Anda di halaman 1dari 148

KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL

KANVAS KARYA BINTANG PURWANDA:


KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA

SKRIPSI

Oleh

ANA ROSMILA
NIM 1514015017
Sastra Indonesia S1

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
HALAMAN JUDUL

KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL


KANVAS KARYA BINTANG PURWANDA:
KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA

SKRIPSI

Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana sastra


Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman

Oleh

ANA ROSMILA
NIM 1514015017
Sastra Indonesia S1

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019

i
ii
iii
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN

Segala puji bagi Allah SWT

atas ridha dan rahmat-Nya,

Karya ini kupersembahkan

kepada orangtuaku tercinta,

kakak dan adikku tersayang,

keluargaku,

sahabat-sahabatku,

dan almamaterku tercinta.

v
RIWAYAT HIDUP

Ana Rosmila, lahir di Mesuji pada hari Rabu 9 Juli 1997.


Penulis merupakan anak ke empat dari lima bersaudara,
pasangan Bapak Tukiman dan Ibu Siti Supriyati. Saat ini penulis
tinggal di Jl. RW Monginsidi Rt. 25 No. 10, Kelurahan Dadi
Mulya, Kecamatan Samarinda Ulu, Samarinda, Kalimantan
Timur. Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 06
Kotabumi pada tahun 2003 dan lulus pada tahun 2009. Selanjutnya meneruskan
pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Kotabumi tahun 2009 dan lulus
pada tahun 2012. Kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas
Negeri 1 Long Mesangat pada tahun 2012 dan lulus pada tahun 2015. Setelah itu,
pada tahun 2015 penulis melanjutkan pendidikan di salah satu perguruan tinggi
negeri di Samarinda dan terdaftar sebagai Mahasiswa Program Studi Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan
Timur.

vi
ABSTRAK

Rosmila, Ana. 2019. Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel Kanvas karya
Bintang Purwanda: Kajian Psikologi Sastra. Skripsi. Program Studi
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman.
Pembimbing I: Dra. H. Endang Dwi S., M.Si.; Pembimbing II: Norma
Atika Sari, M.Hum.

Kata Kunci: tokoh utama, kepribadian, psikologi sastra, novel Kanvas

Skripsi ini membahas kepribadian tokoh utama dalam novel Kanvas karya
Bintang Purwanda dengan kajian psikologi sastra. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan fakta cerita, struktur kepribadian tokoh utama, dan tipe kepribadian
tokoh utama dalam novel Kanvas karya Bintang Purwanda.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif
dan termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan. Data dalam penelitian ini berupa
kata, frasa, kalimat yang diperoleh dari novel Kanvas karya Bintang Purwanda.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik baca dan catat. Teknik
analisis data menggunakan analisis kualitatif yang terdiri dari tiga alur kegiatan, yaitu
reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama fakta cerita dalam novel
novel Kanvas karya Bintang Purwanda terdiri atas alur, tokoh penokohan, dan latar.
Alur dalam novel adalah alur maju. Tokoh dalam novel ini yang mempunyai peranan
sebagai tokoh utama adalah Qayyima Salimah. Latar dalam novel berada di Jakarta.
Waktu penceritaan terjadi ketika pagi Qayyima bersekolah, sore berdagang lukisan,
petang berbakti kepada ayahnya, malam ia beribadah, dan melukis hingga terbit fajar.
Latar sosial dalam novel adalah toleransi antara umat beragama. Kedua, dorongan id
pada diri Qayyima ditandai ketika ia ingin bertemu dengan ibunya, ingin terlepas dari
kemiskinan, ingin makan, dan ingin menjadi guru lukis terkenal. Respons ego
ditandai ketika Qayyima bermimpi bertemu dengan ibunya, keputusan untuk bekerja,
keputusan menerima makanan, dan keputusan menerima tawaran wawancara.
Respons superego ditandai ketika Qayyima ikhlas menerima kepergian ibunya, sabar
menerima kenyataan, pertimbangan menerima makanan, dan pertimbangan menerima
tawaran wawancara. Ketiga, dari analisis kepribadian Qayyima, ditemukan tipe
phlegmatis dalam dirinya, yaitu sabar, tidak mudah terpengaruh, sukar marah,
memiliki ingatan yang baik, serta mampu berdiri sendiri tanpa banyak bantuan orang
lain.

vii
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas berkat dan karunia-Nya, penulis

dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel

Kanvas karya Bintang Purwanda: Kajian Psikologi Sastra”. Skripsi ini disusun

sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S) pada

program studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Mulawarman.

Skripsi ini terselesaikan berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak.

Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. H. Masrur Yahya, M.Hum. Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Mulawarman.

2. Dahri D., S.S, M.Hum. Ketua Program Studi Sastra Indonesia, Universitas

Mulawarman.

3. Dra. Endang Dwi Sulistyowati, M.Hum. Sebagai dosen pembimbing I

4. Norma Atika Sari, M.Hum. Sebagai dosen pembimbing II

5. Irma Surayya Hanum, M.Pd. Sebagai dosen penguji II

6. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Budaya, khususnya dosen Program Studi Sastra

Indonesia, Universitas Mulawarman.

7. Keluarga Penulis: Bapak Tukiman, Ibunda Siti Supriyati, serta saudara

kandung Zainudin Haris, Lutfi Aziz, Ayu Lestari, dan Nindya Cahya Mentari

yang sudah membantu dan merawat saya selama ini.

viii
8. Sahabat dan rekan seperjuangan tercinta yang tiada henti memberikan

dukungan, motivasi, dan inspirasi kepada penulis: Aliatuz Zahro, Sri

Wahyuningsih, Mutmainna, Leo Chandra Hartini, Hirda Yuli Nalmi, Annisa

Pardeya Saputri, Monica, Eka Mardiana, Ayu Indar P, Vini Ramadhani,

Ridzky Ananda Putri, Nurhalisa Rusmadi, Putri Ayu Wulandari, Nesya

Aqidatul Izza, Asna Yurika dan Chriscella Ventura Sitorus.

9. Segenap mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2015.

10. Teman organisasi BPH HIMA SASINDO UNMUL tahun 2016-2017.

11. Teman organisasi Beasiswa KSE (Karya Salemba Empat) tahun 2017-2018.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk orang lain dan terutama bagi

penulis sendiri. Dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih untuk

semua pihak yang ikut berkontribusi.

Samarinda, 19 September 2019

Ana Rosmila
NIM 1514015017

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................... i


HALAMAN PERSETUJUAN………………………………………………………ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................................ v
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................................vii
KATA PENGANTAR ..............................................................................................viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………...1


1.1 Latar Belakang……………………………………………………………….....1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian…………… .......................................................................... 6
1.5 Sistematika Penulisan……………………………………... .............................. 6

BAB II LANDASAN TEORI .................................................................................... 9


2.1 Kajian Pustaka .................................................................................................... 9
2.2 Dasar Teori ....................................................................................................... 12
2.2.1 Novel........................................................................................................ 12
2.2.2 Fakta Cerita .............................................................................................. 13
2.2.3 Psikologi Sastra ....................................................................................... 16
2.2.4 Psikologi Kepribadian ............................................................................. 17
2.2.5 Psikoanalisis Sigmund Freud ................................................................... 18
2.2.6 Struktur Kepribadian Sigmund Freud ...................................................... 20
2.2.7 Tipe Kepribadian Hippocrates-Galenus .................................................. 23

x
2.3 Kerangka Pikir .................................................................................................. 27
2.4 Definisi Konseptual .......................................................................................... 29

BAB III METODE PENELITIAN ......................................................................... 30


3.1 Jenis Penelitian ................................................................................................. 30
3.2 Pendekatan Penelitian ....................................................................................... 30
3.3 Data dan Sumber Data ...................................................................................... 31
3.4 Teknik Pengumpulan Data ............................................................................... 31
3.5 Teknik Analisis Data ........................................................................................ 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 34


4.1 Hasil Penelitian ................................................................................................. 34
4.1.1 Data dan Analisis ..................................................................................... 34
4.2 Pembahasan ...................................................................................................... 95

BAB V PENUTUP .................................................................................................... 97


5.1 Simpulan ........................................................................................................... 97
5.2 Saran ................................................................................................................. 98

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 99


LAMPIRAN

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Identitas Novel ................................................................................. 101

Lampiran 2 : Sampul Novel ................................................................................... 102

Lampiran 3 : Ringkasan Cerita .............................................................................. 103

Lampiran 4 : Data Kutipan Novel .......................................................................... 109

xii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra lahir di tengah masyarakat atas hasil pengungkapan jiwa

pengarang tentang kehidupan, peristiwa, dan pengalaman. Pengalaman yang

dimaksud bisa saja datang dari diri pengarang maupun orang lain, yang kemudian

diolah sebagai bahan cerita sehingga melahirkan sebuah karya sastra. Karya sastra

merupakan penggambaran kehidupan manusia. Kehidupan itu sendiri sebagian besar

terdiri dari kenyataan sosial yang pada umumnya berisi permasalahan-permasalahan

yang terjadi di masyarakat. Permasalahan sosial tersebut biasanya berhubungan

dengan manusia itu sendiri, baik dengan dirinya maupun orang lain.

Salah satu bentuk karya sastra yaitu novel. Novel menceritakan kehidupan

seseorang dengan menampilkan tokoh dan penokohan serta latar di dalamnya. Dalam

cerita, pengarang memunculkan berbagai permasalahan yang dialami oleh setiap

tokohnya, baik tokoh utama, lawan, maupun tambahan. Tokoh-tokoh dalam novel

memiliki karakter yang berbeda-beda, baik tokoh utama maupun tokoh lainnya.

Kepandaian pengarang dalam membentuk karakter tokoh yang beragam, berfungsi

untuk memperkuat penggambaran tokoh bagi pembaca, sehingga memudahkan

pembaca dalam membedakan antara tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh baik

maupun buruk.

1
2

Pengarang menciptakan berbagai macam konflik melalui para tokohnya, yang

bermula dari pemunculan, peningkatan, hingga mencapai tahap klimaks yang

membuat para pembaca tidak merasa bosan, dan dapat merasakan ketegangan-

ketegangan (suspense) yang diperlihatkan dengan tindakan para tokoh dalam

ceritanya, sehingga rasa ingin tahu atau penasaran pembaca semakin besar. Dengan

adanya konflik tersebut, pengarang dapat menyampaikan pesan moral kepada

pembaca melalui tokoh-tokoh dalam cerita.

Pada dasarnya, novel berkaitan dengan masalah sosial dan sebagai potret

kenyataan sosial yang tidak terlepas dari kepandaian seorang pengarang dalam

mengekplorasikan idenya, sehingga isi cerita dapat dilihat baik maupun buruknya

melalui interpretasi pembaca. Misalnya, novel-novel religi yang sering atau banyak

ditemukan dan menjadi best seller bukan berarti novel tersebut jauh dari nilai negatif

atau keseluruhan mengandung nilai positif, itu semua kembali pada pemahaman dan

penafsiran pembaca dalam menyikapinya, karena pembaca bebas dalam menganalisa

suatu karya.

Salah satu penulis produktif yang menulis novel religi, yaitu Bintang Purwanda.

Lahir di Bekasi, 21 September 1991. Motto Bintang dalam menulis sederhana, yakni:

“Aku tidak akan pernah berhenti menggaris pena, selama masih ada tangan di raga

ini, selama Tuhan belum mengambilnya kembali”. Beberapa karyanya yang

bernuansa Islami, antara lain: cerpen Ramadhan Mubarak (2008), Tutur Mawar

(2013), Mata Masa: Aku Melihatmu dari Sini (2013), dan novel Kanvas (2015).

Novelnya yang terbit di tahun 2015, dan sekaligus menjadi objek dalam penelitian ini
3

berjudul Kanvas merupakan sebuah novel pembangun jiwa yang di dalamnya

terkandung ajaran agama yang sesuai syariat Islam tanpa meninggalkan segi

keestetikkannya. Novel ini memiliki aksentuasi pada karakter tokoh-tokohnya cukup

mendalam digambarkan, misalnya dengan menginformasikan latar belakang keluarga,

suku, dan golongan. Tokoh dalam novel ini cukup unik dan menarik, sehingga

intensitas penokohan dalam novel ini dititik fokuskan pada tokoh utama yang

bernama Qayyima Salimah.

Novel Kanvas karya Bintang Purwanda adalah novel yang mengisahkan tentang

perjuangan seorang gadis SMA bernama Qayyima yang harus menempuh kerasnya

hidup. Sejak ibunya meninggal, ia harus mulai memahami banyak hal tentang

kehidupan yang diperoleh dari nasihat dan kisah masa lalu. Kepergian ibunya

menjadi titik balik yang menjungkirbalikkan hidupnya. Qayyima harus menjadi

tulang punggung bagi keluarga. Bayangan ayahnya yang sedang sakit dan ketiga

adiknya berkelebatan di benaknya. Qayyima selalu berangan-angan jika ibunya masih

hidup, mungkin semua akan berbeda. Ketika berbagai permasalahan datang

menghampirinya, Qayyima tidak pernah mengira akan kembali merasakan

kehilangan, ayah. Ia merasa rindu sekali berada pada suatu masa di mana ia

merasakan kebahagiaan, kasih sayang dari ibu dan ayahnya. Setelah hidup

menghempaskannya sebegitu rupa, ketika itu Qayyima mengeluh tentang hidup.

Namun, jika ada satu hal yang selalu diyakini Qayyima, itu adalah bahwa hidup

selayaknya dijalani dengan kerja keras, doa, tawakal, dan ikhlas.


4

Oleh karena itu, pemilihan Novel Kanvas didasari oleh kepribadian tokoh

utama yang konsisten dari awal hingga akhir cerita. Isi cerita yang memuat kisah

religiusitas, artinya terdapat nilai-nilai Islami yang tercermin lewat perilaku juga

penampilan tokoh-tokohnya, seperti cara beribadah, bergaul, berpakaian, dan

sebagainya. Novel ini memberikan gambaran kepada pembaca tentang peristiwa

kehidupan melalui sosok Qayyima, bahwa semua manusia pasti pernah menghadapi

masalah dalam hidupnya. Semangat, gigih, optimis, dan sabar adalah sikap yang

seharusnya muncul dalam menyelesaikan permasalahan yang hadir dalam kehidupan.

Selain itu, setiap orang menginginkan hal yang terbaik dalam hidupnya, seperti selalu

berkecukupan dan bahagia, tetapi hal itu bukanlah sebuah keberuntungan, melainkan

hasil dari kerja keras dan usaha setiap orang.

Berdasarkan latar belakang, judul dalam penelitian ini adalah “Kepribadian

Tokoh Utama dalam Novel Kanvas karya Bintang Purwanda” yang berfokus pada

kepribadian tokoh utama bernama Qayyima dengan kajian psikologi sastra, yaitu

menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud. Penelitian ini menganalisis fakta

cerita (alur, tokoh, dan latar), struktur kepribadian tokoh utama (id, ego, dan

superego), dan tipe kepribadian tokoh utama (koleris, melankolis, phlegmatis, dan

sanguinis) dalam novel tersebut.


5

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut:

1. Bagaimana fakta cerita dalam novel Kanvas karya Bintang Purwanda?

2. Bagaimana struktur kepribadian tokoh utama dalam novel Kanvas karya

Bintang Purwanda?

3. Bagaimana tipe kepribadian tokoh utama dalam novel Kanvas karya Bintang

Purwanda?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari

penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan fakta cerita dalam novel Kanvas karya Bintang Purwanda.

2. Mendeskripsikan struktur kepribadian tokoh utama dalam novel Kanvas

karya Bintang Purwanda.

3. Mendeskripsikan tipe kepribadian tokoh utama dalam novel Kanvas karya

Bintang Purwanda.
6

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan memperkaya

khazanah ilmu pengetahuan studi sastra Indonesia, khususnya bidang psikologi

sastra. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi pemantik untuk penelitian

selanjutnya. Penelitian ini berfungsi untuk memberikan inspirasi kepada pembaca

tentang perjuangan dan semangat dalam menjalani hidup. Pembaca dapat menerapkan

dan mengaplikasikan sikap dan perilaku positif seperti yang tercermin pada tokoh

utama dalam novel Kanvas karya Bintang Purwanda.

1.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, dan sistematika penulisan. Latar belakang berisi alasan atau hal yang

mendorong pemilihan permasalahan dan pentingnya penelitian diadakan. Rumusan

masalah mencakup pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mengacu pada

permasalahan yang akan diteliti yaitu kepribadian tokoh utama. Tujuan penelitian

berisi tujuan dilakukannya penelitian yang sejalan dengan rumusan masalah. Manfaat

penelitian menunjukkan kepada pembaca mengenai hasil yang akan disumbangkan

dari penelitian yang dilakukan. Sistematika penulisan berisi rancangan penulisan

dalam penelitian.
7

BAB II : LANDASAN TEORI

Bab ini berisikan kajian pustaka, uraian teori yang digunakan, kerangka pikir,

dan definisi konseptual. Kajian pustaka berisi paparan penelitian sebelumnya yang

memiliki relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan. Uraian teori berisi teori

yang relevan sebagai landasan dalam penelitian yang dilakukan, meliputi teori novel,

fakta cerita, psikologi sastra, psikologi kepribadian, psikoanalisis Sigmund Freud,

struktur kepribadian, dan tipe kepribadian. Kerangka pikir berisi kerangka konsep

pemecahan masalah yang telah dirumuskan. Definisi konseptual berisi batasan

konsep yang digunakan dalam penelitian.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan jenis penelitian, pendekatan penelitian, data dan sumber data,

teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Jenis penelitian merupakan

pengkategorian menurut data yang diperoleh. Pendekatan penelitian merupakan cara

memandang objek kajian sehingga dapat menjawab permasalahan. Data dan sumber

data merupakan bagian yang menguraikan dengan jelas jenis data yang akan

dikumpulkan, dan dari mana data diperoleh. Teknik pengumpulan data menguraikan

metode dan langkah yang digunakan dalam proses pengumpulan data. Teknik analisis

data merupakan upaya atau cara mengolah data menjadi informasi, meliputi reduksi

data, penyajian data, dan penarikan simpulan.


8

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan, inti dari penelitian

yang berisikan analisis data yang sesuai dengan rumusan masalah. Bab ini memuat

gagasan peneliti yang terkait dengan apa yang telah dilakukan dan apa yang diamati,

sesuai dengan teori yang digunakan.

BAB V : PENUTUP

Bab ini merupakan bab penutup yang berisi simpulan dan saran. Simpulan

merupakan rangkuman dari hasil penelitian. Saran merupakan sesuatu yang

diharapkan dalam penelitian.


BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka berfungsi untuk memaparkan tentang penelitian-penelitian

sebelumnya serta melakukan perbandingan terhadap hasil penelitian. Penelitian ini

menggunakan kajian psikologi sastra, khususnya dengan teori psikoloanalis Sigmund

Freud dan novel sebagai objeknya. Adapun penelitian sebelumnya yang dianggap

relevan dengan penelitian ini, antara lain: Kristin Susanti (2018), Khoiriyatul Fajriyah

(2017), dan Dasef Maulana (2015),

Penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2018) dengan judul penelitian

Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel Gelombang karya Dewi Lestari Kajian

Psikologi Sastra. Rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu (1) bagaimana tokoh

dan penokohan; (2) kepribadian tokoh utama; dan (3) faktor yang memengaruhi

kepribadian tokoh utama dalam novel. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif

kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan studi pustaka. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa tokoh utama mengalami konflik batin berupa

permasalahan yang tidak biasa diatasinya. Tokoh ditekan untuk harus menggantikan

kakaknya pergi ke Amerika mencari uang untuk memenuhi kehidupan keluarganya.

9
10

Penelitian yang dilakukan oleh Fajriyah (2018) dengan judul Kepribadian

Tokoh Utama Wanita dalam Novel Alisya Karya Muhammad Makhdlori Kajian

Psikologi Sastra. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Dalam

penelitian ini ditemukan rumusan masalah, yaitu bagaimana struktur kepribadian

tokoh utama dan faktor perubahan kepribadian dalam novel. Teknik yang digunakan

adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dorongan id pada

diri Alisya ditandai ketika ia ingin terlepas dari kemiskinan, ingin menjadi model

terkenal, ingin istirahat, ingin mati, dan ingin makan. Respon ego ditandai ketika

Alisya memutuskan menerima tawaran foto telanjang di majalah dan memutuskan

untuk tetap menerima ajakan Sandy pergi ke peseta yang diadakan di Singapura.

Respon superego ditandai ketika ia mempertimbangkan menerima tawaran foto

telanjang atau tidak. Analisis kepribadian Alisya ditemukan pula faktor perubahan

kepribadian Alisya, yaitu faktor fisik, lingkungan, dan diri sendiri.

Penelitian yang dilakukan oleh Maulana (2015) dengan judul Tipe

Kepribadian pada Tokoh Utama dalam Novel Daun Yang Jatuh Tak Pernah

Membenci Angin karya Tere Liye dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di

SMA. Rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu bagaimana tipe kepribadian tokoh

utama dalam novel. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif

deskriptif analitik. Penelitian ini diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia kelas XII semester ganjil. Peserta didik belajar bagaimana cara

menganalisis sifat-sifat tersebut dan mengaitkan unsur intrinsik yang satu dengan

yang lain. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kepribadian tokoh utama Tania
11

memiliki tipe kepribadian melankolis, yakni: berpikir keras, sensitif, teliti,

perfeksionis, dan keras kepala. Selain memiliki kepribadian melankolis, Tania juga

memiliki tiga kepribadian lainnya, yakni phlegmatis (pengamat), koleris (tidak sabar),

sanguinis (jiwa sosial dan meyakinkan).

Penelitian Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel Kanvas karya Bintang

Purwanda: Kajian Psikologi Sastra memiliki persamaan dengan penelitian-penelitian

sebelumnya, antara lain:(1) menggunakan kajian psikologi sastra; (2) jenis penelitian

kepustakaan; (3) menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif; (4) menggunakan

teknik baca dan catat; dan (5) mengungkap kepribadian tokoh utama. Sedangkan

perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada objek dan

analisis yang dilakukan, sesuai dengan rumusan masalah. Rumusan masalah yang

pertama, yakni menganalisis fakta cerita (alur, tokoh, dan latar) terlebih dahulu

sebagai analisis awal untuk membantu memecahkan rumusan masalah berikutnya.

Kemudian setelah mencari fakta cerita akan dilanjutkan dengan menganalisis struktur

kepribadian tokoh utama (id, ego, dan superego), serta mengungkap tipe kepribadian

tokoh utama (koleris, melankolis, pleghmatis, dan sanguinis). Penelitian ini

merupakan penelitian terbaru sehingga keasliannya dapat dipertanggungjawabkan.


12

2.2 Dasar Teori

2.2.1 Novel

Novel adalah sebuah karangan prosa yang mengandung makna kehidupan.

Novel biasanya berisi tentang percintaan, keagamaan, sosial dan politik yang

mencerminkan masyarakat tertentu. Secara harfiah, novel berasal dari bahasa Italia

novella yang berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai

cerita pendek dalam bentuk prosa. Istilah novella mengandung pengertian yang sama

dengan novelette dalam bahasa Inggris, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang

panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun tidak terlalu pendek (Abrams

dalam Nurgiyantoro, 2013:9).

Novel dibagi menjadi dua jenis, yaitu novel populer dan novel serius. Novel

populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak memiliki penggemar,

khususnya pembaca di kalangan remaja yang menampilkan masalah-masalah aktual

dan mengikuti zaman, seperti percintaan dan persahabatan. Novel populer tidak

menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi

hakikat kehidupan. Sebab, jika demikian halnya, novel populer akan menjadi berat

dan berubah menjadi novel serius. Sedangkan, novel serius tidak bersifat mengabdi

kepada selera pembaca, dan pembaca novel jenis ini tidak begitu banyak. Untuk

membaca novel serius, pembaca perlu daya konsentrasi yang tinggi atau menuntut

pembaca untuk mengoperasikan daya intelektualnya. Novel ini memuat masalah

kehidupan yang kompleks, seperti hubungan sosial, maut, ketuhanan, takut, dan

cemas. Permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam novel serius, bertujuan


13

untuk memberikan gambaran dan pengalaman yang berharga bagi pembaca, sehingga

pembaca dapat merenungi dan mengambil hal positif atas permasalahan tersebut

(Nurgiyantoro, 2013:16-20).

2.2.2 Fakta Cerita

Stanton (2012:26-36), membedakan unsur pembangun sebuah novel menjadi

tiga bagian: fakta, tema, dan sarana pengucapan (sastra). Fakta dalam sebuah cerita

meliputi alur, tokoh dan penokohan, serta latar. Ketiganya merupakan unsur fiksi

yang secara faktual dapat dibayangkan peristiwa dan eksistensinya dalam sebuah

novel. Oleh karena itu, ketiganya dapat pula disebut sebagai struktur faktual dan

tingkatan faktual sebuah cerita. Ketiga unsur tersebut harus dipandang sebagai satu

kesatuan dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri

sendiri dan terpisah satu dengan yang lain.

2.2.2.1 Alur

Alur adalah rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat

sehingga menjadi satu-kesatuan yang padu, bulat, dan utuh. Menurut Tasrif (melalui

Nurgiyantoro, 2013:149-150), struktur umum alur dalam karya sastra prosa, adalah:

tahap penyituasian (situation), tahap pemunculan konflik (generating circumstances),

tahap peningkatan konflik (rising action), tahap klimaks (climax), dan tahap

penyelesaian (denouement).
14

Menurut Satoto (melalui Rokhmansyah, 2014:37) alur dibagi menjadi dua

bagian, yaitu (1) alur maju (jalan progresif), yaitu dari tahap awal, kemudian

pertengahan atau puncak konflik, hingga tahap akhir cerita; (2) alur mundur (jalan

regresif), yaitu bertolak dari akhir cerita, menuju pertengahan atau konflik, kemudian

berakhir di tahap awal cerita. Peristiwa, konflik, dan klimaks merupakan tiga unsur

yang amat esensial dalam pengembangan sebuah alur cerita. Eksistensi alur sangat

ditentukan oleh tiga unsur tersebut. Demikian pula halnya dengan masalah kualitas

dan kadar kemenarikan sebuah cerita fiksi (Nurgiyantoro, 2013:116).

2.2.2.2 Tokoh

Menurut Harjito (2005:7), tokoh adalah pelaku rekaan yang mengalami

peristiwa atau berkelakuan di berbagai peristiwa pada sebuah cerita. Pada umumnya

tokoh berwujud manusia, namun dapat pula berwujud binatang atau benda yang

diinsankan. Aminuddin (2015:79) mengungkapkan bahwa tokoh adalah pelaku yang

mengembangkan peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu menjalin sebuah

cerita. Sedangkan penokohan (characterization) adalah pelukisan mengenai tokoh

cerita, baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berubah, pandangan

hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat istiadatnya, dan sebagainya (Rokhmansyah,

2014:34).

Nurgiyantoro (2013:176-177) mengatakan tokoh- tokoh cerita dalam sebuah

fiksi dapat dibedakan dalam beberapa jenis. Perbedaan sudut pandang dan tinjauan,

tokoh dapat dikategorikan ke dalam jenis penamaan, yakni tokoh utama dan tokoh
15

tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan dalam sebuah fiksi, baik

sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh yang paling banyak

diceritakan dan penentu perkembangan plot secara menyeluruh. Tokoh utama dalam

fiksi, mungkin saja lebih dari satu orang, walaupun kadar keutamaannya tidak selalu

sama. Keutamaannya ditentukan oleh dominasi banyaknya penceritaan dan

pengaruhnya terhadap perkembangan plot secara menyeluruh. Pemunculan tokoh

tambahan merupakan tokoh pendukung atau sebagai pelengkap saja dalam cerita

untuk membantu tokoh utama dalam menyempurnakan plot (Wayuningtyas dan

Santosa, 2011:3).

2.2.2.3 Latar

Latar atau setting dalam sebuah cerita fiksi dibedakan dalam tiga unsur

pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Walau masing-masing menawarkan

permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, ketiga unsur itu

pada kenyataannya saling berkaitan dan saling memengaruhi satu dengan yang lain.

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam

sebuah karya fiksi. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar sosial menunjuk

pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat dan

status sosial tokoh di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi, berupa

kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir,

bersikap, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2013: 227-233).


16

2.2.3 Psikologi Sastra

Menurut Wellek dan Warren (2016:81), psikologi sastra adalah telaah karya

sastra yang diyakini mencerminkan proses dan aktivitas kejiwaan. Sastra sebagai

gejala kejiwaan, di dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang tampak

melalui perilaku tokoh-tokohnya. Secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah

memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya (Endraswara,

2008:11).

Endraswara (2008:13-14) mengatakan bahwa psikologi sastra adalah sebuah

interdisiplin antara psikologi dan sastra. Mempelajari psikologi sastra sebenarnya

sama halnya dengan mempelajari manusia dari sisi dalam. Daya tarik psikologi sastra

adalah pada masalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri

yang muncul dalam sastra, tetapi juga bisa mewakili jiwa orang lain. Pada dasarnya,

setiap pengarang kerap menambahkan pengalaman sendiri dalam karyanya dan

pengalaman pengarang itu sering pula dialami oleh orang lain.

Menurut Ratna (2013:343), ada tiga cara yang dilakukan untuk memahami

hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu: (1) memahami unsur-unsur kejiwaan

pengarang sebagai penulis, (2) memahami unsur-unsur kejiwaan para tokoh-tokoh

fiksional dalam karya sastra, dan (3) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca. Pada

dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah kejiwaan para tokoh

fiksional yang terkandung dalam karya sastra. Sebab, aspek-aspek kemanusiaan yang

merupakan objek utama psikologis sastra, dan dalam diri manusia itulah, yang

sebagai tokoh-tokoh, aspek kejiwaan dimasukkan dalam sebuah karya sastra.


17

Jatman (melalui Endraswara, 2008:88), berpendapat bahwa sastra dan

psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tidak langsung dan fungsional.

Tidak langsung, artinya karena baik sastra maupun psikologi memiliki tempat

berangkat yang sama, yakni kehidupan manusia. Psikologi dan karya sastra memiliki

hubungan fungsional, yakni sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan

kejiwaan orang lain. Hanya perbedaannya, gejala kejiwaan yang ada dalam karya

sastra adalah gejala-gejala kejiwaan dari manusia-manusia imajiner, sedangkan dalam

psikologi adalah manusia-manusia riil. Namun, keduanya dapat saling mengisi untuk

memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap kejiwaan manusia, karena

terdapat kemungkinan apa yang tertangkap oleh sang pengarang belum tentu mampu

diamati oleh psikolog, atau sebaliknya.

2.2.4 Psikologi Kepribadian

Psikologi berasal dari kata Yunani psyche berarti jiwa dan logos yang berarti

ilmu. Psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang menyelidiki dan mempelajari tingkah

laku manusia (Atkinson dalam Minderop, 2013:3). Kepribadian menurut Santrock

(dalam Minderop, 2013:4) merupakan pembawaan yang mencakup dalam pikiran,

perasaan, dan tingkah laku seseorang yang menampilkan cara ia beradaptasi dalam

kehidupan. Menurut pakar lain, Hilgard, et al (dalam Minderop, 2013:4) menyatakan

bahwa kepribadian mengacu pada pola karakteristik perilaku dan pola pikir penilaian

seseorang terhadap lingkungan. Kepribadian terbentuk sejak lahir yang dimodifikasi

oleh budaya dan pengalaman yang memengaruhi seorang individu.


18

Kepribadian adalah pengutamaan alam bawah sadar (unconscious) yang

berada di luar sadar, yang membuat struktur berpikir diwarnai oleh emosi. Mereka

beranggapan, perilaku seseorang sekedar wajah permukaan karakteristiknya, sehingga

untuk memahami secara mendalam kepribadian seseorang, harus diamati gelagat

simbolis dan pikiran yang paling mendalam dari orang tersebut. Pengalaman masa

kecil bersama orang tua juga telah membentuk kepribadian kita. Anggapan tentang

karakteristik di atas memperoleh tempat utama dalam teori kepribadian Sigmund

Freud (Minderop, 2013:9).

Psikologi kepribadian (Minderop, 2013:8) adalah psikologi yang mempelajari

kepribadian manusia dengan objek penelitian yang memengaruhi tingkah laku

manusia. Sasaran pertama psikologi kepribadian ialah memperoleh informasi

mengenai tingkah laku manusia. Karya-karya sastra, sejarah, dan agama bisa

memberikan informasi berharga mengenai tingkah laku manusia. Sasaran kedua,

psikologi kepribadian mendorong individu agar dapat hidup secara utuh dan

memuaskan, dan yang ketiga, sasarannya ialah agar individu mampu

mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya secara optimal melalui perubahan

lingkungan psikologis.

2.2.5 Teori Kepribadian Psikoanalisis Sigmund Freud

Sigmund Freud adalah tokoh yang dipandang mencetuskan ide psikologi

sastra. Seorang keturunan Yahudi, lahir di Austria pada tahun 1856 dan meninggal

dunia di London pada usia 83 tahun (Minderop, 2013:10).


19

Psikoloanalisis adalah istilah khusus dalam penelitian psikologi sastra‒yang

ditemukan oleh Freud sekitar tahun 1890-an, dan mulai menjadi disiplin ilmu sekitar

tahun 1900-an. Teori psikoanalisis berhubungan dengan fungsi dan perkembangan

mental manusia. Ilmu ini merupakan bagian dari psikologi yang memberikan

konstribusi besar dan dibuat untuk psikologi manusia selama ini (Minderop,

2013:11). Dari beberapa tokoh psikologi, seperti Jung, Adler, Freud, dan Brill

memberikan inspirasi yang banyak tentang pemecahan misteri tingkah laku manusia

melalui teori-teori psikologi. Akan tetapi, diantara mereka, Freudlah yang secara

langsung berbicara tentang proses penciptaan seni sebagai akibat tekanan dan

timbunan masalah di alam bawah sadar yang kemudian disublimasikan ke dalam

bentuk penciptaan karya seni (Endraswara, 2008:196).

Dalam pengantar terjemahan buku Max Milner, Freud dan Interpretasi

Sastra, dikatakan bahwa psikoanalisis merupakan salah satu bidang ilmu sosial yang

berperan besar dalam perkembangan teori-teori sastra modern. Pemikiran yang

melandasi psikoanalisis adalah bahwa manusia hampir dikuasai oleh batinnya. Sastra

sebagai ekspresi batin. Maka, pemahaman sastra dari sisi psikoanalisis akan berusaha

memahami dunia batin (Endraswara, 2008:197-198). Menurut teori psikoanalisis

Sigmund Freud, kepribadian terdiri dari tiga sistem atau aspek. Ketiga sistem atau

aspek kepribadian itu dikenal sebagai id, ego, dan superego yang bekerja sama untuk

menciptakan perilaku manusia (Suryabrata, 2006:124-125).


20

2.2.6 Struktur Kepribadian Sigmund Freud

Freud membagi struktur kepribadian ke dalam tiga sistem atau aspek, yaitu id,

ego, dan superego. Perilaku seseorang merupakan hasil interaksi antar ketiga sistem

tersebut.

2.2.6.1 Id (Das Es), Aspek Biologis Kepribadian

Id adalah aspek biologis yang merupakan sistem asli dalam kepribadian, dari

sini aspek kepribadian yang lain tumbuh. Id merupakan penyedia dan penyalur energi

yang dibutuhkan oleh sistem-sistem tersebut untuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan

seperti kebutuhan manusia yang mendasar, misalnya makan, minum, istirahat,

rangsangan seksualitas dan agresivitas (Rokhmansyah, 2014:162).

Menurut Minderop (2013:21), id merupakan energi psikis dan naluri yang

menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar seperti kebutuhan: makan, seks

menolak rasa sakit atau tidak nyaman. Menurut Freud, id berada di alam bawah sadar,

tidak ada kontak dengan realitas. Cara kerja id berhubungan dengan prinsip

kesenangan, yakni selalu mencari kenikmatan dan selalu menghindari

ketidaknyamanan.

Dalam mereduksi ketegangan atau menghilangkan kondisi yang tidak

menyenangkan dan untuk memperoleh kesenangan, id menempuh dua cara (proses),

yaitu melalui refleks dan primer. Refleks merupakan reaksi-reaksi mekanis/otomatis

yang bersifat bawaan, seperti: bersin, dan berkedip. Melalui refleks, ketegangan

(perasaan tidak nyaman) dapat direduksi dengan segera. Proses Primer merupakan
21

reaksi-reaksi psikologis yang lebih rumit. Proses primer berusaha mengurangi

ketegangan dengan cara membentuk khayalan (berfantasi) tentang objek atau

aktivitas yang akan menghilangkan ketegangan tersebut. Misalnya: pada saat lapar

mengkhayalkan makanan (Yusuf LN dan Nurihsan, 2012:42).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa id adalah salah satu aspek biologis

kepribadian manusia yang mendorong diri untuk selalu memuaskan diri, dan dalam

memuaskannya id berusaha untuk selalu menolak rasa sakit atau rasa tidak nyaman.

Oleh sebab itu, diperlukan sistem lain yang dapat merealisasikan imajinasi id menjadi

kenyataan, yaitu ego.

2.2.6.2 Ego (Das Ich), Aspek Psikologis Kepribadian


Ego adalah aspek psikologis kepribadian yang berada di antara alam sadar

dan alam bawah sadar. Ego merupakan sebuah hasil dari pertimbangan superego yang

berupa tindakan atau upaya yang dilakukan seseorang untuk memenuhi tuntutan id.

Ego berpegang pada prinsip kenyataan atau prinsip realitas (reality principle). Ego

terbentuk pada struktur kepribadian individu sebagai hasil kontak dari dunia luar.

Sebagai satu-satunya area pikiran yang berinteraksi dengan dunia luar, ego berperan

sebagai pengambil keputusan atau cabang eksekutif dari kepribadian. Adapun proses

yang dimiliki dan dijalankan ego sehubungan dengan upaya memuaskan kebutuhan

atau mengurangi tegangan oleh individu adalah proses sekunder (secondary process).

Proses sekunder adalah proses berpikir realistis; dengan mempergunakan proses

sekunder, ego merumuskan suatu rencana untuk pemuasan kebutuhan dan


22

mengujinya (biasanya dengan suatu tindakan). Contoh orang yang sedang lapar, maka

bisa diterapkan bahwa ego sebagai penunjuk atau pengarah pada orang yang sedang

lapar ini untuk makan. Artinya, menurut petunjuk ego orang yang sedang lapar

tersebut akan berpikir bahwa tegangan yang dirasakan akibat lapar hanya bisa diatasi

dengan jalan memakan makanan (Suryabrata, 2006:147). Tugas ego memberi tempat

pada fungsi mental, seperti: penalaran, penyelesaian masalah, dan pengambilan

keputusan. Id dan ego tidak memiliki moralitas karena keduanya tidak mengenal nilai

baik dan buruk (Minderop, 2013:22).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa ego adalah aspek kepribadian yang terletak di

antara alam sadar dan alam bawah sadar. Ego merupakan sebuah hasil dari

pertimbangan superego yang berupa tindakan atau upaya yang dilakukan seseorang

untuk memenuhi tuntutan id.

2.2.6.3 Superego (Das Ueber Ich), Aspek Sosiologis Kepribadian

Superego adalah aspek kepribadian yang ketiga, terletak sebagian di bagian

sadar dan sebagian lagi di bagian tak sadar. Superego adalah aspek sosiologi

kepribadian yang merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita

masyarakat sebagaimana yang ditafsirkan orang tua kepada anaknya lewat perintah-

perintah atau larangan-larangan. Superego dapat dianggap sebagai aspek moral

kepribadian, fungsinya menentukan apakah sesuatu itu benar atau salah, pantas atau

tidak, susila atau tidak, sesuai dengan moralitas yang berlaku di masyarakat.

Superego berisikan dua hal, ialah conscientia dan Ich-ideal. Conscientia menghukum
23

orang dengan memberikan rasa dosa, sedangkan Ich-ideal menghadiahi orang dengan

rasa bangga akan dirinya. Superego dalam hubungannya dengan ketiga aspek

kepribadian, berfungsi untuk (1) merintangi dorongan-dorongan id, terutama seksual

dan agresif, karena dalam perwujudannya sangat ditentang oleh masyarakat, (2)

mendorong ego untuk lebih mengejar hal-hal yang moralistis daripada yang realistis,

(3) mengejar kesempurnaan. Superego cenderung untuk menentang baik ego dan id

dan membuat dunia menurut konsepsi yang ideal (Suryabrata, 2006: 127-128).

Jadi, superego adalah aspek kepribadian yang ketiga, terletak sebagian di

bagian sadar dan sebagian lagi di bagian tak sadar. Superego adalah sistem

kepribadian yang berisikan nilai-nilai dan aturan-aturan yang bersifat evaluatif

(menyangkut baik-buruk), yang memakai prinsip idealistik (idealistic principle)

sebagai lawan dari prinsip kepuasan id dan prinsip realistik ego. Superego juga

mengacu pada moralitas kepribadian. Superego sama halnya dengan hati nurani yang

mengenali baik dan buruk. Superego merupakan sebuah pertimbangan yang

dilakukan seseorang sebelum mengambil sebuah tindakan dalam hal memenuhi

tuntutan idnya.

2.2.7 Tipe-Tipe Kepribadian (Teori Kepribadian Hippocrates-Galenus)

Suryabrata (2006:10-12) menjelaskan, tipologi kepribadian menurut

Hipocrates (460-370 SM) dan Galenus (129-200) dipengaruhi oleh kosmologi

Empedokles, yang menganggap bahwa alam semesta beserta isinya ini tersusun dari

empat unsur dasar yaitu: tanah, air, udara, dan api; dengan sifat-sifat yang
24

didukungnya yaitu: kering, basah, dingin, dan panas. Dengan empat unsur dan sifat

pendukungnya, maka Hippocrates berpendapat bahwa, dalam diri seseorang terdapat

empat macam sifat tersebut yang didukung oleh keadaan konstitusional yang berupa

cairan-cairan yang ada dalam tubuh seseorang, yaitu: (1) sifat kering terdapat dalam

chole (empedu kuning), (2) sifat basah terdapat dalam melanchole (empedu hitam),

(3) sifat dingin terdapat dalam phlegma (lendir), (4) sifat panas terdapat dalam

sanguis (darah). Keempat cairan tersebut ada dalam tubuh dengan proporsi tertentu.

Apabila cairan-cairan dalam tubuh seseorang tersebut berada dalam proporsi selaras

(normal), maka orang tersebut dikatakan normal atau sehat. Namun apabila

keselarasan proporsi tersebut terganggu maka orang tersebut menyimpang dari

keadaan normal atau sakit.

Galenus menyempurnakan ajaran Hippocrates tersebut, dan menggolongkan

kepribadian manusia atas dasar keadaan proporsi campuran cairan-cairan tersebut.

Galenus sependapat dengan Hippocrates, bahwa di dalam tubuh manusia terdapat

empat macam cairan, yaitu: (1) chole, (2) melanchole, (3) phlegma, (4) sanguis, dan

bahwa cairan-cairan tersebut adanya dalam tubuh manusia secara teori dalam

proporsi yang seharusnya maka akan mengakibatkan adanya sifat-sifat kejiwaan yang

khas. Sifat-sifat kejiwaan yang khas ada pada seseorang sebagai akibat daripada

dominannya salah satu cairan badaniah itu oleh Galenus disebut temperamen. Jadi,

dengan dasar pikiran yang telah dikemukakan itu sampailah Galenus kepada

penggolongan manusia menjadi empat tipe temperamen, beralas pada dominasi salah

satu cairan badaniah (Suryabrata, 2006:11).


25

Tabel 2.1 Ikhtisar Permulaan Perkembangan Tipologi

EMPEDOKLES HIPPOCRATES GALENUS


No

Unsur Sifat Sifat Cairan Cairan Tipe

1 Tanah Kering Kering Chole Chole Koleris


2 Air Basah Basah Melanchole Melanchole Melankolis
3 Udara Dingin Dingin Phlegma Phlegma Phlegmatis
4 Api Panas Panas Sanguis Sanguis Sanguinis

Sumber: Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, PT. Rajawali


Pers, Jakarta, 2006, hal. 12.

Dengan demikian, empat tipe kepribadian tersebut mempunyai ciri masing-

masing sebagai berikut:

1. Koleris

Orang dengan tipe kepribadian koleris memiliki ciri-ciri, yaitu: hidup

penuh semangat, keras, mudah tersinggung, daya juang besar,

pemberani, optimis, garang, lekas marah, pendendam, serius, bertindak

cepat, aktif, praktis, dan berkemauan keras. Sering merasa puas

terhadap dirinya sendiri dan tidak perlu bergantung pada orang lain.

Cara berpikirnya sistematis dan oportunis.


26

2. Melankolis

Orang dengan tipe kepribadian melankolis memiliki ciri-ciri, yaitu:

mudah kecewa, daya juang kecil, muram, pesimis, mempunyai sifat

analitis, rela berkorban, berbakat, perfeksionis, pendiam dan tidak mau

menonjolkan diri, kaku, penakut, serta memiliki emosi yang sangat

sensitif. Mempunyai sifat pembawaan yang introvert, tetapi karena

perasaan-perasaannya lebih menguasai dirinya, maka keadaan hatinya

cenderung untuk mengikuti perasaan hatinya yang berubah-ubah.

3. Phlegmatis

Orang dengan tipe kepribadian phlegmatis memiliki ciri-ciri, yaitu:

tenang, tidak mudah terpengaruh, setia, santai, sukar marah, dingin,

sabar. Berbicara singkat namun mantap, rajin, cekatan, memiliki

ingatan yang baik, serta mampu berdiri sendiri tanpa banyak bantuan

orang lain.

4. Sanguinis

Orang dengan tipe kepribadian sanguinis memiliki ciri-ciri, yaitu:

ekspansif, mudah berganti haluan, ramah, mudah bergaul, hangat,

bersemangat, lincah, selalu riang, mudah tersenyum, tidak mudah putus

asa, dan menyenangkan.


27

2.3 Kerangka Pikir

Pada setiap penelitian diperlukan adanya kerangka pikir sebagai pedoman

dalam menentukan arah penelitian. Kerangka pikir diperlukan dalam penelitian agar

tetap fokus pada kajian yang akan diteliti. Oleh karena itu, diperlukan alur dalam

sebuah penelitian untuk mempermudah penelitian.

Penelitian ini mengambil objek, yaitu novel Kanvas karya Bintang Purwanda

yang terbit pada tahun 2015. Penelitian ini mendeskripsikan kepribadian tokoh utama

dalam novel dengan kajian psikologi sastra, lebih khususnya menggunakan teori

psikoanalisis Sigmund Freud. Dalam mengungkap kepribadian tokoh utama, yaitu

mencari struktur kepribadian dan tipe kepribadian tokoh, diperlukan teori fakta cerita

sebagai teori pendukung dan sekaligus menjadi langkah awal dalam menganalisis

data, sehingga dapat membantu untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam

penelitian ini, ada tiga bagian penting yang dicari dalam penguraian analisis

kepribadian tokoh utama, yaitu (1) fakta cerita (alur, tokoh dan latar); kemudian

dilanjutkan dengan (2) struktur kepribadian tokoh utama (id, ego dan superego); dan

(3) tipe kepribadian tokoh utama (koleris, melankolis, phlegmatis, dan sanguinis).

Selanjutnya, akan ditemukan hasil atau temuan yaitu kepribadian tokoh utama dalam

novel Kanvas karya Bintang Purwanda. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada

bagan berikut.
28

Bagan Kerangka Pikir

Novel Kanvas
Karya Bintang Purwanda

Psikologi
Sastra

Kepribadian
Tokoh Utama

Struktur Tipe
Fakta Cerita Kepribadian Kepribadian

Koleris
Alur Id Melankolis
Tokoh Ego Plegmatis
Latar Superego Sanguinis

Hasil/Temuan
29

2.4 Definisi Konseptual

Definisi konseptual dalam sebuah penelitian bertujuan untuk menghindari

kesalahan pemahaman dalam menafsirkan istilah yang berkaitan dengan judul atau

kajian penelitian. Berikut istilah penting yang menjadi poin utama dalam penelitian

ini, antara lain:

1. Novel yang dimaksud dalam penelitian ini adalah novel Kanvas karya

Bintang Purwanda tahun 2015 penerbit Bentang Pustaka yang akan dikaji

menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud untuk mengungkap

kepribadian tokoh utama yang bernama Qayyima.

2. Kepribadian tokoh utama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

penggambaran yang terlihat pada tingkah laku tokoh Qayyima dalam novel

Kanvas karya Bintang Purwanda yang ditampakkan ke lingkungan sosial.

3. Psikologi sastra yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kajian sastra

dengan memanfaatkan teori psikologi, khususnya teori psikoanalisis

kepribadian Sigmund Freud, dengan struktur kepribadian id, ego, dan

superego serta tipe kepribadian yang meliputi koleris, melankolis,

phlegmatis, dan sanguinis untuk mengungkap kepribadian tokoh Qayyima

dalam novel Kanvas karya Bintang Purwanda.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kepustakaan, yaitu

mempergunakan sumber tertulis untuk memperoleh data. Dalam penelitian ini sumber

tertulis yang digunakan adalah novel Kanvas karya Bintang Purwanda. Penelitian ini

berusaha menggambarkan kepribadian tokoh utama dalam novel yang menjadi objek

kajian.

3.2 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam pendekatan kualitatif deskriptif. Menurut Mukhat

(2000:28), penelitian deskriptif adalah penelitian untuk mendeskripsikan atau

menjelaskan tentang sesuatu hal seperti apa adanya. Dengan kata lain, dilakukannya

penelitian ini bermaksud mendeskripsikan atau menggambarkan hasil penelitian

dengan media kata-kata (bahasa) atas segala informasi data yang dalam penelitiannya

menempuh tahap-tahap berupa penyediaan data, klasifikasi data, analisis data serta

memberikan kesimpulan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan data

mengenai fakta cerita, struktur kepribadian, dan tipe kepribadian tokoh utama dalam

novel Kanvas karya Bintang Purwanda.

30
31

3.3 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kata, frasa, dan kalimat yang

terdapat di dalam novel Kanvas karya Bintang Purwanda. Contoh bentuk data dalam

penelitian ini berupa kepribadian tokoh utama, seperti: id (kebutuhan manusia yang

mendasar, misalnya: makan, minum dan tidur), ego (bersikap dan mengambil

keputusan), superego (pertimbangan sebelum mengambil suatu tindakan). Sedangkan

sumber data dalam penelitian ini adalah novel Kanvas karya Bintang Purwanda

dengan ketebalan 249 halaman, diterbitkan oleh PT Bentang Pustaka, Yogyakarta

pada tahun 2015.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik

baca dan catat. Teknik baca sebagai langkah awal untuk memahami isi dari sumber

data. Sedangkan teknik catat untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan

masalah yang akan dicari pemecahannya, kemudian hasil yang diperoleh dicatat

(Sudaryanto, 1993:49). Data dalam penelitian ini dibaca dengan saksama untuk

menentukan fakta cerita (alur, tokoh, latar), struktur kepribadian tokoh utama (id,

ego, dan superego), dan tipe kepribadian (koleris, melankolis, phlegmatis, dan

sanguinis).
32

Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan data penelitian ini meliputi: (1)

membaca keseluruhan novel Kanvas karya Bintang Purwanda untuk mengumpulkan

data yang berkaitan dengan rumusan masalah; (2) mengidentifikasi dan menandai

bagian-bagian tertentu pada novel Kanvas karya Bintang Purwanda yang merupakan

data penting dalam penelitian; (3) mencatat hasil identifikasi data berupa kata, frasa,

dan kalimat yang berhubungan dengan kepribadian tokoh utama.

3.5 Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif yang dilakukan dengan

urutan tata kerja atau tahap-tahap kegiatan yang ditempuh untuk menyusun penelitian

(Ibrahim, 2015:108). Adapun teknik yang digunakan untuk menganalisis data

penelitian ini sebagai berikut.

3.5.1 Reduksi Data

Reduksi data adalah proses awal menelaah data yang dihasilkan dengan cara

melakukan pengujian data dalam penelitian. Pada tahap ini, menentukan secara ulang

atau menyederhanakan data yang telah diperoleh, kemudian memasukkannya ke

dalam kategori yang sesuai dengan instrumen penelitian yang telah dibuat. Dari data

tersebut dapat dipastikan mana data yang terkait dan mana data yang tidak terkait

dalam penelitian ini.


33

3.5.2 Penyajian Data

Setelah melakukan reduksi data, kemudian melakukan penyajian data. Data

yang telah disortir kemudian dianalisis menggunakan teori yang berhubungan dengan

penelitian. Proses ini berlanjut hingga penelitian ini selesai. Adapun proses penyajian

data yang dilakukan, yaitu: (1) menganalisis data fakta cerita (alur, tokoh, latar)

dalam novel Kanvas karya Bintang Purwanda; (2) menganalisis data struktur

kepribadian yang berupa id, ego, dan superego dalam novel Kanvas karya Bintang

Purwanda. Dari proses tersebut diketahui kepribadian tokoh utama yang terefleksi

dalam novel, yang merupakan hasil interaksi dari ketiga sistem tersebut; (3)

menganalisis data tipe kepribadian yang berupa koleris, melankolis, phlegmatis, dan

sanguinis dalam novel Kanvas karya Bintang Purwanda, sehingga dapat diketahui

tipe kepribadian apa yang dimiliki pada tokoh utama.

3.5.3 Membuat Simpulan

Berdasarkan tahap reduksi dan penyajian data, langkah selanjutnya adalah

membuat simpulan tentang kepribadian tokoh utama Qayyima dalam novel Kanvas

karya Bintang Purwanda. Kesimpulan dicapai untuk menjawab rumusan masalah.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Data dan Analisis

4.1.1.1 Analisis Data Fakta Cerita Novel Kanvas Karya Bintang Purwanda

Fakta dalam sebuah cerita memiliki tiga unsur yang saling berhubungan.

Unsur pertama, alur atau plot adalah struktur peristiwa yang terjadi dalam novel.

Unsur kedua, tokoh dan penokohan berfungsi untuk mengetahui karakter yang

terdapat dalam novel. Unsur ketiga, latar adalah penggambaran mengenai tempat,

waktu dan sosial dalam novel. Berikut penjelasan mengenai tiga unsur fakta cerita

dalam novel Kanvas karya Bintang Purwanda.

1. Alur

Alur adalah rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Alur yang

terdapat dalam novel Kanvas karya Bintang Purwanda adalah alur maju. Alur maju

adalah alur yang berisi peristiwa-peristiwa tersusun secara kronologis, artinya

peristiwa pertama diikuti peristiwa kedua, dan seterusnya. Cerita umum dimulai dari

tahap awal, tengah, hingga tahap akhir. Novel Kanvas karya Bintang Purwanda

menceritakan tokoh utama tentang kehidupan dari dimulainya cerita sampai akhir

cerita, ditandai oleh cerita yang bermula dari kehidupan dan keseharian Qayyima.

Menurut Tasrif (melalui Nurgiyantoro, 2013:2019-210), tahap-tahap alur atau plot

34
35

dibagi menjadi lima bagian, yaitu: (a) tahap situation (penyituasian), (b) tahap

generating circumstances (pemunculan konflik), (c) tahap rising action (peningkatan

konflik), (d) tahap climax (puncak masalah), (e) tahap denoument (penyelesaian).

Berikut uraian tahapan alur dalam novel Kanvas karya Bintang Purwanda.

a. Tahap Penyituasian

Pada tahap awal ini berisi perkenalan mengenai informasi penting yang

berkaitan dengan berbagai hal yang akan diceritakan. Pada tahap ini juga

dipergunakan untuk memperkenalkan tokoh cerita, latar tempat, dan waktu kejadian.

Berikut tahap awal dari novel Kanvas yang berkaitan dengan unsur pelataran dan

perkenalan tokoh.

Matahari masih sama lancang seperti kemarin, panasnya sengangar. Teriknya


menjilat bumi, menciptakan fatamorgana jika dipandang dari jauh. Relung
langit biru yang menyejukkan berpadu dengan sinar mentari yang kini dirasa
menyelekit kulit. Ibu Kota mungkin akan selalu begini. Asap merabung
kompak dari knalpot kendaraan, mengangkasa, membuat awan kelabu
tandingan, seketika membuat siapa pun yang memasuki kota besar ini segera
menjadi sosok yang menyedihkan: hitam legam, kepang-kepot, lecek, dan
kumal (Purwanda, 2015:1).

Kutipan di atas menunjukkan suasana kota Jakarta di antara kemacetan dan

polusi. Permasalahan kemacetan lalu lintas menjadi permasalahan sehari-hari di kota

tersebut, akibatnya persoalan kemacetan membuat penduduk Jakarta larut dalam

kebisingan dan terpapar polusi udara. Dalam hal ini, pengarang menceritakan sebuah

latar tempat sebagai tahap awal atau pembuka cerita, seperti apa kondisi dan suasana

yang sebenarnya terjadi di kota itu, selanjutnya akan diperkenalkan tokoh-tokoh yang

terlibat di dalam cerita tersebut seperti pada kutipan berikut.


36

Bayangkan, keriuhan semacam itu harus dicekokkan kepada para siswa-siswi


SMA Khidmat Negeri tiap pagi. Kebetulan saja sekolah swasta yang mau
dinasionalkan itu berada di tepi jalan besar. Kemacetan di depan gerbangnya
bak tradisi, jadi serupa pit stop dalam perlombaan formula satu. Setelahnya
bisa ditebak: mobil-mobil sedan luks yang berhenti di depan gerbang itu
menurunkan anak seumuran SMA, kemudian pergi. Terutama tiap Senin pagi,
mereka cuma menginginkan sebuah permintaan: anaknya tak terlalai ikut apel
(Purwanda, 2015:2).

Kutipan di atas menjelaskan perkotaan yang padat lalu lintasnya membuat

tingkat kebisingan bukanlah masalah baru lagi, dan hampir setiap hari terjadi.

Terlebih apabila ada sekolah yang memang berdekatan letaknya dengan jalan besar,

akibatnya membuat kawasan sekolah tersebut menjadi tidak tenang. Hal itu terjadi

dengan Qayyima Salimah, tokoh utama dalam novel yang diceritakan bersekolah di

SMA Khidmat negeri. Berikut kutipan yang menjelaskan tentang sosok tokoh utama

yang bernama Qayyima.

Di dalam kelas hanya ada Qayyima.


Qayyima Salimah nama panjangnya. Gadis berjilbab itu melawan arus yang
mengatasnamakan masa ABG, yang merempuh dari berbagai arah. Jilbab
besar yang ia kenakan bukan karena ia mengikuti organisasi Islam tertentu,
namun memang semata tunduk atas syariat Allah yang memerintahkan wanita
muslim menjulurkan kain jilbabnya melebihi dada (Purwanda, 2015:4).

Berdasarkan beberapa kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada bagian

awal novel Kanvas menceritakan kondisi latar Ibu Kota Jakarta yang begitu ramai.

Kemudian diteruskan dengan tempat kejadian cerita yaitu di SMA Khidmat negeri,

serta menceritakan sosok tokoh utama yang bernama Qayyima Salimah.


37

b. Tahap Pemunculan Konflik

Tahap pemunculan konflik adalah tahap awal terjadinya konflik dan peristiwa,

dan konflik itu sendiri akan berkembang dan dikembangkan menjadi konflik pada

tahap berikutnya. Dalam tahap ini menceritakan bagaimana perjuangan orang tua

dalam membesarkan anak. Hal itu membuat tokoh utama dalam novel Kanvas

memiliki kecintaan terhadap orang tuanya seperti pada kutipan berikut.

Qayyima rindu senyum ayahnya. Ia tak sabar ingin cerita akan apa yang ia
alami seharian ini. Ia tak sabar ingin menyuapi sang ayah dengan cuilan
bakpao hangat yang berasal dari tetes peluhnya sendiri. Ia ingin membuat
ayahnya kembali tersenyum malam ini (Purwanda, 2015:54).

Anak itu mengusap dahi sang ayah yang dibasahi titik-titik keringat,
kemudian menyisir rambutnya yang memutih dengan sela-sela jarinya.
Baktinya kini mungkin takkan pernah terbandingkan dengan apa yang
ayahnya lakukan untuknya dulu (Purwanda, 2015:58).

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Qayyima sangat menyanyangi ayahnya.

Ia tidak menginginkan ayahnya merasa sedih atau buruk. Melakukan hal-hal

sederhana seperti membelikan makanan, mengusap dahi, dan menyisir rambut sang

ayah, telah menunjukkan bahwa memang Qayyima menyayangi ayahnya, karena rasa

sayang bagi Qayyima tidak selalu harus terlihat tetapi cukup untuk dapat dirasakan

oleh orang yang ia sayangi. Hal tersebut dapat juga dicermati pada kutipan berikut.

Qayyima mengecup dahi ayahnya. Betapa banyak orang yang mengabaikan


kedua orang tuanya, padahal tanpa keduanya mereka takkan pernah
menghirup udara dunia. Betapa banyak orang yang tak berbakti kepada
keduanya, padahal keduanya rela mempertaruhkan hidupnya demi sambung
napas anak-anaknya? (Purwanda, 2015:59)
38

Berdasarkan kutipan di atas terlihat bahwa perasaan cinta Qayyima kepada

orang tuanya sangat besar. Bagi Qayyima orang tua adalah hal yang tidak tergantikan.

Perjuangan orang tua dalam merawat dan mendidik Qayyima membuat diri Qayyima

mencintai orang tuanya. Qayyima sadar bahwa ia hidup di dunia juga berkat orang

tuanya. Orang tua yang sudah melahirkan juga mendidiknya hingga sekarang.

Baktinya yang ia lakukan sekarang tidak sebanding dengan apa yang orang tuanya

lakukan untuknya dulu, dan pesannya untuk Qayyima yaitu untuk selalu berbuat baik

pada semua orang.

c. Tahap Peningkatan konflik

Tahap peningkatan konflik dikembangkan menjadi konflik yang dramatik.

Konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan

dikembangkan kadar tingkatannya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti

cerita semakin mencekam dan menegangkan. Keadaan ini melukiskan tentang batin

Qayyima terhadap kecintaannya kepada orang tuanya. Hal itu terlihat pada kutipan

berikut ini.

“Inikah surga?” batin Qayyima. Ia takkan mau bangun lagi untuk kembali ke
dunia. Ibundanya di sini, di hadapannya, sudah cukup. Ia ingin abadi di sini.
Bunda…, panggil Qayyima. Dadanya sesak oleh cinta. Sang ibunda
tersenyum manis kepadanya, kemudian mengelus-elus jilbabnya yang sangat
halus (Purwanda, 2015:76).
Dari kutipan di atas, diceritakan tentang kerinduan anak akan sosok seorang

ibu. Qayyima sekarang sudah tidak memiliki ibu, yang dia miliki sekarang adalah

ayahnya dan ketiga adiknya seperti pada kutipan berikut.


39

“Ima nggak tahu lagi kapan bisa kayak gini lagi, Bunda… Ima nggak mau
Bunda pergi. Ima lelah…” ia sesenggukan dengan napas yang putus-putus.
“Sepeninggal Bunda, Ima harus menghidupi Shabira, Zhafira, Rahma, dan
Ayah yang sedang sakit keras. Ima, Ayah, dan adik-adik semuanya kangen
Bunda…”

“Ima sayang, setelah mengeluh begitu, lalu apakah Ima akan terus mengeluh
tentang hidup, padahal hidup akan terus bergulir tanpa menghiraukan
keluhanmu? Apakah Ima akan terus berkata tentang kerapuhan jiwamu,
sedangkan satu-satunya yang bisa menegakkan jiwamu kembali adalah dirimu
sendiri? Berkacalah, Sayang, lihat ke dalam dirimu sendiri… lihatlah
(Purwanda, 2015:77).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa di balik itu semua, Qayyima sedang

berjuang menghadapi kekalutan batinnya, terlebih ibunya yang menjadi

penyemangatnya telah tiada. Setelah Qayyima ditinggal oleh ibunya, ia selalu

memikirkannya setiap saat dan sangat merindukan kasih sayangnya. Hal itu dapat

dicermati pada kutipan berikut.

Ima tersedu. Ibundanya benar. Sangat benar.


“Ima sayang, hidup akan selalu keras menempamu, dan percayalah, hiduplah
yang akan menempamu jadi baja mulia…”
Ima tak tahan.
“Bunda… Ima sayang Bunda…” anak itu mempererat pelukannya. Air
matanya mengucur deras.
Ibundanya tersenyum di balik pelukannya. Seandainya maut tak memisahkan,
mungkin takkan jadi begini (Purwanda, 2015:78).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa sebenarnya Qayyima merasa lelah dengan

apa yang telah ia jalani selama ini, tetapi di sisi lain justru ia menyadari apa yang

terjadi adalah kebaikan dari Tuhan.


40

d. Tahap Klimaks

Tahap klimaks merupakan tahap di mana semua permasalahan di titik

intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh utama yang

berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Pada tahap ini

terlihat bahwa Qayyima mulai mencemaskan keadaan ayahnya. Setiap kali pergi

meninggalkan ayahnya, Qayyima merasa cemas dan terus memikirkannya. Hal

tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

Astaghfirullahal’azim, batin Qayyima sambil memejamkan matanya. Yaa


Rabb… mengapa Engkau berikan kecemasan ini? (Purwanda, 2015:165).

Konflik terus meningkat, sepanjang perjalanan pulang dari rumah Regina

sahabatnya, Qayyima cemas. Kecemasan itu ternyata berasal dari kondisi rumahnya

yang terbakar seperti pada kutipan berikut.

Di luar sedang riuh orang-orang kampung yang kalang kabut, beberapa dari
mereka belarian masuk ke kompleks perumahan, berteriak-teriak panik
memekik.
“Kebakaran! Kebakaran!”
Qayyima terperangah. Yang ada di dalam pikirannya adalah ayah dan ketiga
adiknya (Purwanda, 2015:166).

Dari kutipan di atas terlihat kecemasan yang dialami Qayyima dengan kondisi

ayah dan adik-adiknya saat kebakaran terjadi. Dia takut jika orang yang disayanginya

ikut terbakar.

Konflik terus memuncak dan akhirnya kecemasan itu berwujud duka.

Kesadaran Qayyima yang sudah berada di ambang batas, sayup-sayup ia mendengar

ketika seseorang menyebutkan kalimat yang tak ingin ia dengar. Hal itu terlihat pada

kutipan berikut.
41

Sayup-sayup Qayyima mendengar kalimat-kalimat duka, yang sama sekali tak


ingin Qayyima dengar sekarang.
‘Innalillahi wainnailaihi raji’un’… (Purwanda, 2015:174).

Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa ayahnya meninggal dalam

kebakaran tersebut. Akibat dari kebakaran yang melanda rumah Qayyima, ia harus

kehilangan ayah yang dicintainya.

e. Tahap Penyelesaian

Konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar, cerita diakhiri.

Tahap ini berkesesuaian dengan tahap akhir. Pada bagian akhir atau klimaks novel

Kanvas diceritakan titik balik dari nasib Qayyima yang dulu menderita akhirnya

sekarang menjadi lebih baik. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.

Qayyima tak lagi tersedu, ia kini jauh lebih tangguh. Tangis takkan bisa
menghidupkan ayahnya kembali. Ia menunduk, dan memohon ampunan dan
rahmat bagi ayahnya yang tercinta, meminta kelapangan untuknya di alam
kubur, agar diterangi senantiasa hingga hari akhir menjelang (Purwanda,
2015:239).

Kutipan di atas menunjukkan keikhlasan Qayyima akan kepergian ayahnya.

Mengalami kehilangan memang bukanlah hal yang mudah, dan kesedihan akan

menghampiri. Namun, Qayyima mengerti bahwa kesedihan dan tangisan tidak akan

bisa membuat orang yang ia sayang kembali kepadanya. Baginya, kepergian ayahnya

itu dijadikan dorongan semangat untuk bangkit dari keterpurukan yang selama ini ia

alami seperti pada kutipan berikut.

Qayyima kini berada di kawasan kota tua, Jakarta. Ahad pagi di sini selalu
menyenangkan. Udara pagi masih sepoi, matahari tak begitu terik. Langit
menghampar begitu jelah. Di depan Museum Fatahillah, memoriam sejarah
terkadang masih bisa terkenang.
42


Qayyima sudah mulai berjalan menuju puncak kariernya sebagai pelukis yang
andal. Meskipun lukisannya banyak terbakar saat kebakaran di rumahnya
sekitar setengah tahun lalu, ia tak berhenti melukis. Dengan bantuan Bu Lisa
dan Bu Ratna, Qayyima mulai sedikit demi sedikit bisa rutin menghidupi
ketiga adiknya (Purwanda, 2015:240).

Dari kutipan di atas, diceritakan tentang akhir dari kehidupan Qayyima.

Kebahagiaan yang akhirnya didapatkan oleh Qayyima, setelah sepeninggalan ayah

dan ibunya. Dengan bantuan orang-orang di sekitarnya, akhirnya Qayyima bisa

meraih kesuksesan. Inilah yang selama ini diinginkan seperti pada kutipan berikut.

Qayyima kini sering bepergian ke pusat pesona Indonesia di berbagai kota


untuk memenuhi tugas dari Bu Lisa, seperti ke Danau Toba, Bunaken, Raja
Ampat, dan lainnya. Itu semua untuk dilukisnya, yang kemudian lukisan
tersebut dipamerkan di galeri lukisan Al-fann sebagai koleksi. Tak hanya itu,
Qayyima juga sempat beberapa kali mengisi workshop lukis di berbagai kota.
Hal itu tentu setidaknya mewujudkan impiannya yang mulia: menjadi
pengajar (Purwanda, 2015:241).

Namun Qayyima sadar harusnya apa yang dia miliki sekarang dapat dinikmati

oleh orang tuanya juga. Meski demikian ayah dan ibundanya sudah tidak bersamanya

lagi, Qayyima masih memiliki adik-adik yang dicintainya untuk berbagi kebahagiaan.
43

2. Tokoh dan Penokohan

Novel Kanvas karya Bintang Purwanda memiliki banyak tokoh sehingga

terbagi menjadi dua macam, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Penggunaan

pembagian tokoh ini dilihat dari segi peranan atau pentingnya tokoh dalam sebuah

cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus menerus sehingga

terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokoh-tokoh yang

hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun dalam porsi

penceritaan yang relatif pendek.

Tokoh utama yang terdapat dalam jalinan cerita novel Kanvas karya Bintang

Purwanda adalah Qayyima Salimah. Sedangkan tokoh tambahan, antara lain: Regina,

Bu Ratna, Bu Lisa, Taufik Haryanto (ayah), Zhafira, Shabira, Rahma, Encik Ling,

Bang Wahid, Pak Mustofa, Pak Ramli, Mpok Dijah, dan Pak RT. Berikut penjelasan

tokoh dan penokohan dalam novel Kanvas karya Bintang Puwanda.

a. Qayyima Salimah

Qayyima Salimah adalah tokoh utama dalam novel Kanvas yang

mendominasi cerita. Qayyima merupakan gadis yang mengalami berbagai

permasalahan kehidupan dalam novel ini, ia berperan sebagai gadis miskin yang ingin

lepas dari kemiskinan yang sedang ia hadapi saat itu. Tokoh ini sering dimunculkan

oleh pengarang dalam tiap bab dan tokoh ini merupakan penggerak konflik cerita.

Pengarang menggambarkan Qayyima sebagai tokoh yang Islami seperti kutipan

berikut.
44

Qayyima Salimah nama panjangnya. Gadis berjilbab itu melawan arus yang
mengatasnamakan masa ABG, yang merempuh dari berbagai arah. Jilbab
besar yang ia kenakan bukanlah karena mengikuti organisasi Islam tertentu,
melainkan karena memang semata tunduk atas syariat Allah yang
memerintahkan wanita muslim menjulurkan kain jilbabnya melebihi dada.

Banyak yang bilang, wajah Qayyima serupa syarifah keturunan baginda Nabi
Muhammad Saw. Bagaimana tidak, matanya cantik bukan buatan. Bulu
matanya lentik. Alisnya tegas. Hidungnya bangir menggemaskan (Purwanda,
2015:4).

Kutipan di atas menunjukkan penggambaran sosok tokoh utama yang

bernama Qayyima, yang digambarkan sangat cantik menyerupai keturunan Rasul,

dengan jilbabnya yang besar ia kenakan bukan hanya sebuah identitas untuk

menunjukkan bahwa ia adalah seorang muslimah, tetapi baginya sebagai bentuk

ketaatannya kepada Allah semata. Selain itu, Qayyima digambarkan tidak pernah

lalai dalam menunaikan ibadah shalat wajibnya seperti pada kutipan berikut.

Qayyima‒setelah mampir shalat Asar terlebih dahulu di sebuah


musala‒mengayuh sepedanya menuju kolong flyover Ciputat. Masih
berseragam sekolah, di sanalah ia biasa menghabiskan senja dengan
berdagang lukisan karyanya sendiri (Purwanda, 2015:24).

Magrib itu mungkin adalah Magrib yang tersendu bagi Qayyima. Pada sujud
terakhirnya yang panjang, ia jadi cengeng. Karena berkawan dengan sepi,
lantun doanya semakin merasuk sukma. Air matanya mengalir deras, menetes-
netes ke atas sajadah (Purwanda, 2015:47).

Dari dua kutipan di atas, terlihat perilaku Qayyima selama ini yang setiap sore

dan Magrib sebelum dan sesudah berdagang lukisan tidak lupa untuk menunaikan

shalat wajib. Selain shalat wajib, ada shalat sunah juga yang selalu ia laksanakan. Hal

tersebut terlihat pada kutipan berikut.


45

“Ima, kamu sudah shalatnya? Shalat apa, sih? Kan, shalatmu cuma lima,”
tanya Regina.
“Aku tadi shalat Tahajud, Gin. Shalat Tahajud itu shalat sunah, bukan wajib”
(Purwanda, 2015: 136).

Dari kutipan di atas, terlihat perilaku yang ditunjukkan oleh Qayyima yang

melaksanakan shalat sunah. Shalat sunah adalah sholat yang tidak wajib dikerjakan,

namun jika dikerjakan akan mendapat pahala. Selain itu, Qayyima memiliki sikap

sabar seperti kutipan berikut.

Qayyima pun tiba di rumahnya, ia ketuk pintu.


Tok tok!
Assalamualaikum.. Kakak pulang…
Ia pun menggamit pinggiran pintu yang terbuat dari tripleks lapis empat itu,
membukanya perlahan, takut engselnya patah lagi karena baru dua hari yang
lalu Qayyima memperbaiki sendiri. Ia cuma anak perempuan, jadi wajar jika
pekerjaan menukangnya tak seberapa baik.

Rumah Qayyima sempit, ukurannya paling-paling hanya 4 x 4 meter,
seukuran kontrakan sederhana, tetapi jauh dari kata layak. Hampir sebagian
besar komponennya terbuat dari kayu, rapuh sekali (Purwanda, 2015:55-56).

Dari kutipan di atas terlihat perilaku Qayyima yang menunjukkan sikap sabar.

Walaupun rumahnya bisa dibilang tidak begitu layak, dengan sabar Qayyima

menerima kondisi kehidupannya, juga terlihat pada kutipan berikut.

Syafakallah, ayah… cepat sembuh. Semoga Allah memberikan kesembuhan


atasmu…,” bisik Qayyima sambil mengusap-usap rambut ayahnya. Tak terasa
bulir air mata muncul di ujung pelupuk Qayyima (Purwanda, 2015:59).

Dari kutipan di atas terlihat Qayyima dengan sabar merawat ayahnya yang

sakit. Sikap bersyukur juga ditunjukkan dalam diri Qayyima seperti kutipan berikut.

“Bilang saja, kamu sedang dapat rezeki, karena ini memang rezeki, kan? Ini
kan hasil kerjamu sendiri, Ima,” Jawab Bu Ratna dengan tersenyum
(Purwanda, 2015: 38).
46


“Ia sesenggukan, terdengar seperti orang sesak napas. Betapa Allah sayang
kepadanya. Ia jadi bertambah yakin bahwa rezeki-Nya sangatlah luas, seluas
langit dan bumi.
“Subhana rabiyal-a’la wa bihamdi…” (Purwanda, 2015:47).

Dari dua kutipan di atas terlihat perilaku yang ditunjukkan oleh Qayyima

adalah keadaan bersyukur, dimana bersyukur merupakan ucapan terima kasih kepada

Allah atas pemberian yang sudah diberikan. Dengan segala keterbatasan biaya dan

waktu untuk belajar, ia mampu bekerja demi kebutuhan keluarga dan biaya

sekolahnya. Di tengah waktu yang singkat seperti sepulang sekolah hendak berjualan

lukisan, otaknya mampu menghapal beberapa teori dalam mata pelajaran di

sekolahnya, seperti sejarah yang menjadi pelajaran favoritnya dan juga pelajaran

kesenian. Qayyima memang memiliki ingatan yang baik, ia rajin mengulang

pelajaran di sekolahnya setiap kali berangkat dan pulang sekolah seperti yang

ditunjukkan pada kutipan berikut.

Bersepeda saat berangkat dan pulang sekolah adalah momen refreshing bagi
Qayyima. Letak rumahnya yang jauh hampir sepuluh kilometer dari sekolah,
setidaknya memberi waktu baginya untuk mengulang-ulang pelajaran selagi ia
mengayuh sepedanya. Di atas sepeda, sudah biasa ia rapal hafalan isi buku
yang baru ia pelajari. Perjalanan pulang kini saatnya ia mendaras buku sejarah
yang tadi sudah ia baca di kelas (Purwanda, 2105:16-17).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Qayyima tidak pernah merasa bosan jika

setiap waktunya harus melakukan hal yang sama dan berulang-ulang, karena memang

ia suka aktivitas yang membuatnya tenang dan nyaman. Selain itu, Qayyima adalah

gadis yang cerdas, ia mampu menjadi yang terbaik di kelasnya seperti yang terlihat

pada kutipan berikut.


47

Anak itu mungkin siswi pertama yang bisa mengambil hati Pak Ramli. Pak
Ramli mengakui bahwa anak itu memang sangat cerdas dalam mata pelajaran
Sejarah. Pemikirannya smart. Jika tak berlebihan, Qayyima memang seperti
buku Sejarah yang berjalan.

Sebenarnya bisa saja jika ada orang yang ingin belajar praktis dengan
Qayyima, yakni Qayyima tinggal bercerita tentang sejarah A sampai Z, hingga
tak ubahnya kaset jernih yang bisa diputar kapan saja. Mungkin cuma
Qayyima yang bisa mencairkan bekunya wajah Pak Ramli yang keras tak
berbelas kasihan. Jadilah, Qayyima satu-satunya orang yang paling dicari
ketika ada tugas mata pelajaran Sejarah (Purwanda, 2015: 91-92).

Selain pintar dalam mata pelajaran sejarah, hobi membaca buku sejarah, ia

pun berbakat dalam melukis. Saat itu Encik Ling meminta dibuatkan sketsa wajahnya

oleh Qayyima dan hasilnya membuat ia kagum. Hal itu dapat dibuktikan pada kutipan

berikut.

Dan, benar saja, hasilnya memesona. Encik geleng-geleng kepala sambil


berdecak kagum. Ia tak habis pikir anak seusia Qayyima sudah bisa melukis
semahir seniman-seniman lukis dunia. Bisa dibilang ia makin “naksir” dengan
sketsa yang Qayyima buat (Purwanda, 2015:20).

Selain Encik Ling, ada seorang ibu yang memiliki ketertarikan atas hasil

lukisan wajah Qayyima, yaitu Bu Ratna yang kebetulan seorang staf di sebuah galeri

seni. Saat itu Bu Ratna sedang membeli siomay Bang Wahid di bawah flyover Ciputat

dan kebetulan ada Qayyima yang sedang berjualan di situ. Hal tersebut dapat

dicermati pada kutipan berikut.

“Silakan, Bu.” Qayyima memberikan kertas gambarnya kepada Bu Ratna.


Wanita itu pun geleng-geleng kepala, berdecak kagum kepada anak SMA di
hadapannya itu. Yang membuat Bu Ratna kagum, Qayyima tak hanya
membuat sketsa wajah objek lukisannya, tetapi juga latar di belakangnya
digambarkan secara detail. Gerobak Bang Wahid pun masuk ke gambar,
karena memang berdekatan dengan tempat Bu Ratna duduk. Qayyima melukis
48

benar-benar seperti sedang memfoto. Hal itu melebihi ekspektasi Bu Ratna,


rupanya Qayyima telah membuktikan bahwa ia memang pelukis muda
berbakat (Purwanda, 2015:35-36).

Tidak berhenti sampai di situ, Bu Ratna menghubungi atasannya yaitu Bu

Lisa, pengelola galeri tempatnya bekerja seperti pada kutipan berikut.

“SAYA baru saja menemukan pelukis hebat. Dia pelukis jalanan, tapi
sentuhannya internasional.” Bu Ratna memulai chatting di Facebook-nya,
mengajak bicara Bu Lisa, pengelola galeri tempatnya bekerja.

Qayyima Salimah. Ima.
Anak itu sungguh sudah membuatnya gelisah. Bagaimana tidak, sentuhan
lukisannya sudah seperti apa yang dihasilkan oleh para pelukis dunia. Bu
Ratna merasa tak pantas jika sketsa yang Qayyima lukiskan untuknya cuma
dihargai dua ratus ribu. Bahkan, satu juta pun mungkin sebenarnya jauh dari
layak. Hasil karyanya bernilai lebih daripada itu (Purwanda, 2015:69-70).

Kepandaian Qayyima tidak hanya itu, selain cerdas dan berbakat, Qayyima

juga pandai dalam mengulang hafalan Alquran-nya. Sudah biasa, saat pulang Magrib

usai berjualan lukisan ia pergunakan sebagai waktunya mengulang hafalan seperti

yang dijelaskan pada kutipan berikut.

Sekali waktu pernah di kelas, saat pelajaran agama para siswa mendapat tugas
untuk menyetor hafalan ayat kepada Pak Mustofa, guru Agama, yang
terhitung “sadis” juga dalam membina siswa-siswinya.

Hari itu beliau membahas materi tentang adab-adab pada hari Jumat. Keluar
pula dalil-dalil penguat dan satu set dalil: tiga ayat terakhir Surah Al-Jumu’ah.
Sebelum tugas dikeluarkan secara resmi lewat lisan beliau yang mulia, anak-
anak sudah ribut berbisik-bisik menanyakan kepada Qayyima surah manakah
dalil yang disebut oleh Pak Mustofa. Dan, ketika beliau duduk di kursi setelah
menugasi anak-anak menghafal, Qayyima langsung maju ke depan beliau
untuk menyetorkan hafalannya. Pak Mustofa melongo, hampir tak percaya.
Rupanya masih ada permata di tengah pepasiran apatisme pendidikan anak
negeri.

49

Pak Mustofa geleng-geleng kepala, sambil mengucap tasbih berkali-kali. Tak


ragu ia bubuhkan nilai hafalan Qayyima Salimah di hadapannya itu dengan
angka 100, sempurna. Tentu, itu melengkapi koleksi angka 100 lainnya yang
terpampang di kolom-kolom sebelumnya (Purwanda, 2015: 50-52).

Dari beberapa kutipan sebelumnya yang menunjukkan bahwa Qayyima adalah

anak yang cerdas dan berbakat, dia juga tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan

sekitarnya seperti pada kutipan berikut.

Seperti biasa, jadwal pukul delapan, tapi baru mulai pukul setengah Sembilan.
Di luar kesadaran, pendidikan jam karet sudah begitu mengakar. Para guru itu
yang mengajarkannya sendiri kepada anak muridnya secara tak langsung
meskipun jika ditanya mereka takkan pernah mengaku. Begitu kuatnya
perilaku alam bawah sadar manusia.
Jadilah, anak-anak berseragam putih abu-abu duduk berjajar di depan kelas
mereka masing-masing. Ada yang mengolok sesamanya, bicara jorok, cerita
banyolan hari kemarin, juga ada yang sempat curi-curi pacaran. Semuanya
dilakukan di luar kelas. Ruangan dalam kelas seakan jadi momok. Entah
mengapa.
Di dalam kelas hanya ada Qayyima. Anak manis itu lebih memilih kesendirian
daripada terkontaminasi kekotoran pikiran khas anak muda.

Ia duduk di pojok kelas, berkarib dengan dinding hijau pastel yang dingin.
Sejuk. Di hadapannya terbentang buku Sejarah yang tebalnya masya Allah. Ia
betah berjam-jam bertelekan kursi, jika tidak membaca buku sejarah, maka ia
tengah melukis (Purwanda, 2015: 3-5).
Kutipan di atas menceritakan suasana di dalam kelas yang sepi, dibanding luar

kelas. Hal tersebut diakibatkan karena proses belajar mengajar yang belum dimulai

karena guru yang bersangkutan belum juga tiba. Hanya Qayyima yang berada di

kelas, selebihnya kebanyakan di luar kelas sedang bergurau dan lain sebagainya.

Penjelasan sebelumnya menunjukkan sikap Qayyima yang tenang dan santai, ia lebih

memilih kesendirian dan berkarib dengan buku daripada terpengaruh oleh hal yang

negatif menurutnya.
50

b. Regina

Regina adalah tokoh pendamping yang mendukung jalan cerita tokoh utama.

Regina merupakan sahabat dari Qayyima. Pengarang menggambarkan Regina sebagai

tokoh yang cerdas. Hal itu terbukti pada kutipan di bawah ini.

Regina adalah sahabat Qayyima, ia Katolik. Baru sekitar setengah tahun lalu
mereka saling kenal, saat tak sengaja mereka duduk berhampiran di kelas
yang baru. Tak sengaja karena mereka berdua memang datang belakangan
sehingga kursi penuh, menyisakan dua kursi saja. Namun, pada awal
pertemuan keduanya sudah saling mendapatkan chemistry (Purwanda,
2015:10).

Memang, kecerdasan Regina di atas rata-rata, ia cerdas. Buku apa pun ia
lahap, dari sosiologi, bahasa, astronomi, hingga filsafat ia libas. Oleh karena
itulah, ia jadi lebih mengerti arti kebijaksanaan dalam ilmu (Purwanda,
2015:43).

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Regina adalah sahabat Qayyima

di sekolah, Regina pun anak yang cerdas. Namun, Regina adalah orang yang mudah

merajuk jika kemauannya tidak dituruti, kemungkinan faktor kehidupan Regina yang

memang penuh dengan kemewahan sehingga apa pun yang ia inginkan dapat

terpenuhi. Hal tersebut terlihat di alur cerita dialog antara Regina dan Qayyima yang

kadang terjadi konflik di antara keduanya seperti pada kutipan berikut.

Yang berbeda cuma Regina. Ia merengut kepada Qayyima minta diajari.


“Ima, ajarin aku dong… udah tinggal lusa soalnya, nih harus dikumpulin.
Qayyima tersenyum saja. “Ayo, Gin. Di sini aja, biar nanti aku cerita.
“Ih, nggak mau, ah… jangan di sini. Di rumahmu, dong” bujuk Regina.
Qayyima kehabisan kata-kata. Bagaimanapun ia tak mau sahabatnya tahu
bahwa ia hidup di sebuah rumah yang kumuh, dan harus menghidupi
keluarganya dengan berjualan lukisan.

Qayyima terdiam cukup lama, sampai akhirnya Regina melepaskan
genggaman tangan Qayyima, kemudian melengos pergi pulang.
51

“Regina!” panggil Qayyima, tetapi Regina tak berbalik. Ia tahu sekali bahwa
Regina tipikal orang yang jika sudah ngambek, apa yang ia kehendaki harus
dituruti (Purwanda, 2015: 94-95).

Kutipan di atas menceritakan keinginan Regina yang ingin diajari pelajaran

Sejarah oleh Qayyima dengan memintanya untuk mengerjakan di rumah Qayyima.

Namun, Qayyima menolak karena ia tidak ingin Regina mengetahui bahwa ia tinggal

di tempat yang kurang layak. Akibat rasa penasarannya kepada Qayyima yang tidak

memperbolehkan ia ke rumahnya, akhirnya Regina membuntuti sahabatnya itu seperti

pada kutipan berikut.

“Imaaaaa!’’
Wanita berambut panjang itu langsung menghambur kearah Qayyima. Ia
langsung berupaya memeluk Qayyima. Qayyima tak kuasa menolak.
Dia Regina. Sedari pulang sekolah tadi sahabatnya itu membuntuti aktivitas
Qayyima‒terlihat dari pakaian sekolah yang masih dikenakan Regina.
“Ima, kenapa nggak pernah bilang ke aku…,” isak Regina. “Aku menyesal tak
pernah tahu kehidupanmu sebelumnya, Ma…”
Qayyima menitikkan air mata pula. Ia mengusap-usap pungggung Regina
yang masih berlapis seragam sekolah (Purwanda, 2015:124).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Regina sangat menyesali karena tidak

mengetahui kehidupan sahabatnya selama ini. Di sisi lain sebenarnya Regina adalah

anak yang baik dan memiliki rasa peduli yang tingggi terhadap orang lain. Hal itu

dapat dicermati pada kutipan berikut.

Hari itu Qayyima akan memenuhi panggilan wawancara dari Bu Lisa. Regina
siap mendampinginya, mengantarnya dengan mobil, toh hari ini juga tak
kemana-mana. Maka, sejak selepas subuh, Qayyima dan Regina sudah
bersiap-siap akan berangkat. Ketika Qayyima memasak sarapan untuk mereka
makan, Regina mengajak adik-adik Qayyima menunggui Ayah yang terbaring
di kamar, sambil sesekali mengobrol dengan ketiganya. Regina sudah mulai
akrab dengan ketiga adiknya. Terdengar beberapa kali tawa gembira yang
menghidupkan pagi yang dingin itu (Purwanda, 2015:145).
52

Kutipan di atas menunjukkan sikap Regina yang menaruh rasa peduli pada

Qayyima dan juga masalah yang ia alami. Tidak hanya pada Qayyima, Regina juga

terlihat baik pada ayah dan ketiga adiknya. Regina menunjukkan kepeduliannya

dengan mengajak ketiga adik Qayyima menunggui ayahnya yang terbaring di kamar

dengan sesekali mengobrol, sambil menunggu Qayyima yang tengah menyiapkan

sarapan. Usai sarapan, Regina bersama supirnya hendak mengantarkan Qayyima yang

akan pergi wawancara menemui Bu Lisa. Sikap peduli yang lain dibuktikan pada

kutipan berikut.

“Kamu tadi kemari sama siapa?” Tanya Bu Lisa.


“Sama Regina, Bu, sahabat saya. Tadi dia menunggu di lobi,” jawab
Qayyima sambil terus melangkah.
“Wah, berarti temanmu tadi menunggumu dua jam lamanya?” sambar Bu
Ratna. Qayyima nyengir sambil mengangguk.
“Itu dia, ya?” kata Bu Ratna sambil menunjuk Regina yang sedang berdiri
tepekur di hadapan sebuah lukisan yang besar.
“Regina!” sapa Qayyima. “Aku sudah selesai.”
Regina menengok. “Hei, Gimana, Ma? Lancar?” (Purwanda, 2015:157).

