?

3. Bagaimanakah bentuk semiotika atau tanda dalam naskah PT?

4. Bagaimanakah konsep kepercayaan masyarakat Tenger dalam teks PT?

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Menyajikan suntingan teks PT yang bersih dari kesalahan sehingga

representatif bagi pembaca.

2. Mengungkapkan bentuk dan struktur teks PT.

3. Mengungkapkan bentuk semiotika dalam teks PT.

4. Mengungkapkan konsep kepercayaan masyarakat Tengger dalam teks PT.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini meliputi dua aspek, yaitu aspek teoretis dan

aspek praktis.

1.5.1 Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan

kajian bidang ilmu filologi, khususnya kajian tentang naskah PT sebagai sebuah

hasil karya budaya yang harus dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Penelitian

ini diharapkan juga dapat menunjang kajian budaya melalui aplikasi ilmu sastra

serta diharapkan pula dapat memperluas khazanah kesusastraan lokal Tengger.

1.5.2 Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca dalam memahami

naskah PT sehingga pembaca mengetahui lebih dalam tentang kebudayaan Jawa

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
9

khususnya yang membahas tentang PT serta kandungan isinya. Selain itu,

membantu mahasiswa khususnya Bahasa dan Sastra Indonesia dan peneliti lain

agar dapat memahami dan mempelajari kebudayaan Tengger serta peduli terhadap

warisan budaya dari leluhur.

1.6 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, belum pernah ada penelitian

yang meneliti hal yang sama dengan peneliti, akan tetapi ada beberapa penelitian

yang cukup relevan pernah dilakukan oleh Robert W. Hefner, Ursel Newiger,

Sutarto, Titik Indramayu, Yunita Meriana Tanti, Widya Wahyu Pratama, dan

Lincahayati.

Penelitian yang dilakukan oleh Robert W. Hefner berjudul Hindu Javanese:

Tengger Tradition and Islam yang dimuat dalam jurnal internasional pada tahun

1987. Penelitian ini mendeskripsikan tentang budaya orang Tengger yang identik

dengan Hindu dalam upacara adatnya yang ternyata tidak serta merta disamakan

dengan ajaran Hindu di Bali. Hal ini disebabkan karena ajaran Hindu di Tengger

mendapat banyak interaksi dengan Islam dan Buddha, seperti munculnya tradisi

slametan dan kenduren. Jadi, sebenarnya orang-orang Tengger tidak mempunyai

kepercayaan yang saklek karena ajaran Hindu yang tercermin merupakan

bentukan sosial masyarakat yang ada. Persamaan penelitian ini dengan yang

dilakukan oleh peneliti, yaitu sama-sama dalam ranah atau ruang lingkup kajian

mengenai kepercayaan Hindu di Tengger. Perbedaannya terletak pada objek

kajian dan ilmu analisis yang digunakan. Objek penelitian ini berupa tradisi

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
10

Tengger yang dilihat pada perspektif budayanya dengan memakai ilmu bantu

antropologi, sedangkan peneliti memakai objek penelitian berupa naskah Tengger

dengan memakai ilmu bantu filologi.

Penelitian yang dilakukan oleh Ursel Newiger berjudul Kisah Masyarakat

Tengger di Gunung Bromo yang telah diterbitkan menjadi buku pada tahun 2006.

Buku ini mendeskripsikan tentang mitos dan legenda dewa-dewa, roh, dan

manusia yang diyakini oleh masyarakat Tengger. Penceritaan mengenai pelbagai

kisah dalam buku ini dituliskan seperti sebuah dongeng. Dikisahkan bahwa

masyarakat Tengger adalah pelarian dari kerajaan Majapahit yang menolak

adanya arus Islam yang muncul dan sebagian lainnya lari ke Bali. Buku ini

menceritakan juga tentang Resi Dada Putih, kisah Jaka Tarup, upacara kasada,

dan lain-lain. Persamaan penelitian ini dengan yang dilakukan oleh peneliti, yaitu

sama-sama fokus pada kepercayaan dan pelbagai kisah yang dianut oleh

masyarakat Tengger, yaitu berupa dewa-dewa. Perbedaannya terletak pada bentuk

objek yang diteliti. Penelitian ini memakai pelbagai cerita masyarakat Tengger

sebagai sumber data utama dalam mengungkap kisah-kisah yang ada, baik kisah

dewa-dewa, roh, dan lain-lain, sedangkan peneliti memakai naskah kuno sebagai

sumber data utama.

Penelitian yang dilakukan oleh Sutarto berjudul Pesan Spiritual dalam

Mantra Tengger Purwa Bumi Kamulane dan Implikasinya bagi Pendidikan

Budaya yang dimuat dalam jurnal nasional pada tahun 2006. Penelitian ini

menghasilkan sebuah penceritaan teks pemurnian mantra Tengger yang bernama

Purwa Bumi Kamulane. Teks tersebut menyajikan nama-nama dewa Hindu dan

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
11

kekuatan yang mereka miliki, seperti Dewa Siwa (Bathara Guru) dan Dewi Durga

(Uma). Penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh Hindu-Jawa cukup kuat

terutama di daerah pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa orang Tengger

diintegrasikan ke dalam tradisi negara dan budaya dari dataran rendah menuju

zaman klasik. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sutarto terletak

pada objek penelitian, yaitu membahas tentang mantra Tengger. Perbedaannya

terletak pada metode penelitian yang dipakai. Sutarto menggunakan metode

pendekatan budaya, sedangkan peneliti menggunakan metode suntingan teks edisi

standar.

Penelitian yang dilakukan oleh Titik Indramayu berjudul Kedhung Rumeksa

Ri Wengi: Suntingan Teks Disertai Telaah Metafora pada tahun 2010. Penelitian

ini mendeskripsikan metafora dengan nama-nama nabi dan para sahabat Nabi

Muhammad yang mengajarkan tentang manunggaling kawula gusti dan

menyatakan adanya penyatuan antara manusia (kawula) dengan Tuhan (Gusti).

Metafora dengan nama-nama nabi menggambarkan keislaman yang tercipta di

antara ajaran Hindu yang melekat di masyarakat Tengger. Persamaan penelitian

ini dengan yang dilakukan oleh peneliti adalah sama-sama memakai naskah

Tengger. Perbedaannya ialah pada nomor inventarisasi naskah yang digunakan,

yaitu 07.192 M dan 07.194 M, sedangkan peneliti memakai nomor inventarisasi

07.195 M. Selain itu, metodenya juga berbeda. Penelitian ini memakai metode

suntingan teks diplomatik, sedangkan peneliti memakai suntingan teks edisi

standar.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
12

Penelitian yang dilakukan oleh Yunita Meriana Tanti berjudul Aspek

Ruwatan Ing Sajrone Naskah Mantra Tengger pada tahun 2011. Penelitian ini

mendeskripsikan jenis-jenis ruwatan, termasuk ruwatan orang terkena musibah,

ruwatan desa dan ruwatan penolak bala, jenis-jenis manusia yang diruwat, seperti

anak yang terkena musibah dan menjauhkan kesialan dan jenis-jenis ruwatan

untuk wayang dan sesajinya. Persamaan penelitian ini dengan yang dilakukan

oleh peneliti adalah sama-sama memakai naskah Tengger. Perbedaannya ialah

pada nomor inventarisasi naskah yang dipakai, yaitu 07.196 M, sedangkan

peneliti memakai nomor 07.195 M. Selain itu, perbedaannya juga terletak pada

metode yang digunakan. Penelitian ini memakai metode deskriptif kualitatif

dengan pendekatan filologi modern dan kritik teks dengan metode landasan,

sedangkan peneliti memakai metode suntingan teks edisi standar.

Penelitian yang dilakukan Widya Wahyu Pratama berjudul Tinjauan Bentuk

dan Isi Naskah Upacara Primbon Suku Tengger: Kajian Religiusitas Masyarakat

Tengger pada tahun 2013. Penelitian ini mendeskripsikan tata cara melakukan dua

upacara selamatan, yakni upacara selamatan apabila ada warga yang sakit dan

upacara selamatan kayopan alit, beserta berbagai sesaji yang dihaturkan.

Persamaan penelitian ini dengan yang dilakukan oleh peneliti adalah sama-sama

memakai naskah Tengger dan menggunakan metode edisi naskah tunggal dengan

metode standar. Perbedaannya ialah pada nomor inventarisasi naskah yang

digunakan, yaitu 07.197 M, sedangkan peneliti memakai nomor 07.195 M. Selain

itu, perbedaannya juga terletak pada kajian yang dilakukan. Penelitian ini

memakai kajian religiositas sedangkan peneliti memakai kajian analisis semiotika.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
13

Penelitian yang dilakukan oleh Lincahayati berjudul Mantra Kasada

Tengger: Suntingan Teks Disertai Analisis Semiotika pada tahun 2013. Penelitian

ini mendeskripsikan mantra-mantra yang digunakan saat upacara Kasada Tengger

dan pemaknaaan mengenai sesaji-sesaji yang dipakai untuk upacara. Persamaan

penelitian ini dengan yang dilakukan oleh peneliti adalah sama-sama memakai

naskah Tengger. Selain itu, kajian analisis yang digunakan juga sama, yaitu

analisis semiotika. Perbedaannya ialah pada nomor inventarisasi naskah yang

dipakai, yaitu 07.189 M, sedangkan peneliti memakai nomor 07.195 M. Selain itu,

perbedaannya juga terletak pada metode yang digunakan. Penelitian ini memakai

metode diplomatik, sedangkan peneliti memakai metode suntingan teks edisi

standar.

1.7 Landasan Teori

Teori merupakan pendapat atau opini berdasarkan pada penelitian dan

penemuan, didukung oleh data serta argumentasi yang relevan. Teori diperlukan

sebagai landasan penelitian agar terarah dan fokus pada objek kajian. Teori yang

dipakai ialah teori yang berkesinambungan dengan masalah yang terjadi pada

penelitian. Teori dipakai agar dapat memecahkan permasalahan yang ada pada

penelitian. Teori yang digunakan sebagai landasan penelitian ini ialah teori

filologi dan teori semiotika.

1.7.1 Teori Filologi

Selama ini filologi dikenal sebagai ilmu yang berhubungan dengan karya

masa lampau berupa tulisan tangan. Studi ini dilakukan karena ada anggapan

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
14

bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam karya-karya masa lampau masih ada

hubungannya dengan kehidupan masa kini. Karya masa lampau merupakan

peninggalan yang mampu menginformasikan berbagai hal dari segi kehidupan

yang pernah ada. Informasi mengenai masa lampau tersebut dapat diketahui oleh

masyarakat masa kini melalui peninggalan-peninggalan berupa benda-benda

budaya maupun karya-karya tulisan tangan. Informasi dalam peninggalan-

peninggalan tersebut biasanya lebih terarah dan luas, maka hal ini dapat menjadi

kunci pembuka ilmu pengetahuan (Baried, 1994:1-2).

Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Teori Filologi, Baried (1994: 11)

mengungkapkan bahwa:

Filologi merupakan salah satu disiplin yang berupaya


mengungkapkan kandungan teks yang tersimpan dalam naskah produk
masa lampau. Sebagai penggali produk hasil budi daya manusia, filologi
tergolong dalam ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu humaniora. Sebagai
istilah, filologi muncul pada saat para ahli dihadapkan pada upaya
mengungkapkan kandungan suatu naskah yang merupakan produk masa
lampau, yaitu beratus-ratus tahun sebelum penelitiannya lahir. Dalam
sejarah perkembangannya, istilah filologi mengalami perubahan dan
perkembangan. Pengertian dan penerapannya di Indonesia, pada awal
mulanya dipengaruhi oleh para ahli terdahulu yang sedikit banyak
dilatarbelakangi oleh pengetahuan dan pemahaman tentang filologi yang
berlaku dan yang diperlakukan untuk karya-karya abad pertengahan yang
menjadi sasaran dan objek kerja para peneliti filologi terdahulu.
Berdasar pada paparan tersebut dapat diketahui bahwa sebenarnya istilah

filologi berkembang mengikuti alur zaman dan kejadian yang ada berdasarkan

pemahaman mengenai filologi itu sendiri. Sebuah produk yang diatasnamakan

hasil dari kerja filologi merupakan perwujudaan dari buah pikiran dan perasaan

yang dilatari kehidupan sosial masyarakat tentu mempunyai nilai yang berharga.

Hal ini sangat dimungkinkan bahwa naskah-naskah sampai pada tangan pembaca

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
15

masa kini mengalami kerusakan. Hal ini perlu dilakukan penanganan yang serius

berupa penyelamatan naskah dengan melakukan perawatan yang intensif serta

penyalinan secara berulang-ulang agar naskah tetap bisa dimanfaatkan. Tetapi,

penyalinan tidak dapat dilakukan secara sembrono dan seenaknya sendiri. Selain

sebagai penyelamatan, penyalinan naskah biasanya dilatarbelakangi oleh

keinginan memiliki naskah, mendapatkan kekuatan magis, menyebarkan

pemikiran dalam naskah, menangkal pandangan lawan, dan mendapatkan pahala.

Penyalin yang terlalu banyak melakukan campur tangan menyebabkan

adanya perubahan-perubahan yang menyebabkan kemurnian atau keaslian teks

menjadi sulit diidentifikasi apalagi jika penyalinan melibatkan tangan-tangan

ceroboh (fallibility of scribes) atau mereka yang menambahkan teks sesukanya

demi kepentingan pribadi (effects of deliberate interpolation). Sifat dan karakter

penyalin seperti itu dalam memperlakukan naskah saksi yang ada menjadikan

penyalinan bisa berubah-ubah sehingga menghasilkan teks yang berbeda. Proses

penyalinan yang biasanya dilakukan berkali-kali sering terjadi beberapa

kesalahan, seperti penambahan, pengurangan, munculnya keragaman bacaan, atau

lebih fatal lagi adanya kesalahan tulis (Fathurrahman, 2015: 67). Banyaknya

campur tangan dari penyalin tersebut menyebabkan variasi teks yang muncul

menjadi sebuah kerancuan dalam menentukan teks induk. Berdasarkan hal ini

lahirlah kerja filologi (Baried, 1994: 5).

Sebagai ilmu yang menjadikan naskah sebagai objek utama kajiannya,

sebenarnya filologi hanya bisa menyentuh satu aspek saja yang terkandung dalam

naskah, yaitu teksnya saja yang dapat dipelajari dalam ranah tekstologi

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
16

(Fathurrahman, 2015: 109). Padahal sebenarnya selain teks ada hal lain yang juga

patut mendapatkan perhatian yang lebih, dalam hal ini kajian yang dipakai adalah

ilmu kodikologi. Kodikologi berasal dari dua kata, yaitu codex yang berarti

naskah, dan logos yang berarti ilmu. Jadi, kodikologi merupakan ilmu yang

mempelajari tentang seluk beluk naskah, bisa berupa aspek luar naskah yang

meliputi penulis naskah, penggunaan naskah, pemerolehan naskah, penanggalan

naskah, dan lain-lain. Aspek dalam naskah meliputi bahan naskah, umur naskah,

tempat penulisan naskah, dan lain-lain. Dengan memanfaatkan kodikologi ini,

maka segala informasi tentang aspek fisik naskah dapat digunakan dalam

mengidentifikasi teks.

Teks merupakan isi yang terkandung dalam naskah yang bersifat abstrak

karena hanya dapat dibayangkan saja. Dalam hal ini, ilmu yang mempelajari

tentang seluk beluk teks disebut dengan istilah tekstologi. Berdasarkan wujud

penyampaiannya, teks dibagi menjadi tiga macam, yaitu tekstologi yang

mempelajari teks lisan, tekstologi yang mempelajari tentang teks tulis, dan

tekstologi yang mempelajari tentang teks cetakan. Dalam hal ini, penelitian akan

terfokus pada tekstologi yang mempelajari tentang teks tulis karena objek

penelitian berbentuk naskah tulisan tangan.

Seperti yang disebut di atas mengenai penyalinan, sebenarnya tindakan ini

sangat berpotensi menimbulkan perubahan teks/cerita. Penambahan atau

pengurangan yang dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja menjadikan

turunnya variasi teks. Demi menyelamatkan hal ini, maka perlu diadakan kritik

teks agar memperoleh hasil naskah yang mendekati asli. Kritik teks memberikan

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
17

evaluasi terhadap teks, mengecek, meneliti, dan membenarkan teks pada posisi

yang tepat. Kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan teks yang mendekati asli

(constitution textus) dan bersih dari kesalahan (Baried, 1994: 61).

Kritik teks mengandung dua edisi yang berbeda dalam mengkajinya.

Pertama, edisi naskah tunggal. Edisi ini dilakukan apabila hanya ada satu-satunya

naskah. Edisi kritik teks naskah tunggal ini ada dua macam, yaitu edisi diplomatik

dan edisi standar/kritik. Edisi diplomatik merupakan edisi yang dilakukan dengan

menerbitkan satu naskah seteliti-telitinya tanpa melakukan perubahan. Edisi

standar/kritik, yaitu edisi yang dilakukan dengan menerbitkan naskah dengan

membetulkan kesalahan-kesalahan dan ketidakajegan yang ada. Kedua, edisi

naskah jamak. Edisi ini dilakukan apabila naskah seversi dan sezaman berjumlah

lebih dari satu. Edisi naskah jamak dilakukan dengan empat metode yang berbeda,

yaitu metode intuitif, objektif, gabungan, dan landasan. Metode ini digunakan

demi menentukan naskah induk yang sebenar-benarnya (Baried, 1994: 66-68).

Kritik teks dalam penelitian ini menerapkan metode edisi naskah tunggal dengan

menggunakan edisi standar/kritik untuk menghasilkan bacaan yang bersih dari

kesalahan sehingga representatif bagi pembaca.

Hasil dari kritik teks tersebut nantinya akan diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia agar lebih bermanfaat. Hal ini akan membantu minat baca masyarakat

untuk memahami dan mengetahui budaya yang ada di Indonesia yang telah

termaktub dalam naskah-naskah kuno salah satunya dalam naskah PT yang

dijadikan objek penelitian ini. Terjemahan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu

terjemahan harfiah, terjemahan setengah bebas, dan terjemahan bebas (Suryani,

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
18

2012: 87). Penelitian ini memakai metode terjemahan setengah bebas, yaitu tidak

terikat berdasarkan kata demi kata, tetapi tetap menjaga keaslian kandungan teks.

1.7.2 Teori Semiotika Peirce

Semiotika merupakan teori tentang tanda dan penandaan (Lechte, 2001:

191). Pengertian tanda sebenarnya cukup rumit, tergantung pada varian dan

paradigma yang dipakai. Secara umum, pengertian tanda mengikuti klasifikasi

yang dibuat oleh North (dalam Christommy & Yuwono, 2004: vii), yaitu dibagi

menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama melihat tanda sebagai relasi

dwipihak (dyadic) dan kelompok kedua melihat tanda sebagai triadik (triadic).

Saussure mendefinisikan tanda dalam relasi konsep (signified concept) dan bentuk

(signifier). Cara pandang Saussure sangat revolusioner pada zamannya, bahkan

dampaknya dirasakan sampai sekarang (Tobin dalam Christommy & Yuwono

2004: viii).

Menurut Christommy & Yuwono (2004: viii) tanda dapat pula dilihat dalam

perspektif relasi tripihak. Sebuah tanda harus terdiri atas tiga elemen, yaitu

representasi, acuan, dan interpretan.

Menurut Peirce tanda adalah sesuatu yang bagi orang berfungsi sebagai

wakil dari sesuatu yang lain dalam hal atau kapasitas tertentu (Eco dalam

Patriansyah, 2011: 243). Pandangan Peirce tersebut menjelaskan bagaimana

sebuah tanda dapat mewakili sesuatu yang lain, dengan ini sebuah tanda

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
19

merepresentasikan sesuatu yang mewakilinya. Representasi tersebut disebut juga

dengan representamen (X). Karena tanda merupakan representasi dari sesuatu,

tentu ada yang direpresentasikannya, seperti benda, figure, dan lain-lain yang

disebut dengan object (Y). Sesuatu itu bisa menjadi sebuah tanda yang dimaknai

orang lain atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang

dirujuk sebuah tanda, hal ini disebut dengan interpretan (X=Y) (Patriansyah,

2011: 243).

Proses rangkaian semiosis antara interpretan dan representamen yang terus

terjadi menjadikan proses semiosis ini tak berkesudahan dan oleh Umberto Eco

dan Jacques Derrida kemudian dirumuskan sebagai proses semiosis tanpa batas

(Budiman, 2011: 18). Secara lebih sederhana, Zoest (1993: 15-16)

mengungkapkan bahwa representasi dan interpretasi merupakan ciri khas sebuah

tanda. Hasil sebuah representasi disebut juga denotatum atau

representatum/representamen, sedangkan hasil sebuah interpretasi adalah

interpretan. Disebutkan pula bahwa ciri dasar tanda disebut dengan ground.

Dalam hal ini, ground tidak ada yang berlaku umum atau abadi. Tanda tergantung

pada keterbatasan pembatasan dari segala seuatu yang terjadi di dalam dunia.

Berdasar pada penjelasan di atas, Peirce kemudian membentuk hubungan

segitiga berupa ground, denotatum, dan interpretan. Masing-masing dalam tanda

tersebut menjelaskan mengenai kepertamaan, kekeduaan, dan keketigaan. Ground

terdiri atas qualisign, sinsign, dan legisign. Denotatum terdiri atas ikon, indeks,

dan simbol. Interpretan terdiri atas rheme, dicisign, dan argumen.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
20

Pada hasil dan pembahasan, peneliti akan memanfaatkan tipe-tipe tanda

ikon, indeks, dan simbol untuk menunjukkan tanda-tanda yang muncul dalam teks

PT. Tipe tanda tersebut dipilih karena dianggap dapat mewakili sebagian besar

tanda-tanda yang ada dan muncul dalam teks PT sehingga dapat dipilah dan

dipilih sesuai dengan kategorinya masing-masing dan tipe-tipe tanda tersebut

dianggap paling simpel dan fundamental yang didasarkan atas relasi di antara

representamen dan objeknya.

1.8 Metode Penelitian

Menurut Sudaryanto (2015: 9) metode berarti cara yang harus diterapkan

atau dilaksanakan. Dunia keilmuan memang tidak pernah lepas dengan sebuah

metode yang digunakan. Metode merupakan suatu hal yang menyangkut masalah

cara kerja, yakni cara kerja untuk memahami suatu objek yang dijadikan sebagai

sasaran ilmu yang bersangkutan. Berdasarkan paparan tersebut, maka metodologi

berarti pengetahuan berbagai jenis cara kerja yang dapat dikembangkan sesuai

dengan objek studi atau penelitian yang bersangkutan (Hasan & Koentjaraningrat,

dalam Suryani, 2012:73). Metode penelitian yang digunakan harus sesuai dengan

objek yang sedang dikaji.

Penelitian ini menggunakan dua metode. Pertama, metode penelitian naskah

dengan menerapkan langkah -langkah kerja filologi mulai dari menentukan

naskah sasaran, inventarisasi naskah, deskripsi naskah, transliterasi, suntingan,

dan terjemahan. Kedua, metode suntingan teks dilakukan dengan tujuan

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
21

menghasilkan teks yang bersih dari kesalahan sehingga representatif bagi para

pembaca naskah.

1.8.1 Metode Penelitian Naskah

Langkah-langkah kerja dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Penentuan sasaran penelitian

Penentuan sasaran penelitian berhubungan dengan data primer dan data

sekunder. Tahap awal ini berhubungan dengan pencarian data primer, yakni

naskah itu sendiri. Tahap ini berkaitan dengan kemampuan peneliti dalam

menguasai tulisan, bahasa, kondisi naskah, dan kondisi teks yang ada.

Berdasarkan tahap ini pula, peneliti memutuskan memakai naskah PT No.

Inventarisasi 07.195 M, berbahasa Jawa Tengger yang tertulis dalam aksara

Jawa sebagai objek penelitian.

2. Inventarisasi naskah

Peneliti melakukan inventarisasi naskah dengan studi pustaka pada

satu katalog dengan judul Dokumentasi Koleksi Benda Cagar Budaya

Filologika (Lontar) tahun 2007 yang tersimpan di Museum Negeri Mpu

Tantular Sidoarjo. Tahap ini dilakukan dengan mencari naskah yang seversi

yang memiliki kesamaan judul. Berdasarkan studi katalog yang dilakukan di

Museum Negeri Mpu Tantular Sidoarjo, ditemukan naskah yang memiliki

judul yang sama karena penyebutannya yang diulang di katalog lain,

sedangkan katalog yang dipakai sebagai panduan ialah edisi terbaru. Oleh

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
22

karena itu, peneliti menemukan 13 naskah yang memiliki kesamaan judul di

antaranya sebagai berikut.

1) No. Inv 07.187 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 12 lembar, huruf Jawa

bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang mantra-mantra masyarakat

Tengger, seperti mantra untuk bayi yang disuwuk/disembur dengan

dubang (ludah orang yang makan sirih) agar sehat kembali, roh yang

masuk ke ubun-ubun, lutut, paha akan selamat, dan disebutkan pula nama-

nama kemenyan, seperti manik, nur cahya, dan kalaba yang digunakan

untuk sesaji kepada Sang Hyang Wenang/Dhewata.

2) No. Inv 07.188 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 15 lembar, huruf Jawa

bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang nama-nama wuku yang

berjumlah 30 yang ditulis oleh Ki Dhukun Salitalman pada hari Minggu

Paing di desa Ngadisari. Selain itu, naskah juga berisi tentang mantra-

mantra untuk memohon keselamatan kepada nabi dan Allah.

3) No. Inv 07.189 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 18 lembar, huruf Jawa

bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang permohonan kepada Sang

Hyang Dewata agar dijauhkan dari makhluk halus dengan memberi sesaji

berupa kain kampuh/bakalan, kendi, pengaron, pisang yang bagus, air satu

pikul, legen satu pikul, sirih satu pikul, tumbuh-tumbuhan satu pikul, dan

nasi. Sesaji ini dimaksudkan agar para pengganggu tersebut pergi ke arah

timur.

4) No. Inv 07.190 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 12 lembar, huruf Jawa

bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang mantra yang harus

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
23

diucapkan oleh orang yang mempunyai bayi yang ditujukan kepada Ki

Gedhi Karang, Ki Naka, dan Nyai Kalamudhangseng agar menjaga

keselamatan bayinya baik siang maupun malam. Disebutkan juga ucapan

Kaki Tupu, Kaki Lathi, Kaki Jelapa, Kaki Redi Uda, Kaki Dhoreng, dan

Nini Dhoreng yang memberi penataan di dunia. Kaki Jenggi, Nini Jenggi,

Kaki Benggi, Nini Benggi, Kaki Pernata, Nini Pernata yang menyangga

manusia hidup di tanah Jawa. Bulan ke-sadha (ke-10) tanggal 14 semua

orang memberi sesaji dengan menyembahnya karena telah diberi

kehidupan sandang-pangan setiap hari.

5) No. Inv 07.191 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 18 lembar, huruf Jawa

bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang raja atau dewa yang

berkuasa di masing-masing gunung, seperti disebutkan Kaki Padhu yang

berkuasa di Gunung Bromo, Kaki Sen Yang Dewo yang berkuasa di

Gunung Dasar, Kaki Guru yang berkuasa di Gunung Semeru, dan lain-

lain. Disebutkan pula tentang alamat penulis naskah, yaitu di Ngadisari

dan ditulis pada hari Jumat Paing, wuku wugu, bulan ke-2. Saat itu penulis

menyajikan kemenyan untuk sesaji kepada Sri Kudhu. Hari lahirnya

seseorang juga disebutkan dalam teks naskah ini, seperti lahirnya Wasirun

pada hari Jumat Kliwon.

6) No. Inv 07.192 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 13 lembar, huruf Jawa

bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang himbauan untuk

mengakikahkan anak laki-laki atau perempuan yang baru lahir agar

selamat. Selain itu, berisi juga hari mengenai penciptaan suatu hal, seperti

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
24

Hari Minggu yang merupakan hari penciptaan bumi dan langit. Disebutkan

pula nama-nama hari pada masyarakat Tengger, misalnya radite yang

berarti hari Minggu.

7) No. Inv 07.193 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 41 lembar, huruf Jawa

bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang Allah sejati (Tuhan),

Dewata adalah Yang Maha Tahu dan kejadian manusia ada sejarahnya.

Nama-nama kehamilan menurut bulannya, misal bila hamil 1 bulan

disebut semanik kompul, hamil 2 bulan disebut semanik sogih, hamil 3

bulan disebut manik astagina, dan lain-lain.

8) No. Inv 07.194 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 15 lembar, huruf Jawa

bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang puisi yang digunakan

untuk mengusir roh halus agar tidak mengganggu dan dibacakan pada

malam hari. Disebutkan pula adanya bidadari yang dijaga malaikat, para

nama nabi, seperti Nabi Adam, Muhammad, Yusuf, Dawud, dan lain-lain

dan sahabat nabi, seperti Ali, Abu Bakar, dan Usman. Ada juga ritual

untuk menanam padi pada bulan Ramadan, nama-nama wuku, dan

penjelasan mengenai datangnya lindu/gempa bumi yang dapat

menyuburkan tanaman padi.

