Anda di halaman 1dari 8

Penyesuaian Grandfather Clause sebagai Bentuk Kepastian Hukum Bagi

Penanaman Modal di Indonesia dengan Survival Clause dalam


Bilateral Investment Treaty
Febriansyah Ramadhan Sunarya* (2006495302)
* Mahasiswa Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Korespondensi: febriansyah.ramadhan@ui.ac.id
==============================================================
Abstrak
Pemerintah selaku penyelenggara negara yang memiliki peran utama dalam
menciptakan kesejahteraan bagi warga negaranya. Hal itu diwujudkan melalui upaya
pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di dalam negaranya.
Pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan dengan menarik minat penanaman modal asing.
Untuk dapat menarik minat penanaman modal asing diperlukan regulasi yang
memberikan kepastian bagi para calon penanam modal, maka pemerintah dapat
melakukan BIT yang merupakan persetujuan yang dapat melindungi penanam modal
dari suatu negara di wilayah negara lain dengan memberikan peraturan-peraturan
substansif yang jelas dan mengatur perlakuan negara tuan rumah terhadap investasi
dengan membentuk penyelesaian sengketa yang dapat diterapkan pada dugaan
pelanggaran terhadap peraturan-peraturan itu. BIT menimbulkan akibat hukum bagi
kedua belah negara, di mana pelaku usaha dari kedua belah negara memiliki kewajiban
untuk mencantumkan klausula-klausula yang terdapat pada BIT. Selain itu, kepastian
hukum bagi penanam modal terdapat pada grandfather Clause atau asas pengecualian
yang memperbolehkan aturan lama berlaku atas beberapa situasi atau konteks yang
sedang berlangsung ketika aturan baru dibuat untuk semua situasi dan konteks di masa
mendatang. Grandfather clause dinyatakan dalam Pasal 13 Perpres 44/2016.
Grandfather clause dalam Perpres 44/2016 sesuai dengan survival clause dalam BIT
yang memberikan kepastian bagi penanam modal asing untuk melaksanakan perjanjian
meskipun BIT telah berakhir.
Kata kunci: penanaman modal, investasi, Bilateral Investment Treaty, Survival Clause,
Grandfather Clause

A. Pendahuluan
Pemerintah selaku penyelenggara negara memiliki peran utama dalam
menciptakan kesejahteraan bagi warga negaranya. Negara kesejahteraan berbicara
bukan hanya suatu upaya dalam mencapai kemakmuran yang diukur dengan indikator-
indikator utama ekonomi, melainkan bagaimana tata kelembagaan dapat menciptakan
ekonomi yang memang menghasilkan kesejahteraan rakyat 1. Pemerintah harus dapat
menjamin bahwa seluruh kebijakan yang dilakukan untuk mengupayakan
perkembangan pada bidang perekonomian di suatu negara memang ditujukan untuk
memajukan kesejahteraan setiap warga negaranya. Perkembangan pada bidang
perekonomian ini membawa setiap negara kepada suatu keterbukaan ekonomi atau yang
biasa disebut dengan globalisasi ekonomi. Globalisasi sebagai suatu proses ekonomi

1
An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan
Internasional dan Hukum Penanaman Modal, PT Alumni, Bandung, 2014, hlm 17