Kutipan di atas menunjukkan bawah mempedulikan orang lain tentu saja hal

yang perlu, terlebih sahabat yang peduli padanya. Regina memang mempunyai

tempat yang istimewa dalam hidup Qayyima. Regina pula yang tidak segan

membantu dan selalu ada untuk Qayyima, bahkan di saat-saat tersulit yang ia lalui,

begitu pula sebaliknya.


53

c. Bu Ratna dan Bu Lisa

Bu Ratna adalah tokoh tambahan yang mendukung jalannya cerita dalam

novel Kanvas untuk membantu tokoh utama. Tokoh tersebut dimunculkan oleh

pengarang sebagai pembuka jalan Qayyima untuk meraih kesuksesan. Pengarang

menggambarkan Bu Ratna sebagai sosok yang baik yang memiliki profesi sebagai

staf di sebuah galeri seni. Hal tersebut dapat dicermati pada kutipan berikut.

“Itu lukisan yang kamu bikin, Dik?” Tanya seorang ibu yang sedang
mengunyah siomay, memecah lamunan Qayyima. Sepertinya ia pegawai
kantor. Bajunya berpadu rok merah-merah. Guratan di wajahnya
menunjukkan usianya yang sudah menginjak kepala empat.
“Iya, Bu, saya yang bikin sendiri…,” jawab Qayyima.
“Berapa lama biasanya kamu bikin lukisan begitu?”
“Hmmm… bergantung sih Bu. Paling cepat satu jam beresnya. Paling lama
bisa sampai berbulan-bulan.”
“Oh, gitu…” Ibu itu masih mengunyah siomaynya. “Lukis wajah saya pasti
bisa, dong, Dik?”
Wah rezeki ini, batin Qayyima. “Bisa, Bu, insya Allah kalau sketsa wajah bisa
beres cepat, ngga sampai satu jam.”
“Oke… oke… saya habiskan dulu, ya, siomay saya. Kamu mau siomay,
nggak? Bikin sendiri saja, nanti saya yang ngomong ke abangnya, saya yang
bayarkan.” Qayyima sedikit terkejut. Ibu ini baik sekali (Purwanda, 2015:28).

Kutipan di atas menceritakan tentang pertemuan awal Qayyima dengan Bu

Ratna ketika Qayyima sedang berjualan lukisan dan Bu Ratna tengah membeli

siomay di tempat langganannya yang bernama Bang Wahid. Bu Ratna yang sedang

memakan siomay melihat Qayyima tengah mempersiapkan dagangan lukisannya dan

menanyakan apakah itu lukisan hasil karyanya. Akhirnya setelah Bu Ratna

mengetahui, ia meminta Qayyima untuk melukiskan wajahnya, dan Qayyima

menerima pesanan itu. Sambil menikmati siomay yang belum habis, Bu Ratna berniat
54

membelikan siomay untuk Qayyima juga. Penjelasan tersebut menunjukkan sikap

baik Bu Ratna pada Qayyima, seorang gadis SMA yang baru ia kenal. Berbuat baik

kepada sesama adalah salah satu tujuan yang paling besar dalam kehidupan ini.

Perbuatan baik bisa dilakukan dalam bentuk apa saja, misalkan memberi kepada

orang lain berupa sebuah makanan, begitu pun yang dilakukan Bu Ratna terhadap

Qayyima. Selain itu, Bu Ratna digambarkan sebagai sosok yang bijaksana seperti

pada kutipan berikut.

Bu Ratna berdecak kagum kepada anak SMA di hadapannya itu. qayyima


melukis benar-benar seperti sedang memfoto. Hal tersebut tentu melebihi
ekspektasi Bu Ratna.
“Biasanya berapa tarif untuk sketsa wajah, Nak?” Tanya Bu Ratna.
Qayyima mengingat-ingat. Sudah cukup lama ia tak melakukan jasa
pembuatan sketsa wajah. “Mungkin sekitar dua ratus ribu, Bu, termasuk
bingkai.”
“Saya hargai lebih ya, Nak…, tapi janji dulu, kamu nggak akan
mengembalikan uangnya kepada saya dan tetap berpatokan pada dua ratus
ribu, lho, ya…

“Buuu… tapi, kan, biasanya nggak sebanyak ini,” timpal Qayyima.
“Ima, jangan khawatir. Ini kan hasil dari pekerjaanmu Nak. Saya Cuma ingin
mengapresiasi lebih seni lukis yang kamu bawa, karena karya-karya yang
kamu buat terlampau murah kalau cuma kubayar dengan harga standar.
Karya-karyamu berkualitas, Nak, bahkan jika saya punya galeri sendiri, akan
saya minta kamu yang mengisinya dengan lukisan-lukisanmu,” balas Bu
Ratna (Purwanda, 2015: 36-38).

Dari kutipan di atas terlihat betapa bijaksananya Bu Ratna kepada orang lain.

Sikap baiknya dalam memperlakukan orang lain, mempunyai arti bagaimana ia

melihat dunia dan orang-orang di dalamnya dengan kebaikan. Ia memandang orang

lain sebagai sesama manusia yang sama berharganya dengan dirinya sendiri. Karena
55

ketertarikan Bu Ratna pada Qayyima, membuat ia menghubungi atasannya yang

bernama Bu Lisa, pengelola galeri tempatnya bekerja.

Bu Lisa adalah tokoh tambahan yang mendukung jalannya cerita, sama seperti

Bu Ratna yang dihadirkan pengarang secara bersamaan untuk membantu tokoh utama

dalam menghadapi masalahnya. Perbedaannya, pengarang menggambarkan Bu Ratna

sebagai pembuka jalan awal bagi Qayyima untuk meraih kesuksesan dengan

memperkenalkannya kepada Bu Lisa atasannya. Sedangkan Bu Lisa, adalah

perantara/tokoh yang akan mengubah nasib Qayyima menjadi lebih baik atau sukses.

Pengarang menghadirkan tokoh tersebut dengan tujuan yang sama, yaitu untuk

membantu tokoh utama. Pengarang menggambarkan Bu Lisa sebagai sosok yang

ramah dan baik. Hal tersebut dapat dicermati pada kutipan berikut.

“Assalamualaikum, Ima,” sapa Bu Lisa. Suaranya empuk, teduh sekali.


“Waalaikumussalam.” Qayyima langsung mencium tangan Bu Lisa penuh
takzim, baru kemudian mencium tangan Bu Ratna.
“Ima sudah dari tadi di sini? Sehabis pulang sekolah langsung jualan?” tanya
Bu Lisa.
Qayyima mengangguk. “Iya, Bu… seperti biasanya.”

“Ima, saya mau ngobrol sama kamu,” ujar Bu Lisa.
“Tentang apa, Bu?” tanya Qayyima polos.
Bu Lisa tersenyum. “Iya, Ima. Begini… saya kesini mau melihat lukisan Ima.
Bu Ratna semalam memberi tahu saya dengan teknikmu melukis sketsa Bu
Ratna. Dari sana, saya lihat kamu punya bakat yang luar biasa. Hanya pelukis
dunia yang bisa melakukannya dengan sempurna” jawab Bu Lisa sambil
tersenyum.
Qayyima mengangguk-angguk meskipun ia juga tak paham teknik apa yang
sebenarnya ia gunakan. Ia melukis dengan rasa.
“Oleh karena itu,” sambung Bu Lisa, “saya berminat menaruh lukisan yang
Ima buat di dalam galeri yang saya miliki. Bagaimana?
Qayyima menggeleng-geleng pelan, sambil tersipu. “Ima bingung mau bilang
apa…”
56

Bu Lisa tertawa. “Hehehe.. bingung begitu. Saya mau mewawancara kamu


besok pagi, kamu libur, kan? Kan, besok tanggal merah, ada libur nasional”
(Purwanda, 2015: 99-101).

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Bu Ratna dan Bu Lisa adalah

orang yang akan mengubah nasib Qayyima kearah yang lebih baik.

d. Taufik Haryanto

Taufik Haryanto adalah tokoh yang berperan sebagai ayah dari tokoh

Qayyima, yang mengalami stroke pasca ibunda Qayyima meninggal. Tokoh ini yang

menunculkan konflik batin yang dihadapi oleh tokoh utama seperti pada kutipan

berikut.

Ayahnya terkapar di atas kasur kapuk gulung di kamarnya. Nama sebenarnya


adalah Taufik Haryanto. Namun, orang-orang lebih sering memanggilnya
dengan panggilan opik.
Tubuh ayah kurus, wajahnya merautkan lemah bertenaga. Urat-urat
bermunculan di lengannya yang minim daging. Matanya hanya menatap
langit-langit, tatapannya kosong. Mulutnya menganga sedikit karena tengah
disuapi si kembar (Purwanda, 2015:56).

Kutipan di atas menunjukkan kondisi ayah Qayyima yang sedang stroke.

Sehari-hari ayahnya hanya bisa terbaring di atas kasur. Qayyima dan ketiga

adiknyalah yang merawatnya sehari-hari. Selain itu, Ayah Qayyima digambarkan

sebagai lelaki tangguh yang penuh tanggung jawab bagi istri dan keempat anaknya.

Hal itu terlihat pada kutipan berikut.

Qayyima teringat cerita ibundanya, bahwa ayahnya dulu jatuh bangun


mengecap berbagai macam pekerjaan, hanya untuk mencari penghidupan
selayak mungkin bagi keluarganya. Di punggungnya terbebankan hidup
seorang istri dan empat anaknya, yang mungkin takkan pernah bisa dibawa
oleh sembarang lelaki. Sudah maklum bahwa lelaki yang tak kuat menopang
beban hidup keluarga, pastilah akan menghindar sejauh-jauhnya dari tanggung
57

jawab itu, melupakannya seolah tak pernah ada. Akan tetapi, ayahnya tak
seperti itu. Ia lelaki tangguh yang penuh tanggung jawab (Purwanda,
2015:59).

Kutipan di atas menunjukkan sosok sang ayah yang sangat berpengaruh pada

anaknya. Ayahnya yang kuat dan tangguh itulah yang membuat Qayyima bisa

menjadi gadis yang tangguh sama sepertinya.

e. Zhafira, Shabira, dan Rahma

Shabira, Zhafira dan Rahma adalah tokoh yang berperan sebagai adik

Qayyima. Shabira dan Zhafira digambarkan sebagai saudara kembar dengan

kemampuan yang berbeda. Shabira ahli di bidang seni drama, dan Zhafira ahli di

bidang seni tarik suara. Sedangkan Rahma adalah anak bungsu di keluarga tersebut.

Ia digambarkan dengan usianya yang masih kecil, tetapi gaya bicaranya seperti orang

dewasa, dan kemampuannya dalam bidang pidato dan retorika. Hal tersebut

dibuktikan pada kutipan berikut.

Zhafira dan Shabira terlahir kembar dengan beda sekitar sepuluh menit. Pada
saat pembagian rapor, nilai mereka terkadang sama, bedanya hanya nol koma
sekian. Keduanya mahir dalam seni, Zhafira ahli di bidang seni tarik suara,
dan Shabira di bidang seni drama. Sedangkan, Rahma adalah anak bungsu di
keluarga tersebut. Kecerdasannya pun tak diragukan. Walaupun usianya masih
kecil, gaya bicaranya seperti orang dewasa. Ia memiliki kelebihan dalam
bidang pidato dan retorika (Purwanda, 2015:58).

f. Encik Ling

Encik Ling adalah tokoh yang selalu Qayyima temui. Tokoh tersebut adalah

tokoh yang membantu tokoh utama dalam menjalani hidupnya. Seringnya Qayyima

menitipkan jualan lukisannya pada Encik. Dia sebenarnya turunan silang Tiongkok-
58

Melayu Kepulauan, Blasteran dengan nama Tiongkok-nya Ang Mei Ling. Encik Ling

digambarkan sebagai tokoh yang baik, dan selalu membantu Qayyima. Hal tersebut

dibuktikan pada kutipan berikut.

Encik melihat Qayyima dari belakang, anak itu terlihat menggigil menahan
dingin. Bajunya basah semua. Encik pun iba, akhirnya ia suruh anak itu
masuk. Yang membuat Encik penasaran adalah bahwa anak itu tak pernah
melepaskan kardus besar dari tangannya. Ia selalu membawanya meskipun
payah (Purwanda, 2015:18).

Kutipan di atas menunjukkan kebaikan hati Encik dalam membantu Qayyima

dengan memperbolehkannya untuk menitipkan lukisan-lukisan di toko Encik, lukisan

yang akan ia jual setelah sekolah usai, karena memang lukisan tersebut tentu tidak

dapat ia bawa bersamanya ke sekolah. Selain itu, Encik digambarkan dengan karakter

emosionalnya seperti pada kutipan berikut.

Seringkali Qayyima mendengar ia berceloteh bahasa hokkian kepada anak dan


suaminya dengan akselerasi tingkat tinggi, atau persisnya seperti senapan
mesin yang memuntahkan semua isinya. Qayyima meraba-raba saja apa
maknanya, entah apakah Encik ngidam, memaki, atau mungkin bersungut-
sungut karena banyak pelanggan yang utang, tetapi tak kunjung dibayar
(Purwanda, 2015:17).

Meskipun Encik berkarakter emosional seperti itu, Encik tidak pernah

menampakkannya kepada Qayyima. Ia senang sekali setiap hari tokonya disinggahi

Qayyima, gadis manis berjilbab itu, walaupun hanya untuk menitipkan lukisan

dagangannya seperti pada kutipan berikut.

Qayyima melukis berbagai ukuran kanvas, dari yang kecil-kecil seukuran


sertifikat hingga yang besar-besar. Lukisan-lukisannya tentu tak bisa ia bawa
ke sekolah. Seringnya ia titipkan kepada seorang wanita keturunan Tionghoa
paruh baya berlogat Melayu pemilik Toserba di perempatan besar dekat
59

sekolah. Qayyima lebih sering memanggilnya Encik. Kadang-kadang juga


Encik Ling (Purwanda, 2015:17).

Beberapa kutipan di atas menunjukkan kebaikan hati Encik Ling kepada

Qayyima. Sikap baiknya pada Qayyima, yang hanya sekedar menitipkan lukisan di

toko nya, tetapi Encik tak pernah berharap imbalan apa pun, ia bahkan senang ketika

tokonya didatangi Qayyima setiap hari.

g. Bang Wahid

Bang Wahid adalah tokoh tambahan yang kemunculannya hanya sekali dalam

cerita. Pengarang menggambarkan Bang Wahid sebagai penjual siomay yang usianya

empat puluhan, dengan badan yang kurus dan kulitnya yang cokelat gelap. Biasanya

Bang Wahid berjualan di bawah kolong Flyover Ciputat, tempat yang sama seperti

Qayyima berjualan lukisan. Tokoh tersebut digambarkan memiliki perangai baik

seperti sikapnya kepada Qayyima dalam kutipan berikut.

“Saya numpang di sini boleh ya, Pak?” Tanya Qayyima sambil tersenyum
ramah kepada bapak pedagang siomay. Usianya empat puluhan, badannya
kurus, kulitnya cokelat gelap. Wajahnya terlihat bijak.
“Silakan, Neng… jual lukisan, ya?” jawab Bang Wahid sambil tersenyum. Air
mukanya yang cerah menunjukkan bahwa ia tergugah untuk melihat tulisan
yang Qayyima buat (Purwanda, 2015:25).

Kutipan tersebut menceritakan Qayyima yang ingin menumpang izin

berjualan di sebelah Bang Wahid, dengan senang hati Bang Wahid

memperbolehkannya. Kutipan lainnya sebagai berikut.

Bang Wahid mengusap peluh di dahinya, rupanya sambil menatap Qayyima


yang tengah kebingungan.
“Cari apa, Neng? Perlu bantuan?” tanyanya kepada Qayyima.
60

“Nggak apa-apa Bang…,” jawab Qayyima, sambil kepalanya memutar-mutar,


tak kunjung menemukan apa yang ia cari.
“Yaelah, Neeeng. Bilang aja sama Abang. Nggak usah nggak enakan kayak
begitu.
Qayyima jadi dilematis, mau tak mau akhirnya ia harus bicara, mengatakan
apa yang ia butuhkan.
“Ada kayu-kayu yang nggak terpakai gitu nggak, ya, Bang?”
“Hmmm…” Pria itu berpikir sejenak. “Ada kayaknya. Sebentar deh, saya
carikan. Titip dagangan saya sebentar, ya…”
“Iya Bang, terima kasih” (Purwanda, 2015:27).

Kutipan di atas menjelaskan Bang Wahid yang sedang membantu Qayyima

mencari kayu untuk memajang lukisan yang ia bawa. Dengan kebaikan hati Bang

Wahid, ia membantu mencarikan kayu itu meskipun ia tahu bahwa harus menunggu

dagangannya juga. Dalam hal ini tokoh Bang Wahid hadir dalam membantu tokoh

Qayyima.

h. Pak Mustofa

Pak Mustofa adalah tokoh tambahan yang kemunculannya hanya sekali dalam

cerita. Pengarang menggambarkan Pak Mustofa sebagai guru Agama di SMA

Khidmat Negeri yang terkenal “sadis” dalam membina siswa dan siswinya. Ia tidak

segan memberikan tugas hafalan banyak-banyak kepada para siswa. Hal itu dapat

dicermati pada kutipan berikut.

Siswa yang baginya tidak patuh maka tidak lulus. Yang tidak mampu
menghafal, harus siap-siap nilai agamanya di rapor akan berubah warna
menjadi merah.

Hari itu Pak Mustofa mengajar kelas Qayyima, beliau membahas materi
tentang adab-adab pada hari Jumat. Keluar pula dalil-dalil penguat, menemani
beliau yang sendirian mengajar di depan kelas. Anak-anak sudah tahu, bahwa
jika beliau sudah mengeluarkan sebuah dalil, berarti dalil itu yang akan jadi
tugas hafalan pada hari tersebut.
61

Benarlah apa yang diduga. Sialnya juga, Pak Mustofa hari itu mengeluarkan
satu set dalil: tiga ayat terakhir Surah Al-Jumu’ah (Purwanda, 2015:51).

Kutipan di atas menunjukkan sikap Pak Mustofa yang tegas dalam mendidik

siswa dan siswinya. Sebenarnya niat Pak Mustofa mulia, hanya ingin menjadikan

siswa dan siswinya menjadi tunas bangsa yang beragama dan menjadikan agama

sebagai landasan perilaku mereka sehari-hari.

i. Pak Ramli

Pak Ramli adalah tokoh tambahan yang kemunculannya hanya sekali dalam

cerita. Pak Ramli digambarkan sebagai guru Sejarah dengan nama lengkap Raden

Mas Ramli At-masasmita Kuntawijayahadikusuma. Pengarang menggambarkan

tokoh tersebut dengan tubuh yang tambun seperti Pak Raden dalam film Si Unyil.

Selain itu, Pak Ramli di sekolah termasuk guru yang ditakuti akan ketegasannya,

terkenal pelit nilai, dan memakai cara apa pun agar anak-anak didiknya mengikuti apa

yang ia instruksikan. Hal tersebut dapat dicermati pada kutipan berikut.

Tugas berat dari guru Sejarah yang harus khatam esok pagi. Jika tak
mengerjakan, wassalam-lah nilainya. Sebagus apa pun nilai yang pernah
ditimba dalam mata pelajaran tersebut. Sama sekali tak ada artinya jika tugas
esok hari itu tak dikerjakan.

Pernah ada cerita, seorang siswa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Ia
selalu mengerjakan tugas-tugasnya sampai tuntas. Suatu ketika ia sakit dan
tidak masuk, malangnya pada hari yang terlewatkan itu ada penugasan Sejarah
dari Pak Ramli, dan tak ada kawan sekelasnya yang memberitahu. Kemudian
apa yang terjadi? Anak itu mengalami nasib buruk. Nilai Sejarah di rapornya
jelas sekali dibubuhkan angka nol, padahal sebelum-sebelumnya ia tak pernah
melewatkan tugas dari Pak Ramli, sang Mahaguru (Purwanda, 2015:89-91).
62

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Pak Ramli adalah tipikal guru yang tidak

mau tahu perihal apa pun yang menghalangi seorang siswa dalam kealpaan

mengerjakan tugasnya.

j. Mpok Dijah

Mpok Dijah adalah tokoh yang digambarkan sebagai tetangga dekat rumah

Qayyima. Namun, kehadiran tokoh ini tidak diperlihatkan di setiap bab nya, tidak

sering muncul dalam setiap peristiwa. Mpok Dijah sebagai salah satu tokoh

pendukung yang pernah membantu Qayyima saat sedang mengalami kesulitan.

Tokoh ini memiliki sifat baik seperti kutipan berikut.

Sehari-hari, ketika Qayyima, Zhafira, Shabira, dan Rahma bersekolah, beliau


dirawat oleh Mpok Dijah, tetangganya yang baiknya bukan kepalang
(Purwanda, 2015:56).

Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa Mpok Dijah adalah orang yang

pernah membantu Qayyima. Ketika ketiga adiknya berangkat sekolah, tanpa pamrih

dialah yang merawat ayahnya dengan suka rela.

k. Pak RT

Tokoh tambahan lainnya, yang kemunculannya hanya sekali saja dalam cerita

adalah Pak RT. Pak RT digambarkan dengan sikapnya yang selalu suka membantu

ketika warganya ada yang kesulitan. Hal itu terbukti pada kutipan berikut.

Ini sudah harus dibawa ke rumah sakit, kata Mpok Dijah. Kedua adik
Qayyima saling pandang. Makin Kwatir.
Saya telepon Pak RT, deh, minta antar pakai mobil…, saran Mpok Dijah,
langsung memencet-mencet ponselnya dan menaruh ponselnya ke telinga.
63

Telepon Mpok Dijah tersambung dengan Pak RT. Rupanya beliau sedang cuti
sehingga tidak berangkat ke kantor. Beliau akan tiba di rumah sekitar lima
menit lagi.
“Assalamualaikum!” Kata Pak RT di depan pagar dengan suara bas yang
membahana. Pak RT di luar sudah membukakan pintu tengah mobilnya
supaya Bunda bisa dengan mudah masuk (Purwanda, 2015:110).

Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh ini adalah tokoh

tambahan bawahan, karena kemunculannya tidak setiap peristiwa ada. Tokoh

bawahan ini hanya muncul sekilas saja, tidak lama dalam kemunculannya.

Berdasarkan uraian sebelumnya mengenai tokoh dan penokohan dalam novel

Kanvas karya Bintang Purwanda, maka dapat simpulkan dalam tabel berikut ini:

Tabel 4.1 Tokoh dan Karakter dalam Novel Kanvas karya Bintang Purwanda

Nama Karakter
a Qayyima Islami, sabar, bersyukur, memiliki ingatan yang
baik, cerdas, berbakat, tidak mudah terpengaruh
b Regina cerdas, pemarah, baik, peduli
c Bu Ratna baik, bijaksana
Bu Lisa baik, ramah
d Taufik Haryanto tangguh, tanggung jawab
e Zhafira, Shabira, Rahma cerdas, berbakat
f Encik Ling baik, emosional
g Bang Wahid baik, suka membantu
h Pak Mustofa Tegas
i Pak Ramli Tegas
j Mpok Dijah baik, penolong
k Pak RT suka membantu
64

3. Latar

Latar dalam sebuah cerita fiksi dibedakan dalam tiga unsur pokok, yaitu

tempat, waktu, dan sosial. Berikut pemaparan latar dalam novel Kanvas karya

Bintang Purwanda.

a. Latar Tempat

Latar tempat yang akan digambarkan pada cerita adalah tempat-tempat yang

memiliki kisah pada cerita ini. Selanjutnya, tempat-tempat yang digunakan untuk

menunjang cerita akan dipaparkan sebagai berikut.

SMA Khidmat Negeri adalah sekolah swasta tempat Qayyima menuntut ilmu.

Sekolah yang sama sekali tidak diharapkannya, karena nasiblah yang menuntunnya

untuk bersekolah di tempat ini. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.

SMA Khidmat Negeri mungkin adalah sekolah yang tak begitu istimewa,
swasta, bukan negeri. Prestasi pendidikannya pun biasa saja. Biaya
sekolahnya sok jual mahal. Kebanyakan yang sekolah di sini adalah anak-
anak buangan, yaitu mereka yang tak lulus ujian masuk sekolah negeri
(Purwanda, 2015:2).

Qayyima bisa duduk di sini sebetulnya bukan karena ia tak lulus ujian di
sekolah negeri, melainkan karena nasibnya yang tak menguntungkan. Ia tak
beruntung masuk ke sekolah negeri karena saat ia mau mendaftar, semua
sekolah negeri sudah menutup pendaftaran (Purwanda, 2015:4).

Dari kutipan di atas terlihat bahwa sekolah tersebut adalah sekolah swasta

yang membutuhkan biaya cukup mahal. Maka, dalam memenuhi tuntutan biaya

tersebut, Qayyima harus memenuhi kebutuhannya dengan cara berjualan atau

berdagang lukisan. Qayyima menitipkan lukisannya kepada Encik, seorang wanita


65

pemilik toserba di perempatan besar dekat sekolahnya, karena lukisan-lukisannya

tentu tidak bisa ia bawa ke sekolah. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.

“Ima datang, Encik, mau ambil lukisan.”


Encik langsung menghambur dari meja kasir, menyambut “anaknya”
yang baru pulang sekolah. Dia tahu Qayyima tidak kuat memindahkan
lukisan besar yang menaungi lukisan-lukisan lainnya yang lebih kecil, ia
berlekas (Purwanda, 2015:20).

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa Qayyima tidak pernah absen untuk

mampir di toko Encik. Selain itu, Qayyima juga berjualan lukisan di Kolong flyover

Ciputat. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.

Qayyima setelah mampir shalat Asar terlebih dahulu di sebuah Mushala—


mengayuh sepedanya menuju kolong flyover Ciputat. Masih berseragam
sekolah, di sanalah ia biasa menghabiskan senja dengan berdagang lukisan
karyanya sendiri. Ia berhenti di sebuah bilangan, di samping gerobak siomay
(Purwanda, 2015:24).

Dari kutipan di atas, terlihat jelas perjuangan Qayyima dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya juga keluarganya. Tempat tersebut menjadi sebuah tempat

dimana nasib baik mendatanginya. Pertemuannya dengan seorang wanita bernama Bu

Lisa, seorang pemilik galeri seni Al Fann menghantarkan perubahan dalam nasib

Qayyima. Hal ini terlihat pada kutipan berikut ini.

Qayyima sudah sedari pukul delapan tadi tiba di galeri seni Al-Fann, galeri
seni milik Bu Lisa. Sungguh, di dalam galeri jauh lebih nyaman ketimbang di
luar. Angin dingin bertiup- tiup dari pendingin udara (Purwanda, 2015:156).

Dari kutipan tersebut, Qayyima tengah berada di sebuah galeri untuk

memenuhi panggilan wawancara oleh Bu Lisa yang nantinya akan ditanya seputar

kehidupan dan bakat melukis Qayyima. Terlihat bahwa Galeri Seni Al-Fann, adalah
66

tempat yang begitu indah dengan hamparan lukisan-lukisan indah terpasang di

dinding. Berbeda sangat jauh dengan rumah Qayyima, tempat ia dan ayah serta

adiknya tinggal. Terlihat pada kutipan berikut ini.

Rumah kayu itu serupa gubuk sepi. Letaknya yang jauh dari jalan utama,
masuk ke pelosok gang-gang kecil, membuatnya semakin tak tersentuh. Gulita
pekat menyelimuti kawasan itu. Secercah temaram pelita dari dalam rumah
menembus celah-celah terbuka, dan sayup-sayup terdengar suara orang,
menandai bahwa di dalamnya masih ada kehidupan.
Qayyima pun tiba di rumahnya, ia ketuk pintu.
Tok tok!
Assalamualaikum… Kakak pulang…
Ia pun menggamit pinggiran pintu yang terbuat dari tripleks lapis empat itu,
membukanya perlahan, takut engselnya patah lagi (Purwanda, 2015:55).

Dari kutipan di atas, rumah tersebut menjadi tempat tinggal Qayyima dengan

saudara dan ayah tercintanya. Rumah dengan ukuran 4 x 4 meter, seukuran kontrakan

sederhana tetapi jauh dari kata layak. Hampir sebagian besar komponennya terbuat

dari kayu, rapuh sekali. Hingga pada saat itu, kejadian besar terjadi di rumahnya.

Rumah Qayyima terbakar hingga membuat ayahnya meninggal dunia. Hal ini terlihat

pada kutipan berikut.

Pandangan mata Qayyima berkunang-kunang. Ia mendongak-dongakan


kepalanya, ia dibopong makin dekat dengan beberapa orang pria dan tenaga
medis yang berkerumunan di sekitar tempat ayah berbaring.
Sayup-sayup Qayyima mendengar kalimat duka‒kalimat yang sama sekali tak
ingin ia dengar sekarang.
“innalillahi wainnailaihi raji’un…”
Kini kemarian itu mendatangi ayahnya, merenggut kebahagiaan Qayyima
yang tak terbalas. Qayyima terdiam, memejam. Setelah pejamnya, yang
kemudian Qayyima lihat hanyalah kegelapan (Purwanda, 2015:174-176).
67

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa kejadian tersebut membuat Qayyima

kehilangan kesadarannya, sekaligus kehilangan seorang ayah yang sangat berarti,

seperti kehilangan separuh jiwa. Lelaki itu yang telah mengajarinya betapa manusia

harus menjadi manusia yang bermakna bagi orang lain.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa latar tempat dalam cerita

ini berdomisili di kota Jakarta. Seperti halnya SMA Khidmat Negeri, toko Encik

Ling, kolong Flyover Ciputat, Galeri Seni Al-Fann, dan rumah Qayyima.

b. Latar Waktu
Latar waktu yang digambarkan pada cerita merupakan waktu-waktu yang

memiliki kisah pada cerita ini. Selanjutnya, waktu-waktu yang digunakan untuk

menunjang cerita akan dipaparkan sebagai berikut.

Pagi hari adalah kegiatan awal Qayyima untuk menuntut ilmu di SMA

Khidmat Negeri, dan bila hari libur ia biasanya mengurus rumah, menyiapkan

sarapan untuk keluarganya. Hal tersebut dapat dicermati pada kutipan berikut.

