Anda di halaman 1dari 8

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER

TEORI HUKUM

TEORI HUKUM ALAM SAMUEL VON PUFENDORF

Febriansyah Ramadhan Sunarya


NPM 2006495302

Magister Hukum
Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
A. Pendahuluan

Dalam realitas hubungan internasional, Trygve Mathiasem mengungkapkan

bahwa hubungan antarnegara merupakan hubungan yang tidak hanya berdimensi

tunggal.1 Permasalahan sosial, ekonomi, politik, keamanan dan perbatasan sering

menjadi isu yang memberikan pengaruh dan implikasi tertentu.2 Dalam beberapa

literatur banyak disebutkan bahwa setidaknya hubungan internasional akan bermuara

pada 3C; cooperation, competitions dan conflicts.3 Salah satu realisasi hubungan

internasional biasanya terjadi dalam perjanjian internasional dan beberapa bentuk lain

yang sifatnya dinamis.4

Dalam beberapa kasus seperti kasus sengketa perbatasan misalnya, dalam

tulisannya, Wendy N. Duong mengungkapkan pendapat yang menarik. Tidak ada

teori hukum yang dapat menyelesaikan semua sengketa wilayah maupun perbatasan.

Sangat tidak mungkin bagi sebuah negara untuk menyerah dan mengorbankan

kepentingan nasionalnya hanya karena sebuah peraturan hukum, tidak terkecuali

hukum internasional.5

Meskipun tidak dapat dipungkiri juga fakta bahwa negara-negara yang terlibat

dalam sengketa seperti itu selalu berusaha untuk memperkuat posisi hukum mereka

dengan mengembangkan bukti-bukti dan aturan-aturan hukum internasional untuk

menyokong kepentinganya tersebut. Dengan demikian, faktor hukum internasional

yang akan memperkuat posisi suatu pihak dalam sengketa mungkin mempunyai efek

praktis, memberikan pengaruh besar bagi negaranegara hingga mendorong mereka


1
Masyhur Effendi, Hukum Humaniter Internasional. Surabaya: Usaha Nasional, 1994, hlm. 9
2
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 1
3
Mirza Satria Buana, Hukum Internasional: Teori dan Praktik. Banjarmasin: FH Unlam Press, Banjarmasin,
2007, hlm. 147.
4
I Wayan Pathiana, Perjanjian Internasional Bag. 1. Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 1. 5
5
Wendy N. Duong, Following The Path of Oil: The Law of the Sea or Real Politik – What Good does Law do in
the South China Sea Territorial Conflicts?, Fordham International Law Journal, April, 2007, page. 1098.

1
untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui jalur ajudikatif maupun non ajudikatif

yang pada intinya menggunakan hukum internasional6

Berlandaskan pada konsep yang dikemukakan Mochtar Kusumaatmadja,

bahwa hukum secara umum berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat, di

samping fungsi dasarnya yaitu untuk menjamin kepastian dan ketertiban. Hal ini

berarti bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat

berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah

kegiatan manusia maupun subjeknya ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan

atau pembaharuan.7

Filsafat hukum menghadirkan pemikiran tentang apa itu hukum. Pemikiran-

pemikiran tersebut terkatalisasi menjadi banyak aliran pemikiran. Aliran-aliran

pemikiran tersebut dipengaruhi oleh presepsi atas kondisi sosial, politik dan ekonomi

didalam suatu kelompok masyarakat tertentu.

Tumbuhnya berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukan pergulatan

pemikiran yang tidak henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum. Apabila pada masa

lalu, filsafat hukum merupakan produk sampingan dari para filsuf, dewasa ini

kedudukannya tidak lagi demikian karena masalah-masalah filsafat hukum telah

menjadi bahan kajian tersendiri bagi para ahli hukum.

Salah satu tokoh yang mengemukakan pandangannya mengenai aliran

pemikiran dalam filsafat hukum adalah Samuel von Pufendorf yang terkenal dengan

teorinya yaitu teori hukum alam.

6
Ibid.
7
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Binacipta, 1976,
hlm. 13.

2
B. Riwayat Hidup Samuel von Pufendorf

Samuel von Pufendorf lahir pada tanggal 8 Januari 1632 di Jerman, filsuf dari

jerman yang terkenal dengan teori hukum alam. Ayah Pufendorf adalah seorang

pastor, setelah mendapatkan bantuan finansial dari bangsawan jerman, Pufendorf

menjadi mahasiswa jurusan theologi di University of Lipzig dan memiliki

ketetarikan di bidang ilmu hukum, filologi, filsafat, dan sejarah. Pada tahun 1656 ia

pergi ke kota Jena, disana ia memperdalam ilmu filsafat dan matematika dari Rene

Descartes, ilmu hukum dari Hugo Grotius, dan Filsuf Thomas hobbes.