1
sangat berdampak pada konsep negara kesejahteraan terutama berhubungan dengan
kebijakan sosial dan kesejahteraan sosial.2
Pada saat ini, globalisasi telah membawa perkembangan dalam bidang
perekonomian, khususnya dalam bidang penanaman modal. Negara maju dan negara
berkembang saling berperan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negaranya
masing-masing. Negara maju menanamkan modalnya pada negara berkembang, dan
negara berkembang mempromosikan potensi usaha di negaranya agar dapat mengikat
para penanam modal asing dari negara-negara maju. Dalam suasana seperti ini, penting
untuk disadari bahwa memasuki arena pasar global, tentunya harus disertai persiapan
yang matang dan terintregasi terlebih lagi jika ingin mengundang investor asing.3
Untuk dapat menarik minat penanam modal khususnya penanam modal asing,
tentunya pemerintah harus dapat memca keinginan dari calon penanam modal asing
dengan cara menyediakan hal-hal yang mampu menarik minat tersebut, diantaranya
dnegan melakukan Bilateral Investment Treaty—yang selanjutnya disebut BIT— yang
merupakan persetujuan yang dapat melindungi penanam modal dari suatu negara di
wilayah negara lain dengan memberikan peraturan-peraturan substansif yang jelas dan
mengatur perlakuan negara tuan rumah terhadap investasi dengan membentuk
penyelesaian sengketa yang dapat diterapkan pada dugaan pelanggaran terhadap
peraturan-peraturan itu.4
Pada tahun 2017 lalu, Indonesia berhasil mendapat investment grade sebagai
negara layak investasi.5 Predikat layak investasi ini tentu membuat Indonesia memiliki
akses yang lebih besar kepada investor. Predikat layak invstasi yang diberikan oleh
lembaga internasional antara lain Standard & Poor’s (S&P) maupun Fitch Rating akan
memberi keyakinan positif dan mendorong minat investasi ke Indonesia.6 Momentum di
tahun 2017 tersebut harus dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan investasi di
Indonesia. Pertumbuhan investasi diharapkan dapat menjadi instrumen pertumbuhan
ekonomi Indonesia di tahun 2018 ini, mengingat target pemerintah terkait pertumbuhan
ekonomi dari sekitar 5,1 % di tahun 2017 diharapkan mencapai 6 % di tahun 2018.7
Usaha pemerintah dalam meningkatkan ekosistem investasi di Indonesia, salah
satunya dilakukan melalui penyederhanaan persyaratan investasi dilakukan pemerintah.
Penyederhanaan ketentuan tersebut dilaksanakan melalui konsep omnibus law yang
pada dasarnya merupakan konsep baru yang diterapkan di Indonesia. Omnibus law
sendiri merupakan cara untuk mengubah, memangkas, dan/atau mencabut sejumlah
undang-undang. Konsep omnibus law tersebut kemudian diterapkan dalam
pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja—yang
selanjutnya disebut UU 11/2020—yang mengubah berbagai peraturan perundang-
undangan, yang salah satunya adalah peraturan perundang-undangan di bidang
penanaman modal, sebagaimana tercantum dalam Bagian Kelima tentang
Penyederhanaan Persyaratan Investasi pada Sektor Tertentu. Bagian ini merupakan

2
Ibid., hlm 106
3
Bijit Blora, foreign Direct Investment: Research Issues, Routledge, London, 2002, hlm. 274
4
Sam Suhaedi, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 1968, hlm. 55-56.
5
Rio Christiawan, “Grandfather Clause”, https://swa.co.id/swa/my-article/grandfather-clause, diakses
pada 17 Desember 2020, Pukuil 13.10.
6
Ibid.
7
Ibid.