Bayangkan, keriuhan semacam itu harus dicekokkan kepada para siswa-siswi


SMA Khidmat Negeri tiap pagi. Kebetulan saja sekolah swasta yang mau
nasionalkan itu berada di tepi jalan besar. Kemacetan di depan gerbangnya
bak tradisi, jadi serupa pit stop dalam perlomban formula satu.
Di dalam kelas hanya ada Qayyima. Qayyima salimah nama panjangnya
(Purwanda, 2015: 2-4).

Kutipan tersebut menunjukkan kemacetan lalu lintas yang terjadi setiap

paginya di depan SMA Khidmat Negeri, karena memang sekolah tersebut berada di

dekat perempatan jalan besar, sehingga keriuhan akibat kendaraan yang lalu lalang

membuat kebisingan di sekitar daerah itu setiap paginya.


68

Latar waktu selanjutnya terjadi padi sore hari. Tepat pukul 14.30 adalah waktu

siswa dan siswi SMA Khidmat Negeri selesai menuntut ilmu, termasuk Qayyima.

Namun, berbeda dengan teman-temannya, sepulang sekolah ia langsung berdagang

lukisan yang ia buat sendiri, seperti pada kutipan berikut.

Pukul setengah tiga menjelang sore. Para siswa dan siswi SMA Khidmat
Negeri bak anai-anai, tak sabaran untuk pulang ke rumah (Purwanda, 2015:
16).
“Bismillahirrahmanirrahim…,” ucap Qayyima berbisik kepada dirinya sendiri.
ia harus segera berangkat untuk berdagang lukisan. Keburu datang senja.

Kutipan di atas menunjukkan keriuhan para siswa dan siswi SMA Khidmat

Negeri yang telah usai belajar di kelas. Mereka berhamburan untuk cepat-cepatan

karena sudah tidak sabaran untuk pulang ke rumah. Berbeda dengan Qayyima, yang

mana rutin setiap pulang sekolah ia langsung berdagang lukisan hasil karyanya

sendiri.

Selanjutnya pada saat Magrib atau petang, waktu saat semua umat muslim

menunaikan ibadah sholat, termasuk Qayyima. Qayyima adalah anak yang taat dalam

beribadah, setiap waktu sholat wajib tidak pernah ia tinggalkan, ditambah sholat

sunahnya. Setelah sholat magrib, ia langsung bergegas pulang menuju rumahnya

untuk menunaikan baktinya pada sang ayah seperti pada kutipan berikut.

MAGRIB itu mungkin adalah magrib yang tersendu bagi Qayyima. Pada
sujud terakhirnya yang panjang, ia jadi cengeng (Purwanda, 2015:47).

Qayyima mengambil sepedanya yang tersandarkan di salah satu sudut
lapangan parkir. Hari sudah gelap. Ia harus pulang sekarang. Adik-adiknya
pasti sudah rewel minta makan, ayahnya juga harus segera disuapinya
(Purwanda, 2015:49).
69

Kutipan diatas menceritakan Qayyima yang tengah selesai sholat Magrib.

Terlihat momen sedih Qayyima itu yang paling tidak terlupakan sepanjang selama ini

ia menunaikan ibadah sholat Magrib. Selain sholat wajibnya yang tidak pernah ia

tinggal, ia selalu menunaikan sholat sunahnya pada pukul 01.00 dini hari seperti pada

kutipan berikut.

Pukul satu dini hari, hanya sunyi yang mencumbu. Qayyima terbangun dari
tidurnya, ia hanya beralaskan sajadah, berada di samping ayahnya yang
sedang istirahat dengan alas kasur kapuk gulung (Purwanda, 2015: 75).

Kutipan tersebut menunjukkan latar waktu disaat semua orang pastilah telah

tertidur. Kesunyian malam tanpa gangguan membawa ketentraman bagi Qayyima

yang tengah menunaikan ibadah sholat sunahnya. Hampir setiap malam Qayyima

menunaikan sholat Tahajud, dan usai menunaikan sholatnya pada pukul 03.00 pagi,

setelah itu barulah ia melukis seperti pada kutipan berikut.

Pukul tiga pagi,


Ima, kamu sudah shalatnya? Shalat apa, sih? Kan, shalatmu Cuma lima, tanya
Regina.
Aku tadi shalat Tahajud, Gin. Shalat Tahajud itu shalat sunah, bukan wajib.
Qayyima masuk ke bilik yang menjadi ruang kerjanya. Ia menyiapkan
peralatan lukisnya dan sebuah kanvas besar yang masih belum terpakai.
“Imaaa… kamu mau melukis, ya? Tadi aku sebelum tidur melihat-lihat
lukisanmu…,” kata Regina.
Qayyima tersenyum. “Benarkah? Ya, beginilah kerjaanku, Gin. Tiap jam
segini aku melukis. Dulu ibunda yang membiasakanku bangun tengah malam,
shalat Tahajud, kemudian melukis (Purwanda, 2015: 136-137).

Kutipan tersebut menceritakan tentang perbincangan ringan antara Qayyima

dengan Reggina mengenai rutinitas Qayyima usai sholat malam yaitu melukis.
70

c. Latar Sosial

Latar sosial yang digambarkan pada cerita terdapat pada keadaan sosial

keluarga Qayyima yaitu keluarga yang sederhana. Walaupun rumahnya bisa dibilang

tidak begitu layak, dengan sabar Qayyima menerima kondisi kehidupannya. Hal itu

terbukti dari kutipan cerita berikut.

Qayyima pun tiba di rumahnya, ia ketuk pintu.


Tok tok!
Assalamualaikum.. Kakak pulang…
Ia pun menggamit pinggiran pintu yang terbuat dari tripleks lapis empat itu,
membukanya perlahan, takut engselnya patah lagi karena baru dua hari yang
lalu Qayyima memperbaiki sendiri. Ia cuma anak perempuan, jadi wajar jika
pekerjaan menukangnya tak seberapa baik

Rumah Qayyima sempit, ukurannya paling-paling hanya 4 x 4 meter,
seukuran kontrakan sederhana, tetapi jauh dari kata layak. Hampir sebagian
besar komponennya terbuat dari kayu, rapuh sekali (Purwanda, 2015:55-56).

Dari kutipan di atas terlihat kondisi rumah Qayyima yang cukup

memprihatinkan. Pinggiran pintu yang terbuat dari tripleks membuatnya harus

dengan perlahan dan hati-hati ketika ingin membuka pintu tersebut, takut engselnya

patah. Dijelaskan rumahnya yang berukuran 4 x 4 meter yang kenyataannya hanya

cukup untuk sedikit orang saja, bisa dibilang kondisi kehidupan Qayyima tidak begitu

layak.

Selain kutipan di atas yang menunjukkan kondisi kehidupan Qayyima yang

cukup memprihatinkan, ditunjukkan pula keadaan sosial penganut Katolik yaitu

dengan datang ke gereja rutin setiap minggu saat misa. Hal itu terbukti dari kutipan

cerita berikut.
71

Regina juga seorang penganut Katolik yang taat. Tiap Minggu pagi ia rutin ke
gereja mengikuti misa (Purwanda, 2015:42).

Selain itu, sikap saling menghormati dan mengahargai sesama manusia adalah

untuk menjaga hubungan baik dengan manusia, baik sesama muslim atau non

muslim. Dalam novel Kanvas sikap saling menghormati dan menghargai terlihat pada

kutipan berikut.

Regina adalah sahabat Qayyima, ia Katolik (Purwanda, 2015:10).

Dari kutipan tersebut, dijelaskan bentuk saling menghargai dan menghormati

tidak harus dengan sesama muslim. Qayyima dengan status sebagai muslim berkawan

atau bersahabat dengan Regina yang non-muslim. Hal tersebut merupakan bentuk

menghargai, tanpa harus melihat statusnya.

Dalam beberapa kutipan di atas yang telah dijelaskan, diceritakan kondisi

kehidupan sehari-hari yang dilalui Qayyima yang berada di kota besar Jakarta, seperti

SMA Khidmat Negeri, toko Encik Ling, kolong Flyover Ciputat, Galeri Seni Al-

Fann, dan rumah Qayyima. Latar waktu dalam novel Kanvas meliputi pagi Qayyima

bersekolah, sore berdagang lukisan, petang berbakti kepada ayahnya, malam ia

beribadah, dan melukis hingga terbit fajar. Sedangkan latar sosial dalam novel

Kanvas berkisar kehidupan sederhana sang tokoh yang bernama Qayyima dan sikap

saling menghormati antar umat beragama.


72

4.1.1.2 Analisis Data Struktur Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel Kanvas

Karya Bintang Purwanda

Qayyima adalah tokoh utama dalam novel Kanvas karya Bintang Purwanda.

Posisi tokoh utama itu ditetapkan berdasarkan penelusuran tokoh-tokoh yang ada

dalam novel, dan Qayyima merupakan tokoh yang menceritakan pengalaman

hidupnya dalam novel tersebut. Qayyima sering terlibat dengan tokoh lain. Selain itu,

tokoh yang selalu muncul dalam cerita dan mengalami berbagai konflik adalah

Qayyima. Berdasarkan analisis data yang dilakukan terhadap novel Kanvas karya

Bintang Purwanda dengan menggunakan pendekatan objektif dapat diketahui

psikologis tokoh Qayyima dari aspek id, ego, dan superego.

a. Id

Id adalah salah satu aspek biologis kepribadian manusia yang mendorong diri

untuk selalu memuaskan diri, dan dalam memuaskannya id berusaha untuk selalu

menolak rasa sakit atau rasa tidak nyaman. Cara kerja id berhubungan dengan prinsip

kesenangan, yakni selalu mencari kenikmatan dan selalu menghindari

ketidaknyamanan. Id berada di alam bawah sadar, tidak ada kontak dengan realitas

(Minderop, 2013:21).

Dorongan biologis yang pertama adalah keinginan Qayyima untuk bertemu

dengan ibundanya. Qayyima adalah anak pertama yang memiliki tiga adik. Ibunya

telah meninggal, dan ayahnya mengalami stroke. Setelah ibundanya meninggal,


73

Qayyima setiap saat sangat merindukannya. Kematian ibundanya menjadi pukulan

besar bagi Qayyima. Hal tersebut dapat dicermati pada kutipan berikut.

Beberapa hari belakangan ini adalah puncak kegelisahan bagi Qayyima. Ia


seolah terjun bebas ke titik terendah dari hidupnya. Hari-hari ini ia merasa
payah karena rindunya yang menyesakkan dada (Purwanda, 2015:5-6).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Qayyima merasakan kegelisahan akibat

rindu pada ibundanya yang telah meninggal, setelah melahirkan adik terkecilnya.

Kepergian ibundanya membuat Qayyima selalu terus menerus memikirkan ibundanya

seperti yang terlihat pada kutipan berikut.

Dalam diam Qayyima memejamkan matanya. Foto itu ia rengkuh ke dadanya.


Tak terasa matanya kembali meneteskan air mata kerinduan.
Ia rindu, sungguh rindu.
Entah kapan Qayyima akan bersua kembali dengan sang ibunda yang sudah
beda dunia. Ingin sekali, jika mungkin di pelukan ibundanya, ia menatap uap
cinta yang mewarnai angkasa…(Purwanda, 2015:116).

Qayyima terdiam, tetapi bulir basah mengaliri kedua pipinya. Jika ibundanya
berada di sisinya sekarang, mungkin Qayyima akan banyak cerita‒cerita yang
penuh keharuan. Bunda, seandainya engkau di sini..., batin Qayyima
(Purwanda, 2015:117).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa setiap anak pastilah memiliki kecintaan

kepada orang tuanya. Begitu pula dengan Qayyima. Ia merasakan kerinduan yang

amat mendalam dan ingin bisa bertemu dengan ibundanya kembali seperti pada

kutipan berikut.

Betapa Qayyima mencintai ibundanya yang bijaksana itu. saat ini hanya ingin
memeluk ibundanya erat. Namun, wanita itu tak ada.
Air mata Qayyima mengalir lagi, ia sesenggukan.
Bunda… Ima kangen Bunda…
74

Matanya mengedar ke seluruh penjuru bilik, tetapi bayangan ibundanya tiada.


Ia tadi berhalusinasi, dan halusinasi itu begitu hebat.

Matanya berakhir pada ujung dinding bilik yang tersapu kegelapan bayangnya
sendiri. Ia menatap ke arah bayangannya sendiri, berkali-kali berteriak dalam
hati untuk berkeras menemukan ibundanya, secepat mungkin (Purwanda,
2015: 85-88).

Dorongan biologis yang kedua yang ada pada diri Qayyima adalah

keinginannya untuk terlepas dari kemiskinan. Sebelumnya, Qayyima tumbuh di

keluarga yang serba berkecukupan, namun setelah ayahnya stroke dan ibundanya

meninggal, keluarganya jatuh miskin. Hidup miskin atau susah rasanya bukanlah

mimpi semua orang, sebaliknya setiap orang menginginkan yang terbaik dalam

hidupnya. Begitu pun Qayyima, ia ingin memiliki kehidupan yang layak dan tidak

kekurangan makanan. Hal tersebut dapat dicermati pada kutipan berikut.

Padahal Qayyima sesungguhnya anak yang cerdas. Pikirannya brilian. Cuma


uang banyak yang tak ia punya. Ia bukan dari keluarga yang mapan finansial.
Ayahnya lumpuh karena stroke, ibundanya telah wafat lima tahun lalu,
adiknya tiga: ada yang sepasang kembar. Di Jakarta tak ada kerabat dan
saudara yang bisa membantu keseharian mereka. Maka untuk menghidupi
keluarganya, Qayyima harus mencari uang sendiri selepas sekolah, untuk
keluarganya dan tentu, untuk membayar SPP bulan depan (Purwanda,
2015:5).

Kepiluan hidup, Qayyima harus bekerja sepulang sekolah demi menghidupi
keluarganya. Regina tahu bahwa orang-orang yang ada di dalam rumah kayu
reyot itu ada keluarga kecil Qayyima yang sedang lapar (Purwanda,
2015:124).

Selain keinginannya untuk terlepas dari kemiskinan, dorongan biologis yang

ketiga tergambar dalam diri Qayyima adalah keinginannya untuk menghilangkan rasa

lapar. Saat itu Qayyima sedang berjualan lukisan di kolong Flyover Ciputat tepat di
75

samping gerobak pedagang siomay yang bernama Bang Wahid. Sejenak Qayyima

yang tengah melihat isi gerobak Bang Wahid dengan piring putih bersusun rapi,

kukusan alumunium yang tertutup rapat, dan beberapa orang pria dan seorang ibu

bernama Bu Ratna tengah menikmati seporsi siomaynya masing-masing. Pada saat

itu, Bu Ratna tertarik dengan lukisan yang ia buat, dan Qayyima mendapat pesanan

lukisan darinya. Ketika Qayyima sedang melukis, sejenak ia mendengarkan irama

lapar dari perutnya yang sedang keroncongan sambil membayangkan siomay. Hal

tersebut dibuktikan pada kutipan berikut.

Sejenak ia dengarkan irama lapar dari perutnya yang sedang keroncongan


hebat. Ia tak memungkiri bahwa ia tengah kelaparan karena siang tadi ia tak
melahap apa pun untuk sekadar mengganjal perutnya yang perlu diisi
(Purwanda, 2015: 28).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa kepiluan hidup yang dialami Qayyima

membuat ia tidak bisa membeli makanan untuk sekedar pengganjal perut. Ia baru bisa

makan ketika ia mendapatkan uang dari hasil penjualan lukisan. Memang rasa lapar

pasti dialami setiap orang, dan biasanya rasa lapar itu muncul ketika seseorang

melihat foto makanan maupun mencium aroma makanan yang menarik. Seperti

kutipan berikut.

Kepulan uap putih membubung sejenak, berangsur hilang, kemudian


terlihatlah siomay dan kawan-kawannya yang tertata rapi, menggiurkan, buat
siapa pun yang lapar akan menelan ludah berkali-kali (Purwanda, 2015:29).
76

Dorongan biologis yang keempat adalah keinginan Qayyima untuk menjadi

guru lukis. Keinginan tersebut adalah keinginan terbesar Qayyima, menjadi guru

lukis dengan jam terbang yang tinggi ke berbagai wilayah, sehingga ilmu yang ia

dapatkan bisa dibagikan kepada orang lain. Hal tersebut dapat dicermati pada kutipan

berikut.

Dalam doa-doanya yang panjang, yang ada di kepalanya adalah mimpi-mimpi


besar itu; ia ingin menjadi guru lukis yang memiliki jam terbang yang tinggi
ke berbagai wilayah, tak hanya dalam negeri, ia juga ingin memijakkan
kakinya sendiri ke luar negeri yang belum terjamah oleh dirinya di sana. Di
pikirannya berkilas foto-foto tentang museum seni yang bertebaran di Prancis,
Spanyol, Italia, dan lainnya (Purwanda, 2015:79-80).

Kutipan di atas memperlihatkan id yang ada dalam diri Qayyima adalah

keinginannya menjadi guru lukis dengan bayang-bayang ia bisa mengajar ke berbagai

tempat hingga Negara.

Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa terdapat dorongan

id yang dialami Qayyima ditandai ketika keinginannya untuk bertemu dengan

bundanya, mendorong ego untuk memenuhi tuntutan itu namun ada pertentangan

dengan prinsip realitas bahwa ibundanya telah meninggal. Selain itu, keinginan

terlepas dari kemiskinan, keinginan menghilangkan rasa lapar, dan keinginan menjadi

guru lukis.
77

b. Ego

Ego adalah aspek psikologis kepribadian yang berada di antara alam sadar dan

alam bawah sadar. Ego merupakan sebuah hasil dari pertimbangan superego yang

berupa tindakan atau upaya yang dilakukan seseorang untuk memenuhi tuntutan id.

Ego berpegang pada prinsip kenyataan atau prinsip realitas (reality principle). Ego

terbentuk pada struktur kepribadian individu sebagai hasil kontak dari dunia luar

(Minderop, 2013:22).

Respons ego pertama yang terungkap dalam diri Qayyima yaitu ketika ego

mengatasi konflik antara tuntutannya dengan realitas, keinginan-keinginan dari id

yang ditahan oleh superego, akhirnya memunculkan sebuah tegangan yang dialami

Qayyima sehingga sulit diredakan melalui alam sadar, maka kondisi tersebut akan

muncul dalam alam bawah sadar yaitu mimpinya bertemu ibundanya. Mimpinya

tersebut dapat mengurangi tegangan yang ditimbulkan oleh id, kerena dorongan id

yang tidak bisa direalisasikan di kehidupan nyata. Hal tersebut dapat dicermati pada

kutipan berikut.

Ia terbangun karena mimpinya yang bercampur aduk. Ia sesenggukan.


Qayyima tak tahu harus bilang mimpinya barusan seperti apa. Rasa rindu,
indah, dan sedu sedan jadi satu. Ia memimpikan ibundanya.

Jarak wajahnya dengan wajah ibundanya sekitar sepenggal telapak tangan. Ia
rasakan benar napas harum ibundanya‒napas yang dulu mengembus saat
kecup sayang bertubi-tubi mendarat di penjuru wajah Qayyima. Tangan
keduanya saling memagut rindu tak tertahankan. Keduanya bersimpuh
berhadapan.

Sejauh mata memandang, hanya padang rumput dengan bunga-bunga
anturium yang asri di beberapa titik, bersapa batas dengan langit biru cerah.
Ia bernaung di bawah kanopi tudung yang harum bunga. Saat menengadah, ia
78

melihat krisantemum dan edelweiss bercumbu dalam atap yang sama. Ada
melati juga, wanginya semerbak merasuk relung jiwa (Purwanda, 2015: 75-
76).

Dari kutipan di atas terlihat bahwa mimpi tersebut merupakan representasi

dari konflik dan ketegangan dalam kehidupan Qayyima sehari-hari yang dialaminya,

yang sulit diredakan melalui alam sadar, maka kondisi tersebut akan muncul dalam

alam mimpi tak sadar. Rasa rindu pasti pernah dialami setiap orang, dan terkadang

rasa rindu datang kala kita berpisah atau terpisahkan pada objek yang kita anggap

berharga. Namun, kerinduan dan keinginannya untuk bertemu dengan sang Bunda,

tidak akan bisa terwujudkan di kehidupan nyata. Mimpi bertemu orang tua yang

sudah meninggal memberi arti besar dalam hidup, bahwa Qayyima masih belum bisa

melupakan kasih sayang dari mendiang ibundanya. Qayyima merasa sedih ditinggal

ibundanya, dan sekarang yang ia miliki hanyalah ayah dan ketiga adiknya.

Respons ego yang kedua dalam diri Qayyima yaitu keputusannya untuk

bekerja demi menghidupi keluarga dan dirinya dengan berjualan lukisan hasil

karyanya sendiri. Keputusannya tersebut telah memenuhi konsepsi ideal superego,

maka tanpa kenal lelah dengan keikhlasan dan penuh semangat, egonya terus saja

berjalan dari dalam dirinya, ambisinya untuk selalu kerja keras membanting tulang

dengan berjualan lukisan setelah pulang sekolah hingga petang dan kira-kira tiba di

rumah pukul delapan malam. Hal tersebut terbukti pada kutipan berikut.

“Bismillahirrahmanirrahim…,” ucap Qayyima berbisik kepada dirinya


sendiri. Ia harus segera berangkat untuk berdagang lukisan. Keburu datang
senja. Ya, berdagang lukisan yang ia buat sendiri. Selama ini memang selalu
begitu, sepulang sekolah, ia langsung membandar, tak langsung pulang. Ia
79

hanya langsung pulang ketika kondisi tubuhnya tengah tidak fit (Purwanda,
2015:17).

Sebuah hari saat hujan deras mendirus bumi Jakarta. Tampak seorang anak
berbaju SMA tergopoh membawa-bawa kardus persegi panjang. Anak itu
terlihat menggigil menahan dingin. Bajunya basah semua. Anak itu tak pernah
melepaskan kardus besar dari tangannya. Ia selalu membawanya meskipun
payah.
“Apa tu, Ma? Tak bisa sikit pun kau lepaskan?” Tanya Encik dengan logat
Melayu yang kental.
Qayyima tertunduk malu. “Ini… lukisan, Encik…”
“Lukisan siape?”
“Sa… saya, Encik… saya jualan lukisan ini…,” jawab Qayyima gugup.
Encik pun mengerutkan dahinya. Di Jakarta masih ada rupanya anak seperti
ini: mencari uang sendiri untuk bayar sekolah dan beli makan.
Sepulang sekolah ia akan langsung berjualan. Jika belum laku, lukisannya ia
titipkan ke toko Encik, kemudian langsung pulang. Biasanya ia pulang ke
rumah sekitar pukul delapan malam dengan mengayuh sepedanya (Purwanda,
2015: 18-19).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa dengan segala keterbatasannya Qayyima

berjuang untuk tetap hidup dengan cara berjualan lukisan. Setiap pulang sekolah

Qayyima mampir ke toko Encik Ling untuk mengambil lukisannya, karena lukisan-

lukisannya tersebut tentu tidak bisa ia bawa ke sekolah, maka seringnya dia titipkan

di toko tersebut yang berada di perempatan besar dekat sekolah. Setelah mengambil

lukisannya di toko Encik, barulah Qayyima pergi untuk menjual lukisannya, dan

biasanya ia berdagang di bawah kolong flyover Ciputat seperti terlihat pada kutipan

berikut.

Qayyima‒setelah mampir shalat Asar terlebih dahulu di sebuah


Mushala‒mengayuh sepedanya menuju kolong flyover Ciputat. Masih
berseragam sekolah, di sanalah ia bisa menghabiskan senja dengan berdagang
lukisan karyanya sendiri. Ia berhenti di sebuah bilangan, di samping gerobak
siomay (Purwanda, 2015:24).
80

Respons ego ketiga yang terlihat pada tokoh Qayyima yaitu keputusannya

untuk menerima siomay yang diberikan oleh Bu Ratna. Qayyima saat itu merasakan

lapar ketika sedang berjualan lukisan di kolong Flyover Ciputat, karena sudah

seharian ia tidak melahap apa pun untuk sekadar mengganjal perutnya. Seperti yang

terlihat pada kutipan berikut.

Selesailah pembuatan seporsi siomay. Wanita itu pun langsung


memberikannya kepada Qayyima. Qayyima melongo saja. Ia tak mengira
bahwa wanita itu benar-benar niat membelikannya sepiring siomay.
“Ma…makasih, ya, Bu,” ucap Qayyima terpatah-patah.
Ibu itu santai saja. “Iya, Nak… tenang aja, itu nggak termasuk nanti ongkos
lukisnya, kok,” kata ibu itu sambil tersenyum.
Qayyima mengangguk, kemudian mulai menikmati siomay itu (Purwanda,
2015:30).

Kutipan di atas menunjukkan keputusannya menerima siomay atas dasar

pertimbangan superego, yang mana Qayyima awalnya berpikir dia akan merasa malu

jika asal langsung ambil saja, karena ia baru pertama kali bertemu dengan Bu Ratna.

Qayyima pun yakin, jika memang siomay itu rezekinya maka pasti akan

menghampirinya. Namun, karena Qayyima tidak mengira bahwa Bu Ratna benar-

benar niat membelikannya sepiring siomay, dengan meracik dan menyerahkannya

sendiri kepadanya, akhirnya ia dengan senang hati menerima siomay tersebut.

Respons ego yang keempat adalah Qayyima memutuskan untuk menerima

tawaran wawancara dari Bu Lisa. Pada saat itu, Qayyima mendapat tawaran

wawancara dari Bu Lisa, seorang pemilik sebuah galeri seni yang kebetulan

atasannya Bu Ratna, yang pernah memberikan siomay kepada Qayyima. Karena

ketertarikan Bu Ratna pada lukisan Qayyima, ia menceritakannya kepada Bu Lisa,


81

dan akhirnya Bu Lisa berniat memajang lukisan Qayyima di galerinya. Selain itu, Bu

Lisa menawarkan wawancara pekerjaan kepadanya dengan catatan Qayyima harus

menceritakan kehidupannya selama ini. Awalnya Qayyima menolak karena ia

berpikir ketika ia menceritakan kehidupan yang ia jalani selama ini akan membuat

seseorang merasa kasihan padanya, namun setelah mendengar cerita bahwa Bu Lisa

pun memulai karirnya dari bawah akhirnya ia membuat keputusan untuk menerima

tawaran tersebut. Atas bakat melukis Qayyima seperti pelukis dunia, ia bisa

mewujudkan keinginannya untuk menjadi pelukis terkenal (guru lukis), dengan jam

terbang yang tinggi dan bisa mengajar di berbagai tempat. Hal tersebut dapat

dicermati melalui kutipan berikut.

Kutipan 1

Besok bisa, ya? Tanya bu lisa memastikan.


Bisa, Bu. Di mana?
Bu lisa merogoh kantong gamisnya, kemudian mengeluarkan dompet. Dari
sana ia keluarkan selembar kartu nama. Ia serahkan kepada Qayyima. Anak
itu pun sejenak membaca kartu nama tersebut.
Lisa Purwanditya, Art Director Al-Fann Art Gallery.
Qayyima pun mengangguk lagi. “Oke deh, Bu. Insya Allah besok saya datang
ke sana” (Puwanda, 2015:102).
Kutipan 2

Regina langsung menghambur ke dapur sambil membawa piring makannya


yang telah kosong. Qayyima pun langsung melanjutkan sarapannya, setelah
itu berangkat ke galeri, memenuhi undangan wawancara Bu Lisa.

Qayyima baru saja selesai wawancara dengan Bu Lisa. Ia diantar ke pintu
keluar oleh Bu Lisa dan Bu Ratna. Langkah mereka pendek-pendek karena
seolah wawancara di dalam tadi tak cukup untuk mencecar Qayyima dengan
pertanyaan-pertanyaan (Purwanda, 2015: 155-157).
82

Beberapa kutipan di atas menunjukkan bahwa Qayyima telah selesai

melakukan wawancara dengan Bu Lisa. Qayyima menceritakan kehidupan sehari-

harinya sampai kali pertama ia bisa melukis. Melalui Bu Ratna dan Bu Lisa nanti

Qayyima akan bekerja di Galeri seni Bu Lisa seperti kutipan berikut.

Bu Ratna pun yakin, anak dipelukannya ini juga kelak bisa menjadi anak yang
sukses. Ia berbakat, masa depannya cerah. Ia tak mau anak ini harus
mengecap pahitnya kemiskinan lama-lama.
Ia bertekad, suatu hari nanti akan membuat anak itu berada di tempat yang
kini ia berada padanya‒pencapaian impian yang ia impikan sendiri
(Purwanda, 2015:40).

Bu Lisa tak hentinya mengucap kagum dalam hatinya. Senyum terus
tersungging di bibirnya. Pembicaraan itu berjalan sampai beberapa saat
berikutnya.
Dari sana, Bu Lisa semakin memahami bahwa Qayyima memang anak yang
sangat sederhana. Walau awalnya malu-malu, ia sesungguhnya tak minder
dengan kehidupannya yang seperti itu. Ia justru bangga karena bisa
menghidupi keluarganya melalui tangannya sendiri meskipun ia memilih
untuk menutupi kehidupannya, sehingga tak banyak orang yang tahu. Bu Lisa
menatap dalam matanya, dan padanya ia menemukan kekuatan serta
ketegaran (Purwanda, 2015:205).

Dari beberapa kutipan di atas menunjukkan sebuah tindakan Qayyima

menemui Bu Lisa untuk wawancara. Qayyima menerima tawaran wawancara dan

menceritakan kehidupan yang selama ini ia jalani.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ego dalam diri Qayyima

terpenuhi. Ketika keinginannya untuk bertemu dengan ibunda terealisasikan dalam

mimpi. Kebutuhan id nya seperti makan, keinginannya terlepas dari kemiskinan ia

realisasikan dengan bekerja dan telah memenuhi konsepsi ideal superego, serta

keinginannya untuk menjadi guru lukis terpenuhi dengan menerima tawaran

wawancara dari Bu Lisa.


83

c. Superego

Superego adalah aspek sosiologis kepribadian yang berisikan nilai-nilai dan

aturan-aturan yang bersifat evaluatif (menyangkut baik-buruk), yang memakai prinsip

idealistik (idealistic principle) sebagai lawan dari prinsip kepuasan id dan prinsip

realistik ego. Superego juga mengacu pada moralitas kepribadian. Superego sama

halnya dengan hati nurani yang mengenali baik dan buruk. Superego merupakan

sebuah pertimbangan yang dilakukan seseorang sebelum mengambil sebuah tindakan

dalam hal memenuhi tuntutan idnya (Suryabrata, 2006:127-128).