Pada tahun 1658, ia bekerja sebagai seorang pengajar privat untuk keluarga

duta besar Swedia di Copenhagen. Ketika perang dunia pertama pecah, ia dipenjara

bersama dengan keluarga duta besar Swedia lainya. Selama didalam penjara, ia

menciptakan buku pertamanya mengenai hukum alam, yang berjudul “Two Books

of the Elements of Universal Jurisprudence” yang memperdalam dan

mengembangkan ide-ide hukum alam dari Grotius dan Hobbes.

Berkat bukunya tersebut, pada tahun 1668 Pufendorf menjadi pengajar hukum

alam di University of Lund di Swedia dan berlanjut selama 20 tahun. Pada masa ia

sebagai seorang pengajar, Pufendorf menerbitkan karya terbaiknya yang dikenal

hingga saatini, yaitu “Of the Law of Nature and Nations”.

C. Teori Hukum Alam

Teori hukum alam sendiri telah berkembang sejak zaman Yunani. Filsafat

Yunani melahirkan standar yang absolut mengenai hak dan keadilan. Hal ini

didasarkan pada kepercayaan pada berlakunya kekuasaan tuhan atas hukum, di mana

manusia seharusnya mematuhinya. Pernyataan riil pertamadari Teori Hukum Alam

dari sudut terminologi filsafat berasal dari abad ke 6SM. Hukum manusia dikatakan

3
mendapat tempatnya dalam tatanan benda-benda berdasarkanatas kekuatan yang

mengontrol segala hal. Reaksi dari ajaran ini datang pada abad-abad berikutnya

dimana ada perbedaan dan kemungkinan timbulnya konflik antara Hukum Alam dan

hukum yang dibuat manusia. Pada zaman Yunani, Aritoteles dan Platomembangun

kembali Hukum Alam. Sampai hari ini hanya Aristoteles yangmempunyai pengaruh

terbesar dalam doktrin Hukum Alam. Aristoteles menganggap manusia adalah bagian

dari alam, bagian dari sesuatu, tetapi juga, diikuti denganakal yang cemerlang, yang

membuat manusia sesuatu yang istimewa dan memberikannyakekhususan yang

menonjol.

Teori hukum alam (the natural right/natural law) dikenalkan pertama kali

oleh Aristoteles. Aristoteles membagi sifat hukum ke dalam hukum yang bersifat

khusus dan universal. Hukum bersifat khusus yang dimaksud adalah hukum positif,

yang dengannya suatu negara tertentu dijalankan. Sementara hukum yang bersifat

universal adalah hukum alam, yang dengannya prinsip-prinsip yang tidak tertulis

diakui oleh semua umat manusia. Namun, pemikir setelahnya lah yang

mengembangkan lebih jauh teori hukum alam ini, seperti Kaum Stoa, Thomas

Aquinas, Cicero dan Hugo Grotius. Teori hukum alam seringkali digunakan sebagai

landasan moral dan filosofis dalam mengkaji isu tertentu.8

Pengakuan terhadap akal manusia membentuk dasar bagi konsepsi Stoic

mengenai Hukum Alam. Stoic mengatakan, akal berlaku terhadap semua bagian

darialam semesta dan manusia adalah bagian dari alam semesta, diperintah akal.

Manusia hidup pada dasarnya jika ia hidup menurut akalnya. Doktrin Hukum Alam

kemudiansampai pada tingkat di mana alam universal memimpin, melalui akal dan

8
Arif Lutvi Anshori, Rezim HKI Sebagai Konsep Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Atas Pengetahuan
Tradisional (traditional knowledge) di Indonesia; FH UII, 2008, hlm. 10 1

4
kritik yangdijalankan oleh manusia, langsung kepada tingkah laku yang seharusnya

secara normatifdijalankan. Keharusan yang normatif ini dianggap bagian yang

integral dan didukung olehmoral. Stoic menambahkan unsur agama dalam tingkah

laku manusia. Era cemerlang dariHukum Alam lahir dari doktrin hukum agama dari

Thomas Aquinas. Padamasa itu Tuhan dari agama Kristen dianggap sebagai sumber

kekuatan akal yang berasal dariTuhan. Misalnya hal ini diketemukan dalam 10

Perintah Tuhan.