2
perkembangan dari pengaturan penanaman modal dalam Undang-Undang No. 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal—yang selanjutnya disebut UU 25/2007.
Upaya pemerintah dengan mengundangkan UU 11/2020 merupakan langkah
konkret dalam mengejar pertumbuhan investasi. Dengan diundangkannya UU 11/2020
tentu akan meningkatkan kemudahan berusaha atau easy of doing business (EoDB).
Saat ini, Indonesia menempati ranking 74 dalam kemudahan berusaha, sebagai
perbandingan Malaysia menempati ranking 12 dan Singapura menempati ranking 2.8
Sebagai evaluasi atas rating EoDB adalah faktor regulasi dan perijinan yang dipandang
belum stabil oleh investor. Bahkan, dalam beberapa paket kebijakan ekonomi Presiden
Joko Widodo juga telah menyoroti persoalan regulasi yang kontraproduktif dengan
semangat menumbuhkan investasi dan juga persoalan rumitnya mengurus perizinan
usaha di Indonesia.9
Istilah investasi atau penanaman modal merupakan istilah yang dikenal dalam
kegiatan bisnis sehari-hari maupun dalam bahasa perundang-undangan. Investasi
memiliki pengertian yang lebih luas karena dapat mencakup baik investasi langsung
(direct investment) maupun investasi tidak langsung (portofolio investment), sedangkan
penanaman modal lebih memiliki konotasi kepada investasi langsung10.
Rudolf Dolzer dan Christoph Schreuer dalam buku Principle of International
Investment Law menyebutkan Direct investment sering diartikan sebagai kegiatan
penanaman modal yang melibatkan: (i) pengalihan dana (transfer of funds); (ii) proyek
yang memiliki jangka waktu panjang (long-term project); (iii) tujuan memperoleh
pendapatan reguler (the purpose of regular income); (iv) partisipasi dari pihak yang
melakukan pengalihan dana (the participation of the person transferring the funds); dan
(v) suatu risiko usaha (business risk).11
Pemerintah dalam menentukan kebijakan penanaman modal diharapkan dapat
menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam
modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan
penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam
kegiatan penanaman modal di Indonesia, dapat dikatakan bahwa Daftar Negatif
Investasi —yang selanjutnya disebut DNI—merupakan acuan pertama kali dan
terpenting bagi calon penanam modal.
Dalam DNI, terdapat istilah grandfather Clause atau asas pengecualian yang
memperbolehkan aturan lama berlaku atas beberapa situasi atau konteks yang sedang
berlangsung ketika aturan baru dibuat untuk semua situasi dan konteks di masa
mendatang.12 Pasal 13 Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 menyatakan bahwa
Ketentuan pelaksanaan kegiatan Penanaman Modal terhadap Bidang Usaha yang diatur
dalam Perpres 44/2016 tidak berlaku bagi Penanarnan Modal yang telah disetujui pada
8
Doing Business, “Easy of Doing Business rankings”, https://www.doingbusiness.org/en/rankings?
region=east-asia-and-pacific, diakses pada 17 Desember 2020, Pukuil 14.10.
9
Rio Christiawan, Op.cit.
10
Ana Rokhmatussa’dyah, S.H., M.H. dan Suratman, S.H., M. Hum., Hukum Investasi dan Pasar Modal,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2018), hlm.3
11
David Kairupan, S.H., LL.M., Aspek Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2013), hlm. 19
12
Kurniawan A. Wicaksono, “Grandfather Clause Akan Masuk di Template BIT”,
https://ekonomi.bisnis.com/read/20150619/9/444946/grandfather-clause-akan-masuk-di-template-bit,
diakses pada 17 Desember 2020, Puku[ CITATION Car03 \l 1033 ]l 16.10.

3
bidang usaha tertentu sebelum Perpres 44/2016 diundangkan, sebagaimana yang
tercantum dalam izin Penanaman Modal dan/atau izin usaha perusahaan, kecuali
ketentuan tersebut lebih menguntungkan bagi Penanaman Modal dimaksud.

Dalam rezim peraturan penanaman modal di Indonesia, Grandfather clause


merupakan ketentuan peralihan sehingga dengan adanya grandfather clause dalam
penanaman modal khususnya investor asing tidak perlu khawatir dengan perubahan
regulasi yang terkait investasi yang dilakukan para investor. Grandfather clause
merupakan media untuk menjembatani situasi regulasi yang perlu disinkronkan dan
perizinan usaha yang perlu disederhanakan. Investor cenderung mengharapkan
dilakukannya perluasan atas grandfather clause karena dengan adanya perluasan
aplikasi grandfather clause maka potensi business interuption akibat proses penegakan
hukum yang terkait perubahan regulasi maupun terkait perizinan usaha dapat
diminimalisir.13

Perluasan aplikasi grandfather clause ini dapat menyesuaikan dengan pola


survival clause dalam BIT yang memberi jaminan akan pelaksanaan isi perjanjian
dengan kondisi yang sama sebagaimana diperjanjikan di awal kesepakatan meskipun
terjadi perubahan regulasi yang berdampak pada kegiatan penanaman usaha.

