Anda di halaman 1dari 263

Sanksi Pelanggaran Pasal 72:

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002


Tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan


perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau
Pasal 49 Ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000
(satujuta rupiah), atau pidana penjara paling lama (tujuh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,


atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah.
Kewenangan Audit Investigatif Mengidentifikasi, Menentukan
dan Menghitung Kerugian Keuangan Negara atas Pelaksanaan APBD
Copyright © Piatur Pangaribuan
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
All Rights Reserved

Cetakan Pertama, Mei 2011

Penulis : Piatur Pangaribuan


Editor : Taufiqiyyah Nur ‘Aini
Rancang Sampul : Muhammad Kavit
Tata Letak : Deni Setiawan
Pracetak : Wahyu Saputra


Penerbit:
MEDIA PERKASA
Perum. Gunung Sempu
Jl. Menur 187 Yogyakarta
Telp. (0274) 6845341, E-mail: media_link17@yahoo.com
Hunting: 08122599653

Piatur Pangaribuan
Kewenangan Audit Investigatif Mengidentifikasi, Menentukan
dan Menghitung Kerugian Keuangan Negara atas Pelaksanaan APBD
xii + 252 hal, 14 cm x 21 cm
ISBN:

Percetakan dan Pemasaran:


YUMA PRESSINDO
E-mail: kavit_2010@ymail.com
Telp. 0271-9226606/085647031229

Dilarang keras memfotokopi atau memperbanyak sebagian atau


seluruh buku ini tanpa seizin tertulis dari penerbit.
Isi diluar tanggungjawab percetakan.

iv
Pengantar Penerbit

Keuangan merupakan sesuatu yang krusial


dalam menyelenggarakan hal-hal tertentu, termasuk
penyelenggaraan negara. Keuangan suatu negara bersumber
dari berbagai sumber dana. Di Indonesia keuangan negara
bersumber dari berbagai sektor kemudian diwujudkan dalam
sebuah anggaran pendapatan dan belanja, yaitu anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Realisasi penggunaan APBN dan APBD diawasi oleh
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK berwenang untuk
memeriksa pemakaian APBN dan APBD, tetapi tidak
berwenang mengubah peraturan yang berkaitan dengan
pemakaian APBN dan APBD. Dalam buku ini diuraikan

v
contoh kasus pemeriksaan APBD dengan BPK melampaui
batas kewenangannya. Dalam buku ini diuraikan hal-
hal yang seharusnya dilakukan BPK ketika memeriksa
pelaksanaan APBD di suatu daerah.
Buku ini cocok digunakan sebagai referensi dalam
menyikapi kasus hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan
APBD. Kasus hukum dalam hal ini adalah tindak pidana
korupsi. Buku ini dapat digunakan sebagai referensi untuk
menentukan keputusan yang seharusnya diambil oleh pihak
yang terkait.
Penerbit menyampaikan terima kasih kepada penulis
yang telah mempercayakan penerbitan buku ini kepada
penerbit. Penerbit menyadari bahwa dalam penerbitan
buku ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu,
penerbit mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
perbaikan penerbitan buku selanjutnya. Semoga buku ini
bermanfaat bagi pembaca. Salam sukses dan luar biasa.

Surakarta, Mei 2014


Penerbit

vi
Kata Pengantar

vii
viii
Daftar Isi

PENGANTAR PENERBIT ~ v
KATA PENGANTAR ~ vii
DAFTAR ISI ~ ix
BAB I PENDAHULUAN ~ 1
BAB II METODE KAJIAN
A. Jenis Kajian ~ 43
B. Pendekatan Masalah ~ 44
C. Sumber Bahan Hukum ~ 62
D. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan
Bahan Hukum ~ 66
E. Analisis Bahan Hukum ~ 67
BAB III LANDASAN TEORI
A. Teori Hukum Pidana ~ 72
B. Teori Pemidanaan ~ 72
C. Teori Pertanggungjawaban Pidana ~ 74

ix
D. Teori Tujuan Pemidanaan (Kepidanaan) ~ 76
E. Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan ~ 78
F. Teori Ekologi Sistem Administrasi ~ 80
G. Teori Pembuktian Pidana Korupsi ~ 83
H. Teori Kebenaran ~ 85
I. Teori Kehendak (Wilstheorie) ~ 87
J. Standar Pemeriksaan Keuangan Negara ~ 89
K. Asas Umum Pemerintahan Negara
yang Baik ~ 101
L. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan
Negara ~ 102
M. Definisi dan Asal Kata Korupsi ~ 113
N. Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum
Positif Indonesia ~ 114
O. Faktor dan Penyebab Korupsi di
Indonesia ~ 115
P. Tipologi Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang nomor 31
tahun 1999 Juncto Undang-Undang nomor
20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi ~ 117
Q. Institusi yang Berwenang Memberantas
Korupsi ~ 117

x
BAB IV PEMBAHASAN
A. Kedudukan Prinsip Akuntansi dan
Standar Akuntansi Pemerintah dalam
Lapangan Hukum ~ 123
B. Kedudukan Hukum Peraturan BPK Nomor
1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara dalam Tindak Pidana
Korupsi ~ 149
C. Perbuatan Melawan Hukum pada Temuan Audit
Investigatif BPK atas Pelaksanaan APBD ~ 156
D. Dasar Hukum Audit Investigatif BPK dalam
Menentukan Perbuatan Tindak Pidana Korupsi
dalam Proses Penyusunan dan Pelaksanaan Perda
tentang APBD ~ 162
E. Peraturan Daerah tentang ABPD yang Dianggap
Koruptif ~ 177
F. Kedudukan Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara dalam Mengidentifikasi Bukti Melalui
Audit Investigatif ~ 194
G. Kedudukan Hukum Laporan Hasil Pemeriksaan
Keuangan BPK dalam Lapangan Hukum ~ 196
BAB V PENUTUP ~ 235
DAFTAR PUSTAKA ~ 237

xi
Bab I
Pendahuluan

Pada era reformasi, eksistensi Badan Pemeriksa


Keuangan (selanjutnya disingkat BPK) diatur dalam Bab
VIIIA Pasal 23E ayat (1) perubahan ketiga Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
(selanjutnya disingkat UUD 1945) yang menentukan
untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara diadakan satu badan pemeriksaan negara yang bebas
dan mandiri. Ketentuan Pasal 23G ayat (2) UUD 1945
juga mengamanatkan lahirnya Undang-Undang nomor
15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan.
Menurut Indra, BPK memiliki fungsi untuk melakukan
pengawasan (audit) terhadap lembaga-lembaga yang
berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran keuangan

1
negara.1
Fungsi pengawasan BPK dalam sejarah konstitusi
Indonesia dapat dilihat pada masa UUD 1945, Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (disingkat KRIS) 1949,
UUDS 1950, dan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Penyelenggaran pemerintah menurut
Pasal 4 aturan peralihan UUD 1945 terdiri atas MPR,
DPR, dan DPA. Pada masa Konstitusi RIS, sesuai dengan
Pasal 2 KRIS, alat-alat kelengkapan federal RIS terdiri atas
presiden, menteri, senat, DPR, MA, dan Dewan Pengawas
Keuangan (DPK). Pada masa UUDS RI, sesuai Pasal 2
UUDS RI, alat-alat kelengkapan negara terdiri atas presiden
dan wakil presiden, menteri-menteri, Mahkamah Agung,
dan Dewan Pengawas Keuangan (DPA). Pada tanggal 5 Juli
konstitusi Indonesia kembali pada UUD 1945.2 Dengan
kembali pada UUD 1945 Dewan Pengawas Keuangan
eksistensinya kembali hilang dalam konstitusi Indonesia,
kemudian kembali diteguhkan setelah era reformasi.
BPK memiliki kewenangan yang sangat besar, serta
memiliki kebebasan dan kemandirian. Hal ini juga semakin
diperkuat dalam ketentuan Pasal 2 butir (d) Undang-Undang
nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
1 Indra, Mexsasai, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan
Kesatu (Bandung: PT Refika Aditama, 2011) hlm. 79.
2 Kansil, C. S. T., dkk., Hukum Administrasi Daerah, Cetakan Pertama
(Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009) hlm. 5 - 29.

2
Tata Usaha Negara dalam Pasal 2 butir (a) menentukan
hasil laporan audit investigatif BPK tidak termasuk dalam
kategori Keputusan Tata Usaha Negara sehingga tidak
dapat dilakukan upaya hukum untuk pembatalan melalui
pengadilan tata usaha negara meskipun pelaksanaan audit
investigatif tidak memenuhi standar yang diatur dalam
Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara.3 Jika hal ini dijadikan
rujukan dalam penegakan hukum, akan sulit ditemukan
kebenaran yang sesungguhnya bagi warga negara untuk
mencari keadilan.
Jenis pemeriksaan keuangan negara diatur dalam
ketentuan Pasal 4 Undang-Undang nomor 15 tahun
2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung
Jawab Keuangan Negara. Pemeriksaan tersebut terdiri
atas tiga jenis pemeriksaan, yakni pemeriksaan keuangan,
pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan
tertentu. Pemeriksaan keuangan (financial audit) adalah
pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Hal ini diatur dalam Pasal 4

3 Untuk lebih jelasnya, Pasal 2 (d) Undang-Undang nomor 51 tahun


2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 5 tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan Keputusan
Tata Usaha Negara dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana atau Peraturan Perundang-undangan yang lain yang bersifat
hukum pidana. Pasal ini juga dirujuk dan diteguhkan melalui Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda dalam perkara nomor: 21/
G/2010/PTUN. SMD, tanggal 22 Desember 2010, hlm. 62.

3
ayat (2) Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang
Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan
Negara. Pemeriksaan dilakukan dalam rangka memberikan
opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan
dalam laporan keuangan pemerintah.
Pemeriksaan keuangan bertujuan untuk memberikan
keyakinan yang memadai (reasonable assurance) apakah
laporan keuangan telah disajikan secara wajar, dalam semua
hal material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku
umum di Indonesia seperti standar akuntansi pemerintah.
Pengertian audit kinerja, berdasarkan Pasal 4 ayat (3) UU
nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, adalah audit atas
pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas audit aspek
ekonomi dan efisiensi serta audit aspek efektivitas.4 Terakhir,
audit dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak
termasuk dalam pemeriksaan sebagimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3).
Penetapan ketentuan perundang-undangan, baik
secara formal maupun material, pelaksanaan audit (audit
4 Pada Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang nomor 15 tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara terdapat beberapa istilah yang mempunyai pengertian berikut.
1) Efisien merupakan pencapaian output (keluaran) yang maksimal
dengan input (masukan) tertentu atau penggunaan masukan terendah
untuk mencapai keluaran tertentu. 2) Ekonomis merupakan perolehan
masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga
yang rendah. 3) Efektif merupakan pencapaian hasil program dengan
target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan
keluaran dengan hasil.

4
keuangan, audit kinerja, dan audit tujuan tertentu (audit
investigatif) diharapkan dapat memberikan laporan hasil
pemeriksaan keuangan dengan kesimpulan yang konsisten
menurut ketentuan hukum. Hal ini sebagaimana telah
diatur dalam Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
Dalam praktik sekarang ini, audit sering tidak
konsiten, baik sesama BPK maupun BPKP (sebelum
dicabut kewenangannya melakukan audit keuangan).
Ini disebabkan hasil audit dapat dibatalkan oleh audit
berikutnya atau audit yang lain dengan hasil yang berbeda,
sesungguhnya apa gunanya auditing5. Dengan kata lain,
mengapa hasil audit investigatif BPK tidak konsisten.
Audit yang konsisten diperlukan demi kepastian hukum.
Prosedur dan teknik audit investigasi mengacu pada standar
auditing serta disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi.6
Pelaksanaan pengamatan pendahuluan dalam suatu
penugasan audit bertujuan untuk mendapatkan gambaran
(informasi) umum mengenai audit sehingga memperoleh
pemahaman tentang dasar hukum, peraturan perundang-
undangan yang berlaku, tujuan organisasi, kegiatan
operasional, metode dan prosedur, kebijakan yang berlaku,
masalah keuangan, dan informasi di lapangan.Selain itu
5 Agoes, Sukrisno & Hoesada, Jan, Bunga Rampai Auditing (Jakarta:
Salemba Empat, 2009) hlm. 7.
6 Primaconsultinggroup, Memahami Perbedaan dan Dasar Hukum
(online), http://primaconsultinggroup.blogspot.com/2008/05/
memahami-perbedaan-dan-dasar-hukum. html.

5
juga untuk menetapkan tujuan-tujuan audit sementara
untuk menentukan tahap audit selanjutnya yang berupa
pelaksanaan evaluasi sistem menejemen, serta menaksir
resiko inheren audit. Taksiran dapat dilaksanakan dengan
menetapkan resiko dalam ukuran kuantitatif, yaitu
menetapkan resiko dalam persentase (75%, 50%, dan
10%) atau ukuran kualitatif, seperti tinggi, moderat, dan
rendah.7
Di lain pihak, tujuan audit investigatif adalah untuk
menentukan cukup bukti dan memenuhi syarat untuk
diidentifikasi sebagai tindak pidana korupsi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.8 Ketentuan yang berlaku dalam hal
7 Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan, Auditing II, Kode MA. 1.220 (online),
hlm. 38, diambil dari http://www.scribd.com/doc//51192195/8/C-
Tujuan-Audit.
8 BPK Perwakilan VII Makasar, Laporan Audit Investigatif BPK
Perwakilan VII Makasar, Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi
Mantan Bupati Minahasa Selatan di Amurang, Bab II Uraian Audit
Investigatif (online), hlm. 16, diambil dari http://www.bpk.go.id/doc/
hapsem/2005ii/apbd/220.pdf. Syarat untuk diidentifikasi sebagai
tindak pidana korupsi dapat juga dilihat pada Mahfud MD, Moh.,
Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Cetakan Kedua (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2010) hlm. 81 yang menjelaskan bahwa
korupsi tidak harus diartikan menurut hukum yang mensyaratkan
tiga unsur kumulatif, yakni (a) melawan hukum; (b) memperkaya
diri sendiri, orang lain, atau korporasi; dan (c) merugikan keuangan
negara. Secara umum, korupsi bisa berupa tindakan memanfaatkan
kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri yang dalam praktik
dapat berupa korupsi konvensional dan nonkonvensional. Delik
korupsi dapat dilihat pada Hamzah, Andi, Terminologi Hukum Pidana,
Cetakan Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm. 52 menjelaskan
delik korupsi tercantum dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 13 Undang-
Undang nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang nomor 20 tahun
2001 tentang PTPK.

6
ini diatur dalam Undang-Undang nomor 31 tahun 1999
juncto Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut Bayangkara,
tujuan audit harus mengacu pada tujuan dan ruang lingkup
audit yang telah ditentukan. Tujuan audit bersifat analitis
untuk menguji kebenaran antara apa yang telah ditetapkan
dan apa yang telah dilaksanakan.
Ada tiga elemen penting dalam tujuan audit. Pertama,
kriteria merupakan norma, standar, atau sekumpulan
standar yang menjadi panduan setiap individu (kelompok)
dalam melakukan aktivitasnya sebagai pelaksanaan atas
wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Standar atau norma ini dipergunakan untuk menilai
aktivitas atau hasil aktivitas dari setiap individu atau
kelompok pada objek audit. Kedua, penyebab merupakan
tindakan atau aktivitas aktual yang dilakukan oleh setiap
individu (kelompok) yang terdapat pada objek audit. Ketiga,
akibat merupakan hasil pengukuran dan pembandingan
antara aktivitas individu (kelompok) dan kriteria yang telah
ditetapkan terhadap aktivitas tersebut.9
Objek yang diaudit BPK dalam buku ini berkaitan
dengan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja
daerah (selanjutnya disingkat pelaksanaan APBD),
termasuk penjabaran pelaksanaan APBD (selanjutnya

9 Bayangkara, IBK., Management Audit, Audit Management, Prosedur


dan Implementasinya (Jakarta: Salemba Empat, 2008) hlm. 24 - 25.

7
disingkat penjabaran APBD). Perda APBD masuk dalam
hierarki pembentukan peraturan perundang-undangan
berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf g Undang-
Undang nomor 10 tahun 2004 sebagaimana diganti
terakhir dengan Undang-Undang nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sejalan dengan hakikat audit tersebut, pelaksanaan
audit (investigatif) sering terjadi perbedaan pandangan dalam
memberikan kesimpulan. Perbedaan yang paling menonjol
khususnya pada audit tujuan tertentu atau disebut juga
audit investigatif, yaitu kesimpulan BPK dalam kalimat
“pelaksanaan anggaran APBD telah terjadi pertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
mengakibatkan kerugian negara”. Dengan kesimpulan
akhir dari BPK tersebut dalam perspektif hukum pidana
diasumsikan telah terjadi perbuatan tindak pidana korupsi
tanpa ada ketegasan secara ketat kriteria (unsur) yang
telah dilanggar serta tanpa melakukan kajian interdisiplin
ilmu yang relevan dan kecenderungan dijadikan dasar
bagi penyidik, baik kejaksaan maupun kepolisian, untuk
melakukan penyelidikan.
Di sisi lain, ada perdebatan dari perspektif hukum
administrasi negara. Ada pula putusan Pengadilan Negeri
Tenggarong dan pengadilan tindak pidana korupsi di
Samarinda yang memutuskan perbuatan para terdakwa
bukan merupakan tindak pidana korupsi, melainkan hanya

8
pelanggaran administrasi negara.10
Sehubungan dengan kenyataan di atas, kita
dapat merujuk pada pendapat Mautz dan Sharaf yang
melakukan penelitian yang bersifat rintisan (pioneering) dan
monumental. Penelitian mereka kemudian dipulikasikan
oleh The American Accounting Association (Ikatan Dosen
Akuntansi di Amerika Serikat) dalam bentuk monograf
dengan judul The Philosophy of Auditing.11 Gagasan utama
mereka sangat relevan hingga saat ini, yakni pandangan
mereka tentang rational probability atau probabilitas
menemukan penyimpangan (irragularitis), atau mengenai
independensi (programming idenpendence, investigative
independence, dan reporting independence). Auditing bukan
merupakan subjek yang teoritis. Akan tetapi, kebanyakan
orang berpendapat bahwa landasan teoritikal bagi auditing
adalah sesuatu yang tidak mungkin.Kalaupun dicoba, upaya
itu merupakan kesia-siaan.
Pandangan umum ketika itu, auditing adalah
serangkaian praktik dan prosedur metode dan teknik.
Auditing sekadar cara untuk melakukan sesuatu. Belum
ada atau masih sedikit kebutuhan untuk suatu penjelasan,
deskripsi, argumentasi, dan semacamnya seperti yang dikenal

10 Pengadilan Negeri Tenggarong, Putusan Perkara Pidana No. 260/


Pid.B/2010/PN.Tgr., Putusan Tanggal 6 Desember 2011, 2010, hlm.
91.
11 Tuanakotta, Theodorus M., Berpikir Kritis dalam Auditing (Jakarta:
Salemba Empat, 2011) hlm. 47.

9
dalam teori ilmu pengetahuan. Namun, Mautz dan Sharaf
berpendapat lain. Mereka berpandangan sesungguhnya
ada atau perlu ada suatu teori tentang auditing, harus ada
sejumlah asumsi dasar dari himpunan gagasan terpadu (a
body of integrated ideas). Apabila memahami itu semua, ini
akan membantu mengembangkan dan mempraktikkan the
art of auditing.
Pandangan Mautz dan Sharaf sangat revolusioner
pada zaman itu. Keingintahuan mereka yang sangat kuat
menjadikan alasan bagi penelitian tersebut, sekaligus alasan
untuk memilih judul The Philosophy of Auditing. Meskipun
para mahasiswa dan praktisi auditing dewasa ini sudah
dibekali dengan landasan teori, penerapannya di lapangan
masih sering dianggap sesuatu yang praktis. Dalam praktik
auditing di masa sekarang masih terlihat cara berpikir
sebelum dan ketika mereka menulis The Philosophy of
Auditing. Filsafat auditing merupakan titik tolak berpikir
tentang audit.12
Pemeriksaan keuangan yang ditugaskan untuk
melaksanakan audit tindakan ekonomi atau kejadian untuk
entitas individual atau entitas hukum pada umumnya
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu auditor
internal, auditor pemerintah, dan auditor independen.13
Auditor internal merupakan karyawan suatu perusahaan
12 Ibid.
13 Halim, Abdul, Auditing 1, Edisi Keempat, Cetakan Pertama (Yogyakarta:
Sekolah Tinggi Ilmu Manajement YKPN, 2008) hlm. 11.

10
tempat mereka melakukan audit. Tujuan audit internal
adalah untuk membantu manajemen dalam melaksanakan
tanggung jawabnya secara efektif. Meskipun demikian,
pekerjaan auditor internal dapat mendukung audit atas
laporan keuangan yang dilakukan auditor independen.
Para auditor internal kebanyakan pemegang sertifikat
yang disebut dengan Certified Internal Auditors (CIA).
Beberapa di antaranya juga memegang sertifikat Certified
Public Auditors (CPA). Asosiasi internasional untuk para
auditor internasional adalah Institute of Internal Auditors
(IIA) yang menetapkan kriteria sertifikat serta mengelola
ujian CIA. Selain itu, IIA juga telah menetapkan standar
praktis untuk audit internal dan kode etik.14
Auditor independen adalah akuntan publik yang telah
memperoleh izin untuk memberikan jasa sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang nomor 15
tahun 2011 tentang Akuntan Publik. Auditor independen
merupakan para praktisi individual atau anggota kantor
akuntan publik yang memberikan jasa auditing profesional
kepada klien. Klien dapat berupa perusahaan bisnis
yang berorentasi laba, organisasi nirlaba, badan-badan
pemerintah, maupun individu perseorangan. Auditor
independen sesuai sebutannya harus independen terhadap
klien saat melaksanakan maupun saat pelaporan hasil
audit.
14 Ibid.

11
Auditor independen dapat melakukan audit keuangan
negara jika diminta auditor pemerintah dan bekerja untuk
dan atas nama BPK. Selain itu, auditor independen dalam
melakukan audit menggunakan standar pemeriksaan
keuangan negara (SPKN) sesuai dengan ketentuan Pasal
6 Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara. Auditor independen juga
dapat melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan tahunan BPK jika ditunjuk DPR atas
usulan BPK dan Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan
Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang nomor 15 tahun
2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Auditor pemerintah adalah auditor yang bekerja pada
instansi pemerintah yang tugas utamanya melaksanakan
audit atas pertanggungjawaban keuangan dari berbagai unit
organisasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang
sumber keuangannya dari APBN dan APBD. Audit ini
dilaksanakan oleh auditor pemerintah yang bekerja pada
instansi seperti Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya
disingkat BPK) sebagai auditor eksternal pemerintah dan
Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (selanjutnya
disingkat BPKP) sebagai auditor internal pemerintah.15
Dasar hukum pemeriksaan ini diatur dalam Undang-
Undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
15 Ibid.

12
Sementara itu, Undang-Undang nomor 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara menetapkan bahwa laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD
disampaikan berupa laporan keuangan yang setidaknya
terdiri atas laporan realisasi anggaran, neraca, laporan
arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Ketentuan
petunjuk pelaksanaan pengelolaan keuangan pemerintah
pusat berbeda dengan pengelolaan keuangan pemerintah
daerah.
Pengelolaan keuangan daerah diatur melalui Peraturan
Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah. Pengelolaan keuangan daerah kemudian
diatur lebih lanjut dalam petunjuk teknis dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri nomor 21 tahun 2011 juncto
Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, baik
APBD untuk tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.
Sementara itu, petunjuk pelaksanaan laporan keuangan
pemerintah pusat diatur dalam Peraturan Pemerintah
nomor 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan
Kinerja Pemerintah, sedangkan perbendaharaan negara
diatur dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara.
Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan sebagai
auditor internal kewenangannya diatur dalam Pasal 40 huruf
(a) Bab III Keppres nomor 31 tahun 1983 tentang BPKP.