Sekuralisasi dari Hukum Alam kemudian datang belakangan padamasa

Thomas Hobbes dan Grotius. Ahli-ahli filsafat abad ke-17 ini pada umumnya

menolakkonsepsi bahwa Tuhan adalah sumber tertinggi dari hukum, mereka

berpendapat Hukum Alam itu mengindikasikan bahwa tindakan manusia itu datang

darikesepakatan mereka atau ketidak sepakatan mereka, berdasarkan akal atau

kebutuhan moral,dan akibatnya perbuatan itu dilarang atau diperintahkan oleh Tuhan.

Unsur-unsur filosofis juga bisa mengandung subyektifitas, apalagi berhadapan

dengan suatu fenomena yang cukup kompleks, seperti hukum. Oleh karena itulah

muncul beberapa aliran atau madzhab dalam ilmu hukum sesuai sudut pandang yang

dipakai oleh orang-orang yang bergabung dalam aliran-aliran tersebut. Dengan

demikian, teori-teori dalam ilmu hukum yang sudah dikembangkan oleh masing-

masing penganutnya akan memberikan kontribusi ke dalam pemikiran tentang cara

memaknai hukum itu sendiri.

D. Teori Hukum Alam Pufendorf

Samuel von Pufendorf adalah penganjur pertama hukum alam di Jerman.

Pekerjaannya dilanjutkan oleh Christian Thomasius. Ia berpendapat bahwa hukum

alam adalah aturan yang berasal dari alam pikiran yang murni. Dalam hal ini unsur

5
naluriah manusia yang lebih berperan. Akibatnya, ketika manusia mulai hidup

bermasyarakat, timbul pertentangan kepentingan satu dengan yang lainya. Agar tidak

terjadi pertentangan terus menerus, dibuatlah perjanjian sukarela di antara rakyat.

Baru setelah itu, diadakan perjanian berikutnya, berupa perjanjian penaklukan oleh

raja. Dengan adanya perjanjian itu, berarti tidak ada kekuasaan yang absolut. Semua

kekuasaan itu dibatasi oleh Tuhan, hukum alam, kebiasaan, dan tujuan dari negara

yang didirikan. Karangan Pufendorf tentang dasar-dasar hukum alam dan hukum

antarnegara memberikan pembedaan yang tegas antara hukum dan moral.9

Dalam teori hukum alam yang dikemukakan oleh Pufendorf terdapat tiga

unsur dalam pembentukan dan keberlakukan suatu hukum, yaitu:

a. Kelompok Masyarakat;

b. Penguasa;

c. Tuhan.

Ketiga unsur tersebut memiliki peran masing masing dalam lahirnya suatu peraturan.

Pufendorf berpendapat bahwa hukum alam adalah aturan yang berasal dari

akal pikiran yang murni. Dalam hal ini unsur naluriah manusia lebih berperan

akibatnya ketika manusia mulai hidup bermasyarakat timbul pertentangan

kepentingan satu dengan lainnya.

Agar pertentangan didalam masyarakat tidak meluas terjadi secara terus

menerus dibuatlah perjanjian sukarela di antara rakyat, baru setelah itu diadakan

perjanjian berikutnya, berupa perjanjian penaklukan oleh raja agar mendapatkan

legitimasi secara nasional.

9
Serlika Aprita dan Rio Adhitya, “Filsafat Hukum”, (Raja Grafindo Persada: Depok), 2020. Hlm 95

6
Dengan adanya perjanjian itu berarti tidak ada kekuasaan yang absolute,

semua kekuasaan dibatasi oleh Tuhan, hukum alam, kebiasaan dan tujuan dari negara

yang didirikan.

Bagi Pufendorf, hukum ada karena adanya pertentangan dalam masyarakat.

Penguasa mengatur dengan membuat peraturan agar pertentangan tidak terjadi terus

menerus di dalam masyarakat. Namun aturan penguasa tersebut tidaklah mampu

melawan atau dibatasi oleh peraturan Tuhan.

Keberadaan Tuhan atau spiritual dalam teori hukum alam Pufendorf sangatlah

penting. Tuhan menjadi kekuasaan tertinggi yang membatasi tingkah laku manusia.

Penguasa dalam membuat aturan tidak akan bisa bertentangan dengan hukum yang

dibuat oleh Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai