Anda di halaman 1dari 11

Undang Undang Dasar 1945 Pasal 33

Ayat 1

Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.

Ayat 2

Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.

Ayat 3

Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ayat 4

Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi


dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.

Ayat 5

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
undang.

Undang Undang Dasar 1945 Pasal 34

(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan.

(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan


dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
1. Pendahuluan
Berdasarkan Konvensi Hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi Indonesia
ada tahun 1990, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah setiap
orang yang berusia di bawah 18 tahun. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 1 juga menyebutkan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.

Undang-undang tersebut merupakan bentuk dari hasil ratifikasi Convention on the


Rights of the Child (CRC). Konvensi ini merupakan instrumen internasional di bidang
hak asasi manusia dengan cakupan hak yang paling komprehensif. CRC terdiri dari
54 pasal yang hingga saat ini dikenal sebagai satu-satunya konvensi di bidang Hak
Asasi Manusia khususnya bagi anak-anak yang mencakup baik hak sipil dan politik
maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah masa depan bangsa dan
generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga Negara berkewajiban memenuhi hak
setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi,
perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak, karena anak dari sisi perkembangan fisik dan
psikis manusia merupakan pribadi yang lemah, belum dewasa dan masih
membutuhkan perlindungan.

Salah satu hak anak paling yang vital wajib dipenuhi adalah masalah sipil dan
kebebasan. Namun, temuan saya di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
antara tahun 2010-2013, menunjukkan bahwa rendahnya penghormatan,
pemenuhan, dan perlindungan terkait hak sipil dan kebebasan anak. Masalah
dominan dalam kerangka bidang sipil dan kebebasan yang selama ini terjadi
meliputi: hak nama dan kewarganegaraan, hak mempertahankan identitas, hak
kebebasan menyatakan pendapat, dan hak akses kepada informasi yang layak.

Lebih lanjut, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang


Kependudukan, masalah hak sipil dan kebebasan anak, perlu pendekatan dari 4
(empat) matra, yakni anak sebagai individu/pribadi, anak sebagai penduduk, anak
sebagai warga negara dan anak sebagai bagian dari komunitas masyarakat.
Masyarakat sebagai lahan tumbuhnya benih-benih individu akan mendorong para
anggotanya untuk berinteraksi secara benar serta berprilaku positif. Hal ini bisa
terjadi dengan prasyarat jika para individu tersebut tumbuh dalam lingkungan
masyarakat yang kondusif bagi perkembangan pribadinya.

Lingkungan yang kondusif untuk anak nampaknya masih jauh dari harapan.
Merebaknya berbagai masalah perlindungan anak telah memprihatinkan kita semua.
Keluarga sebagai institusi utama dalam perlindungan anak ternyata belum
sepenuhnya mampu menjalankan peranannya dengan baik. Kasus perceraian,
disharmoni keluarga, perilaku ayah atau ibu yang salah, keluarga miskin sampai
kepada upaya pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak dalam berbagai
permasalahan lainnya menjadi salah satu pemicu terabaikannya hak-hak anak dalam
keluarga. Sedangkan anak dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara adalah
masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga negara
berkewajiban memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.

2. Metode Penelitian
Kajian dalam tulisan ini merupakan penelitian pustaka yang memusatkan perhatian
pada isu-isu penting seputar perlindungan anak. Kajian ini berangkat dari temuan
penulis selama di KPAI antara tahun 2010-2013, tentang masih rendahnya
pemenuhan hak sipil dan kebebasan dalam konteks perlindungan anak. Merujuk
pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Kependudukan, saya
melakukan pendekatan dari matra anak sebagai warga negara. Kewarganegaraan
merupakan alat bukti hukum bahwa seseorang adalah warga negara yang akan
terkait dengan status, perlindungan dan hak serta kewajiban anak yang
bersangkutan. Pertanyaan penelitian saya adalah bagaimana negara memberikan
perlindungan terhadap hak anak atas identitas, dalam kerangka bidang hak sipil dan
kebebasan?