Respons superego pertama yang tergambar pada diri Qayyima adalah ketika ia

menerima dengan ikhlas kepergian ibundanya, Qayyima yakin ibundanya akan

bahagia di alam sana. Sosok ibu memang sangatlah penting dalam keluarga, dan

kepergian ibundanya yang begitu tiba-tiba meninggalkan kenangan yang sulit

dilupakan oleh Qayyima. Namun, Qayyima mampu mendorong id dan egonya untuk

merealisasikan kebenaran agar mencapai tujuan yang sesuai dengan prinsip moralitas

superego. Qayyima berpikir bahwa keinginan untuk bertemu dengan bundanya tidak

akan pernah menjadi kenyataan. Ibundanya yang sudah meninggal tidak akan bisa

kembali lagi di kehidupan nyata. Hal tersebut dapat dicermati pada kutipan berikut.

Mimpi tentang sesuatu bisa saja memiliki takwil yang sama sekali lain. Begitu
pun bagi Qayyima. Ia hanya menganggap mimpinya bertemu kembali dengan
sang ibunda di sebuah malam berhujan itu sebagai letup rindu yang
mengkristal, toh hal itu pun tidak akan pernah terjadi. Sang ibunda sudah
tenang di persemayamannya (Purwanda, 2015:240).
84

Respons superego kedua yang melingkupi tokoh Qayyima adalah ketika ia

teringat pesan atau nasehat dari ibundanya bahwa hidup di dunia harus penuh dengan

kesabaran, menerima kenyataan, dan menjalaninya dengan kerja keras, doa, tawakal,

dan ikhlas. Qayyima harus menghidupi keluarganya, dan berjuang menghadapi

kekalutan batinnya, terlebih ibundanya yang menjadi penyemangatnya telah tiada.

Sebenarnya Qayyima merasa lelah dengan apa yang telah ia jalani selama ini, tetapi

di sisi lain justru ia menyadari apa yang terjadi adalah kebaikan dari Tuhan. Atas

dasar pengaruh superego, Qayyima dengan ikhlas dan penuh semangat dalam bekerja,

karena sebelumnya yang memenuhi tanggung jawab tersebut adalah ayahnya dan

sekarang saatnya Qayyima menggantikan posisi tersebut. Keputusan tersebut

memenuhi tuntutan id yang juga mendapat pengaruh dari superego, oleh karena itu

Qayyima menuruti hati nuraninya untuk melakukan sesuatu yang baik sesuai konsep

ideal superego. Hal tersebut dapat dicermati pada kutipan berikut.

“Ima lelah… sepeninggal Bunda, Ima harus menghidupi Shabira, Zhafira,


Rahma, dan Ayah yang sedang sakit keras” (Purwanda, 2015:76).

“Ima sayang, setelah mengeluh begitu, lalu apakah Ima akan terus mengeluh
tentang hidup, padahal hidup akan terus bergulir tanpa menghiraukan
keluhanmu? Apakah Ima akan terus berkata tentang kerapuhan jiwamu,
sedangkan satu-satunya yang bisa menegakkan jiwamu kembali adalah dirimu
sendiri… Lihatlah, bagaimana Rasulullah mengajarkanmu tetap bertahan saat
kedua orangtuanya tak ada di sisinya, lantas apakah Ima akan mengatakan
bahwa Ima tak ada pegangan?”
“Ima sayang, hidup akan selalu keras menempamu, dan percayalah, hiduplah
yang akan menempamu jadi baja mulia… (Purwanda, 2015:77-78).
85

Respons superego ketiga yang ada dalam diri Qayyima adalah saat Qayyima

mempertimbangkan menerima tawaran siomay dari Bu Ratna untuk mengambilnya

atau tidak, karena ia telah seharian berdagang lukisan namun belum memakan apa

pun untuk mengganjal perutnya. Hal tersebut membuat perutnya terasa lapar.

Namun, Qayyima berpikir tentu ia akan malu jika langsung asal ambil saja. Qayyima

yakin, jika memang sudah rezekinya pasti tidak akan kemana dan akan

menghampirinya. Keputusan tersebut adalah pengaruh dari superego yang dapat

dibuktikan pada kutipan berikut.

Qayyima sedikit terkejut. Sejenak ia dengarkan irama lapar dari perutnya yang
sedang keroncongan hebat. Ia tak memungkiri bahwa ia tengah kelaparan
karena siang tadi ia tak melahap apa pun untuk sekadar mengganjal perutnya
yang perlu diisi. Namun, tentu ia malu jika langsung asal ambil saja. Toh jika
memang rezekinya, pasti siomay itu juga akan mendarat ke lambungnya yang
perih. Jika bukan, pasti akan ada rezeki yang lain yang akan tiba untuknya.
Qayyima yakin itu (Purwanda, 2015:28-29).

Respons superego yang keempat terlihat pada tokoh Qayyima tergambar pada

saat ia masih mempertimbangkan apakah akan menerima tawaran wawancara dari Bu

Lisa atau tidak. Qayyima berpikir tuntutan untuk menceritakan kehidupannya selama

ini pada Bu Lisa akan menimbulkan rasa kasihan. Namun, setelah Bu Lisa

menceritakan proses dan perjuangan kehidupannya dulu yang memulai karirnya dari

bawah, hingga mencapai kesuksesannya yang sekarang ini, membutuhkan mental

yang kuat hingga akhirnya atas pengaruh tersebut Qayyima berubah pikiran dan

menerima tawaran wawancara dari Bu Lisa. Hal itu dapat dicermati pada kutipan

berikut.
86

Saya mau di wawancara, Bu? Tanya Qayyima.


Bu Lisa mengangguk semangat sambil tersenyum. “Iya, Ma, wawancara…
tapi tenang, jangan dibawa grogi. Anggap saja kayak obrolan biasa.”
Qayyima tertunduk, menatap lantai. Bibirnya menyunggingkan senyum.
“Coba, dong, cerita tentang kehidupan kamu…”
Qayyima menatap Bu Lisa dengan wajah memerah. Ia malu. “Jangan, ah,
Bu… saya malu. Saya bukan siapa-siapa.”
“Eeeh, jangan begitu, ah. Anggap saja Ibu seperti ibumu sendiri. Cerita saja…
Ibu akan mendengarkan.”
“Jangan, Bu…”
Bu Lisa merayu. Rasa ingin tahunya memuncak. Ingin sekali ia mendapatkan
cerita bagaimana kali pertama ia bisa melukis, kesehariannya hingga kini.
Namun, Bu Lisa pun pada akhirnya menyadari bahwa Qayyima seperti tengah
membangun benteng raksasa, yang melaluinya pun tidak mudah.
Kehidupannya seperti harta karun yang terlindung, tak tersentuh (Purwanda,
2015:200).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Qayyima seperti tengah membatasi

dirinya, hingga orang lain yang ingin mengetahui latar belakang dirinya pun tidak

mudah. Kehidupannya seolah harta karun yang terlindung, tidak tersentuh. Alasan

mengapa Qayyima tidak ingin menceritakan latar belakang kehidupannya selama ini

kepada orang lain, jawabannya adalah kepiluan hidup, ia tidak ingin merasa

terkasihani. Di mana ia harus bekerja sepulang sekolah demi menghidupi

keluarganya, karena di dalam rumahnya yang terbuat dari kayu rapuh itu ada keluarga

kecil Qayyima yang sedang lapar. Perhatikan kutipan di bawah ini.

Hidup Bu Lisa juga dirintis dari bawah. Aslinya, ia berdarah Minang


meskipun nama panjangnya berbau Jawa. Ia merantau ke Jakarta dulu untuk
berkuliah karena mendapatkan undangan ujian di salah satu universitas negeri
di Jakarta. Ongkosnya hasil jerih payahnya sendiri, dulu ia berjualan roti di
sekolahnya tiap pagi. Ia pun akhirnya berhasil mengambil kuliah seni rupa
yang sesuai minatnya, dengan beasiswa yang ujiannya ia ikuti kemudian.
Sayangnya, beasiswa yang didapatkannya hanya untuk biaya kuliah,
sedangkan untuk biaya hidup, ia harus mencari uang sendiri. ia pantang
meminta kepada orangtuanya.
87


Ia pun mencoba beberapa cara guna menyambung napas hidupnya. Dari
menjadi loper koran sampai menjadi tukang gorengan, semuanya pernah ia
jajal. Hidupnya berubah saat ia melihat ke dalam dirinya sendiri, mengapa
tidak memaksimalkan potensi yang ada di dalam dirinya?... (Purwanda, 2015:
201-202).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa hidup Bu Lisa juga dirintis dari bawah,

dari menjadi loper koran sampai menjadi tukang gorengan. Hidup Bu Lisa berubah

saat ia menggunakan skill dan memaksimalkan potensi dalam dirinya hingga

sekarang ia bisa menikmati pekerjaannya yaitu menjadi Direktur Seni di galeri Al-

Fann. Akhirnya, setelah mendengar penuturan Bu Lisa tentang hidup masa kecilnya,

Qayyima mau menerima tawaran wawancara dan menceritakan kehidupannya atau

kesehariannya sampai kali pertama ia memiliki bakat melukis. Melalui Bu Lisa nanti

Qayyima akan bekerja di Galeri Seni Bu Lisa, dan bisa meraih impian dan

kesuksesannya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, yang pertama superego dalam

diri Qayyima adalah merintangi dorongan id atas keinginannya untuk bertemu dengan

ibundanya, sehingga Qayyima menyadari bahwa sikapnya tersebut salah karena

ibundanya telah meninggal dan tidak akan pernah bisa kembali lagi di kehidupan

nyata. Superego dalam diri Qayyima cenderung mendorong ego untuk lebih mengejar

hal-hal yang moralitas yaitu mengalihkan kerinduannya dengan cara melukis,

sehingga superego berhasil mendorong ego untuk memenuhi konsepsi idealnya.

Kedua, keinginan Qayyima untuk terlepas dari kemiskinan membuatnya mengambil

keputusan untuk bekerja dengan berjualan lukisan. Ketiga, keinginan ego untuk
88

menghilangkan rasa lapar adalah untuk memenuhi tuntutan id agar ketegangan yang

ia rasakan akibat lapar terpenuhi, yaitu dengan menerima tawaran siomay dari Bu

Ratna atas dasar pertimbangan bahwa Bu Ratna memang benar-benar niat

memberikan siomay itu kepada Qayyima, dan ia yakin bahwa jika itu rezekinya pasti

akan menghamipi dirinya. Keempat, keinginannya menjadi guru lukis membuat ia

mempertimbangkan untuk menerima tawaran wawancara dari Bu Lisa, dan akhirnya

superego mendorong ego untuk melakukan tindakan yang bisa memenuhi tuntutan id

itu.

Berdasarkan sturktur kepribadian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

terdapat keseimbangan antara id, ego, dan superego yang dialami oleh tokoh

Qayyima. Superego cenderung menuntun ego agar memenuhi tuntutan id dengan

menggunakan konsep idealnya, yaitu memerhatikan aspek sosiologis yang

berkembang di masyarakat, sehingga ketegangan-ketegangan dalam diri Qayyima

dapat terpenuhi.
89

4.1.1.3 Analisis Data Tipe Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel Kanvas

Karya Bintang Purwanda

Dalam teori kepribadian yang dikemukakan oleh Galenus, terdapat empat tipe

kepribadian manusia, yaitu: koleris, melankolis, phlegmatis, dan sanguinis

(Suryabrata, 2006:12). Keempat kepribadian tersebut memiliki karakteristiknya

tersendiri. Seperti yang telah diketahui pada pembahasan sebelumnya, pusat

penceritaan dan masalah dalam novel ini adalah tokoh utama yang diperankan oleh

Qayyima Salimah.

Qayyima adalah gadis muda yang masih sekolah di SMA Khidmat Negeri,

karena himpitan perekonomian dan kondisi orang tua yang sudah tidak dapat bekerja

membuat ia harus berjualan lukisan hasil karyanya sendiri. Titik balik hidupnya

dimulai saat ibundanya meninggal dunia pasca melahirkan adiknya yang ketiga.

Setelah Qayyima ditinggal oleh ibundanya, ia harus berjuang untuk menghidupi

ayahnya yang sedang stroke dan ketiga adiknya. Seandainya ibundanya masih hidup,

mungkin semua akan berbeda. Sudah lama ia tidak bertemu ibundanya tersebut.

Betapa sangat merindunya Qayyima hingga membuat ia terus memimpikan

ibundanya, dan masih belum bisa melupakan kasih sayang dari mendiang Bunda.

Qayyima sekarang hanya memiliki ayah dan ketiga adiknya. Betapa ia sangat

mencintai ayahnya. Baginya, orang tua adalah hal yang tidak tergantikan. Perjuangan

orang tua dalam mendidik Qayyima membuat baik budi luhurnya, dan mencintai

orang tuanya.
90

Saat itu ia harus memenuhi panggilan wawancara dari seorang pemilik Galeri

Seni, tetapi kecemasan terus menerus hadir dipikirannya. Ketika perjalanan pulang

dari wawancara, ia mendapati rumahnya terbakar dan bayangan ayahnya yang sedang

sakit dan ketiga adiknya berkelebatan di benaknya. Ia takut jika orang yang

disayanginya ikut terbakar. Kecemasan itu akhirnya berwujud duka saat mengetahui

ayahnya meninggal dalam kebakaran tersebut, hanya ketiga adiknya yang selamat.

Qayyima tidak pernah mengira akan kembali merasakan kehilangan, bahkan setelah

kepiluan bertubi-tubi menghampirinya. Namun, jika ada satu hal yang selalu diyakini

Qayyima, itu adalah bahwa hidup selayaknya dijalani dengan kerja keras, doa,

tawakal, dan ikhlas.

Dari berbagai macam problematika yang Qayyima alami inilah yang secara

tidak langsung membangun kepribadian tokoh ini. Dari analisis penokohan terhadap

Qayyima, ditemukan sembilan sifat Qayyima yakni cerdas, pekerja keras, berbakat,

tenang, tidak mudah terpengaruh, sukar marah, dan sabar, memiliki ingatan yang

baik, serta mampu berdiri sendiri tanpa banyak bantuan orang lain.

Dari penjabaran analisis penokohan Qayyima, dapat dilihat bahwa Qayyima

bukanlah seseorang dengan kepribadian sanguinis. Selain itu, Qayyima bukanlah

orang yang mampu mengungkapkan segala perasaannya kepada sembarang orang.

Juga, Qayyima bukanlah orang yang memiliki kepribadian koleris dan melankolis.

Dengan begitu, Qayyima memiliki kepribadian sebagaimana orang phlegmatis.

Seperti halnya manusia, tokoh-tokoh dalam sebuah kisahan pun memiliki banyak
91

sifat. Pada analisis sebelumnya, penulis telah menganalisis sifat-sifat Qayyima, tokoh

utama dalam novel ini, yang dikategorikan ke dalam kepribadian phlegmatis.

Menurut Suryabrata (2006:14), phlegmatis memiliki ciri tenang, tidak mudah

terpengaruh, setia, santai, sukar marah, dingin dan sabar, berbicara singkat namun

mantap, rajin, cekatan, memiliki ingatan yang baik, serta mampu berdiri sendiri tanpa

banyak bantuan orang lain.

Salah satu ciri utama dari seseorang yang plegmatis adalah selalu sabar.

Memelihara sifat sabar ternyata bukan hanya membuat hati tidak cepat dipenuhi rasa

marah, tetapi juga meningkatkan kualitas kesehatan fisik. Orang yang sabar biasanya

lebih tenang, relaks, dan menikmati hidup. Sifat seperti ini adalah sebuah sikap yang

baik dalam diri seseorang, karena dengan kesabaran jiwa seseorang akan tenang dan

tidak mudah goyah saat mendapat cobaan atau masalah, dia akan lebih berhati-hati,

dan tetap semangat dalam menghadapi masalah hidup. Di dalam hidup ini kadang

kesabaran diuji oleh sebuah permasalahan yang terjadi atau dialami. Kesabaran dalam

hidup begitu sangat penting untuk dimiliki dan dapat diterapkan dalam hidup

seseorang, seperti dengan bersabar kita dapat berpikir positif atas sebuah hal yang

terjadi dalam kehidupan. Hal tersebut terjadi pada diri Qayyima, yaitu

keberhasilannya dalam mewujudkan impiannya untuk menjadi guru lukis yang bisa

mengajar di berbagai tempat. Lewat sifat inilah, pengarang ingin menunjukkan

kepada pembaca bahwa seseorang yang memiliki sifat sabar akan mengerti tentang

kehidupan yang sebenarnya. Kesabaran juga akan mengajarkan seseorang untuk tetap

optimis menjalani hidup dalam meraih sebuah keberhasilan atau impian, dengan terus
92

berusaha meraih kesempatan yang ada demi memperjuangkan apa yang diinginkan

agar menjadi kenyataan.

Namun, terkadang sikap sabarnya mengarahkan Qayyima kepada sesuatu

yang agak negatif. Sabar dalam menghadapi suatu masalah memang baik, tetapi tidak

dengan menghindari masalah tersebut. Salah satu contohnya adalah ketika terjadinya

konflik dengan Regina perihal sahabatnya itu meminta diceritakan tentang sejarah

perang dunia II untuk ia ringkas dalam memenuhi tugas di sekolah, dan Regina

memintanya untuk mengerjakan di rumah Qayyima, namun Qayyima menolak dan

tidak memberikan alasan yang jelas, dengan harapan bahwa sahabatnya itu akan

paham dan mengerti sendiri. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut.

“Ima, ajarin aku, dong… udah tinggal lusa soalnya, nih, besok, kan,
tanggal merah, terus besok paginya lagi pas masuk, kan, harus sudah
dikumpulin,” rayu Regina dengan mulut yang manyun.
Qayyima tersenyum saja. “Ayo, Gin, di sini saja, biar nanti aku cerita,
kamu catat yang penting-penting,” Jawab Qayyima.
“Ih, nggak mau, ah… jangan di sini. Di rumahmu, dong, bujuk Regina.
Qayyima mendadak terdiam. “Aku nggak bisa, Gin. Lebih baik di sini
aja, ya…,” jawab Qayyima dengan berbisik. Matanya menyorotkan
sesuatu tetapi sahabatnya itu belum kunjung mengerti.
Regina yang belum paham jadi semakin merengut. Qayyima menghela
napasnya pelan dengan menggenggam kedua tangan Regina yang masih
ngambek.
“Aku mohon, Regina, aku cuma mau kamu paham dan mengerti. Aku
nggak bisa mengajakmu ke rumah,” jawab Qayyima pelan.
“Memangnya kenapa, sih, Ma… sampai kamu nggak mau nunjukin ke
aku rumah kamu kayak gimana. Kamu malu? Terus, kamu masih
nganggap aku seperti orang lain? tukas Regina ketus.
“Aku…” Qayyima kehabisan kata-kata. bagaimanapun, ia tak mau
sahabatnya tahu bahwa ia hidup di sebuah rumah yang kumuh, dan harus
menghidupi keluarganya dengan berjualan lukisan.
93

Qayyima terdiam cukup lama, sampai akhirnya Regina melepaskan


genggaman tangan Qayyima di tangannya, kemudian melengos pergi
pulang (Purwanda, 2015:95).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Qayyima bukanlah seseorang yang

mudah mengungkapkan perasaannya. Ia akan memendam perasaannya jauh di lubuk

hatinya yang paling dalam hingga ia menemukan waktu dan orang yang tepat untuk

mengungkapkan apa yang dirasakannya selama ini. Hal tersebut akhirnya membuat

Qayyima menunda dan menggantungkan masalah sehingga berharap masalah tersebut

dapat selesai seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini dapat dicermati melalui

kutipan berikut.

Tinggal Qayyima di kelas sendirian. Ia sengaja tak mengejarnya karena


hal itu dilematis.

Ia menghela napas, kemudian membereskan tasnya. Ia yakin masalah ini
bisa terselesaikan besok-besok saat ia bersua dengan Regina lagi
(Purwanda, 2015:95).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Qayyima terlihat bimbang dengan adanya

ketidaknyamanan akibat desakan oleh sahabatnya itu. Namun, mengulur-ulur waktu

dan masalah adalah tindakan yang tidak bijaksana. Sesulit apa pun masalah yang

dihadapi saat itu, ia bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi harus diselesaikan.

Ada sebab mengapa Qayyima lebih memilih untuk memendam perasaannya,

yakni karena ada rasa ketakutan yang akan terjadi di masa mendatang apabila ia

mengungkapkan perasaannya seperti pada kutipan berikut.

Ia tahu sekali bahwa Regina tipikal orang yang jika sudah ngambek, apa
yang ia kehendaki harus dituruti. Padahal, Qayyima tak mau jika
kehidupannya jadi terbalas kata kasihan. Ia tak mau jadi orang yang
94

meminta belas kasihan seperti yang ada di pinggiran jalan di luar sana. Ia
tak ingin menjadi pengemis kasihan yang kelak akan dikumpulkan pada
hari akhir nanti dengan wajah tak berdaging‒seperti yang disabdakan
Rasul (Purwanda, 2015:95).

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Qayyima tidak ingin apabila sahabatnya

itu mengetahui tentang kehidupannya yang jauh dari kata layak, yang akan

menimbulkan rasa kasihan. Selain itu, ketakutan bahwa orang yang telah Qayyima

ajak berbicara tentang perasaannya akan membocorkan isi pembicaraan tersebut. Hal

ini dapat dicermati pada kutipan berikut.

“Regina…, aku mohon, jangan ceritakan ini kepada siapa pun. Aku tak
mau orang-orang tahu bahwa kehidupanku di luar sekolah seperti ini. Aku
tak mau.” Qayyima berbisik (Purwanda, 2015:124).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Qayyima selalu merasa takut dan

khawatir tentang hal-hal di hidupnya. Selama ini ia dapat menyembunyikan emosi

yang dimilikinya, baik sedih maupun senang semuanya dapat ditutupi dengan baik,

sehingga Regina pun tidak mengetahui perihal kehidupan Qayyima selama ini, karena

di depan sahabatnya itu, ia tidak pernah menunjukkan sikap sedih maupun mengeluh.

Dari beberapa penjelasan sebelumnya, terlihat sikap Qayyima yang introvert.

Seandainya jika ia mampu mengutarakan apa pun yang ia rasakan, setidaknya akan

mengurangi beban dalam hidupnya, paling tidak ia bisa bertukar pikiran dengan

sahabatnya itu, sehingga ia mampu berpikir positif terhadap apa pun yang terjadi.

Karena sebagian besar tindakan yang orang ambil juga atas masukan atau nasehat

dari orang lain.


95

4.2 Pembahasan

Melalui hasil penelitian di atas, dapat dideskripsikan bagaimana kepribadian

tokoh Qayyima dalam novel Kanvas karya Bintang Purwanda kajian psikologi sastra.

Dalam novel, Qayyima digambarkan sebagai gadis remaja yang hidup sederhana

dengan segala keterbatasan materi. Sejak ibundanya meninggal dan ayahnya terkena

stroke, ia harus menjadi tulang punggung bagi keluarganya.

Hidup miskin atau susah rasanya bukanlah mimpi semua orang, sebaliknya

setiap orang menginginkan yang terbaik dalam hidupnya. Begitu pun Qayyima, Ia

ingin bekerja dan menghasilkan banyak uang agar terlepas dari kemiskinan yang ia

alami, memiliki kehidupan yang layak, dan tidak kekurangan makanan. Qayyima

membuktikan bahwa kemiskinan adalah cobaan yang harus dihadapi dengan sabar

dan tegar. Keputusan tersebut membawa pengaruh besar terhadap dirinya, yang

memunculkan konsep diri yang positif seperti terlihat lebih optimis, menghargai diri

sendiri, dan penuh percaya diri.

Ada banyak dorongan atau keinginan yang bisa memengaruhi hidup

seseorang terlebih di usia remaja. Pada dasarnya keinginan tersebut akan

terealisasikan jika ego-nya dapat mengontrol id itu sendiri. Id yang ada dalam diri

Qayyima adalah keinginannya untuk terlepas dari kemiskinan, yang tidak lain agar

impiannya juga terwujud yaitu menjadi guru lukis dengan bayang-bayang ia bisa

mengajar ke berbagai wilayah. Keinginan Qayyima terus bergulir hingga mendorong

egonya untuk berjuang mempertaruhkan hidup demi sambung napas dirinya dan

keluarganya.
96

Dari pandangan psikologis, manusia mana pun pasti ingin lepas dari

kemiskinan, termasuk Qayyima, karena jelas usaha Qayyima dengan giat untuk

menjadikan lukisan sebagai mata pencaharian itu sebagai bentuk upaya menghidupi

keluarganya. Ketika remaja lainnya masih ingin bersenang-senang, Qayyima berbeda.

Ia mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki keinginan yang memberikan manfaat

bagi orang lain. Seiring bertambahnya usia, seseorang dituntut untuk bisa mengurus

dan mencukupi dirinya sendiri. Menjadi mandiri berarti seseorang memiliki

kebebasan untuk menjadi diri sendiri dan dapat belajar dalam memecahkan

permasalahan. Kemandirian itu menjadi pembuka jalan bagi Qayyima untuk meraih

kesuksesan, mendapati gelar menjadi pelukis terkenal. Sehingga dorongan-dorongan

id telah terpenuhi oleh ego, dan sesuai dengan konsep ideal superego.
BAB V

PENUTUPAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tokoh utama dalam novel Kanvas

karya Bintang Purwanda, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

Fakta cerita dalam novel Kanvas karya Bintang Purwanda terdiri atas alur,

tokoh dan penokohan, serta latar. Alur dalam novel adalah alur maju. Tokoh dalam

novel ini yang mempunyai peranan sebagai tokoh utama adalah Qayyima Salimah.

Latar dalam novel berada di Jakarta. Waktu penceritaan terjadi ketika pagi Qayyima

bersekolah, sore berdagang lukisan, petang berbakti kepada ayahnya, malam ia

beribadah, dan melukis hingga terbit fajar. Latar sosial dalam novel adalah toleransi

antara umat beragama.

Terdapat id, ego, dan superego dalam diri Qayyima. Dorongan id pada diri

Qayyima ditandai ketika ia ingin bertemu dengan ibundanya, ingin terlepas dari

kemiskinan, ingin makan, dan ingin menjadi guru lukis terkenal. Respons ego

ditandai ketika Qayyima bermimpi bertemu dengan ibunya, keputusan untuk bekerja,

keputusan menerima makanan, dan keputusan menerima tawaran wawancara.

Respons superego ditandai ketika Qayyima ikhlas menerima kepergian ibunya, sabar

menerima kenyataan, pertimbangan menerima makanan, dan pertimbangan menerima

tawaran wawancara. Ada keseimbangan antara id, ego, dan superego yang dialami

Qayyima.

97
98

Dari analisis kepribadian Qayyima, ditemukan tipe phlegmatis dalam diri

Qayyima, yakni sabar, tidak mudah terpengaruh, sukar marah, memiliki ingatan yang

baik, serta mampu berdiri sendiri tanpa banyak bantuan orang lain.

Novel Kanvas karya Bintang Purwanda, lebih banyak mengisahkan tentang

seorang remaja muslimah bernama Qayyima dengan karakter keIslaman yang kuat,

yang belakangan ini sudah sangat jarang ditemui. Novel ini memunculkan tokoh

utama dengan sosok yang ideal, dan dibuat sebagai representasi role model seperti

apa remaja seharusnya. Secara kesukuan dan karakter wajah, Qayyima memiliki garis

keturunan Arab, meskipun tidak begitu kental lagi karena tidak berada di lingkungan

orang-orang keturunan Arab.

5.2 Saran

Beberapa saran yang dapat dikemukakan kepada pembaca, yaitu novel Kanvas

karya Bintang Purwanda memiliki nilai-nilai positif yang dapat dijadikan

pembelajaran serta pengalaman berharga bagi pembaca, sehingga novel ini bukan

hanya untuk sekedar dinikmati, tetapi juga dapat dimengerti oleh pembaca. Pembaca

dapat mengambil contoh yang baik dari berbagai peristiwa dan motivasi yang

tergambar dalam perilaku dan pikiran tokoh utama untuk dijadikan bekal dalam

berperilaku sehari-hari serta menjadi inspirasi dan semangat pembaca dalam

mencapai cita-citanya. Selain itu, bagi peneliti selanjutnya diharapkan mengadakan

penelitan yang lebih mendalam tentang novel Kanvas dengan topik permasalahan

yang berbeda seperti feminis dan lain sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2015. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Algesindo.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: Media


Pressindo.

Fajriah, Khoiriyatul. 2017. “Kepribadian Tokoh Utama Wanita dalam Novel Alisya
Karya Muhammad Makhdlori Kajian Psikologi Sastra.” Skripsi Sarjana Sastra
Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman. Tidak Diterbitkan.

Freud, Sigmund. 2018. Ego dan Id. Yogyakarta: Tanda Baca.

Hall, Calvin S. 2019. Psikologi Freud: Sebuah Bacaan Awal. Yogyakarta: IRCiSoD.

Harjito. 2005. Sastra dan Manusia: Teori dan Terapannya. Semarang: Rumah
Indonesia.

Ibrahim. 2015. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Maulana, Dasef. 2015. “Tipe Kepribadian pada Tokoh Utama dalam Novel Daun
yang Jatuh tak Pernah Membenci Angin karya Tere Liye dan Implikasinya
terhadap Pembelajaran Sastra di SMA Kajian Psikologi Sastra. Skripsi Sarjana
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah. http://repository.uinjkt.ac.id (diunduh pada 14
Februari 2019).

Minderop, Albertine. 2013. Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dan
Contoh Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Mukhat, dkk. 2000. Kontruksi ke Arah Penelitian Deskriptif. Yogyakarta: Avyrouz.

99
100

Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Purwanda, Bintang. 2015. Kanvas. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rokhmansyah, Alfian. 2014. Studi dan Pengkajian Sastra: Perkenalan Awal


terhadap Ilmu Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Rokhmansyah, Alfian. 2016. Pengantar Gender dan Feminisme; Pemahaman Awal


Kritik Sastra Feminisme. Yogyakarta: Garudhawaca.

Stanton, Robert. 2012. Teori fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.

Suryabrata, Sumadi. 2006. Psikologi Kepribadian. Jakarta: CV. Rajawali.

Susanti, Kristin. 2018. “Kepribadian Tokoh Utama dalam Novel Gelombang karya
Dewi Lestari Kajian Psikologi Sastra.” Skripsi Sarjana Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa.http://repository.ustjogja.ac.id/docload/kepribadian-
tokoh-utama-dalam-novel-gelomban9 (diunduh pada 14 Februari 2019).

Wayuningtyas, Sri dan Wijaya Heru Santosa. 2011. Sastra: Teori dan
Implementasinya. Yuma Pustaka: Surakarta.

Wellek, Rene dan Warren, Austin. 2016. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh
Melani Budianta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Yusuf, S., & Nurihsan, A. J. 2012. Teori Kpribadian. Bandung: Remaja Rosdakarya.
101

LAMPIRAN 1

IDENTITAS NOVEL

Judul Novel : Kanvas

Penulis : Bintang Purwanda

Penerbit : PT. Bentang Pustaka

Cetakan dan Tahun Terbit : Pertama / 2015

Tebal Buku dan Jumlah Halaman : VI + 249 halaman

ISBN : 978-602-291-026-8
102

LAMPIRAN 2
103

LAMPIRAN 3

RINGKASAN NOVEL

Qayyima Salimah nama panjangnya. Gadis berjilbab itu melawan arus yang

mengatasnamakan masa ABG, yang merempuh dari berbagai arah. Jilbab besar yang

ia kenakan bukanlah karena mengikuti organisasi Islam tertentu, melainkan karena

memang semata tunduk atas syariat Allah yang memerintahkan wanita muslim

menjulurkan kain jilbabnya melebihi dada. Banyak yang bilang, wajah Qayyima

serupa syarifah keturunan baginda Nabi Muhammad Saw. Bagaimana tidak, matanya

yang cantik, bulu matanya yang lentik, alisnya tegas, hidungnya bangir

menggemaskan. Padahal, dia orang pribumi. Pipinya agak tembam, tetapi tak ada

dampak berarti terhadap tubuhnya. Ia selalu berpakaian rapat menutup auratnya

karena terdidik sedari kecil.

Qayyima bersekolah di SMA Khidmat Negeri. Sekolah swasta yang tidak

begitu istimewa. Prestasi pendidikannya pun biasa saja. Biaya sekolahnya sok jual

mahal. Kebanyakan yang sekolah di sini adalah “anak-anak buangan”, yaitu mereka

yang tak lulus ujian masuk sekolah negeri. Qayyima bersekolah di tempat itu

sebetulnya bukan karena ia tak lulus ujian di sekolah negeri, melainkan karena

nasibnya yang tak menguntungkan. Ia tak beruntung masuk ke sekolah negeri karena

saat ia mau mendaftar, semua sekolah negeri sudah menutup pendaftaran. Padahal, ia

sesungguhnya anak yang cerdas. Pikirannya brilian.


104

Sejarah dan kesenian menjadi mata pelajaran favorit Qayyima. Jika jam

istirahat, ia betah duduk di pojok kelas berjam-jam, membaca buku sejarah. Jika tidak

sedang membaca buku sejarah, pasti tangannya tengah menggurat-gurat kertas,

melukis. Qayyima mewarisi bakat melukis dari sang ibu, ibunda yang ia rindukan.

Akan tetapi, beliau sudah tiada, wafat karena melahirkan adik terkecilnya, dan ini

adalah puncak kegelisahan bagi Qayyima. Ia seolah terjun bebas ke titik terendah dari

hidupnya.

Qayyima bukan dari keluarga yang mapan finansial. Ayahnya bernama Taufik

Haryanto, yang lumpuh karena stroke. Ibundanya bernama Lathifah, telah wafat lima

tahun lalu. Adiknya tiga: ada yang sepasang kembar, Shabira dan Zhafira, serta adik

bungsunya yaitu Rahma. Di Jakarta, tak ada kerabat dan saudara yang bisa membantu

keseharian mereka karena rumah saudara terdekat mereka, Paman Akmal, letaknya di

Cikarang yang jarak tempuhnya cukup melelahkan. Beliau adalah kakak ayahnya

yang paling besar, dan sejauh ini hanya dapat membantu lewat kiriman uang yang tak

banyak. Maka, untuk menghidupi mereka, Qayyima harus mencari uang sendiri

setelah pulang sekolah dengan berjualan lukisan hasil karyanya sendiri, uang yang ia

peroleh untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan tentu, untuk membayar SPP

bulanan sekolahnya.

Sehari-hari Qayyima berjualan lukisan dengan cara berkeliling dan sebagian

ada yang di titipkan kepada seorang wanita keturunan Tionghoa. Qayyima sering

memanggilnya Encik. Nama Tiongkok-nya Ang Mei Ling. Meskipun Encik

berkarakter emosional, namun ia tidak pernah menampakkannya kepada Qayyima. Ia


105

senang betul setiap pagi tokonya di singgahi Qayyima, si manis yang berjilbab,

walaupun hanya untuk menitip lukisan dagangannya.

Di kolong Flyover Ciputat, ia biasanya duduk termenung di depan lukisan-

lukisan yang dijualnya. Bayangan ayahnya yang sedang sakit dan ketiga adiknya

berkelebatan di benaknya. Bagaimana bisa dia mencukupi kebutuhan keluarga kalau

tidak ada yang membeli lukisannya, lukisan yang dia buat di sela-sela sekolahnya?

Seandainya ibunya masih hidup, mungkin semua akan berbeda. Kepergian ibunya

menjadi titik balik yang menjungkirbalikkan hidupnya. Semua terenggut darinya,

membuat Qayyima harus menjadi tulang punggung keluarga. Namun, jika ada satu

hal yang selalu diyakini Qayyima, itu adalah bahwa hidup selayaknya dijalani dengan

kerja keras, doa, tawakal, dan ikhlas.

Di suatu ketika, pada saat Qayyima sedang berjualan lukisan, ia menumpang

duduk di dekat pedagang siomay, panggil saja bang wahid. Lalu, ia bertemu dengan

salah seorang wanita yang bernama Bu Ratna. Pada saat itu, Bu Ratna meminta

dibuatkan sketsa wajahnya oleh Qayyima, dan tidak perlu memakan waktu lama

Qayyima berhasil menyelesaikannya, sehingga Bu Ratna memberikan perhargaan

atas apa yang telah Qayyima lakukan, yaitu dengan memberinya uang. Pertemuannya

dengan Bu Ratna membawa awal dari sebuah kebahagiaan bagi Qayyima.

Bu Ratna men-Chatting, menceritakan kepada Bu Lisa (pengelola di sebuah

galeri lukisan) melalui Facebook-nya, bahwa ia telah bertemu dengan seorang gadis

dengan kepandaian melukisnya yang menakjubkan. Akhirnya setelah menceritakan


106

Qayyima kepada atasannya, Bu Lisa berniat ingin menemui Qayyima sekaligus ingin

mewawancarainya. Esok harinya, mereka pergi ke tempat Bang Wahid untuk

menemui Qayyima, ternyata Qayyima ada. Setelah bertemu, berbincang-bincanglah

mereka, Bu Lisa memintanya untuk wawancara dan akhirnya Qayyima

menyetujuinya, dan Bu Lisa memberi alamat tempat yang harus Qayyima datangi

untuk wawancara.

Hari itu, Qayyima pergi memenuhi panggilan wawancara dari Bu Lisa ditemani

oleh Regina, sahabatnya. Regina adalah anak pertama dari dua bersaudara. Sedari

kecil ia sudah hidup berkecukupan, bahkan cenderung mewah. Hingga bagaimana

kemewahan itu seolah menjadi kebutuhan utama kehidupannya. Regina seorang

penganut Katholik yang taat, tiap minggu pagi ia rutin ke gereja mengikuti misa.

Regina berprinsip, ia deklarasikan suatu hari kepada dirinya sendiri, “jika memang

yang disampaikan oleh para pendeta itu adalah kebijaksanaan, aku akan

mengikutinya; dan, jika yang mereka sampaikan bukan kebijaksanaan, pada saat itu

pula aku sedang mencari kebijaksanaan dari apa yang mereka sampaikan.

Regina bersama Pak Narto (supirnya) mengantar Qayyima. Setelah sampai

galeri, Qayyima langsung diwawancarai oleh Bu Lisa, dan ditanya seputar

kehidupannya. Setelah wawancara, Qayyima berpamitan untuk segera pulang, di

tengah perjalanan Qayyima sangat gelisah dan teringat ayahnya. Ia meminta Regina

untuk cepat mengantarnya pulang ke rumah. Setelah sampai di gang rumahnya, ia

melihat orang-orang kampung berlarian ke berbagai arah. Ternyata ada kebakaran,

dan sumber kebakaran itu berasal dari rumah Qayyima. Qayyima sempoyongan, para
107

warga dan Pak RT berusaha menyelamatkan ayah Qayyima, namun sayang ayahnya

tidak terselamatkan, untungnya ketiga adiknya berhasil keluar menyelamatkan diri.

Kematian itu mendatangi ayahnya, merenggut kebahagiaan Qayyima yang tidak

terbalas. Qayyima terdiam dan memejam. Setelah pejamnya, yang kemudian

Qayyima lihat hanyalah kegelapan.

Mimpi tentang sesuatu bisa saja memiliki takwil yang sama sekali lain. Begitu

pun bagi Qayyima. Ia hanya menganggap mimpinya bertemu kembali dengan sang

ibunda dan ayahnya di sebuah malam berhujan itu sebagai letup rindu yang

mengkristal, toh hal itu pun tidak akan pernah terjadi. Sang ibunda dan ayah sudah

tenang di persemayamannya. Qayyima berharap, ibundanya bahagia bersama sang

ayah disana.

Beberapa bulan kemudian, Qayyima kini berada di kawasan Kota Tua, Jakarta.

Di depan Museum Fatahillah, memoriam sejarah terkadang masih bisa terkenang.

Qayyima sudah mulai berjalan menuju puncak karirnya sebagai pelukis yang handal.

Meskipun lukisannya banyak terbakar saat kebakaran di rumahnya, tetapi tidak

membuat ia berhenti melukis. Dengan bantuan Bu Lisa dan Bu Ratna, Qayyima mulai

sedikit demi sedikit bisa rutin menghidupi ketiga adiknya, setidaknya untuk

mengurangi beban Paman Akmal yang hingga kini menjadi pengasuh mereka

berempat. Qayyima kini sering bepergian ke berbagai kota untuk memenuhi tugas

dari Bu Lisa. Beberapa kali ia ditugaskan untuk pergi ke luar pulau, seperti ke Danau

Toba, Bunaken, Raja Ampat, dan lainnya. Itu semua untuk dilukisnya, yang

kemudian lukisan tersebut dipamerkan di galeri lukisan Al-Fann sebagai koleksi.


108

Qayyima juga sempat beberapa kali mengisi Workshop lukis di berbagai kota. Hal itu

setidaknya mewujudkan impiannya yang mulia: menjadi pengajar. Ia sudah

mendapatkan kesempatan itu meskipun masih duduk di bangku SMA.

Regina, sahabatnya itu kini sering diminta membimbing para mualaf yang baru

masuk Islam. Regina dulu seorang non-muslim, tetapi ia telah mendapat hidayah dari

Tuhan dan dengan persetujuan orang tua dan dibantu oleh Pak Mustofa (guru agama

di sekolah) serta Mushaf Al-Quran dan Qayyima yag selalu memberikannya petunjuk

atau nasehat sehingga ia sekarang menjadi seorang muslimah.

Qayyima membawa peralatan lukisnya di ransel sambil tangannya membawa

sebuah lukisan yang belum rampung sampai sekarang, lukisan yang ia kerjakan dulu

bersama ibundanya. Lukisan itu bercerita tentang sepasang ibu dan anak yang sedang

bergandengan tangan menuju cahaya. Latarnya bertutur tentang telaga penuh

ketenangan, dan langit bercahaya. Di atas telaga itu, terpancar sejalur jalan cahaya

menuju langit, keduanya menatap kirana. Di bawah pohon rindang, ia memasang

easel-nya, kemudian menaruh lukisan setengah jadi yang ia bawa pada kayu yang

menopangnya. Ia keluarkan peralatan lukisny, dan perlahan ia bersihkan kanvasnya

dari debu-debu yang tersisa, sampai akhirnya ia berhenti di pinggiran kanvas.

Qayyima mengernyitkan dahinya. Ada sebuah tulisan dari pensil, tulisan ibundanya.

Kalimat ekspresif, tetapi sederhana. “Kanvas, tempat kita melukis rasa, rasa tentang

apa pun.” Qayyima tersenyum simpul. Entah mengapa pula, Qayyima seperti tengah

menatap sosok sang ibunda di salah satu sudut keramaian, tersenyum ke arahnya.
109

LAMPIRAN 4
DATA KUTIPAN NOVEL

4.1.1.1 Fakta Cerita

No. Kutipan Jenis Data Halaman

1 Matahari masih sama lancang seperti


kemarin, panasnya sengangar.
Teriknya menjilat bumi, menciptakan
fatamorgana jika dipandang dari jauh.
Relung langit biru yang menyejukkan
berpadu dengan sinar mentari yang
kini dirasa menyelekit kulit. Ibu Kota Alur
mungkin akan selalu begini. Asap Tahap penyituasian atau 1
merabung kompak dari knalpot tahap pengenalan
kendaraan, mengangkasa, membuat
awan kelabu tandingan, seketika
membuat siapa pun yang memasuki
kota besar ini segera menjadi sosok
yang menyedihkan: hitam legam,
kepang-kepot, lecek, dan kumal.
2 Bayangkan, keriuhan semacam itu
harus dicekokkan kepada para siswa-
siswi SMA Khidmat Negeri tiap pagi.
Kebetulan saja sekolah swasta yang
mau dinasionalkan itu berada di tepi
jalan besar. Kemacetan di depan
gerbangnya bak tradisi, jadi serupa pit Alur
stop dalam perlombaan formula satu. Tahap penyituasian atau
Setelahnya bisa ditebak: mobil-mobil tahap pengenalan 2
sedan luks yang berhenti di depan
gerbang itu menurunkan anak
seumuran SMA, kemudian pergi.
Terutama tiap Senin pagi, mereka
Cuma menginginkan sebuah
permintaan: anaknya tak terlalai ikut
apel.
110

3 Di dalam kelas hanya ada Qayyima


Qayima Salimah nama panjangnya.
Gadis berjilbab itu melawan arus yang
mengatasnamakan masa ABG, yang
merempuh dari berbagai arah. Jilbab Alur
besar yang ia kenakan bukan karena ia Tahap penyituasian atau 4
mengikuti organisasi Islam tertentu, tahap pengenalan
namun memang semata tunduk atas
syariat Allah yang memerintahkan
wanita muslim menjulurkan kain
jilbabnya melebihi dada

4 Qayyima rindu senyum ayahnya. Ia


tak sabar ingin cerita akan apa yang ia
alami seharian ini. Ia tak sabar ingin Alur
menyuapi sang ayah dengan cuilan Tahap pemunculan konflik 54
bakpao hangat yang berasal dari tetes
peluhnya sendiri. Ia ingin membuat
ayahnya kembali tersenyum malam ini.
5 Anak itu mengusap dahi sang ayah
yang dibasahi titik-titik keringat,
kemudian menyisir rambutnya yang Alur
memutih dengan sela-sela jarinya. Tahap pemunculan konflik 58
Baktinya kini mungkin takkan pernah
terbandingkan dengan apa yang
ayahnya lakukan untuknya dulu.
6 Qayyima mengecup dahi ayahnya.
Betapa banyak orang yang
mengabaikan kedua orang tuanya,
padahal tanpa keduanya mereka Alur
takkan pernah menghirup udara dunia. Tahap pemunculan konflik 59
Betapa banyak orang yang tak berbakti
kepada keduanya, padahal keduanya
rela mempertaruhkan hidupnya demi
sambung napas anak-anaknya.
7 “Inikah surga?” batin Qayyima. Ia
takkan mau bangun lagi untuk kembali
ke dunia. Ibundanya di sini, di Alur
hadapannya, sudah cukup. Ia ingin Tahap peningkatan konflik 76
abadi di sini.
Bunda…, panggil Qayyima. Dadanya
sesak oleh cinta. Sang ibunda
111

tersenyum manis kepadanya,


kemudian mengelus-elus jilbabnya
yang sangat halus
8 “Ima nggak tahu lagi kapan bisa kayak
gini lagi, Bunda… Ima nggak mau
Bunda pergi. Ima lelah…” ia
sesenggukan dengan napas yang
putus-putus. “Sepeninggal Bunda, Ima
harus menghidupi Shabira, Zhafira,
Rahma, dan Ayah yang sedang sakit
keras. Ima, Ayah, dan adik-adik Alur
semuanya kangen Bunda…” Tahap peningkatan konflik 77

“Ima sayang, setelah mengeluh begitu,
lalu apakah Ima akan terus mengeluh
tentang hidup, padahal hidup akan
terus bergulir tanpa menghiraukan
keluhanmu? Apakah Ima akan terus
berkata tentang kerapuhan jiwamu,
sedangkan satu-satunya yang bisa
menegakkan jiwamu kembali adalah
dirimu sendiri? Berkacalah, Sayang,
lihat ke dalam dirimu sendiri…
lihatlah
9 Ima tersedu. Ibundanya benar. Sangat
benar.
“Ima sayang, hidup akan selalu keras
menempamu, dan percayalah, hiduplah
yang akan menempamu jadi baja
mulia…”
Ima tak tahan. Alur
“Bunda… Ima sayang Bunda…” anak Tahap peningkatan konflik 78
itu mempererat pelukannya. Air
matanya mengucur deras.
Ibundanya tersenyum di balik
pelukannya. Seandainya maut tak
memisahkan, mungkin takkan jadi
begini
10 Astaghfirullahal’azim, batin Qayyima
sambil memejamkan matanya. Yaa Alur 165
Rabb… mengapa Engkau berikan Tahap klimaks
kecemasan ini?
112

11 Di luar sedang riuh orang-orang


kampung yang kalang kabut, beberapa
dari mereka belarian masuk ke
kompleks perumahan, berteriak-teriak Alur
panik memekik. Tahap klimaks 166
“Kebakaran! Kebakaran!”
Qayyima terperangah. Yang ada di
dalam pikirannya adalah ayah dan
ketiga adiknya
12 Sayup-sayup Qayyima mendengar
kalimat-kalimat duka, yang sama Alur
sekali tak ingin Qayyima dengar Tahap klimaks 174
sekarang.
‘Innalillahi wainnailaihi raji’un’…
13 Qayyima tak lagi tersedu, ia kini jauh
lebih tangguh. Tangis takkan bisa
menghidupkan ayahnya kembali. Ia
menunduk, dan memohon ampunan Alur
dan rahmat bagi ayahnya yang Tahap penyelesaian 239
tercinta, meminta kelapangan
untuknya di alam kubur, agar diterangi
senantiasa hingga hari akhir
menjelang.
14 Qayyima kini berada di kawasan kota
tua, Jakarta. Ahad pagi di sini selalu
menyenangkan. Udara pagi masih
sepoi, matahari tak begitu terik. Langit
menghampar begitu jelah. Di depan
Museum Fatahillah, memoriam sejarah
terkadang masih bisa terkenang.
… Alur
Qayyima sudah mulai berjalan menuju Tahap penyelesaian 240
puncak kariernya sebagai pelukis yang
andal. Meskipun lukisannya banyak
terbakar saat kebakaran di rumahnya
sekitar setengah tahun lalu, ia tak
berhenti melukis. Dengan bantuan Bu
Lisa dan Bu Ratna, Qayyima mulai
sedikit demi sedikit bisa rutin
menghidupi ketiga adiknya.
113

15 Qayyima kini sering bepergian ke


pusat pesona Indonesia di berbagai
kota untuk memenuhi tugas dari Bu
Lisa, seperti ke Danau Toba, Bunaken,
Raja Ampat, dan lainnya. Itu semua
untuk dilukisnya, yang kemudian Alur
lukisan tersebut dipamerkan di galeri Tahap penyelesaian 241
lukisan Al-fann sebagai koleksi. Tak
hanya itu, Qayyima juga sempat
beberapa kali mengisi workshop lukis
di berbagai kota. Hal itu tentu
setidaknya mewujudkan impiannya
yang mulia: menjadi pengajar.
16 Qayyima Salimah nama panjangnya.
Gadis berjilbab itu melawan arus yang
mengatasnamakan masa ABG, yang
merempuh dari berbagai arah. Jilbab
besar yang ia kenakan bukanlah karena Tokoh dan Penokohan
mengikuti organisasi Islam tertentu, Qayyima
melainkan karena memang semata Islami
tunduk atas syariat Allah yang
memerintahkan wanita muslim
menjulurkan kain jilbabnya melebihi 4
dada.

Banyak yang bilang, wajah Qayyima
serupa syarifah keturunan baginda
Nabi Muhammad Saw. Bagaimana
tidak, matanya cantik bukan buatan.
Bulu matanya lentik. Alisnya tegas.
Hidungnya bangir menggemaskan.
17 Qayyima‒setelah mampir shalat Asar
terlebih dahulu di sebuah
musala‒mengayuh sepedanya menuju
kolong flyover Ciputat. Masih Perilaku menunjukkan 24
berseragam sekolah, di sanalah ia Sholat wajib
biasa menghabiskan senja dengan
berdagang lukisan karyanya sendiri.
18 Magrib itu mungkin adalah Magrib
yang tersendu bagi Qayyima. Pada Sholat wajib 47
sujud terakhirnya yang panjang, ia jadi
cengeng. Karena berkawan dengan
114

sepi, lantun doanya semakin merasuk


sukma. Air matanya mengalir deras,
menetes-netes ke atas sajadah.
19 “Ima, kamu sudah shalatnya? Shalat
apa, sih? Kan, shalatmu cuma lima,”
tanya Regina. Perilaku menunjukkan 136
“Aku tadi shalat Tahajud, Gin. Shalat Sholat sunah
Tahajud itu shalat sunah, bukan
wajib.”
20 Qayyima pun tiba di rumahnya, ia
ketuk pintu.
Tok tok!
Assalamualaikum.. Kakak pulang…
Ia pun menggamit pinggiran pintu
yang terbuat dari tripleks lapis empat
itu, membukanya perlahan, takut
engselnya patah lagi karena baru dua
hari yang lalu Qayyima memperbaiki
sendiri. Ia cuma anak perempuan, jadi Sabar 55-56
wajar jika pekerjaan menukangnya tak
seberapa baik.

Rumah Qayyima sempit, ukurannya
paling-paling hanya 4 x 4 meter,
seukuran kontrakan sederhana, tetapi
jauh dari kata layak. Hampir sebagian
besar komponennya terbuat dari kayu,
rapuh sekali
21 Syafakallah, ayah… cepat sembuh.
Semoga Allah memberikan
kesembuhan atasmu…,” bisik
Qayyima sambil mengusap-usap Sabar 59
rambut ayahnya. Tak terasa bulir air
mata muncul di ujung pelupuk
Qayyima.
22 “Bilang saja, kamu sedang dapat
rezeki, karena ini memang rezeki, kan? Bersyukur 38
Ini kan hasil kerjamu sendiri, Ima,”
Jawab Bu Ratna dengan tersenyum.
23 “Ia sesenggukan, terdengar seperti
orang sesak napas. Betapa Allah Bersyukur 47
sayang kepadanya. Ia jadi bertambah
115

yakin bahwa rezeki-Nya sangatlah


luas, seluas langit dan bumi.
“Subhana rabiyal-a’la wa bihamdi…”
24 Bersepeda saat berangkat dan pulang
sekolah adalah momen refreshing bagi
Qayyima. Letak rumahnya yang jauh
hampir sepuluh kilometer dari sekolah,
setidaknya memberi waktu baginya
untuk mengulang-ulang pelajaran Rajin menghafal bacaan 16-17
selagi ia mengayuh sepedanya. Di atas
sepeda, sudah biasa ia rapal hafalan isi
buku yang baru ia pelajari. Perjalanan
pulang kini saatnya ia mendaras buku
sejarah yang tadi sudah ia baca di
kelas.
25 Anak itu mungkin siswi pertama yang
bisa mengambil hati Pak Ramli. Pak
Ramli mengakui bahwa anak itu
memang sangat cerdas dalam mata
pelajaran Sejarah. Pemikirannya
smart. Jika tak berlebihan, Qayyima
memang seperti buku Sejarah yang
berjalan.

Sebenarnya bisa saja jika ada orang
yang ingin belajar praktis dengan Cerdas 91-92
Qayyima, yakni Qayyima tinggal
bercerita tentang sejarah A sampai Z,
hingga tak ubahnya kaset jernih yang
bisa diputar kapan saja. Mungkin
cuma Qayyima yang bisa mencairkan
bekunya wajah Pak Ramli yang keras
tak berbelas kasihan. Jadilah, Qayyima
satu-satunya orang yang paling dicari
ketika ada tugas mata pelajaran
Sejarah.
26 Dan, benar saja, hasilnya memesona.
Encik geleng-geleng kepala sambil
berdecak kagum. Ia tak habis pikir Berbakat 20
anak seusia Qayyima sudah bisa
melukis semahir seniman-seniman
lukis dunia. Bisa dibilang ia makin
116

“naksir” dengan sketsa yang Qayyima


buat.
27 “Silakan, Bu.” Qayyima memberikan
kertas gambarnya kepada Bu Ratna.
Wanita itu pun geleng-geleng kepala,
berdecak kagum kepada anak SMA di
hadapannya itu. Yang membuat Bu
Ratna kagum, Qayyima tak hanya
membuat sketsa wajah objek
lukisannya, tetapi juga latar di
belakangnya digambarkan secara Berbakat 35-36
detail. Gerobak Bang Wahid pun
masuk ke gambar, karena memang
berdekatan dengan tempat Bu Ratna
duduk. Qayyima melukis benar-benar
seperti sedang memfoto. Hal itu
melebihi ekspektasi Bu Ratna, rupanya
Qayyima telah membuktikan bahwa ia
memang pelukis muda berbakat.
28 “SAYA baru saja menemukan pelukis
hebat. Dia pelukis jalanan, tapi
sentuhannya internasional.” Bu Ratna
memulai chatting di Facebook-nya,
mengajak bicara Bu Lisa, pengelola
galeri tempatnya bekerja.

Qayyima Salimah. Ima.
Anak itu sungguh sudah membuatnya
gelisah. Bagaimana tidak, sentuhan Berbakat 69-70
lukisannya sudah seperti apa yang
dihasilkan oleh para pelukis dunia. Bu
Ratna merasa tak pantas jika sketsa
yang Qayyima lukiskan untuknya
cuma dihargai dua ratus ribu. Bahkan,
satu juta pun mungkin sebenarnya jauh
dari layak. Hasil karyanya bernilai
lebih daripada itu.
29 Sekali waktu pernah di kelas, saat
pelajaran agama para siswa mendapat Memiliki ingatan yang baik
tugas untuk menyetor hafalan ayat (pandai menghafal Alquran) 50-52
kepada Pak Mustofa, guru Agama,
yang terhitung “sadis” juga dalam
117

membina siswa-siswinya.

Hari itu beliau membahas materi
tentang adab-adab pada hari Jumat.
Keluar pula dalil-dalil penguat dan
satu set dalil: tiga ayat terakhir Surah
Al-Jumu’ah. Sebelum tugas
dikeluarkan secara resmi lewat lisan
beliau yang mulia, anak-anak sudah
ribut berbisik-bisik menanyakan
kepada Qayyima surah manakah dalil
yang disebut oleh Pak Mustofa. Dan,
ketika beliau duduk di kursi setelah
menugasi anak-anak menghafal,
Qayyima langsung maju ke depan
beliau untuk menyetorkan hafalannya.
Pak Mustofa melongo, hampir tak
percaya. Rupanya masih ada permata
di tengah pepasiran apatisme
pendidikan anak negeri.

Pak Mustofa geleng-geleng kepala,
sambil mengucap tasbih berkali-kali.
Tak ragu ia bubuhkan nilai hafalan
Qayyima Salimah di hadapannya itu
dengan angka 100, sempurna. Tentu,
itu melengkapi koleksi angka 100
lainnya yang terpampang di kolom-
kolom sebelumnya.
30 Seperti biasa, jadwal pukul delapan,
tapi baru mulai pukul setengah
Sembilan. Di luar kesadaran,
pendidikan jam karet sudah begitu
mengakar. Para guru itu yang
mengajarkannya sendiri kepada anak
muridnya secara tak langsung Tidak mudah terpengaruh 3-5
meskipun jika ditanya mereka takkan lingkungan sekitar
pernah mengaku. Begitu kuatnya
perilaku alam bawah sadar manusia.
Jadilah, anak-anak berseragam putih
abu-abu duduk berjajar di depan kelas
mereka masing-masing. Ada yang
118

mengolok sesamanya, bicara jorok,


cerita banyolan hari kemarin, juga ada
yang sempat curi-curi pacaran.
Semuanya dilakukan di luar kelas.
Ruangan dalam kelas seakan jadi
momok. Entah mengapa.
Di dalam kelas hanya ada Qayyima.
Anak manis itu lebih memilih
kesendirian daripada terkontaminasi
kekotoran pikiran khas anak muda.

Ia duduk di pojok kelas, berkarib
dengan dinding hijau pastel yang
dingin. Sejuk. Di hadapannya
terbentang buku Sejarah yang tebalnya
masya Allah. Ia betah berjam-jam
bertelekan kursi, jika tidak membaca
buku sejarah, maka ia tengah melukis.
31 Regina adalah sahabat Qayyima, ia
Katolik. Baru sekitar setengah tahun
lalu mereka saling kenal, saat tak
sengaja mereka duduk berhampiran di
kelas yang baru. Tak sengaja karena
mereka berdua memang datang
belakangan sehingga kursi penuh, Tokoh dan Penokohan
menyisakan dua kursi saja. Namun, Regina
pada awal pertemuan keduanya sudah cerdas
saling mendapatkan chemistry. 43

Memang, kecerdasan Regina di atas
rata-rata, ia cerdas. Buku apa pun ia
lahap, dari sosiologi, bahasa,
astronomi, hingga filsafat ia libas.
Oleh karena itulah, ia jadi lebih
mengerti arti kebijaksanaan dalam
ilmu.
32 Yang berbeda cuma Regina. Ia
merengut kepada Qayyima minta
diajari. Pemarah 94-95
“Ima, ajarin aku dong… udah tinggal
lusa soalnya, nih harus dikumpulin.
Qayyima tersenyum saja. “Ayo, Gin.
119

Di sini aja, biar nanti aku cerita.


“Ih, nggak mau, ah… jangan di sini.
Di rumahmu, dong” bujuk Regina.
Qayyima kehabisan kata-kata.
Bagaimanapun ia tak mau sahabatnya
tahu bahwa ia hidup di sebuah rumah
yang kumuh, dan harus menghidupi
keluarganya dengan berjualan lukisan.