9) No. Inv 07.195 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 37 lembar, huruf Jawa

bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang hamba-hamba yang harus

menyembah Bethara Suci, yaitu Siwa. Dewa Siwa harus dipuja agar tidak

marah dan tidak merusak dunia. Disebutkan pula prameswari Dewa Siwa

yaitu Parwati yang baik hati dan Durga yang pemarah serta anak-anaknya,

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
25

yaitu Ganesya (Dewa Ilmu Pengetahuan) dan Kartikeya (Dewa Kekayaan).

Diceritakan tentang perlindungan Dewa Wisnu terhadap dunia dan

seisinya serta rirual-ritual yang dilakukannya, kemakmuran masyarakat

Tengger dengan bantuan Durga, serta dijelaskan pula nama-nama hari

pada masyarakat Tengger.

10) No. Inv 07.196 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 28 lembar, huruf Jawa

bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang Ki Banyak Dalang yang

memuja menghadap timur, barat, selatan, dan utara akan memundurkan

musuh/dusta/pencuri/tenung dan akan kembali ke masing-masing arah

tersebut. Dewa Bayu, Kala Durga, Sang Hyang Jiwa, manusia-manusia

lakat adalah yang memberi hidup dan umur. Disebutkan pula mengenai

jenis-jenis ruwatan, termasuk ruwatan orang terkena musibah, ruwatan

desa dan ruwatan penolak bala, jenis-jenis manusia yang diruwat, seperti

anak yang terkena musibah dan menjauhkan kesialan, dan jenis-jenis

ruwatan untuk wayang dan sesajinya.

11) No. Inv 07.197 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 14 lembar, huruf Jawa

bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang persembahan sesaji bila

ada bayi sakit, yaitu berupa tumpeng putih, bubur bermacam-macam,

ayam putih, kembang warna-warni yang diletakkan di tengah pasar, dan

telur yang diletakkan di halaman. Jika sesaji ini dilakukan maka bayi akan

sembuh karena dijaga oleh Bethara Kala.

12) No. Inv 07.198 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 12 lembar, huruf Jawa

bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang penyebutan dewa-dewa,

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
26

seperti Dewa Siwa, Sang Hyang Catur Pramana, Kaki dan Nini Juru Tolis,

Sang Hyang Atma, Sang Hyang Samatara, Bathara Kerayuan, dan lain-

lain. Semua dewa tersebut adalah para penguasa jagat surga dan neraka.

13) No. Inv 07.199 M Primbon Suku Tengger (Lontar), 21 lembar, huruf Jawa

bahasa Jawa Tengger. Naskah ini berisi tentang para penguasa dunia baik

siang maupun malam, yaitu Bagawan Citra Gutra, Bagawan Penyarikan,

Bagawan Dhagan Ciagani, Bagawan Nemorari, Bathara Lumanglang,

Sang Hyang Manon, dan lain-lain. setiap penjuru dunia baik ke barat,

timur, utara, selatan, dan tengah ada penjaganya masing-masing.

Nomor inventarisasi naskah yang diteliti, yaitu nomor 07.195 M

tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, penceritaan tentang istrinya, yaitu

Dewi Durga, dan peran Dewa Wisnu yang menjaga dunia.

3. Deskripsi naskah

Deskripsi naskah disusun berdasarkan yang ditawarkan oleh

Hermansoemantri (1986: 2), yaitu judul naskah, nomor naskah, tempat

penyimpanan naskah, asal naskah, keadaan naskah, ukuran naskah, tebal

naskah, jumlah baris per halaman, huruf, aksara, tulisan naskah, cara

penulisan, bahan naskah, bahasa naskah, bentuk naskah, umur naskah,

pengarang, asal-usul naskah, fungsi sosial naskah, dan ikhtisar teks.

4. Transliterasi

Transliterasi berarti penggatian jenis tulisan, huruf demi huruf, dari

abjad yang satu ke abjad lain, dari satu bentuk ke bentuk lain, dan dari satu

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
27

aksara ke aksara lain (Baried, 1994: 63). Transliterasi memberikan batasan

pengubahan teks dari satu ejaan yang lain dengan tujuan menyarankan lafal

bunyi unsur bahasa yang bersangkutan. Transliterasi sangat diperlukan guna

memperkenalkan teks-teks Nusantara kepada dunia luar yang tidak

mengetahui aksara daerah.

5. Suntingan teks

Hasil transliterasi disunting dari kesalahan tata tulis dan disesuaikan

dengan ejaan yang berlaku. Hasil dari suntingan teks ialah sebuah edisi

standar yang menerbitkan satu naskah seteliti-telitinya dengan mengadakan

perubahan sehingga menghasilkan naskah yang bersih dari kesalahan dan

representatif bagi pembaca.

6. Terjemahan

Terjemahan merupakan hasil dari proses menerjemahkan.

Menerjemahkan sendiri didefinisikan sebagai proses memindahkan suatu teks

dari satu bahasa ke bahasa lain. Terjemahan bertujuan untuk mempermudah

pembaca dalam mengetahui isi teks yang dimaksud dalam naskah.

Peneliti menerjemahkan naksah PT dari bahasa Jawa Kuno ke bahasa

Indonesia menggunakan model terjemahan setengah bebas, yakni tidak

dilakukan berdasarkan kata demi kata, tetapi tetap menjaga keaslian

kandungan teks.

1.8.2 Metode Suntingan Teks

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
28

Naskah dengan judul PT terdapat 13 buah di katalog Museum Negeri Mpu

Tantular Sidoarjo. Namun, peneliti memilih naskah dengan No. Inv 07.195 M

sebagai bahan objek penelitian. Naskah ini tertulis dalam aksara Jawa dan

memakai bahasa Jawa Tengger dan dominan memakai bahasa Jawa Kuno.

Metode suntingan teks yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode edisi

standar/kritik.

Menurut Baried (1994: 68) edisi standar atau edisi kritik ialah menerbitkan

naskah seteliti-telitinya dengan melakukan pembetulan dari kesalahan-kesalahan

dan ketidakajegan sesuai dengan ejaan yang berlaku. Pembetulan yang dilakukan

harus berdasarkan pada pemahaman yang mendalam mengenai isi naskah. Dalam

edisi standar/kritik diadakan pengelompokan kata, pembagian kalimat, pungtuasi,

dan diberi pula komentar mengenai kesalahan-kesalahan teks.

1.9 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan diperlukan agar mendapat bentuk yang runtut dan

mudah dipahami. Hal ini juga berguna agar gambaran dari masing-masing bab

dapat dimengerti dengan baik. Berikut sistem penulisan dalam penelitian ini.

Bab I Pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah, batasan masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,

landasan teori, dan metode penelitian yang digunakan.

Bab II Deskripsi Naskah. Bab ini berisi pengantar deskripsi naskah dan

deskripsi naskah PT berdasarkan 18 kriteria deskripsi yang dipaparkan oleh

Emuch Hermansoemantri dalam bukunya Identifikasi Naskah (1986).

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
29

Bab III Kritik Teks. Bab ini berisi tentang pengantar kritik teks dan kritik

teks naskah PT yang telah dikelompokkan menjadi beberapa bagian sesuai

kesalahan tulis/salin yang ditemukan.

Bab IV Suntingan Teks. Bab ini berisi pengantar suntingan teks dan hasil

suntingan teks naskah PT yang telah disesuaikan dengan ejaan yang telah

disepakati.

Bab V Terjemahan. Bab ini berisi pengantar terjemahan dan terjemahan teks

PT.

Bab VI Hasil dan Pembahasan. Bab ini berisi bentuk dan struktur teks PT,

analisis semiotika terhadap teks PT, dan konsep kepercayaan masyarakat Tengger

dalam teks PT.

Bab VII Penutup. Bab ini berisi simpulan dan saran.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB II

DESKRIPSI NASKAH

2.1 Pengantar Deskripsi Naskah

Katalog menjembatani peneliti untuk mengetahui sedikit banyak informasi

mengenai naskah yang akan diteliti atau yang hanya ingin dicari tahu isinya. Hal

ini berarti informasi yang ingin didapat dari sebuah naskah kuno dapat ditemukan

dalam katalog karena katalog menjadi salah satu sumber pertama bagi para

peneliti untuk mengetahui secara singkat mengenai naskahnya.

Informasi yang ada dalam katalog mengenai naskah kuno yang dimiliki oleh

sebuah perpustakaan, museum, atau koleksi pribadi biasanya mencakup tentang

deskripsi naskah secara umum yang masih menjadi gambaran singkat naskah. Hal

ini berakibat bahwa tidak semua katalog mencakup hal-hal yang lengkap

mengenai detail naskah itu sendiri, seperti identifikasi naskah, umur, corak atau

bentuk asli, asal-usul, rangkuman, hubungan antarnaskah, dan fungsi naskah

karena penjelasan mengenai detail naskah bergantung pada seberapa jauh

penyusun katalog mendapatkan informasi-informasi guna penyusunan katalog

naskah-naskah tersebut (Hermansoemantri, 1986: 1).

Peneliti menggunakan analisis deskripsi naskah yang ditawarkan oleh

Emuch Hermansoemantri dalam bukunya yang berjudul Identifikasi Naskah tahun

1986 M agar mendapatkan susunan informasi yang lengkap mengenai naskah PT.

Deskripsi atau identifikasi naskah yang telah disusun dan ditawarkan oleh

Hermansoemantri (1986: 2) terdiri dari 18 kriteria, diantaranya sebagai berikut.

30
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
31

1. Judul naskah 10. Cara penulisan

2. Nomor naskah 11. Bahan naskah

3. Tempat penyimpanan naskah 12. Bahasa naskah

4. Asal naskah 13. Bentuk teks

5. Keadaan naskah 14. Umur naskah

6. Ukuran naskah 15. Pengarang/penyalin

7. Tebal naskah 16. Asal-usul naskah

8. Jumlah baris per halaman 17. Fungsi sosial naskah

9. Huruf, aksara, tulisan 18. Ikhtisar cerita/teks

Rumusan informasi di ataslah yang akan digunakan oleh peneliti sebagai

pedoman analisis dalam mendekripsikan atau mengidentifikasi naskah PT.

2.2 Deskripsi Naskah

2.2.1 Judul Naskah

Naskah Nusantara hampir sebagian besar, terutama yang sudah relatif sangat

tua tidak memiliki judul yang eksplisit dan tersendiri (Hermansoemantri, 1986: 2).

Artinya, banyak judul naskah Nusantara yang tidak tertulis pada sampul naskah,

lembaran naskah, atau bagian dari naskah itu sendiri, hal inilah yang terjadi pada

naskah PT ini. Ketiadaan judul naskah tersebut bisa disebabkan karena beberapa

faktor, seperti pengarang atau penulis tidak mencantumkan judul naskah (pada

naskah otograf), penyalin naskah yang lupa menyalin judul naskahnya (pada

naskah salinan), dan naskah berupa bunga rampai (Hermansoemantri, 1986: 3).

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
32

Dalam menetapkan judul naskah yang pas pada sebuah naskah, maka bisa

ditempuh dengan cara membaca atau meneliti teks naskah yang menyebutkan

secara langsung atau tidak langsung mengenai judul naskah dan berdasarkan pada

isi naskah yang bersangkutan, bisa berupa tokoh cerita atau latar tempat naskah

(Hermansoemantri, 1986: 3-5). Berdasarkan hal ini, penetapan judul naskah PT

mengacu pada penawaran Hermansoemantri bahwa pemberian judul naskah

berdasarkan latar naskah, yaitu naskah Primbon Tengger karena naskah berasal

dari Tengger dan menjadi pedoman hidup masyarakat Tengger. Jadi, sebenarnya

belum ada nama khusus dari naskah-naskah Tengger yang tersimpan di Museum

Negeri Mpu Tantular termasuk naskah PT yang peneliti gunakan.

2.2.2 Nomor Naskah

Perlakuan terhadap penomoran naskah-naskah Nusantara yang tersimpan

dalam museum, perpustakaan, dan koleksi pribadi biasanya sedikit berbeda.

Naskah koleksi pribadi justru biasanya tidak diberi nomor. Naskah yang

tersimpan dalam perpustakaan atau museum biasanya diberi nomor dan nomor

tersebut tercantum dalam katalog (Hermansoemantri, 1986: 7). Cara penomoran

naskah yang tersimpan di perpustakaan dan museum pun berbeda, artinya

penulisan nomor naskah tidak berpatokan pada sistem penomoran tertentu. Dalam

hal ini, naskah koleksi yang ada di Museum Negeri Mpu Tantular Sidoarjo sistem

penomorannya hanya berpacu pada kode koleksi naskah dan nomor urut naskah

datang. Berdasarkan hal ini, nomor naskah PT yang dijadikan sebagai objek

penelitian yaitu No. Inventarisasi 07.195 M. Penulisan angka 07 merupakan kode

filologika atau kode koleksi naskah yang berasal dari dinas pendidikan dan

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
33

kebudayaan, 195 merupakan nomor urut naskah datang dan di simpan di Museum

Negeri Mpu Tantular Sidoarjo, dan M yang berarti manuskrip.

2.2.3 Tempat Penyimpanan Naskah

Umumnya naskah-naskah kuno tersimpan di beberapa tempat, seperti di

perpustakaan-perpustakaan, baik di perpustakaan negara atau daerah, universitas,

dan suatu badan atau lembaga tertentu. Selain di perpustakaan, naskah-naskah

biasanya juga tersimpan di museum-museum negara (nasional) atau daerah

(lokal). Banyak juga naskah-naskah yang tersebar dan tersimpan yang menjadi

milik koleksi pribadi masyarakat (Hermansoemantri, 1986: 9-10). Naskah PT

menjadi salah satu koleksi naskah yang tersimpan di Museum Negeri Mpu

Tantular Sidoarjo. Dalam penyimpanannya, naskah ini diletakkan di atas nampan

dengan naskah-naskah lontar Tengger yang lain dan diberi cengkeh agar naskah

tidak dimakan ngengat.

2.2.4 Asal Naskah

Asal naskah dalam hal ini yang dimaksud ialah dari mana naskah itu berasal,

baik naskah yang tersimpan dalam museum, perpustakaan, atau koleksi pribadi

dan perseorangan (Hermansoemantri, 1986: 11). Berdasarkan informasi yang ada,

yang tertempel pada bagian lembar awal naskah PT yang diberikan oleh pihak

pegawai Museum Mpu Tantular Sidoarjo, disebutkan bahwa naskah PT berasal

dari Desa Sukun, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur dan tercatat dalam katalog

masuk pada tanggal 28 Maret 1994 dengan nomor berita acara

215/Bag.Pe.Mus/E/03/1994 dan naskah ini tercatat menjadi salah satu pekerjaan

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
34

proyek naskah kuno yang dilakukan oleh pihak Museum Negeri Mpu Tantular

Sidoarjo pada tahun 1993/1994 M. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari

informan, naskah PT ini didapat dengan cara dibeli. Pihak museum yang diwakili

oleh Bapak Suharto yang kala itu menjabat sebagai koordinator koleksi naskah

melakukan pengadaan naskah di Tengger dan beliau langsung membelinya dari

seseorang yang bernama Bapak Mahmud yang beralamat di desa Sukun,

Sukapura, Probolinggo Jawa Timur, dan naskah ini merupakan naskah koleksi

keluarga.

2.2.5 Keadaan Naskah

Keadaan atau kondisi naskah merupakan keadaan yang menjelaskan wujud

fisik dari naskah tersebut. Untuk menggambarkan keadaan naskah biasanya

digunakaan istilah utuh, tidak utuh, dan rusak (Hermansoemantri, 1986: 15-16).

Naskah yang dianggap utuh ialah naskah yang keadaannya benar-benar sempurna

seperti sedia kala (complete/fine) dan lembaran-lembaran naskahnya utuh tidak

ada yang hilang ataupun rusak. Naskah yang dianggap tidak utuh, yaitu apabila

keadaan naskah tidak sempurna atau tidak lengkap seperti sedia kala,

kemungkinan ada yang robek atau hilang pada bagian-bagian tertentu

(incomplete/moderate). Naskah yang dianggap rusak, yaitu apabila keadaannya

benar-benar tidak sempurna dan tidak utuh serta lembaran-lembarannya banyak

yang hilang dan rusak baik di bagian awal, tengah, ataupun akhir naskah

(damaged/deteriorated).

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
35

Keadaan naskah PT dapat dikatakan sudah tidak lagi utuh

(incomple/moderate) karena ada beberapa tulisan yang sudah memudar,

menghitam, sobek, dan termakan ngengat. Lembaran naskah PT yang sobek

terdapat pada halaman 2a, 3a, 14a, 27a, 30a, 36a, 2b, 3b, 14b, 27b, 30b, dan 36b.

Naskah yang tulisannya sudah memudar dan menghitam, yaitu pada halaman 3a,

31a, 33a, 35a, 6b, dan 13b. Naskah yang termakan ngengat dan terkikis lembaran

lontarnya, yaitu pada halaman 32a, 33a, 36a, 37a, 32b, 33b, 36b dan 37b. Untuk

menangani kerusakan-kerusakan ini, pihak pegawai museum hanya melapisinya

menggunakan selotip bening terutama pada kertas yang sobek agar menyatu

kembali, sedangkan yang warna tulisannya sudah memudar belum ada

penanganan lebih lanjut karena belum ada penyelamatan naskah lontar secara

maksimal dari pihak Museum Negeri Mpu Tantular Sidoarjo.

Gambar 2.1 Lontar halaman 14a sudah terkikis, memudar, dan robek
(sumber: dokumen pribadi, 2018).
2.2.6 Ukuran Naskah

Hermansoemantri (1986: 18) menyebutkan bahwa ukuran naskah terdiri atas

dua macam bagian, yaitu ukuran lembaran naskah dan ukuran ruang tulisan atau

teks naskah. Ukuran lembaran naskah terdiri dari ukuran panjang dan lebar

lembaran-lembaran naskah baik yang berbahan lontar, kertas, dluwang, dan lain-

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
36

lain dan ukurannya dinyatakan dengan sentimeter (cm). Ukuran ruang tulisan

terdiri dari panjang dan lebar ruang tulisan atau teks yang digunakan pada

lembaran atau halaman naskah dan ukurannya juga dinyatakan dengan sentimeter

(cm). Naskah PT memiliki panjang 21 cm dan lebar 4 cm (21 cm x 4 cm). Ukuran

ruang tulisan atau teks naskah PT ini sebagian besar memiliki panjang 17,7 cm

dan lebar 3 cm (17,7 cm x 3 cm). Namun, tidak semua ruang tulisan atau teks

naskah PT memiliki ukuran yang sama. Pada halaman 14a ukuran ruang tulisan

atau teksnya memiliki panjang 12 cm dan lebar 0,8 cm (12 cm x 0,8 cm) karena

terdiri dari 1 baris saja, begitu pula pada halaman 30b ukuran ruang tulisan atau

teksnya memiliki panjang 18 cm dan lebar 2,5 cm (18 cm x 2,5 cm) karena terdiri

dari 3 baris saja.

2.2.7 Tebal Naskah

Tebal naskah adalah jumlah halaman atau lembaran naskah yang ditulisi

atau yang berisi teks. Lembaran-lembaran atau halaman yang tidak ditulisi

(kosong) yang terletak pada awal ataupun akhir naskah tidak ikut dihitung,

sedangkan lembaran atau halaman yang tidak ditulisi (kosong) yang berada di

tengah-tengah naskah maka tetap dihitung untuk pendataan tebal naskah, tetapi

perlu diberi keterangan yang detail (Hermansoemantri, 1986: 24-25). Maka dari

itu, tebal naskah PT secara keseluruhan terdiri dari sampul depan dan belakang,

37 lembar rekto-verso (74 halaman), dan pada halaman 14b lembaran kosong atau

tidak ditulisi. Halaman 14b ini tetap dihitung sebagai bagian dari pendataan tebal

naskah karena terletak di bagian tengah naskah. Jika dihitung menggunakan

penggaris maka ukuran tebal naskah PT ialah 3 cm.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
37

2.2.8 Jumlah Baris Per Halaman

Pada hal ini yang perlu disebutkan, yaitu pada banyaknya jumlah baris atau

larik di setiap halaman naskah yang menjadi jumlah rata-ratanya

(Hermansoemantri, 1986: 30). Jumlah baris atau larik pada setiap halaman naskah

PT ditulis cukup seragam dan stabil, yaitu 4 baris kecuali pada halaman 14a, 14b,

dan 30b. Pada halaman 14a hanya ada 1 baris, pada halaman 14b kosong atau

tidak ditulisi apapun, dan pada halaman 30b hanya ada 3 baris.

2.2.9 Huruf, Aksara, Tulisan Naskah

Hal-hal yang perlu dijelaskan mengenai huruf, aksara, dan tulisan naskah

dalam kaitanya dengan penelitian naskah di antaranya sebagai berikut.

a. Jenis atau macam tulisan

Hermansoemantri (1986: 37-38) menyebutkan bahwa naskah-naskah

Nusantara tertulis dalam pelbagai macam jenis tulisan, seperti tulisan Sunda

Kuno, Jawa Kuno, Jawi, Pegon, dan lain-lain. Teks naskah PT ditulis

menggunakan aksara Jawa tetapi bentuknya agak berbeda karena arah serat

lontar yang sulit dan menjadikan tulisannya berbeda dengan aksara Jawa yang

biasanya ditulis di kertas. Selain itu, penulis naskah PT juga diindikasikan

tidak begitu menguasai kaidah hanacaraka dengan baik karena kebanyakan

huruf yang mati dipangkon padahal sebenarnya harus dipasangkan dengan

huruf setelahnya. Macam tulisan teks naskah PT juga memiliki keunikan,

yaitu adanya penulisan huruf konsosan secara ganda, artinya banyak kata yang

mengandung dua huruf konsonan yang sama padahal sebenarnya hanya perlu

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
38

memakai satu konsonan saja. Hal ini tidak dianggap sebagai kesalahan penulis

naskah karena dianggap sebagai ciri khas naskah, misalnya kata “karuhuni”

dalam teks ditulis “karuhunni”. Selain itu, ada beberapa penulisan nga lêlêt

yang diletakkan di tengah-tengah kalimat yang diapit oleh dua adeg-adeg.

Dalam hal ini, peneliti tidak bisa menganggap bahwa itu merupakan tanda

baca atau simbol tertentu dengan maksud tertentu karena keterbatasan

pengetahuan peneliti.

Gambar 2.2 Huruf da dan na yang dipangkon di tengah-tengah kalimat


(sumber: dokumen pribadi, 2018).

Gambar 2.3 Pada lempir 9a baris pertama terdapat nga lêlêt yang diapit oleh
dua adeg-adeg yang terletak di tengah-tengah teks (sumber: dokumen pribadi,
2018).
b. Ukuran huruf atau aksara

Pencatatan ukuran huruf atau aksara pada sebuah naskah terbagi menjadi

tiga macam ukuran, yaitu kecil, sedang, dan besar (Hermansoemantri, 1986:

38). Tulisan pada naskah PT relatif memiliki ukuran huruf atau aksara yang

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
39

kecil mengingat bahan naskah terbuat dari lontar yang mana bahan ini hanya

memiliki ruang tulisan yang sempit sehingga penulisannya terbatas.

Gambar 2.4 Ukuran huruf atau aksara naskah PT relatif kecil (sumber:
dokumen pribadi, 2018).
c. Bentuk huruf

Bentuk huruf dalam hal ini yang dimaksud ialah arah letak huruf. Bentuk

huruf biasannya dikategorikan atas dua macam bentuk, yaitu tegak atau tegak

lurus dan miring atau kursif (Hermansoemantri, 1986: 39). Bentuk huruf yang

ada pada naskah PT yaitu tegak lurus, artinya bentuk huruf yang ditampilkan

tidak miring ke kanan ataupun ke kiri.

d. Keadaan tulisan

Pada bagian ini, penilaian mengenai keadaan tulisan menyangkut pada

jelas atau tidaknya suatu tulisan untuk dibaca. Keadaan tulisan dikategorikan

dalam jelas, kurang jelas, atau tidak jelas. Kaitannya dengan keterbacaan

tulisan, yaitu mudah dibaca, kadang-kadang sukar dibaca, sukar dibaca, atau

tidak terbaca (Hermansoemantri, 1986: 39). Keadaan tulisan naskah PT dapat

dikategorikan kurang jelas dan kadang-kadang sukar dibaca karena tulisan

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
40

naskah PT pada beberapa bagian sudah memudar, menghitam, termakan

ngengat, dan ada beberapa tulisan yang dicoret-coret.

Gambar 2.5 Lempir 4a sudah memudar tulisannya dan dicoret-coret oleh


penulis (sumber: dokumen pribadi, 2018).
e. Jarak antarhuruf

Jarak antarhuruf pada sebuah teks biasanya dipengaruhi oleh

keterbiasaan seorang penulis atau penyalin dalam menulis naskah atau tulisan

lain, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ada juga tulisan yang memiliki jarak

antarhurufnya berbeda dengan tulisan pada umumnya, yaitu renggang, sangat

renggang, atau rapat (Hermansoemantri, 1986: 40). Teks naskah PT memiliki

jarak antarhuruf yang cukup normal, artinya huruf-huruf yang tertulis pada

naskah tidak terlalu renggang ataupun tidak terlalu rapat sehingga tiap-tiap

huruf yang ada dapat dikenali dengan baik.

f. Bekas pena

Bekas pena adalah hasil tulisan yang dihasilkan dari alat tulis dengan

memakai tinta yang digoreskan. Alat tulis ini bisa berasal dari baja, paku, atau

pisau yang diruncingkan. Bekas pena biasanya dinyatakan dalam tumpul atau

tebal, tajam atau tipis (Hermansoemantri, 1986: 41). Bekas pena pada tulisan

naskah PT dapat dikatakan tajam, tipis, dan agak lancip pada goresan akhir

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
41

tiap-tiap huruf. Pena yang dipakai dalam menulis naskah ini dapat dikatakan

memakai paku atau pisau yang runcing karena naskah berbahan lontar.

g. Warna tinta

Pencatatan mengenai warna tinta dalam hal ini yang dimaksud ialah

warna tinta yang digunakan untuk menulis naskah. Tinta yang dipakai

biasanya berwarna hitam atau hitam pekat. Selain itu, ada juga tinta berwarna

merah, biru, atau biru tua (Hermansoemantri, 1986: 42). Tinta pada teks

naskah PT sebenarnya berwarna hitam yang dihasilkan dari minyak kemiri

yang dibakar, tetapi karena naskah sudah tua menyebabkan tulisan di beberapa

bagian terlihat cukup usang dan akhirnya warna tinta cenderung kecokelatan.

Di beberapa bagian warna tinta juga hampir tidak terlihat karena menyerupai

warna lontar hanya saja ada bekas-bekas jejak tulisan.

h. Pemakaian tanda baca

Pemakaian tanda baca dalam hal ini dijelaskan mengenai ada atau tidak

adanya tanda baca yang digunakan dalam sebuah naskah atau teks. Tanda baca

dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu berupa pungtuasi dan tanda baca

yang khas dan nonstandar (Hermansoemantri, 1986: 43). Pada teks naskah PT,

pemakaian tanda baca yang digunakan berupa mangajapa atau adeg-adeg

dengan bentuk yang berbeda yang digunakan sebagai pembuka, tetapi hal ini

tidak bersifat secara keseluruhan karena ada beberapa yang diletakkan di

tengah-tengah kalimat. Dalam naskah ini juga terdapat tanda seperti pungtuasi

berupa tanda petik dua (“...”) yang tercantum pada teks naskah PT lempir 14a

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
42

baris ke-1 dan petik satu (”) seperti yang tercantum pada teks naskah PT

lempir 6b baris ke-2, tetapi atas dasar kurangnya pengetahuan peneliti maka

tanda-tanda ini dianggap belum memiliki maksud yang signifikan.

Gambar 2.6 Adeg-adeg atau mangajapa digunakan sebagai tanda baca


kalimat pembuka naskah PT (sumber: dokumen pribadi, 2018).

Gambar 2.7 Lempir 6b baris ke-2 terdapat pungtuasi tanda petik satu (”)
(sumber: dokumen pribadi: 2018).

Gambar 2.8 Lempir 14a terdapat pungtuasi tanda petik dua (“...”) (sumber:
dokumen pribadi, 2018).
2.2.10 Cara Penulisan

Informasi-informasi yang perlu dikemukaan berkenaan dengan cara

penulisan ini antara lain sebagai berikut.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
43

a. Pemakaian lembaran naskah untuk tulisan

Pada tiap lembar naskah terdiri dari dua halaman, yaitu halaman depan

dan halaman belakang. Berdasarkan hal ini, pemakaian lembaran naskah

untuk tulisan dikategorikan dalam dua macam, yaitu satu muka/tempat dan

bolak-balik (Hermansoemantri, 1986: 57). Pada naskah PT, penulisan

pemakaian lembaran naskah, yaitu bolak-balik. Artinya, lembaran naskah

yang ditulisi ada dua bagian, depan dan belakang. Istilah penulisan bolak-balik

ini bisa juga disebut dengan rekto dan verso.

b. Penempatan tulisan pada lembaran naskah

Penempatan tulisan yang dimaksud dalam hal ini, yaitu cara

menempatkan tulisan pada lembaran atau halaman naskah (Hermansoemantri,

1986: 58). Teks naskah PT ditulis sejajar dengan lebar lembaran atau halaman

naskah dari kiri ke kanan mulai dari halaman pertama sampai halaman

terakhir.

c. Pengaturan ruang tulisan

Pengaturan ruang tulisan berkaitan dengan cara mengatur teks atau tata

teks dalam sebuah ruang tulisan (Hermansoemantri, 1986: 59). Bedasarkan

yang tercantum pada katalog, teks naskah PT berbentuk gancaran/prosa.

Pengaturan penulisan antarparagraf hampir tidak ada karena penulisan tiap

kata, frasa, klausa, atau kalimatnya ditulis secara mengalir dan tidak terputus,

penjedaan hanya ditandai dengan tanda baca. Artinya, penulisan antarparagraf

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
44

tidak ditempatkan pada baris baru atau ditulis menjorok. Hal ini bisa

disebabkan karena untuk mengehamat ruang lontar yang terbatas.

d. Penulisan pada lembaran lontar

Lontar yang dijadikan sebagai bahan naskah terutama naskah Nusantara

ada dua macam, yaitu jenis tala dan sritala (Hermansoemantri, 1986: 60).

Bahan lontar naskah PT kemungkinan besar adalah jenis lontar tala karena

daunnya agak tebal, kasar, dan kesat sesuai dengan cirinya. Lontar naskah PT

tidak mudah dibengkak-bengkok karena daunnya keras dan kaku.

e. Penomoran halaman

Naskah-naskah Nusantara baik yang berbahan dluwang, lontar, atau

kertas ada yang memakai nomor atau angka halaman dan ada pula yang tidak.

Nomor halaman pada naskah PT menggunakan angka Arab dan abjad Latin.

Angka Arab yaitu angka yang berasal dari tulisan atau bahasa Arab yang telah

dijadikan sebagai angka internasional (Hermansoemantri, 1986: 61-62).

Penomoran halaman pada naskah PT dapat dikatakan agak unik karena

penomoran halaman tidak ditulis secara menyeluruh. Penomoran halaman

hanya ditulis pada tiap lembar halaman bagian belakang naskah (verso),

sedangkan pada bagian halaman depan (rekto) tidak ditulisi nomor halaman.

Hal ini diketahui karena sebenarnya pada naskah PT sudah diberi label nomor

halaman memakai abjad Latin (a/b) oleh pihak Museum Negeri Mpu Tantular

Sidoarjo. Selain itu, tidak secara keseluruhan juga halaman bagian belakang

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
45

ditulisi nomor halaman. Nomor halaman yang ditulisi, yaitu pada halaman 1b

sampai dengan 10b dan 15b sampai dengan 36b, artinya pada halaman 1a

sampai dengan 37a, 11b, 13b, 14b, dan 37b tidak ditulisi nomor halaman.

Gambar 2.9 Lempir 1a diberi label nomor halaman oleh pihak Museum
Negeri Mpu Tantular Sidoarjo dan tidak diberi nomor halaman oleh
penulis naskah PT (sumber: dokumen pribadi, 2018).

Gambar 2.10 Lempir 1b diberi label nomor halaman oleh pihak Museum
Negeri Mpu Tantular Sidoarjo dan diberi nomor halaman oleh penulis
naskah PT di sebelah pojok kiri tulisan berupa angka 1 (sumber: dokumen
pribadi, 2018).

2.2.11 Bahan Naskah

Bahan naskah ialah benda yang dipakai sebagai objek penulisan teks,

karangan, dan catatan. Bahan naskah Nusantara yang dipakai adalah lontar,

dluwang, kertas, dan bambu (Hermansoemantri, 1986: 63). Naskah PT berbahan

lontar dengan dua penjepit dari bambu sebagai sampulnya dan ada tiga lubang,

yaitu kanan, kiri, dan tengah. Di lubang bagian tengah naskah diberi tali untuk

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
46

pengikat lontar. Lontar yang dipakai menurut peneliti kemungkinan besar berjenis

lontar tala karena daunnya keras, tidak bengkak-bengkok, tidak begitu tipis dan

tidak begitu tebal, serta lontar sudah berwarna cokelat kehitaman.

2.2.12 Bahasa Naskah

Bahasa naskah merupakan bahasa yang dipakai oleh naskah-naskah di dunia

termasuk juga naskah Nusantara. Bahasa yang dipakai pada naskah-naskah

Nusantara merupakan bahasa yang pernah hidup dalam kurun waktu tertentu

maupun yang masih digunakan hingga saat ini di suatu daerah atau etnis tertentu

(Hermansoemantri, 1986: 76). Sesuai katalog yang tersimpan di Museum Negeri

Mpu Tantular Sidoarjo, bahasa yang digunakan dalam naskah PT, yaitu bahasa

Jawa Tengger. Namun, jika ditelisik lebih lanjut sebenarnya bahasa yang dipakai

adalah bahasa Jawa Kuno atau Kawi dan bahasa Sansekerta. Bahasa Jawa Kuno

dibuktikan dengan adanya penyebutan-penyebutan kata dalam naskah salah

satunya, seperti kata pukulun-pukulun „hamba-hamba‟, dennira „olehnya‟, mukti

„sempurna‟. Bahasa sansekerta yang ditemukan dalam naskah, seperti pratistha

„arca‟, catur „empat‟, purusa „orang laki-laki‟. Kosakata bahasa Sansekerta

diserap melaui bahasa Jawa Kuno atau bahasa Kawi, maka dari itu tidak ada

perbedaan antara vokal panjang dan vokal pendek, munculnya bunyi /ṭ /, /ť/, dan

/t/ tidak ada perbedaan karena diwakili dengan fonem /t/.

2.2.13 Bentuk Teks

Bentuk teks pada naskah-naskah Nusantara terdiri dari tiga macam, yaitu

prosa, puisi, dan prosa berirama yang biasa disebut dengan prosa lirik atau bahasa

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
47

berirama (Hermansoemantri, 1986: 82). Bentuk teks pada naskah PT berdasarkan

yang tercantum pada katalog dan pembacaan naskah oleh peneliti, yaitu berbentuk

prosa karena naskah PT menceritakan tentang hamba-hamba yang menyembah

pada Dewa Siwa. Hal ini sepadan dengan penjelasan Hermansoemantri (1986: 85)

bahwa banyak pula naskah-naskah Melayu yang berbentuk prosa biasanya

berjudul hikayat/cerita, tetapi naskah-naskah ini dipengaruhi oleh Islam.

Sedangkan naskah PT yang berbentuk prosa ini dipengaruhi oleh Hindu, yaitu

cerita yang menjadi sebuah primbon atau pegangan hidup masyarakat Tengger.

2.2.14 Umur Naskah

Mengenai umur naskah, terutama pada naskah-naskah Nusantara umumnya

tidak menyebutkan kapan waktu penulisannya ataupun penyalinannya. Oleh

karena itu, umur naskah hanya dapat diketahui berdasarkan keterangan dari dalam

dan luar. Jika tidak juga dapat diketahui secara pasti maka umur naskah dapat

diklasifikasikan menjadi tua atau relatif tua dan muda atau relatif muda

(Hermansoemantri, 1986: 102).

Pada dasarnya, berdasarkan katalog yang ada di Museum Negeri Mpu

Tantular Sidoarjo yang menghimpun adanya naskah PT ini tidak menyebutkan

secara tertulis mengenai umur naskah baik itu penulis ataupun penyalinnya, hanya

saja tercantum tahun masuknya naskah, yaitu pada 1994 M. Pada isi teks naskah

PT juga belum diketahui secara pasti berapa angka ataupun kisaran angka tahun

yang secara implisit menunjukkan umur naskah. Namun, jika berdasarkan pada

macam tulisan yang berupa bentuk tulisan atau aksara Jawa, bahasa naskah berupa

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
48

bahasa Jawa Kuno, bahan naskah berupa lontar, serta isi naskah yang bercerita

mengenai Dewa Siwa yang menjadi kepercayaan masyarakat Hindu khususnya

masyarakat Tengger dan menjadi primbon keseharian mereka maka umur naskah

PT dapat dikatakan relatif tua. Selain itu, dengan melihat kondisi naskah yang

sudah cokelat kehitaman, tulisan naskah yang sudah memudar, dan terkikisnya

lembaran naskah di beberapa bagian maka memperkuat peneliti untuk

menggolongkan umur naskah PT dalam golongan relatif tua.

Selain itu, berdasarkan cerita yang diungkapkan oleh informan yang belum

dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah, beliau mengatakan bahwa pada

tahun 2003 beliau didatangi oleh seorang lelaki setengah tua yang pada waktu itu

bertanya kepada informan apakah beliau tahu siapa penulis naskah tersebut dan

beliau pun menjawab tidak mengetahuinya. Lelaki itu pun berkata bahwa naskah

Tengger selesai ditulis pada tahun 1896 oleh kepala adat Tengger pada saat

usianya 81 tahun. Naskah tersebut ditulis mulai tahun 1864-1896, artinya ke-13

naskah Tengger ditulis selama 32 tahun. Lelaki tersebut juga berkata bahwa

naskah Tengger ini berisikan perpaduan ajaran Hindu dan Buddha.

Cerita tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Widya Wahyu

Pratama tahun 2013 yang melakukan penelitian lapangan di Tengger dan bertemu

Bapak Mudjiono, kepala adat Tengger di desa Ngadas Sukapura. Bapak Mudjiono

menjelaskan bahwa kemungkinan lelaki setengah tua tersebut adalah jelmaan

resi/pendeta Majapahit karena berdasarkan pengakuannya, beliau juga sering

didatangi oleh orang-orang zaman dahulu. Mengenai umur dan penulis naskah

yang diketahui oleh Bapak Mudjiono juga sama persis dengan informasi yang

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
49

didapatkan oleh informan melalui jelmaan resi tersebut. Berdasarkan kedua cerita

tersebut yang belum dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah maka naskah

PT dapat dikatakan sudah berumur 123 tahun.

2.2.15 Pengarang/Penyalin

Pengarang/penyalin yang dimaksud ialah identitas berupa nama

penulis/penyalin naskah, tetapi pada umumnya anonim (Hermansoemantri, 1986:

110). Naskah PT tidak mencantumkan secara tertulis dan konkret mengenai

penulis atau penyalin naskah. Dalam katalog yang disusun oleh pihak Museum

Mpu Tantular Sidoarjo juga tidak menyebutkan adanya penulis/penyalin naskah.

Oleh karena itu, penulis/penyalin naskah PT dapat dikatakan anonim, artinya tidak

ada identitas berupa nama, pekerjaan, ataupun tempat tinggal yang secara tepat

menjadi data diri penulis/penyalin naskah PT. Namun, jika merujuk pada cerita

sebelumnya maka penulis/penyalin naskah PT ialah kepala adat Tengger.

2.2.16 Asal-Usul Naskah

Berdasarkan pada keperluan meninjau naskah dalam konteksnya, pendataan

mengenai asal-usul atau sejarah naskah akan memberi pengaruh yang positif

untuk peneliti, peminat, dan pemanfaat naskah (Hermansoemantri, 1986: 112).

Naskah PT berasal dari kepemilikan Bapak Mahmud yang bertempat tinggal di

desa Sukun, Sukapura, Probolinggo Jawa Timur. Naskah ini dibeli oleh pihak

Museum Mpu Tantular Sidoarjo dan tercantum dalam katalog masuk pada tanggal

28 Maret 1994 bersama naskah-naskah Tengger lainnya dan menjadi pekerjaan

proyek museum pada tahun 1993/1994 M.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
50

Gambar 2.11 Bukti registrasi naskah PT dari pihak Bapak Mahmud ke pihak
Museum Negeri Mpu Tantular Sidoarjo (sumber: dokumen pribadi, 2019).
2.2.17 Fungsi Sosial Naskah

Penelitian mengenai fungsi sosial naskah menyangkut tentang fungsi dan

arti naskah bagi masyarakat baik pada masa lampau ataupun saat ini

(Hermansoemantri, 1986: 116). Pada isi teks naskah PT tidak menunjukkan secara

gamblang fungsi naskah tersebut, akan tetapi berdasarkan informasi yang

tercantum dalam katalog yang disusun oleh pihak pegawai Museum Mpu Tantular

Sidoarjo, naskah PT disebutkan berfungsi sebagai pedoman primbon masyarakat

Tengger. Pedoman primbon berarti suatu kepercayaan atau keyakinan tertentu

mengenai suatu hal untuk digunakan sebagai pegangan/pedoman hidup.

Selanjutnya, berdasarkan informasi yang didapat, naskah PT ini merupakan

naskah penglawu atau pembuka mantra-mantra pada upacara-upacara adat yang

dilakukan oleh masyarakat Tengger.

2.2.18 Ikhtisar Cerita/Teks

Ikhtisar atau rangkuman cerita dari suatu naskah perlu dikemukaan dalam

sebuah penelitian guna memudahkan pembaca atau peminat agar memperoleh isi

teks secara menyeluruh (Hermansoemantri, 1986: 119). Oleh karena naskah PT

berbentuk prosa maka ikhtisar cerita tidak dijelaskan satu per satu, tetapi hanya

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
51

dijelaskan garis besarnya saja dan yang dianggap menjadi ide pokok bahasan.

Ikhtisar singkat cerita naskah PT No. Inv 07.195 M sebagai berikut.

lempir 1-5: Hamba-hamba harus menyembah kepada bethara suci, yaitu Dewa

Siwa dengan menggunakan kedua tangan. Siwa yang sifatnya dapat merusak

dunia harus dipuja dan disembah agar tidak marah. Keutamaan Siwa yaitu sarung

dewata kalaka supatralepana „dewa yang berselubung air yang memakai burat

harum‟ dan dewata kalikaron. Wisnu melindungi dunia dan seisinya dan ia

bersuluhkan matahari, bulan, dan bintang. Ia suka mengembara. Ia ditahbiskan

dengan bunga yang harus disiram dengan air nirmala dengan dupa yang harum

dan harus menghadap ke Sang Hyang Dewata. Disebutkan hari-hari dalam

masyarakat Tengger, yaitu radite (minggu), buda (rabu), dan sukra (jumat).

Lempir 6-10: Istri Siwa, Dewi Durga yang cantik memakai busana dengan manik-

manik/permata dan karena dipuja sehingga ia memberi kesuburan segala sesuatu

yang ditanam, seperti menghasilkan pala wija, pala wiji, pala bukah, pala gantung,

dan pala kanginan. Semua rakyat kenyang dan tidak kelaparan serta dijauhkan

dari musuh dan pencuri. Semuanya serba murah, tidak mahal. Disebutkan bahwa

Dewa Siwa tidak akan melepaskan siapa saja, yaitu hamba-hamba yang merusak

kesakralan maka akan diberi hukuman. Dianjurkan untuk mengusap atau

membersihkan wajah dengan air agar kembali menjadi orang yang suci.

Lempir 11-15: penegasan kembali kepada hamba-hamba untuk bersimpuh dan

menyembah Dewa Siwa karena Ia adalah dewa yang membawa jiwa yang kokoh.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
52

Jika hamba-hamba termasuk cucu-buyut terus menyembah Siwa maka tidak akan

pernah berhenti anugerah dan kesejahteraan yang diberikan.

Lempir 16-19: Disebutkan mengenai kaki (kakek/laki-laki tua yang dimuliakan)

yang dipercaya oleh masyarakat Tengger bertapa di gunung, seperti Kaki Ayi

Kumala, Kaki Ayi Itên, Kaki Ayi Wuruju, Sang Hyang ngadi pamriyan, Sang

Hyang Ngadi Guru Wisesa, Sang Hyang Butul Patala, Sang Hyang Tata Boga,

Sang Hyang Ngatalaga, sang tempat bergantung. Juga pertapa Citra Gatra, Kaki

pertapa Penyarikkan, dan lain-lain yang pergi ke ngasemara-ngasemari, bertubuh

cahaya mutiara yang indah dan berjiwa tenang. Juga sang maha tegar yang

terdapat di timur, selatan, barat, utara, tengah, tenggara, dan barat laut yang selalu

menjaga hamba-hamba dengan sepenuh hati.

Lempir 20-24: Disebutkan mengenai gunung Mahameru yang miring ke barat,

timur, tengah, dan luar dijaga oleh pertapa atau begawan nini dan kaki, seperti

Kaki Pudutan, Nini Pudutan, Kaki Mangiton, Nini Mangiton, Nini Bamita, Nini

Saruwok, dan lain-lain. Disebutkan mengenai adanya buta ijo yang bertempat di

pabanyon „perairan‟, buta marus yang ada di pakocorran „air penyembuh luka‟,

buta lubang yang ada di padassan „kali/sungai‟, dan lain-lain.

Lempir 25-28: Anjuran untuk saling menolong, saling memberi tahu, dan

menjauhkan diri dari banyak godaan. Tidak saling bercerai-berai, berseteru, dan

bermusuhan agar tetap terjalin ketentraman. Apabila hamba-hamba melakukan

permusuhan, perseteruan, atau melanggar hal lain maka akan ada hukuman yang

diberikan berupa hukuman dera, tetapi tidak dengan cara dipasung atau diikat agar

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
53

dapat sembuh kembali, artinya dapat menjadi pelajaran untuk diri sendiri dan

orang lain untuk tidak melakukan perbuatan yang serupa.

Lempir 29-34: Disebutkan bahwa pikiran, penglihatan, sifat, dan tingkah laku

seorang hamba semuanya diketahuai oleh Sang Hyang Tutur, Sang Hyang Sabda

Bayu Idep, Sang Hyang Pralina Jati Wisesa, Sang Hyang Manon, Sang Hyang

Bathara Sang Wong, dan Sang Hyang Sukma Dewa Hening. Termasuk perkataan

hamba yang salah, tingkah laku yang salah, sifat yang salah, mata yang salah, akal

yang salah, pikiran yang salah karena mereka juga menyembah dan memuji

kepada-Nya. Hamba juga diberi tahu bahwa sesungguhnya Sang Hyang telah

bersabda dan mengingatkan bahwa hamba harus selalu menyembah dan memuji.

Lempir 35-37: Sang Hyang Sukma Dewa Hening mulia kepada Sang Hyang Jati

Pralina. Sang Hyang Jati Pralina mulia kepada Cabar Tiwas. Cabar Tiwas mulia

kepada Dewa Siwa. Anjuran untuk saling mempererat hubungan antara sang

pertapa dan sang ki pertapa dan peringatan kepada para hamba bahwa dirinya

bukanlah seorang dewa jadi harus selalu menyembah kepada penguasa bumi agar

selalu dihindarkan dari segala kerusuhan.

2.2.19 Catatan Deskripsi Naskah

Naskah yang tersebar di dunia ini ada yang memiliki iluminasi dan ilustrasi

ataupun salah satunya bahkan ada pula yang tidak ada keduanya dan naskah PT

dianggap tidak memiliki keduanya. Namun, pada naskah PT terdapat simbol atau

tanda seperti huruf ya yang divariasi oleh penulis yang terletak pada lempir 8a

baris ke-3, tetapi jika dibaca tidak selaras dengan kalimat sebelum atau

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
54

sesudahnya. Maka dari itu, peneliti menganggap bahwa simbol ini tidak dapat

didefinisikan sebagai ilustrasi ataupun iluminasi karena tidak menggambarkan isi

teks dan tidak membingkai teks. Simbol sebuah tanaman padi/jagung terletak

pada lempir 8b baris ke-3 dan simbol hati yang atasnya terdapat segitiga-segitiga

yang mengelilinganya terletak pada lempir 26a baris ke-4.

Gambar 2.12 Pada lempir 8a baris ke-3 terdapat simbol yang tidak dapat
didefinisikan (sumber: dokumen pribadi, 2018).

Gambar 2.13 Pada lempir 8b baris ke-3 terdapat simbol seperti tumbuhan
padi/jagung (sumber: dokumen pribadi, 2018).

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
55

Gambar 2.14 Pada lempir 26a baris ke-4 terdapat simbol hati (sumber:
dokumen pribadi, 2018).

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB III

KRITIK TEKS

3.1 Pengantar Kritik Teks

Naskah Nusantara yang ada dan tersebar di Indonesia maupun di luar negeri

banyak mengalami perubahan baik secara disengaja maupun tidak disengaja. Oleh

karena itu, untuk mengetahui kemurnian dan keaslian isi teks perlu diadakan

langkah-langkah kerja filologi salah satunya, yaitu kritik teks. Kritik teks menurut

Baroroh Baried (1994: 61) adalah memberikan berbagai evaluasi mengenai

sebuah teks, lalu meneliti dan menempatkan teks yang sesuai tersebut pada

tempatnya. Kegiatan kritik teks bertujuan untuk menghasilkan teks yang benar-

benar mendekati aslinya (constitution texus). Hal ini juga dijelaskan oleh Suryani

(2012: 56) bahwa kritik teks dilakukan untuk mendapatkan naskah yang paling

dekat dengan aslinya dan diperkirakan bersih dari kesalahan atau perubahan yang

muncul selama proses penyalinan. Kritik teks yang dilakukan oleh seorang filolog

juga perlu dideskripsikan secara gamblang melalui aparat kritik atau catatan-

catatan kesalahan tulisan berupa tabel-tabel yang dapat diperiksa secara langsung.

Munculnya kegiatan kritik teks tidak lain karena banyaknya proses

penyalinan yang dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan tertentu, salah satunya

karena naskah dianggap sakral dan digemari sehingga penyalin merasa perlu

memiliki naskah tersebut. Penyalinan yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang tersebut menjadikan teks sesekali mengalami perubahan dan

muncul sedikit-banyak kesalahan tulis. Ada kalanya teks tersebut ditambahi,

56
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
57

dikurangi, ataupun bahkan dihilangkan huruf/kata/frasa/klausanya karena

penyalin menggantinya sesuai dengan selera zaman, adanya penguasaan yang

kurang oleh penyalin mengenai bahasa-bahasa yang digunakan dalam sebuah teks

naskah, dan keluarnya penyalin terhadap pakem-pakem penulisan suatu aksara

yang digunakan dalam teks induk.

Penulisan dan penyalinan naskah PT juga tidak terlepas dari kesalahan tulis

maupun salin. Kesalahan-Kesalahan yang muncul tersebut menurut Djamaris

(2002: 34-35) dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis, yaitu lakuna, adisi,

substitusi, transposisi, ditografi, dan gabungan. Berikut penjelasan dari masing-

masing kesalahan tulis ataupun salin tersebut.

a. Lakuna

Lakuna adalah kesalahan salin atau tulis yang ditandai dengan

pengurangan huruf atau bunyi, suku kata, kata, frasa, kalimat, dan

paragraf.

b. Adisi

Adisi adalah kesalahan salin atau tulis yang ditandai dengan penambahan

huruf atau bunyi, suku kata, kata, frasa, kalimat, dan paragraf.

c. Substitusi

Substitusi adalah kesalahan salin atau tulis yang ditandai dengan

penggantian huruf atau bunyi, suku kata, kata, frasa, kalimat, dan paragraf.

d. Transposisi

Transposisi adalah kesalahan salin atau tulis yang ditandai dengan

pemindahan huruf atau bunyi, suku kata, kata, frasa, kalimat, dan paragraf.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
58

e. Ditografi

Ditografi adalah kesalahan salin atau tulis yang ditandai dengan

perangkapan huruf atau bunyi, suku kata, kata, frasa, kalimat, dan

paragraf.

f. Gabungan

Gabungan adalah kesalahan gabungan dua atau lebih kesalahan salin atau

tulis.

3.2 Kritik Teks

Pedoman yang digunakan dalam mengidentifikasi bentuk-bentuk kritik teks

naskah PT menggunakan tiga kamus, yaitu kamus Bausastra Jawa-Indonesia jilid

1 edisi ke-2 tahun 1981 M susunan S. Prawiroatmojo, kamus Jawa Kuna-

Indonesia tahun 1990 M susunan L. Mardiwarsito, dan kamus Jawa Kuna-

Indonesia tahun 2000 M susunan P.J. Zoetmulder dan S.O. Robson.

3.2.1 Lakuna

Tabel 3.1 Daftar kesalahan lakuna teks PT

Teks PT Kritik Teks


No Lpr
Latin Carakan Latin Carakan

1. 1a annêbah annêmbah

2. 3b litang lintang

3. 3b draya drawya

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
59

4. 4a summira summiram

5. 5b mrang marang

6. 5b gawa garwa

7. 6a ma maring

8. 7a tinakil tinangkil

9. 7b tinubas tinumbas

10. 7b na ana

11. 8a migat minggat

12. 9a anêbah anêmbah

13. 10a nugrane nugrahane

14. 10b pusap pangusap

15. 11a nêbah nêmbah

16. 11b nêbah nêmbah

17. 12a nêbah nêmbah

18. 12b sadya sadaya

19. 13a sêbah sêmbah

20. 13a samatara samantara

21. 14a pido pindo

22. 15b gumatung gumantung

23. 16a pursa-pursa purusa-purusa

24. 16b gutung gumantung

25. 19b yang mênyang

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
60

26. 20a satugu sang tugu

27. 20a nara nira

28. 20a duban dubalan

29. 20a baban babahan

30. 20a mahmeru mahameru

31. 20b baban babahan

32. 21a baban babahan

33. 24b pênnatar pênnatarran

34. 25b tutunên tuntunên

35. 25b gedongên gendongên

36. 26a sati sakti

37. 26a cadra candra

38. 27a angalakahi angalangkahi

39. 27b pursa purusa

40. 30a kamuraha kamurahan

41. 30b anêbah anêmbah

42. 31a apa apan

43. 31b sêbah sêmbah

44. 32a sêbah sêmbah

45. 32a anêbah anêmbah

46. 32b sêbah sêmbah

47. 33b anêbah anêmbah

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
61

48. 34b praman pramana

49. 35b pênyari pênyarikan

50. 37a jamika jatmika

3.2.2 Adisi

Tabel 3.2 Daftar kesalahan adisi Teks PT

Teks PT Kritik Teks


No Lpr
Latin Carakan Latin Carakan

1. 1b angkaram angkara

2. 2a marudra mudra

3. 2a anêmabah anêmbah

4. 3a samapun sampun

5. 3b samapun sampun

6. 6a kalapika kalpika

7. 7b langrang larang

8. 7b mangngandohênna mangadohêna

9. 9b drarwa drawa

10. 17a aingibuh angibuh

11. 17b samapun sampun

12. 17b pralinang pralina

13. 24b jerjer jejer

14. 28a kêrtna kêrta

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
62

15. 29a namas nama

16. 29b mapan apan

17. 31a nastuti astuti

18. 32a nastuti astuti

19. 32b idêpa idêp

20. 32b nastuti astuti

21. 33b nastuti astuti

22. 34a agnyangna agnyana

23. 34b nastuti astuti

24. 37a namas nama

3.2.3 Substitusi

Tabel 3.3 Daftar kesalahan subtitusi Teks PT

Teks PT Kritik Teks


No Lpr
Latin Carakan Latin Carakan

1. 2b renna rinna

2. 4a sing ring

3. 4a denna denne

4. 4b orip urip

5. 6b paomanan paomahan

6. 7b salira salire

7. 7b bramma brahma

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
63

8. 9a rabe rabi

9. 9a renna rinna

10. 10a kaerung kairung

11. 10a koping kuping

12. 10b run ron

13. 10b mahutaman mahotaman

14. 11b rabe rabi

15. 11b renna rinna

16. 13a manggihuna manggihêna

17. 13b sangnging sangking

18. 13b diwêngga diwangga

19. 13b pêkolun pukulun

20. 15a pangawan pêgawan

21. 15b ngata tata

22. 16b sawa siwa

23. 17a dukanna duksinna

24. 17a brobro byabya

25 17a sanadokkakên sinadokkakên

26. 17b ithêp idhêp

27. 18a sapa siwa

28. 19a pagawan pêgawan

29. 19a pangawan pêgawan

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
64

30. 19a sating saking

31. 19b kani kaki

32. 20a babahannara babahannira

33. 20a sagana saguna

34. 20b pukolun pukulun

35. 20b mami sami

36. 20b pukolun pukulun

37. 20b mawah muwah

38 21a pakolun pukulun

39. 21a mawah muwah

40. 24b jênbar jêmbar

41. 25a dannira dennira

42. 25a muhuh muguh

43. 25b dannira dennira

44. 25b lompuh lumpuh

45. 26b pagawan pêgawan

46. 28a reci resi

47. 29b bulun ngulun

48. 29b tulun ngulun

49. 31a kawrah kawruh

50. 32a kawrah kawruh

51. 35a kiwa Siwa

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
65

52. 35b dawata dewata

53. 35b pagawan pêgawan

3.2.4 Transposisi

Tabel 3.4 Daftar kesalahan transposisi teks PT

Teks PT Kritik Teks


No Lpr
Latin Carakan Latin Carakan

1. 4b buburwah burbuwah

2. 6a wrata warta

3. 23b manumak manukma

3.2.5 Ditografi

Tabel 3.5 Daftar kesalahan ditografi teks PT

Teks PT Kritik Teks


No Lpr
Latin Carakan Latin Carakan

1. 5b pupurusa purusa

2. 7a kastrannana kastranna

3. 10b susuci suci

4. 12b sasadya sadaya

5. 13b artata arta

6. 15a kakaki kaki

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
66

7. 21a sasawa sawa

8. 20a sasami sami

9. 28b tan tan tan

3.2.6 Gabungan

Tabel 3.6 Daftar kesalahan gabungan teks PT

Teks PT Kritik Teks Keterangan


No Lpr
Latin Carakan Latin Carakan Gabungan

1. 1a padado padhadha Lakuna-

subtitusi

2. 1a paruguhhan palungguhhan Subtitusi-

lakuna

3. 7a singasonna singangsana Lakuna-

subtitusi

4. 8b batana bathara Lakuna-

subtitusi

5. 9a nêngngên anangan Lakuna-

subtitusi

6. 11a nêngên anangan Lakuna-

subtitusi

7. 12a nêngên anangan Lakuna-

subtitusi

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
67

8. 12b sakêh sakweh Adisi-

subtitusi

9. 16a diwêgga diwangga Subtitusi-

lakuna

10. 16b gumutu gumantung Subtitusi-

lakuna

11. 19a pagawan- pêgawan Ditografi-

pangawan subtitusi

12. 20b kamih ring kang miring Adisi-

lakuna

13. 25b karripahnnana karripahanna Transposisi-

adisi

14. 30a sabyang Sang Hyang Subtitusi-

lakuna

3.2.7 Catatan Kritik Teks

Teks naskah PT memiliki catatan penting mengenai penulisan kata Sang

Hyang. Teks naskah PT menyebut kata Sang Hyang sebanyak 65 kali dengan

penulisan yang berbeda-beda, yaitu Sang Hyang, San Yang, Sa Hyang, Sang

Nyang, Sa Nya, dan Sa Hya yang kesemuanya sebenarnya merujuk pada satu

makna, yaitu Tuhan. Penulisan Sang Hyang ditulis sebanyak 9 kali, San Yang 33

kali, Sa Hyang 17 kali, Sang Nyang 3 kali, Sa Nya 2 kali, dan Sa Hya 1 kali.