Dalam rangka menjawab pertanyaan di atas, saya melakukan penelusuran pustaka


yang akan dijabarkan dalam beberapa sub bahasan. Pada sub bahasan pertama
akan menguraikan hak dasar yang melekat pada setiap anak yang wajib diberikan
oleh negara. Bagian ini penting dikemukakan agar kita bisa memahami peran negara
dalam memberikan pengakuan terhadap keberadaan seseorang di depan hukum.
Akte kelahiran sebagai bentuk indentitas setiap anak akan diuraikan pada bahasan
kedua. Diskusi mengenai hal ini terkait erat dan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari hak sipil dan politik warga negara. Bagian tiga membahas peran
dan tanggungjawab stakeholder dalam menyikapi permasalahan yang terkait dengan
pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak. Bagian penutup akan berisi catatan
pelaksanaan pendaftaran penduduk (Population Administration) dan rekomendasi
terkait pemenuhan hak sipil dan kebebasan di Indonesia.

3. Analisis dan Interpretasi Data


3000000000.1 Hak atas nama dan kewarganegaraan sebagai hak dasar setiap anak
Dalam buku Profil Anak Indonesia 2012 yang dikeluarkan oleh Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, memotret keadaan anak
Indonesia berumur 0-17 tahun pada tahun 2011. Sekitar 82,5 juta (proyeksi
penduduk hasil SP 2010) anak Indonesia berumur 6-17 tahun pada tahun 2011
merupakan aset bangsa yang tidak ternilai harganya. Aset tersebut harus disiapkan
dengan baik guna menyongsong masa depan bangsa yang lebih cemerlang. Anak
Indonesia pada 2011 mencapai sepertiga dari total penduduk Indonesia (33,9
persen). Jika dilihat menurut jenis kelamin, 51,3 persen diantaranya adalah laki-laki
dan 48,7 lainnya adalah perempuan.
Dengan melihat anak sebagai aset dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Anak
merupakan salah satu modal utama sumber daya manusia, jika dipenuhi semua
kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan dan kebutuhan sosial ekonomi
lainnya. Pemenuhan kebutuhan ini akan membentuk anak tumbuh menjadi manusia
berkualitas. Sebaliknya jika kebutuhan anak tidak terpenuhi, dikhawatirkan akan
menurunkan kualitas hidup anak atau sebagian dari mereka akan menimbulkan
masalah bagi keluarga, masyarakat maupun negara.

Perwujudan anak-anak sebagai generasi muda yang berkualitas, berimplikasi pada


perlunya pemberian perlindungan khusus terhadap anak-anak dan hak-hak yang
dimilikinya sehingga anak-anak bebas berinteraksi dalam kehidupan dilingkungan
masyarakat. Sesuai dengan isi Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dalam kerangka hukum Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, hak atas
kewarganegaraan merupakan hak asasi setiap manusia. Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM) dalam Pasal 15 huruf a menegaskan bahwa setiap orang
mempunyai hak untuk memperoleh suatu kewarganegaraan. Kemudian Kovenan
Hak-Hak Sipil dan Politik, hak atas kewarganegaraan diatur dalam Pasal 24 ayat 3.
Karena setiap anak yang lahir harus didaftarkan sebagai bukti awal
kewarganegaraannya, maka Convention on the Rights of the Child (CRC) yang
secara spesifik mengatur kebutuhan anak menjadi acuan yuridis untuk menganalisis
persoalan ini. Pasal 7 C menyatakan anak akan didaftarkan segera setelah kelahiran
dan berhak memperoleh kewarganegaraan. Selanjutnya Pasal 8 menegaskan bahwa
negara menghormati hak anak atas kewarganegaraannya.

Dalam perspektif CRC, negara harus memberikan pemenuhan hak dasar kepada
setiap anak, dan terjaminnya perlindungan atas keberlangsungan, tumbuh kembang
anak misalnya dibidang kesehatan dan pendidikan termasuk hak atas nama dan
kewarganegaraan. Hak atas nama dan kewarganegaraan merupakan hak dasar yang
melekat pada setiap anak yang wajib diberikan negara. Identitas anak diberikan
segera setelah anak itu lahir secara gratis. Negara wajib memberikan identitas anak
sebagai bentuk pengakuan dan bukti hukum bahwa seseorang itu ada serta untuk
mengenalinya diperlukan nama. Sementara kewarganegaraan merupakan alat bukti
hukum bahwa seseorang adalah warga negara yang akan terkait dengan status,
perlindungan dan hak serta kewajiban anak yang bersangkutan.

UUD 1945 sendiri mengakui dengan jelas bagaimana hak asasi manusia itu harus
dihargai, dijunjung tinggi, dihormati dan negara menjadi pemangku kewajiban dari
pemenuhan hak-hak asasi tersebut. Dasar hukum bagi pelaksanaan HAM di negara
ini pun sudah cukup jelas dicantumkan dalam setiap hukum positif yang berlaku,
UUD 1945, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 26 tahun 2000
tentang pengadilan HAM, dan berbagai ratifikasai penegakkan HAM yang sudah
diundangkan. Hal itu berarti,dalam undang-undang tersebut secara eksplisit juga
menerapkan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia termasuk anak sebagai
warga negara (masyarakat). Hak ini kemudian dijabarkan lagi dalam Undang-
Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 5, 27 dan 28; Undang-
Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan pada pasal 27; serta
Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan pasal 5.

3.2 Akte kelahiran sebagai bentuk hak identitas setiap anak


Kepemilikan akte kelahiran juga merupakan salah satu bukti telah terpenuhinya hak
memiliki identitas sebagai anak. Pasal 9 konvensi PBB mengenai hak-hak anak
menentukan bahwa semua anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan
juga harus mempunyai nama serta kewarganegaraan. Konvensi ini menghimbau
agar dilaksanakan pendaftaran kelahiran gratis bagi semua anak dan merupakan
tujuan yang dapat dicapai oleh semua negara. Konvensi itu diratifikasi oleh
Indonesia pada tahun 1990. Namun sampai saat ini masih banyak anak Indonesia
yang identitasnya tidak atau belum tercatat dalam akta kelahiran, sehingga secara
de jure keberadaannya dianggap tidak ada oleh negara.

Hal ini mencerminkan belum terpenuhinya hak anak terhadap identitasnya dan
masih lemahnya sistem pendataan atau registrasi kelahiran. Hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2011 menunjukkan masih rendahnya
kepemilikan akte kelahiran untuk anak 0-4 tahun. Susenas 2011 mencatat hanya
sebesar 59 persen dari penduduk 0-4 tahun yang memiliki akte kelahiran dan
terdapat 40 persen yang tidak memiliki akte kelahiran, sisanya sebesar 1 persen
responden yang ditanya tentang akte kelahiran anaknya menyatakan tidak tahu
tentang akte kelahiran. Ketidaktahuan ini, baik tidak tahu cara mengurusnya
maupun tidak merasa perlu memiliki akte kelahiran, hal ini memperlihatkan
pengetahuan yang kurang pada masyarakat tentang akte kelahiran.

Dengan ketiadaan kepemilikan akta kelahiran ini, menyebabkan ketidakjelasan


identitas anak, yang akan membawa sejumlah implikasi seperti diskriminasi, tidak
memiliki akses terhadap pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan, rawan menjadi
korban perdagangan manusia, mudah dijadikan pekerja anak, rawan menjadi korban
kejahatan seksual, dan lain-lain. Rendahnya kepemilikan akte menunjukkan
kepedulian tentang hak anak oleh orang tua dan pemerintah perlu ditingkatkan.

Meskipun sudah ada upaya untuk mencari jalan keluar atas berbagai hambatan yang
terjadi selama ini, misalnya melalui Nota Kesepahamann (MOU) 8 Menteri yaitu
Kemendagri, Kemenlu, Kemenhukham, Kemenkes, Kemendikdas, Kemensos,
Kemenag, dan KPP&PA pada tahun 2010 tentang Percepatan Kepemilikan Akta
Kelahiran Dalam Rangka Perlindungan Anak, namun dilapangan Nota Kesepahaman
ini belum tersosialisasi dengan baik, bahkan ada juga daerah yang memilih jalan
aman dengan tetap mengacu kepada prosedur standar yang banyak menghambat
bahkan cenderung mendiskriminasi hak-hak anak.

Fakta yang terjadi di era desentralisasi dewasa ini, akte kelahiran justru menjadi
salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD). Hasil Monev yang dilakukan KPAI
terhadap pemenuhan Akte Kelahiran tahun 2011, ditemukan bahwa; Pertama,
sebagian daerah memiliki peraturan daerah terkait akte kelahiran namun belum
secara umum memandatkan gratis. Kedua, sebagian daerah belum memiliki
peraturan daerah terkait pemenuhan akte kelahiran, dampaknya layanan akte
kelahiran kurang berjalan secara sistematis dan terencana. Ketiga, paradigma
layanan pemenuhan akte kelahiran cenderung menggunakan pendekatan tertib
administrasi, dari pendekatan berbasis hak. Keempat, pola layanan akte kelahiran
dari Dinas Pencatatan Sipil secara umum cenderung pasif daripada aktif. Kelima,
akses publik untuk mendapatkan layanan akte kelahiran, terutama penduduk yang
tinggal di daerah yang terkendala masalah kondisi geografis, sangat
memperihatinkan, karena pengurusan akte bisa hingga 1 bulan lebih.

Jalan keluar untuk mengatasi kerumitan tersebut kelihatannya hanya bisa dicairkan
melalui revisi berbagai Peraturan Perundang-undangan yang berlawanan dengan
semangat Perlindungan Anak. Salah satu ganjalan utamanya adalah interpretasi
yang seringkali sepihak oleh pihak Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dengan
mendasarkan diri kepada UU Adminduk (UU No. 23 Tahun 2006) dan peraturan
turunannya seperti Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2007, Perpres No. 25
Tahun 2008 dan berbagai Peraturan Menteri Dalam Negeri. Disamping itu target
pencatatan akta kelahiran semua anak tercatat kelahirannya pada tahun 2015 bagi
usia 0-18 tahun sebagaimana yang dicanangkan dalam Program Nasional Bagi Anak
Indonesia (PNBAI) 2006-2015 juga dianggap gagal dalam memenuhi percepatan
kepemilikan akta kelahiran anak.

Selama ini pembuatan akte kelahiran diatur dalam UU No. 23 tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan. Dalam beberapa pasal dalam UU ini ditegaskan bahwa
pencatatan kelahiran diwajibkan kepada warga negara melalui sistem stelsel aktif
penduduk. Penduduk yang harus pro aktif mencatatkan kelahirannya agar bisa
memiliki akte kelahiran. Hal ini tercantum dalam Pasal 3, 4, 27 ayat 1, 29 ayat 1 dan
4, 30 ayat 1 dan 6, 32 ayat 1 dan 2, 90 ayat 1 dan 2 serta penjelasan Umum UU 23
tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan. Pasal-pasal tersebut mengatur
keharusan setiap warga negara melaporkan kelahirannya sampai sanksi denda bagi
siapa yang melanggar.

Pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28B ayat (2), Pasal
28D ayat (1), Pasal 28D ayat (4), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I
ayat (2), dan Pasal 26 ayat (1) UUD 1945. Memiliki akte kelahiran adalah hak setiap
anak Indonesia. Kewajiban pencatatan kelahiran seharusnya dibebankan kepada
negara dan bukan kepada warga negara (stelsel aktif negara, bukan stelsel aktif
penduduk). Apalagi selama ini pengurusan akte kelahiran terkendala banyak hal
seperti jarak yang jauh, pengurusan yang berbelit, hingga denda yang tidak mampu
dibayar warga negara.

Kenyataan menunjukkan sampai saat ini secara kuantitatif jumlah anak Indonesia
yang memiliki akta kelahiran sekitar 54,79 persen, dari jumlah tersebut ternyata
14,57 persen diantaranya tidak dapat menunjukkan akta kelahirannya. Akibat tidak
terpenuhinya hak anak untuk memperoleh akta kelahiran ini, maka hak atas akta
kelahiran semakin tidak terpenuhi bagi anak-anak di pedesaan/pedalaman. Semakin
berada di pedalaman, semakin tidak terpenuhi hak mereka atas akta kelahiran.
Terbukti bahwa kesenjangan akses menjadi sebab anak kehilangan hak atas akta
kelahiran.

3.3 Peran dan tanggungjawab stakeholder dalam upaya perwujudan perlindungan


anak Indonesia
Banyak permasalahan terkait perlindungan anak yang terjadi berpangkal dari
manipulasi identitas anak. Semakin tidak jelas identitas seorang anak, maka
semakin mudah terjadi eksploitasi terhadap anak seperti anak menjadi korban
perdagangan bayi dan anak, tenaga kerja dan kekerasan. Oleh karenanya perlu
terobosan untuk mempercepat pemenuhan hak identitas anak, untuk memberikan
perlindungan terbaik bagi anak dan mencegah munculnya segala bentuk eksploitasi
bagi anak.