Qayyima terdiam cukup lama, sampai
akhirnya Regina melepaskan
genggaman tangan Qayyima,
kemudian melengos pergi pulang.
“Regina!” panggil Qayyima, tetapi
Regina tak berbalik. Ia tahu sekali
bahwa Regina tipikal orang yang jika
sudah ngambek, apa yang ia kehendaki
harus dituruti
33 “Imaaaaa!’’
Wanita berambut panjang itu langsung
menghambur kearah Qayyima. Ia
langsung berupaya memeluk Qayyima.
Qayyima tak kuasa menolak.
Dia Regina. Sedari pulang sekolah tadi
sahabatnya itu membuntuti aktivitas
Qayyima‒terlihat dari pakaian sekolah Penasaran 124
yang masih dikenakan Regina.
“Ima, kenapa nggak pernah bilang ke
aku…,” isak Regina. “Aku menyesal
tak pernah tahu kehidupanmu
sebelumnya, Ma…”
Qayyima menitikkan air mata pula. Ia
mengusap-usap pungggung Regina
yang masih berlapis seragam sekolah.
34 Hari itu Qayyima akan memenuhi
panggilan wawancara dari Bu Lisa.
Regina siap mendampinginya,
mengantarnya dengan mobil, toh hari
ini juga tak kemana-mana. Maka, sejak Peduli 145
selepas subuh, Qayyima dan Regina
sudah bersiap-siap akan berangkat.
Ketika Qayyima memasak sarapan
120

untuk mereka makan, Regina


mengajak adik-adik Qayyima
menunggui Ayah yang terbaring di
kamar, sambil sesekali mengobrol
dengan ketiganya. Regina sudah mulai
akrab dengan ketiga adiknya.
Terdengar beberapa kali tawa gembira
yang menghidupkan pagi yang dingin
itu.
35 “Kamu tadi kemari sama siapa?”
Tanya Bu Lisa.
“Sama Regina, Bu, sahabat saya. Tadi
dia menunggu di lobi,” jawab
Qayyima sambil terus melangkah.
“Wah, berarti temanmu tadi
menunggumu dua jam lamanya?”
sambar Bu Ratna. Qayyima nyengir
sambil mengangguk. Baik, peduli 157
“Itu dia, ya?” kata Bu Ratna sambil
menunjuk Regina yang sedang berdiri
tepekur di hadapan sebuah lukisan
yang besar.
“Regina!” sapa Qayyima. “Aku sudah
selesai.”
Regina menengok. “Hei, Gimana, Ma?
Lancar?”
36 “Itu lukisan yang kamu bikin, Dik?”
Tanya seorang ibu yang sedang
mengunyah siomay, memecah
lamunan Qayyima. Sepertinya ia
pegawai kantor. Bajunya berpadu rok
merah-merah. Guratan di wajahnya Tokoh dan Penokohan
menunjukkan usianya yang sudah Bu Ratna 28
menginjak kepala empat. baik
“Iya, Bu, saya yang bikin sendiri…,”
jawab Qayyima.
“Berapa lama biasanya kamu bikin
lukisan begitu?”
“Hmmm… bergantung sih Bu. Paling
cepat satu jam beresnya. Paling lama
bisa sampai berbulan-bulan.”
“Oh, gitu…” Ibu itu masih mengunyah
121

siomaynya. “Lukis wajah saya pasti


bisa, dong, Dik?”
Wah rezeki ini, batin Qayyima. “Bisa,
Bu, insya Allah kalau sketsa wajah
bisa beres cepat, ngga sampai satu
jam.”
“Oke… oke… saya habiskan dulu, ya,
siomay saya. Kamu mau siomay,
nggak? Bikin sendiri saja, nanti saya
yang ngomong ke abangnya, saya
yang bayarkan.” Qayyima sedikit
terkejut. Ibu ini baik sekali.
37 Bu Ratna berdecak kagum kepada
anak SMA di hadapannya itu. qayyima
melukis benar-benar seperti sedang
memfoto. Hal tersebut tentu melebihi
ekspektasi Bu Ratna.
“Biasanya berapa tarif untuk sketsa
wajah, Nak?” Tanya Bu Ratna.
Qayyima mengingat-ingat. Sudah
cukup lama ia tak melakukan jasa
pembuatan sketsa wajah. “Mungkin
sekitar dua ratus ribu, Bu, termasuk
bingkai.”
“Saya hargai lebih ya, Nak…, tapi
janji dulu, kamu nggak akan
mengembalikan uangnya kepada saya Bijaksana 36-38
dan tetap berpatokan pada dua ratus
ribu, lho, ya.
“Buuu… tapi, kan, biasanya nggak
sebanyak ini,” timpal Qayyima.
“Ima, jangan khawatir. Ini kan hasil
dari pekerjaanmu Nak. Saya Cuma
ingin mengapresiasi lebih seni lukis
yang kamu bawa, karena karya-karya
yang kamu buat terlampau murah
kalau cuma kubayar dengan harga
standar. Karya-karyamu berkualitas,
Nak, bahkan jika saya punya galeri
sendiri, akan saya minta kamu yang
mengisinya dengan lukisan-
lukisanmu,” balas Bu Ratna.
122

38 “Assalamualaikum, Ima,” sapa Bu


Lisa. Suaranya empuk, teduh sekali.
“Waalaikumussalam.” Qayyima
langsung mencium tangan Bu Lisa
penuh takzim, baru kemudian
mencium tangan Bu Ratna.
“Ima sudah dari tadi di sini? Sehabis
pulang sekolah langsung jualan?”
tanya Bu Lisa.
Qayyima mengangguk. “Iya, Bu…
seperti biasanya.”

“Ima, saya mau ngobrol sama kamu,”
ujar Bu Lisa.
“Tentang apa, Bu?” tanya Qayyima
polos.
Bu Lisa tersenyum. “Iya, Ima.
Begini… saya kesini mau melihat
lukisan Ima. Bu Ratna semalam Tokoh dan Penokohan
memberi tahu saya dengan teknikmu Bu Lisa 99-101
melukis sketsa Bu Ratna. Dari sana, baik, ramah
saya lihat kamu punya bakat yang luar
biasa. Hanya pelukis dunia yang bisa
melakukannya dengan sempurna”
jawab Bu Lisa sambil tersenyum.
Qayyima mengangguk-angguk
meskipun ia juga tak paham teknik apa
yang sebenarnya ia gunakan. Ia
melukis dengan rasa.
“Oleh karena itu,” sambung Bu Lisa,
“saya berminat menaruh lukisan yang
Ima buat di dalam galeri yang saya
miliki. Bagaimana?
Qayyima menggeleng-geleng pelan,
sambil tersipu. “Ima bingung mau
bilang apa…” Bu Lisa tertawa.
“Hehehe.. bingung begitu. Saya mau
mewawancara kamu besok pagi, kamu
libur, kan? Kan, besok tanggal merah,
ada libur nasional”.
123

39 Qayyima teringat cerita ibundanya,


bahwa ayahnya dulu jatuh bangun
mengecap berbagai macam pekerjaan,
hanya untuk mencari penghidupan
selayak mungkin bagi keluarganya. Di
punggungnya terbebankan hidup
seorang istri dan empat anaknya, yang Tokoh dan Penokohan
mungkin takkan pernah bisa dibawa Taufik Haryanto 59
oleh sembarang lelaki. Sudah maklum tangguh, bertanggung jawab
bahwa lelaki yang tak kuat menopang
beban hidup keluarga, pastilah akan
menghindar sejauh-jauhnya dari
tanggung jawab itu, melupakannya
seolah tak pernah ada. Akan tetapi,
ayahnya tak seperti itu. Ia lelaki
tangguh yang penuh tanggung jawab.

40 Zhafira dan Shabira terlahir kembar


dengan beda sekitar sepuluh menit.
Pada saat pembagian rapor, nilai
mereka terkadang sama, bedanya
hanya nol koma sekian. Keduanya
mahir dalam seni, Zhafira ahli di
bidang seni tarik suara, dan Shabira di Tokoh dan Penokohan
bidang seni drama. Sedangkan, Rahma Shabira, Zhafira dan 58
adalah anak bungsu di keluarga Rahma
tersebut. Kecerdasannya pun tak cerdas
diragukan. Walaupun usianya masih
kecil, gaya bicaranya seperti orang
dewasa. Ia memiliki kelebihan dalam
bidang pidato dan retorika.
41 Encik melihat Qayyima dari belakang,
anak itu terlihat menggigil menahan
dingin. Bajunya basah semua. Encik
pun iba, akhirnya ia suruh anak itu Tokoh dan Penokohan
masuk. Yang membuat Encik Encik Ling
penasaran adalah bahwa anak itu tak baik, suka membantu 18
pernah melepaskan kardus besar dari
tangannya. Ia selalu membawanya
meskipun payah.
42 Seringkali Qayyima mendengar ia
berceloteh bahasa hokkian kepada
124

anak dan suaminya dengan akselerasi


tingkat tinggi, atau persisnya seperti
senapan mesin yang memuntahkan
semua isinya. Qayyima meraba-raba emosional 17
saja apa maknanya, entah apakah
Encik ngidam, memaki, atau mungkin
bersungut-sungut karena banyak
pelanggan yang utang, tetapi tak
kunjung dibayar.
43 “Saya numpang di sini boleh ya, Pak?”
Tanya Qayyima sambil tersenyum
ramah kepada bapak pedagang siomay.
Usianya empat puluhan, badannya
kurus, kulitnya cokelat gelap. Tokoh dan Penokohan
Wajahnya terlihat bijak. Bang Wahid 25
“Silakan, Neng… jual lukisan, ya?” baik
jawab Bang Wahid sambil tersenyum.
Air mukanya yang cerah menunjukkan
bahwa ia tergugah untuk melihat
tulisan yang Qayyima buat.
44 Bang Wahid mengusap peluh di
dahinya, rupanya sambil menatap
Qayyima yang tengah kebingungan.
“Cari apa, Neng? Perlu bantuan?”
tanyanya kepada Qayyima.
“Nggak apa-apa Bang…,” jawab
Qayyima, sambil kepalanya memutar-
mutar, tak kunjung menemukan apa
yang ia cari.
“Yaelah, Neeeng. Bilang aja sama Suka membantu orang lain 27
Abang. Nggak usah nggak enakan
kayak begitu.
Qayyima jadi dilematis, mau tak mau
akhirnya ia harus bicara, mengatakan
apa yang ia butuhkan.
“Ada kayu-kayu yang nggak terpakai
gitu nggak, ya, Bang?”
“Hmmm…” Pria itu berpikir sejenak.
“Ada kayaknya. Sebentar deh, saya
carikan. Titip dagangan saya sebentar,
ya…”
“Iya Bang, terima kasih”
125

45 Siswa yang baginya tidak patuh maka


tidak lulus. Yang tidak mampu
menghafal, harus siap-siap nilai
agamanya di rapor akan berubah
warna menjadi merah.

Hari itu Pak Mustofa mengajar kelas
Qayyima, beliau membahas materi
tentang adab-adab pada hari Jumat. Tokoh dan Penokohan
Keluar pula dalil-dalil penguat, Pak Mustofa 51
menemani beliau yang sendirian tegas
mengajar di depan kelas. Anak-anak
sudah tahu, bahwa jika beliau sudah
mengeluarkan sebuah dalil, berarti
dalil itu yang akan jadi tugas hafalan
pada hari tersebut.
Benarlah apa yang diduga. Sialnya
juga, Pak Mustofa hari itu
mengeluarkan satu set dalil: tiga ayat
terakhir Surah Al-Jumu’ah.
46 Tugas berat dari guru Sejarah yang
harus khatam esok pagi. Jika tak
mengerjakan, wassalam-lah nilainya.
Sebagus apa pun nilai yang pernah
ditimba dalam mata pelajaran tersebut.
Sama sekali tak ada artinya jika tugas
esok hari itu tak dikerjakan.

Pernah ada cerita, seorang siswa yang Tokoh dan Penokohan
memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Pak Ramli 91
Ia selalu mengerjakan tugas-tugasnya tegas dan pelit nilai
sampai tuntas. Suatu ketika ia sakit
dan tidak masuk, malangnya pada hari
yang terlewatkan itu ada penugasan
Sejarah dari Pak Ramli, dan tak ada
kawan sekelasnya yang memberitahu.
Kemudian apa yang terjadi? Anak itu
mengalami nasib buruk. Nilai Sejarah
di rapornya jelas sekali dibubuhkan
angka nol, padahal sebelum-
sebelumnya ia tak pernah melewatkan
tugas dari Pak Ramli, sang Mahaguru.
126

47 Sehari-hari, ketika Qayyima, Zhafira, Tokoh dan Penokohan


Shabira, dan Rahma bersekolah, beliau Mpok Dijah
dirawat oleh Mpok Dijah, tetangganya baik, suka membantu 56
yang baiknya bukan kepalang. Qayyima merawat ayahnya

48 Ini sudah harus dibawa ke rumah sakit,


kata Mpok Dijah. Kedua adik
Qayyima saling pandang. Makin
Kwatir.
Saya telepon Pak RT, deh, minta antar
pakai mobil…, saran Mpok Dijah,
langsung memencet-mencet ponselnya
dan menaruh ponselnya ke telinga. Tokoh dan Penokohan
Telepon Mpok Dijah tersambung Pak RT
dengan Pak RT. Rupanya beliau suka membantu warganya 110
sedang cuti sehingga tidak berangkat
ke kantor. Beliau akan tiba di rumah
sekitar lima menit lagi.
“Assalamualaikum!” Kata Pak RT di
depan pagar dengan suara bas yang
membahana. Pak RT di luar sudah
membukakan pintu tengah mobilnya
supaya Bunda bisa dengan mudah
masuk.
49 SMA Khidmat Negeri mungkin adalah
sekolah yang tak begitu istimewa,
swasta, bukan negeri. Prestasi
pendidikannya pun biasa saja. Biaya
sekolahnya sok jual mahal.
Kebanyakan yang sekolah di sini
adalah anak-anak buangan, yaitu Latar Tempat
mereka yang tak lulus ujian masuk SMA Khidmat Negeri
sekolah negeri (Purwanda, 2015:2). 4

Qayyima bisa duduk di sini sebetulnya
bukan karena ia tak lulus ujian di
sekolah negeri, melainkan karena
nasibnya yang tak menguntungkan. Ia
tak beruntung masuk ke sekolah negeri
karena saat ia mau mendaftar, semua
sekolah negeri sudah menutup
pendaftaran.
127

50 “Ima datang, Encik, mau ambil


lukisan.”
Encik langsung menghambur dari
meja kasir, menyambut “anaknya”
yang baru pulang sekolah. Dia tahu Latar Tempat 20
Qayyima tidak kuat memindahkan Toko Encik ling
lukisan besar yang menaungi lukisan-
lukisan lainnya yang lebih kecil, ia
berlekas.
51 Qayyima setelah mampir shalat Asar
terlebih dahulu di sebuah Mushala—
mengayuh sepedanya menuju kolong
flyover Ciputat. Masih berseragam
sekolah, di sanalah ia biasa Latar Tempat 24
menghabiskan senja dengan berdagang Kolong flyover Ciputat
lukisan karyanya sendiri. Ia berhenti di
sebuah bilangan, di samping gerobak
siomay.
52 Qayyima sudah sedari pukul delapan
tadi tiba di galeri seni Al-Fann, galeri
seni milik Bu Lisa. Sungguh, di dalam Latar Tempat 156
galeri jauh lebih nyaman ketimbang di Galeri Seni Al-Fann
luar. Angin dingin bertiup- tiup dari
pendingin udara.
53 Rumah kayu itu serupa gubuk sepi.
Letaknya yang jauh dari jalan utama,
masuk ke pelosok gang-gang kecil,
membuatnya semakin tak tersentuh.
Gulita pekat menyelimuti kawasan itu.
Secercah temaram pelita dari dalam
rumah menembus celah-celah terbuka,
dan sayup-sayup terdengar suara
orang, menandai bahwa di dalamnya Latar Tempat 55
masih ada kehidupan. Rumah Qayyima
Qayyima pun tiba di rumahnya, ia
ketuk pintu.
Tok tok!
Assalamualaikum… Kakak pulang…
Ia pun menggamit pinggiran pintu
yang terbuat dari tripleks lapis empat
itu, membukanya perlahan, takut
engselnya patah lagi.
128

54 Bayangkan, keriuhan semacam itu


harus dicekokkan kepada para siswa-
siswi SMA Khidmat Negeri tiap pagi.
Kebetulan saja sekolah swasta yang Latar Waktu
mau nasionalkan itu berada di tepi Pagi Hari 2-4
jalan besar. Kemacetan di depan ketika Qayyima bersekolah
gerbangnya bak tradisi, jadi serupa pit
stop dalam perlomban formula satu.
Di dalam kelas hanya ada Qayyima.
Qayyima salimah nama panjangnya.
55 Pukul setengah tiga menjelang sore.
Para siswa dan siswi SMA Khidmat
Negeri bak anai-anai, tak sabaran Latar Waktu
untuk pulang ke rumah. Sore Hari
… ketika Qayyima berdagang 16
“Bismillahirrahmanirrahim…,” ucap lukisan
Qayyima berbisik kepada dirinya
sendiri. ia harus segera berangkat
untuk berdagang lukisan. Keburu
datang senja.
56 MAGRIB itu mungkin adalah magrib
yang tersendu bagi Qayyima. Pada
sujud terakhirnya yang panjang, ia jadi
cengeng. Latar Waktu
… Petang
Qayyima mengambil sepedanya yang ketika Qayyima berbakti 47,49
tersandarkan di salah satu sudut kepada ayahnya
lapangan parkir. Hari sudah gelap. Ia
harus pulang sekarang. Adik-adiknya
pasti sudah rewel minta makan,
ayahnya juga harus segera disuapinya.
57 Pukul satu dini hari, hanya sunyi yang
mencumbu. Qayyima terbangun dari
tidurnya, ia hanya beralaskan sajadah, Latar Waktu
berada di samping ayahnya yang Malam
sedang istirahat dengan alas kasur ketika Qayyima beribadah 75
kapuk gulung.
58 Pukul tiga pagi,
Ima, kamu sudah shalatnya? Shalat
apa, sih? Kan, shalatmu Cuma lima,
tanya Regina.
Aku tadi shalat Tahajud, Gin.
129

Shalat Tahajud itu shalat sunah, bukan


wajib. Qayyima masuk ke bilik yang
menjadi ruang kerjanya. Ia Latar Waktu
menyiapkan peralatan lukisnya dan Fajar
sebuah kanvas besar yang masih ketika Qayyima melukis 136-137
belum terpakai.
“Imaaa… kamu mau melukis, ya?
Tadi aku sebelum tidur melihat-lihat
lukisanmu…,” kata Regina.
Qayyima tersenyum. “Benarkah? Ya,
beginilah kerjaanku, Gin. Tiap jam
segini aku melukis. Dulu ibunda yang
membiasakanku bangun tengah
malam, shalat Tahajud, kemudian
melukis.
59 Qayyima pun tiba di rumahnya, ia
ketuk pintu.
Tok tok!
Assalamualaikum.. Kakak pulang…
Ia pun menggamit pinggiran pintu
yang terbuat dari tripleks lapis empat
itu, membukanya perlahan, takut Latar Sosial
engselnya patah lagi karena baru dua keadaan sosial keluarga
hari yang lalu Qayyima memperbaiki Qayyima yaitu keluarga
sendiri. Ia cuma anak perempuan, jadi yang sederhana 56
wajar jika pekerjaan menukangnya tak
seberapa baik

Rumah Qayyima sempit, ukurannya
paling-paling hanya 4 x 4 meter,
seukuran kontrakan sederhana, tetapi
jauh dari kata layak. Hampir sebagian
besar komponennya terbuat dari kayu,
rapuh sekali.
60 Regina juga seorang penganut Katolik Latar Sosial
yang taat. Tiap Minggu pagi ia rutin ke keadaan sosial penganut 42
gereja mengikuti misa. Katolik yaitu dengan datang
ke gereja rutin setiap
minggu saat misa
61 Regina adalah sahabat Qayyima, ia Latar Sosial 10
Katolik. Toleransi antara umat
beragama
130

62 Betapa Qayyima mencintai ibundanya


yang bijaksana itu. saat ini hanya ingin
memeluk ibundanya erat. Namun,
wanita itu tak ada.
Air mata Qayyima mengalir lagi, ia
sesenggukan.
Bunda… Ima kangen Bunda…
Matanya mengedar ke seluruh penjuru
bilik, tetapi bayangan ibundanya tiada. Id 85-88
Ia tadi berhalusinasi, dan halusinasi itu Keinginan bertemu dengan
begitu hebat. sang ibunda

Matanya berakhir pada ujung dinding
bilik yang tersapu kegelapan
bayangnya sendiri. Ia menatap ke arah
bayangannya sendiri, berkali-kali
berteriak dalam hati untuk berkeras
menemukan ibundanya, secepat
mungkin.
63 Padahal Qayyima sesungguhnya anak
yang cerdas. Pikirannya brilian. Cuma
uang banyak yang tak ia punya. Ia
bukan dari keluarga yang mapan
finansial. Ayahnya lumpuh karena
stroke, ibundanya telah wafat lima
tahun lalu, adiknya tiga: ada yang
sepasang kembar. Di Jakarta tak ada Id 5, 124
kerabat dan saudara yang bisa Keinginan lepas dari
membantu keseharian mereka. Maka kemiskinan
untuk menghidupi keluarganya,
Qayyima harus mencari uang sendiri
selepas sekolah, untuk keluarganya
dan tentu, untuk membayar SPP bulan
depan…
Kepiluan hidup, Qayyima harus
bekerja sepulang sekolah demi
menghidupi keluarganya. Regina tahu
bahwa orang-orang yang ada di dalam
rumah kayu reyot itu ada keluarga
kecil Qayyima yang sedang lapar.
131

64 Sejenak ia dengarkan irama lapar dari


perutnya yang sedang keroncongan
hebat. Ia tak memungkiri bahwa ia
tengah kelaparan karena siang tadi ia
tak melahap apa pun untuk sekadar
mengganjal perutnya yang perlu diisi.
… Id 28,29
Kepulan uap putih membubung Keinginan menghilangkan
sejenak, berangsur hilang, kemudian rasa lapar
terlihatlah siomay dan kawan-
kawannya yang tertata rapi,
menggiurkan, buat siapa pun yang
lapar akan menelan ludah berkali-kali.
65 Dalam doa-doanya yang panjang, yang
ada di kepalanya adalah mimpi-mimpi
besar itu; ia ingin menjadi guru lukis
yang memiliki jam terbang yang tinggi
ke berbagai wilayah, tak hanya dalam Id 79-80
negeri, ia juga ingin memijakkan Keinginan menjadi guru
kakinya sendiri ke luar negeri yang lukis terkenal
belum terjamah oleh dirinya di sana.
Di pikirannya berkilas foto-foto
tentang museum seni yang bertebaran
di Prancis, Spanyol, Italia, dan lainnya.
66 Ia terbangun karena mimpinya yang
bercampur aduk. Ia sesenggukan.
Qayyima tak tahu harus bilang
mimpinya barusan seperti apa. Rasa
rindu, indah, dan sedu sedan jadi satu.
Ia memimpikan ibundanya.

Jarak wajahnya dengan wajah
ibundanya sekitar sepenggal telapak Ego 75-76
tangan. Ia rasakan benar napas harum Mimpi bertemu sang ibunda
ibundanya‒napas yang dulu
mengembus saat kecup sayang
bertubi-tubi mendarat di penjuru wajah
Qayyima. Tangan keduanya saling
memagut rindu tak tertahankan.
Keduanya bersimpuh berhadapan.

Sejauh mata memandang, hanya
132

padang rumput dengan bunga-bunga


anturium yang asri di beberapa titik,
bersapa batas dengan langit biru cerah.
Ia bernaung di bawah kanopi tudung
yang harum bunga. Saat menengadah,
ia melihat krisantemum dan edelweiss
bercumbu dalam atap yang sama. Ada
melati juga, wanginya semerbak
merasuk relung jiwa.
67 “Bismillahirrahmanirrahim…,” ucap
Qayyima berbisik kepada dirinya
sendiri. Ia harus segera berangkat
untuk berdagang lukisan. Keburu
datang senja. Ya, berdagang lukisan
yang ia buat sendiri. Selama ini
memang selalu begitu, sepulang
sekolah, ia langsung membandar, tak
langsung pulang. Ia hanya langsung
pulang ketika kondisi tubuhnya tengah
tidak fit (Purwanda, 2015:17).

Sebuah hari saat hujan deras mendirus
bumi Jakarta. Tampak seorang anak
berbaju SMA tergopoh membawa-
bawa kardus persegi panjang. Anak itu Ego 18-19, 24
terlihat menggigil menahan dingin. Bekerja berjualan lukisan
Bajunya basah semua. Anak itu tak
pernah melepaskan kardus besar dari
tangannya. Ia selalu membawanya
meskipun payah.
“Apa tu, Ma? Tak bisa sikit pun kau
lepaskan?” Tanya Encik dengan logat
Melayu yang kental.
Qayyima tertunduk malu. “Ini…
lukisan, Encik…”
“Lukisan siape?”
“Sa… saya, Encik… saya jualan
lukisan ini…,” jawab Qayyima gugup.
Encik pun mengerutkan dahinya. Di
Jakarta masih ada rupanya anak seperti
ini: mencari uang sendiri untuk bayar
sekolah dan beli makan.
133

Sepulang sekolah ia akan langsung


berjualan. Jika belum laku, lukisannya
ia titipkan ke toko Encik, kemudian
langsung pulang. Biasanya ia pulang
ke rumah sekitar pukul delapan malam
dengan mengayuh sepedanya.

Qayyima‒setelah mampir shalat Asar
terlebih dahulu di sebuah
Mushala‒mengayuh sepedanya
menuju kolong flyover Ciputat. Masih
berseragam sekolah, di sanalah ia bisa
menghabiskan senja dengan berdagang
lukisan karyanya sendiri. Ia berhenti di
sebuah bilangan, di samping gerobak
siomay.

68 Selesailah pembuatan seporsi siomay.


Wanita itu pun langsung
memberikannya kepada Qayyima.
Qayyima melongo saja. Ia tak mengira
bahwa wanita itu benar-benar niat
membelikannya sepiring siomay.
“Ma…makasih, ya, Bu,” ucap Ego 30
Qayyima terpatah-patah. Keputusan menerima
Ibu itu santai saja. “Iya, Nak… tenang makanan
aja, itu nggak termasuk nanti ongkos
lukisnya, kok,” kata ibu itu sambil
tersenyum.
Qayyima mengangguk, kemudian
mulai menikmati siomay itu.
69 Besok bisa, ya? Tanya bu lisa
memastikan.
Bisa, Bu. Di mana?
Bu lisa merogoh kantong gamisnya,
kemudian mengeluarkan dompet. Dari Ego 102
sana ia keluarkan selembar kartu Keputusan menerima
nama. Ia serahkan kepada Qayyima. tawaran wawancara
Anak itu pun sejenak membaca kartu
nama tersebut.
Lisa Purwanditya, Art Director Al-
Fann Art Gallery.
134

Qayyima pun mengangguk lagi. “Oke


deh, Bu. Insya Allah besok saya
datang ke sana”
70 Mimpi tentang sesuatu bisa saja
memiliki takwil yang sama sekali lain.
Begitu pun bagi Qayyima. Ia hanya Superego
menganggap mimpinya bertemu Ikhlas menerima kepergian
kembali dengan sang ibunda di sebuah sang bunda 240
malam berhujan itu sebagai letup rindu
yang mengkristal, toh hal itu pun tidak
akan pernah terjadi. Sang ibunda
sudah tenang di persemayamannya.
71 “Ima lelah… sepeninggal Bunda, Ima
harus menghidupi Shabira, Zhafira,
Rahma, dan Ayah yang sedang sakit
keras” (Purwanda, 2015:76).

“Ima sayang, setelah mengeluh begitu,
lalu apakah Ima akan terus mengeluh
tentang hidup, padahal hidup akan
terus bergulir tanpa menghiraukan
keluhanmu? Apakah Ima akan terus
berkata tentang kerapuhan jiwamu,
sedangkan satu-satunya yang bisa Superego 77-78
menegakkan jiwamu kembali adalah Sabar menerima kenyataan
dirimu sendiri… Lihatlah, bagaimana
Rasulullah mengajarkanmu tetap
bertahan saat kedua orangtuanya tak
ada di sisinya, lantas apakah Ima akan
mengatakan bahwa Ima tak ada
pegangan?”
“Ima sayang, hidup akan selalu keras
menempamu, dan percayalah, hiduplah
yang akan menempamu jadi baja
mulia…
72 Qayyima sedikit terkejut. Sejenak ia 28-29
dengarkan irama lapar dari perutnya
yang sedang keroncongan hebat. Ia tak Superego
memungkiri bahwa ia tengah Pertimbangan menerima
kelaparan karena siang tadi ia tak makanan
melahap apa pun untuk sekadar
mengganjal perutnya yang perlu diisi.
135

Namun, tentu ia malu jika langsung


asal ambil saja. Toh jika memang
rezekinya, pasti siomay itu juga akan
mendarat ke lambungnya yang perih.
Jika bukan, pasti akan ada rezeki yang
lain yang akan tiba untuknya.
Qayyima yakin itu.
73 Saya mau di wawancara, Bu? Tanya
Qayyima.
Bu Lisa mengangguk semangat sambil
tersenyum. “Iya, Ma, wawancara…
tapi tenang, jangan dibawa grogi.
Anggap saja kayak obrolan biasa.”
Qayyima tertunduk, menatap lantai.
Bibirnya menyunggingkan senyum.
“Coba, dong, cerita tentang kehidupan
kamu…”
Qayyima menatap Bu Lisa dengan
wajah memerah. Ia malu. “Jangan, ah,
Bu… saya malu. Saya bukan siapa- Superego
siapa.” Pertimbangan menerima 200
“Eeeh, jangan begitu, ah. Anggap saja tawaran wawancara
Ibu seperti ibumu sendiri. Cerita
saja… Ibu akan mendengarkan.”
“Jangan, Bu…”
Bu Lisa merayu. Rasa ingin tahunya
memuncak. Ingin sekali ia
mendapatkan cerita bagaimana kali
pertama ia bisa melukis, kesehariannya
hingga kini. Namun, Bu Lisa pun pada
akhirnya menyadari bahwa Qayyima
seperti tengah membangun benteng
raksasa, yang melaluinya pun tidak
mudah. Kehidupannya seperti harta
karun yang terlindung, tak tersentuh.

Anda mungkin juga menyukai