Munculnya variasi penyebutan ini tidak dimasukkan dalam kritik teks karena

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
68

peneliti menganggap bahwa hal ini adalah variasi pengucapan penulis naskah PT.

Namun, penjelasan mengenai kata yang sebenarnya ada dalam teks naskah akan

tetap dicantumkan dalam suntinagn teks agar pembaca dapat mengetahui isi teks

PT yang sebenarnya. Berdasarkan hal ini, intensitas yang muncul lebih banyak

adalah kata San Yang, yaitu disebutkan sebanyak 33 kali.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB IV

SUNTINGAN TEKS

4.1 Pengantar Suntingan Teks

Aksara yang digunakan di Nusantara mengalami perkembangan yang cukup

signifikan. Penggunaan aksara ini kerap kali dipengaruhi oleh zaman yang

berlaku. Pada saat ini, aksara yang berkembang di masyarakat merupakan aksara

yang dapat dipahami secara jelas baik bentuk maupun maknanya. Adanya aksara

pada zaman dahulu yang tidak dipahami di masa sekarang terutama dalam

pernaskahan Nusantara merupakan salah satu problem bagi pembaca naskah pada

khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.

Teks naskah dianggap memiliki nilai guna yang lebih apabila dapat dibaca

dan dipahami oleh berbagai kalangan. Oleh karena itu, untuk mengatasi kendala

perbedaan pengetahuan aksara ini maka dilakukan tahap transliterasi. Transliterasi

menurut Baried (1985: 63) adalah penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari

abjad satu ke abjad lainnya. Hasil transliterasi suatu teks naskah dapat dikatakan

belum sempurna karena kadang kala naskah merupakan teks salinan. Teks salinan

merupakan teks hasil menyalin, memindah, atau menulis kembali dari teks induk.

Tahap penyalinan yang dilakukan oleh penyalin naskah kuno kemungkinan

besar mengalami perubahan baik berupa penambahan, pengurangan, atau bahkan

perubahan mengenai komposisi isi naskah. Perubahan-perubahan yang dilakukan

ini mempunyai berbagai alasan salah satunya karena penyesuaian zaman. Adanya

berbagai bentuk salinan ini diperlukan tahap penyuntingan teks agar terbebas dari

69
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

kesalahan-kesalahan tulis atau salin baik berupa lakuna, adisi, subtitusi,

transposisi,

70
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
71

ditografi, dan gabungan. Suntingan teks ini juga dimaksudkan untuk mengurangi

adanya ketidakajegan penulisan atau penyalinan baik berupa kata, frasa, klausa,

atau kalimat dalam naskah.

Metode suntingan teks yang dipakai adalah metode edisi kritik/standar.

Metode edisi kritik atau standar adalah metode yang menerbitkan satu naskah

seteliti-telitinya dengan membetulkan kesalahan-kesalahan dan ketidakajegan

(Baried, 1985: 68). Metode ini dipilih karena naskah PT merupakan naskah

tunggal dan belum ditemukan salinannya. Edisi standar dihadirkan dengan

menerapkan aparat kritik yang dicantumkan pada catatan kaki.

4.2 Pedoman Suntingan Teks

Pedoman suntingan teks merupakan acuan yang digunakan peneliti dalam

menyunting teks. Pedoman ini digunakan dengan tujuan untuk memudahkan

pembacaan naskah PT. Pedoman suntingan naskah PT sebagai berikut.

1. Sistem transliterasi mengacu pada Behrend (1995) yang dicocokkan

dengan penulisan carakan yang terdapat dalam teks PT, seperti pada tabel-

tabel berikut.

Tabel 4.2.1 Perbandingan Bentuk Aksara dan Pasangannya

Bunyi Bentuk aksara dan pasangan Bentuk aksara dan pasangan


aksara dalam Behrend dalam teks PT
Ha ฀
Na ฀
Ca ฀
Ra ฀
Ka ฀
Da ฀
Ta ฀
Sa ฀

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
72

Wa ฀
La ฀
Pa ฀
Dha ฀
Ja ฀
Ya ฀
Nya ฀
Ma ฀
Ga ฀
Ba ฀
Tha ฀
Nga ฀

Tabel 4.2.2 Perbandingan Sandhangan Swara

Penanda Nama Bentuk tanda dalam Bentuk tanda dalam


vokal Behrend teks PT
/ê/ Pêpet ฀
/o/ Taling tarung ฀...฀
/e/ Taling ฀
/u/ Suku ฀
/i/ Wulu ฀

Tabel 4.2.3 Perbandingan Aksara Ganten

Penanda Nama Bentuk tanda Bentuk tanda


dalam Behrend dalam teks PT
/rê/ Pa cerek ฀
/lê/ Nga lelet ฀

Tabel 4.2.4 Perbandingan Sandhangan Wyanjana

Aksara latin Nama Bentuk tanda Bentuk tanda


dalam Behrend dalam teks PT
Panjingan Ra Cakra ฀
Panjingan Ya Pengkal ฀

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
73

Tabel 4.2.5 Perbandingan Sandhangan Panyigeging Wanda

Penanda Nama Bentuk tanda Bentuk tanda dalam


dalam Behrend teks PT
/r/ Layar ฀
/h/ Wignyan ฀
/ng/ Cecak ฀
Paten ฀
(pangkon)

Tabel 4.2.6 Perbandingan Pada

Nama Bentuk tanda dalam Bentuk tanda dalam teks


Behrend PT
Lingsa ฀ -
Lungsi ฀ -
Pangkat ฀ -
Adeg-adeg ฀

2. Penulisan lempir/halaman naskah dibedakan dengan mengaitkan huruf

Latin dengan angka Arab. (a) untuk rekto (halaman depan) dan (b) untuk

verso (halaman belakang). Contoh, (23a) berarti halaman ke-23 bagian

depan dan (23b) berarti halaman ke-23 bagian belakang.

3. Angka ¹, ², ³, dan seterusnya yang terletak di antara teks merupakan nomor

kritik pada kata yang mengalami kesalahan dan dijelaskan pada catatan

kaki.

4. Penggunaan konsonan rangkap, seperti /h/, /n/, /t/, dan lain-lain tidak

dianggap sebuah kesalahan melainkan dianggap sebagai gaya kepenulisan

penulis naskah.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
74

5. Tanda // (adeg-adeg/mangajapa) yang terletak di antara teks digunakan

dalam pembuka teks awal naskah PT, tetapi hal ini tidak bersifat secara

keseluruhan karena ada beberapa yang diletakkan di tengah-tengah

kalimat.

6. Tanda petik dua (“...”) yang terletak di antara teks tidak memiliki fungsi

yang signifikan dan tidak pula berfungsi sebagai lungsi. Di beberapa

tempat tanda petik juga muncul dengan hanya berjumlah 1 petik saja (”).

7. Tanda (...) digunakan untuk menandai bahwa teks korup/hilang/kosong.

8. Tanda [...] digunakan untuk menandai kalimat yang dicoret oleh penulis

naskah, tetapi masih dapat dibaca.

9. Tanda (@) digunakan untuk menandai adanya simbol tanaman

padi/jagung.

10. Tanda (^) digunakan untuk menandai adanya simbol hati.

11. Tanda # digunakan untuk menandai adanya simbol yang muncul seperti

variasi aksara ya, tetapi tidak dapat didefinisikan karena tidak selaras

dengan kata sebelum atau sesudahnya.

12. Lambang aksara ga berbentuk

13. Terdapat simbol yang tidak bisa peneliti artikan. Peneliti mengalami

kebuntuan (crux) dan kebuntuan ini disimbolkan dengan tanda (.)

4.3 Hasil Suntingan Teks

(1a) // pukulun pukulun auma prana prameya annêmbah 1 anangan kalih anak tan

bêthara sasatt angusapp ira rabi rinna ngucarrana ring padhadha2 jajani paduka

1
Dalam teks tertulis: annêbah

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
75

bathara suci nami Siwa ya ring wênnanngngan ning anak tan nak bathara

ajuminahakna ta mahotaman nira sarung dewata kalaka supatralepana yan mata

asalah palungguhan 3 sisiku (1b) susu sang carik saka daga sangka uluyan mata

angkara4 tan adenni pepelika kabêbêdda denni tarulata gulma jaga mayan manta

akesi nganna deni paksi mibêr kasigita denne walang ngunnar tampa manggihêna

guna cipta wikara samantara kewuh sira sang luma kang (.) tu salah arta pawitrana

denni lawu sangka

(2a) mahotaman nira paduka bathara suci nama Siwa ya pukulun// ngesir jagat sri

guru pramessuwara karranna mudra5 Buda ya nama Siwa ya pukulun ngicak

purrusa purusi sarira sarini batên sarira sarini lêpassêna agnyana wisesa supapêr

lêpas pukulun// auma apra aprameya anêmbah6 a(2b)nangan kalih anak tan nak na

bathara sasatt angusap ira rabi rinna7 ngucarrana pado jajanni paduka bathara

nama Siwa ya ring wênnangnganni nganak tan tinanak na bathara angaturrakên

nata mahotaman nira Sang Hyang8 dewata kalikaron sangka sabut sangka riwana

kinar pinipitt ing nata warna winanganni

(3a) tiba tiba pucak ira Sang Hyang ngarga kelah matrahan Sang Hyang giri

kêlanna pinulcikan ron ning kusaraga tinêgêkan sêkar rura sinnaren sarwakusuma

linna pakan ron ni kuda liwarna timna ring maapadma sulah ri pratiwi batur

2
Dalam teks tertulis: padado
3
Dalam teks tertulis: paruguhhan
4
Dalam teks tertulis: angkaram
5
Dalam teks tertulis: marudra
6
Dalam teks tertulis: anêmabah
7
Dalam teks tertulis: renna
8
Dalam teks tertulis: San Yang

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
76

patapan kalêrêkên dennira Sang Hyang naga nadyan sampun 9 karaka (.) denni

brama (3b) Wisnu kasuluhan denni raditya wulan lintang10 tarangganna kaabêt

denni pawaraman bima ngambara kaaras denni catur para manudyan sampun 11

sukla biniseka Sang Hyang pusapa kaki siniramm ing tirta nirmala angabêt

wanginni dupa titise (.) bun pinaka wong arcamanah ring ngulah ring ngaholaken

drawya12

(4a) tan kuda la suwungan nira Sang Hyang dewata kalpika umadêppa gansaponni

paduka bathara suci nama Siwa ya tumuta gumawang [ring yen nari kang sabakar

madahinê manah gagang] denne13 ring kang sabakar dya ayu summiram14

mrattanni paduka bathara yi kaurippanni kang tripabapan ring15 buwana

karuhunni kang tripabapan trisamaya tri(4b)madhalatat umradna ingkang sarwa

urip16 pagêha kang sapta suurga umadêlla ta kang nawa dewa pihuwuna kahuwa

kanni kang purwa duksina pacima utara madya genneya nariti byabya harsanya

burbuwah17 ingkang sapta patala naga naga na ditya dana wa rasaksa raksaksi ana

nni pratiwi tresna tarulata gulma juga

(5a) madistapa manomm arga panga paksi matranni jumi pepelika kekelika sami

ing ngadêlan denni tutur jati denne saktining hulujanne nneng paduka bathara suci

nama Siwa ya muwah ingkang sapta rêsa (.) radite sumagara buda rêsa gati sukra

9
Dalam teks tertulis: samapun
10
Dalam teks tertulis: litang
11
Dalam teks tertulis: samapun
12
Dalam teks tertulis: draya
13
Dalam teks tertulis: denna
14
Dalam teks tertulis: summira
15
Dalam teks tertulis: sing
16
Dalam teks tertulis: orip
17
Dalam teks tertulis: buburwah

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
77

sani lara sumahu maring warta dewa kapidosanning paduka bathara suci nama

si(5b)wa pamuwah ing kang watêk babik sun arada kapilake umracuk undat trisna

widu tripurusa18 marang19 sapta rêsa (.) gaga widadara widadari muwah ingkang

watêk garwa20 sumahu maring warta dewa kapidosanni paduka bathara suci nama

Siwa ya muwah ingkang watêk babik sun narada kapilake umucuk undat

(6a) trisna widu trikurus tripurusa marang21 sapta rêsa (.) gaga widadara widadari

muwah ingkang watêk garwa sumahu maring warta22 dewa kadosanni paduka

bathara suci nama Siwa ya// sumahu lingasdaan nira sowang sowang sapêt tanya

irima suci ya lêksanna sumahu maring23 gargarakna Sang Hyang24 dewata

kalpika25 sumiram mratani paduka batha(6b)ra suci nama Siwa ya mangke paduka

bathara tumurun saking dalêm paomahan26 nitihi padma tarana” angêmbanna japa

kalawan matra anurunna aji wisesa atigala tirta lêmar angrattakkênna Yang padi

pabudêrran kang nusa jawa niwah Sang Hyang baturra dika buduttan saktia nni

driya sida anna tapa brata

(7a) dassa nni Durga ayu sang prabu wiraja nagara awetta nitihi singangsana” 27

mabusana manik mada hana tinangkil28 dennita dama triwarga pangngangasan

kastranna29 denni bujaga sewa sugata rêsa (.) aji bumi sama patuttanne kang prabu

18
Dalam teks tertulis: pupurusa
19
Dalam teks tertulis: mrang
20
Dalam teks tertulis: gawa
21
Dalam teks tertulis: mrang
22
Dalam teks tertulis: wrata
23
Dalam teks tertulis: ma
24
Dalam teks tertulis: Sang Nyang
25
Dalam teks tertulis: kalapika
26
Dalam teks tertulis: paomanan
27
Dalam teks tertulis: singasonna
28
Dalam teks tertulis: tinakil
29
Dalam teks tertulis: kastrannana

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
78

tiga rama rêsa (.) dadianni tahun ladunnga nning warsa dadiani sarwa tinandur

(7b) pala bukah pala wija pala wiji pala gatung salire 30 pala kanginan murah

asarwa tinumbas31 sarwa tinadah tan anna larang32 tan ana33 murah asomah

warrêga mangngadohênna34 kang satru musuh sasra bra gella maling ngaweh

guturi lenna ilengnên kanni Brahma35 umraddanni Durga

(8a) lamur minggat 36 mulih maring taya tan adoh para kali sa(.)ngaraha ikat

ajujuga pinnaku denni manusanni anak tan nak bathara pukulun// lê// titipa Lawu

agung//#37// garit racik sinuryya padasa munni derangêma sitrana tarulata sangka

sampar sangka riwêd sangka paca(8b)k sangka sarapad sangka duk ring tingal

sangka cakra ring ngulat sangka sodan ning ngakasa ring prêtiwi simuno den ta

ngêmasi dewata paraga pamulih sukma jatmika (@)38 buh cari buh ya nama Siwa

a” bathara39 Siwa ya// ngêrti pangrapon agung salirre ngulahakên angadêggênna

gaweh yan nuju

(9a) tan magugud nama Siwa a// lê// pukulun auma prana prameya anêmbah40

anangan41 kalih anak tan nanak bathara sasatt angusap ira rabi 42 rinna43

ngucarrana ri padu jajanne paduka bathara suci nama Siwa ya ring

30
Dalam teks tertulis: salira
31
Dalam teks tertulis: tinubas
32
Dalam teks tertulis: langrang
33
Dalam teks tertulis: na
34
Dalam teks tertulis: mangngandohênna
35
Dalam teks tertulis: bramma
36
Dalam teks tertulis: migat
37
Terdapat simbol yang tidak dapat didefinisikan
38
Terdapat simbol tanaman padi/jagung
39
Dalam teks tertulis: batana
40
Dalam teks tertulis: anêbah
41
Dalam teks tertulis: nêngngên
42
Dalam teks tertulis: rabe
43
Dalam teks tertulis: renna

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
79

wênnangngan ning anak tan nanak bathara ana pan ana kêrtta nugraha(9b)nne

paduka bathara tan kabête tulah sari kaluputta ring ngila-ila dên dahupa drawa44

unniweh kapêtha siyung ira bathara kala kabêbêdda wikunnira Sang Hyang 45

nagar kuta leya dennira Sang Hyang46 gana uweh labetan suwing ngaututan

rogo llailat

(10a) tan kêrêdda ulon tan kêdêk kairung47 tan tu bungnga mata tan wutaha

kuping48 tan tuliya rabut tan rutuwa bahu tan mikusa (.) jariji tan kithing ngasuku

tan lupuwa ati tan bungêngnga bayu tan sudda kahhanan paca suda hagan pana

krêta nugrahane49 (10b) paduka bathara suci nama Siwa ya pukulun// kaasuwunna

ring adi wuwunan kaêbanna ujana wisesa kêtalenna sutagi mannik sidik kêna

matra kapido bayu pangusap50 agêmi ron51 saka mahotaman52 nira paduka bathara

suci53 nama Siwa ya// pukulun//

(11a) nne musthi kacorah kara bbanna denne sawang latêk latu kang nabett ing

carma busana roma salaba lulunne sarira sirat temuwun tuwine salah arta

pawitranna denne lawu sangka rri utaman nira paduka bathara suci nama Siwa ya

pukulun// auma prana prameya nêmbah54 anangan55 (11b) // pukulun auma prana

44
Dalam teks tertulis: drarwa
45
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
46
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
47
Dalam teks tertulis: kaerung
48
Dalam teks tertulis: koping
49
Dalam teks tertulis: nugrane
50
Dalam teks tertulis: pusap
51
Dalam teks tertulis: run
52
Dalam teks tertulis: mahotaman
53
Dalam teks tertulis: susuci
54
Dalam teks tertulis: nêbah
55
Dalam teks tertulis: nêngên

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
80

prameya nêmbah56 anangan57 kalih anak tan nanak bathara sasatt angusap ira

rabi58 rinna59 ngucarrana ring padu jajane paduka bathara suci nama Siwa ya ri

wênnang ngan ning anak tan nanak bathara angaturrêna sarênni sukma diraka yan

kacucuk kade

(12a) kalih anak tan bathara sumurudda galang layun nira Sang Hyang 60 dewata

tan polah rakna muliya suwarga wisesa pukulun sabatahê nama Siwa ya// pukulun

auma prana prameya nêmbah61 anangan62 kalih anak tan bathara naga pana kêrta

nugrahane paduka bathara den sama(.)n sanada (12b) sadaya 63 angastutti ning

putu buyut paduka bathara suci nama Siwa ya pukulun// pukulun angaturrakên

sêmbah64 pangngastuti anak tan nanak bêthara bathari sakweh65 ning

mangalangan sangkênna ring puja batên bathari pertiwi bêthari nipêni bathari

nukuli bêthari nungkurat bathari pradana

(13a) wisesa unniweh Sang Hyang66 dewata batur sami kalerrena sêmbah67 para

camanah ngenne babu darma parripuja wotên68 Sang Hyang69 sukma diraka

sinadokkakên denne molih mêdamêllakên salirre tanpa menêng dana tanpa

56
Dalam teks tertulis: nêbah
57
Dalam teks tertulis: nêngên
58
Dalam teks tertulis: rabe
59
Dalam teks tertulis: renna
60
Dalam teks tertulis: sa hyang
61
Dalam teks tertulis: nêbah
62
Dalam teks tertulis: nêngên
63
Dalam teks tertulis: sasadya
64
Dalam teks tertulis: sêbah
65
Dalam teks tertulis: sakêh
66
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
67
Dalam teks tertulis: sêbah
Wotên yang dimaksud adalah wontên „ada‟. Kata ini tidak dikritik karena dianggap sebagai
68

kesesuaian ragam lisan terhadap ragam tulis.


69
Dalam teks tertulis: Sa Hyang

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
81

manggihena70 cipta wikara samantara71 kewuh sira sang lumêka (.) tu usalah

ar(13b)ta72 kapawitranna denne lawu sangka rri utaman nira paduka bêthara suci

nama siwa a// pukulun// kayata susun bathara guru sangking73 palah pada yang

kêbayan sang muguh ring langga tan sinadokkên denning bangun raja sokur

diwangga74 mutiya sari wisesa pukulun75

(14a) sadnyala kapping “pindo76” 1 2 3 4 5 6 7 8 9 ha (14b) (...)77

(15a) // pukulun muwah sira muguh ring arga tan pêgawan78 kaki ayi kumala kaki

ayi itên kaki pêkik kaki ayi wuruju kaki samarata kaki 79 togul wolung kaki ayi

bathara raden Sang Hyang80 gana pati pêgawan rêsa (.) ti pêgawan dêrmesthi guru

Sang Hyang81 mula carita sira sang82 lumalang sang la(15b)ku sang mangngite

sang ngipet sang manginget sang mangiton Sang Hyang 83 ngasihe prana Sang

Hyang84 rêcipta dewa Sang Hyang85 ngadi pamriyan Sang Hyang86 ngadi guru

wisesa Sang Hyang87 butul patala Sang Hyang88 tata89 boga Sang Hyang90

70
Dalam teks tertulis: manggihuna
71
Dalam teks tertulis: samatara
72
Dalam teks tertulis: artata
73
Dalam teks tertulis: sangnging
74
Dalam teks tertulis: diwêngga
75
Dalam teks tertulis: pêkolun
76
Dalam teks tertulis: pido
77
Halaman tidak ditulisi/kosong
78
Dalam teks tertulis: pangawan
79
Dalam teks tertulis: kakaki
80
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
81
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
82
Dalam teks tertulis: sa
83
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
84
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
85
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
86
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
87
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
88
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
89
Dalam teks tertulis: ngata
90
Dalam teks tertulis: Sa Hyang

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
82

ngatalaga sang gumantung91 tanpa wilayutan muwah pêgawan citra gatra kaki

pêgawan

(16a) panyarikkan kaki pêgawan samatara kaki pêgawan besa warna bêthari

kapuri gasara mmenyang ngassêmara nyang ngassyamari diwangga 92 mutiya sarri

saluputte sari jumênêngnga sukma purusa purusa93 sarira sarinne buktikêm hong

caksuh sarira sarinne batên (16b) sarira sarinni lêpas anglêpasna agnyana wisesa

supapêr lêpas hong hong parama sunya ya nama Si(.)wa94 a// ngêrti panglawu

jatmika// pukulun Sang Hyang95 ngadi pamrayan Sang Hyang ngadi guru wisesa

Sang Hyang96 tata boga Sang Hyang97 ngatalaga sung gumantung98 Sang Hyang99

butul patala sang gumantung100 tanpa

(17a) wilayutan muwah sira sang muguh ring purwa duksi(.)nna101 pacima hutara

madya giniya nariti byabya102 rêsa (.) nyang madya sami kasatya ya wotên Sang

Hyang103 sukma diraka sinadokkakên104 denne molah mêdamêlkên yan mata

akirang tasik kaduka tana (.) ibuh105 kara banna denne sawang latêk latu

ka(17b)lêbêtt ing carma ruma salaba lulunni sarira sira tteng amuwus tuwin salah

arta kapawitranna denne lawu sangka ri utaman nira paduka bathara suci nama

91
Dalam teks tertulis: gumatung
92
Dalam teks tertulis: diwêgga
93
Dalam teks tertulis: pursa-pursa
94
Dalam teks tertulis: sawa
95
Dalam teks tertulis: San Yang
96
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
97
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
98
Dalam teks tertulis: gumutu
99
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
100
Dalam teks tertulis: gutung
101
Dalam teks tertulis: dukanna
102
Dalam teks tertulis: brobro
103
Dalam teks tertulis: San Yang
104
Dalam teks tertulis: sanadokkakên
105
Dalam teks tertulis: aingibuh

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
83

Siwa ya den sampun106 katusuka pawitra ing idêp107 têlas kang pari bukti sukma

lan jatmika prathistha prathisthêmas ti jalma muktinêm pralina 108 jati pamu

(18a) pamuktinêm bujanêm sarwa dewa ya nama Si(.)wa 109 ya //ngêrti pênglawu

pêgajar// pukulun paduka bêthara raja lasmi paduka bêthari gri paduka bathari

uma dewi paduka bathara sranggênni paduka bêthari nnipênni paduka bathari

nukuli paduka bathari sukawiratti paduka bathari pradana wisesa paduka bathari

nungkurrat (18b) paduka bathari jatmika paduka bathari ayu tanpa ayas paduka

bathari sun paduka bathari satmata sami kastuti ya wotên Sang Hyang 110 sukma

diraka katurra suka pawitra ing ngidêp têlas kang pari bukti sukma lawan jatmika

hong prathistha prathisthêman ti jalma muktinêm pralina jati wastu purusa (.)

buktikêm

(19a) ing ngibu// pukulun para watêk binagawan kaki pêgawan 111 kaki samantara

kaki bathara lumalang kaki braja bungsami kastuti ya wotên Sang Hyang 112

sukma diraka katurra suka pawitra pukulun saking113 atappan// pukulun Sang

Hyang114 suwara satti Sang Hyang115 catur muksika sami kastuti ya wotên Sang

Hyang116 (19b) sukma diraka katurra suka pawitra pukulun santi dêngngên//

pukulun sira sang muguh ring prayayen kaki117 ayi nini ayi mênyang118 ngasmara

106
Dalam teks tertulis: samapun
107
Dalam teks tertulis: ithêp
108
Dalam teks tertulis: pralinang
109
Dalam teks tertulis: sapa
110
Dalam teks tertulis: San Yang
111
Dalam teks tertulis: pagawan pangawan
112
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
113
Dalam teks tertulis: sating
114
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
115
Dalam teks tertulis: San Yang
116
Dalam teks tertulis: San Yang
117
Dalam teks tertulis: kani