Permasalahan

Bagaimana kesesuaian Grandfather Clause sebagai bentuk kepastian hukum bagi


penanaman modal di Indonesia dengan Penerapan Survival Clause dalam Bilateral
Investment Treaty?

Pembahasan

Upaya pemerintah dalam meningkatkan investasi dengan memberikan kepastian hukum


bagi penanam modal asing di Indonesia terlihat dengan diberlakukannya grandfather
clause dalam rezin peraturan penanaman modal di Indonesia. Untuk mengetahui lebih
dalam maka dijabarkan dalam penjelasan berikut mengenai Grandfather Clause sebagai
bentuk kepastian hukum bagi penanaman modal di Indonesia dan Kesesuaian
Grandfather Clause dengan penerapan Survival Clause dalam Bilateral Investment
Treaty.

a. Grandfather Clause sebagai bentuk kepastian hukum bagi penanaman modal di


Indonesia
Dalam Pasal 13 Perpres 44/2016 menyatakan bahwa Ketentuan pelaksanaan
kegiatan Penanaman Modal terhadap Bidang Usaha yang diatur dalam Perpres 44/2016
tidak berlaku bagi Penanarnan Modal yang telah disetujui pada bidang usaha tertentu
sebelum Perpres 44/2016 diundangkan, sebagaimana yang tercantum dalam izin
Penanaman Modal dan/atau izin usaha perusahaan, kecuali ketentuan tersebut lebih
menguntungkan bagi Penanaman Modal dimaksud.
asas pengecualian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 Perpres 44/2016 diatas
pada prinsipnya memperbolehkan aturan lama berlaku atas beberapa situasi atau

13
Rio Christiawan. Op.cit.

4
konteks yang sedang berlangsung ketika aturan baru dibuat untuk semua situasi dan
konteks di masa mendatang merupakan grandfather clause.
Grandfather clause sendiri merupakan pengecualian dalam kontrak yang
memperbolehkan aturan lama tetap berlaku atas beberapa situasi ketika ada aturan baru
untuk masa yang akan datang. Aplikasi perluasan grandfather clause pada daftar
investasi merupakan solusi atas terjadinya inkonsistensi kebijakan yang berakibat pada
tata perijinan usaha.14
Perluasan grandfather clause sendiri dapat dilakukan dengan meninjau kembali
daftar negatif investasi mengingat grandfather clause telah diatur secara restriktif dan
sangat terbatas dalam daftar negatif investasi. Latar belakang munculnya grandfather
clause dalam investasi adalah agar pemerintah dalam menentukan kebijakan diharapkan
dapat menjamin kepastian hukum sehingga kepastian berusaha dapat lebih terjamin
dalam pengertian sejak proses pengurusan perizinan hingga aktivitas investasi oleh
investor.
Grandfather clause sebenarnya merupakan ketentuan peralihan sehingga dengan
adanya grandfather clause dalam penanaman modal khususnya investor asing tidak
perlu khawatir dengan perubahan regulasi yang terkait investasi yang dilakukan para
investor. Grandfather clause merupakan media untuk menjembatani situasi regulasi
yang perlu disinkronkan dan perizinan usaha yang perlu disederhanakan. Investor
cenderung mengharapkan dilakukannya perluasan atas grandfather clause karena
dengan adanya perluasan aplikasi grandfather clause maka potensi business interuption
akibat proses penegakan hukum yang terkait perubahan regulasi maupun terkait
perizinan usaha dapat diminimalisir.

b. Kesesuaian Grandfather Clause dengan penerapan Survival Clause dalam Bilateral