13
Pasal tersebut menentukan pengawasan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 3 mencakup pemeriksaan keuangan
dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan,
penilaian tentang daya guna dan kehematan dalam
penggunaan sarana yang tersedia, dan penilaian hasil guna
dan manfaat yang direncanakan dari suatu program. Pada
tahun 2001, peraturan tersebut diubah dengan Keputusan
Presiden nomor 103 tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan
Tata Kerja Lembaga Non Depertemen sebagaimana diubah
beberapa kali dan terakhir dengan Keputusan Presiden
nomor 64 tahun 2005 tentang BPKP.
Dalam ketentuan Pasal 52 peraturan tersebut
dinyatakan bahwa BPKP mempunyai tugas pemerintahan
di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan. Sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam
Keputusan Presiden nomor 64 tahun 2005 BPKP tidak
lagi diberi kewenangan mengaudit keuangan daerah. BPKP
dapat melakukan audit APBD bila kepolisian maupun
kejaksaan meminta auditor BPKP mengaudit dugaan
tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 52 Keputusan
Presiden nomor 64 tahun 2005. Dalam praktik, penyidik
sering meminta BPKP maupun BPK untuk menghitung
kerugian negara.
Dalam pelaksanaan audit yang perlu dipahami adalah
apa yang terlebih dahulu dilakukan seorang auditor dalam

14
melakukan audit, khususnya audit investigatif. Apakah
terlebih dulu menemukan payung hukum serta bukti,
selanjutnya menghitung kerugian negara, atau terlebih
dulu menghitung kerugian negara selanjutnya mencari
payung hukum dan bukti. Dalam kenyataannya, peristiwa
hukum dalam latar belakang menghitung kerugian negara
terlebih dulu tanpa melakukan kajian untuk menemukan
dasar hukum menghitung kerugian keuangan negara.
Hal ini dapat diketahui karena tidak dilakukan audit
secara sempurna sesuai Peraturan BPK nomor 1 tahun
2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
dan sesuai keterangan ketua audit investigatif yang kedua
terhadap pelaksanaan APBD tahun 2005 Kabupaten
Kutai Kartanegara yang dilaksanakan pada tahun 2010
yang disampaikan pada pengadilan tata usaha Samarinda.
Ketua audit investigatif menyatakan tidak melakukan
konfirmasi terhadap anggota 11 DPRD yang dianggap
tidak menjalankan pelatihan pilkada di Jakarta dan
kenyataannya melakukan pelatihan pilkada. Kedua tata
cara audit investigatif BPK akan dibahas berkaitan dengan
konsekuensi hukum dari masing-masing metode sehingga
ada kepastian hukum.
Acuan BPK dalam melaksanakan audit investigatif
selain undang-undang juga mengacu pada pernyataan
akuntansi berlaku umum (selanjutnya disingkat PABU).
Bagian PABU di dalamnya termasuk prinsip akuntansi,

15
sedangkan standar akuntansi pemerintah yang merupakan
panduan telah ditetapkan indikatornya dalam menentukan
terjadinya pelanggaran yang mengakibatkan terjadinya
kerugian negara. PABU merupakan salah satu panduan
penentu kerugian negara sehingga memiliki hubungan
hukum dengan rumpun hukum lainnya, yakni hukum
tata negara, hukum administrasi negara, ilmu perundang-
undangan, dan hukum pidana yang lebih khusus lagi hukum
tindak pidana korupsi.
Menurut Rachmat, akuntansi erat kaitannya dengan
hukum administrasi negara. Keduanya diperlukan dalam
pemerintahan.16 Hukum administrasi yang dimaksudkan
Rachmat dalam hal ini akutansi, lebih khusus akutansi
keuangan. Steven Barkan juga menegaskan bahwa the
process of legal research often involves investigation into
other relevant disciplines (proses penelitian hukum sering
melibatkan pengamatan terhadap disiplin ilmu lain yang
relevan).17
Siswo Sujanto sebagai seorang pakar dalam bidang
keuangan negara mengawali makalahnya untuk suatu
workshop KPK sebagai berikut.
Bila diamati dari perkembangan usaha
para pakar dalam menyusun undang-undang
tentang pengelolaan keuangan negara di Republik
16 Rachmat, Akuntansi Pemerintah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)
hlm. 99.
17 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Cetakan Keempat (Malang: Bayumedia Publishing, 2011) hlm. 300.

16
Indonesia, perdebatan tentang cakupan/lingkup
keuangan negara di Indonesia telah berlangsung
sangat lama, yaitu beberapa saat setelah Indonesia
merdeka dengan dibentuknya panitia Achmad
Natanegara pada tahun 1945 yang bertugas untuk
menyusun RUU Keuangan Republik Indonesia
(UKRI). Bahkan ada suatu masa, diskusi para
pakar hukum dan administrasi keuangan pada saat
itu justru menghasilkan suatu kesepakatan untuk
tidak saling bersepakat terhadap lingkup keuangan
negara.
Saling ketidaksepakatan para pakar dalam
masalah lingkup keuangan negara dimaksud,
di samping menunjukkan bukti betapa luasnya
dimensi keuangan negara, juga beragamnya aspek
pendekatan keuangan negara sebagai suatu cabang
keilmuan.
Hal tersebut di atas sebenarnya sudah sangat
lama disadari oleh para ahli di negara Eropa
tempat lahirnya keuangan negara sebagai suatu
ilmu. Para ahli keuangan negara Perancis bahkan
mengatakan bahwa Finance Publique est une science
de carrefour, artinya suatu ilmu yang berada di
persimpangan jalan. Persimpangan antara ilmu
politik, hukum, administrasi, ekonomi, aritmatik,
statistik, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, tidak
mengherankan bila ketidakluasan wawasan dalam
memandang keuangan negara sebagai suatu ilmu
akan menyebabkan debat berkepanjangan yang
tidak menghasilkan suatu kesepahaman.18
18 Tuanakotta, Theodorus M., Menghitung Kerugian Negara, dalam
Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Salemba Empat, 2009) hlm. 104 -
105.

17
Lahirnya Undang-Undang nomor 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara yang diikuti lahirnya Undang-
Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharan
Negara dan Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010
tentang Perubahan Peraturan Pemerintah nomor 24
tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah telah
memberikan cakrawala pandang yang lebih jelas terhadap
keuangan negara di Indonesia. Untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang nomor 17
tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 184
ayat (3) Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 12 tahun
2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah perlu
ditetapkan peraturan pemerintah tentang standar akuntansi
pemerintahan.
Pemecahan permasalahan dewasa ini sangat kompleks
dan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada tidak dapat lagi
menjawab permasalahan yang terjadi sebagai akibat
perubahan yang berlangsung secara dahsyat di berbagai
penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Penentuan kerugian
negara melalui audit investigatif saling bertautan dengan
beberapa disiplin ilmu, seperti hukum tata negara, hukum
administrasi negara, ilmu perundang-undangan, dan hukum
pidana, lebih khusus lagi hukum tindak pidana korupsi.

18
Lebih lanjut, untuk memahami prinsip akuntansi
dapat dilihat dalam bahasa Inggris kata “asas” diformatkan
sebagai “principle”, sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia ada tiga pengertian kata “asas”, yakni 1) hukum
dasar, 2) dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir
atau berpendapat, dan 3) dasar cita-cita. Peraturan konkret
(seperti undang-undang) tidak boleh bertentangan dengan
asas hukum, demikian pula putusan hakim, pelaksanaan
hukum, dan sistem hukum.19 Jika terjadi pertentangan
antara undang-undang dan asas hukum, putusan hakim,
pelaksanaan hukum, serta sistem hukum, perlu ada
ketentuan secara tegas dan ketat sebagai acuan dalam
penegakan hukum, khususnya pemahaman dalam perspektif
auditing, accounting, hukum, serta persinggungan antara
ketiga ilmu tersebut.
Kedudukan prinsip akuntansi (accounting principles)
dalam lapangan hukum merupakan bagian hukum
administrasi negara.20 Prinsip akuntansi pemerintah
terdiri atas 12 prinsip yang dapat dikelompokkan dalam
tujuh bagian, yaitu GAAP (General Accepted Accounting
Principle) and legal compliance (kemampuan akuntansi dan
prinsip akuntansi yang berlaku umum atau pelaporan), fund
accounting (akuntansi dana), basis of accounting (dasar-dasar
akuntansi), classification and terminology (penggolongan dan
19 Mas, Marwan, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua (Revisi) (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2011) hlm. 109.
20 Rachmat, Op.cit., hlm. 99.

19
istilah), fixed asset and long term liabilities (aktiva tetap dan
utang jangka panjang), the budget and budgetary accounting
(anggaran dan penganggaran akuntansi), dan financial
reporting (laporan keuangan).21
Saat melakukan audit, dalam hal ini audit investigatif
(audit tujuan tertentu), apabila terjadi perbedaan prinsip
akuntansi yang digunakan, prinsip yang dipakai adalah
aturan pemerintah. Ini sebagaimana diatur dalam dua
prinsip pertama The National Committee on Governmental
Accounting (selanjutnya disingkat NCGA). Dalam konteks
BPK melaksanakan audit investigatif terhadap Perda
APBD, aturan pemerintah termasuk Perda APBD itu
sendiri merupakan bagian dari peraturan perundang-
undangan. Hal tersebut telah diatur dalam ketentuan Pasal
7 Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 juncto Undang-
Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Menurut Kustandi Arinta (dalam Rachmat), hal
tersebut diatur oleh dua prinsip pertama National Committee
on Government Accounting. Pertama, ketentuan hukum
dan pelaporan. Artinya, sistem akuntansi suatu lembaga
pemerintah harus menunjukkan semua ketentuan hukum
dan perundang-undangan yang berlaku serta menentukan
secara wajar dan mengungkapkan dengan selengkapnya
posisi keuangan dan hasil operasi dana. Kedua, apabila
21 Ibid., 99.

20
terjadi pertentangan antara prinsip akuntansi dan ketentuan
hukum, pedoman yang dipakai adalah ketentuan hukum
dan peraturan yang berlaku.22
Dalam audit investigatif hal yang perlu diperhatikan
dari segi hukum antara lain penyusunan tujuan audit
investigatif harus dilakukan berdasarkan unsur-unsur
kecurangan yang akan dibuktikan sesuai dengan peraturan
yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Pembuatan hipotesis harus menggambarkan modus
kecurangan yang terjadi. Penggunaan teknik audit investigatif
dalam mengumpulkan bukti harus memperhatikan dan
mempertimbangkan aturan hukum. Penelaahan dokumen
yang diperoleh selama melaksanakan audit investigatif
harus memperhatikan validitas dan otensitas. Langkah ini
harus dilakukan dengan benar menurut hukum selanjutnya
akan dikaji sesuai dengan kualifikasi yang ditentukan dalam
Pasal 184 KUHAP.
Konversi dari bukti-bukti audit investigatif menjadi
bukti-bukti hukum serta perlu pemahaman tentang
ketentuan alat bukti yang sah dalam hukum pembuktian.
Konversi bukti diperoleh setelah terlebih dahulu dilakukan
tahap pertama, yakni memastikan ada pelanggaran hukum,
baik hukum tata negara, hukum administrasi negara,
maupun ilmu perundang-undangan. Tahap kedua masuk
pada tahap perhitungan kerugian negara. Tahap ketiga
22 Ibid., hlm. 102.

21
adalah tahap penetapan kerugian negara dan hasil terakhir
menjadi alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 184 KUHAP.
Korupsi merupakan kejahatan extraordinary sehingga
proses mengidentifikasi kerugian negara juga harus
dilakukan secara extraordinary. Jangan sampai atas nama
kejahatan extraordinary BPK melakukan audit investigatif
dengan menghalalkan segala cara yang bertentangan
dengan ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Perubahan
Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintah.23 Sementara itu, Peraturan
BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara dipergunakan sebagai dasar hukum
pemeriksaan. Tuanakotta mengemukakan bahwa audit
investigatif merupakan bagian dan titik awal dari akuntansi
forensik. Hasil audit investigatif dapat, tetapi tidak harus,
digunakan dalam proses pengadilan atau bentuk penyelesaian
hukum lainnya. Kalau sudah bersinggungan dengan bidang
hukum (litigasi atau nirlitigasi), istilah akuntansi forensik
lebih tepat daripada audit investigatif.24
Dengan demikian, tidak akan terjadi musibah
karena penegakan hukum dilakukan secara ugal-ugalan

23 Lihat Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Dasar hukum


akuntansi perusahaan tercantum dalam Pasal 6 ayat (1), (2), dan (3).
24 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif
(Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2007) hlm. iii.

22
sebagaimana dialami Romli Atmasasmita, seorang aktivis
sekaligus ketua tim penyusunan undang-undang anti
korupsi sejak tahun 1999 dan pembentuk KPK, yang telah
ditusuk dengan keris yang dibuat sendiri layaknya Ken Arok
yang secara licik telah membunuh Empu Gandring dengan
keris yang dibuat sang Empu.25 Romli Atmasasmita divonis
bersalah pada tingkat judex factie dan akhirnya diputus bebas
pada tingkat judex juris karena memang dalam menentukan
kerugian negara tidak dilakukan kajian interdisiplin ilmu.
Romli Atmasasmita akhirnya dibebaskan Mahkamah
Agung meski sudah menginap di penjara selama 5 bulan
5 hari.26
Peristiwa pemidanaan atas sekwan dan 40 anggota
DPRD periode tahun 2004 - 2009 Kabupaten Kutai
Kartanegara akan terjawab pada pembahasan apakah
penegakan hukum yang dilakukan BPK, Polda Kalimantan
Timur, dan Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur sudah
sesuai ketentuan atau dilakukan secara ugal-ugalan. Kasus
ini membuat heboh para pegiat hukum di tingkat lokal
maupun nasional. Ketua Mahkamah Konstitusi sampai
menyerukan pengadilan tindak pidana korupsi di Samarinda
agar dibubarkan27 karena hakim tindak pidana korupsi di
Samarinda membebaskan sekwan dan 40 anggota dan

25 Atmasasmita, Romli, Teori Hukum Integratif, Cetakan Pertama


(Yogyakarta: Genta Publishing, 2012) hlm. x.
26 Ibid.
27 Tribun Kaltim, 2011, 5 November, hlm. 1.

23
pimpinan DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara yang telah
didakwa jaksa penuntut umum melakukan tindak pidana
korupsi atas perjalanan dinas dan dianggap tidak melakukan
kegiatan. Putusan ini dipandang tidak mendukung
pemberantasan korupsi di Indonesia.
Menurut Tuanakotta, audit investigatif merupakan
audit khusus untuk menghitung kerugian negara. Namun,
ada yang lebih khusus lagi dalam menghitung kerugian
negara agar lebih tajam kajian hukum maupun keakuratan
perhitungannya yang diterapkan akuntan forensik yang
akan melakukan audit forensik. Jika seorang auditor dapat
disebut sebagai akuntan yang berspesialisasi dalam auditing,
akuntan forensik menjadi spesialisasi yang lebih khusus lagi
(superspecialist) dalam bidang fraud.28
Menurut Tuanakotta, hingga buku Akuntansi
Forensik dan Audit Investigatif edisi kedua terbit, IAPI
belum menerbitkan standar audit investigatif.29 Bahkan,
ada akuntan yang tidak menyadari bahwa apa yang

28 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,


Edisi Kedua (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2010)
hlm. 44. Tunggal, Amin Widjaja dalam buku Forensic and Investigative
Accounting Pendekatan Kasus (Jakarta: Harvarindo, 2012) hlm. iii
memberikan pengertian kecurangan (fraud) adalah pencurian dengan
cara menipu (theft by deception). Sebagai konsep legal yang luas,
kecurangan menggambarkan setiap upaya penipuan yang disengaja
yang dimaksudkan untuk mengambil aset atau hak orang atau
pihak lain. Dalam konteks audit atas laporan keuangan, kecurangan
didefinisikan sebagai salah saji laporan keuangan yang disengaja.
29 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,
Edisi Kedua,.., Ibid., hlm. 99.

24
dikerjakannya termasuk dalam lingkup akuntansi forensik30
karena kenyataannya memang belum ada standar audit
investigatif, apalagi audit forensik. Sementara itu, kejahatan
extraordinary harus ditangani dalam mengidentifikasi
kerugian negara juga secara extraordinary. Contoh, saat ini
akuntansi forensik juga dipergunakan dalam kasus yang
sangat kompleks, yakni Bank Century. Diagram akuntansi
forensik dapat dilihat dalam gambar berikut.31

AKUNTANSI
AUDIT
HUKUM

Gambar 1. Diagram Akuntansi Forensik


Gambar di atas menjelaskan dalam akuntansi
forensik terkait beberapa disiplin ilmu, yakni akuntansi
dalam arti sempit Standar Akuntansi Pemerintah dan
hukum dalam arti luas karena hukum memiliki rumpun.
Oleh karena itu, audit investigatif hanyalah titik awal dari
akuntansi forensik karena harus dikaji lebih lanjut syarat
bukti yang sah sebagaimana yang dimaksud Pasal 184
KUHAP, termasuk kajian dari ilmu hukum tata negara,
hukum administrasi negara, ilmu perundang-undangan,
terakhir baru dari sisi hukum pidana. Persinggungan antara
30 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,..,
Op.cit. hlm. 5.
31 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,..,
Op.cit. hlm. 18.

25
akuntansi, auditing, dan hukum ini memberikannya nama
akuntansi forensik.32
Hal senada juga disampaikan mantan pimpinan Komisi
Pemberantasn Korupsi (KPK), Erry Ryana Hardjapamekas,
bahwa laporan hasil pemeriksaan keuangan BPK tidak
dapat langsung dijadikan bukti.33 Kenyataannya, dalam
praktik penegakan hukum, dasar penetapan tersangka oleh
penyidik berkecenderungan (mayoritas) langsung merujuk
hasil audit investigatif BPK yang dianggap sebagai bukti
awal yang cukup kuat. Hal ini disebabkan memang penyidik
juga tidak memahami pertautan antara akuntansi, hukum,
dan auditing karena penyidik memang tidak memiliki
latar belakang pendidikan yang kuat tentang akuntansi
yang merupakan rumpun hukum administrasi negara dan
menjadi landasan hukum dalam penghitungan kerugian
keuangan negara, hanya berdasarkan perspektif hukum
pidana.
Dalam beberapa perkara korupsi di Indonesia,
terdakwa ada yang bebas setelah mendengar keterangan
para saksi ahli yang mempunyai pemahaman hukum
32 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,..,
Op.cit. hlm. 1.
33 Antaranews, Deklarasi GERAM Balikpapan (online), http://kaltim.
antaranews.com/photo/1031/deklarasi-geram-balikpapan. Pernyataan
disampaikan pada Deklarasi GERAM (Gerakan Rakyat Anti Mafia
Hukum) Balikpapan yang dideklarasikan sejumlah akademisi,
aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), tokoh adat, tokoh
etnis, profesional, wartawan, dan mahasiswa di kampus Universitas
Balikpapan.

26
secara interdisipliner (integrated knowledge). Menurut Adji,
pemahaman yang berkembang dalam praktik peradilan
tidaklah semudah kajian akademik memberikan solusinya.
Permasalahannya adalah ketika aparatur negara dianggap
melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan dan
melawan hukum. Artinya, mana yang dijadikan ujian bagi
penyimpangan aparatur negara ini, hukum administrasi
negara ataukah hukum pidana, khususnya dalam perkara-
perkara tindak pidana korupsi. Pemahaman yang berkaitan
dengan penentuan yurisdiksi inilah yang sangat terbatas
dalam kehidupan praktik yudisial.34
Dalam menentukan kerugian negara, langkah pertama
yang dilakukan adalah terlebih dahulu memetakan yuridiksi
suatu perkara setelah auditor BPK melakukan analisis
antara apa yang ditetapkan dan apa yang dilaksanakan atas
APBD. Dalam menentukan kerugian keuangan negara
atau daerah, ada beberapa tahap yang harus dilakukan.
Tuanakotta menegaskan secara konseptual tahap tersebut
dapat dibagi menjadi tiga tahap berikut.35
1. Tahap pertama, menentukan ada atau tidaknya kerugian
negara.
2. Tahap kedua, menghitung besarnya kerugian keuangan
negara tersebut jika memang ada.

34 Adji, Indriyanto Seno, Korupsi dan Penegakan Hukum, Cetakan


Pertama (Jakarta: Diata Media, 2009) hlm. 2 - 3.
35 Tuanakotta, Theodorus M., Menghitung Kerugian Negara, dalam
Tindak Pidana Korupsi, Op.cit., hlm. 131.

27
3. Tahap ketiga, menetapkan kerugian negara.
Dalam menentukan kerugian keuangan negara atau
daerah ada satu tahap yang harus ditambahkan dalam
tahap menghitung kerugian negara yang sebenarnya sudah
dilakukan dan merupakan fungsi utama auditor BPK,
yakni melakukan analisis perbandingan antara apa yang
ditetapkan dalam APBD maupun APBN dan apa yang
dilaksanakan. Dengan demikian, secara konseptual proses
penghitungan kerugian negara dalam tindak pidana korupsi
dapat dibagi dalam empat tahap berikut.
1. Tahap pertama, menemukan perbedaan antara apa yang
ditetapkan dalam APBD maupun APBN dan apa yang
dilaksanakan.
2. Tahap kedua, menentukan ada atau tidaknya kerugian
negara.
3. Tahap ketiga, menghitung besarnya kerugian keuangan
negara tersebut jika memang ada.
4. Tahap keempat, menetapkan kerugian negara.
Lebih lanjut, Tuanakotta menegaskan bahwa tahap
pertama merupakan wilayah ahli hukum, sedangkan tahap
kedua merupakan ranah ahli menurut KUHAP, ahli
menurut Undang-Undang nomor 15 tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan, atau ahli menurut Pasal 32 ayat
(1) Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-
Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Sementara itu, tahap ketiga

28
merupakan ranah majelis hakim melalui suatu putusan.36
Jika dirujuk pada bagan akuntansi forensik, saat dilakukan
audit forensik terlebih dahulu diteliti payung hukum
objek yang harus diaudit, baik dari hukum tata negara,
hukum administrasi negara, ilmu perundang-undangan,
maupun hukum pidana. Jika ada yang dilanggar, auditor
BPK kemudian membuat kesimpulan yang dapat berupa
perbuatan administratif maupun perbuatan tindak pidana
korupsi.
Kelemahan auditor, menurut Tuanakotta, terlihat dari
kebiasaan auditor melaporkan temuan mereka. Contoh yang
sering terjadi, kami menemukan adanya pembayaran sebesar
Rp 139 miliar yang tidak didukung bukti-bukti yang cukup.37
Hal ini juga terjadi terhadap temuan audit investigatif
auditor BPK atas laporan keuangan Pemerintah Kabupaten
Kutai Kartanegara periode tahun 2005 yang menyatakan
hasil audit pertama berpotensi merugikan negara karena
tidak dilengkapi bukti kuitansi Rp 2.676.000.000,00,
kemudian diaudit kembali dan menyimpulkan telah terjadi
kerugian negara Rp 2.988.800.000,00. Argumentasi yang
36 Tuanakotta, Theodorus M., Menghitung Kerugian Negara, dalam Tindak
Pidana Korupsi,..., Ibid., hlm. 133. Pasal 1 KUHAP berisi penjelasan
umum keterangan ahli pada angka 28 menyatakan keterangan ahli
adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. hlm. 192, keterangan
akuntan forensik di persidangan adalah keterangan ahli sebagaimana
dijelaskan pada Pasal 1 angka 28 KUHAP.
37 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,..
Op.cit, hlm. 45 - 46.

29
sering dipergunakan adalah audit pertama sifatnya reguler
atau audit laporan keuangan, sedangkan audit kedua
adalah audit dengan tujuan tertentu atau audit investigatif.
Wilayah inilah yang sering menimbulkan ketidakpastian
dan perlu ada penjelasan yang lebih ketat menurut hukum
yang benar.
Dalam menghitung kerugian negara tidak ada metode
yang baku. Namun, dalam praktiknya, akuntan forensik
dalam melakukan audit forensik memilih metode dari
berbagai metode yang dikenal dalam ilmu akuntansi yang
tersedia sesuai bentuk tindak pidana korupsinya. Metode-
metode berikut dapat dipergunakan secara bersama-sama
maupun sendiri-sendiri dalam menghitung kerugian
negara.
1. Kerugian total (total loss). Dalam metode ini seluruh
jumlah yang dibayarkan dinyatakan sebagai kerugian
negara. Misalnya, pejabat tinggi departemen membeli
alat berat dari negara lain, sedangkan suku cadangnya
tidak diproduksi lagi di manapun. Dalam dakwaan,
Jaksa Penuntut Umum meyakinkan hakim bahwa
keseluruhan kegiatan pembelian merupakan perbuatan
melawan hukum. Metode ini juga dapat diterapkan
dalam penerimaan negara yang tidak disetorkan, baik
sebagian maupun keseluruhan.
2. Kerugian total dengan penyesuaian. Metode ini diperlukan
dalam hal barang yang dibeli harus dimusnahkan dan

30
pemusnahan memerlukan biaya. Dengan demikian,
kerugian negara bukan hanya pembelian, melainkan
juga biaya untuk memusnahkan.
3. Kerugian bersih (net loss). Metode ini dilakukan dalam
hal barang rongsokan yang tadi dibeli masih ada
nilainya sehingga kerugian negara adalah sejumlah
kerugian bersih, yaitu kerugian total dikurangi nilai
bersih barang yang rongsok.
4. Harga wajar. Metode ini seringkali merugikan negara
karena transaksi yang dibeli dibuat dengan harga yang
tidak wajar, baik dalam transaksi pembelian maupun
pelepasan dan pemanfaatan barang. Kunci metode ini
adalah penentuan harga wajar. Harga wajar menjadi
pembanding untuk harga realisasi. Kerugian negara
terjadi akibat ada transaksi yang tidak wajar kemudian
dihitung dari selisih harga yang tidak wajar dengan
harga realisasi.
5. Harga pokok (HP). Metode ini sering dikritik karena
harga pokok tidak sama dengan harga jual. Harga jual
dipengaruhi permintaan pasar dan margin keuntungan
atau kerugian setiap perusahaan.
6. Harga perkiraan sendiri (HPS). Dalam metode ini
harga disusun oleh lembaga yang melaksanakan
tender. Harga perkiraan sendiri dihitung dengan
pengetahuan dan keahlian mengenai harga barang atau
jasa yang ditenderkan dan berdasarkan data yang dapat

31
dipertanggungjawabkan.
7. Penggunaan appraiser. Metode ini dipergunakan dalam
pelepasan aset melalui pertukaran. Hal yang harus
diperhatikan adalah faktor harga atau nilai pertukaran.
Nilai pertukaran inilah harga yang diterima, tetapi
karena tidak dalam bentuk uang harus dinilai kembali.
Dalam hal ini, penilaian barang seperti gedung, mobil,
tanah, dan sebagainya ahli yang paling tepat adalah
appraiser, yaitu orang yang memiliki keahlian dalam
menilai aset tertentu.
8. Metode terakhir adalah opportunitiy cost. Metode
ini untuk menilai apakah pengambilan keputusan
yang terbaik dan apakah pengambil keputusan sudah
mempertimbangkan alternatif-alternatif lain, apakah
alternatif yang terbaik. Metode ini sulit diterapkan
dalam konsep menghitung kerugian negara yang nyata
dan pasti.38
Dewasa ini pelaksanaan audit investigatif oleh BPK
sering terjadi kontroversi dan tidak konsisten antara
BPK dan BPKP saat kewenangan BPKP dicabut untuk
melakukan audit terhadap keuangan negara. Bahkan,
terjadi juga perbedaan dalam memberikan rekomendasi pada
sesama auditor BPK untuk objek yang diaudit, termasuk
dalam pemeriksaan pelaksanaan APBD Kabupaten Kutai

38 Kholis, Efi Laila, Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi,


Cetakan Pertama (Jakarta: Solusi Publishing, 2010) hlm. 72 - 74.