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
84

mênyang119 ngasmari sami mukti ya sarri pukulun santi prayayen// pukulun

mukya sarri Sang Hyang120 mraja ki maraja muwah buta maca desa rêka(.)k rêrêk

saksi bukta bukti ya

(20a) nggadêrwo// pukulan muwah sang tugu 121 babahan nira122 Sang Hyang123

Mahameru kang miring mêngngetan saguna 124 pati pangastan nira tunna pajang

sami mukti ya sari sawa dubalan125 nira pukulun// muwah sang tugu

babahannira126 Sang Hyang127 Mahameru128 kang miring mangngedul bogaca

nagasthi pangngastan nira ring padang sami 129 mukti ya sarri sawa dubala

ni(20b)ra pukulun130 muwah sang tugu babahan131 nira Sang Hyang132 Mahameru

kang miring mangngulon sangka mangnguka pangngastan nira ring pangapan

sami133 mukti ya sari sawa dubalan nira pukulun134 muwah135 sang tugu babahan

nira Sang Hang136 Mahameru kang miring137 mangngalor pênniti gorri pangastan

nira ing gaten pada mukti ya sarri

118
Dalam teks tertulis: yang
119
Dalam teks tertulis: yang
120
Dalam teks tertulis: San Yang
121
Dalam teks tertulis: satugu
122
Dalam teks tertulis: nara
123
Dalam teks tertulis: San Yang
124
Dalam teks tertulis: sagana
125
Dalam teks tertulis: duban
126
Dalam teks tertulis: babannira
127
Dalam teks tertulis: San Yang
128
Dalam teks tertulis: mahmeru
129
Dalam teks tertulis: sasami
130
Dalam teks tertulis: pukolun
131
Dalam teks tertulis: baban
132
Dalam teks tertulis: San Yang
133
Dalam teks tertulis: mami
134
Dalam teks tertulis: pukolun
135
Dalam teks tertulis: mawah
136
Dalam teks tertulis: San Yang
137
Dalam teks tertulis: kamih ring

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
85

(21a) sawa138 dubalannira pukulun139 muwah140 sang tugu babahannira141 Sang

Hyang142 Mahameru kang mireng madya kaki puduttan nini puduttan kaki pêkik

nini pêkik kaki mêngikih nini mêngikih kaki mangiton nini mangngiton kaki

mangngingêt nini mangngingêt pada mukti ya sarri sawa dubalan nira pukulun//

muwah sang tu(21b)gu babahan nira Sang Hyang 143 Mahameru kang miring

mangedul ring ranu bawa ki rabut galidig ki lêbuwok ki tunnon ki rabut butit ki

sêkar gadung pada amukti ya sari sawa dubalan nira muwah sawa dubalan nira

nini lor nini kedul ni agung ni balerah ni ayu tanpa ayas ni

(22a) lêtre ni tereh ni siti darran ni mita nini bamita nini saruwok ni dêling sêkar

gadung ni kekejek ni dani ni sudanêm ni wati nini sarri nini rêbu nnini madubrata

ni ratna sari sami mutiya sari sawa dubalan nira pukulun// muwah sang tugu

babahan nira Sang Hyang144 Mahameru kang miring jaba ki lêgawong ki tuban

(22b) ki kalisat ki donya ki saka ki palapitan ki pêcok carang ki kalamuka kala

jaya ki badar pada amutiya sari sawa dubalannira pukulun // lê// muwah Sang

Hyang145 dewata batur bagawan caci wuri nni sagar kaki suwarna ring palayon

sang buta kali mucis sêla nni sagar raja lasmi dewata nning ngumah ya

ngassêmmara

138
Dalam teks tertulis: sasawa
139
Dalam teks tertulis: pakolun
140
Dalam teks tertulis: mawah
141
Dalam teks tertulis: babannira
142
Dalam teks tertulis: San Yang
143
Dalam teks tertulis: San Yang
144
Dalam teks tertulis: San Yang
145
Dalam teks tertulis: San Yang

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
86

(23a) ya ngasmari dewata nni paturon Sang Hyang146 syawarasati dewata nni

pamutakkan srir mandêl dewata nni tobong tambuh mênêng passêkuk lan paduka

bêthari tanpa sereng dewata nni pomahhan buta matugu dewata nni pagêr kaki

pingin nini pingngin dewata nni padadan pulung rodon (23b) dongngan pulung

kêbang pakêbang burngan sang buta sewu ring pasapon jagat nata ring latar

lilawarr ana ring lolorung kaki kudama ni kudali dewata nni pakacahan sri

manukma147 dewata nni pawuhhan dara kaya ring pawukalan sada kaya ring

pakayon sada jaya ring kêkadang buta ijo ring pabanyon buta marus ring

pakocorran buta lubang ring

(24a) padassan dura kala ring babahanna gamalang ngudag gudag Sang Hyang 148

kêrti sang kara dewata nning bajarran sri bungah kala gadi yo dewata nning adong

Sang Hyang149 ngasmara ngudara dewata nni kêmbang Sang Hyang selama reka

dewatanni parrigin// muwah ki tulak tagul tudung musah ki kala samua ki balaba

ki bamita (24b) ki kala ngadang ki kala sunya muwah kang muguh ring panatarran

jêmbar sangka riwêd sangka la pipit sangka la ejejer150 sami amukti ya sari

muwah ki kala samua ing têngahi pênnataran151 jêmbar152 muwah ki buta balatên

ki buta bali ki buta rong ki buta siwah sang jêmbar riti sang dadung awuk kaki

kumara nini koma

146
Dalam teks tertulis: San Yang
147
Dalam teks tertulis: manumak
148
Dalam teks tertulis: San Yang
149
Dalam teks tertulis: San Yang
150
Dalam teks tertulis: ejerjer
151
Dalam teks tertulis: pênnatar
152
Dalam teks tertulis: jênbar

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
87

(25a) sang rara wudu amukti ya sari muwah sang muguh ring ganaga dennira 153

muwah sang muguh154 ring watu agung lêmah mêdêk ucur ucur simpangngan

ning awaton totogga ning uwot kayu agung oyod agung muwah sang muguh ring

pidikkan muwah sira manawi ana babaru saking sanak batur saking gunung ngalit

(25b) saking gunung ngamor muwah sang buta lumaku mako isun tan wêruh

dennira155 pada maba ring panatarran jêmbar sang wuta tuntunên156 sang tuli

jawillên sang lumpuh157 gendongên158 pada sira tatajakon na sawalang walang

sowang aja ana karripahanna159 kari ngêdohênna gêguda

(26a) bacann adohenna satru musuh dustha durjanna lara roga atigalla tirta lêmar

angrêtakkênna tri prêngtapan maka diraja sang kari ya pukulun sangka candra160

sangka tedih ibuh aja nêmmu sika namasya alarut pada nning awan ngêrti sakti161

dukun (^)162// wantu tan pawastu sira (26b) sang langlang buwanna rahhina

kalawan wêngi muwah sira pêgawan163 citra gutra bagawan panyarikan bagawan

aganthi bagawan agênni kang putra bagawan namong ra resi ra bathara lumalang

muwah sira bagawan narrada sira sangka sêdah aja kêkayopan mênna wotên

mannasa

153
Dalam teks tertulis: dannira
154
Dalam teks tertulis: muhuh
155
Dalam teks tertulis: dannira
156
Dalam teks tertulis: tutunên
157
Dalam teks tertulis: lompuh
158
Dalam teks tertulis: gedongên
159
Dalam teks tertulis: karripahnnana
160
Dalam teks tertulis: cadra
161
Dalam teks tertulis: sati
162
Terdapat simbol hati
163
Dalam teks tertulis: pagawan

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
88

(27a) bêbaru sisiku sungsu sangsa rik sabda kaduk kaliwat saka daga sangka ulu

mêna mêdêk mêdêk ing apêtêngaa miyak pagêr arang angalangkahi 164 pager adap

amisesa duwe ning aduwe larangnganni larangan punnika pukulun sapu pinugêl

(27b) pinarigêl linuwarran saking balabagan saking pamugêrran den woli waluya

jati sabda kang kakayop Hyang kang ngayopa jati rupa purusa165 macadra hong

anêrrtah anêretih aheng aheng ahong ahong pralena pralengga waluh gumulung

sagugung ngetasnana

(28a) lêbak tan nana mêdokul tan jurang tan nana gunung ra resi 166 ling adêg

bukah eng ati nirlêngis tanpa wêkas mangkon ta ingsun angangayopa sama(.)n

denne beda sanu kêrta167 sina matara angadêg lakonni lakon apan pun (28b)

angaturi dêda kêkayopa(.)n // hong awang ngawang nguwung nguwung tan 168

nana rat buwana buta dêngngên cadi kabuttan tan nana pati aran samana ulun

tunggal samana angadêg ngawiyatte tan nana kabeh tan duga ara kupur satara

(29a) hong tirta jati tumiba ratna jati ta lotuha gêlêh gêlêhi ilang kang dura kala

kari ya kang tur jati kadêlla dewamurti ngebuh ana bayu kayuhanan pasêk pagêh

Sang Hyang169 ngurip hong tirta pawitra ya nama 170 Siwa atipa pakayopan//

pukulun (29b) silanni ngulun171 sêmbahe ngulun idêppi ngulun tingalle ngulun

abêkke ngulun polahe ngulun kawruh anna dennira Sang Hyang 172 tetutur mengêt

164
Dalam teks tertulis: angalakahi
165
Dalam teks tertulis: pursa
166
Dalam teks tertulis: reci
167
Dalam teks tertulis: kêrtna
168
Dalam teks tertulis: tan tan
169
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
170
Dalam teks tertulis: namas
171
Dalam teks tertulis: bulun
172
Dalam teks tertulis: Sang Yang

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
89

apan173 Sang Hyang174 tutur mengngêt anêmbah angastuti maring ngawak

sariranni ngulun175 sabda salah polah salah abêk salah tingal

(30a) salah idêp salah agnyana salah kamurahan176 dennira Sang Hyang177 tutur

mengngêt pukulun// pukulun pukulun sila nni ngulun sêmbahi ngulun tingale

ngulun idêppe ngulun agnyananne ngulun kawruh ana dennira Sang Hyang178

sabda bayu idêp apan Sang Hyang179 sabda bayu idêp (30b) anêmbah180 angastuti

maring ngawak sariranne ngulun sabda salah polah salah abêk salah tingal salah

idêp salah agnyana salah kapuraha dennira Sang Hyang 181 sabda bayu idêp

pukulun

(31a) // pukulun pukulun silanni ngulun sêmbah ing nglun tingal ing ngulun

kawruh182 ana dennira Sang Hyang183 jati wasesa apan184 Sang Hyang185 pramana

jati wisesa kang sun astuti186 Sang Hyang187 pramana jati wisesa anêmbah

angastuti maring awak sêrirane ngulun sabda salah polah salah (31b) abêk salah

tingal salah idêp salah agnyana salah kapurraha dennira Sang Hyang 188 pramana

jati wisesa pukulun// pukulun pukulun silanni ngulun sêmbah189 ngulun tingale

173
Dalam teks tertulis: mapan
174
Dalam teks tertulis: San Ya
175
Dalam teks tertulis: tulun
176
Dalam teks tertulis: kamuraha
177
Dalam teks tertulis: San Yang
178
Dalam teks tertulis: San Yang
179
Dalam teks tertulis: Sabyang
180
Dalam teks tertulis: anêbah
181
Dalam teks tertulis: San Yang
182
Dalam teks tertulis: kawrah
183
Dalam teks tertulis: San Yang
184
Dalam teks tertulis: apa
185
Dalam teks tertulis: San Yang
186
Dalam teks tertulis: nastuti
187
Dalam teks tertulis: San Yang
188
Dalam teks tertulis: San Yang
189
Dalam teks tertulis: sêbah

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
90

ngulun sabdanni ngulun abêkke ngulun idêpi190 ing ngulun tingal ing ngulun

agnyananne ngulun

(32a) kawruh191 ana dennira Sang Hyang192 manon apan Sang Hyang193 manon

kang sun sêmbah194 sun astuti195 Sang Hyang196 manon anêmbah197 angastuti

maring ngawak sêrrira nning ngulun sabda salah polah salah abêk salah tingal

salah idêp salah agnyana salah kapuraha dennira Sang Hyang 198 manon pukulun

(32b) // pukulun pukulun silani ngulun sêmbah ing ngulun sabdanni ngulun tingal

ing ngulun idêp199 ing ngulun agnyananni ngulun kawruh ana dennira Sang

Hyang200 bathara sang wong apan Sang Hyang201 bêthara sang wong ing sun

sêmbah202 sun astuti203 Sang Hyang bathara sang wong asêmbah

(33a) angastuti maring ngawak sêrriranne ngulun sabda salah polah salah abêk

salah tingal salah idêp salah agnya salah kapuraha dennira Sang Hyang204 bêthara

sang wong pukulun// pukulun pukulun silanni ngulun sêmbahe ngulun sabda

ngulun (33b) abêkke ngulun tingall ing ulun agnyana nning ulun kawruh ana

dennira Sang Hyang205 prammana jati wênnang apan Sang Hyang206 pramana jati

190
Dalam teks tertulis: idêpa
191
Dalam teks tertulis: kawrah
192
Dalam teks tertulis: San Yang
193
Dalam teks tertulis: San Yang
194
Dalam teks tertulis: sêbah
195
Dalam teks tertulis: nastuti
196
Dalam teks tertulis: San Yang
197
Dalam teks tertulis: anêbah
198
Dalam teks tertulis: San Yang
199
Dalam teks tertulis: idêpa
200
Dalam teks tertulis: San Yang
201
Dalam teks tertulis: Sang Nyang
202
Dalam teks tertulis: sêbah
203
Dalam teks tertulis: nastuti
204
Dalam teks tertulis: San Yang
205
Dalam teks tertulis: Sang Nyang
206
Dalam teks tertulis: San Yang

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
91

wênnang kang sun sêmbah sun astuti207 Sang Hyang208 pramana jati wênnang

anêmbah209 angastuti maring ngawak sarira nning ulun sabda salah polah salah

(34a) abêk salah tingal salah idêp salah agnyana 210 salah kapuraha dennira Sang

Hyang211 pramana jati wênnang pukulun// pukulun pukulun sila nning ulun

sêmbah ingng ulun sabda ngulun abêkk eng ulun tingal ingng ulun idêp (.) ing

ulun agnyana nning ulun ka(34b)wruh212 ana dennira Sang Hyang213 pramana214

sukma dewa hênning apan Sang Hyang215 sukma dewa hênning kang sun sêmbah

sun astuti216 Sang Hyang217 sukma dewa hênning anêmbah angastuti maring

ngawak sêrrira nning ngulun sabda salah polah salah abêk salah idêp salah tingal

salah agnyana salah kapuraha dennira

(35a) Sang Hyang218 sukma dewa hênning pukulun// Sang Hyang219 sukma dewa

hênning muliya maring Sang Hyang220 jati pralina Sang Hyang221 jati pralina

muliya maring cabar tiwas cabar tiwas muliya maring Siwa222 êdohênna sajaba

nning langit gêmping ulun masa laba tinugêl patak pêssagi kagêrusa (.) dennira

Sang Hyang223 ata (35b) wisesa muksa kang ngastuti pukulun// lê// // bapa

207
Dalam teks tertulis: nastuti
208
Dalam teks tertulis: San Yang
209
Dalam teks tertulis: anêbah
210
Dalam teks tertulis: agnyangna
211
Dalam teks tertulis: Sa Hyang
212
Dalam teks tertulis: kawrah
213
Dalam teks tertulis: Sa Nya
214
Dalam teks tertulis: praman
215
Dalam teks tertulis: San Yang
216
Dalam teks tertulis: nastuti
217
Dalam teks tertulis: Sang Yang
218
Dalam teks tertulis: San Yang
219
Dalam teks tertulis: San Yang
220
Dalam teks tertulis: San Yang
221
Dalam teks tertulis: San Yang
222
Dalam teks tertulis: kiwa
223
Dalam teks tertulis: Sa Hya

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
92

manning nirmala babu maning nirmala muwah sira dewata kabeh muwah sira

dewata224 batur muwah sira bathara guru muwah kaki pêgawan citra nini

pêgawan225 citra gutra kaki pêgawan pênyarikkan nini pêgawan pênyarikan226

(36a) Sang227 Hyang nata wisesa ring rahinna tanpa tuduhan tanpa wilangan tanpa

lampit tanpa cara olihêna olih ira Sang 228 Hyang darma tan kamrahan dennira

sang kinayoppan tan kênna ring dina nnira Sang Hyang 229 darma tan kênna ring

baya kewuhh pukulun//(...)230 (36b) Sang Hyang231 upapêl ana sira kenne lah

(...)232 wêhasseti gasah mursah ilang ananne malapataka lararo gadêdaha padawa

rumakêtta sira sang kakayop lawan sang kiayoppan punah tatas huta kakayoppan

prasida ayu

(37a) angabah bukahe kêrramat pucuke kêrramat neda linuwarran saka

dêdamalanni pun kajênêngng anna kaki pêgawan astiti jatmika parama suci

muhênning parama suciman nini mala sata baya nama sa(.) pamakarana nama233

Siwa asukma jatmika234 kang ri wêngngi(37b)kkan nninni kaki majênêng nini

majenêng kaki mangngeling nini mangeling angelingngênna anak tan nanak

paduka bêthara pukulun pun pudut pun baru pare wara angaturi kakayopan

mênawi sisiko sung tupangso angupangngi pangngarusuh

224
Dalam teks tertulis: dawata
225
Dalam teks tertulis: pagawan
226
Dalam teks tertulis: pênyari
227
Dalam teks tertulis: sa
228
Dalam teks tertulis: sa
229
Dalam teks tertulis: San Yang
230
Teks korup/hilang
231
Dalam teks tertulis: Sa Nya
232
Teks korup/hilang
233
Dalam teks tertulis: namas
234
Dalam teks tertulis: jamika

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB V

TERJEMAHAN

5.1 Pengantar Terjemahan

Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang dapat mempersatukan

pemahaman seseorang dengan orang lain dengan syarat masih dalam satu

frekuensi pengetahuan atau pemahaman terhadap bahasa itu sendiri. Bahasa

menjadi tidak lagi dapat dimengerti secara spesifik apabila tidak dapat dipahami

antara satu dengan lainnya. Pemahaman mengenai bahasa ini menjadi masalah

tersendiri di kalangan pembaca naskah Nusantara dan masyarakat luas karena

banyak naskah yang memakai bahasa zaman dahulu (kuno) yang ternyata tidak

serta merta digunakan di masa sekarang sehingga tidak mudah dipahami dan

menjadi tidak menarik lagi. Persoalan ini dapat diatasi salah satunya dengan

menerjemahkan naskah agar segala isi dan ide pokok pikiran naskah dapat

tersampaikan dengan baik sehingga bermanfaat bagi banyak orang.

Pada dasarnya, tahap penerjemahan naskah bukanlah hal yang paling utama

dalam penelitian filologi. Namun, hal ini dirasa sangat perlu dilakukan untuk

menambah pengetahuan. Menurut Djamaris (dalam Suryani, 2012: 87),

terjemahan merupakan hasil dari usaha pemindahan suatu teks dari bahasa sumber

ke bahasa sasaran. Dalam hal ini, bahasa sumber yang dimaksud adalah bahasa

yang digunakan dalam naskah PT, yaitu bahasa Jawa Kuno dan bahasa sasaran

yang dimaksud adalah bahasa Indonesia.

93
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
94

Proses terjemahan yang dilakukan pada suatu naskah tidak bisa dilakukan

secara sembarangan. Berdasarkan yang ditawarkan oleh Suryani (2012: 87)

terjemahan terdiri dari 3 model yang berbeda sebagai berikut.

1. Terjemahan harfiah (terikat), yaitu menerjemahkan teks berdasarkan kata

perkata sehingga sangat terikat dengan struktur bahasa sumber dan

menjadikan bahasa terasa kaku dan sulit dipahami.

2. Terjemahan setengah bebas, yaitu terjemahan yang dapat dipahami oleh

kebanyakan orang. Terjemahan ini fokus pada pemindahan pesan dan

kesan naskah asli semaksimal mungkin.

3. Terjemahan bebas, yaitu terjemahan yang mempunyai tingkat keterbacaan

tinggi. Banyak pesan dan kesan naskah sumber yang tidak tersampaikan

dan kesan bentuk bahasa sumber tidak tampak.

Berdasarkan 3 model di atas, penerjemahan yang dilakukan pada naskah PT

adalah model terjemahan setengah bebas. Model ini dipilih agar pembaca dapat

memahami dengan mudah maskud dari bahasa sumber sehingga pesan dan

kesannya tersampaikan dengan baik, tidak menyimpang dari maksud penulis

naskah aslinya, dan tidak terikat berdasarkan kata demi kata, tetapi tetap menjaga

keaslian kandungan teks. Terjemahan kata yang tidak dapat diserap secara

langsung dalam istilah bahasa Indonesia dan atau yang tidak dapat ditemukan

dalam kamus maka dituliskan apa adanya dan diuraikan dalam catatan kaki.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
95

5.2 Hasil Terjemahan Naskah PT

(Lempir 1)

Hamba bersimpuh Auma prana prameya 235 menyembah dengan kedua tangan.

Kamu bukanlah dewa. Usaplah dengan nyata dalam bentuk tubuh perempuan236 di

siang hari. Berkatalah di dalam hatimu “paduka dewa suci nama Siwa”, ialah yang

berhak beranak ataupun tidak beranak. Dewa yang sabar dan baik. Keutamaannya

adalah dewa yang berselubung air yang memakai burat harum. Memandang pada

keberadaannya. Goresan/garis yang tak beraturan dari ujung kaki sampai kepala.

Mata yang tampak tenang, dibalut oleh banyak daun-daunan (sayup), burung yang

terbang secara cepat, sedang belalang berpencar menerima pertemuan guna

menciptakan perubahan. Lalu engkau (hamba) masih merasa sulit menuju sebuah

kegembiraan yang suci.

(Lempir 2)

Engkau yang maha utama, paduka dewa suci nama Siwa ya tuanku. Sri guru raja

yang menguasai bumi, karrana mudra 237 buddha nama Siwa ya tuanku. Ngicak

purrusa purusi sarira sarini batên sarira sarini lêpassêna agnyana wisesa

supapêr lêpas. Auma apra aprameya. Menyembah dengan menggunakan kedua

tangan. Kamu bukanlah dewa. Usaplah dengan nyata dalam bentuk tubuh

perempuan di siang hari. Berkatalah di dalam hatimu “paduka dewa suci nama

235
Kalimat ini digunakan sebagai pembuka ritual persembahan terhadap Dewa Siwa. Dalam
kamus dijelaskan bahwa auma bersinonim dengan kata aum, om, dan ong/hong yang merujuk pada
satu makna, yaitu kata-kata suci yang digunakan sebagai pengantar kata-kata pujian.
236
Kemungkinan perempuan yang dimaksud adalah mengusap “patung” Dewi Durga.
237
Dalam kamus diartikan dengan posisi jari-jari yang khas dengan fungsi dan arti sakral dengan
kemujaraban supranatutal. Dalam arti lain disebutkan sikap jari atau tangan dalam bersemedi pada
agama Buddha.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
96

Siwa”, ialah yang berhak beranak ataupun tidak beranak. Dewa raja yang maha

Utama Sang Hyang Dewata Kalikaron, dari sesuatu yang tertutup, yaitu dari

tumbuh-tumbuhan yang menjalar, yang sedikit demi sedikit belum tentu diketahui

oleh raja warna/bentuknya.

(Lempir 3)

Tiba pada puncaknya Sang Hyang Arga. Sang Hyang Giri berkelana berpercikan

dedaunan. Dalam tubuhnya terdapat bunga yang berhamburan dan segala macam

bunganya bercahaya, tetapi tertutup oleh dedaunan itu. Di atas padma 238

senjatanya berada, di bumi pertapaan hamba berada, Sang Hyang Naga sudah

kerak oleh api. Wisnu diterangi oleh matahari, bulan, bintang-bintang yang

dikelilingi oleh pawaraman bima dan suka mengembara setelah tanggal 15 paro

terang. Ditahbiskan dengan bunga yang harus disiram air nirmala dengan

semerbak wanginya dupa dan tetesan embun serta menghadap ke Sang Hyang

Dewata. Orang-orang memuja, menggerakkan benda yang dimiliki

(Lempir 4)

agar tidak kosong. Sang Hyang Dewata Kalpika menghadap paduka dewa suci

nama Siwa yang berkilau dan bersinar untuk memberi kegembiraan dan semangat.

Dya Ayu disiram secara merata, paduka dewa yang menghidupkan dunia, untuk

mengetahui trisamaya 239 dan kegembiraaan yang semuanya hidup dalam

ketetapan 7 surga, 9 dewa yang terdapat di timur, selatan, barat, utara, tengah,
238
Dalam kamus diartikan dengan bunga teratai dan merupakan rajanya bunga karena dapat hidup
dalam tiga tempat, yaitu tanah, air, dan udara atau sebagai simbol Triloka Stana, Tuhan Yang
Maha Esa.
239
Dalam kamus diartikan dengan pertemuan yang 3, nama Tritunggal, yaitu Brahma, Wisnu,
Siwa

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
97

tenggara, barat daya, barat laut, dan timur laut. Bumi yang 7. Ada gergasi,

kemudian raksaksa-raksaksi yang ada di bumi yang suka semak belukar, daun-

daunan.

(Lempir 5)

Gunung Panga, burung kecil yang khas semua di ngadelan. Sedang perkataan

yang benar atau nyata adalah oleh kesaktian kepala paduka dewa suci nama Siwa

yang menjaga. Minggu di laut, Rabu di jalan, dan Jumat menjaga dari penyakit.

Semua diketahui dari berita dewa, sepertinya paduka dewa suci nama Siwa sedang

berwatak babik. Penghormatan hamba, cahaya merah yang memercikkan cinta

pada pemimpin, yaitu tripurusa240 kepada 7 penjaga gaga (sawah) bidadara-

bidadari berubah berwatak angkuh terhadap berita dewa, sepertinya paduka dewa

suci nama Siwa berubah berwatak babik. Penghormatan hamba, cahaya merah

yang memercikkan

(Lempir 6)

cinta pada pemimpin, yaitu tripurusa kepada 7 penjaga sawah, sepertinya

bidadara-bidadari berubah berwatak angkuh terhadap berita dewa, paduka dewa

suci nama Siwa. Dan di setiap sesuatu yang mencapai sejauh pertanyaan yang

hendak dipikirkannya, laksana garga rakna Sang Hyang Dewata Kalpika

menyiram secara rata. Paduka dewa suci nama Siwa, nanti paduka dewa turun dari

rumahnya menaiki padma tarana, mengemban japa dan mantra yang menurunkan

240
Dalam kamus diartikan dengan Brahma, Wisnu, Siwa.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
98

aji wisesa241 atigala air lemar242 untuk melihat kejelasan dan kebenaran hyang

padi pabuderran pulau Jawa. Sang Hyang, kesaktian perasaan atau hati hamba

yang ada pada janji/sumpah pertapa hamba.

(Lempir 7)

Durga Ayu, sang prabu wiraja nagara naik ke singgasana berpakaian permata. Ada

kegembiraan yang tampak muncul oleh dama triwarga 243 pangangasan kastrana

oleh pujaan hamba dengan jamuan yang menjaga hasil bumi. Prabu Tiga Rama

ikut serta menjaga agar warga tetap dapat menikmati panen musiman. Berkat

pujaan yang dilakukan terhadap Durga maka dapat memberi kesuburan yang serba

ditanam, maka hasilnya subur semua dan dapat dipanen, diantaranya pala bukah,

pala wija, pala wiji, pala gantung, serta pala kanginan yang murah, semuanya

membeli, semuanya menerima, tidak ada harga yang mahal, hanya ada harga

murah untuk semua warga. Dijauhkan dari musuh dan pencuri.

(Lempir 8)

Durga melarikan diri kembali kepada kekosongan yang tidak jauh dari para kali

yang memerintahkan untuk datang kepada anak manusia, bukan anak dewa,

tuanku. Titiplah kegembiraan yang besar. Membuat guratan dengan matahari oleh

sesama orang suci, daun-daunan yang bergerak cepat, dari kesulitan, dari rambu,

dari laluan yang cepat, dari arah pandangan, dari tanda pada pandangan, dari

kemurnian di bumi. Dewata pergi menempuh jiwa yang berbudi luhur. Buh cari

241
Dalam kamus diartikan dengan teks suci yang unggul.
242
Dalam kamus diartikan dengan obat tradisional yang didapatkan dari seorang dukun.
243
Dalam kamus diartikan dengan tiga tujuan dalam kehidupan manusia

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
99

buh ya nama Siwa ya dewa Siwa 244. Mengetahui sesuatu yang agung, semuanya

mengerjakan pekerjaan untuk satu tujuan

(Lempir 9)

dan tidak dengan pertengkaran. Pukulun auma prana prameya hamba bersimpuh

menyembah dengan kedua tangan. Kamu bukanlah dewa. Usaplah dengan nyata

dalam bentuk tubuh perempuan di siang hari. Berkatalah di dalam hatimu “paduka

dewa suci nama Siwa”, ialah yang berhak beranak ataupun tidak beranak. Dewa

yang memiliki anugerah yang sejahtera. Paduka dewa yang tidak pernah lalai dan

memberi hukuman atau kutukan bagi orang-orang yang melanggar hal-hal yang

dianggap sakral. Dia tidak membiarkan lepas pada sesuatu yang dilarang.