Investment Treaty
Sebagai negara berkembang, Indonesia berpartisipasi dalam kegiatan penanaman
modal asing dalam rangka mengembangkan pembangunan ekonomi. Penanaman modal
asing ke negara sedang berkembang pada prinsipnya bersangkutan dengan tiga hal
pokok yaitu ekonomi, politis dan hukum.15
Hubungan ekonomi Indonesia dengan negara lain tentunya djalankan
berdasarkan prinsip itikad baik dari negara-negara mitra berdasarkan kerjasama
ekonomi antara Indonesia dengan negara lain. Pemerintah pada negara maju serta
negara berkembang, telah memberlakukan peraturan terkait dengan penanaman modal
asing pada saat memasuki pola kegiatan penanaman modal asing senada dengan tujuan
pembangunan dari negara-negara tersebut.16 Namun seiring dengan adanya peningkatan
kerjasama ekonomi ini, negara-negara pelaksana kegiatan kerjasama ekonomi tersebut
memerlukan suatu aturan yang mengatur hubungan kerjasama ekonomi ini dalam
hukum internasional. Dengan demikian dibutuhkan suatu regulasi internasional untuk
meyakinkan bahwa perusahaan-perusahaan maupun pemerintah bersikap dalam cara-
cara yang menguntungkan ekonomi global.17 Salah satu fenomena yang paling luar
biasa dalam hukum internasional selama dua dekade terakhir adalah peningkatan yang
14
Ibid
15
An An Chandrawulan, Op. Cit., hlm. 1.
16
Carlos M Correa dan Nagesh Kumar, Protecting Foreign Investment: Implication of a WTO Regime and
Policy Options, Zed Books, London, 2003, hlm. 24-25

5
luar biasa dalam jumlah perjanjian internasional yang berkaitan dengan perlindungan
dan liberalisasi mengenai penanaman modal asing.18
Pemerintah Indonesia menjalin kerjasama dengan negara mitra melalui
perjanjian internasional yang merupakan salah satu produk hukum yang dapat
memberikan kepastian hukum dalam rangka pelaksanaan kegiatan penanaman modal
asing di Indonesia. Salah satu perjanjian internasional di bidang ekonomi internasional
adalah dalam bentuk perjanjian bilateral. Perjanjian bilateral ini dibuat langsung
bersama dengan negara mitra dan merupakan salah satu bentuk peran aktif negara dalam
melindungi para investor asing dalam melakukan kegiatan penanaman modal asing.
Perjanjian bilateral memberi jaminan atau perlakuan khusus kepada negara
penanam modal agar mau menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini yang
menggiring negara-negara pelaku investasi untuk pada akhirnya merumuskan BIT
sebagai bentuk perjanjian bilateral yang mengatur masalah perlindungan terhadap
investasi asing.19 BIT merupakan perjanjian dibidang penanaman modal yang bertujuan
untuk mempromosikan dan memberikan perlindungan terhadap investor asing dalam
kegiatan penanaman modal.
BIT pertama kali pada tahun 1959 antara Jerman dan Pakistan. Saat itu BIT
dianggap sebagai sarana perlindungan investasi antara negara maju dan negara
berkembang, meskipun pada saat itu perlindungan yang diberikan masih sedikit dan
pengaturan penyelesaian sengketa belum ada.20
Indonesia telah melakukan BIT dengan 67 (enam puluh tujuh negara) negara
mulai tahun 1972 dengan Belgia, dengan 3 (tiga) macam status, yaitu belum diratifikasi,
terminated, dan masih berlaku. Sedangkan perjanjian Indonesia dengan 20 (dua puluh)
negara masih belum diratifikasi, 22 (dua puluh dua) terminated, dan 24 (dua puluh
empat) masih berlaku.21
BIT tentu saja menimbulkan akibat hukum bagi kedua belah negara, di mana
pelaku usaha dari kedua belah negara memiliki kewajiban untuk mencantumkan
klausula-klausula yang terdapat pada BIT. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terdapat
beberapa masalah yang menyebabkan konflik dengan pelaku usaha dikarenakan ada
suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia yang merugikan investor dan hal
tersebut melanggar klausula yang terdapat pada BIT.22
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tanteng Pasar Modal-
selanjutnya disebut UUPM-menyatakan bahwa dilakukan perlakuan istimewa kepada
negara yang melakukan BIT dengan indonesia. Sebagai suatu langkah perkecualian
pada asas non-discrimination. Di mana dalam Pasal-Pasal tersebut digunakan sebagai
17
Robert Gilpin dan Jean Milles Gilpin, The Challenge of Global Capitalism (Tantangan Kapitalisme
Global) Penerjemah: Haris Munadar, Dudy Priatna, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 174
18
Karl P. Sauvant dan Lisa E. Sachs, The Effect of Treaties on Foreign Direct Invesment: Bilateral
Investment Treaties, Double Taxation Treaties, and Investment Flows, Oxford University Press, New
York, 2009, hlm. 3
19
James Zhan, International Investment Rule-Making: Stocktaking Challenges and The Way Forward,
United Nations, New York And Geneva, 2008, hlm. 11.
20
UNCTAD. World Investment Report 2015: Reforming International Investment Governance, hlm. 123-
124.
21
BKPM. Perjanjian Internasional. Diakses melalui http:// www2.bkpm.go.id pada tanggal 3 Juli 2019.
22
Fries Melia Salviana. (2018). Kepastian Hukum Penerapan Bilateral Investmen Treaty dalam
Pelaksanaan Investasi di Indonesia. Jurnal Prespektif, Vol. 23 Nomor 3. hlm. 185