Beban tugas kepada pemerintah tidaklah mudah dan harus melibatkan semua pihak
oleh karenanya harus ada kerjasama dan koordinasi yang sinergi untuk melahirkan
kebijakan-kebijakan yang terbaik bagi anak-anak di Indonesia. Fakta ini
menunjukkan bahwa upaya penanganan perlindungan anak melalui percepatan
kepemilikan akta kelahiran bersifat multi-sektoral dan memerlukan partisipasi dan
koordinasi antar satuan kerja pemerintah baik pusat maupun daerah.

Salah satu upaya penanganan masalah diatas dilakukan oleh para komisioner KPAI.
Mereka berasal dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi
sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya
masyarakat, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli pada perlindungan
anak. Komposisi itu sama seperti yang dimandatkan pada Pasal 75 Ayat 2 UU No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Semuanya mengupayakan perwujudan
perlindungan anak Indonesia.

Dalam kiprahnya, KPAI sudah banyak mencoba mewujudkan hal tersebut. Mereka
menyosialisasikan seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan perlindungan anak. Mereka juga mengumpulkan data dan informasi,
menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi,
dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Dan, yang pasti,
mereka memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden
dalam rangka perlindungan anak (lihat Pasal 76 UU Nomor 23 Tahun 2002).

Tiga tahun terakhir, mereka proaktif dalam merespons persoalan aktual di


masyarakat. Sebut saja mereka mengadvokasi bocah yang dihukum penjara karena
mencuri sandal. KPAI memprakarsai Gerakan 1.000 sandal. Mereka juga tambah
aktif dalam mengadvokasi pemerintah (nasional dan daerah) untuk mempercepat
atau menerapkan akta kelahiran gratis buat seluruh anak Indonesia.

Di bidang pencegahan, dalam tiga tahun belakangan ini, KPAI juga melakukan kerja
sama dengan sejumlah lembaga negara untuk hal perlindungan anak, misalnya
dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Termasuk
mengembangkan Gerakan Anak untuk Kejujuran serta menjalin komunikasi dan
jaringan dengan 154 link data mitra. Yang jelas juga, setidaknya dalam dua hingga
tiga tahun terakhir, komisioner di KPAI sering dijadikan rujukan oleh media dalam
memonitor kasus-kasus terkait perlindungan anak.

Berdasarkan hasil pertemuan workshop KPAI terkait Focused Group Discussion


(FGD) masalah Akta Kelahiran Anak di Bogor bersama Jaringan Kerja Peduli Akta
Kelahiran (JAKER_PAK), dirumuskan beberapa rekomendasi terkait pentingnya
melakukan Judicial Review UU Adminduk ke Mahkamah Konstitusi sebagai langkah
kongkrit dalam merubah p0ersepsi dan regulasi terkait pemenuhan hak anak atas
identitas, diantaranya menginisiasi untuk meninjau seluruh peraturan perundang-
undangan yang bertentangan dengan semangat UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak khususnya terkait dengan pemenuhan akta kelahiran, disamping
itu segera menyampaikan surat permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung bahwa
pencatatan kelahiran yang terlambat lebih dari 1 (satu) tahun bukan merupakan
perkara/sengketa, tetapi dimohonkan untuk bisa diproses penetapan dengan hukum
acara cepat, serta seluruh proses pemenuhan akta kelahiran harus gratis sebagai
bentuk konsistensi terhadap realisasi UU Perlindungan Anak dan realisasi MOU 8
Menteri yang perlu meningkatkan sosialisasi percepatan pemenuhan akta kelahiran,
karena dianggap sampai saat ini belum efektif.

KPAI dan JAKER_PAK juga mengapresiasi keputusan Mahkamah Konstitusi


sebelumnya yang telah membatalkan pasal 32 ayat 2 UU No. 23/2006 tentang
Administrasi Kependudukan. Pasal tersebut mengharuskan pencatatan kelahiran
yang melampaui batas 1 (satu) tahun mesti melalui Pengadilan Negeri. Dengan
dibatalkan pasal tersebut masyarakat tidak perlu lagi mengurus Akte Kelahiran ke
pengadilan meskipun sudah lewat 1 (satu) tahun.