Bersihkanlah wajahmu dengan mengalirkan air agar hilang segala bahaya dan

kembali menjadi orang yang suci. Sang Hyang Nagar membentengi diri dengan

tangkas. Sang Hyang Gana245 memberi luka sumbing, badan yang terbawa

(Lempir 10)

tidak terinjak, mata yang tidak buta, telinga yang tidak tuli, tempat suci yang tidak

rutuwa, bahu yang tidak mikusa, jari-jari yang tidak cacat, kaki yang tidak

lumpuh, hati yang tidak hampa, angin yang tidak kurang, dan tempat yang

berkecukupan. Anugerah yang sejahtera tidak pernah berkurang, paduka dewa

suci nama Siwa ya tuanku. Manusia meminta pada yang maha indah berupa

penambahan keindahan yang baik. Intan yang samar-samar nampak nyata, angin
244
Dalam kamus diartikan dengan bumi, tanah, tumbuh berlimpah-limpah berada dan disuburkan
oleh Siwa. Digunakan untuk memuja Siwa agar Siwa tetap memberi keberkahan dan tidak
memberi kesulitan dalam hidup.
245
Dalam kamus diartikan dengan istilah yang digunakan untuk menggambarkan raksasa setengah
dewa.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
100

yang mengusap dengan daun dari engkau yang maha utama paduka dewa suci

nama Siwa ya tuanku.

(Lempir 11)

Tentu tercurahkan sinar cahaya yang tampak seperti lumpur, percikan api yang

mencambuk kulit yang melekat pada pakaian yang menjadikan badanmu kacau

balau dan meletakkan tujuan yang dapat menghilangkan dosa, sedang

kegembiraan hanya dari keutamannya, paduka dewa suci nama Siwa ya tuanku.

Auma prana prameya menyembah dengan tangan. Auma prana prameya, hamba

bersimpuh menyembah dengan kedua tangan. Kamu bukanlah dewa. Usaplah

dengan nyata dalam bentuk tubuh perempuan di siang hari. Berkatalah di dalam

hatimu “paduka dewa suci nama Siwa”, ialah yang berhak beranak ataupun tidak

beranak. Dewa yang membawa jiwa yang kokoh.

(Lempir 12)

Bathara Sumurudda, merayakan kematiannya. Sang Hyang Dewata tidak

bergerak, permata yang mulia, dan surga yang nyata, tuanku nama Siwa ya. Auma

prana prameya, hamba bersimpuh menyembah dengan kedua tangan. Kamu

bukanlah dewa naga. Anugerah yang sejahtera tidak pernah berkurang jika engkau

semua menyembah termasuk cucu-buyut, paduka dewa suci nama Siwa ya tuanku.

Hamba memberi persembahan dan pujian termasuk banyak dewa-dewi di

mangalangan, yaitu Dewi Pertiwi, Dewi Nipeni, Dewi Nukuli, Dewi Nungkurat,

Dewi Pradana Wisesa,

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
101

(Lempir 13)

Sang Hyang Dewata semua yang hadir, hamba menyembah dan menyucikan diri.

Kewajiban hormat pada Sang Hyang Sukma yang kokoh dan suci agar dapat

membuat semua ketenangan. Lalu engkau (hamba) masih merasa sulit menuju

sebuah kegembiraan yang suci. Engkau yang maha utama, paduka dewa suci

nama Siwa ya tuanku. Seperti yang telah tersusun, Bathara Guru dari palah,

tempat istirahat dewa. Seseorang yang tegar yang tunduk pada keberadaan Raja

Sokur yang bertubuh cahaya mutiara indah yang unggul, tuanku.

(Lempir 14)

Sadnyala yang kedua 1 2 3 4 5 6 7 8 9

(Lempir 15)

Tuanku, engkau tetap bertahan di gunung, yaitu pertapa Kaki246 Ayi Kumala,

Kaki Ayi Iten, Kaki Pekik, Kaki Ayi Wuruju, Kaki Samarata, Kaki Togul

Wolung, Kaki Ayi Dewa Raden Sang Hyang Gana Pati, pertapa penjaga, pertapa

dermesthi, Guru Sang Hyang Mula Carita, Sang Lumalang, Sang Laku, Sang

Mangngite, Sang Ngipet, Sang Manginget, Sang Mangiton, Sang Hyang Ngasihe

Prana (jiwa yang penuh cinta), Sang Hyang Rêcipta Dewa, Sang Hyang Ngadi

Pamriyan, Sang Hyang Ngadi Guru Wisesa, Sang Hyang Butul Patala, Sang

Hyang Tata Boga, Sang Hyang Ngatalaga, Sang tempat bergantung. Juga pertapa

Citra Gatra, Kaki Pertapa Penyarikkan,

(Lempir 16)

246
Dalam kamus diartikan dengan kakek, laki-laki tua yang patut dimuliakan.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
102

Kaki Pertapa Samatara, Kaki Pertapa Besa Warna, Dewi Kapuri Gasara pergi ke

ngasemara-ngasemari, bertubuh cahaya mutiara yang indah, berjiwa tenang,

purusa-purusa sarira sarinne buktikêm hong caksuh sarira sarinne batên sarira

sarinni lêpas anglêpasna agnyana wisesa supapêr lêpas hong hong parama sunya

ya nama Siwa ya 247. Mengetahui pembukaan yang sopan santun. Tuanku, Sang

Hyang Ngadi Pamrayan, Sang Hyang Ngadi Guru Wisesa, Sang Hyang Tata Boga

(pemberi makanan), Sang Hyang Ngatalaga yang memberi tempat bergantung,

Sang Hyang Butul Patala (dapat menembus alam), sang tempat bergantung.

(Lempir 17)

Juga engkau sang maha tegar yang terdapat di timur, selatan, barat, utara, tengah,

tenggara, dan barat laut semua menjaga dengan setia, ada Sang Hyang Sukma

yang kokoh dan berbudi luhur yang bergerak membuat tumbuh secara melimpah.

Tentu tercurahkan sinar cahaya anak panah yang tampak seperti lumpur, percikan

api yang mencambuk kulit yang melekat pada pakaian yang menjadikan badanmu

kacau balau dan lagi meletakkan tujuan yang menghilangkan dosa, sedang

kegembiraan datang dari keutamannya paduka dewa suci nama Siwa ya tuanku

yang suci dalam pikiran yang pari bukti, jiwa, dan hati yang tinggal sebagai

manusia yang bebas, dan mati/hilang secara nyata/bebas.

(Lempir 18)

247
Kata-kata pujian yang digunakan saat melakukan ritual persembahan terhadap Dewa Siwa.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
103

Semuanya tergantung pada keputusan Dewa Siwa, yang mengerti dengan baik dan

maha tahu. Tuanku, Dewa Raja Lasmi, Paduka Dewi Gri, Paduka Dewi Uma

Dewi, Paduka Dewa Sranggeni, Paduka Dewi Nipeni, Paduka Dewi Nukuli,

Paduka Dewi Sukawirati, Paduka Dewi Pradana Wisesa, Paduka Dewi Nungkurat,

Paduka Dewi Jatmika, Paduka Dewi Ayu tanpa hiasan, Paduka Dewi Sun, Paduka

Dewi yang tinggi semua memuji pada Sang Hyang Sukma yang kokoh,

dipersembahkan kebahagiaan yang suci di dalam pikiran yang gembira dalam jiwa

dan hati. Hong (Tuhan Yang Maha Kuasa) turun berinkarnasi menjadi manusia

yang bebas dan mati secara sungguh-sungguh nyata.

(Lempir 19)

Tuanku, para golongan orang suci, kaki pertapa, Kaki Samantara, Kaki Dewa

Lumalang, Kaki Braja yang semua memuji pada Sang Hyang Sukma yang kokoh,

dipersembahkan kebahagiaan yang suci, tuanku. Tuanku, Sang Hyang Suwara

Sati, Sang Hyang Catur Muksi yang semua memuji pada Sang Hyang Sukma

yang kokoh, dipersembahkan kegembiraan yang suci, ketenangan tempat suci ini.

Hambamu yang teguh pada niat. Kaki Ayi, Nini248 Ayi pergi ke ngasmara-

ngasmari semua mulia dan indah tujuan ketenangannya. Tuanku, keistimewaan

keindahan Sang Hyang Maha Raja. Ki Maha Raja melihat apa yang ada atau

terjadi di desa/daerah/wilayah berdasarkan saksi dan bukti.

(Lempir 20)

248
Dalam kamus diartikan dengan nenek, perempuan tua yang patut dimuliakan

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
104

Tuanku, sang tonggak gerbang, Sang Hyang Mahameru yang miring ke timur,

kemuliaan raja, sembahnya, cahaya yang semua mulia dan indah. Tuanku, sang

tonggak gerbang, Sang Hyang Mahameru yang miring ke selatan, kenikmatan

makanan, sembahnya pada pemberi makanan yang semua mulia dan indah.

Tuanku sang tonggak gerbangnya, Sang Hyang Mahameru yang miring ke barat

dari permukaannya, sembahnya pada pangapan semua mulia dan indah. Tuanku,

sang tonggak gerbang Sang Hyang Mahameru yang miring ke utara, peniti gori249,

sembahnya sungguh-sungguh mulia dan indah.

(Lempir 21)

Tuanku, sang tonggak gerbang Sang Hyang Mahameru yang miring ke tengah,

Kaki Puduttan, Nini Pudutan, Kaki Pekik, Nini Pekik, Kaki Mengikih, Nini

Mengikih, Kaki Mangiton, Nini Mangiton, Kaki Manginget, Nini Manginget,

semua mulia dan indah. Sang tonggak gerbang, Sang Hyang Mahameru yang

miring ke selatan di Ranu Bawa Ki Rabut Galidig, Ki Lebuwok, Ki Tunon, Ki

Rabut Butit, Ki Sekar Gadung, Semua Mulia Dan Indah. Nini Lor, Nini Kedul, Ni

Agung, Ni Balerah, Ni Ayu Tanpa Ayas,

(Lempir 22)

Ni Letre, Ni Tereh, Ni Siti Daran, Ni Mita, Nini Bamita, Nini Saruwok, Ni Deling

Sekar Gadung, Ni Kekejek, Ni Dani, Ni Sudanem, Ni Wati, Nini Sari, Nini Rebu,

Nini Madubrata, Ni Ratna yang semua mulia dan indah. Tuanku, Sang tonggak
249
Dalam kamus diartikan dengan dewi yang cemerlang, yaitu Parwati salah seorang dari sakti
Dewa Siwa.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
105

gerbang, Sang Hyang Mahameru yang miring ke arah luar, Ki Legawong, Ki

Tuban, Ki Kalisat, Ki Donya, Ki Saka, Ki Palapitan, Ki Pecok Carang, Ki

Kalamuka Kala Jaya, Ki Badar yang semua mulia dan indah. Sang Hyang Dewata

Batur, Pertapa Caci Wuri di sanggar, Kaki Suwarna di palayon, Sang Buta Kali

Mucis Sela di sanggar, Raja Lasmi Dewata di rumah ngasemara-ngasemari.

(Lempir 23)

Dewata di tempat tidur Sang Hyang Syawarasati, dewatani mutakkan srir mandel,

dewatani tobong tambuh meneng, dewatani pasekuk, dan paduka dewi yang tidak

keras hatinya, dewata di rumah raksasa yang bertugu, dewata di pagar, Kaki

Pingin, Nini Pingin, dewata yang menyamai sekumpulan dedaunan. Beristirahat di

tempat istirahat. Sang Buta Sewu di tempat bersih, Bethara Guru di halaman, Kaki

Kudama, Ni Kudali, dewatanni pakacahan, sri yang menjelma dewata di cerana,

darakaya di pawukalan, sadakaya di pakayon, kemenangan di dalam

persaudaraan, Buta Ijo di perairan, Buta Marus di air untuk menyembuhkan luka,

Buta Lubang di kali/sungai,

(Lempir 24)

Dura Kala di gerbang jalan mengejar-ngejar Sang Hyang Kerti, sang kara, dewata

di bajaran, sri bungah kalagadi ya dewata di adong, sang hyang ngasmara terbang

di udara, dewatani kembang, sang hyang selama reka, dewatani parigin. Ki Tulak

tagul tudung musah, Ki Kala Samua, Ki Balaba, Ki Bamita, Ki Kala Ngadang, Ki

Kala Sunya, yang teguh dalam penataran yang luas dari kesulitan, yang semua

mulia dan indah. Ki Kala Samua di tengah penataran yang luas, Ki Buta Balaten,

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
106

Ki Buta Bali, Ki Buta Rong, Ki Buta Siwah, sang jembar riti, sang dadung awuk,

Kaki Kumara, Nini Koma,

(Lempir 25)

sang rara wudu, semua mulia dan indah. Sang teguh di ganaga, sang teguh di batu

besar, tanah mendekat, menyimpang, mendorong, meniti kayu besar, akar besar,

sang teguh di pijakan. Engkau mungkin ada rohaniawan dari sanak saudara, dari

gunung kecil, dari gunung ngamor, sang buta berjalan kepada yang tidak

diketahuinya di penataran yang luas, yang buta tuntunlah, yang tuli sentuhlah,

yang lumpuh gendonglah, engkau jangan mengajak pada kehancuran dan

percerai-beraian, ketenteraman didapat dengan tinggal menjauhkan godaan,

(Lempir 26)

jauhilah perseteruan dan permusuhan, dusta durjana, dan penyakit. Atigala air

lemar yang melihat kejelasan dan kebenaran 3 pertapaan yang menyala, sang kari

ya tuanku, dari bulan, dari meminta pada tanah/bumi. Engkau tidak

menemukannya karena hanyut di atas awan, yang mengerti seperti ini adalah

dukun yang sakti. Hebat tetapi seperti tidak sesuatu yang nyata. Engkau sang

langlang buwana pada siang hari, kecuali malam hari engkau berubah menjadi

Bagawan Citra Gutra, Bagawan Panyarikan, Bagawan Aganthi, Bagawan

Ageni250 yang putra. Tetapi, tidak resi dan tidak dewa melanglang berubah engkau

250
Kemungkinan yang dimaksud Bagawan Ageni adalah Bathara Agni atau Dewa Api.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
107

Bagawan Narada dari sedah251. Jangan menghukum dengan akibat bahwa ada

kesukaran

(Lempir 27)

dalam suatu golongan. Memberi persembahan berupa perkataan dengan suara

yang nyaring yang terlampau dari ujung kepala sampai ujung kaki mendekat di

dalam kegelapan, menyingkap pagar yang renggang, melangkahi pagar yang

pendek. Penguasa utama mempunyai larangan, yaitu hukuman dera tetapi yang

bebas dari pasung dan dari suatu tempat yang terikat sehingga dapat sembuh

kembali. Perkataan yang suci, Hyang Hyang yang suci berwujud orang laki-laki

ong aneretah aneretih aheng aheng ahong ahong pralena pralengga. Waluh252

yang bergulung-gulung dan besar yang diambil dari

(Lempir 28)

lembah/tanah rendah yang tidak di jurang, tidak di gunung. Ra 253 resi berdiri dan

duduk membungkuk dengan hormat pada hati yang tak bersinar, tanpa bekas. Jadi,

hamba bertapa meskipun beda keputusan yang diizinkan. Berdiri melakukan

perbuatan sebab memberi kesucian. Hong awang-ngawang nguwung-nguwung,

terbang mengarungi udara tidak ada di dunia raksasa yang jahat, tidak ada raja

yang sendirian, sendiri berdiri di langit atau udara tidak ada semua yang tidak

mengira.

251
kemungkinan yang dimaksud adalah seorang pujangga.
252
Dalam kamus diartikan dengan wadah yang terbuat dari labu botol, dipakai para pertapa
brahmana.
253
Dalam kamus diartikan dengan menunjukkan kategori orang-orang yang ada hubungan
kekerabatan dengan orang yang berderajat lebih tinggi.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
108

(Lempir 29)

Hong, air suci yang nyata yang turun dari atas permata suci itu tak mengenal lelah

menghilangkan dosa atau keburukan, menjauhkan dari kejahatan, yang suci, yang

dekat ataupun jauh. Dewa murti menyatu pada angin menangkap kelakuan yang

buruk, tetap pada Sang Hyang yang memberi hidup. Hong, air suci ya nama Siwa

atipa yang mendenda. Perangai hamba, sembahnya hamba, pikiran hamba,

penglihatan hamba, sifat hamba, tingkah laku hamba, diketahui olehnya Sang

Hyang yang bersabda dan mengingatkan karena Sang Hyang Tutur sudah

mengingatkan untuk menyembah dan memuji kepadanya. Perkataan hamba yang

salah, tingkah laku yang salah, sifat yang salah, mata yang yang salah,

(Lempir 30)

pikiran yang salah, akal yang salah. Kebaikan hatinya, Sang Hyang telah bersabda

dan mengingatkan. Hamba bersimpuh, perangai hamba, sembahnya hamba,

penglihatan hamba, pikiran hamba, akal hamba, diketahui olehnya Sang Hyang

Sabda Bayu Idep sebab Sang Hyang Bayu Idep menyembah dan memuji

kepadanya. Perkataan hamba yang salah, tingkah laku yang salah, sifat yang

salah, mata yang salah, akal yang salah, pikiran yang salah. Kebaikan hatinya,

Sang Hyang Sabda Bayu Idep.

(Lempir 31)

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
109

Hamba bersimpuh, perangai hamba, sembahnya hamba, penglihatan hamba,

diketahui olehnya Sang Hyang Jati Wisesa, sebab Sang Hyang Pramana Jati

Wisesa yang hamba puji, Sang Hyang Pramana Jati Wisesa yang hamba sembah

memuji kepadanya. Perkataan hamba yang salah, tingkah laku yang salah, abek

yang salah, penglihatan yang salah, pikiran yang salah, akal yang salah, diketahui

olehnya Sang Hyang Pramana Jati Wisesa. Hamba bersimpuh, perangai hamba,

sembahnya hamba, penglihatan hamba, perkataan hamba, sifat hamba,

penglihatan hamba, akal hamba,

(Lempir 32)

diketahui olehnya Sang Hyang Manon, sebab Sang Hyang Manon yang hamba

sembah dan puji, Sang Hyang Manon menyembah dan memuji kepadanya.

Perkataan hamba yang salah, tingkah laku yang salah, sifat yang salah,

penglihatan yang salah, pikiran yang salah, akal yang salah, kebaikan hatinya

Sang Hyang Manon. Hamba bersimpuh, perangai hamba, sembahnya hamba,

perkataan hamba, penglihatan hamba, pikiran hamba, akal hamba, diketahui

olehnya Sang Hyang Bathara Sang Wong, sebab Sang Hyang Bathara Sang Wong

yang hamba sembah dan puji, Sang Hyang Bathara Sang Wong menyembah

(Lempir 33)

dan memuji kepadanya. Perkataan hamba yang salah, tingkah laku yang salah,

sifat yang salah, penglihatan yang salah, pikiran yang salah, akal yang yang salah,

kebaikan hatinya Sang Hyang Bathara Sang Wong. Hamba bersimpuh, perangai

hamba, sembahnya hamba, perkataan hamba, sifat hamba, penglihatan hamba,

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
110

akal hamba, diketahui olehnya sang hyang pramana jati wenang, sebab Sang

Hyang Pramana Jati Wenang yang hambah sembah dan puji, Sang Hyang

Pramana Jati Wenang menyembah dan memuji kepadanya. Perkataan hamba yang

salah, tingkah laku yang salah,

(Lempir 34)

sifat yang salah, penglihatan yang salah, pikiran yang salah, akal yang salah,

kebaikan hatinya Sang Hyang Pramana Jati Wenang. Hamba bersimpuh, perangai

hamba, sembahnya hamba, perkataan hamba, sifat hamba, penglihatan hamba,

pikiran hamba, diketahui olehnya Sang Hyang Pramana Sukma Dewa Hening,

sebab Sang Hyang Sukma Dewa Hening yang hamba sembah dan puji, Sang

Hyang Sukma Dewa Hening menyembah dan memuji kepadanya. Perkataan

hamba yang salah, tingkah laku yang salah, sifat yang salah, pikiran yang salah,

akal yang salah, kebaikan hatinya

(Lempir 35)

Sang Hyang Sukma Dewa Hening. Sang Hyang Sukma Dewa Hening mulia

kepada Sang Hyang Jati Pralina. Sang Hyang Jati Pralina mulia kepada Cabar

Tiwas. Cabar Tiwas mulia kepada Siwa. Jauhkan sampai ke luar langit, masa

keuntungan patah menjadi persegi dan tergerus oleh Sang Hyang Ata Wisesa

menuju ke tempat abadi, yang hamba puji. Bapak memberi nirmala, ibu memberi

nirmala. Juga engkau dewata semua, juga engkau dewata hamba, juga engkau

bathara guru, juga Kaki Pegawan Citra, Nini Pegawan Citra Gutra, Kaki Pegawan

Penyarikan,

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
111

(Lempir 36)

Di siang hari, Sang Hyang Raja yang tertinggi tanpa petunjuk, tanpa golongan,

tanpa tikar rotan, tanpa cara memperoleh perolehannya, Sang Hyang Darma tidak

bermurah hati olehnya, sang pertapa tidak cocok di harinya, Sang Hyang Darma

tidak cocok dalam bahaya dan kesulitan, tuanku. Sang Hyang upapel, engkau

terkena oleh (...)254 hilangnya malapetaka dan penyakit. Eratlah engkau sang

pertapa dengan sang ki pertapa. Punah habis hukuman yang dilaksanakan.

(Lempir 37)

Permulaan keramat, puncaknya keramat, terbebas dari perbuatan dosa. Sudah

dinamai Kaki Pegawan Astiti Jatmika, Parama Suci Muhening, Parama Suciman,

Nini Mala Sata Baya, Nama Sa Pamakarana, Nama Siwa Asukma Jatmika di

malam hari, Nini Kaki Majeneng, Nini Majeneng, Kaki Mangeling, Nini

Mangeling, ingatlah bahwa kau adalah anak manusia bukan paduka dewa.

Tuanku, hamba sudah melakukan pertapaan/persembahan, semoga sisimu

memberi perlindungan dari segala kerusuhan.

254
Teks korup.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB VI

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini yang menjadi objek penelitian adalah hasil suntingan dan

terjemahan teks PT. Hasil dan pembahasan ini akan disajikan dalam empat

bagian. Bagian pertama adalah bentuk dan struktur teks PT, bagian kedua adalah

analisis tanda dalam teks PT yang meliputi ikon, indeks, dan simbol berdasarkan

yang ditawarkan oleh Peirce, bagian ketiga adalah konsep kepercayaan

masyarakat Tengger dalam naskah PT, dan bagian keempat adalah pengaplikasian

teks PT.

6.1 Bentuk dan Struktur Teks PT

Teks PT merupakan teks yang berbentuk prosa dengan jenis sastra kitab

karena strukturnya hampir mirip dengan struktur kitab agama. Teks PT ini tidak

dikatakan sebagai prosa jenis sastra fiksi karena pada dasarnya teks PT lebih

kurang menjadi representasi ajaran pada agama Hindu.

Teks PT memiliki struktur tulisan yang unik sehingga memiliki ketertarikan

tersendiri pada pembacanya. Keunikan tersebut terletak pada kalimat yang

diulang-ulang pada beberapa bagian yang menunjukkan adanya suatu hal yang

kuat yang ingin ditunjukkan. Diketahui bahwa teks PT ini adalah teks primbon

yang digunakan sebagai mantra ketika masyarakat Tengger melakukan upacara-

upacara adat, seperti ketika hendak menikah, mendirikan rumah, dan lain-lain.

Lebih kompleks lagi, teks PT ini dikatakan sebagai naskah penglawu, yaitu teks

112
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

yang digunakan sebagai pembuka pada proses upacara sehingga persoalan tentang

alur cerita tidak

113
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
114

menjadi poin utama. Meskipun begitu, komponen pembangun struktur teks PT

cukup terarah, yaitu terdiri atas bagian awal, tengah, dan akhir.

Unsur-unsur dan komponen pembangun struktur teks PT dapat

dikelompokkan menjadi beberapa bagian berikut.

1. Penjelasan mengenai hamba yang harus selalu menyembah dan memuji

terhadap Dewa Siwa, Dewi Durga, dan penggambaran Dewa Wisnu yang

dikelilingi oleh matahari, bulan, dan bintang.

2. Penjelasan mengenai banyaknya Sang Hyang, kaki „kakek yang dmuliakan‟

dan nini „nenek yang dimuliakan‟, serta dewa-dewa yang menjaga di setiap

penjuru bumi dan menjaga Gunung Mahameru yang dipercaya oleh

masyarakat masyarakat Tengger.

3. Penjelasan mengenai anjuran kepada masyarakat Tengger untuk tetap

menjaga kerukunan dan tetap saling bersaudara.

4. Pengingat untuk masyarakat Tengger bahwa semua perbuatan yang

dilakukan diketahui oleh para Sang Hyang.

1. Unsur Pertama

Unsur pertama dalam teks PT, yaitu penjelasan mengenai hamba yang harus

selalu menyembah dan memuji terhadap Dewa Siwa, Dewi Durga, dan

penggambaran Dewa Wisnu yang dikelilingi oleh matahari, bulan, dan bintang.

Berikut penjelasan satu per satu mengenai Dewa Siwa, Dewi Durga, dan Dewa

Wisnu.

Pada bagian pertama dalam unsur pertama ini, yaitu mengenai penyembahan

terhadap Dewa Siwa. Dewa Siwa adalah Dewa yang maha utama dan mempunyai

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
115

wewenang atas segalanya. Bagian ini menjelaskan juga tatacara penyembahan

terhadap Dewa Siwa serta kalimat yang harus selalu tertanam dalam hati ketika

melakukan persembahan atau pemujaan. Bagian ini juga mengingatkan pada para

hamba (manusia-manusia) bahwa dirinya bukanlah apa-apa di mata sang dewa

sehingga menjadi sebuah pengingat untuk selalu memuja kepadanya. Disebutkan

pula bahwa Dewa Siwa akan turun menggunakan padma tarana mengemban japa

dan mantra serta memberi aji wisesa.

Bagian selanjutnya dalam unsur pertama ini, yaitu anjuran untuk selalu

memuji kepada Dewi Durga, istri Dewa Siwa. Dewi Durga digambarkan memakai

busana yang dipenuhi dengan manik atau permata dan Ia naik ke singgasananya.

Penyembahan ini digambarkan dengan mengusapkan dalam tubuh perempuan.

Ketika hamba-hamba selalu melakukan pemujaan dan penyembahan maka Dewi

Durga akan memberi kesuburan yang tak ternilai dan semuanya akan bermanfaat

bagi seluruh masyarakat Tengger. Semua tanaman akan subur dan tidak ada

satupun makanan yang bernilai mahal. Begitu pula dengan pencuri dan musuh

akan dijauhkan dari kehidupan masyarakat Tengger.

Bagian akhir dari unsur pertama ini, yaitu disebutkanya Dewa Wisnu yang

diterangi oleh matahari, bintang-bintang, dan bulan. Dewa Wisnu yang dikenal

sebagai dewa penjaga ini diceritakan suka mengembara pada tanggal 15 paro

terang. Selain tatacara yang dilakukan terhadap Dewa Siwa, tatacara persembahan

terhadap Dewa Wisnu juga dijelaskan pada bagian akhir unsur pertama ini, yaitu

dengan mempersiapkan bunga, air nirmala, dan dupa. Kesemuannya ini akan

ditunjukkan pada Sang Hyang Dewata.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
116

2. Unsur Kedua

Pada unsur kedua ini, teks PT menjelaskan mengenai banyaknya Sang

Hyang, kaki „kakek yang dmuliakan‟ dan nini „nenek yang dimuliakan‟, serta

dewa-dewa yang menjaga di setiap penjuru bumi dan menjaga Gunung Mahameru

yang dipercaya masyarakat Tengger.

Selain memuliakan Siwa, Wisnu, dan Durga masyarakat Tengger juga

memuliakan para leluhur dan para pertapa terdahulunya. Hal ini dimaksudkan

agar semua hadir dalam upacara. Disebutkan dewa-dewi di mangalangan, yaitu

Dewi Pertiwi, Dewi Nipeni, Dewi Nukuli, Dewi Nungkurat, Dewi Pradana

Wisesa, semuanya dipuji agar hamba dapat suci kembali. Pada bagian ini

disebutkan pula untuk hormat kepada Sang Hyang Sukma agar selalu memberikan

ketenangan.

Pertapa yang diagungkan diantaranya Kaki Ayi Kumala, Kaki Ayi Iten,

Kaki Pekik, Kaki Ayi Wuruju, Kaki Samarata, Kaki Togul Wolung, Kaki Ayi

Dewa Raden. Selain itu banyak pula Sang Hyang, seperti Sang Hyang Gana Pati,

pertapa penjaga, Pertapa Dermesthi Guru, Sang Hyang Mula Carita, sang

lumalang, sang laku, sang mangngite, sang ngipet, sang manginget, sang

mangiton, Sang Hyang Ngasihe Prana (jiwa yang penuh cinta), Sang Hyang

Rêcipta Dewa, Sang Hyang Ngadi Pamriyan, Sang Hyang Ngadi Guru Wisesa,

Sang Hyang Butul Patala, Sang Hyang Tata Boga, Sang Hyang Ngatalaga, sang

tempat bergantung. Juga pertapa Citra Gatra, Kaki Pertapa Penyarikkan, Kaki

Pertapa Samatara, Kaki Pertapa Besa Warna, Dewi Kapuri Gasara pergi ke

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
117

ngasemara-ngasemari yang semuanya bertubuh cahaya mutiara yang indah dan

berjiwa tenang.

Dijelaskan pula dalam naskah PT bentuk geografis gunung Mahameru yang

miring ke timur, selatan, barat, utara, tengah, dan ke arah luar. Gunung Mahameru

disebutkan sebagai sang tonggak gerbang. Kaki dan nini yang ada di Gunung

Mahameru tidaklah dijelaskan di semua sisinya karena dalam teks naskah PT

hanya disebutkan nini dan kaki pada bagian tengah, selatan, dan bagian luar.

Kaki dan nini yang ada di Gunung Mahameru bagian tengah adalah Kaki

Puduttan, Nini Pudutan, Kaki Pekik, Nini Pekik, Kaki Mengikih, Nini Mengikih,

Kaki Mangiton, Nini Mangiton, Kaki Manginget, Nini Manginget yang semuanya

mulia dan indah.

Kaki dan nini yang ada di Gunung Mahameru bagian selatan tepatnya di

Ranu Bawa, yaitu Ki Rabut Galidig, Ki Lebuwok, Ki Tunon, Ki Rabut Butit, Ki

Sekar Gadung, Nini Lor, Nini Kedul, Ni Agung, Ni Balerah, Ni Ayu Tanpa Ayas,

Ni Letre, Ni Tereh, Ni Siti Daran, Ni Mita, Nini Bamita, Nini Saruwok, Ni Deling

Sekar Gadung, Ni Kekejek, Ni Dani, Ni Sudanem, Ni Wati, Nini Sari, Nini Rebu,

dan Nini Madubrata yang semua mulia dan indah.

Kaki yang ada di Gunung Mahameru bagian luar, yaitu Ki Legawong, Ki

Tuban, Ki Kalisat, Ki Donya, Ki Saka, Ki Palapitan, Ki Pecok Carang, Ki

Kalamuka Kala Jaya, dan Ki Badar yang semua mulia dan indah.

3. Unsur Ketiga

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
118

Pada bagian unsur ketiga, yaitu penjelasan mengenai anjuran kepada

masyarakat Tengger untuk tetap menjaga kerukunan, saling tolong menolong, dan

tetap saling bersaudara. Pada teks PT diberi pemberitahuan yang mendasar untuk

masyarakat Tengger dan digunakan sebagai pengingat dalam menjalankan

kehidupan.

Pengingat-pengingat tersebut, seperti pengingat untuk saling menolong yang

dijelaskan secara gamblang dalam teks PT dengan menyebutkan bahwa jika ada

seseorang yang buta secara harfiah maupun batiniah maka tuntunlah dan ajarilah,

yang tuli sentuhlah, yang lumpuh gendonglah. Peringatan kepada hamba-hamba

untuk tidak sekali-kali mengajak pada kehancuran dan percerai-beraian. Apabila

semua ingin hidup tenteram dan damai maka satu-satunya cara, yaitu menjauhkan

diri dari segala godaan. Tidak membuat keributan agar tidak terjadi perseteruan

dan permusuhan, tidak ada dusta durjana, dan hilangnya segala penyakit.

4. Unsur Keempat

Pada bagian unsur keempat atau unsur terakhir dalam teks PT ini

menjelaskan tentang pengingat untuk masyarakat Tengger bahwa semua

perbuatan yang dilakukan diketahui oleh Sang Hyang dan semua akan kembali

padanya.

Segala perangai seorang hamba, termasuk sembahnya, pikirannya,

penglihatannya, sifatnya, tingkah lakunya, semua diketahui oleh Sang Hyang

Tutur, Sang Hyang Pramana Jati Wisesa, Sang Hyang Sabda Bayu Idep, Sang

Hyang Manon, Sang Hyang Pramana Jati Wenang, Sang Hyang Pramana Sukma

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
119

Dewa Hening, Sang Hyang Bathara Sang Wong yang bersabda dan mengingatkan

untuk menyembah dan memuji. Segala perkataan seorang hamba yang salah,

tingkah lakunya yang salah, sifatnya yang salah, matanya yang salah, pikirannya

salah, akal yang salah semua diketahu oleh para Sang Hyang karena para Sang

Hyang juga memuji dan menyembah kepadanya. Sang Hyang Sukma Dewa

Hening mulia kepada Sang Hyang Jati Pralina. Sang Hyang Jati Pralina mulia

kepada Cabar Tiwas. Cabar Tiwas mulia kepada Dewa Siwa.

Pada unsur akhir ini para hamba juga diiingatkan kembali untuk selalu

menjaga dengan erat hubungan keharmonisan yang telah ada, khususnya bagi

sang pertapa dan ki pertapa, yakni para hamba dan leluhurnya sehingga tiada

hukuman yang dilakukan karena tidak sekali-kali melakukan perbuatan buruk.

Pada akhirnya disebutkan adanya permulaan keramat, puncaknya keramat, dan

tujuan akhir dalam mantra teks PT, yaitu bebasnya seorang hamba dari perbuatan

dosa karena dianggap suci kembali. Segala persembahan dan pujian yang telah

dilakukan tersebut hamba-hamba memohon agar dewa-dewa khusunya Dewa

Siwa tetap memberi perlindungan dari segala kerusuhan yang dapat memperpecah

ketenteraman dan kesejahteraan.

6.2 Identifikasi dan Analisis Tanda dalam Teks PT

Tanda-tanda yang muncul dalam teks PT diidentifikasikan agar makna yang

tersembunyi dapat muncul dan tersampaikan dengan baik. Identifikasi tanda

tersebut lalu dikategorikan berdasarkan tipologi tanda yang di dalamnya terdapat

salah satu trikotomi yang telah ditawarkan oleh Pierce, yaitu berupa ikon, indeks,

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
120

dan simbol. Seperti yang telah dijelaskan pada poin landasan teori, tipe-tipe tanda

ini dipilih karena dianggap paling cocok, fundamental/pokok, dan simpel sesuai

dengan hubungan tanda dengan objeknya. Objek yang dimaksud tidak lain adalah

teks PT itu sendiri. Tanda-tanda yang sudah dapat diidentifikasi, selanjutnya

dilakukan analisis mengenai tiap tanda tersebut. Namun, sebelum melangkah pada

tahap tersebut, berikut merupakan penjelasan secara sederhana mengenai ikon,

indeks, dan simbol.

1. Ikon. Didasarkan atas keserupaan atau kemiripan antara representamen dan

objeknya.

2. Indeks. Tanda yang memiliki kaitan antara representamen dan objeknya.

3. Simbol. Adanya peraturan yang berlaku umum antara representamen dan

objeknya.

Selanjutnya, analisis ini akan mengidentifikasikan tanda-tanda verbal, yaitu

tanda berupa bahasa dan tanda-tanda nonverbal, yaitu tanda berupa bentuk simbol

atau lambang tertentu. Tanda-tanda ini tidak hanya dipandang sebagai tanda

individu saja, tetapi juga dihubungan dengan tanda lain yang dapat mengungkap

pemaknaan tanda-tanda tersebut. Hasil temuan dan analisis data dalam penelitian

ini akan mencakup beberapa hal, yaitu ikonitas dalam teks naskah PT,

indeksikalitas dalam teks naskah PT, dan simbolisme dalam teks naskah PT.

6.2.1 Ikonitas dalam Teks PT

Ikon ialah tanda sebagai sebuah kemungkinan yang ada sedemikian rupa

tanpa tergantung pada adanya sebuah denotatum/representamen/objek, tetapi

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
121

dapat dikaitkan dengannya atas dasar suatu persamaan yang secara potensial

dimilikinnya. Ikon di dalam kenyataannya tidak muncul dalam bentuk murni.

Lebih sederhana lagi, Zoest menyatakan bahwa ikon sebenarnya berfungsi sebagai

sebuah kemiripan (Zoest, 1993: 24). Budiman (2011: 78) dalam hal ini juga

mengatakan bahwa ikon adalah tanda yang di antara representamen dan objeknya

didasarkan atas sebuah keserupaan atau kemiripan (resemblace). Ikonitas dalam

teks naskah PT dapat diidentifikasikan sebagai berikut.

1. Air/Tirta

Air dalam definisi umum merupakan benda cair yang mengandung banyak

manfaat yang tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau. Secara kimia

mengandung hidrogen dan saksigen yang biasanya banyak ditemui di sumur,

sungai, dan danau (Nimpuno, dkk, 2014: 17). Namun, dalam teks PT ini air bukan

hanya menjadi pelengkap keperluan dalam kehidupan manusia. Air menjadi salah

satu benda yang sangat diperlukan dan disucikan keberadaannya terutama yang

dijadikan sebagai bahan ritual. Kata ini disebutkan dalam teks naskah PT sebagai

berikut.

.....Sang Hyang pusapa kaki siniramm ing tirta nirmala.... (PT lempir 3)

„..... Sang Hyang, kaki yang disiram dengan air nirmala...‟

.....anurunna aji wisesa atigala tirta lêmar ....(PT lempir 6)

„.....menurunkan aji wisesa atigala air lemar...‟

hong tirta jati tumiba ratna jati (PT lempir 29)

„Hong, air suci yang nyata yang turun dari atas permata suci‟

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
122

Berdasarkan pada ketiga kutipan teks tersebut, air dalam teks naskah PT

merupakan ikon sebuah kesucian. Kata ini disebutkan dalam tiga macam jenis

yang masing-masing memiliki makna sebagai berikut.

a. Air nirmala

Nirmala menurut Mardiwarsito (1990: 372) berarti suci, bersih, dan tak

bernoda. Jadi, air nirmala yang dimaksud dalam teks PT, yaitu air yang suci,

bersih, tidak bernoda, dan tanpa cacat yang digunakan untuk

menyiram/membasuh kaki.

b. Air lemar

Lemar menurut Prawiroatmodjo (1981: 302) adalah obat tradisional yang

didapat dari seorang dukun. Berdasarkan definisi tersebut, air lemar dalam teks

PT berarti air yang didapat dari seorang dukun atau sesepuh adat yang sudah

dimantrai dan air ini dijadikan sebagai obat tradisional.

c. Tirta jati

Tirta berasal dari bahasa Sansekerta tĭrtha yang berarti air suci

(Mardiwarsito 1990: 605). Jati juga berasal dari bahasa Sansekerta jăti yang

berarti nyata (Prawiroatmodjo, 1981: 179) Oleh karena itu, tirta jati dimaknai

sebagai air suci yang nyata yang digunakan dalam ritual. Air ini dimanfaatkan

untuk penyucian jiwa karena airnya berasal dari atas permata yang suci.

2. Dupa

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
123

Dupa merupakan nama lain dari luban, kemenyan, setanggi, dan lain-lain

yang memiliki bau harum apabila dibakar. Benda ini digunakan untuk

bersembahyang dalam kepercayaan tertentu (Nimpuno, dkk, 2014: 199). Dupa

menjadi salah satu benda yang digunakan untuk ritual dalam upacara adat Tengger

dan digunakan juga dalam persembahyangan. Dupa dalam teks PT menjadi salah

satu ikon tersendiri yang dipakai ketika berlangsungnya sebuah ritual. Kata ini

disebutkan dalam teks PT sebagai berikut.

....angabêt wanginni dupa (PT lempir 3)

„.... semerbak wanginya dupa‟

Pada kutipan penggalan teks tersebut menunjukkan bahwa dupa menjadi

salah satu benda ritual yang digunakan dengan cara membakarnya agar semerbak

wanginya dapat tercium dan membumbung kemana-mana. Dalam hal ini, filosofi

dupa ternyata tidak begitu saja. Dupa diyakini sebagai perantara yang

menghubungkan pemuja dengan yang dipuja. Hal ini diyakini karena asap dari

dupa perlahan menyatu ke angkasa dan menuntun hamba-hamba untuk semakin

dekat dengan Tuhannya.

3. Sarwa kusuma

Sarwa kusuma merupakan istilah yang terdiri dari dua kata, sarwa dan

kusuma yang masing-masing berasal dari bahasa Sansekerta. Sarwa diartikan

dengan serba, berbagai, segala macam (Mardiwarsito 1990: 514). Kusuma

diartikan dengan bunga (Mardiwarsito 1990: 300). Jadi, istilah Sarwa kusuma

diartikan dengan segala macam bunga. Bunga merupakan bagian dari tumbuhan

yang mempunyai warna yang bagus dan berbau wangi. Bunga dalam teks PT

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
124

dijelaskan berada dalam tubuh Sang Hyang giri atau berada di gunung. Bunganya

dijelaskan sangat bercahaya. Dalam analisis lain, jika dihubungkan dengan sebuah

upacara adat, posisi bunga tentu memiliki peran yang berbeda. Bunga mempunyai

dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai simbol Dewa Siwa dan sebagai sarana

persembahan seiring dengan adanya dupa dan air (Sudarta: 2000). Kata ini

disebutkan dalam teks PT sebagai berikut.

Sang Hyang Giri kêlanna pinulcikan ron ning kusaraga tinêgêkan sêkar
rura sinnaren sarwakusuma (PT lempir 3)
„Sang Hyang Giri berkelana berpercikan dedaunan. Dalam tubuhnya
terdapat bunga yang berhamburan dan segala macam bunganya bercahaya‟
4. Padma

Menurut Mardiwarsito (1990: 386) padma adalah seroja siang atau bunga

teratai merah. Kata ini berasal dari bahasa Sansekerta. Padma adalah rajanya

bunga karena dapat hidup dalam tiga tempat, yaitu, air, tanah, dan udara. Padma

dalam teks PT tidak hanya dianggap sebagai tumbuhan atau bunga pada

umumnya. Padma dianggap spesial dari bunga-bunga lain karena merupakan

“kendaraan” yang digunakan oleh Dewa Siwa ketika turun dari kayangan atau

tempat Ia berada dan beristirahat. Hal ini dijelaskan dalam teks PT sebagai

berikut.

paduka bathara suci nama Siwa ya mangke paduka bathara tumurun saking
dalêm paomahan nitihi padma tarana (PT lempir 6)
„Paduka dewa suci nama Siwa, nanti paduka dewa turun dari rumahnya
menaiki padma tarana‟
5. Mahameru

Mahameru atau Meru adalah sebutan puncak Gunung Semeru yang terletak

di Jawa Timur. Gunung ini menjadi salah satu gunung tertinggi di Indonesia, dan

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
125

khusunya menjadi gunung tertinggi di pulau Jawa. Gunung Semeru atau

Mahameru dalam teks PT dianggap sebagai gunung yang menjadi tonggak

gerbang. Artinya, Gunung Mahameru menjadi tugu/tiang/gerbang gunung dan

menjadi pembuka untuk gunung-gunung lainnya. Kata ini disebutkan dalam teks

PT sebagai berikut.

Sang tugu babahan nira Sang Hyang Mahameru kang miring mêngngetan
mangngedul mangngulon mangngalor madya mangedul jaba (PT lempir 20-
22)

„Sang tonggak gerbang, Sang Hyang Mahameru yang miring ke timur,


selatan, barat, utara, tengah, selatan, luar‟

6.2.2 Indeksikalitas dalam Teks PT

Indeks menurut Zoest (1993: 24) adalah sebuah tanda yang dalam hal corak

tandanya tergantung dari adanya sebuah denotatum/objek. Dalam pengertian lain,

indeks adalah tanda yang memiliki kaitan fisik, eksistensial, atau kausal antara

representamen dan objeknya sehingga seolah-olah akan kehilangan karakter yang

menjadikannya tanda apabila objeknya dipindahkan atau dihilangkan (Budiman,

2011: 78). Indeks lebih sederhana lagi didefinisikan dengan adanya hukum sebab-

akibat di antara tanda dan objeknya. Indeksikalitas dan teks naskah PT dapat

diidentifikasikan sebagai berikut.

1. Hong/Ong/Auma

Kata hong, ong, dan auma berasal dari bahasa Sansekerta yang sebenarnya

merujuk pada satu maksud. Kata hong atau ong merupakan ucapan salam yang

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
126

digunakan oleh masyarakat Tengger. Hong dalam hal ini diartikan dengan Tuhan

Yang Maha Kuasa (Lincahayati, 2013: 5). Auma menurut Zoetmulder (2000: 15)

memiliki padanan kata dengan ahom, aum, dan om yang diartikan bersama-sama.

Artinya, masyarakat diajak bersama-sama untuk melakukan persembahan dengan

mengucapkan salam auma prana prameya, khususnya dalam teks PT ini ditujukan

kepada Dewa Siwa. Sebenarnya terdapat sedikit perbedaan antara auma dan hong

yang digunakan dalam teks naskah PT ini. Namun, perbedaannya tidak begitu

signifikan. Kata auma digunakan pada kalimat awal-awal teks, sedangkan kata

hong digunakan di tengah-tengah kalimat. Kata ini disebutkan dalam teks PT

sebagai berikut.

pukulun pukulun auma prana prameya annêmbah anangan kalih....


ngucarrana ring padhadha jajani paduka bathara suci nami Siwa (PT
lempir 1)

„Hamba bersimpuh Auma prana prameya menyembah dengan kedua


tangan.... Berkatalah di dalam hatimu paduka dewa suci nama Siwa‟

Sang Hyang ngurip hong tirta pawitra ya nama Siwa (PT lempir 29)

„Sang Hyang yang memberi hidup. Hong, air suci ya nama Siwa‟

Dari kedua kutipan di atas menunjukkan adanya perbedaan letak

penggunaan kata auma dan hong/ong. Namun, jika dilihat dari konteks kalimatnya

sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar. Kedua kutipan tersebut merujuk

pada Dewa Siwa sebagai dewa yang disembah dan dipuja.

2. Mabusana Manik

Mabusana adalah bentuk seperti gerund dalam bahasa Inggris, tetapi

sifatnya yang dibalik. Jika gerund membendakan kata kerja, maka sifat ma di sini

adalah menjadikan kata benda menjadi sebuah kata kerja. Mabusana berasal dari

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
127

ma+busana. Busana oleh Prawiroatmodjo (1981: 50) diartikan dengan pakaian,

sedangkan manik diartikan dengan intan/permata (1981: 334). Kedua kata ini

berasal dari bahasa Jawa Kuno/Kawi. Apabila terdapat suku kata ma yang

bertemu dengan kata benda, dalam hal ini busana, maka akan menjadi sebuah kata

kerja. Oleh karena itu, mabusana dalam hal ini adalah kata benda yang berubah

sifat menjadi kata kerja. Jadi, mabusana manik diartikan dengan berpakaian

permata/intan. Kata ini disebutkan dalam teks PT sebagai berikut.

Durga ayu sang prabu wiraja nagara awetta nitihi singangsan mabusana
manik... dadianni tahun ladunnga nning warsa dadiani sarwa tinandur pala
bukah pala wija pala wiji pala gatung (PT lempir 7)

„Durga Ayu, sang prabu wiraja nagara naik ke singgasana berpakaian


dengan permata... Durga dapat memberi kesuburan yang serba ditanam,
maka hasilnya subur semua dan dapat dipanen diantaranya pala bukah, pala
wija, pala wiji, pala gantung‟

Pada konteks ini, yang dimaksud sebagai subjek yang berpakaian permata

adalah Dewi Durga. Dewi Durga dalam teks PT dijelaskan bahwa Ia naik ke

singgasananya dengan berpakaian permata. Kata ini dianggap menjadi salah satu

indeks karena berpakaian permata merujuk pada sebuah perhiasan yang memiliki

harga tinggi. Artinya, kata ini juga merujuk pada sebuah kekayaan dan kekuasaan

yang hakiki. Jika sudah memiliki kekayaan dan kekuasaan maka tidak heran

banyak dipuja dan disembah. Hal ini tentu jika dibandingkan dengan sifat manusia

tidak ada tandingannya. Hal inilah yang menjadikan masyarakat Tengger juga

menjadikan Dewi Durga sebagai salah satu dewi yang mereka sembah.

Karenanya, Dewi Durga selalu memberi ketenteraman dan kesuburan tanah

sehingga masyarakat Tengger tidak merasa kesulitan dalam menjalani hidup.

3. Nawa Dewa

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
128

Istilah nawa dewa merupakan istilah dari gabungan 2 kata, yaitu nawa dan

dewa yang berasal dari bahasa Sansekerta. Nawa oleh Mardiwarsito (1990: 365)

diartikan dengan 9. Dewa mempunyai makna yang tidak berubah dari bentuk

asalnya, yaitu dewa (Mardiwarsito 1990: 151). Jadi, nawa dewa diartikan dengan

9 dewa. Istilah ini digambarkan dalam teks PT sebagai 9 dewa yang menjaga

bumi dari sudut manapun. 9 dewa ini diindeksikan dengan dewa yang menjaga di

setiap penjuru mata angin. Istilah ini dalam teks PT disebutkan sebagai berikut.

nawa dewa pihuwuna kahuwa kanni kang purwa duksina pacima utara
madya genneya nariti byabya harsanya (PT lempir 4)

„9 dewa yang terdapat di timur, selatan, barat, utara, tengah, tenggara, barat
daya, barat laut, dan timur laut‟

Pada kutipan teks PT tersebut dijelaskan bahwa terdapat 9 dewa yang

masing-masing berada di bagian timur, selatan, barat, utara, tengah, tenggara,

barat daya, barat laut, dan timur laut. Dewa-dewa ini diyakini sebagai penjaga

bumi dan bertempat sesuai dengan penjuru mata angin. Namun, Lincahayati

(2013: 83) menjelaskan bahwa arah penjuru mata angin tersebut berjumlah 8

sesuai dengan jumlah helai yang terdapat dalam bunga teratai. 8 sudut tersebut

merupakan manifestasi dari Sang Hyang Widi sebagai kedudukan yang

horizontal. Dewa-dewa tersebut dijelaskan sebagai berikut.

1) Purwa yang berkedudukan di timur adalah Iswara.

2) Duksina/daksina yang berkedudukan di selatan adalah Brahma.

3) Pacima/pascima yang berkedudukan di barat adalah Mahadewa.

4) Utara/uttara yang berkedudukan di utara adalah Wisnu.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
129

5) Madya berkedudukan di tengah dan sebagai pusat. Letak ini merupakan

puncak mahkota dari bunga teratai. Madya yang berkedudukan di tengah

adalah Sadasiwa. Sedangkan di bagian dasar/adathasana adalah Siwa dan

bagian puncak/agrasana adalah Paramasiwa.

6) Genneya/agneya yang berkedudukan di tenggara adalah Maheswara.

7) Nariti/nairiti yang berkedudukan di barat daya adalah Rudra.

8) Byabya/wayabya yang berkedudukan di barat laut adalah Sangkara.

9) Harsanya/airsanya yang berkedudukan di timur laut adalah Shambu

4. Sang Wuta, Sang Tuli, Sang Lumpuh

Sang wuta dimaknai sebagai seseorang yang buta/tidak bisa melihat, sang

tuli dimaknai sebagai seseorang yang tuli/tidak bisa mendengar, dan sang lumpuh

dimaknai sebagai seseorang yang lumpuh/tidak bisa berjalan. Semua ini

berhubungan dengan anggota tubuh manusia. Dalam teks PT, disebutkan bahwa

orang-orang yang buta, tuli, dan lumpuh atau memiliki kekurangan lainnya

diharapkan untuk dapat saling menolong dan tidak mengajak pada kehancuran.

Kata-kata ini dalam teks PT disebutkan sebagai berikut.

sang wuta tuntunên sang tuli jawillên sang lumpuh gendongên pada sira
tatajakon na sawalang walang sowang aja ana karripahanna kari
ngêdohênna gêguda bacann adohenna satru musuh dustha durjanna lara
roga (PT lempir 25)
„yang buta tuntunlah, yang tuli sentuhlah, yang lumpuh gendonglah, engkau
jangan mengajak pada kehancuran dan percerai-beraian, ketenteraman
didapat dengan tinggal menjauhkan godaan, jauhilah perseteruan dan
permusuhan, dusta durjana, dan penyakit.‟

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
130

Pada kutipan teks PT di atas, kata “buta, tuli, dan lumpuh” dalam hal ini

mempunyai dwifungsi makna baik secara harfiah maupun nonharfiah. Bermakna

harfiah apabila keadaan ini memang menunjukkan ketidaksempurnaan fisik

seseorang. Makna nonharfiah, misalnya buta terhadap pengetahuan atau

informasi-informasi yang bermanfaat, tuli terhadap hal-hal baik atau tidak mau

mendengarkan nasihat, dan lumpuh dapat dimaknai dengan enggan berbuat baik.

Oleh karenanya, jiwa saling mengingatkan dan tolong menolong harus tetap

dikedepankan.

Ditegaskan juga dalam kutipan tersebut bahwa masyarakat Tengger adalah

masyarakat yang mencintai kedamaian, kebersamaan, dan ketenteraman. Oleh

karena itu, dalam teks disebutkan agar para masyarakat tetap menjaga keindahan

persaudaraan yang telah lama terjalin sehingga tidak ada kehancuran dan percerai-

beraian.

6.2.3 Simbolisme dalam Teks PT

Simbol atau lambang adalah hubungan antara tanda dan objeknya ditentukan

oleh suatu peraturan yang berlaku umum. Simbol difungsikan sebagai konvensi

atau berdasarkan kesepakatan (Zoest, 1993: 25). Dalam definisi lain, Budiman

(2011: 80) menyebut bahwa simbol merupakan tanda yang representamennya

merujuk pada objek tertentu dan terbentuk melalui konvensi-konvensi atau

kaidah-kaidah tanpa adanya kaitan secara langsung antara representamen dan

objeknya. Secara lebih sederhana, simbol dimaknai sebagai tanda yang dihadirkan

karena adanya kesepakatan umum antara objek dan tandanya.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
131

Simbolisme dalam teks naskah PT terdapat dua bentuk, yaitu verbal dan

nonverbal. Simbol verbal ditujukan dengan adanya tanda bahasa, sedangkan tanda

nonverbal ditujukan dengan adanya bentuk gambar dalam teks. Simbolisme dalam

teks naskah PT dapat diidentifikasi sebagai berikut.

1. Simbol Padi/Jagung

Padi atau jagung adalah salah satu bentuk tanda simbolisme nonverbal, yaitu

ditujukan dengan adanya gambar/lambang tertentu yang telah berlaku umum.

Simbol ini belum dapat dipastikan apakah merujuk pada tanaman padi atau

merujuk pada tanaman jagung karena bentuk gambar/lambangnya yang

menjuntai. Bentuk simbol ini dapat dilihat pada bab dua dengan nomor gambar

2.13. Simbol ini dalam teks PT muncul pada kutipan berikut.

Dewata paraga pamulih sukma jatmika (simbol tanaman padi/jagung) buh


cari buh ya nama Siwa a bathara Siwa ya (PT lempir 8)

„Dewata pergi menempuh jiwa yang berbudi luhur. Buh cari buh ya nama
Siwa ya dewa Siwa’
Pada kutipan di atas dijelaskan bahwa simbol tanaman padi/jagung berada

sebelum kalimat buh cari buh ya nama Siwa. Buh merupakan kata yang berasal

dari bahasa Sansekerta bhūḥ yang berarti bumi, tanah (Mardiwarsito, 1990: 129)

dan kata cari juga berasal dari bahasa Sansekerta cāri yang diartikan dengan

bergerak/hidup (Mardiwarsito, 1990:136). Jadi, kalimat buh cari buh ya nama

Siwa dimaknai dengan bumi, tanah, tumbuh dan hidup berlimpah-limpah berada

dan disuburkan oleh Siwa. kalimat ini digunakan untuk memuja Siwa agar Siwa

tetap memberi keberkahan dan tidak memberi kesulitan dalam hidup.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
132

Berdasarkan paparan di atas menunjukkan bahwa simbol tumbuhan

jagung/padi tersebut merupakan gambaran dari salah satu tumbuhan yang

memang diharapkan tumbuh subur dan melimpah oleh masyarakat Tengger. Hal

ini sepadan dengan yang dikatakan Sutatto (2006: 3) bahwa jagung adalah

makanan pokok masyarakat Tengger karena tidak semua orang menggantinya

dengan beras. Oleh karena itu, masyarakat Tengger berharap bahwa segala macam

tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh dengan subur dan melimpah.

2. Simbol Hati

Hati dalam definisi ilmu anatomi merupakan salah satu organ dalam yang

dimiliki oleh tubuh manusia yang berwarna merah dan berfungsi untuk

mengambil sari-sari makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu

(Nimpuno, dkk, 2014: 307). Dalam teks PT ini, hati tidak dimaksudkan demikian.

Simbol hati merupakan salah satu tanda nonverbal yang berupa gambar/lambang.

Penggambaran mengenai hati dalam teks PT, yaitu seperti daun pohon waru

dengan bentuk sedemikian rupa. Namun, dalam teks PT memiliki tambahan

bentuk yang cukup unik, yaitu ditambahi bentuk segitiga-segitiga yang

mengelilinginya. Simbol ini dapat dilihat pada bab dua gambar 2.14. Simbol hati

dalam teks PT muncul pada kutipan berikut.

adohenna satru musuh dustha durjanna lara roga atigalla tirta lêmar
angrêtakkênna tri prêngtapan maka diraja sang kari ya pukulun sangka
candra sangka tedih ibuh aja nêmmu sika namasya alarut pada nning awan
ngêrti sakti dukun (simbol hati) (PT lempir 26)

„jauhilah perseteruan dan permusuhan, dusta durjana, dan penyakit. Atigala


air lemar yang melihat kejelasan dan kebenaran 3 pertapaan yang menyala,
sang kari ya tuanku, dari bulan, dari meminta pada tanah/bumi. Engkau
tidak menemukannya karena hanyut di atas awan, yang mengerti seperti ini
adalah dukun yang sakti‟

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
133

Pada kutipan teks tersebut menjelaskan bahwa simbol hati merujuk pada

kalimat sebelumnya, yaitu anjuran kepada masyarakat Tengger untuk menjauhi

perseteruan dan permusuhan, menjauhi untuk saling berbohong agar tidak

menimbulkan penyakit. Dalam hal ini, gambar hati merupakan simbolisasi sebuah

kebersamaan, ketenteraman, dan kedamaian antar sesama masyarakat Tengger.

3. Gunung Mahameru

Selain sebagai sebuah ikon, Gunung Mahameru juga dapat dijadikan sebagai

sebuah simbol. Dalam kepercayaan agama Hindu, Gunung Mahameru diyakini

sebagai tempat bersemayamnya Dewa Siwa. Dalam teks PT, sudah dijelaskan

sebelumnya bahwa Gunung Mahameru adalah “rajanya” gunung di pulau Jawa.

Hal ini dikatakan demikian karena dijelaskan bahwa ia merupakan sang tonggak

gerbang, yakni pintu adanya gunung-gunung lain.

Gunung Mahameru merupakan simbolisasi rumah tempat bersemayamnya

dewa-dewa dan sebagai sarana penghubung antara bumi (manusia) dan kayangan.

Hal ini digambarkan dalam teks PT lempir 6, yaitu terdapat penceritaan bahwa

Dewa Siwa akan turun ke bumi dengan menaiki kendaraannya, yaitu padma atau

teratai. “Turun” dalam hal ini dimaksudkan bahwa pada mulanya Dewa Siwa

berada pada tempat peristirahatannya, yaitu di Gunung Mahameru yang

merupakan puncaknya Gunung Semeru.

6.3 Konsep Kepercayaan Masyarakat Tengger dalam Teks PT

Konsep kepercayaan masyarakat Tengger sebenarnya sama halnya dengan

kepercayaan masyarakat suku lain yang memeluk agama Hindu. Perbedaan yang

mendasar dan mencolok antara agama Hindu di Tengger dan juga agama Hindu di

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
134

wilayah lain, terutama Bali adalah seperti yang telah dikatakan oleh Malik bahwa

agama Hindu Bali lebih condong kepada Hindu Dharma, sedangkan konsep

Hindu menurut masyarakat Tengger masih tercampur dengan kepercayaan-

kepercayaan yang tumbuh di masyarakat sekitar (2007: 114).

Berbicara mengenai agama Hindu, tentunya didominasi atas adanya

kepercayaan terhadap dewa-dewa yang agung yang menjadi pokok pemujaan

utama yang dilakukan, diluar memuja kepada Sang Hyang Widi. Dewa-dewa

tersebut dikenal secara umum dengan sebutan Trimurti yang terdiri dari Dewa

Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Namun, dalam teks naskah PT ini tidak

sekalipun disebutkan istilah Trimurti. Istilah ini digantikan dengan istilah lain,

yaitu Trisamaya dan Tripurusa. Istilah Trisamaya dan Tripurusa merupakan istilah

yang berasal dari bahasa Sansekerta trisamaya dan tripuruṣ a. Trisamaya oleh

Mardiwarsito (1990: 612) diartikan dengan pertemuan dari 3 dewa, nama

Tritunggal, yaitu Brahma, Wisnu, Siwa. Istilah Tripurusa juga diartikan dengan 3

dewa, yaitu Brahma, Wisnu, Siwa. Istilah ini disebutkan dalam teks PT sebagai

berikut.

...... dya ayu summiram mrattanni paduka bathara yi kaurippanni kang


tripabapan ring buwana karuhunni kang tripabapan trisamaya (teks PT
lempir ke-4)

„....Dya ayu disiram secara merata, paduka dewa yang menghidupkan dunia,
untuk mengetahui trisamaya (Brahma, Wisnu, Siwa)‟
paduka bathara suci nama Siwa ya muwah ingkang watêk babik sun narada
kapilake umucuk undat trisna widu trikurus tripurusa... (PT lempir 5 akhir
sampai 6)
„paduka dewa suci nama Siwa sedang berwatak babik. Penghormatan
hamba, cahaya merah yang memercikkan cinta pada pemimpin, yaitu
tripurusa (Brahma, Wisnu, Siwa)‟

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
135

Teks PT sebenarnya tidak menjelaskan secara mendetail mengenai pemujaan

atau persembahan terhadap Dewa Brahma dan Dewa Wisnu,. Teks PT justru lebih

dominan terhadap satu dewa, yaitu Dewa Siwa dan sedikit menyinggung tentang

Dewa Wisnu. Selain itu, ada pula pembahasan mengenai Dewi Durga yang mana

merupakan istri Dewa Siwa. Teks mantra ini memang diberlakukan secara khusus

untuk pemujaan terhadap Dewa Siwa.

Dalam pembuka atau awalan kalimatnya sudah sangat jelas bahwa memang

isi teksnya ditujukan untuk Dewa Siwa. Hamba-hamba harus menyembah dengan

kedua tangannya dan secara khusyuk memuja dan memuji kepada Siwa.

Dipertegas lagi dalam teks tersebut bahwa hamba-hamba bukanlah seorang yang

spesial, bukanlah seorang dewa jadi semua hamba harus tetap memuji dan

menyembah kepadanya. Selain menyembah dengan mengangkat kedua tangan,

hati seorang hamba juga harus fokus dengan kalimat “paduka dewa suci nama

Siwa” dan harus selalu tertancap dalam hati. Dewa Siwa dipercayai sebagai dewa

yang baik dan sabar, dewa yang mempunyai segala wewenang. Hal ini disebutkan

dalam teks PT sebagai berikut.

pukulun pukulun auma prana prameya annêmbah anangan kalih anak tan
bêthara sasatt angusapp ira rabi rinna ngucarrana ring padhadha jajani
paduka bathara suci nami Siwa ya ring wênnanngngan ning anak tan nak
bathara ajuminahakna (PT lempir ke-1)
„Hamba bersimpuh Auma prana prameya menyembah dengan kedua tangan.
Kamu bukanlah dewa. Usaplah dengan nyata dalam bentuk tubuh
perempuan di siang hari. Berkatalah di dalam hatimu “paduka dewa suci
nama Siwa”, ialah yang berhak beranak ataupun tidak beranak. Dewa yang
sabar dan baik‟
Keutamaan Dewa Siwa yang disebutkan dalam teks PT, yaitu dewa yang

berselubung air dan memiliki bau yang harum. Selain itu, Dewa Siwa disebut juga

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
136

dewa yang menguasai bumi. Perkataan yang benar atau nyata dari Dewa Siwa

adalah sebuah kebenaran dan kenyataan yang sakti, karena Dewa Siwa juga

menjaga hamba-hamba. Minggu menjaga di laut, Rabu di jalan, dan Jumat

menjaga para hamba dari penyakit. Semua ini diketahui berdasarkan berita dewa

yang telah ada.

Dewa Siwa dalam teks PT digambarkan bahwa nantinya Dewa Siwa ketika

turun dari rumahnya, dalam hal ini yang dimaksud adalah tempat di mana Dewa

Siwa tinggal, dengan menaiki padmatarana atau bunga teratai. Tidak hanya turun

semata-mata saja, Dewa Siwa juga membawa japa atau mantra kemudian akan

menurunkan aji wisesa „teks suci yang unggul‟ karena Dewa Siwa memiliki

anugerah yang sejahtera.

Walaupun ia dewa yang baik, sebenarnya Dewa Siwa tidak segan untuk

memberi hamba-hambanya hukumun, yaitu hamba yang melakukan kesalahan,

baik berupa melanggar hal-hal yang dianggap sakral. Namun, hukuman tersebut

bukanlah seperti hukuman pasung atau hukuman dimana para hamba diikat dalam

ruang yang gelap, tetapi hukuman yang dapat menjadikan hamba tersebut sembuh

kembali. Hal ini dimaksudkan agar para hamba sadar akan kesalahannya dan tidak

mengulangi untuk kedua kalinya. Dalam kepercayaan agama Hindu Dewa Siwa

dikenal sebagai dewa pelebur, sedangkan Dewa Brahma sebagai dewa pencipta

dan Dewa Wisnu sebagai pelindung.

Segala anugerah dan kesejahteraan akan selalu didapatkan oleh masyarakat

Tengger apabila semua masyarakatnya, baik yang muda sampai tua, cucu-buyut

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
137

sekalipun selalu memuja dan menyembah kepada Dewa Siwa dan tidak sekalipun

melupakannya. Segala kegembiraan dan kesenangan, baik berupa tercukupinya

kebutuhan semua adalah berkat Dewa Siwa karena segala keutamaannya.

Selain adanya konsep kepercayaan terhadap Dewa Siwa, masyarakat

Tengger juga percaya terhadap adanya Dewa Wisnu. Namun, dalam teks PT ini

penceritaan mengenai Dewa Wisnu tidak dijabarkan secara luas karena

diasumsikan bahwa teks mantra ini dikhususkan untuk penyembahan dan

pemujaan terhadap Dewa Siwa serta Dewi Durga. Dewa Wisnu hanya disebutkan

satu kali dalam teks PT ini.

Penceritaan mengenai Dewa Wisnu sebatas hanya disebutkan bahwa Dewa

Wisnu diterangi dan dikelilingi oleh matahari, bulan, dan bintang-bintang. Ia

dikelilingi oleh itu semua karena masyarakat Tengger percaya bahwa Dewa

Wisnulah yang menjadi pelindung dunia. Oleh karenanya matahari, bulan, dan

bintang-bintang selalu menerangi di sekelilingnya. Disebutkan pula bahwa

sebenarnya Dewa Wisnu sangat suka mengembara pada tanggal 15 paro terang.

Ketika itu, dalam teks PT dijelaskan bahwa masyarakat Tengger seraya

menahbiskan/menyucikan/memberkatinya dengan air nirmala atau air suci yang

telah dicampur dengan bunga-bunga. Selain itu, dupa yang wangi juga harus

disiapkan untuk penahbisan dan kesemuanya ini dipertontonkan atau ditunjukkan

kepada Sang Hyang Dewata agar masyarakat Tengger juga selalu mendapatkan

kesucian. Hal ini disebutkan dalam teks PT sebagai berikut.

Wisnu kasuluhan denni raditya wulan lintang tarangganna kaabêt denni


pawaraman bima ngambara kaaras denni catur para manudyan sampun

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
138

sukla biniseka Sang Hyang pusapa kaki siniramm ing tirta nirmala angabêt
wanginni dupa titise (.) bun pinaka wong arcamanah (teks PT lempir ke-3)
„Wisnu diterangi oleh matahari, bulan, bintang-bintang yang dikelilingi oleh
pawaraman bima dan suka mengembara setelah tanggal 15 paro terang.
Ditahbiskan dengan bunga yang harus disiram air nirmala dengan semerbak
wanginya dupa dan tetesan embun serta menghadap ke Sang Hyang
Dewata.‟
Masyarakat Tengger merupakan masyarakat yang selalu bersyukur dan tidak

lupa berterima kasih atas segala sesuatu yang didapatkan, baik berupa kesuburan

tanah, ketenteraman hidup, dan tercukupinya segala kebutuhan. Pada prosesnya,

dalam teks PT ini juga disebutkan pemujaan dan persembahan terhadap Dewi

Durga, istri Siwa yang dipercaya menjadi lambang kesuburan oleh masyarakat

Tengger. Artinya, jika masyarakat Tengger selalu memberi kebaikan berupa

pemujaan terhadap Dewi Durga maka segala keuntungan baik berupa kesuburan

tanah akan tetap didapatkan.

Dalam teks PT, tidak hanya menjelaskan tentang apa-apa saja yang

didapatkan masyarakat Tengger dari Dewi Durga. Mereka juga menyebutkan

bahwa untuk mendapatkan kesemuannya itu tidaklah dengan hanya meminta,

tetapi mereka juga selalu memuja dan memuji kepada Dewi Durga. Pujian itu

diungkapkan dengan penjelasan bahwa Dewi Durga akan naik ke singgasananya

dengan berpakaian manik-manik atau serba berkilauan permata. Penggambaran

mengenai singgasana dan permata menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan

penggambaran mengenai kekayaan dan kecantikan yang dimiliki oleh Dewi

Durga.

Berkat semua pujian tersebut, masyarakat Tengger merasakan segala

kesenangan hati, terutama dalam hal kesuburan tanah. Hal ini dikatakan dalam

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
139

naskah PT bahwa semua yang serba ditanam dapat tumbuh dengan baik. Tumbuh-

tumbuhan tersebut berupa pala wija, pala wiji, pala kanginan, pala gantung yang

kesemuanya merupakan salah satu hasil bumi yang dimiliki oleh masyarakat

Tengger. Atas melimpahnya semua tanaman ini, maka tidak ada satupun

masyarakat Tengger yang merasakan kesulitan, baik karena harga yang mahal

atau apapun itu dan semuanya menerima dengan senang hati. Selain itu,

dijelaskan pula berkat Dewi Durga masyarakat Tengger dijauhkan dari musuh dan

pencuri. Hal ini disebutkan dalam teks PT sebagai berikut.

Durga ayu sang prabu wiraja nagara awetta nitihi singangsana” mabusana
manik mada hana tinangkil den ita dama triwarga pangngangasan
kastranna denni bujaga sewa sugata rêsa (.) aji bumi sama patuttanne kang
prabu tiga rama rêsa (.) dadianni tahun ladunnga nning warsa dadiani
sarwa tinandur pala bukah pala wija pala wiji pala gatung salire pala
kanginan murah asarwa tinumbas sarwa tinadah tan anna larang tan ana
murah asomah warrêga mangngadohênna kang satru musuh sasra bra gella
maling (teks PT lempir ke-7).
„Durga Ayu, sang prabu wiraja nagara naik ke singgasana berpakaian
dengan manik/hiasan. Ada kegembiraan yang tampak muncul oleh dama
triwarga pangangasan kastrana oleh pujaan hamba dengan jamuan yang
menjaga hasil bumi. Prabu Tiga Rama ikut serta menjaga agar warga tetap
dapat menikmati panen musiman. Berkat pujaan yang dilakukan terhadap
Durga maka dapat memberi kesuburan yang serba ditanam, maka hasilnya
subur semua dan dapat dipanen, diantaranya pala bukah, pala wija, pala wiji,
pala gantung, serta pala kanginan yang murah, semuanya membeli,
semuanya menerima, tidak ada harga yang mahal, hanya ada harga murah
untuk semua warga. Dijauhkan dari musuh dan pencuri‟
Selain memuja dan menyembah terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu, dan

Dewi Durga masyarakat Tengger tentu tidak begitu saja melupakan leluhur

mereka. Mereka menganggap bahwa dahulu para leluhur adalah orang-orang yang

menyambungkan relasi antara manusia atau hamba-hamba dengan para dewa-

dewi dan para Sang Hyang yang ada. Leluhur-leluhur tersebut adalah pertapa-

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
140

pertapa yang selalu memperjuangkan dan menyucikan diri. Banyak sekali pertapa-

pertapa yang disebutkan dalam teks PT yang selalu dimuliakan oleh masyarakat

Tengger. Pertapa-pertapa tersebut disebut dengan kaki dan nini oleh masyarakat

Tengger. Maksud dari kata kaki dan nini telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.

Masyarakat Tengger percaya bahwa dengan adanya bantuan dari para kaki dan

nini ini menjadikan mereka selalu dipenuhi dengan keberkahan, kesucian, dan

ketenteraman hidup.

6.4 Pengaplikasian Teks PT

Bertolak dengan adanya teks PT ini, sebenarnya menurut informasi yang

didapat bahwa naskah mantra yang dipercaya oleh masyarakat Tengger ada

berbagai macam jenisnya. Mantra-mantra ini dirangkum dan digunakan sebagai

primbon oleh masyarakat Tengger dan tentunya digunakan setiap diadakannya

upacara adat. Dalam setiap upacara, ternyata tidak hanya satu atau dua mantra saja

yang dibacakan. Mantra-mantra tersebut dibacakan oleh sesepuh atau dukun

Tengger. Macam mantra yang dapat diidentifikasi, yaitu penglawu, kayopan

alit/bhuwana alit, dan kayopan agung/bhuwana agung.

Mantra penglawu adalah mantra yang digunakan sebagai pembuka dalam

upacara adat. Mantra kayopan alit/bhuwana alit adalah mantra yang ditujukan

untuk diri sendiri dengan lingkungan sekitar. Mantra kayopan agung/bhuwana

agung adalah mantra yang ditujukan untuk diri sendiri dan alam semesta. Naskah

PT yang menjadi bahan penelitian ini menurut dukun setempat merupakan bagian

dari mantra penglawu karena berisi tentang pemujaan terhadap dewa-dewa.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
141

Istilahnya, naskah PT ini masih menjadi sebuah muqaddimah atau pengantar atas

mantra-manta yang lain. Mantra penglawu, kayopan alit, dan kayopan agung

biasa dibacakan dalam berbagai upacara adat seperti yang disebutkan oleh Sutarto

(2006: 6-8) sebagai berikut.

1. Upacara Kasada

Upacara kasada atau yang disebut dengan hari raya kasada atau kasodoan

dan sekarang lebih dikenal dengan sebutan yadnya kasada merupakan hari raya

kurban yang diadakan oleh masyarakat Tengger pada tanggal-tanggal tertentu,

yaitu tanggal 14, 15, atau 16 tepatnya pada bulan Kasada. Bulan Kasada ditandai

pada saat bulan purnama sedang menampakkan wajahnya di langit. Sebenarnya,

upacara ini merupakan pesan dari leluhur, yaitu Raden Kusuma alias Kyai

Kusuma alias Dewa Kusuma, putra bungsu Rara Anteng dan Jaka Seger, yang

telah merelakan dirinya menjadi korban demi kesejahteraan ayah, ibu, serta para

saudaranya. Kasodoan merupakan sarana komunikasi antara orang Tengger

dengan Hyang Widi Wasa dan roh-roh halus yang menjaga Tengger. Komunikasi

itu dilakukan melalui dukun Tengger, pewaris aktif tradisi Tengger.

2. Upacara Karo

Perayaan upacara karo atau hari raya karo sebenarnya mempunyai konsep

yang mirip dengan lebaran atau hari raya idul fitri dalam agama Islam. Perayaan

ini jatuh pada bulan ke-2 kalender Tengger (bulan Karo). Hari raya ini dianggap

memiliki konsep yang sama dengan lebaran karena pada waktu itu masyarakat

Tengger juga melakukan kunjungan kepada sanak saudara dan tetangga-

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
142

tetangganya untuk memberikan ucapan selamat karo dan bermaaf-maafan.

Perayaan ini berlangsung selama satu sampai dua minggu. Selama waktu itu

berpuluh-puluh ternak, kebanyakan ayam, kambing, sapi, dan babi disembelih

untuk dinikmati.

3. Upacara Unan-Unan

Kata unan-unan berasal dari kata tuna yang berarti rugi. Hal ini

dimaksudkan agar diadakannya upacara ini dapat melengkapi kekurangan-

kekurangan yang diperbuat selama satu windu sesuai dengan waktu

penyelenggaraannya, yaitu sekali dalam sewindu. Sewindu menurut kalender

Tengger bukan 8 tahun melainkan 5 tahun. Upacara ini dimaksudkan untuk

membersihka n desa dari gangguan makhluk halus dan menyucikan para arwah

yang belum sempurna agar dapat kembali ke alam asal yang sempurna, yaitu

nirwana.

4. Upacara Entas-Entas

Upacara entas-entas bertujuan untuk menyucikan roh orang yang telah

meninggal dunia pada hari ke-1000 agar dapat masuk surga. Biaya upacara ini

sangat mahal karena penyelenggara harus mengadakan selamatan besar-besaran

dengan menyembelih kerbau. Sebagian daging kerbau tersebut dimakan dan

sebagian dikurbankan.

5. Upacara Pujan Mubeng

Upacara pujan mubeng dilakukan pada bulan panglong kesanga atau

kesembilan. Seluruh masyarakat Tengger tanpa mengenal gender dan usia, semua

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
143

berkeliling desa dengan berjalan dari batas desa bagian timur menuju empat

penjuru desa bersama dukun sambil memukul ketipung. Upacara ini bertujuan

membersihkan desa dari gangguan dan bencana. Perjalanan keliling tersebut

diakhiri dengan makan bersama di rumah dukun atas sumbangsih warga desa.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB VII

PENUTUP

7.1 Simpulan

Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan terhadap naskah PT, baik

berupa analisis filologis dan analisis semiotik maka dapat disimpulkan beberapa

hal sebagai berikut.

1. Suntingan teks PT disajikan dengan adanya beberapa perubahan kata karena

memakai metode edisi standar/kritik, yaitu dengan melakukan perbaikan di

bagian-bagian kata yang kurang tepat dan disertai pula dengan catatan kaki.

Berdasarkan suntingan teks yang dilakukan, terdapat kesalahan-kesalahan

tulis/salin berupa lakuna, adisi, subtitusi, transposisi, ditografi, dan gabungan.

Kesalahan lakuna berjumlah 50 kata, adisi 24 kata, subtitusi 53 kata,

transposisi 3 kata, ditografi 9 kata, dan gabungan 14 kata.

2. Naskah PT merupakan salah satu naskah mantra pembuka/penglawu yang

tersimpan di Museum Negeri Mpu Tantular Sidoarjo. Naskah ini berbentuk

prosa, tetapi bukan prosa fiksi melainkan prosa kitabi karena sedikit-banyak

isinya mengandung ajaran agama.

3. Naskah PT setidaknya memiliki empat unsur pembentuk. Pertama,

menjelaskan tentang penyembahan dan pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa

Wisnu, dan Dewi Durga. Kedua, pemuliaan masyarakat Tengger terhadap para

Sang Hyang, dewa-dewi, dan para leluhurnya (kaki-nini). Ketiga, anjuran

saling tolong menolong dan menjaga ketenteraman. Keempat, pengingat untuk

masyarakat Tengger bahwa perbuatannya diawasi para Sang Hyang.

144
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
145

4. Analisis semiotika yang dipakai dalam penelitian ini adalah ikon, indeks, dan

simbol. Tanda ikonis digunakan untuk menggambarkan hal-hal yang dianggap

suci, sakral, dan penting dalam melakukan ritual. Tanda indeksial digunakan

untuk menunjukkan istilah-istilah yang merujuk pada penjelasan yang lebih

luas mengenai isi naskah PT. Tanda simbolis digunakan untuk

menggambarkan adanya beberapa tanda verbal (bentuk gambar/lambang) dan

nonverbal (bahasa) yang masih memiliki kaitan erat dengan isi naskah PT.

5. Konsep kepercayaan masyarakat Tengger, terutama kepercayaan terhadap

agama Hindu sebenarnya sama saja dengan pemeluk Hindu dari suku lain,

yakni meyakini adanya Trimurti, yaitu Brahma, Wisnu, Siwa dan menyembah

Dewi Durga. Hanya saja, dalam naskah PT memiliki sebutan tersendiri

mengenai istilah Trimurti, yaitu sebutan Trisamaya dan Tripurusa. Selain itu,

unsur hinduisme masyarakat Tengger sedikit-banyak masih dipengaruhi oleh

kepercayan-kepercayaan lain, seperti Islam dan Buddha yang berkembang dan

tumbuh disekitarnya dibuktikan dengan upacara-upacara yang ada.

7.2 Saran

Penelitian ini merupakan sebagian kecil usaha untuk mengungkap beberapa

nilai pada sebuah teks naskah kuno, terutama teks primbon/mantra. Penelitian

yang hanya sebatas pada analisis filologis dan semiotik ini tentu masih banyak hal

yang mampu diungkapkan lebih luas lagi. Naskah ini sangat mungkin dan

potensial untuk dilakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam, baik di bidang

kajian budaya, bahasa, komunikasi, filsafat, dan lain-lain. Selanjutnya, diharapkan

banyak pembaca dan atau peneliti yang melirik naskah-naskah lontar dan naskah-

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
146

naskah primbon/mantra agar nantinya dapat memberi perhatian yang lebih

sehingga naskah-naskah terebut tidak mati terbunuh waktu.

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

DAFTAR PUSTAKA

Baried, Siti Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan
Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi, Fakultas Sastra,
Universitas Gadjah Mada.

Behrend, T.E. 1995. Serat Jatiswara: Struktur dan Perubahan di dalam Puisi
Jawa 1600-1930. Jakarta: INIS.

Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonitas.
Yogyakarta: Jalasutra.

Christommy T. dan Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat


Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian
Masyarakat Universitas Indonesia.

Djamaris, Edward. 2002. Metode penelitian filologi. Jakarta: CV Manasco.

Hefner, Robert W. 1985. “Hindu Javanes: Tengger Tradition and Islam”.


Princeton 50 (2).

Indramayu, Titik. 2010. “Kedhung Rumeksa Ri Wengi: Suntingan Teks Disertai


Analisis Metafora”. Skripsi, Universitas Airlangga.

Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme Sampai


Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.

Lincahayati. 2013. “Mantra Kasada Tengger: Suntingan Teks Disertai Analisis


Semiotika”. Skripsi, Universitas Airlangga.

Malik, MTT. 2007. Pura dan Masjid. Konflik dan Integrasi Pada Suku Tengger.
Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta.

Mardiwarsito, L. 1990. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Flores: Nusa Indah.

Newiger, Ursel. 2006. Kisah Masyarakat Tengger di Gunung Bromo. Jakarta:


Toko Gunung Agung.

Nimpuno, Hanjoyo Bono, dkk. 2014. Kamus Bahasa Indonesia Edisi Baru.
Jakarta: Pandom Media Nusantara.

Patriansyah, Mukhsin. 2014. “Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce Karya


Patung Rajudin Berjudul Manyeso Diri”. Ekspresi Seni 16 (2).

Pratama, Widya Wahyu. 2013. “Tinjauan Bentuk dan Isi Naskah Upacara
Primbon Suku Tengger: Kajian Religiusitas Masyarakat Tengger”. Skripsi,
Universitas Negeri Surabaya.

147
SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
148

Prawiroatmojo, S. 1981. Bausastra Jawa-Indonesia. Edisi Ke-2. Jakarta: Inti


Idayu Press.

Pigeaud, Theodore G Th. 1967. Literature of Java Volume I. Leiden: Koninklijk


Instituut Voor Taal Land en Volkenkude.

Purwaningsih, Endang, dkk. 2007. Dokumentasi Koleksi Benda Cagar Budaya


Filologika (Lontar) Koleksi Museum Negeri Mpu Tantular Sidoarjo. Bagian
Proyek Pembinaan Permuseuman Propinsi Jawa Timur Tahun 1993/1994.

Sedyawati, Edi. 2010. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.
Jakarta: Rajawali Press.

Sudarta, Nyoman. 2001. “Arti Sarana Persembahyangan.” phdi.or.id/artikel/rti-


sarana-persembahyangan.

Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknis Analisis Bahasa. Yogyakarta: Sanata
Dharma University Press.

Suryani, Elis. 2014. Filologi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Sutarto. 2006. “Pesan Spiritual dalam Mantra Tengger Purwa Bumi Kamulane
dan Implikasinya Bagi Pendidikan Budaya”. Pendidikan dan Pembelajaran
13 (2).

Sutarto, Ayu. 2006. “Sekilas Tentang Masyarakat Tengger”. Pembekalan Jelajah


Budaya, Yogyakarta, 7-10 Agustus.

Tanti, Yunita Meriana. 2011. “Aspek Ruwatan ing Sajrone Naskah Mantra
Tengger”. Skripsi, Universitas Negeri Surabaya.

Zoest, Aart Van. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang
Kita Lakukan Dengannya. Diterjemahkan oleh Ani Soekowati. Jakarta:
Yayasan Sumber Agung.

Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 2000. Kamus Jawa Kuna-Indonesia 1 A-O.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

. 2000. Kamus Jawa Kuna-Indonesia 2 P-Y. Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama

Wawancara

Purwaningsih, Endang, wawancara oleh Rifda Nabila. 2019. Penulis dan Umur
Naskah Tengger (9 Maret).

SKRIPSI PRIMBON TENGGER: SUNTINGAN... RIFDA NABILA

Anda mungkin juga menyukai