6
ketentuan dasar yang akan dimasukkan ke dalam klausula-klausula yang ada di dalam
perjanjian.
Dalam BIT, para pihak dapat memasukan klausul survival clause dalam hal
terjadinya pengakhiran BIT. Survival clause digunakan untuk menjelaskan pasal dalam
sebuah perjanjian yang tetap berlaku sesudah berakhirnya perjanjian tersebut.
Berakhirnya BIT tidak akan mengakibatkan serta merta mengakhiri treatment yang ada
pada BIT. Sebuah survival clause diperlukan apabila para pihak menghendaki seluruh
pasal dalam perjanjian yang akan tetap berlaku pasca perjanjian tersebut berakhir dalam
jangka waktu yang disepakati para pihak.
Penerapan survival clause dalam BIT sebagai sebuah bentuk perlindungan yang
diberikan kepada investor asing yang telah menanamakan modalnya pada saat sebelum
berakhirnya BIT antara negara Indonesia dengan negara asal investor asing tersebut,
apabila dikaitkan dengan sifat perlindungannya dianggap tidak seimbang karena sangat
berpihak pada kepentingan investor asing.
Beberapa permasalahan dalam penerapan survival clause timbul sehubungan
dengan keinginan Indonesia sebagai negara berkembang untuk menyajikan BIT yang
sesuai dengan keadaan perekonomian Indonesia pada saat ini. Di sisi lain, Investor asing
tentunya menginginkan BIT yang paling menguntungkan untuk pelaksanaan kegiatan
penanaman modal yang dilakukan investor asing tersebut di Indonesia, dalam hal
apapun, dan untuk memperjelas penafsiran yang timbul dalam survival clause ini, para
pihak menyamakan pandangan terhadap dampak dari klausul tersebut sesuai dengan
tujuan utama dan kehendak dari para pihak dalam perjanjian, sehubungan dengan
penafsiran sifat perlindungan dari klausul tersebut23
Survival clause dalam BIT dan grandfather clause dalam DNI tentu memiliki
makna yang sama. Keduanya memberi jaminan akan pelaksanaan isi perjanjian dengan
kondisi yang sama sebagaimana diperjanjikan di awal kesepakatan meskipun terjadi
perubahan regulasi yang berdampak pada kegiatan penanaman usaha.
Pelaksanaan survival clause dalam BIT yang dijamin dalam Pasal 6 UUPM
memberikan jaminan keberlangsungan perjanjian yang dilakukan investor sesuai dengan
grandfather clause dalam Pasal 13 Perpres 44/2016 yang menjamin tidak akan
berubahnya proses perizinan ataupun persentase kepemilikan modal asing terhadap
bidang usaha yang diinvestasikan meski ketentuan mengenai bidang usaha tersebut telah
diubah dengan regulasi yang baru.

Kesimpulan
Pemerintah selaku penyelenggara negara yang memiliki peran utama dalam
menciptakan kesejahteraan bagi warga negaranya. Hal itu diwujudkan melalui upaya
pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di dalam negaranya.
Pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan dengan menarik minat penanaman modal asing.
Untuk dapat menarik minat penanaman modal asing diperlukan regulasi yang
memberikan kepastian bagi para calon penanam modal, maka pemerintah dapat
melakukan BIT yang merupakan persetujuan yang dapat melindungi penanam modal
dari suatu negara di wilayah negara lain dengan memberikan peraturan-peraturan
23
Ramon Ramirez Quijada, The “Survival Clause” in the Netherlands – Venezuelan BIT: A Salvation
Gateway for Foreign Investement in the Oil Sector or a Curse for the Venezuelan Government?, Centre
for Energy, Petroleum and Mineral Law and Policy Annual Review, Juni 2009

7
substansif yang jelas dan mengatur perlakuan negara tuan rumah terhadap investasi
dengan membentuk penyelesaian sengketa yang dapat diterapkan pada dugaan
pelanggaran terhadap peraturan-peraturan itu. BIT menimbulkan akibat hukum bagi
kedua belah negara, di mana pelaku usaha dari kedua belah negara memiliki kewajiban
untuk mencantumkan klausula-klausula yang terdapat pada BIT. Selain itu, kepastian
hukum bagi penanam modal terdapat pada grandfather Clause atau asas pengecualian
yang memperbolehkan aturan lama berlaku atas beberapa situasi atau konteks yang
sedang berlangsung ketika aturan baru dibuat untuk semua situasi dan konteks di masa
mendatang. Grandfather clause dinyatakan dalam Pasal 13 Perpres 44/2016.
Grandfather clause dalam Perpres 44/2016 sesuai dengan survival clause dalam BIT
yang memberikan kepastian bagi penanam modal asing untuk melaksanakan perjanjian
meskipun BIT telah berakhir.

Daftar Pustaka
Ana Rokhmatussa’dyah, & Suratman. (2018). Hukum Investasi dan Pasar Modal.
Jakarta: Sinar Grafika.
Blora, B. (2002). Foreign Direct Investment: Research Issues. London: Routledge.
Carlos M Correa, & Nagesh Kumar. (2003). Protecting Foreign Investment:
Implication of a WTO Regime and Policy Options. London: Zed Books.
Chandrawulan, A. A. (2014). Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum
Perdagangan Internasional dan Hukum Penanaman Modal. Bandung: PT
Alumni.
Christiawan, R. (2018, Februari 27). Grandfather Clause. Retrieved from SWA Online:
https://swa.co.id/swa/my-article/grandfather-clause
Doing Business. (2020). Easy of Doing Business Rankings. Retrieved from Doing
Business Web site: https://www.doingbusiness.org/en/rankings?region=east-
asia-and-pacific
Kairupan, D. (2013). Aspek Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group.
Robert Gilpin, & Jean Milles Gilpin. (2002). The Challenge of Global Capitalism
(Tantangan Kapitalisme Global) Penerjemah: Haris Munadar. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Sauvant, K. P., & Sachs, L. E. (2009). The Effect of Treaties on Foreign Direct
Invesment: Bilateral Investment Treaties, Double Taxation Treaties, and
Investment Flows. New York : Oxford University Press.
Wicaksono, K. A. (2015, Juni 19). Grandfather Clause Akan Masuk di Template BIT.
Retrieved from Bisnis Online:
https://ekonomi.bisnis.com/read/20150619/9/444946/grandfather-clause-akan-
masuk-di-template-bit, diakses pada 17 Desember 2020
Zhan, J. (2008). International Investment Rule-Making: Stocktaking Challenges and
The Way Forward, United Nations. New York and Geneva: United Nations.

Anda mungkin juga menyukai