Namun KPAI dan JAKER_PAK menilai pembatalan pasal tersebut belum cukup untuk
menjamin terpenuhinya hak identitas warga negara sebagaimana dicantumkan
dalam UUD Dasar 1945. Keseluruhan semangat pembuatan akte kelahiran melalui
sistem stelsel aktif penduduk yang dicantumkan dalam Undang-Undang inilah yang
harusnya dibatalkan dan menyatakan bahwa pencatatan kelahiran adalah kewajiban
negara. Negara yang mestinya aktif mencatatkan kelahiran warga negaranya, bukan
warga negara yang aktif mencatatkan kelahirannya (stelsel aktif negara, bukan
stelsel aktif penduduk).

Adapun respon dan langkah Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam menyikapi
permasalahan yang terkait dengan pemenuhan hak sipil dan kebebasan anak,
dilakukan melalui : KPAI intens melakukan pemantauan dan penelaahan atas
kebijakan dan pelayanan akte kelahiran diseluruh daerah di Indonesia, bersama
unsur masyarakat jaringan kerja peduli akte kelahiran KPAI sedang mempersiapkan
kelanjutan sidang Judisial Review atas pasal-pasal UU Administrasi Kependudukan
yang cenderung bernuansa diskriminatif dan tidak ramah anak ke-Mahkamah
Konstitusi, khususnya terkait dengan stelsel aktif bagi Penduduk dan stelsel pasif
negara dan pemberian sanksi bagi penduduk yeng terlambat mengurus akte
kelahiran; Memberikan masukan kepada Kementerian Dalam Negeri agar
pemerintah memberikan layanan akta kelahiran secara gratis dan ramah anak;
kemudian KPAI intens dalam memantau perkembangan layanan informasi dan
hiburan di media dengan perspektif perlindungan anak; serta KPAI melakukan
pemantauan perkembangan partisipasi anak dalam pengambilan kebijakan publik.

4. Penutup
4.1 Kesimpulan
Bahwa banyak persoalan yang terkait dengan masalah pelaksanaan prinsip
pendaftaran penduduk (Population Administration) yang tidak sejalan dengan prinsip
pencatatan sipil, khususnya mengenai makna pemberian status hukum otentik
kepada anak yang juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari perlindungan anak
baik ditegaskan oleh KHA maupun UU Perlindungan Anak). Salah satu ganjalan
utama adalah interpretasi yang seringkali sepihak oleh pihak Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil dengan mendasarkan diri kepada UU Adminduk (UU No. 23
tahun 2006) dan peraturan turunannya (seperti PP No. 37 Tahun 2007, Perpres No.
25 Tahun 2008 dan berbagai Peraturan Menteri Dalam Negeri).

Meskipun sudah ada upaya untuk mencari jalan keluar atas berbagai hambatan yang
terjadi selama ini, misalnya melalui Nota Kesepahaman 8 Menteri, namun
dilapangan Nota Kesepahaman ini belum tersosialisasi dengan baik, bahkan ada juga
daerah yang memilih jalan aman dengan tetap mengacu kepada prosedur standar
yang banyak hambatannya kepada anak tersebut. Dengan demikian upaya
terpenting yang perlu dilakukan adalah merevisi Peraturan Perundang-undangan
yang ada sebagai prioritas, mengingat pelaksana di lapangan cenderung
menerapkan aturan secara kaku sesuai dengan bidang masing-masing tanpa
mengacu peraturan perundang-undangan yang bersifat prinsip.

Secara umum, nomenklatur sudah tidak menjadi permasalahan karena sudah


diseragamkan, namun yang lebih dperlukan adalah penambahan fasilitas
perpanjangan tangan untuk menjangkau derah-daerah yang selama ini mengalami
kesulitan transportasi ataupun juga penambahan tenaga yang kualifikasinya penuh,
yang bisa disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing, yaitu menyediakan
seksi khusus bagi registrasi di setiap kelurahan/desa (bila daerah itu mampu dan
tenaganya cukup), atau menyediakan unit bergerak (mobil keliling) sesuai waktu
tertentu yang bisa menjangkau seluruh kelurahan/desa khususnya di daerah yang
relatif luas, atau setidaknya memungkinkan adanya pelaksana unit penjemputan
yang bisa dicangkokkan kepada system yang sudah berjalan selama ini.

Selama ini program atau kegiatan yang dilakukan belum fokus kepada masalah
pemenuhan hak anak dan perlindungannya, karena itu segenap upaya harus
dilakukan, mulai dari sosialisasi hingga tingkat masyarakat terbawah, pengadaan
kegiatan untuk mengatasi hambatan persyaratan dan prosedur, dan lebih khusus
lagi adalah crash program untuk memungkinkan semua anak bisa mendapatkan
akta kelahirannya tanpa kecuali, tanpa dihambat oleh masalah kependudukan orang
tuanya atau status kerentanan apapun yang dihadapinya.

4.2 Saran
Melihat sejumlah gambaran masalah tersebut, maka upaya yang penting dapat
dilakukan sebagai rekomendasi terkait pemenuhan hak sipil dan kebebasan adalah
sebagai berikut:
1) Pertama, Perlu meninjau ulang seluruh peraturan perundang-undangan yang
bertentangan dengan semangat Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak khususnya terkait dengan pemenuhan akta kelahiran;
2) Kedua, Kementerian Dalam Negeri perlu merespon secara cepat terhadap
Peraturan Daerah yang masih memungut biaya dalam pemenuhan akta kelahiran
dan perlu mendorong inovasi daerah dalam percepatan layanan kepemilikan akta
kelahiran;
3) Ketiga, Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu melakukan penyederhanaan
persyaratan dalam pemenuhan akta kelahiran;
4) Keempat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu mendekatkan layanan
pemenuhan akte kelahiran hingga Kecamatan atau jika memungkinkan sampai ke-
tingkat Kelurahan/Desa;
5) Kelima, Dalam hal saksi, perlu penegasan definisi bahwa saksi adalah orang yang
menyaksikan langsung, mengetahui atau membantu persalinan yang keberadaannya
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum;
6) Keenam, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil serta masyarakat perlu sama-
sama dalam posisi aktif ikut serta mendorong mempercepat kepemilikan akta
kelahiran.
7) Ketujuh, Seluruh proses pemenuhan akte kelahiran harus gratis sebagai bentuk
konsistensi terhadap realisasi Undang-Unddang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
8) Kedelapan, Sebagai bentuk realisasi MOU 8 Menteri, perlu meningkatkan
sosialisasi percepatan kepemilikan akta kelahiran.
9) Kesembilan, Perlu menyelaraskan kebijakan terkait pembebasan biaya penerbitan
akta kelahiran dan pembuatan surat/kutipan keterangan lahir di Perwakilan Republik
Indonesia bagi anak yang lahir di Luar Negeri.
10) Kesepuluh, Perlu dibuat Forum Koordinasi Daerah untuk mengadakan pertemuan
rutin dan menjembatani hambatan birokrasi yang terjadi selama ini, baik antar
SKPD maupun juga dengan kelompok-kelompok masyarakat sehingga pemetaan
terhadap penyebab dan pemecahannya dapat dilakukan secara tuntas dan segera.
Beberapa hal yang perlu diperdalam misalnya mengenai masalah anggaran,
dokumen dan prosedur alternatif, dan lebih khusus lagi adalah juga melatih para
tenaga pencatatan sipil untuk memahami bagaimana yang disebut pemenuhan hak
anak dan perlindungannya, sehingga tidak terjebak ke dalam teknis administrasi
belaka, namun juga memahami bagaimana kewajibannya untuk menjamin hak-hak
anak tersebut terpenuhi tanpa adanya kendala.

Daftar Pustaka

Aulia, Maulidatul, Hukum Perdata Akta Kelahiran Sebagai Asal Usul Anak, makalah
hukum, UNEJ Jember, 2012.

Anonim, Perlindungan Anak Bidang Hak Sipil dan Kebebasan, Laporan Presiden,
KPAI, Jakarta, 2013.
Hakim, Abdul, Pekerjaan Rumah Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Koran
Jakarta, 25 Oktober 2013.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA) & Badan


Pusat Statistik (BPS), Profil Anak Indonesia 2012, CV. Miftahur Rizky, Jakarta, 2012.

Middlemas, Natha, Pendaftaran Kelahiran dan Pencapaian Hak-hak Anak: Studi


Kasus Kota Malang, laporan penelitian, UMM Malang, 2011.

Anda mungkin juga menyukai