32
Kartanegara, terlebih lagi dengan lahirnya Undang-Undang
nomor 31 tahun 1999 juncto Undang-Undang nomor 20
tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pinana Korupsi.
Dalam penegakan hukum pidana, seolah-olah undang-
undang yang lain tidak berlaku lagi, khususnya hukum
administrasi negara. Padahal, justru sebaliknya, instrumen
hukum yang utama untuk mewujudkan pemerintahan yang
bersih adalah hukum administrasi negara.39 Peranan hukum
administrasi tidak dapat diabaikan dalam menegakkan
hukum tindak pidana korupsi.40
Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kasus dugaan
korupsi yang sedang terjadi dan menjadi perhatian nasional,
antara lain Mantan Jaksa Agung RI, Hendarman Supanji,
dengan Mantan Menkum HAM RI, Yusril Ihza Mahendra,
dalam kasus pengadaan Sisminbakum.41 Ada perdebatan
yang menyatakan kasus dugaan korupsi ini masuk dalam
ketagori hukum administrasi negara dan sebagian pihak
menyatakan masuk dalam ranah hukum tindak pidana
korupsi, khususnya oleh penyidik maupun BPK.
Selanjutnya, dugaan korupsi di daerah Provinsi
Kalimantan Timur terjadinya penetapan menjadi
39 Hadjon, Philipus M., dkk., Hukum Administrasi dan Tindak Pidana
Korupsi, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2011) hlm. vi.
40 Ibid.
41 Waspadamedan, Positif bila Kasus Yusril vs Hendarman ke Pengadilan
(online), http://www.waspadamedan.com/index.php?option=com_con
tent&view=article&id=3226:positif-bila-kasus-yusril-vs-hendarman-
ke-pengadilan&catid=62:tajuk&Itemid=233.

33
tersangka mantan Sekretaris Dewan Kabupaten Kutai
Kartanegara periode tahun 2005 yang saat ini menjabat
Asisten IV Gubernur Kalimantan Timur beserta seluruh
anggota DPRD Kutai Kartanegara periode 2004 - 2009.
Hal tersebut terkait dengan perkara dugaan korupsi
penggunaan dana operasional pimpinan dan anggota
DPRD Kutai Kartanegara untuk tahun anggaran 2005
yang menurut BPK terjadi penganggaran secara ganda dan
juga bertentangan dengan Keputusan Menteri Keuangan
No. 7/KMK.02/2003 tentang Perjalanan Dinas Dalam
Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, dan
Pegawai Tidak Tetap. Sementara itu, operasional anggota
dan pimpinan DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara telah
diatur melalui Keputusan Bupati Kutai Kartanegara No.
180.188/HK-41/2005 tanggal 29 Maret 2005 tentang
Penetapan Standarisasi/Normalisasi Harga Barang dan
Jasa Belanja Aparatur dan Modal Pemerintah Kabupaten
Kutai Kartanegara Tahun Anggaran 2005 dan diterapkan
secara berlaku surut.
Dalam kasus ini Gubernur Kalimantan Timur42
telah ditetapkan oleh Kejaksaan Agung sebagai tersangka
dengan dasar telah terjadi kerugian negara berdasarkan
audit invesfigatif BPK atas penjualan saham 5% PT Kutai
Timur Energi, saham milik Pemkab Kutai Timur pada PT
Kaltim Prima Coal yang saat ini berubah nama menjadi
42 Tribun Kaltim, Kamis, 15 Juli 2010, hlm.1.

34
PT Bumi Resourches. Lebih lanjut, audit tandingan yang
dilakukan oleh kantor akuntan publik Young and Erns
(dahulu akuntan publik Arthur Andereson) memberikan
kesimpulan tidak terjadi kerugian. Sebaliknya, hasil audit
BPK menyatakan terjadi keuntungan.
Catatan akhir tahun pada tanggal 31 Desember
2011 Jaksa Agung menyampaikan tolong jangan tergesa-
gesa tetapkan orang jadi tersangka. Jaksa Agung dan Jaksa
Agung Muda Pidana Khusus menyebutkan kasus Awang
Farok terhambat karena belum adanya perhitungan kerugian
negara.43 Sementara itu, Sekretaris Provinsi Kalimantan
Timur juga dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Tinggi
Kalimantan Timur dan dinyatakan telah menghitung
dan terjadi kerugian keuangan negara.44 Masyarakat
Kaltim mempersoalkan karena kejaksaan tidak memiliki
kewenangan menghitung kerugian keuangan negara.
Kejaksaan Kalimantan Timur meminta audit kepada
BPK Perwakilan Kalimantan Timur terhadap pengucuran
dana koperasi kepada PT Hidup Baru. Akhirnya,
Kejaksaan Tinggi Samarinda menghentikan penyidikan
melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)
dengan argumentasi penyidik tidak menemukan alat bukti
yang cukup untuk menetapkan Irianto Lambire sebagai
tersangka.45 Penetapan menjadi tersangka terhadap pejabat
43 Kaltim Post, 2011, 31 Desember, hlm. 1.
44 Tribun Kaltim, 2010, 16 September, hlm. 13.
45 http://m.tribunnews.com., diunduh terakhir pada tanggal 31 Agustus
2011.

35
tersebut tentu berdampak pada pemerintahan di Kalimantan
Timur tidak berjalan secara maksimal. Kasus tersebut sama-
sama menjadi perhatian publik secara nasional.
Kajian ini akan membahas dugaan korupsi penggunaan
dana operasional pimpinan dan anggota DPRD Kutai
Kartanegara untuk tahun anggaran 2005. H. M. Aswin
(mantan Sekretaris Dewan Kabupaten Kutai Kartanegara
yang saat ini menjabat Asisten IV Gubernur Kalimantan
Timur periode tahun 2005 - 2009) ditetapkan sebagai
tersangka oleh Polda Kalimantan Timur. Anggota DPRD
Kutai Kartanegara juga ditetapkan menjadi tersangka oleh
Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur.46
Semuanya menjadi tersangka berdasarkan laporan
hasil pemeriksaan investigatif BPK yang memberikan
kesimpulan atas laporan hasil audit investigatif yang
menentukan penganggaran dan pembayaran tersebut
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan BPK Perwakilan
Kalimantan Timur nomor 02/LHP/XIX.SMD/I/2010
yang sebelumnya telah pernah dilakukan audit melalui
audit reguler dan memberikan Laporan Hasil Pemeriksaan
Keuangan BPK dengan nomor II/C/S/XIV.15/2006
memberikan rekomendasi pengembalian karena dianggap
pengeluaran tidak didukung dengan bukti-bukti dan tidak
46 Mahakammedia, Mantan Sekretaris DPRD Kukar Ditahan Polda
Kaltim (online), http://mahakammedia.wordpress.com/2010/04/25/
mantan-sekretaris-dprd-kukar-ditahan-polda-kaltim/.

36
dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Laporan hasil pemeriksaan reguler terhadap keuangan
tahun anggaran 2005 Kabupaten Kutai Kartanegara
dilakukan dengan interview terhadap orang-orang yang
melaksanakaan kegiatan. Laporan hasil pemeriksaan
keuangan tersebut diserahkan kepada eksekutif maupun
legislatif. Pertimbangan audit pertama karena tidak
didukung bukti-bukti berupa kuitansi dan dianggap
berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp
2.676.000.000,00 atas APBD tahun 2005. Jenis audit
yang dilakukan bersifat reguler dan telah dikembalikan
sebesar sekitar Rp 1.920.000.000,00 hingga tanggal 4
Desember 2008.
Audit kedua BPK melakukan perhitungan kerugian
keuangan negara melalui Laporan Hasil Pemeriksaan
BPK RI nomor 02/LHP/XIX.SMD/I/2010 tanggal 14
Januari 2010. Jenis audit yang dipergunakan adalah audit
investigatif atau audit tujuan tertentu sebagaimana terdapat
dalam Peraturan BPK RI nomor 1 tahun 2007 tentang
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Audit kedua ini
memberikan rekomendasi telah terjadi kerugian keuangan
negara sebesar Rp 2.988.800.000,00 untuk objek yang
sama atas pelaksanaan APBD tahun 2005.
Audit keuangan (reguler) secara umum hanya
memberikan pendapat (opini) atas laporan keuangan

37
pemerintah, tetapi kenyataannya auditor BPK pada
pemeriksaan keuangan pertama telah merekomendasikan
kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara untuk
mengembalikanya. Dengan demikian, auditor untuk
laporan keuangan (reguler) juga dapat melakukan audit
yang bersifat investigatif tanpa harus menunggu audit
investigatif yang kedua. Oleh karena itu, penegasan payung
hukum diperlukan untuk menghindari kontraproduktif
atas objek audit yang diaudit dua kali sebagaimana yang
terjadi atas pelaksanaan APBD tahun anggaran 2005 pada
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Audit investigatif kedua dilakukan pada tahun
2010. Audit ini dilakukan dengan cara Polda Kalimantan
Timur memanggil auditor BPK untuk menghitung
kerugian negara tanpa melakukan audit lapangan pada
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Menurut BPK,
selain terjadinya penganggaran secara ganda, BPK juga
menemukan 11 anggota DPRD tidak melakukan kegiatan
Pilkada ke Jakarta, sedangkan kenyataannya berangkat.
Hal ini terjadi karena pejabat pelaksana teknis kegiatan
(selanjutnya disingkat PPTK) melakukan kesalahan
pencatatan, pencatatannya tergabung dengan anggota
DPRD Kutai Kartanegara yang melaksanakan kegiatan ke
Yogyakarta.
Atas dasar hal ini, auditor BPK tidak melakukan audit
ke lapangan untuk memperoleh bukti audit yang kompeten.

38
Sementara itu, Pernyataan Standar Auditing No. 07 (PSA
No. 7) menyatakan bukti audit kompeten yang cukup
harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan
keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk
menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan.47
Menurut Adami Chazawi, auditor yang dilibatkan
dalam pembuktian perkara korupsi menghasilkan dua alat
bukti. Pertama, bahan tulisan yang berupa laporan audit
investigasi sehingga merupakan alat bukti surat, seperti
laporan visum et repertum oleh dokter forensik atau rumah
sakit. Kedua, alat bukti keterangan ahli apabila auditor
memberikan keterangan ahli, baik dalam penyidikan di
hadapan penyididik maupun dalam sidang pengadilan,
terutama di depan hakim, karena hasil atau isi alat bukti
akan bernilai dalam pembuktian jika didapat atau diberikan
di hadapan hakim di sidang pengadilan.48
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(selanjutnya disingkat KUHAP) tidak menjelaskan arti
dari istilah bukti dalam ketentuan umum yang menjelaskan
pengertian-pengertian. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
memberikan dua arti dari “bukti”, yakni (1) sesuatu yang
47 Institut Akuntan Publik Indonesia, Standar Profesional Akuntan
Publik, Terbitan 31 Desember 2001 (Jakarta: Salemba Empat, 2011)
hlm. 326.1.
48 Kajian terhadap Putusan MA No. 995/PID/2005. Kompasiana, Peran
Laporan Audit Investigasi dalam Hal Menentukan Kerugian Negara dalam
Perkara Korupsi (online), http://politik.kompasiana.com/2010/01/29/
peran-laporan-audit-investigasi-dalam-hal-menentukankerugian-
negara-dalam-perkara-korupsi/.

39
dijadikan sebagai keterangan nyata, sesuatu yang dipakai
sebagai landasan keyakinan kebenaran terhadap kenyataan,
sesuatu yang menyatakan kebenaran peristiwa; dan (2) hal
yang menjadi tanda perbuatan jahat (diperlukan untuk
penyidikan perkara pidana).49
Tuanakotta menjelaskan para auditor yang berlatar
belakang pendidikan akuntansi mengenal bukti audit dan
menganggap sama dengan pengertian yang dipergunakan
di pengadilan atau dalam bidang hukum.50 Bukti audit
menjadi tidak sama dengan bukti hukum sesuai dengan
Pasal 184 KUHAP jika auditor dalam mengimpun bukti
audit tidak mempertautkannya dengan hukum tata negara,
hukum administrasi negara, dan hukum pidana. Selain itu,
apabila bukti dihimpun tidak berdasarkan standar akuntansi
pemeriksaan keuangan yang diatur dalam ketentuan
Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara, persoalannya bagaimana
jika bukti dihimpun melanggar ketentuan yang telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
Tuanakotta menambahkan konsep hukum ini
berbeda dengan konsep bukti dalam pengertian auditing.51
Dalam konteks pengumpulan alat bukti yang diperoleh
secara tidak sah (tidak sesuai dengan standar pemeriksaan
49 Fajri, Em Zul & Senja, Ratu Aprilia, Kamus Lengkap Bahasa Indoneia
(Tanpa kota: Difa Publisher, Tt.) hlm. 185.
50 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,
...Op.cit., hlm. 225.
51 Ibid., hlm. 53.

40
keuangan) sudah sepatutnya tidak dapat dijadikan sebagai
bukti menurut ketentuan hukum. Dalam mengidentifikasi
bukti, audit independen lebih mengandalkan bukti yang
bersifat mengarahkan (persuasive evidence) daripada bukti
yang bersifat meyakinkan (convincing evidence).52 Sangat
berdasar jika bukti audit (audit evidence) berbeda dengan
bukti hukum (legal evidence) yang diatur secara tegas oleh
peraturan yang ketat.53
Hal ini juga sebagaimana perintah dan laporan hasil
pemeriksaan keuangan tidak diserahkan kepada eksekutif
maupun legislatif. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 17
ayat (5) Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara yang menjelaskan bahwa laporan hasil pemeriksaan
dengan tujuan tertentu disampaikan kepada DPR/DPD/
DPRD sesuai dengan kewenangannya.
Ketentuan Pasal 8 Peraturan BPK RI nomor 3 tahun
2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian
Negara juga menjelasakan bahwa pimpinan instansi segera
menugaskan Tim Penyelesaian Kerugian Negara (TPKN)
untuk menindaklanjuti ”setiap” kasus kerugian negara
selambat-lambatnya tujuh hari sejak menerima laporan”.
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) menyebutkan
TPKN mengumpulkan dan melakukan verifikasi dokumen-

52 Op.cit., hlm. 326.6.


53 Op.cit., hlm. 326.1.

41
dokumen, baik kerugian yang diketahui dari pemeriksaan
BPK, pengawas aparat pengawasan fungsional, pengawasan,
dan/atau pemberitahuan atasan langsung bendahara atau
kepala kantor atau satuan kerja sebagaimana tercantum
dalam Bab III Pasal 3 Peraturan BPK RI nomor 3 tahun
2007.
Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara merupakan salah satu landasan dan referensi
yang digunakan dalam penyusunan standar pemeriksaan
keuangan. Hal ini diatur dalam Lampiran I paragraf
4 Peraturan BPK RI nomor 1 tahun 2007 tentang
Pendahuluan Standar Pemeriksaan (selanjutnya disingkat
Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang SPKN).
Dalam ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri
nomor 5 tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan
Tuntutan Ganti Kerugian Keuangan dan Barang Daerah
juga ditegaskan hasil LHP BPK harus terlebih dahulu
diserahkan kepada Tim Penyelesaian Kerugian Negara
(TPKN) yang keanggotaannya termasuk inspektorat untuk
melakukan verifikasi untuk memastikan apakah benar-
benar telah terjadi penyimpangan secara pidana maupun
secara administrasi negara. Secara umum, penyampaian
hasil audit yang telah diatur dalam ketentuan harus
dipatuhi.

42
Bab II
Metode Kajian

A. Jenis Kajian
Jenis kajian ini merupakan kajian yuridis normatif,
yaitu kajian dengan menggunakan peraturan perundang-
undangan. Titik berat kajian yuridis normatif, sesuai
dengan karakter keilmuan hukum yang khas, terletak pada
telaah hukum atau kajian hukum terhadap hukum positif
yang meliputi tiga lapisan keilmuan hukum yang terdiri
atas telaah dogmatika hukum, teori hukum, dan filsafat
hukum.
Tataran dogmatika hukum pengkajiannya dilakukan
terhadap identifikasi dalam hukum positif, khususnya
undang-undang. Pada tataran teori hukum dilakukan
telaah terhadap teori-teori yang dapat digunakan. Jenis

43
kajian ini merupakan kajian yuridis normatif yang mengkaji
secara kritis dan komprehensif audit investigatif BPK
atas pelaksanaan APBD dalam perspektif tindak pidana
korupsi.

B. Pendekatan Masalah
Beberapa pendekatan masalah dapat dipergunakan
dalam suatu kajian. Menurut Ibrahim, cara pendekatan
tersebut dapat digabungkan sehingga dalam suatu kajian
normatif dapat saja digunakan dua pendekatan atau lebih
yang sesuai.1 Dengan pendekatan tersebut peneliti akan
mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai
permasalahan yang sedang diteliti dan selanjutnya akan
medapatkan jawabanya.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam
penelitian hukum antara lain pendekatan undang-undang
(statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan
komparatif (comparative approach), pendekatan konseptual
(conceptual approach),2 pendekatan analitis (analitical
approach), dan pendekatan filsafat (philosophical approach).3
1 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif…,
Op.cit., hlm. 300 - 301.
2 Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Cetakan Keenam (Jakarta:
Prenada Media Group, 2010) hlm. 93.
3 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif…,
Op.cit., hlm. 300.

44
Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
dilakukan terhadap Undang-Undang nomor 17 tahun
2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang
nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Undang-Undang nomor 1 tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang
nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Undang-Undang
nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan,
Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah
nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintah, dan Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun
2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
Pendekatan perundang-undangan akan dipergunakan
untuk menelaah semua peraturan perundang-undangan
dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang
sedang dibahas. Pendekatan perundang-undang akan
membuka kesempatan dalam pembahasan masalah in casu
untuk mempelajari konsistensi dan kesesuaian antara satu
undang-undang dan undang-undang lainnya, atau antara
undang-undang dan Undang-Undang Dasar, atau antara
regulasi dan undang-undang.
Suatu kajian normatif tentu harus menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach) karena
yang diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi

45
fokus sekaligus tema sentral kajian. Menurut Ibrahim,
kajian harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang
mempunyai sifat-sifat berikut.
1. Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada
di dalamnya terkait antara satu dan yang lain.
2. All-inclusive, artinya kumpulan norma hukum tersebut
cukup mampu menampung permasalahan hukum yang
ada sehingga tidak akan ada kekurangan hukum.
3. Systematic, artinya di samping bertautan antara satu
dan yang lain, norma hukum juga tersusun secara
sistematis.4
Pernyataan Ibrahim ini juga dikuatkan dan sejalan
dengan teori sistem ekologi administratif bahwa dalam
memahami hukum dan memecahkan persoalan hukum
harus comprehensive, all-inclusive, dan systematic. Menurut
Burkhardt Krems (dalam Indrati S.), ilmu pengetahuan
perundang-undangan (gesetz-gebungs-wissenschaft)
merupakan ilmu interdisipliner yang berhubungan dengan
ilmu politik dan sosiologi yang secara garis besar dapat
dibagi menjadi dua bagian besar berikut.
1. Teori perundang-undangan
(gesetzgebungstheorie) yang berorentasi pada
mencari kejelasan dan kejernihan makna atau
pengertian-pengertian dan bersifat kognitif.
2. Ilmu perundang-undangan (gesetzgebungslehre)
yang berorentasi pada melakukan perbuatan
4 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif…,
Ibid., hlm. 302 - 303.

46
dalam hal pembentukan perundang-undangan
dan bersifat normatif.5
Ilmu perundang-undangan juga masuk dalam
pengertian dalam ilmu interdisipliner untuk mencari kejelasan
atau mencari kebenaran yang objektif. Menurut Rasjidi &
Putra, suatu cabang ilmu sering dibahas secara otonom dan
terisolasi dalam batasan ruang lingkupnya. Pembahasan itu
menimbulkan dua akibat, yakni mengesankan terpisahnya
suatu cabang ilmu dengan ilmu pengetahuan sebagai
induknya; dan keterpisahan itu menjadi sumber kesulitan
dalam memahami aspek keseluruhan (the wholeness) dari
cabang ilmu itu.
Keterpisahan itu merupakan sebab utama kesulitan
pembangunan kebenaran (the objectivity) cabang ilmu itu.6
Hukum adalah sebuah sistem yang memiliki keterkaitan
dengan ilmu lain (interdisipliner ilmu).7 Visser T. Hoof
memberi definisi sistem adalah sesuatu yang terdiri dari
sejumlah unsur atau komponen yang selalu mempengaruhi
dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.
Sementara itu, R. Subekti memberi definisi sistem adalah
suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan
yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama
5 Astawa, I Gde Pantja & Na’a, Suprin, Dinamika dan Ilmu Perundang-
undangan di Indonesia, Edisi Pertama (Bandung: PT Alumni, 2008)
hlm. 6.
6 Rasjidi, Lili & Putra, Ida Bagus Wyasa, Hukum sebagai Suatu Sistem,
Edisi Kedua (Bandung: PT Fikahati Aneska, 2003) hlm. iii.
7 Ibid.

47
lain menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu
pemikiran untuk mencapai suatu tujuan.8
Visser T. Hoof dan R. Subekti memberi definisi
sistem dari perspektif hukum, akuntansi, dan auditing secara
umum. Islahuzzaman memberi definisi sistem adalah suatu
sarana resmi (formal) untuk mengumpulkan data untuk
membantu dan mengoordinasikan proses pengambilan
keputusan.9 Sementara itu, dari perspektif lebih spesifik
sistem akuntansi pemerintah, Bastian memberikan definisi
sistem pada akuntansi pemerintah adalah sistem akuntansi
pemerintah daerah yang meliputi serangkaian proses atau
prosedur, baik manual maupun terkomputerisasi, yang
dimulai dari pencatatan, penggolongan, dan peringkasan
transaksi dan/atau kejadian keuangan serta pelaporan
keuangan dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD yang berkaitan dengan pengeluaran pemerintah
daerah.10
Sistem akuntansi menurut Perserikatan Bangsa-
Bangsa dalam buku A Manual for Goverment Accounting,
sebagai berikut.11
8 Astawa, I Gde Pantja & Na’a, Suprin, Dinamika dan Ilmu Perundang-
undangan di Indonesia,.., Op.Cit., hlm. 40.
9 Islahuzzaman, Istilah-istilah Akuntansi dan Auditing,Cetakan Pertama
(Jakarta: PT Bumi Askara, 2012) hlm. 425.
10 Bastian, Indra, Sistem Akuntansi Sektor Publik, Cetakan Kedua
(Jakarta: Salemba Empat, 2007) hlm. 98.
11 Djumhana, Muhamad, Pengantar Hukum Keuangan Daerah dan
Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Keuangan
Daerah, Cetakan Pertama (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007)
hlm. 61, Menurut Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah nomor

48
1. Sistem akuntansi dirancang untuk memenuhi
persyaratan undang-undang dasar, undang-
undang, dan peraturan lainnya.
2. Sistem akuntansi selaras dengan klasifikasi
anggaran. Fungsi penganggaran dan akuntansi
saling melengkapi dan terintegrasi.
3. Rekening dikaitkan dengan jelas pada objek dan
tujuan penerimaan-pengeluaran, serta pejabat
penanggung jawab penyimpanan yang terjadi.
4. Sistem akuntansi membantu proses
pemeriksaan dan menyajikan informasi yang
akan diperiksa.
5. Sistem akuntansi selaras dengan pengawasan
administratif dana, kegiatan, manajemen
program, pemeriksaan internal, dan penilaian
kinerja.
6. Rekening melambangkan kegiatan ekonomi,
termasuk pengukuran pendapatan, identifikasi
belanja, serta penetapan hasil operasi (surplus
atau defisit) pemerintah dan program-
programnya atau inti organisasinya.
7. Sistem akuntansi menghasilkan informasi
keuangan untuk pengembangan perencanaan
program dan penilaian kinerja.
8. Rekening digunakan sebagai dasar analisis
ekonomi dan reklasifikasi transaksi
pemerintah.
Persinggungan definisi sistem dalam perspektif
akuntansi, auditing, dan hukum bertemu pada titik singgung
24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah, sistem
akuntansi pemerintahan adalah rangkaian sistematik dari prosedur,
penyelenggaraan, peralatan, dan elemen lain untuk mewujudkan fungsi
akuntansi sejak analisis transaksi sampai dengan pelaporan keuangan
di lingkungan organisasi pemerintah.

49
prosedur. Setelah memiliki prosedur yang jelas dalam
pelaksanaan APBD, sistematika atau siklus selanjutnya
adalah pencatatan atas pelaksanaan APBD. Bastian
memberikan definisi siklus akuntansi adalah sistematika
pencatatan transaksi keuangan, peringkasannya, dan
pelaporan keuangan sebagaimana digambarkan pada
gambar berikut.12

Gambar 2. Siklus Akuntansi


Standar akuntansi pemerintah atas pelaksanaan
APBD memberikan definisi atas sistem akuntansi
pertanggungjawaban berdasarkan aktivitas (activity-based
responsibility accounting system) adalah suatu akuntansi yang
disusun sedemikian rupa sehingga pengumpulan pelaporan
biaya dilakukan menurut aktivitas penambahan dan bukan
penambahan nilai untuk memungkinkan manajemen
merencanakan pengelolaan aktivitas dan memantau hasil
perbaikan bersinambung atas aktivitas untuk pembuatan
produk atau penyerahan jasa. Dalam konteks pelaksanaan
APBD, hal ini adalah perubahan anggaran melalui APBD

12 Bastian, Indra Sistem Akuntansi Sektor Publik, ..., Op.cit., hlm. 76 -


77.

50
perubahan (APBD-P) untuk meningkatkan layanan
publik.13
Dalam hal audit investigatif BPK masih mungkin
terjadi pemahaman secara otonom dalam menghitung
kerugian negara yang mengakibatkan laporan hasil
pemeriksaan keuangan menjadi tidak objektif dan berakibat
tidak konsisten, padahal laporan terssebut dijadikan
penyidik sebagai bukti awal untuk melakukan penyidikan.
Dalam konteks penentuan kerugian negara, pemahaman
hukum secara otonom akan memberikan kesimpulan tidak
objektif. Hukum dalam hal ini antara hukum pidana,
hukum administrasi negara, ilmu perundang-undangan,
dan auditing. Ketidakobjektifan auditor BPK dalam
menghitung kerugian negara akan merugikan nama baik
pejabat pemerintah atau mengganggu roda pemerintahan
secara umum atas laporan hasil pemeriksaan auditor BPK,
khususnya terhadap perkara yang diduga korupsi ternyata
bukan korupsi atau bukan perkara pidana.
Pendekatan kasus (case approach) dalam kajian
normatif bertujuan untuk memahami penerapan norma-
norma atau kaidah hukum yang diterapkan dalam praktik
hukum. Ini terutama terhadap kasus-kasus yang telah
diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi
terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus kajian. Kasus-

13 Islahuzzaman, Istilah-istilah Akuntansi dan Auditing,.., Ibid., hlm.


426.

51
kasus yang telah terjadi bermakna empiris. Namun, dalam
suatu kajian normatif kasus-kasus tersebut dipelajari untuk
memperoleh gambaran terhadap dampak penormaan dalam
suatu aturan hukum, serta menggunakan analisisnya sebagai
bahan masukan dalam penjelasan hukum. Pendekatan kasus
dilakukan dengan menelaah kasus yang telah diputus yang
berkaitan dengan permasalahan, baik yang telah diputus
pada tingkat judex factie maupun putusan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap. Studi kasus merupakan studi
terhadap kasus tertentu dari berbagai aspek hukum.
Pendekatan historis (historical approach) dilakukan
untuk mengetahui latar belakang lahirnya peraturan
perundang-undangan. Dengan mengetahui latar belakang
sejarah pembuatan peraturan perundang-undangan para
penegak hukum akan memiliki interprestasi yang sama
terhadap permasalahan hukum yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Hukum
pada masa kini dan hukum pada masa lampau merupakan
satu kesatuan yang berhubungan erat, sambung-
menyambung, dan tidak terputus.
Pendekatan perbandingan hukum (comparative
approach) penting dilakukan dalam ilmu hukum karena
dalam bidang ilmu hukum tidak mungkin dilakukan suatu
eksperimen, sebagaimana dilakukan dalam ilmu empiris.
Pendekatan perbandingan merupakan salah satu cara yang
dipergunakan dalam kajian normatif untuk membandingkan

52
salah satu lembaga hukum (legal institution) dari sistem
hukum (yang kurang lebih sama dari sistem hukum) yang
lain yang akan dipergunakan untuk membandingkan
undang-undang suatu negara dengan undang-undang dari
negara lain, yakni Amerika dan negara lain yang relevan
mengenai isu hukum yang sama, karena standar akuntansi
yang banyak diadopsi dalam standar akuntansi pemerintah
maupun akuntansi swasta adalah dari Amerika.
Pendekatan konseptual (conceptual approach), konsep
(Inggris: concept, Latin: conceptus dari concipere (yang
berarti memahami, menerima, menangkap) merupakan
gabungan dari kata con (bersama) dan capere (menangkap,
menjinakkan). Konsep dalam pengertian yang relevan adalah
unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena
dalam suatu bidang studi yang kadangkala menunjuk
pada hal-hal yang universal yang diabstraksikan dari hal-
hal partikular. Dalam ilmu hukum konsep dalam hukum
perdata akan berbeda dengan konsep-konsep hukum pidana.
Demikian pula konsep-konsep hukum tata negara, hukum
administrasi negara, dan ilmu perundang-undangan yang
memiliki perbedaan dalam konsep-konsep hukum pidana
dan hukum perdata.
Dalam konsep penyalahgunaan kewenangan
dihubungkan dengan hukum administrasi negara, Tatiek Sri
Djatmiati (dalam Minarno) menyatakan hukum administrasi
atau hukum tata pemerintahan (administratiefrecht atau

53
bestuursrecht) berisi norma-norma pemerintah. Parameter
yang dipergunakan dalam penggunaan wewenang adalah
kepatuhan hukum ataupun tidak kepatuhan hukum (improper
legal atau improper illegal).14 Dengan demikian, apabila
terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan secara
improper illegal, badan pemerintah yang berwenang tersebut
harus mempertanggungjawabkan. Hukum administrasi
pada hakikatnya berhubungan dengan kewenangan publik
dan cara-cara pengujian kewenangannya. Hukum juga
mengenai kontrol terhadap kewenangan tersebut.15
Menurut Bagir Manan, ketidakmungkinan
meniadakan kewenangan eksekutif (pemerintah) sebagai
penyelenggara administrasi negera untuk ikut membentuk
peraturan perundang-undangan semakin didorong oleh
berbagai perkembangan teoritik maupun praktik, antara
lain pemberian kewenangan bagi pemerintah berkenaan
sifat norma hukum tata negara dan hukum administrasi
negara yang bersifat umum-abstrak (algemeen-abstract).
Oleh karena itu, dalam kepustakaan hukum administrasi
terdapat istilah langkah mundur pembuat undang-undang
(terugtred van de wetgever). Sikap mundur ini diambil
dalam mengaplikasikan norma hukum administrasi negara
yang bersifat umum-abstrak terhadap peristiwa konkret

14 Minarno, Nur Basuki, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana


Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Cetakan Kedua (Surabaya:
Laksbang Mediatama, 2009) hlm. 69.
15 Ibid.

54
individual.16 Dalam kaitan ini A. D. Belinfante (dalam
Ridwan) memberikan pernyataan berikut.17
”De wet geeft daan aan een bestuurlijk orgaan
de bevougdheid door administratiefrechtelijke
rechtshandeligen rechtsbetrekkingen tussen dat orgaan
en burgers te scheppen. De terugtred is onvermijdelijk.
Zij biedt het voordeel van neel verder gaande differentiatie
naar bijzonderheden van de concrete toestand dan de
wetgever ooit zou kunnen bereiken”.
(Undang-undang memberikan wewenang kepada
organ pemerintah untuk membuat peraturan
hukum yang bersifat administrasi dalam rangka
hubungan hukum dengan warga negara. Langkah
mundur ini tidak dapat dihindarkan, dan akan
memberikan keuntungan yang lebih besar untuk
waktu yang tidak terbatas yang dapat dijangkau
oleh pembuat undang-undang).
Menurut Indroharto, manfaat dari sikap mundur
pembuat undang-undang seperti ini adalah penentuan dan
penetapan norma-norma hukum oleh badan atau jabatan
tata usaha negara akan dapat didiferensiasi menurut
keadaan khusus dan konkret dalam masyarakat. Langkah
mundur ini mempunyai tiga sebab, sebagai berikut.
1. Karena keseluruhan hukum tata usaha negara
(TUN) itu demikian luasnya sehingga tidak
mungkin bagi pembuat undang-undang untuk
mengatur seluruhnya dalam undang-undang
formal.
16 Ridwan HR., Hukum Administrasi Negara, Cetakan Pertama
(Yogyakarta: TiM UII Press, 2002) hlm. 104 - 105.
17 Ibid.

55
2. Norma-norma hukum TUN itu harus selalu
disesuaikan tiap perubahan keadaan yang
terjadi sehubungan dengan kemajuan dan
perkembangan teknologi yang tidak mungkin
selalu diikuti oleh pembuat undang-undang
dalam suatu UU formal.
3. Di samping itu tiap kali diperlukan pengaturan
lebih lanjut hal itu selalu berkaitan dengan
penilaian-penilaian dari segi teknis yang sangat
mendetail sehingga tidak sewajarnya harus
dimintai pembuat undang-undang yang harus
mengaturnya. Akan lebih cepat dilakukan
dengan melakukan peraturan-peraturan atau
keputusan-keputusan TUN yang lebih rendah
tingkatannya, seperti Keppres, Peraturan
Menteri, dan sebagainya.18
Hal di atas menjelaskan pendekatan konsep hukum
administrasi negara berbeda dengan konsep hukum
pidana. Dalam hukum pidana langkah mundur tidak
diperkenankan karena bertentangan dengan asas legalitas,
sedangkan dalam hukum administrasi negara berlaku surut
diperkenankan dan hal ini bukan berarti bertentangan
kepastian hukum. Pendekatan konsep hukum lainnya
dapat dirujuk tentang kematian seseorang apabila orang
tidak bernapas. Tegasnya, apabila orang telah berhenti
bernapas, dipastikan dengan berhentinya nadi dan jantung
berdenyut. Konsep hukum tentang kematian seseorang
berbeda dengan konsep kematian dalam ilmu kedokteran
yang diajarkan pada fakultas kedokteran. Dalam ilmu
18 Ibid. hlm. 105 - 106.

56
kedokteran seseorang dikatakan mati apabila batang otak
(neocortex) telah berhenti berfungsi.19
Dalam konteks hukum tindak pidana korupsi,
pelaksanaan audit investigatif atas dugaan perbuatan
tindak pidana korupsi harus mengacu beberapa pendekatan
konsep, baik hukum tata negara, hukum administrasi
negara, ilmu perundang-undangan, dan hukum pidana,
untuk menentukan ranah hukum apa yang paling relevan
sehingga menghasilkan bukti yang sah dan akurat dalam
bentuk laporan hasil pemeriksaan. Penerapan peraturan
perundang-undangan secara berlaku surut bukan berarti
dalam penegakan hukum tidak ada kepastian hukum, tetapi
untuk memenuhi kepentingan hukum itu sendiri maupun
kepentingan kepastian hukum untuk masyarakat.
Pendekatan analitis (analytical approach) bertujuan
menganalisis bahan hukum untuk mengetahui makna
yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam
peraturan perundang-undangan secara konsepsional,
sekaligus memahami penerapannya dalam praktik dan
putusan-putusan hukum. Dengan demikian, tugas analisis
hukum adalah menganalisis pengertian hukum, asas
hukum, kaidah hukum, sistem hukum, dan berbagai konsep
hukum. Pentingnya pendekatan analisis menurut George
Whitecross Paton sebagai beikut.
19 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif…,
Ibid., hlm. 307.

57
”Austin beliaved that chief of tool of jurisprudence
was analysis......... An analysis of judicial method
shows that law is not a static body of rules, is rather
an organic body of principles with inherent power of
growth”.20
Sesungguhnya Paton ingin menunjukkan bahwa
Austin melihat kepentingan analisis hukum sebagai
metode ilmu hukum (method of jurisprudence) dari berbagai
perspektif aturan hukum yang statis. Paton berpendapat
bahwa analisis hukum seperti itu tidak lagi memadai untuk
menjawab berbagai permasalahan hukum yang bergerak
secara dinamis. Apa yang dikemukakan Paton lebih dapat
diterima jika melihat perkembangan hukum yang sangat
dinamis dewasa ini, khususnya dalam pelaksanaan audit
investigatif yang dilakukan oleh BPK.
Pendekatan filsafat (philosophical approach) yang
menyeluruh, mendasar, dan spekulatif akan mengupas isu
hukum (legal issue) dalam kajian normatif secara radikal
dan mendalam. Socrates pernah mengatakan tugas filsafat
sebenarnya bukan menjawab pertanyaan yang diajukan,
melainkan mempersoalkan jawaban yang diberikan.21
Filsafat adalah kecintaan akan kebijakan atau upaya
pencarian kebijakan. Pendekatan filosofis ditandai dengan
empat hal, yaitu comprehension, perspective, insight, dan
20 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif…,
Ibid., hlm. 31.
21 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif…,
Ibid., hlm. 320.

58
vision.22
Comprehension adalah pemahaman yang menyeluruh
secara utuh, bukan bagian-bagianya saja. Jika hal ini
dikaitkan dengan auditing, auditing bukan sekadar
kumpulan aturan untuk menyelesaikan suatu audit dengan
cara terbaik, sebagaimana dipahami pada era R. K. Mautz
dan Husein A. Sharaf, melainkan suatu himpunan
pengetahuan (body of knowledge) yang komprehensif dan
bagian-bagiannya secara teratur dan logis dapat dijelaskan
secara konsisten. Audit yang dilakukan BPK terhadap
keuangan Kabupaten Kutai Kartanegara tahun anggaran
2005 dilakukan dua kali, yakni melalui audit reguler pada
tahun 2006 yang memberikan kesimpulan mengembalikan
keuangan karena tidak dilengkapi bukti-bukti kuitansi
kemudian audit yang kedua adalah audit investigatif pada
tahun 2010 dan menyimpulkan terjadi kerugian negara.
Di sini terdapat dua hasil audit yang tidak konsisten.
Auditing yang tidak konsisten dalam memberikan
kesimpulan akhir meskipun telah ada standar pemeriksaan
keuangan negara maupun standar auditing. Body of
knowledge yang ingin dicapai oleh R. K. Mautz dan Husein
A. Sharaf adalah bagian-bagian seperti evidence, due care,
disclosure,dan independence yang secara teratur dan logis
dapat dijelaskan dengan konsisten.

22 Tuanakotta, Theodorus M., Berpikir Kritis dalam Auditing…, Ibid.,


hlm. 49.

59
Perspective sebagai salah satu unsur pendekatan filsafat
mensyaratkan pandangan yang luas untuk menangkap
kebenaran dan makna sepenuhnya dari sesuatu, bukan
pandangan dari sudut seseorang saja. Jika perspektif
itu ditetapkan dalam dalam filsafat auditing, kita wajib
mengenyampingkan pandangan dan kepentingan pribadi.
Setiap masalah harus dilihat dari kepentingan dan dampak
menyeluruh, bukan dari sudut pandang yang terbatas. Hal
ini juga sejalan dengan teori ekologi sistem dari Pfiffner
dan Presthus maupun pendapat dari Steven Barkan yang
menegaskan bahwa the process of legal research often involves
investigation into other relevant disciplines.23
Insight merupakan pendekatan dalam auditing yang
menekankan kedalaman dari apa yang ingin dikaji. Pencarian
philosophical insight merupakan cara lain menyatakan bahwa
filsuf ingin menemukan asumsi dasar yang melandasi
pandangan hidup (views of life) atau pandangan mengenai
dunia (world views). Asumsi dasar merupakan pijakan yang
digunakan untuk berpikir dan menarik kesimpulan. Asumsi
dasar sering tersembunyi dan harus dicari dan diungkapkan.
Tanpa menemukan dan mengungkap asumsi dasar (untuk
mengetahui kekuatan, kelemahan, dan implikasinya), ilmu
pengetahuan tidak dapat berkembang secara nyata. Dalam
auditing juga ada asumsi-asumsi dasar yang harus diperiksa
dan diuji.
23 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,...
Loc.cit., hlm. 300.

60
Vision dalam konteks filsafat tidaklah berbau mistik,
bukan ramalan mengenai peristiwa di kemudian hari. Secara
filsafat, vision mendorong filusuf keluar dari hal-hal yang
murni berkaitan dengan masa kini dan hal-hal yang umum,
menuju kemungkinan yang lebih luas untuk dunia yang
ideal yang dapat dibayangkan untuk masa mendatang.
Bila dikaitkan dengan laporan hasil pemeriksaan
audit investigatif BPK (selanjutnya disingkat LHP audit
investigatif BPK), BPK akan dapat menjawab pertanyaan
setiap orang yang mempermasalahkan LHP audit
investigatif BPK. Penelaahan filsafat dimulai dengan sikap
ilmuwan yang rendah hati, berani mengoreksi diri, berterus
terang dalam memberikan dasar pembenaran terhadap
jawaban atas pertanyaan apakah ilmu yang dikuasai saat
ini telah mencakup segenap pengetahuan yang ada, pada
batas manakah ilmu itu dimulai dan pada batas mana dia
berhenti, dan apakah kekurangan dan kelebihan ilmu itu.
Dalam melaksanakan audit investigatif BPK harus
berpedoman pada aturan yang memberikan kewenangan
yang telah ditetapkan dalam melaksanakan audit serta harus
mempertautkan dengan hukum yang bertalian dengan
keuangan negara maupun daerah (omnibus regulation).
Selain itu, BPK juga harus mempertautkannya dengan
rumpun ilmu lain, dalam hal ini hukum tata negara,
hukum administrasi negara, ilmu perundang-undangan,
dan tentunya hukum pidana, secara khusus hukum tindak

61
pidana korupsi sehingga tidak kekurangan ilmu dalam
membuat kesimpulan, termasuk dalam memberikan
rekomendasi dan pada akhirnya dapat menghasilkan bukti
yang kuat. Bukti awal yang kuat dalam konteks audit
investigatif BPK merupakan bukti yang sah dan bukti yang
konformitas dengan realitas sehingga memenuhi syarat
bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP.

C. Sumber Bahan Hukum


Kajian hukum normatif pada dasarnya meneliti
hukum dalam wujudnya sebagai norma, seperti tertuang
dalam peraturan perundang-undangan, mulai dari konstitusi
negara, yakni Undang-Undang Dasar 1945, undang-
undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, sampai
peraturan daerah. Selain itu, norma hukum juga tercermin
dalam peraturan kebijakan sebagai penjabaran lebih
lanjut dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan,
seperti keputusan presiden, peraturan menteri, keputusan
menteri, instruksi menteri, keputusan direktur jenderal,
dan peraturan lain di tingkat pemerintahan daerah. Ini
juga termasuk peraturan kebijakan yang tertuang dalam
peraturan dan keputusan gubernur, bupati, dan walikota.
Jenis dan sumber bahan hukum dalam kajian ada
bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Namun, ada
juga yang membagi bahan hukum dalam dua kelompok,
yakni bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

62
Menurut Soerjono Soekanto, bahan-bahan hukum terdiri
atas bahan hukum berikut.
1. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan
hukum yang mengikat dan terdiri atas bahan
hukum berikut.
a. Norma atau kaidah dasar, yakni pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945.
b. Peraturan dasar, yaitu batang tubuh Undang-
Undang Dasar 1945 dan ketetapan-
ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
c. Peraturan perundang-undangan, yaitu
undang-undang dan peraturan yang setaraf,
peraturan pemerintah dan peraturan
yang setaraf, keputusan presiden dan
peraturan yang setaraf, keputusan menteri
dan putusan yang setaraf, dan peraturan
daerah.
d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan
seperti hukum adat.
e. Yurisprudensi.
f. Traktat.
g. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang
hingga sekarang masih berlaku seperti
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(selanjutnya disingkat KUHP).
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum
yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti rancangan undang-
undang, hasil penelitian, dan hasil karya ilmiah
dari kalangan hukum.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan

63
terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
seperti kamus dan ensiklopedia.24
Sementara itu, Soepiadhy membagi sumber bahan
hukum dalam dua kelompok, yakni sumber hukum primer
dan sumber hukum sekunder.25 Soepiadhy menjelaskan
bahwa dapat dipastikan setiap kajian menggunakan
ensiklopedia sehingga dalam kajian ini dipergunakan bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder berikut.
1. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum
yang mengikat. Dalam kajian ini dipergunakan bahan
primer peraturan perundang-undangan berikut.
a. Undang-Undang Dasar 1945.
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
c. Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara.
d. Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara.
e. Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara.

24 Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua (Jakarta: Sinar


Grafika, 2009) hlm. 114 - 115.
25 Soetanto Soepiadhy, Mata kuliah Filsafat dan Teori Hukum tanggal
18 Desember 2010, pada perkuliahan Program Studi Doktor Ilmu
Hukum Program Pascasarjana, Universitas 17 Agustus 1945,
Surabaya.

64
f. Undang-Undang nomor 15 tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksaan Keuangan Negara.
g. Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.
h. Peraturan BPK nomor 2 jo. Peraturan BPK
nomor 2 tahun 2011 tentang Kode Etik Badan
Pemeriksaan Keuangan.
i. Peraturan BPK RI nomor 3 tahun 2007 tentang
Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara.
j. Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2005 jo.
Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerintah.
k. Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
l. Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 juncto
Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
m. Permendagri nomor 5 tahun 1997 tentang
Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti
Rugi Keuangan dan Barang Daerah.
2. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
seperti studi kepustakaan dan studi dokumentasi, arsip,
data resmi pemerintah, buku-buku hukum, jurnal, dan
majalah yang dipublikasikan.

65
D. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan
Hukum
Proses pengumpulan bahan hukum dalam kajian ini
dilakukan dari berbagai sumber, sebagaimana ditemukan
dalam Black’s Law Dictionary, sebagai berikut.
1. Source of law can refer to the origin of legal concept and
ideas.
2. Source of law can refer to govermental institutions that
formulate legal rules.
3. Source of law can refer to the published manifestation of
law.26
Menurut Edward Jenk, ada tiga sumber hukum
yang disebutnya dengan istilah form of law, yaitu statutory,
judiciary, dan literary.27 Tjuck Wirawan juga mengemukakan
putusan hakim yang belum memiliki kekuatan hukum
tetap (in kracht) pada tingkat pengadilan pertama maupun
pada tingkat pengadilan banding (judex factie) juga dapat
dipergunakan sebagai bahan hukum.28
Teknik pengumpulan dan pengolahan bahan hukum
dalam kajian ini diawali dengan studi kepustakaan, yaitu
26 Garner, Brayen A., Black’s Law Dictionary, Sevent Edition, In Chief
(Ed.) (Minn., United State of America: West Group, St. Paul, 1999)
hlm. 1401.
27 Sadjijono, H., Bab-bab Pokok Hukum Administrasi, Cetakan Kedua
(Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2011) hlm. 26.
28 Pendapat disampaikan pada hari Sabtu, 31 Maret 2012 pukul 10.00,
pada ujian Pra Proposal pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum
Program PascasarjanaUniversitas 17 Agustus 1945, Surabaya.

66
inventarisasi semua bahan hukum yang terkait dengan
pokok permasalahan, baik bahan hukum primer maupun
bahan hukum sekunder, kemudian diadakan klasifikasi
bahan hukum yang terkait. Selanjutnya, bahan hukum
tersebut disusun secara sistematis untuk memudahkan
membaca dan mempelajarinya. Bahan hukum yang
diperoleh dari studi kepustakaan kemudian dikumpulkan
dan dikelompokkan untuk dipilih dan dipilah sesuai dengan
karakter bahan hukum yang diperlukan, terutama yang ada
relevansinya dengan permasalahan yang dibahas. Bahan
hukum yang kurang relevan untuk sementara disisihkan
dan akan dipergunakan apabila bahan hukum tersebut
diperlukan.

E. Analisis Bahan Hukum


Analisis bahan hukum dilakukan dengan terlebh
dahulu mengidentifikasi bahan hukum yang terkumpul,
kemudian dideskripsikan dan disistematisasikan berdasarkan
teori keilmuan hukum dan konsep-konsep ilmu hukum,
prinsip-prinsip, atau asas-asas hukum. Analisis bahan
hukum yang dipergunakan dalam kajian ini adalah analisis
yuridis kualitatif, yaitu analisis yang bertumpu pada
penalaran hukum (legal reasoning), intepretasi hukum (legal
interpretation), dan argumentasi hukum (legal argumentation)
secara runtut. Penggunaan analisis bahan hukum yang
demikian diharapkan dapat menjelaskan permasalahan
yang dirumuskan dalam kajian ini secara memuaskan.

67
Bab III
Landasan Teori

Ciri khas teori hukum adalah memiliki karakter


interdisipliner. Dalam pespektif interdisipliner tersebut,
Posner menegaskan dengan pernyataan berikut.
”Legal theory is concerned with the practical problems
of law, but it approaches them from the outside, using
the tools of other discipline. It does not consider the
internal perspective of the legal profesional adeguate to
the solution even of the practical problem of law,......
But as the only approaches to a genuinely scientific
conception of law are those that come from others
diciples, such as economics, sociology, and psychology,
it is appropriate when speaking of legal ”theory” at
large to confine the term to theories that come from
outside law”.1
1 Posner, Richard A., Frontiers of Legal Theory, Cambridge, Massachusetts,
London: Harvard University Press, 2001) hlm. 2 - 3, diambil dari
http://books.google.co.id/books?id=EofJ2voaW_0C&printsec=front
cover&dq=frontier+of+legal+theory&hl=id&sa=X&ei=qEdQT5X
PNcmsrAfk3NnCDQ&ved=0CDAQ6AEwAA#v=onepage&q=fro
ntier%20of%20legal%20theory&f=false

69
Kajian yuridis normatif ini mempergunakan
beberapa teori yang relevan dan akan dibatasi pada objek
kajian pelaksanaan peraturan daerah tentang APBD yang
dianggap bertentangan dengan ketentuan perundang-
undangan.Melalui audit investigatif BPK pada Laporan
Hasil Pemeriksaan Keuangan nomor II/C/S/XIV.15/2006
tanggal 26 September 2006, BPK merokemendasikan
pengembalian uang negara pada kas daerah Pemerintah
Kabupaten Kutai Kartanegara karena dianggap berpotensi
merugikan keuangan negara sebesar Rp 2.676.000.000,00
atas APBD tahun 2005. Jumlah tersebut hingga tanggal
4 Desember 2008 telah dikembalikan sebesar Rp
1.920.000.000,00 atas rekomendasi audit BPK yang
pertama pada tahun 2006.
BPK kemudian melakukan penetapan perhitungan
kerugian keuangan negara dengan Laporan Hasil
Pemeriksaan Keuangan BPK nomor 02/LHP/XIX.SMD/
I/2010 tanggal 14 Januari 2010 dengan rekomendasi
bahwa telah terjadi kerugian keuangan negara sebesar
Rp 2.988.800.000,00 untuk objek APBD tahun 2005.
Hal ini dilakukan dengan cara menganggarkan ganda dan
melakukan pembayaran terhadap anggota DPRD Kutai
Kartanegara yang tidak melakukan kegiatan.
Payung hukum penggunaan dana penunjang
operasional anggota dan pimpinan DPRD, serta Sekretaris
Dewan Kutai Kartanegara tahun anggaran 2005 telah diatur

70
dalam Peraturan Bupati nomor 180.188/HK-149/2005,
dan telah masuk dalam pos anggaran APBD tahun 2005.
Hal ini akan dikaji dalam perspektif yuridis normatif dengan
menggunakan kerangka teori dan kerangka konseptual.
Kerangka teori yang akan dipergunakan dalam kajian ini
adalah teori hukum pidana sebagai grand theory; teori sistem
ekologi administrasi sebagai middle range theory; serta teori
pembuktian pidana khusus korupsi, teori kebenaran, teori
kehendak (wilstheorie), dan standar pemeriksaan keuangan
sebagai applied theory.
Teori-teori tersebut akan dipergunakan sebagai
dukungan untuk mendeskripsikan hasil-hasil kajian tentang
standar pemeriksaan keuangan negara yang baik dan benar.
Hal ini merujuk pada Undang-Undang nomor 15 tahun
2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Peraturan
BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara. Selain itu, pegawai negeri sipil sebagai
pengguna anggaran melalui SKPD telah menjalankan
tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan Pasal
50 KUHP jo. Pasal 51 KUHP dipidana berdasarkan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang
nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-
Undang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, jo. Pasal 64 ayat
(1) KUHP.

71
A. Teori Hukum Pidana
Teori hukum pidana (strafrechts theorien) yang banyak
dianut oleh ahli hukum di dunia, terutama di dunia Barat,
dasar pemikirannya berkisar pada persoalan ”mengapa
suatu tindak pidana korupsi harus dikenai hukum pidana”.2
Penerapan dasar pemikiran tersebut dalam konteks
pemberantasan tindak pidana korupsi berubah menjadi
mengapa tindak pidana harus diberantas dan dikenai
pidana khusus, tindak pidana korupsi berdasarkan hukum
pidana material Undang-Undang nomor 31 tahun 1999
juncto Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

B. Teori Pemidanaan
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia
tidak ditemukan definisi tindak pidana. Tindak pidana
yang dipahami selama ini merupakan kreasi teori para
ahli hukum. Simons dan Van Hamel merupakan dua ahli
hukum Belanda yang memiliki pandangan-pandangan
yang mewarnai pendapat para ahli pidana di Belanda dan
Indonesia. Menurut Simons, tindak pidana (strafbaarfeit)
adalah kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat
melawan hukum dan berhubungan dengan kesalahan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Van

2 Budiman, Arief, Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi


(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996) hlm. 35 - 36.

72
Hamel mengatakan bahwa strafbaarfeit adalah kelakuan
orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat
melawan hukum, patut dipidana, dan dilakukan dengan
kesalahan.
Fletcher (dalam Huda) menyatakan we distinguish
between characteristics of the act (wrongful, criminal) and
characteristic of actor (insane, infant).3 Dalam konteks
ini perlu dibedakan antara karakteristik perbuatan yang
dijadikan pidana dan karakteristik orang yang melakukan
pidana. Teori ini dikenal dengan nama teori pemisahan
tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak
pidana dan pertanggungjawaban pidana memiliki perbedaan
fungsi. Paul H. Robinson (dalam Huda) menyatakan actus
reus-mens rea distinction in general way as the distinctions
between the functions of defining prohibit conduct and defining
the condition under which a defendant is to be blameworthy and
therefore liable for engaging is such prohibit conduct.4 Dengan
demikian, aturan mengenai tindak pidana seharusnya
sebatas menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang.
Ketentuan hukum mengenai tindak pidana berfungsi
sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang dalam
hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain di luar katagori
tersebut. Dengan adanya aturan mengenai tindak pidana
3 Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Kesalahan Menuju kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Cetakan Keempat
(Jakarta: Prenada Media Group, Tt.) hlm. 13.
4 Ibid., hlm. 16.

73
dapat dikenali perbuatan-perbuatan yang dilarang. Dengan
kata lain, William Wilson (dalam Huda) menyatakan the
rules which tell all of us what we can and cannot dot.5 Aturan
tersebut menentukan perbuatan yang boleh dan yang tidak
boleh dilakukan.
Pemeriksaan keuangan pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 4 Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang
Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan
Negara terdiri atas tiga jenis pemeriksaan, yaitu pemeriksaan
keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu (audit investigatif). Dengan demikian,
ketentuan yang harus dipergunakan BPK adalah apa yang
telah ditentukan dalam undang-undang APBN maupun
peraturan darah tentang APBD selanjutnya dibandingkan
terhadap pelaksanaan APBN maupun APBD untuk
menemukan adanya suatu tindak pidana korupsi.

C. Teori Pertanggungjawaban Pidana


Ketentuan hukum berkaitan dengan
pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai penentu
syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorang sehingga
memenuhi unsur untuk dijatuhi pidana. Ini sebagaimana
ditemukan dalam ketentuan Undang-Undang nomor 31
tahun 1999 juncto Undang-Undang nomor 20 tahun
5 Ibid.

74
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Paul H. Robinson menyatakan it operates to filter those
deserving punishment for their wrong from those who do not
and to grade liability according to their degree fault.6 Aturan
pertanggungjawaban pidana merupakan saringan pengenaan
pidana, yakni hanya dapat diterapkan terhadap mereka
yang memiliki kesalahan dan pidana dikenakan sebatas
kesalahan tersebut.
Dalam konteks pelaksanaan APBD 2005, auditor
BPK pada pemeriksaan kedua tahun 2010 menyimpulkan
terjadi penganggaran ganda pada APBD tahun 2005
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sehingga
merugikan keuangan negara, sedangkan peraturan daerah
APBD tersebut telah dilaksanakan secara sempurna dan
belum pernah dicabut, baik melalui executive review maupun
judical review. Roeslan Saleh (dalam Huda) menyatakan
dalam teori kesalahan normatif ada kesalahan jika kelakuan
tidak sesuai dengan norma yang harus diterapkan.7 Sebagai
suatu pengertian yang normatif, kesalahan merupakan
masalah penilaian yang dilakukan berdasarkan norma.
Moeljanto (dalam Huda) menyatakan orang tidak
mungkin dipertanggungjawabkan pidana kalau tidak
melakukan perbuatan pidana.8 Dengan demikian, tidak
mungkin seseorang dipertanggungjawabkan dalam hukum
6 Ibid. hlm. 17.
7 Ibid. hlm. 79.
8 Ibid. hlm. 20.

75
pidana jika yang bersangkutan tidak melakukan tindak
pidana, hanya dengan melakukan tindak pidana seseorang
dapat dimintai pertanggungjawaban.

D. Teori Tujuan Pemidanaan (Kepidanaan)


Pemidanaan merupakan bagian terpenting dalam
hukum pidana karena merupakan puncak dari seluruh
proses mempertanggungjawabkan seseorang yang telah
bersalah telah melakukan tindak pidana. A criminal law
without sentencing would merely be a declaratory system
pronouncing people guilty without any formal consequences
following form that guilt.9 Hukum pidana tanpa pemidanaan
berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat
yang pasti terhadap kesalahan tersebut. Pokok tujuan
pengenaan pidana atau pemidanaan merupakan membalas
perbuatan pelaku.
Teori ini diikuti secara luas oleh para ahli hukum pidana.
Van Bemmelen, misalnya, menyatakan pada dasarnya setiap
pidana adalah pembalasan. Knigge menyatakan bahwa
menghukum pada dasarnya adalah melakukan pembalasan
dan itu bukan sesuatu yang jelek dalam dirinya sendiri,
melakukan pembalasan sebagai reaksi atas perilaku yang
melanggar norma adalah tindakan manusia yang teramat
wajar.10 Tujuan pemidanaan selalu dikatakan berlawanan
dengan tujuan pencegahan. Namun, dengan diterimanya
9 Ibid. hlm. 129.
10 Ibid. hlm. 133.

76
pengertian kesalahan normatif menuntut akomodasi kedua
tujuan tersebut sekaligus. Hal ini menyebabkan reorientasi
dalam memandang kedua tujuan pemidanaan tersebut
sangat diperlukan.
Tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan
yang sifatnya pembalasan dan pencegahan harus dapat
ditempatkan sebagai dua sisi mata uang. Tujuan pengenaan
pidana yang satu tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa
tujuan pengenaan pidana lainya. Oleh karena itu, keduanya
tidak harus saling menyingkirkan, tetapi sebaliknya justru
dapat saling memperkuat satu sama lain. Dalam konteks
pelaksanaan APBD tahun 2005 Kabupaten Kutai
Kartanegara, satuan kerja perangkat daerah (SKPD),
dalam hal ini Sekwan, telah melaksanakan sesuai pos mata
anggaran dalam APBD tahun 2005.
Roeslan Saleh (dalam Huda) menyatakan dalam teori
kesalahan normatif ada kesalahan jika kelakuan tidak sesuai
dengan norma yang harus diterapkan.11 Dengan demikian,
peraturan daerah tentang APBD merupakan norma
sehingga SKPD wajib melaksanakan norma sebagaimana
yang telah ditetapkan dalam APBD tahun 2005 Pemerintah
Kabupaten Kutai Kartanegara. Apabila tidak dilaksanakan,
hal itu dikualifikasikan sebagai kesalahan.

11 Ibid. hlm. 79.

77
E. Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan
Menurut Burkhardt Krems, ilmu pengetahuan
perundang-undangan (gesetzbungswissenschaft) adalah ilmu
penegetahuan tentang pembentukan peraturan negara yang
merupakan ilmu yang bersifat interdisipliner (interdisziplinare
Wissenschaft von der staatlichen Rechtssetzung).12 Sebagai
suatu ilmu yang besifat interdisipliner, ilmu di bidang
perundang-undangan mempunyai hubungan erat dengan
bidang-bidang ilmu lain di bidang dogmatik hukum, yakni
asas-asas hukum administrasi negara, hukum tata usaha
dan birokrasi negara, dan hukum administrasi negara.
Kaitan antara laporan hasil pemeriksaan BPK
terhadap asas-asas hukum administrasi negara maupun
hukum tata usaha menyangkut peradilan tata usaha negara
dalam hal audit yang dilakukan BPK tidak sesuai dengan
Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara. Sementara itu, hukum
administrasi negara memiliki kaitan dengan akuntansi
pemerintah. Ini masuk dalam wilayah hukum administrasi
negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
nomor 71 tahun 2010 tentang Perubahan Kedua Peraturan
Pemerintah nomor 24 tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintah.

12 Indriati S., Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi,


dan Materi Muatan, Satu (Yogyakarta: Kanisius, 1996) hlm. 8.

78
Ilmu pengetahuan perundang-undangan merupakan
ilmu yang berhubungan dengan ilmu politik dan sosiologi.
Ilmu pengetahuan perundang-undnagan secara garis besar
dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yakni teori perundang-
undangan (gesetzbungstheorie) yang berorientasi pada mencari
kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-pengertian
(begripsvorming dan begripsverheldering) dan bersifat kognitif
(erklarungsorientiert); dan ilmu perundang-undangan
(gesetzbungebungslehre) yang berorientasi pada melakukan
perbuatan dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan dan bersifat normatif (handlungsorienttiert).13
Pemeriksaan keuangan negara, baik pada pemerintah pusat
yang ditentukan melalui APBN maupun pada pemerintah
dareah yang ditentukan dalam APBD, harus merujuk segala
perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan
negara (omnibus regulation) maupun undang-undang lain
yang memiliki relevansi.
Menurut S. J. Fockema Andreae, istilah perundang-
undangan (legislation, wetgeving, atau gesetzbung) mempunyai
dua pengertian, sebagai berikut.
1. Perundang-undangan merupakan proses
pembentukan atau proses membentuk
peraturan-peraturan negara, baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah.
2. Perundang-undangan adalah segala peraturan
negara yang merupakan hasil pembentukan
peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat
13 Ibid., hlm. 9.

79
maupun di tingkat daerah.14
Dengan demikian, bahasan ilmu pengetahuan
perundang-undangan tidak hanya tentang proses
pembentukan atau pembuatan peraturan-peraturan negara,
tetapi juga seluruh peraturan negara yang dihasilkan dari
pembentukan peraturan-peraturan negara itu, baik pada
tingkat pusat maupun daerah. Hal ini juga telah diatur
dalam dalam hierarki pembentukan peraturan perundang-
undangan berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf
g Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 sebagaimana
diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 12
tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.

F. Teori Ekologi Sistem Administrasi


Dalam menjawab kompleksitas persoalan dewasa ini,
lahir teori sistem ekologi administrasi dari Pfiffner dan
Presthus (dalam Ali). Teori ini akan dipergunakan sebagai
middle range theory. Dalam lokus negara, teori ekologi
adminsitrasi akan melihat administrasi negara sebagai
suatu sistem yang di dalamnya terdapat subsistem yang
saling mempengaruhi. Sub-sub sistem tersebut terdiri
dari subsosial seperti hukum, sosial, budaya, dan politik;
serta subsistem alam seperti iklim, temperatur udara, dan
14 Hamidi, Jazim & Sinaga, Budiman N. P. D., Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dalam Sorotan, Cetakan Pertama (Jakarta: PT
Tatanusa, Tt.) hlm. 2 - 3.

80
sebagainya yang dapat dipahami dalam gambar berikut.15

Gambar 3. Teori Sistem Ekologi Administrasi


Teori sistem ekologi administrasi menegaskan adanya
kaitan antardisiplin ilmu (sebagaimana hubungan keuangan
negara merupakan rumpun hukum administrasi negara).
Philipus M. Hadjon (dalam Wijaya) menyatakan dalam
penanganan korupsi dan suap terkait kewenangan jabatan,
wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara
(selanjutnya disingkat HTN) dan hukum administrasi
negara (selanjutnya disingkat HAN) yang sangat diperlukan
sebagai pisau analisis.16 Demikian juga akademisi dan
sekaligus praktisi keuangan dan auditing, Theodorus M.
Tuanakotta menegaskan ada persinggungan antara hukum,
akutansi, dan auditing. Rachmat juga menegaskan akutansi
memiliki hubungan erat dengan hukum administrasi
negara.
15 Ali, H. Farid, Teori dan Konsep Administrasi (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2011) hlm. 117.
16 Wijaya, Firman, Delik Penyalahgunaan Jabatan dan Suap dalam
Praktek, Cetakan Pertama (Jakarta: Penaku, 2011) hlm. 14.

81
Penyalahgunaan kewenangan secara murni dalam
pelaksanaan APBD masuk dalam wilayah pidana
administrasi. Menurut Philipus M. Hadjon (dalam
Sadjijono), cacat yuridis keputusan tatas usaha negara
dan tindakan pemerintah pada umumnya mencakup tiga
unsur utama, yakni unsur kewenangan, unsur prosedur,
dan unsur substansi. Dengan demikian, cacat yuridis
tindakan pemerintah dapat diklasifikasikan menjadi tiga
macam, yakni cacat wewenang, cacat prosedur, dan cacat
substansi.17
BPK dalam pelaksanaan audit reguler yang pertama
maupun audit investigatif kedua, selain mengacu pada
Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang SPKN,
juga mempergunakan pendekatan cacat wewenang,
cacat prosedur, dan cacat substansi dalam melaksanakan
konversi alat bukti. Ini sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 184 KUHAP dan dijadikan dasar dalam menentukan
kesimpulan dalam laporan hasil pemeriksaan audit reguler
pertama yang merekomendasikan pengembalian dana
karena dianggap terjadi kesalahan administrasi karena
tidak didukung kuitansi pengeluaran. Hal ini disebabkan
memang dalam Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun
2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah dinyatakan
pembiayaan tidak at cost untuk pembiayaan yang bersifat
lumsum.
17 Sadjijono, H., Bab-bab Pokok Hukum Administrasi Negara, Cetakan
Kedua, Edisi Kedua (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2011) hlm.
103.

82
Setelah adanya perubahan Peraturan Pemerintah
nomor 24 tahun 2005 sebagaimana diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang
Standar Akuntansi Pemerintah, pembiayaan baru bersifat at
cost yang mengandung pengertian segala pengeluaran harus
nyata (real cost) antara uang yang diterima dan kuitansi
pengeluaran18 atas biaya yang sering dikenal lumsum19 untuk
perjalanan dinas. Sebaliknya, kesimpulan dalam laporan
hasil pemeriksaan audit investigatif kedua memberikan
kesimpulan telah terjadi kerugian keuangan negara. Dalam
melakukan audit, khususnya audit investigatif, auditor
mempergunakan pendekatan tentang kewenangan sebagai
patokan telah terjadi penyalahgunaan yang mengkibatkan
kerugian keuangan negara akan dipergunakan dalam
pembahasan.

G. Teori Pembuktian Pidana Korupsi


Asas-asas dalam pembuktian tindak pidana khusus
korupsi selain berdasarkan pada Undang-Undang nomor

18 Perubahan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2005 jo. Peraturan


Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintah, salah satunya mengatur tentang acrual atas pencatatan
laporan keuangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,
kemudian petunjuk teknis sistem at cost (untuk perjalanan dinas)
ditindaklanjuti Menteri Dalam Negeri berdasarkan ketentuan
Permendagri nomor 37 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan
APBD 2011.
19 Anonim, Lumsum (online), http://www.artikata.com/arti-339053-
lumsum.html. Lumsum uang yang dibayarkan sekaligus untuk semua
biaya (transportasi, uang makan, dan sebagainya).

83
8 tahun 1981 juga berdasarkan hukum pidana formal
Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 juncto Undang-
Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang nomor 30
tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Lumintang membagi teori hukum pembuktian
dalam tiga stelsel, yaitu negatief-wetelijke stelsel, positief-
wettelijke stelsel, dan conviction intieme.20 Teori ini beserta
teori lainnya akan dipergunakan sebagai applied theory.
Prakoso dalam buku Alat Bukti dan Kekuatan
Pembuktian di dalam Proses Pidana melakukan pembagian
hukum pembuktian dalam tiga bagian, yaitu sistem
keyakinan belaka, sistem menurut undang-undang (positief-
wattelijke), dan sistem menurut undang-undang sampai
suatu batas (negatief-wettelijke).21 Dalam hal ini, audit
investigatif BPK dalam menghimpun alat-alat bukti harus
konformitas dengan realitas. Dengan demikian, kebenaran
bukti dapat dikualifikasikan diperoleh secara benar dan sah
berdasarkan standar pemeriksaan keuangan negara.
Dewasa ini sistem pembuktian dan kekuatan
pembuktian menganut sistem menurut undang-undang
sampai suatu batas. Mulyadi menyebutnya dengan sistem
20 Lumintang, P. A. F. , Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
dengan Pembahasan secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu
Pengetahuan Hukum Pidana (Bandung: Sinar Baru, 1984) hlm.
421.
21 Prakoso, Djoko, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di dalam Proses
Pidana (Yogyakarta: Liberty, 1988) hlm. 36 - 44.

84
pembuktian menurut undang-undang secara negatif.
Mulyadi berpendapat ternyata sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif hakikatnya merupakan
”peramuan” antara sistem pembuktian undang-undang
secara positif (positif wettelijke bewijs theorie) dan sistem
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim22 jika dalam
proses persidangan dan audit investigatif BPK juga sudah
sepatutnya berdasarkan keyakinan ditambah dengan fakta
di lapangan atau setelah melihat alat bukti secara langsung
melalui konformasi dengan realitas melalui auditan.
Dengan mengacu dan menerapkan metode di atas
dalam menghimpun alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian
adigium hakim menyatakan lebih baik membebaskan seribu
orang yang bersalah daripada memasukkan satu orang yang
tidak bersalah. Jika bukti dan tata cara memperoleh bukti
telah sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara
serta telah menguji dengan keilmuan lain, khususnya
hukum tata negara maupun hukum administrasi negara,
hakim tidak perlu lagi ada keraguan dalam memutus suatu
perkara korupsi.

H. Teori Kebenaran
Dalam epistemologi dikenal beberapa teori kebenaran,
yakni teori kebenaran sebagai persesuaian (teori kebenaran
22 Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana (Normatif, Teoritis, Praktik, dan
Permasalahanya), Cetakan Pertama (Bandung: PT Alumni, 2007)
hlm. 197.

85
korespondensi), teori kebenaran sebagai keteguhan (teori
kebenaran koherensi), teori kebenaran pragmatik, dan teori
kebenaran performatif. Kajian ini akan mempergunakan
teori kebenaran dari Aristoteles sebagai applied theory. Selain
itu, untuk lebih menguatkan pembahasan permasalahan
yang telah dirumuskan juga akan dipergunakan teori-terori
hukum yang relevan maupun asas-asas hukum yang telah
menjelma menjadi norma.23
Teori kebenaran Sonny Keraf dan Mikhail Dua (dalam
Rhiti) menyatakan bahwa mengatakan yang ada sebagai tidak
ada atau tidak ada sebagai ada adalah salah. Sebaliknya, benar
jika mengatakan yang ada sebagai ada dan tidak ada sebagai
tidak ada.24 Dalam pemeriksaan laporan keuangan pemerintah
daerah secara investigatif, BPK harus melakukan audit
ke lapangan dan tidak cukup hanya berdasarkan data-data
yang diberikan oleh penyidik kepolisian. Hal ini juga sejalan
dengan kebebasan dan kemandirian BPK dalam menjalankan
pemeriksaan sehingga dapat memperoleh data secara lengkap
dan akurat sebelum memberikan kesimpulan terhadap
penyidik. Hal ini juga telah diamanatkan dalam Peraturan
BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara.25

23 Rhiti, Hyronimus, Filsafat Hukum, Cetakan Kelima (Yogyakarta:


Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2011) hlm. 320.
24 Ibid. hlm. 320.
25 Anonim, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia,
Cetakan Pertama (Bandung: CV Nuansa Aulia, Tt.).

86
I. Teori Kehendak (Wilstheorie)
Teori ini dikemukakan oleh Von Hippel dalam buku
Die Grenze Vorsatz und Fahrlassigkeit terbitan tahun 1903.26
Hukum positif Indonesia tidak satu pun memberikan
definisi tentang kesengajaan. Kesengajaan yang tepat
dapat dijumpai dalam Weatboek van Strafecht 1809, yaitu
kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau
tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau
diharuskan oleh undang-undang.27
Menurut Memorie van Toelichting (M.v.T), unsur
kesengajaan meliputi willens en wetens (”menghendaki” atau
” mengetahui”).28 Hoge Raad mengartikan perkataan willens
atau menghendaki sebagai kehendak untuk melakukan
suatu perbuatan tertentu dan wetens atau mengetahui
diartikan sebagai mengetahui atau dapat mengetahui bahwa
perbuatan tersebut dapat menimbulkan akibat sebagaimana
dikehendaki. Dengan demikian, inti dari opzet (kesengajaan)
adalah willens en wettens, atau kehendak dan kesadaran
seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja harus
menghendaki perbuatanya.
Selain itu, seseorang harus pula menyadari atau
mengerti akan akibat dari perbuatan itu. Dengan demikian,
kesengajaan adalah melaksanakan suatu perbuatan
26 Marpaung, Leden, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Cetakan Kelima
(Jakarta: Sinar Grafika, 2008) hlm. 14.
27 Op.cit. hlm. 22.
28 Ibid., hlm. 23.

87
yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau
bertindak. Untuk menentukan apakah sesuatu perbuatan
serta akibat perbuatan itu dapat dikehendaki atau tidak
dikenal dua macam teori, yaitu teori kehendak (wilstheorie)
dan teori pengetahuan (voorstellingstheorie).29
Berdasarkan teori kehendak (wilstheorie), kesengajaan
adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya
perbuatan seperti dirumuskan dalam undang-undang (wet).
Menurut teori pengetahuan, kesengajaan adalah kehendak
untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang
diperlukan menurut rumusan. Menurut Tuanakotta, fraud
auditor harus mampu membuktikan niat pelaku melakukan
kecurangan (perpetrator’s intent to commit fraud).30
Dalam pemeriksaan laporan keuangan, BPK memiliki
tiga jenis tujuan yang dilaporkan dalam laporan hasil
pemeriksaan auditor, yakni mendeteksi penyimpangan dari
peraturan perundang-undangan, kecurangan (fraud), dan
ketidakpatutan (abuse).31 Ketika pegawai negeri sipil dalam
menjalankan perintah atasan sesuai Pasal 51 KUHAP
kemudian dianggap melakukan perbuatan melawan
hukum, dasar kualifikasi dalam pelaksanaan tugas tersebut
juga memiliki dasar hukum sesuai Pasal 50 KUHAP. Jika
ketiga jenis laporan tersebut terjadi perbuatan melanggar
29 Ibid.
30 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif...,
Ibid., hlm. 48.
31 Peraturan BPK RI nomor 1 tahun 2007 lampiran III Standar
Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan.

88
hukum, auditor juga harus mampu membuktikan pelaku
ada niat (mens rea) sebagaimana juga dijelaskan dalam teori
kehendak.
Dengan demikian, kasus perbuatan melawan hukum
tersebut tidak kandas atau bebas di pengadilan. Howard R.
Davia (dalam Tuanakotta) mengingatkan kita akan sesuatu
yang gamblang, yaitu the purpose of the court is to judge
people, not to hear detail-rich stories of the crime involved
(tujuan proses pengadilan adalah menilai orang, dan
bukan mendengar celoteh yang berkepanjangan tentang
kejahatan).32 Hal ini disebabkan dalam kenyataan penegak
hukum baik, auditor maupun penuntut umum, sering
sekali memberikan bukti-bukti hasil audit investigatif
berkardus-kardus yang dihadirkan pada persidangan yang
seharusnya dipastikan terlebih dahulu kualitas bukti serta
tata cara memperoleh bukti sudah sesuai dengan standar
pemeriksaan keuangan.

J. Standar Pemeriksaan Keuangan Negara


Standar pemeriksaan keuangan negara merupakan
aturan yang sah menurut hukum dalam memeriksa
keuangan negara untuk mengumpulkan bukti audit. Standar
pemeriksaan keuangan negara diatur dalam Peraturan
BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara. Menurut Halim, bukti audit bersumber
32 Tuanakotta, Theodorus M., Op.cit., hlm. 48.

89
dari data akuntansi yang terdiri atas (1) jurnal; (2) buku
besar dan buku pembantu; (3) buku pedoman akuntansi;
dan (4) memorandum dan catatan informal seperti work
sheet (daftar lembar kerja atau neraca lajur), perhitungan,
dan rekonsiliasi.33
Jurnal merupakan pencatatan seluruh transaksi atas
pelaksanaan APBD berdasarkan bukti-bukti pengeluaran
atas pelaksanaan kegiatan. Bukti-bukti transaksi biasanya
diproses dan dihimpun oleh panitia pelaksana teknis
kegiatan (PPTK). Islahuzamman memberi penjelasan
jurnal pengeluaran kas atau berkas pengeluaran kas (cash
disbursements journal or cash disbursement transaction file)
sebagai berikut.34
Berkas untuk mencatat pembayaran individual dengan
cek. Berkas ini berisi total kas yang dibayar, debit ke
utang usaha, sejumlah transaksi yang dicatat dalam
berkas transaksi perolehan, potongan yang diambil, dan
aneka debit dan kredit. Jumlah cek dilengkapi dengan
identifikasi pemasuk, cek, dan tanggal. Keluaran utama
yang dihasilkan dari berkas ini adalah cek yang tercetak
dan jurnal pengeluaran kas yang menunjukkan rincian
yang terdapat dalam berkas.
Sebagaimana telah disampaikan Tuanakotta, dalam
menghitung kerugian negara ada tiga tahapan yang harus
dilakukan sebelum melakukan perhitungan kerugian negara.
33 Halim, Abdul, Auditing 1 (Dasar-dasar Audit Laporan Keuangan),
Cetakan Kedua (Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan (UPP)
AMP YKPN, 2001) hlm. 146.
34 Islahuzamman, Istilah-istilah Akuntansi dan Auditing, Op.cit, hlm.
203.

90
Namun, sebelum masuk pada tahap pertama, kedua, dan
ketiga, langkah dilakukan oleh auditor adalah identifikasi
bukti antara apa yang ditentukan dan apa yang dilaksanakan
atas pelaksanaan APBD. Hal ini dimulai dari jurnal dalam
menghimpun bukti atas kebenaran pelaksanaan APBD.
Setelah pencatatan dilakukan atas bukti-bukti melalui
jurnal, langkah kedua yang dilakukan dalam akuntansi
adalah proses pencatatan dalam buku besar dan buku
pembantu. Islahuzamman memberi penjelasan buku besar
(ledger) sebagai berikut.35
Buku atau file yang berisi berbagai akun neraca dan
laba rugi. Buku besar merupakan klasifikasi dan
ringkasan dari transaksi keuangan dan merupakan
dasar untuk persiapan pembuatan neraca dan laba
rugi. Contoh, akun-akun piutang usaha, pendapatan
penjualan, biaya produk yang dijual, dan persediaan
produk jadi.
Sementara itu, buku pembantu dipergunakan untuk
mengelompokkan secara khusus suatu transaksi dalam
suatu akun atau turunan dari akun utama (subakun) dalam
suatu transaksi. Contoh, jumlah piutang pemerintah dibuat
dalam pos mata anggaran pendapatan daerah secara umum
dan untuk mengetahui secara detail siapa saja yang memiliki
hutang kepada pemerintah dapat dibuat buku pembantu
(subpos piutang) sehingga dapat dilihat kelompok-kelompok
subpos piutang secara umum maupun secara khusus.
35 Islahuzamman, Istilah-istilah Akuntansi dan Auditing, Op.cit, hlm.
73.

91
Pedoman akuntansi dalam melakukan pencatatan
melalui jurnal maupun penyusunan buku besar dan
buku pembantu mengacu pedoman akuntansi yang telah
ditetapkan pemerintah. Pedoman tersebut adalah Peraturan
Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintah, baik untuk pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah, dalam menyusun laporan
keuangan. Sementara itu, memorandum dan catatan
informal seperti work sheet (daftar lembar kerja atau neraca
lajur), perhitungan, dan rekonsiliasi, akan dipergunakan
auditor untuk membandingkan apa yang ditentukan dan
apa yang dilaksanakan atas APBD.
Kertas kerja (work sheet) merupakan mata rantai yang
menghubungkan catatan klien dengan laporan audit.36
Kerta kerja merupakan alat penting dalam profesi akuntan
publik maupun akuntan pemerintah (auditor BPK). Dalam
proses pemeriksaan, auditor mengumpulkan berbagai
tipe bukti dan untuk kepentingan pengumpulan bukti
auditor membuat kertas kerja. Standar Audit (SA) seksi
339 Kertas Kerja paragraf 03 mendefinisikan kertas kerja
sebagai berikut.
Kertas kerja adalah catatan-catatan yang
diselenggarakan auditor mengenai prosedur audit
yang ditempuhnya, pengujian yang dilakukannya,
informasi yang diperolehnya, dan simpulan yang
36 Mulyadi, Auditing, Buku satu, Edisi Keenam (Jakarta: Salemba Empat,
Tt.) hlm. 99.

92
dibuatnya sehubungan dengan auditnya.37
Contoh kertas kerja adalah program audit, hasil pemahaman
terhadap pengendalian intern, analisis, memorandum,
surat konfirmasi, representasi klien, ikhtisar dari dokumen-
dokumen entitas pemerintah, dan daftar atau komentar
yang dibuat atau diperoleh auditor.
Pemeriksaan keuangan sektor pemerintah dan sektor
swasta pada prinsipnya memiliki standar pemeriksaan
keuangan yang sama dengan mengacu pada akuntansi yang
berlaku umum di Indonesia yang dimuat dalam Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang selanjutnya
ditetapkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia.38 Pelaksanaan
APBD akan dicatat dalam jurnal, buku besar dan buku
pembantu, buku pedoman akuntansi, serta memorandum
dan catatan informal seperti work sheet (daftar lembar kerja
atau neraca lajur), perhitungan, dan rekonsiliasi berdasarkan
standar akuntansi pemerintah.
Atas dasar pencatatan pelaksanaan APBD dalam
laporan keuangan, auditor akan membandingkan antara
apa yang telah ditetapkan dan apa yang telah dilaksanakan.
Para auditor sektor swasta masuk dalam wilayah akuntan
publik, sedangkan auditor untuk sektor pemerintah
masuk dalam wilayah Badan Pemeriksa Keuangan Negara
Republik Indonesia yang merupakan pemeriksa eksternal
37 Mulyadi, Auditing,.., Ibid., hlm. 100.
38 Rahayu, Siti Kurnia, dkk., Auditing dan Pedoman Pemeriksaan Akuntan
Publik (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010) hlm. 5.

93
pemerintah. Sementara itu, Badan Pemeriksa Keuangan
dan Pembangunan Republik Indonesia sebagai pemeriksa
internal pemerintah.
Menurut Rai, pemeriksaan (auditing) adalah kegiatan
membandingkan suatu kriteria (apa yang seharusnya)
dengan kondisi (apa yang sebenarnya terjadi).39 Dalam teori
normatif, ini merupakan teori yang seharusnya dilaksanakan
dan teori deskriptif yang merupakan teori yang sesungguhnya
dilaksanakan.40 Kriteria yang dimaksud adalah kriteria yang
telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang APBD,
kemudian auditor dalam melaksanakan audit melalui
lembar kerja (work sheet) sebagai media membandingkan
atas pelaksanaan APBD sebagai langkah analitis sebelum
masuk pada tahap analisis payung hukum jika terdapat
kerugian negara. Teori normatif seharusnya dilaksanakan
karena memang telah masuk dalam pos anggaran dan telah
ditetapkan dalam Perda tentang APBD tahun 2005 pada
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, sedangkan
teori deskriptif merupakan batu uji penyimpangan atau
penyalahgunaan wewenang atas teori normatif.
Menurut Theo Huijbers (dalam Erwin), asas hukum
ialah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen
hukum dan merupakan pengertian-pengertian yang
39 Rai, I Gusti Agung, Audit Kinerja pada Sektor Publik (Konsep, Praktek,
dan Studi Kasus) (Jakarta: Salemba Empat, 2010) hlm. 29.
40 Halim, Abdul, Auditing 1 (Dasar-dasar Audit Laporan Keuangan),...
Op.cit., hlm. 29.

94
menjadi titik tolak berpikir tentang hukum, termasuk titik
tolak bagi pembentukan undang-undang dan interpretasi
terhadap undang-undang itu sendiri.41 Dalam lingkup asas
moral hukum ditekankan bahwa hukum harus memiliki
hubungan yang hakiki dengan prinsip-prinsip moral.
Hubungan asas atau prinsip-prinsip, dalam hal ini prinsip
akuntansi dan asas penyelenggaraan keuangan, harus ada
ketegasannya dengan hukum positif (konkret).
Herbert Lionel Adolphus (H.L.A.) Hart, sebagai
seorang tokoh hukum positivisme, mempertegas hubungan
hukum dengan asas ataupun prinsip-prinsip akuntansi
maupun moral. Menurutnya, undang-undang harus
dibuat dengan berpedoman pada prinsip moral, tetapi
prinsip ini hanya regulatif saja. Artinya, walaupun pada
kenyataannya undang-undang itu melawan prinsip-prinsip
moral, undang-undang itu tetap hukum.42 Oleh karena
itu, prinsip akuntansi dan asas penyelenggaraan keuangan
harus memperhatikan keberadaan hukum (konkret)
meski menurut audit investigatif BPK menyatakan telah
bertentangan dengan prinsip akuntansi maupun asas umum
penyelenggaraan keuangan negara.
Pejabat yang menjalankan perintah undang-undang
selayaknya tidak dapat dipidana. Hal ini dijelaskan Stephen
41 Erwin, Muhamad, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis terhadap Hukum,
Cetakan Pertama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011) hlm.
110.
42 Ibid.

95
Leacock (dalam Triwulan T. & Widodo) bahwa kekuasaan
eksekutif adalah kekuasaan mengenai pelaksanaan undang-
undang. Tugas utama eksekutif tidak mempertimbangkan,
tetapi melaksanakan undang-undang yang ditetapkan oleh
badan legislatif.43 Pemikiran Stephen Leacock juga sejalan
dengan pernyataan Herbert Lionel Adolphus (H.L.A.)
Hart serta diperkuat dengan teori trikarsa atau teori tiga
kehendak, yakni kehendak negara, kehendak pemerintah,
dan kehendak administrasi negara. Teori ini memberi
penegasan melalui penegertian administrasi negara adalah
kegiatan pemerintah atau administrasi negara dalam
melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan
dalam hal-hal konkret.44
Pelaksanaan APBD Kutai Kartanegara sudah
berdasarkan pos mata anggaran yang telah ditetapkan dan
disahkan dalam APBD tahun 2005 meski menurut hasil
audit investigatif BPK telah terjadi penganggaran ganda,
tidak melaksanakan kegiatan, tetapi dana pelaksanaan
dibayar. Definisi auditing dari ASOBAC (A Statement of
Basic Auditing Concept) juga menyatakan kriteria audit
dapat juga atas aturan-aturan spesifik yang ditentukan oleh
badan legislatif sehingga pejabat hanya menjalankan aturan

43 Triwulan T., Titik & Widodo, H. Ismu Gunadi, Hukum Tata Negara
dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia…, Op.cit.,
hlm. 107.
44 Mustafa, Bachsan, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia,
Cetakan Pertama (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001) hlm. 17.

96
yang telah ditetapkan oleh legislatif.45
Alvin A. Arens, dkk. memberi definisi pemeriksaan
(auditing) sebagai kegiatan pengumpulan dan evaluasi
terhadap bukti-bukti yang dilakukan oleh orang yang
kompeten dan independen untuk menentukan dan
melaporkan tingkat kesesuaian antara kondisi yang
ditemukan dan kriteria yang ditetapkan.46 Definisi auditing
yang sangat terkenal adalah definisi yang berasal dari
ASOBAC (A Statement of Basic Auditing Concept) yang
memberikan defenisi auditing sebagai berikut.
”suatu proses sistematis untuk menghimpun dan
mengevaluasi bukti-bukti secara objektif mengenai
asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian
ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian
antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang
telah ditentukan dan menyampaikan hasilnya
kepada para pemakai yang berkepentingan.”47
Definisi tersebut diuraikan menjadi tujuh elemen
yang harus diperhatikan dalam melaksanakan audit, sebagai
berikut.
1. Proses yang sistematis. Auditing merupakan rangkaian
proses dan prosedur yang bersifat logis, terstruktur, dan
terorganisasi.

45 Halim, Abdul, Auditing 1, Edisi Keempat, Cetakan Pertama (Yogyakarta:


Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, 2008) hlm. 2
46 Rai, I Gusti Agung, Ibid.
47 Halim, Abdul, Auditing 1, Edisi Keempat, Cetakan Pertama (Yogyakarta:
Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, 2008) hlm. 1.

97
2. Menghimpun dan mengevaluasi bukti secara objektif.
Ini berarti proses sistematis yang dilakukan tersebut
merupakan proses untuk menhimpun bukti-bukti
yang mendasari asersi-asersi yang dibuat oleh individu
maupun entitas. Auditor kemudian mengevaluasi
bukti-bukti yang diperoleh tersebut. Saat menghimpun
maupun mengevaluasi bukti auditor harus objektif.
Objektif berarti mengungkap fakta apa adanya yang
senyatanya, tidak bias atau tidak memihak, dan tidak
berprasangka terhadap individu atau entitas yang
membuat representasi tersebut.
3. Asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian
ekonomi. Asersi merupakan suatu pernyataan atau suatu
rangkaian pernyataan secara keseluruhan oleh pihak
yang bertanggung jawab atas pernyataan tersebut. Untuk
audit laporan keuangan historis, asersi merupakan
pernyataan manajemen melalui laporan keuangan
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berterima umum.
Asersi-asersi meliputi informasi yang terkandung
dalam laporan keuangan, laporan operasional internal,
dan laporan biaya maupun pendapatan berbagai pusat
pertanggungjawaban pada suatu perusahaan. Jadi, asersi
atau pernyataan tentang tindakan dan kejadian ekonomi
merupakan hasil proses akuntansi. Proses akuntansi
merupakan proses pengidentifikasian, pengukuran,
dan penyampaian informasi ekonomi yang dinyatakan

98
dalam satuan uang.
4. Menentu kan tingkat kesesuaian (degree of correspondance).
Ini berarti penghimpunan dan pengevaluasian
bukti-bukti dimaksudkan untuk menentukan dekat
tidaknya atau sesuai tidaknya asersi-asersi tersebut
dengan kriteria yang ditetapkan. Tingkat kesesuaian
tersebut dapat diekspresikan dalam bentuk kuantitatif
maupun kualitatif. Bentuk kuantitatif contohnya
persentase pencapaian penjualan bila dibandingkan
dengan penjualan yang dianggarkan. Bentuk kualitatif
contohnya kewajaran laporan keuangan.
5. Kriteria yang ditentukan. Kriteria yang ditentukan
merupakan standar-standar pengukuran untuk
mempertimbangkan (judgement) asersi-asersi atau
representasi-representasi. Kriteria tersebut dapat berupa
prinsip akuntansi yang berterima umum atau standar
akuntansi keuangan, aturan-aturan spesifik yang
ditentukan oleh badan legislatif atau pihak lainnya,
anggaran, atau ukuran lain kinerja manajemen.
6. Menyampaikan hasil-hasilnya. Ini berarti hasil-hasil
audit dikomunikasikan melalui laporan tertulis yang
mengindikasikan tingkat kesesuaian antara asersi-
asersi dan kriteria yang telah ditentukan.
7. Para pemakai yang berkepentingan. Para pemakai yang
berkepentingan merupakan para pengambil keputusan
yang menggunakan dan mengandalkan temuan-temuan

99
yang diinformasikan melalui laporan audit dan laporan
lainnya.48
Kriteria yang dimaksud dalam kriteria kelima merupakan
apa yang ditetapkan dalam Perda APBD Kabupaten Kutai
Kartanegara. Dengan realisasi APBD sebagaimana yang
telah dijabarkan dalam Peraturan Bupati tentang Penjabaran
APBD Kutai Kartanegara yang merupakan kesepakatan
antara badan legislatif dan eksekutif.
Sebagai penjabaran dalam menjalankan pemeriksaan
keuangan, sektor akuntan publik maupun sektor
pemerintahan melalui BPK menyusun standar pemeriksaan
keuangan negara yang selanjutnya disebut SPKN
sebagai acuan untuk melakukan pemeriksaan keuangan
negara agar hasil pemeriksaan tersebut dilakukan sesuai
dengan ketentuann yang berlaku. Hal ini sebagaimana
yang dituangkan dalam Peraturan BPK nomor 1 tahun
2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
yang mengamanatkan untuk mempertimbangkan hasil
pemeriksaan dalam uraian berikut.
Pernyataan standar pelaksanaan pemeriksaan
tambahan kedua adalah pemeriksa harus
mempertimbangkan hasil pemeriksaan sebelumnya
48 Halim, Abdul, Auditing (Dasar-dasar Audit Laporan Keuangan),…
,Ibid., hlm. 2. Sementara itu, menurut Bastian, Indra, Telaah Kritis
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, SK. Ketua BPK No.1/2007,
Edisi Pertama, Cetakan Pertama (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta,
2009) hlm. 315. Asersi adalah semua “hal yang diperiksa”, baik yang
dinyatakan maupun yang tidak dinyatakan oleh pihak yang diperiksa
dan/atau pihak yang meminta pemeriksaan.

100
serta tindak lanjut atas rekomendasi yang signifikan
dan berkaitan dengan tujuan pemeriksaan yang
sedang dilaksanakan.
Berdasarkan teori pemeriksaan dari R. K. Mautz,
pemeriksaan tersusun dalam lima konsep dasar, yakni
bukti, kehati-hatian dalam pemeriksaan, penyajian
atau pengungkapan yang wajar, independensi, dan etika
perilaku.49

K. Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik


Ada banyak rujukan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang asas umum pemerintahan
negara yang baik, di antaranya sebagai berikut.
1. Ketetapan MPR RI nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
2. Undang-Undang RI nomor 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (LN RI tahun 1999
nomor 75, TLR RI nomor 3851).
3. Ketetapan MPR RI nomor VIII/MPR/2001 tentang
Rekomendasi Arahan Kebijakan Pemberantasan dan

49 Teori, Konsep Dasar, Standar (Norma), Materialitas dan Resiko


Pemeriksaan, http://www.google.co.id/#hl=id&output=search&sclie
nt=psyab&q=teori+auditing&oq=&aq=&aqi=&aql=&gs_nf=&gs_
l=&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.,cf.osb&fp=e273d50ece17367a&bi
w=1366&bih=665, diunduh tgl 25 April 2012.

101
Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
4. Undang-Undang RI nomor 37 tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia (LN RI tahun 2008
tomor 139, TLN RI tomor 4899).
Asas umum pemerintahan negara yang baik telah dijelaskan
dalam ketentuan Pasal 1 angka (6) Undang-Undang RI
nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,
yaitu Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik adalah
asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan,
dan norma hukum untuk mewujudkan penyelenggaraan
negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme.

L. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan


Negara
Dalam rangka mewujudkan good governance dalam
penyelengaraan negara pengelolaan keuangan negara perlu
diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung
jawab sesuai dengan ketentuan pokok yang ditetapkan pada
Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945. Undang-undang
tentang keuangan negara perlu menjabarkan aturan pokok
yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar tersebut
ke dalam asas-asas umum yang meliputi asas tahunan, asas
universalitas, asas kesatuan, termasuk penambahan asas-

102
asas baru yang meliputi50 (1) akuntabilitas berorientasi
pada hasil, (2) profesionalitas, (3) proporsionalitas, (4)
keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, dan (5)
pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas
dan mandiri.
Sementara itu, asas umum pengelolaan keuangan
daerah yang ditetapkan berdasarkan Pasal 4 Peraturan
Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah yang menentukan sebagai berikut.
1. Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis,
efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat
untuk masyarakat.
2. Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam
suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam
APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan
daerah.
Penjelasan masing-masing asas tersebut sebagai
berikut.51
1. Asas tahunan memberikan persyaratan bahwa anggaran
negara dibuat secara tahunan yang harus mendapat
50 Tunggal, Hadi Setia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
Keuangan Negara (Jakarta: Harvarindo, 2011) hlm. 29.
51 Tunggal, Hadi Setia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
Keuangan Negara,..., Ibid.. Suwartono, Asas-asas Umum Pengelolaan
Keuangan (online), http://sebuahcatatanhidupsuwartono.blogspot.
com/2010/04/asas-asas-umum-pengelolaan-keuangan.html.

103
persetujuan dari badan legislatif (DPR).
2. Asas universalitas (kelengkapan) memberikan batasan
tidak diperkenankan terjadinya percampuran antara
penerimaan negara dan pengeluaran negara.
3. Asas kesatuan mempertahankan hak budget dari dewan
secara lengkap yang berarti semua pengeluaran harus
tercantum dalam anggaran. Oleh karena itu, anggaran
merupakan anggaran bruto dan yang dibukukan dalam
anggaran adalah jumlah brutonya.
4. Asas spesialitas mensyaratkan jenis pengeluaran dimuat
dalam mata anggaran tertentu atau tersendiri dan
diselenggarakan secara konsisten, baik secara kualitatif
maupun kuantitatif. Secara kuantitatif artinya jumlah
yang telah ditetapkan dalam mata anggaran tertentu
merupakan batas tertinggi dan tidak boleh dilampaui.
Secara kualitatif berarti penggunaan anggaran
hanya dibenarkan untuk mata anggaran yang telah
ditentukan.
5. Asas akuntabilitas berorientasi pada hasil mengandung
makna setiap pengguna anggaran wajib menjawab
dan menerangkan kinerja organisasi atas keberhasilan
atau kegagalan suatu program yang menjadi tanggung
jawabnya.
6. Asas profesionalitas mengharuskan pengelolaan
keuangan negara ditangani oleh tenaga yang
profesional.

104
7. Asas proporsionalitas, artinya pengalokasian anggaran
dilaksanakan secara proporsional pada fungsi-fungsi
kementerian atau lembaga sesuai dengan tingkat
prioritas dan tujuan yang ingin dicapai.
8. Asas keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara
mewajibkan adanya keterbukaan dalam pembahasan,
penetapan, dan perhitungan anggaran serta hasil
pengawasan oleh lembaga audit yang idependen.
9. Asas pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang
bebas dan mandiri memberi kewenangan lebih besar
pada Badan Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan
pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara secara
objektif dan independen.
Asas hukum pada dasarnya berbentuk prinsip-
prinsip umum. Menurut Erwin, dari pandangan ini bisa
direnungkan pada dasarnya mulai dari proses awal sampai
akhir dapat dikembalikan pada asas-asas hukumnya.52
Dengan kata lain, asas hukum merupakan jembatan
antara peraturan hukum dan pandangan etis masyarakat.
Sementara itu, Paton menyebut asas hukum sebagai suatu
sarana yang membuat hukum itu hidup, tumbuh, dan
berkembang.53 Asas hukum yang merupakan titik tolak
menyusun peraturan perundang-undangan dapat juga

52 Erwin, Muhamad, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis terhadap Hukum,


Cetakan Pertama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011) hlm.
49.
53 Ibid.

105
memiliki fungsi menjadi asas dan undang-undang sekaligus
dalam penyusunan dan pelaksanaan APBN dan APBD.
Hal ini dapat tergambar seperti asas tahunan, asas kesatuan,
dan asas spesialitas yang telah menjelma menjadi peraturan
konkret.
Mertokusumo menjelaskan asas hukum adalah pikiran
dasar yang bersifat abstrak umum serta terdapat di dalam, di
belakang, atau tersirat di dalam peraturan hukum konkret
walaupun tidak tertutup kemungkin ada asas hukum yang
tersurat dan konkret sifatnya.54 Asas-asas umum tersebut
diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-
prinsip pemerintahan daerah. Dengan dianutnya asas-asas
umum tersebut dalam undang-undang tentang keuangan
negara pelaksanaan undang-undang ini selain menjadi
acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara
sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pelaksanaan audit investigatif BPK, praktisi
maupun akademisi, dalam hal ini akademisi nonhukum,
masih banyak ditemukan membuat kesimpulan dalam
menganalisis persoalan keuangan menggunakan asas
umum pengelolaan keuangan negara sebagai pisau analisis
tanpa mengkaji jenis asas umum secara ketat. Memang

54 Mertokusumo, Sudikno, Kapita Selekta Ilmu Hukum, Edisi Pertama


(Yogyakarta: Liberty, 2011) hlm. 113.

106
ada kemungkinan asas sekaligus tersurat dan konkret,
kemudian menyimpulkan pelaksanaan keuangan negara
maupun daerah bertentangan dengan ketentuan perundang-
undangan.
Salah satu ketentuan yangdijadikan rujukan
dalam latar belakang yang disimpulkan oleh auditor
BPK bertentangan dengan ketentuan perundang-
undangan adalah Keputusan Menteri Keuangan nomor 7/
KMK.02/2003 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri bagi
Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, dan Pegawai Tidak
Tetap dan Keputusan Bupati Kutai Kartanegara nomor
180.188/HK-41/2005 tanggal 29 Maret 2005 tentang
Penetapan Standarisasi/Normalisasi Harga Barang dan
Jasa Belanja Aparatur dan Modal Pemerintah Kabupaten
Kutai Kartanegara Tahun Anggaran 2005 diberlakukan
berlaku surut. Jika terjadi pertentangan antara asas hukum
dan pengelolaan keuangan negara berlaku surut serta
konflik norma, konsekuensi hukum apa yang berlaku pada
peristiwa pelanggaran tersebut perlu ada penegasan ranah
hukum yang dilanggar apakah ranah pidana atau ranah
hukum administrasi negara.
Johan & Setiawan berpendapat pemahaman yang satu
atas peraturan peraturan perundang-undangan merupakan
domain dari para ahli hukum. Namun, dalam buku berjudul
Kiat Memahami Pemeriksaan Keuangan Pemerintah Daerah
juga dirujuk asas-asas hukum. Menurut Johan & Setiawan

107
setidaknya dalam dunia hukum dikenal ”tujuh obat” untuk
menentukan peraturan perundang-undangan yang harus
diikuti, yaitu:55
1. peraturan perundang-undangan selalu diasumsikan
diketahui umum;
2. peraturan perundang-undangan tidak pernah berlaku
surut;
3. peraturan perundang-undangan tidak berlaku lagi
apabila memenuhi dua syarat, yakni apabila telah
dicabut atau dibatalkan, dan bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi;
4. apabila suatu keadaan tidak diatur dalam suatu
ketentuan peraturan perundang-undangan, gunakanlah
analoginya;
5. peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan
yang lebih rendah atau di bawahnya;
6. peraturan khusus mengalahkan mengalahkan peraturan
yang bersifat umum; dan
7. peraturan terbaru mengalahkan peraturan lama.
Dalam kumpulan tulisan mahasiswa khusus BPK
pada program Magister Hukum UGM Yogyakarta,56 Doni
Restindia Chandra mengangkat tema tentang pembayaran
55 Johan, M. Yusuf & Setiawan, Dwi, Kiat Memahami Pemeriksaan
Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2009) hlm.15 - 17.
56 Halim, Abdul & Bawono, Icuk Rangga, Pengelolaan Keuangan Negara-
Daerah: Hukum, Kerugian Negara, dan Badan Pemeriksaan Keuangan
(Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan, 2011) hlm. 51.

108
tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional
pimpinan dan anggota DPRD berdasarkan PP nomor
37 tahun 2006 dan mekanisme penyelesaiannya yang
merujuk Pasal 3 Undang-Undang nomor 28 tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara Bebas Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme (KKN),57 Pasal 3 ayat (1)58 dan Pasal 4
Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, dan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang nomor 1
tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.59 Undang-
undang tersebut mayoritas isinya mengenai asas-asas atau
mengatur secara umum, tetapi belum ada pembahasan lebih
lanjut dari perspektif hukum hukum tata negara, hukum
administrasi negara, ilmu perundang-undangan, maupun
hukum pidana.

57 Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang nomor 28 tahun 1999 tentang


Penyelenggaran Negara Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN) asas-asa tersebut meliputi a) asas kepastian hukum, b) asas
tertib penyelengaraan negara, c) asas kepentingan umum, d) asas
keterbukaan, e) asas proporsionalitas, f) asas profesionalitas, dan g)
asas akuntabilitas.
58 Penjelasan Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara menentukan keuangan negara dikelola
secara tertib, taat pada perundang-undangan, efisien, ekonomis,
efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan
rasa keadilan dan kepatutan, Pasal 4 menentukan tahun anggaran
meliputi masa satu tahun, mulai tanggal 1 Januari sampai dengan
Desember.
59 Penjelasan Pasal 3 Ayat (3) Undang-Undang nomor 1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara menentukan setiap pejabat dilarang
melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas APBN/APBD
jika anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia
atau tidak cukup.

109
Ada juga pandangan yang hanya melihat auditing
dari perspektif satu ilmu saja tanpa mempertautkan
dengan hukum. Hal ini digambarkan oleh Sabeni &
Ghozali yang menyatakan bisa juga terjadi mengenai suatu
pengeluaran meskipun menurut pemeriksaan formal sudah
memenuhi syarat, menurut pemeriksaan material tidak
memenuhi syarat dengan argumentasi pengeluaran tersebut
dapat dibatalkan karena pengeluaran tersebut bersifat
pemborosan.60 Pandangan ini jika dari perspektif akuntansi
atau audit komersil tidak ada konsekuensi hukum, tetapi
jika audit ini dari perspektif audit pemerintah tidak dibahas
lebih lanjut dari perspektif hukum tata negara, hukum
administrasi negara, ilmu perundang-undangan, maupun
hukum pidana juga tidak dibahas perbedaan konsekuensi
hukum akuntansi swasta dan akuntansi pemerintah.
Pemeriksaan keuangan negara, baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah, harus merujuk interdisiplin.
Ini sebagaimana disampaikan oleh Steven Barkan bahwa
the process of legal research often involves investigation
into other relevant discipline.61 Objek audit investigatif
telah menyangkut beberapa rumpun ilmu, paling sedikit
empat rumpun ilmu yang saling bertautan, yakni hukum
tata negara yang membahas tentang kewenangan, ilmu
perundang-undangan yang membahas tentang keabsahan
60 Sabeni, Arifin & Ghozali, Imam, Op.cit., hlm. 73.
61 Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif....,
Loc.cit., hlm. 300.

110
perundang-undangan serta kekuatan mengikat berdasarkan
hierarki perundang-undangan, etika hukum administrasi
negara yang membahas tentang kualifikasi pelanggaran
pengelolaan keuangan negara maupun daerah baik yang
bersifat administratif maupun pidana, dan hukum pidana
secara khusus tindak pidana korupsi dipergunakan jika
terjadi pelanggaran atas pengelolaan keuangan negara yang
bersifat pidana.
Audit investigatif dari perspektif interdisipliner akan
memberikan dua kemungkinan rekomendasi hasil audit
investigatif, yakni merupakan tindak pidana korupsi atau
perbuatan hukum administrasi negara. Dalam menentukan
perbuatan tersebut, Mochamad Isnaine Ramdhan
berpendapat perlu ada jembatan pemahaman antara
keuangan negara prinsip akuntansi (merupakan asas),
standar akuntansi pemerintah yang merupakan hukum
administrasi negara, dan hukum pidana secara khusus
tindak pidana korupsi.62 Pernyataan Mochamad Isnaine
Ramadhan saling menguatkan jika disandingkan dengan
pendapat Steven Barkan yang menyatakan perlu ilmu lain
yang relevan untuk melihat persoalan hukum. Demikian
juga teori sistem ekologi administrasi dari Pfiffner dan
Presthus yang menyatakan ilmu itu saling berkaitan.

62 Pendapat disampaikan, pada hari Sabtu, 31 Maret 2012 pukul 10.00


pada Ujian Pra Proposal pada Program Pascasarjana Doktor Ilmu
Hukum Universitas 17 Agustus 1945.

111
Van Vollenhoven menyatakan bahwa hukum
administrasi negara juga memiliki peranan, bahkan
sesungguhnya hukum adminstrasi negara lebih memiliki
peranan dalam hukum nasional.63 Pendapat mengenai
luasnya ruang lingkup hukum administrasi negara dipertegas
oleh Atmosudiro, yaitu hukum administrasi negara terdiri
atas hukum mengenai:64
1. filsafat dan dasar-dasar umum pemerintahan dan
administrasi negara;
2. organisasi pemerintahan dan administrasi negara;
3. tata pemerintahan;
4. kegiatan-kegiatan operasional administrasi negara;
dan
5. administrasi keuangan negara yang meliputi hukum
anggaran, hukum perbendaharaan, hukum perpajakan,
hukum kekayaan negara, hukum pengawasan keuangan
negara, dan hukum peradilan keuangan negara.
Apabila sanksi hukum telah diatur dalam hukum
administrasi negara, sanksi pidananya yang harus diterapkan
bukan lagi UU RI nomor 31 tahun 1999 juncto UU RI
nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Sebaliknya, jika dalam hukum administrasi
negara telah diatur ada pelanggaran pidana, hukum yang
berlaku adalah hukum tindak pidana korupsi. Untuk itu
63 Marbun, SF. & Mahfud MD, Moh. Loc.cit. hlm. 15.
64 Atmosudiro, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kedelapan
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986) hlm. 67.

112
diperlukan jembatan pemahaman yang menjadi indikator
dalam hukum administrasi negara yang dikualifikasikan
sebagai tindak pidana korupsi.

M. Definisi dan Asal Kata Korupsi


Power tends to corrupt and absolute power corrups
absolutly. Ungkapan tersebut dikemukakan oleh Lord
Acton. Empat tipe korupsi yang dikemukakan oleh Piers
Beirne dan James Messerschmidt memiliki pertalian kuat
dengan kekuasaan, yaitu politicaly bribery, political kickbacks,
election fraud, dan corrupt compaign practices.65
Political bribery adalah kekuasaan di bidang legislatif
sebagai badan pembentuk undang-undang yang
secara politis badan tersebut dikendalikan oleh
suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan
pada masa pemilihan umum sering berhubungan
dengan aktivitas perusahaan tertentu yang bertindak
sebagai penyandang dana. Individu sebagai pemilik
perusahaan berharap agar anggota parlemen yang
telah diberikan dukungan dana saat pemilihan
umum dan yang kini duduk sebagai anggota
parlemen dapat membuat peraturan perundang-
undangan yang menguntungkan usaha atau bisnis
mereka.
Political kickback adalah kegiatan korupsi yang
berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan
borongan, antara pejabat pelaksana atau pejabat
terkait dan pengusaha, yang memberikan
kesempatan atau peluang untuk mendapatkan
65 Krisnawati, Dani, dkk., Op.cit. hlm. 31.

113
banyak uang bagi kedua belah pihak. Election fraud
adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan
kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan
pemilihan umum, baik yang dilakukan oleh calon
penguasa atau anggota parlemen ataupun oleh
lembaga pelaksanaan pemilihan umum. Corrupt
campaign practice adalah korupsi yang berkaitan
dengan kegiatan kampanye dengan menggunakan
fasilitas negara oleh calon penguasa yang saat ini
memegang kekuasaan.66

N. Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum Positif


Indonesia
Hukum pidana dapat diklasifikasikan menjadi hukum
pidana umum (ius commune),dan hukum pidana khusus (ius
singulare, ius speciale atau bizonder strafrecht). Ketentuan-
ketentuan hukum pidana umum dimaksudkan berlaku
secara umum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan ketentuan
hukum pidana khusus dimaksudkan sebagai ketentuan
hukum pidana yang mengatur kekhususan subjeknya dan
perbuatan khususnya (bizonde lijk feiten).67
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian
dari hukum pidana khusus. Selain itu, tindak pidana
korupsi juga memiliki spesifikasi tertentu yang berbeda
66 Ibid. hlm. 32.
67 Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktek,
dan Masalahnya (Bandung: PT Alumni, 2007) hlm. 1. Setiyawati,
Deni, Kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Memberangus
Korupsi (Jogjakarta: Pustaka Timur, 2008) hlm. 6 - 8.

114
dengan hukum pidana umum, yaitu adanya penyimpangan
hukum pidana formal atau kitab undang-undang hukum
acara pidana. Keberadaan tindak pidana korupsi dalam
hukum positif Indonesia sesungguhnya telah ada sejak
lama, yaitu sejak berlakunya Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (Wetboek van Strafrecht) 1 Januari 1918. Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht)
sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi semua
golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordasi dan
diundangkan dalam Staatblad 1915 nomor 752 tanggal 15
Oktober 1915.

O. Faktor dan Penyebab Korupsi di Indonesia


Menurut penasihat KPK, Abdullah Hehamahua,
berdasarkan kajian dan pengalaman setidaknya ada delapan
faktor penyebab terjadinya korupsi di Indonesia, sebagai
berikut.
1. Sistem penyelengaraan negara yang keliru.
2. Kompensasi PNS yang rendah.
3. Pejabat yang serakah.
4. Law enforcement tidak berjalan.
5. Hukuman yang ringan terhadap koruptor.
6. Pengawasan yang tidak efektif.
7. Tidak ada keteladanan pimpinan.
8. Budaya masyarakat yang kondusif KKN.68
68 Rifai, Abu Fida’ Abdur, Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun
(Penyucian Jiwa) (Jakarta: Republika, 2006) hlm. xii - xv.

115
Faktor penyebab orang melakukan perbuatan tindak
pidana korupsi di Indonesia telah banyak mengemuka
ditambah dengan berbagai pengalaman sehingga dapat
dibuat suatu hipotesis sebagai berikut.
1. Kurangnya gaji atau pendapatan pengawai
negeri sipil dibandingkan dengan kebutuhan
yang semakin hari semakin meningkat.
2. Latar belakang kebudayaan Indonesia yang
merupakan sumber atau sebab meluasnya
korupsi.
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang
kurang efektif dan efisien.
4. Penyebab korupsi adalah modernisasi.69
Menurut Soepiadhy, terjadinya penyakit korupsi
yang begitu meluas di Indonesia berwal dari pola hidup
yang melampaui batas kemampuan dan amat berlebihan.
Jika pola hidup sederhana dan bersahaja bisa dijalankan
oleh para pemimpin dan birokrat kita, rakyat pasti akan
dapat menikmati kesejahteraan dan penyakit korupsi akan
terkikis habis.70

69 Hamzah, Andi, Perbandingan Pembrantasan Korupsi di Berbagai Negara


(Jakarta: Sinar Grafika, 2006) hlm. 13.
70 Soepiadhy, Soetanto, Meredisain Konstitusi, Pembangkangan Seorang
Anak Bangsa untuk Demokrasi (Jakarta: Burung Merak Press, 2008)
hlm. 3.

116
P. Tipologi Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan
Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 Juncto
Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menerbitkan
buku saku untuk memahami tindak pidana korupsi,
memahami untuk membasmi. Dalam isi buku tersebut,
KPK merumuskan tindak pidana korupsi ke dalam tiga
puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi.71 Selain
tiga puluh definisi tindak pidana korupsi yang disajikan
Komisi Pemberantasan Korupsi, masih ada tindak pidana
lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Jenis
tindak pidana lain itu tertuang dalam ketentuan Pasal 21,
22, 23, dan 24 Bab III Undang-Undang nomor 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
juncto Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.72

Q. Institusi yang Berwenang Memberantas


Korupsi
1. Komisi Pemberantasan Korupsi
Pembentukan KPK sebagai salah satu institusi yang
berwenang memberantas tindak pidana korupsi diatur
71 Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami untuk Membasmi – Buku
Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Komisi
Pemberantasan Korupsi, 2006) hlm. 3.
72 Ibid. hlm. 51.

117
dalam beberapa hukum positif berikut.
a. Ketetapan MPR RI nomor VIII/MPR/2001 tentang
Rekomendasi Arahan Kebijakan Pemberantasan dan
Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pasal 2
angka 6 huruf a, yaitu arahan kebijakan pemberantasan
korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah membentuk
undang-undang beserta peraturan pelaksanaan
pemberantasan dan pencegahan korupsi yang
muatannya meliputi Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
b. Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang
PTPK Pasal 43 ayat (1) dalam waktu paling lambat 2
(dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang nomor
31 tahun 1999 tentang PTPK segera dibentuk Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
c. Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2
dengan Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi.
KPK memiliki tugas dan kewenang melakukan
koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan. Pembentukan, susunan
organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan
wewenang, serta keanggotaannya diatur dengan undang-
undang.

118
2. Kepolisian Negara Republik Indonesia
Institusi Kepolisian Republik Indonesia diatur dalam
Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Republik Indonesia. Sebagai institusi penegak hukum,
berdasarkan Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
Kepolisian Republik Indonesia memiliki kewenangan
melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara
tindak pidana, termasuk perkara tindak pidana khusus
korupsi. Kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi bagi Kepolisian Republik Indonesia diatur dalam
Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi huruf kesebelas butir 10 dan
diinstruksikan kepada Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai berikut.
a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap
tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku
dengan menyelamatkan uang negara.
b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka
penegakan hukum.
c. Meningkatkan kerjas ama dengan Kejaksaan
Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan, dan institusi negara yang terkait dengan

119
upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian
negara akibat tindak pidana korupsi.

3. Kejaksaan Agung Republik Indonesia


Ruang lingkup, tugas pokok, dan fungsi Kejaksaan
Agung Republik Indonesia diatur dalam Undang-Undang
nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang nomor 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
bagi Kejaksaan Agung Republik Indonesia sebagaimana
diinstruksikan dalam Instruksi Presiden nomor 5 tahun
2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi huruf
kesembilan butir 9 dan diinstruksikan kepada Jaksa Agung
Republik Indonesia sebagai berikut.
a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk
menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara.
b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh
jaksa atau penuntut umum dalam rangka penegakan
hukum.
c. Meningkatkan kerja sama dengan Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan, dan institusi negara yang terkait dengan

120
upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian
negara akibat tindak pidana korupsi.
Menurut kalangan Kejaksaan Agung, laporan
hasil pemeriksaan BPK sering masih dirancukan antara
perbuatan yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana
korupsi dan pelanggaran administrasi. Keduanya merupakan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan,
tetapi pelanggaran keduanya berbeda jenis dan berbeda jenis
hukumnya.73 Meskipun kejaksaan sering berkonsultasi
dengan BPK terlebih dahulu sebelum menindaklanjuti
laporan hasil pemeriksaan BPK yang mengandung tindak
pidana, dalam konsultasi tersebut masih sering terjadi
perbedaan persepsi antara auditor BPK dan penyidik
Kejaksaan Agung. Hal serupa juga dirasakan kalangan
DPR.74 Sementara itu, menurut Koordinator ICW, Teten
Masduki, laporan BPK tidak lengkap dan tuntas dalam
mengaudit tindak pidana korupsi sehingga BPK harus
melakukan audit secara lengkap untuk membuktikan
terjadinya unsur-unsur tindak pidana korupsi.75

73 Fahroji, Ikhwan & Najih, Mohk., Mengugat Peran DPR dan BPK…,
Op.cit., hlm. 143.
74 Wawancara dengan Gayus T. Lumbun (Komisi III DPR RI) di Gedung
DPR RI tanggal 13 September 2006 dalam Fahroji, Ikhwan & Najih,
Mohk., Mengugat Peran DPR dan BPK…, Op.cit., hlm. 143.
75 Wawancara dengan Gayus T. Lumbun (Komisi III DPR RI) di Gedung
DPR RI tanggal 13 September 2006 dalam Fahroji, Ikhwan & Najih,
Mohk., Mengugat Peran DPR dan BPK…, Op.cit., hlm. 144.

121
Bab IV
Pembahasan

A. Kedudukan Prinsip Akuntansi dan Standar


Akuntansi Pemerintah dalam Lapangan
Hukum
1. Kedudukan Hukum Prinsip Akuntansi dalam
Lapangan Hukum Tindak Pidana Korupsi
Dalam bahasa Inggris, kata ”asas” diformatkan
sebagai ”principle”, sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia ada tiga pengertian kata “asas”, yakni a) hukum
dasar, b) dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau
berpendapat, dan c) dasar cita-cita. Peraturan konkret (seperti
undang-undang) tidak boleh bertentangan asas hukum,
demikian pula putusan hakim, pelaksanaan hukum, dan
sistem hukum.1 Jika terjadi pertentangan antara undang-
1 Mas, Marwan, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua (Revisi) (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2011) hlm. 109.

123
undang dan asas hukum, putusan hakim, pelaksanaan
hukum, serta sistem hukum, perlu ada ketentuan secara
tegas dan ketat sebagai acuan dalam penegakan hukum,
khususnya untuk memberikan pemahaman dalam perspektif
auditing dan accounting principles bila bertentangan dengan
ketentuan perundang-undangan.
Menurut Kustandi Arinta (dalam Rachmat), hal
tersebut diatur oleh dua prinsip pertama National Committee
on Government Accounting, berikut.
1. Ketentuan hukum dan pelaporan, artinya sistem
akuntansi suatu lembaga pemerintah harus
menunjukkan semua ketentuan hukum dan perundang-
undangan yang berlaku serta menentukan secara wajar
dan mengungkapkan dengan selengkap-lengkapnya
posisi keuangan dan hasil operasi dana.
2. Apabila terjadi pertentangan antara prinsip akuntansi
dan ketentuan hukum, pedoman yang dipakai adalah
ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku.2
Menurut Rai, pemeriksaan (auditing) adalah kegiatan
membandingkan suatu kriteria (apa yang seharusnya) dan
kondisi (apa yang sebenarnya terjadi).3 Dasar pembanding
yang dipergunakan auditor BPK dalam pelaksanaan audit
investigatif adalah data-data yang telah ditetapkan dalam
pos anggaran APBD yang pencatatannya masuk dalam
2 Rachmat, Akuntansi Pemerintah…, Ibid., hlm. 102.
3 Rai, I Gusti Agung, Audit Kinerja pada Sektor Publik (Konsep, Praktek,
dan Studi Kasus), Loc.cit..

124
akuntansi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintah disandingkan dengan pelaksanaan APBD jika
terjadi perbedaan yang ditetapkan dan yang dilaksanakan
dalam APBD. Tahap ini merupakan wilayah auditor
BPK yang akan menyajikan temuan perbedaan antara
yang ditetapkan dan pelaksanaan APBD yang merupakan
langkah awal (sumber data) sebelum masuk pada tahap
perhitungan kerugian negara.
Antara yang ditetapkan dalam APBD disandingkan
dengan pelaksanaan APBD ternyata terjadi perbedaan.
Temuan perbedaan tersebut menjadi ranah penegak hukum
untuk menentukan apakah telah terjadi penyelahgunaan
kewenangan yang masuk dalam wilayah sifat melawan
hukum secara positif, sifat melawan hukum secara negatif,
atau penyusunan APBD menyalahi syarat formal maupun
syarat material sehingga pengesahan APBD tersebut
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Tahap tersebut masuk dalam tahap pertama
sebagaimana disampaikan Tuanakotta dalam menentukan
payung hukum terjadinya kerugian negara.4
Dasar payung hukum yang telah ditetapkan penegak
hukum menentukan apakah telah terjadi pelanggaran terhadap
ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan

4 Tuanakotta, Theodorus M., Menghitung Kerugian Keuangan Negara


dalam Tindak Pidana Korupsi,... Loc.cit. hlm. 131.

125
kerugian keuangan negara. Ini menjadi dasar auditor BPK
dalam menghitung kerugian negara atau tahap kedua
dalam menghitung kerugian negara. Tahap terakhir adalah
wilayah majelis hakim yang menetapkan kerugian negara
yang sesungguhnya sebagaimana disampaikan Tuanakotta
dalam tahap menghitung kerugian negara.5
Dalam pelaksanaan audit investigatif BPK ditemukan
penganggaran dilakukan secara ganda. Namun, dalam Perda
tentang APBD telah termuat dalam pos mata anggaran,
demikian juga dalam peraturan kepala daerah telah termuat
dalam penjabaran tentang pelaksanaan APBD. Dengan
demikian, temuan ini tidak dapat dijadikan sebagai alat
bukti telah terjadi kerugian negara karena BPK tidak
memiliki kewenagan untuk menilai peraturan daerah.
Demikian juga jika dalam pelaksanaan audit
investigatif BPK ditemukan pembiayaan berlaku surut,
tetapi pembiayaan telah diposkan dalam pos mata anggaran
dan telah diatur dalam peraturan daerah tentang APBD.
BPK tidak dapat menjadikannya sebagai alat bukti telah
terjadi kerugian negara karena bertentangan dengan
asas penyelenggaraan keuangan negara maupun prinsip
akuntansi karena asas maupun prinsip akuntansi bukan
merupakan peraturan konkret, kecuali jika melanggar
standar akuntansi. Ini sebagaimana diatur dalam Peraturan

5 Tuanakotta, Theodorus M., Menghitung Kerugian Keuangan Negara


dalam Tindak Pidana Korupsi,... Ibid. hlm. 131.

126
Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Standar
Akuntansi Pemerintah sehingga dapat dijadikan sebagai alat
bukti telah terjadi perbuatan pidana yang mengakibatkan
kerugian negara maupun daerah karena standar akuntansi
pemerintah merupakan norma konkret.
Standar akuntansi pemerintah merupakan norma
konkret sehingga dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan
audit investigatif.6 Auditing mempunyai sifat analitis karena
akuntan publik memulai pemeriksaannya dari angka-angka
laporan keuangan, lalu dicocokkan dengan neraca saldo (trial
balance), buku besar (general ledger), buku harian (special
jurnal), bukti-bukti pembukuan (document), dan subbuku
besar (sub-ledger). Sementara itu, accounting mempunyai
sifat konstruktif karena disusun mulai dari bukti-bukti
pembukuan, buku harian, buku besar dan subbuku besar,
neraca saldo, sampai laporan keuangan yang dilakukan
pegawai.7
Agoes membedakan accounting dan auditing
sebagaimana digambarkan dalam bagan berikut.8

6 Rai, I Gusti Agung, Audit Kinerja pada Sektor Publik (Konsep, Praktek,
dan Studi Kasus), Loc.cit..
7 Agoes, Sukrisno, Auditing, Petunjuk Praktis Pemeriksaan Akuntan oleh
Akuntan Publik, Edisi Keempat, Buku Satu (Jakarta: Salemba Empat,
2012) hlm. 8.
8 Ibid.

127
Gambar 4. Perbedaan Auditing dan Accounting
Johan & Setiawan juga menegaskan pemeriksaan
adalah melakukan arah balik dari apa yang dilakukan oleh
pengelola dalam menyusun laporan keuangan pemerintah
daerah (LKPD).9 Dengan demikian, pemeriksaan terhadap
laporan keuangan pemerintah daerah adalah menelusuri
jejak apa yang dilakukan pemerintah daerah dalam
menyusun laporan keuangan pemerintah daerah. Dengan
demikian, jika tidak ada jejak, pemeriksa akan mengatakan
bahwa laporan keuangan pemerintah daerah tersebut tidak
dapat diaudit (unauditable).
Johan & Setiawan memberikan bagan perbandingan
antara proses pelaporan keuangan pemerintah daerah dan
pemeriksaan keuangan daerah sebagaimana digambarkan
9 Johan, M. Yusuf & Setiawan S., Dwi, Kiat Memahami Pemeriksaan
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2009) hlm. 54.

128
dalam bagan berikut.10

Gambar 5. Proses Penyusunan LKPD dan Proses


Pemeriksaan LKPD
Bagan di atas memberi penjelasan dalam pelaksanaan
audit dibandingkan apa yang ditetapkan dengan apa yang
dilaksanakan dalam APBD. Dalam praktik akuntansi,
dalam pencatatan kegiatan sehari-hari tidak dapat dihindari
potensi terjadi kekeliruan pencatatan sebagaimana terjadi
dalam kasus dugaan korupsi DPRD dan Sekwan Kutai
Kartanegara. Dalam pencatatan ini terjadi kekeliruan
pencatatan atas 11 anggota DPRD Kutai Kartanegara.
Atas kejadian ini, ilmu akuntansi mengenal transaksi (ayat)
penyesuaian atas terjadinya kesalahan pencatatan, bukan
serta merta menjadi bukti telah terjadi kerugian negara
maupun daerah karena telah melanggar substansi, yakni

10 Johan, M. Yusuf & Setiawan S., Dwi, Kiat Memahami Pemeriksaan


Laporan Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, .., Ibid., hlm. 55 .

129
mengeluarkan pembiayaan di luar pos anggaran. Hal ini juga
terjadi disebabkan auditor BPK tidak melakukan wawancara
terhadap 11 anggota DPRD Kutai Kartanegara maupun
terhadap Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Kesalahan pencatatan dalam laporan
pertanggungjawaban panitia pelaksana teknis kegiatan pada
prinsipnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor
24 tahun 2005 sebagaimana diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang
Standar Akuntansi Pemerintah. Dalam akuntansi komersial
juga diperkenankan untuk memperbaiki transaki yang sering
dikenal adjustment atas rekonsiliasi kesalahan pencatatan.
Halim menyatakan bahwa bukti audit bersumber dari data
akuntansi yang terdiri atas jurnal, buku besar dan buku
pembantu, buku pedoman akuntansi, serta memorandum
dan catatan informal seperti work sheet (daftar lembar kerja
atau neraca lajur), perhitungan, dan rekonsiliasi.11
Berdasarkan pendapat Halim di atas, pengumpulan
bukti dalam tataran ideal harus dimulai dari pemeriksaan
jurnal, buku besar dan buku pembantu, buku pedoman
akuntansi, serta memorandum dan catatan informal seperti
work sheet (daftar lembar kerja atau neraca), perhitungan,
dan rekonsiliasi. Pada prinsipnya, audit dasar bekerjanya
dari akutansi. Agoes menyatakan cara kerja accounting

11 Halim, Abdul, Auditing 1 (Dasar-dasar Audit Laporan Keuangan),...,


Loc.cit., hlm. 146.

130
konstruktif dan cara kerja auditing analitis.12
Dalam pemeriksaan pelaksanaan APBD Kabupaten
Kutai Kartanegara, makna accounting bekerja berdasarkan
transaksi yang terjadi. Salah satunya adalah biaya perjalanan
dinas pelatihan Pilkada di Jakarta dan Jogjakarta anggota dan
pimpinan DPRD Kutai Kartanegara periode 2004 - 2009.
Accounting akan melakukan posting pembiayaan perjalanan
dinas Pilkada di Jakarta dan Jogjakarta berdasarkan pos
mata anggaran yang telah disahkan dalam APBD tahun
2005 Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Namun, kesalahan posting terjadi atas 11 anggota
DPRD yang berangkat ke Jakarta salah catat dalam
dokumentasi, tetapi dalam posting tidak terjadi kesalahan
tetap masuk pada pos mata aggaran yang telah disahkan
dalam APBD tahun 2005. Berdasarkan akutansi, jika
terjadi kesalahan, pencatatan dimungkinkan diperbaiki
melalui rekonsiliasi, kemudian dilakukan jurnal atau
pencatatan penyesuaian untuk melakukan pembenaran
transaksi sesuai dengan pos mata anggaran yang telah
ditetapkan dalam APBD yang telah disahkan legislatif.
Sementara itu, cara kerja auditing adalah melakukan
analisis atas transaksi dan posting seluruh pembiayaan yang
dilakukan dalam accounting. Auditing akan melakukan
analisis terhadap ketentuan yang ditetapkan dalam pos
12 Agoes, Sukrisno, Auditing, Petunjuk Praktis Pemeriksaan Akuntan oleh
Akuntan Publik, ..., Loc.cit. hlm. 8.

131
mata anggaran yang telah disahkan dalam APBD tahun
2005 Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Analisis
yang dilakukan oleh auditing adalah memeriksa apa yang
telah ditetapkan dalam APBD tahun 2005 dibandingkan
dengan apa yang senyatanya dilakukan atas pelaksanaan
APBD tahun 2005.
Dari hasil analisis akan ditemukan beberapa potensi
dalam laporan hasil pemeriksaan keuangan yang pada
akhirnya dijadikan bukti oleh penyidik maupun laporan
yang akan diberikan kepada eksekutif maupun legislatif,
yakni a) telah sesuai dengan kewenangan, telah sesuai
dengan prosedur, dan telah sesuai dengan substansi; atau
b) tidak sesuai dengan kewenangan (cacat kewenangan),
tidak sesuai prosedur (cacat prosedur), dan tidak sesuai
dengan substansi (cacat substansi). Dengan demikian,
laporan hasil pemeriksaan (LHP) keuangan, baik reguler
maupun investigatif, yang memperkaya diri sendiri maupun
orang lain sehingga mengakibatkan kerugian negara dapat
dikualifikasikan sebagai perbuatan yang bersifat melawan
hukum secara positif sebagaimana yang telah digambarkan
dalam diagram titik singgung antara hukum, akutansi,
dan auditing. Laporan tersebut akan memberikan bukti
yang kuat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 184
KUHAP.
Hasil analitis dari cara kerja auditing ternyata
menunjukkan terjadinyaa perbedaan antara yang ditetapkan

132
dan apa yang dilaksanakan atas APBD. Analisis hukum
melalui konversi antara hukum, akutansi, dan auditing
menunjukkan bukti telah terjadi cacat kewenagan secara
sempurna. Hal ini masuk dalam kualifikasi tindak pidana
administrasi sebagaimana yang dimaksudkan oleh Barda
Nawawi Arief.13

2. Kedudukan Hukum Standar Akuntansi


Pemerintah dalam Lapangan Hukum Tindak
Pidana Korupsi
Standar akuntansi pemerintah diatur dalam Peraturan
Pemerintah nomor 24 tahun 2005 sebagaimana diubah
terakhir dengan Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun
tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Sebagai gambaran
pencatatan akuntansi pemerintah, setiap jenis pembiayaan
memiliki nomor perkiraan sendiri atau yang lebih lazim
dikenal pos mata anggaran yang terdapat dalam APBD.
Saat pelaksanaan APBD, pengeluaran pembiayaan harus
mengacu pada pos mata anggaran yang telah ditetapkan.
Pencatatan pelaksanaan APBD dalam akuntansi
pemerintah tetap mengunakan pos mata anggaran dalam
menyusun laporan keuangan pemerintah. Pos mata anggaran
akan diperguanakan sebagai alat kontrol apakah pelaksanaan
setiap kegiatan telah terdapat dalam pos mata anggaran,
apakah pelaksanaan sudah sesuai dengan kegiatan yang
13 Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetakan Pertama
(Semarang: PT Citra Aditya Bakti, 2003) hlm. 145.

133
telah ditentukan dalam APBD, apakah biaya pelaksanaan
kegiatan melebihi sebagaimana yang telah ditetapkan
dalam pos mata anggaran dalam APBD. Pencatatan dalam
akuntansi pemerintah akan menggambarkan seluruh
pelaksanaan APBD dan akan tergambar dalam pelaksanaan
APBD penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan
prosedur, dan penyalahgunaan substansi. Hal ini menjadi
titik awal bekerja audit investigatif BPK untuk menentukan
suatu penyalahgunaan wilayah hukum tata negara, hukum
administrasi negara, ilmu perundang-undangan, dan
hukum pidana, lebih khusus tindak pidana korupsi.
Sebagaimana disampaikan Rachmat, akuntansi
erat kaitannya dengan hukum administrasi negara yang
keduanya diperlukan dalam pemerintahan.14 Hal ini juga
semakin dipertegas dalam pernyataan Atmosudiro bahwa
keuangan negara masuk dalam ruang lingkup hukum
administrasi negara.15 Dalam hukum administrasi negara,
untuk dapat menemukan normanya harus diteliti dan
dilacak serangkaian perundang-undangan.16 Artinya,
peraturan hukum yang harus diterapkan tidak begitu saja
ditemukan dalam undang-undang, tetapi dalam kombinasi
peraturan-peraturan. Dalam kontek ini tentulah yang paling
14 Rachmat, Akuntansi Pemerintah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)
hlm. 99.
15 Atmosudiro, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Loc.cit., hlm. 67.
16 Triwulan T., Titik & Widodo, H. Ismu Gunadi, Hukum Tata Negara
dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia…, Op.cit.,
hlm. 300.

134
relevan untuk dikombinasikan adalah akuntansi, auditing,
dan prinsip akuntansi yang berlaku umum yang berkaitan
dengan entitas yang diperiksa,17 termasuk mempertautkan
dengan hukum tata negara, hukum administrasi negara,
ilmu perundang-undangan, dan hukum pidana, lebih
khusus lagi hukum tindak pidana korupsi.
Kedua pendapat tersebut diteguhkan pula oleh tokoh
auditor investigatif Indonesia, Theodorus M. Tuanakotta,
yang juga merupakan salah satu penyusun standar
pemeriksaan keuangan negara (SPKN). Tuanakotta
menyatakan bahwa auditor dapat belajar dari para pemikir
disiplin ilmu lain, di samping filsafat.18 Dalam konteks
ini yang paling relevan adalah ilmu hukum, lebih khusus
lagi adalah ilmu hukum pidana, hukum tata negara, dan
hukum administrasi negara sehingga pelaksanaan auditing
akan menghasilkan laporan yang tajam dan objektif jika
dipertautkan dengan keilmuan lain.
Pertautan antarbidang keilmuan tersebut dapat
disebut sebagai konversi keilmuan yang memiliki
keterkaitan antara hukum tata negara, hukum administrasi
negara, ilmu perundang-undangan, dan hukum pidana.
Pertautan tersebut dalam konteks audit investiagtif BPK
akan memberikan beberapa jenis bukti atas laporan hasil
17 Peraturan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia nomor 01 tahun
2007, Standar Pemeriksaan, Pernyataan Nomor 01, Standar Umum,
Paragraf. 11.
18 Tuanakotta, Theodorus M., Berpikir Kritis dalam Auditing (Jakarta:
Salemba Empat, 2011) hlm. 5.

135
pemeriksaan (LHP) keuangan, yakni LHP audit investigatif
BPK sebagai bukti yang menggambarkan ranah hukum
administrasi negara, LHP audit investigatif sebagai bukti
yang menggambarkan ranah hukum tata negara, LHP audit
investigatif sebagai bukti yang menggambarkan ranah ilmu
perundang-undangan, dan LHP audit investigatif sebagai
bukti yang menggambarkan ranah hukum pidana, lebih
khsus lagi hukum pidana tindak pidana korupsi.
Peratutan interdisiplin hukum (hukum tata negara,
hukum administrasi negara, dan ilmu perundang-
undangan), akuntansi, dan audit akan menghasilkan
beberapa kemungkinan bukti melalui konversi dalam bentuk
bukti LHP audit investigatif BPK yang dapat digambarkan
sebagai berikut.

Gambar 6. Konversi Alat Bukti

136
Tuanakotta menegaskan secara konseptual dapat
dibagi proses berkenaan dengan kerugian negara dalam
tindak pidana korupsi dalam tiga tahap berikut.19
a. Tahap pertama menentukan ada atau tidaknya
kerugian negara.
b. Tahap kedua menghitung besarnya kerugian
keuangan negara tersebut jika memang ada.
c. Tahap ketiga menetapkan kerugian negara.
Sebelum menghitung kerugian negara, harus terlebih
dahulu memahami hukum untuk memastikan suatu
peristiwa yang diduga merupakan perbuatan sifat melawan
hukum (selanjutnya disingkat SMH) apakah merupakan
lapangan hukum tata negara, hukum administrasi negara,
ilmu perundang-undangan, perdata, atau tindak pidana,
lebih khusus tindak pidana korupsi. Setelah mengetahui
dengan pasti peristiwa hukum tersebut, baru melakukan
penghitungan kerugian negara.
Dalam perhitungan pengembalian keuangan negara
dapat terjadi karena beberapa kemungkinan. Kemungkinan
tersebut seperti perbuatan melawan hukum secara positif
atau perbuatan pidana murni yang merugikan keuangan
negara, perbuatan melawan hukum secara negatif tetapi tidak
merugikan keuangan negara serta tidak menguntungkan
diri sendiri tetapi menguntungkan kepentingan publik, dan
perbuatan hukum administrasi negara. Ini akan dijelaskan
melalui gambar berikut.
19 Tuanakotta, Theodorus M., Menghitung Kerugian Negara, dalam
Tindak Pidana Korupsi, Loc.cit., hlm. 131.

137
Gambar 7. Konversi Alat Bukti Sifat Melawan
Hukum Positif
Bagan di atas menggambarkan hasil persinggungan
antara hukum, akuntansi, dan auditing. Melalui proses
konversi, persinggungan itu akan menghasilkan bukti dalam
bentuk laporan hasil pemeriksaan keuangan berupa perbuatan
melawan hukum secara positif atau perbuatan pidana murni
dan merugikan keuangan negara. Pengembalian kerugian
negara, baik atas kesadaran sendiri maupun melalui putusan
pengadilan, tidak akan menghapuskan dipidananya pelaku
tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-
Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah
terakhir dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Persinggungan antara akuntasi dan hukum pidana,
dalam hal ini tindak pidana korupsi, belum diintegrasikan.
Akuntansi, dalam hal ini lebih khusus akutansi keuangan,

138
merupakan rumpun hukum administrasi negara (HAN).
Jika dalam pelaksanaan APBD ditemukan penyimpangan
bersinggungan dengan pidana, persinggungan ini dapat
dikualifikasi sebagai hukum pidana administrasi. Tindak
pidana administrasi ini bila merugikan keuangan negara
hukum material yang berlaku adalah Undang-Undang
nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Pidana administrasi bekerja pada
hukum administrasi negara, yakni keuangan negara dan
pelaksanaan keuangan negara dikelola dalam akuntansi
keuangan sebagai pelaksanaan APBD.
Menurut Arief, hakikat hukum pidana administrasi
merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum
pidana sebagai sarana untuk menegakkan atau melaksanakan
hukum administrasi negara. Dengan kata lain, hukum
pidana administrasi merupakan bentuk fungsionalisasi
atau operasionalisasi instrumen hukum pidana di bidang
hukum administrasi negara. Dengan demikian, apabila
sanksi administrasi akan dioperasionalisasikan lewat
hukum pidana, dapat disebut dengan istilah sanki pidana
administrasi.20
Hukum administrasi negara mencakup ruang lingkup
yang sangat luas. Salah satunya adalah keuangan negara
yang dikelola melalui akuntansi, lebih khusus akuntansi

20 Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetakan Pertama


(Semarang: PT Citra Aditya Bakti, 2003) hlm. 145.

139
keuangan, sebagai wadah pencatatan (atau nomenklatur
sering dipergunakan tata kelola keuangan) dalam
pelaksanaan APBD. Bidang hukum administrasi dikatakan
sangat luas karena alasan berikut.21
”Seperangkat hukum yang diciptakan lembaga
administrasi dalam bentuk undang-undang,
peraturan-peraturan, perintah, dan keputusan-
keputusan untuk melaksanakan kekuasaan dan
tugas-tugas pengaturan atau mengatur dari lembaga
yang bersangkutan”.

(”Body of law created by administrative agencies in the


form of rule, regulations, orders, and decisions to carry
out regulatory powers and duties of such agencies”).
Bertolak dari pengertian di atas, hukum administrasi
negara dapat dikatakan sebagai hukum pidana di bidang
pelanggaran-pelanggaran hukum administrasi. Oleh
karena itu, kejahatan tindak pidana administrasi negara
(administrative crime) dinyatakan sebagai an offence consisting
of violation of an adminiostrative rule or regulation and
carrying with it a criminal sanction.22 Di samping itu, karena
hukum administrasi pada dasarnya hukum mengatur atau
hukum pengaturan (regulatory rules), yaitu hukum yang
dibuat untuk melaksanakan kekuasaan mengatur atau
21 Garner, Brayen A., Black’s Law Dictionary, Six Edition, In Chief (Ed)
(Minn., United State of America: West Group, St. Paul, 1990) hlm.
46.
22 Garner, Brayen A., Black’s Law Dictionary, Six Edition, In Chief (Ed)
(Minn., United State of America: West Group, St. Paul, 1990) hlm.
377.

140
pengaturan (regulatory powers), hukum administrasi sering
disebut pula hukum pidana (mengenai) pengaturan atau
hukum pidana dari aturan-aturan (ordnungstrafrecht atau
ordeningstrafrecht).23
Pelanggaran hukum administrasi negara
dikualifikasikan sebagai pidana administrasi. Hal ini sesuai
dengan pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh Ketua
Majelis Hakim yang memproses tindak pidana korupsi di
Pengadilan Negeri Tenggarong yang mempertanyakan saksi
ahli apa batasan yang harus dilanggar sehingga dikatakan
korupsi.24 Batasan yang dipertanyakan oleh majelis hakim
adalah batasan administrasi keuangan dalam pelaksanaan
APBD yang harus dipatuhi.
Chairul Huda yang merupakan saksi ahli pidana
menjawab pertanyaan ketua majelis hakim bahwa rambu-
rambu atau batasan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan
APBD mencakup tiga aspek saat pemerintah menjalankan
kewenangannya. Pertama, dalam melaksanakan
kewenangannya pejabat tidak cacat kewenangan, yakni
pejabat menjalankan kewenangannya tidak melampaui
kewenangannya. Kedua, dalam menjalankan kewenangannya
pejabat tidak cacat prosedur, yakni pejabat menjalankan
kewenangannya sesuai dengan prosedur. Ketiga, pejabat
23 Arief, Barda Nawawi Kapita Selekta Hukum Pidana,.., Op.cit., hlm.
14.
24 Pertanyaan disampaikan Ketua Majelis Hakim saat menangani Perkara
Pidana nomor 260/Pid.B/2010/PN.Tgr.

141
dalam menjalankan kewenangannya tidak cacat substansi,
yakni pejabat menjalankan kewenangannya dalam
pelaksanaan ABPD sudah berdasarkan pos mata anggaran
yang telah ditetapkan dalam APBD.25
Dengan demikian, dapat terlihat batasan dalam
menjalankan kewenangannya atas pelaksanaan APBD
yang tidak cacat kewenangan tidak dapat dikenakan pidana
administrasi. Sebaliknya, rambu-rambu atau batasan pidana
administrasi apabila dalam pelaksanaan APBD pejabat
cacat dalam menjalankan kewenangannya dapat dikenakan
pidana administrasi yang mengakibatkan kerugian negara
berdasarkan Undang-Undang nomor 31 tahun 1999
tentang Perubahan Undang-Undang nomor 20 tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, karena istilah hukum administrasi terkait
dengan tata pemerintahan, istilah hukum administrasi
negara sering juga disebut hukum tata pemerintah dan
istilah hukum pidana administrasi negara ada juga yang
menyebutnya sebagai hukum pidana pemerintahan. Istilah
ini dikenal dengan verwaltungsstracfrecht (verwaltungs =
administrasi atau pemerintahan) dan bestuursstrafrech
(bestuur = pemerintahan).26

25 Penjelasan disapaikan atas pertanyaan Ketua Majelis Hakim dalam


Perkara Pidana nomor 260/Pid.B/2010/PN.Tgr.
26 Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana,.., Ibid., hlm.
15.

142
Pelaksanaan kewenangan keuangan pemerintah daerah
dalam mengelola administrasi keuangan dipergunakan
media akuntansi, lebih khusus akuntansi keuangan, atas
pelaksanaan kewenangan keuangan pemerintah daerah atas
pelaksanaan APBD. Menurut Jean Rivero dan Jean Waline
(dalam Adji), pengertian penyalahgunaan kewenangan
dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam tiga
wujud, sebagai berikut.
a. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
kepentingan umum atau untuk menguntungkan
kepentingan pribadi, kelompok, atau
golongan.
b. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti
tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan
untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang
dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan
oleh undang-undang atau peraturan lain.
c. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti
menyalahgunakan prosedur yang seharusnya
digunakan untuk mencapai tujuan tertentu,
tetapi telah menggunakan prosedur lain agar
terlaksana.27
Tindakan yang termasuk dalam wilayah perbuatan
melawan hukum secara positif masuk dalam pengertian
penyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi
negara. Tindakan tersebut berupa penyalahgunaan
27 Adji, Indriyanto Seno, ”Memahami Hukum, dari Konstruksi sampai
Implementasi”, Kumpulan Tulisan dalam Peringatan Ulang Tahun yang
ke-40 Zudan Arif Fakrulloh (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009)
hlm. 169.

143
kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk
menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok, dan/atau
golongan.
Selain perbuatan yang bersifat melawan hukum
secara positif juga terdapat perbuatan yang bersifat melawan
hukum secara negatif. Contoh, pejabat dalam melaksanakan
kewenangannya telah terjadi cacat prosedur, tetapi tidak
menguntungkan diri sendiri maupun orang lain untuk
mencapai tujuan atau kepentingan umum. Persinggungan
antara hukum, akutansi, dan audit akan memberikan
gambaran titik singgung, yakni terjadi sifat melawan hukum
secara negatif. Hal ini sebagaimana digambarkan di bawah
ini.

Gambar 8. Konversi Alat Bukti Pidana Sifat


Melawan Hukum Negatif

144
Perbuatan pidana yang bersifat melawan hukum
negatif dapat dipergunakan sebagai alasan pembenar untuk
membebaskan seseorang yang didakwa oleh jaksa penuntut
umum. Tindakan yang termasuk dalam ketegori sifat
melawan hukum secara negatif dijelaskan Jean Rivero dan
Waline dalam konteks (a) penyalahgunaan kewenangan
dalam arti tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan
untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari
tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-
undang atau peraturan lain; atau (b) penyalahgunaan
kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang
seharusnya digunakan untuk mencapai tujuan tertentu,
tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.28
Penyalahgunaan kewenangan pada dua jenis kewenangan ini
tidak ada menguntungkan diri sendiri, kelompok, maupun
golongan orang yang menyalahgunakan kewenangan
tersebut. Atas penyalahgunaan tersebut yang terpenuhi
adalah kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi
atau kelompok maupun golongan orang yang melakukan
penyalahgunaan wewenang.
Sesuai dengan dakwaan jaksa penuntut umum,
perjalanan dinas anggota dan pimpinan anggota
DPRD diberlakukan secara surut dan mengakibatkan
kerugian negara. Dalam konsep hukum administrasi
28 Adji, Indriyanto Seno, ”Memahami Hukum, dari Konstruksi sampai
Implementasi”, Kumpulan Tulisan dalam Peringatan Ulang Tahun yang
ke-40 Zudan Arif Fakrulloh, Loc.cit., hlm. 169.

145
negara, peraturan berlaku surut dimungkinkan sehingga
persinggungan hukum, akuntansi, dan auditing terjadi pada
ranah administrasi negara sebagaimana digambarkan dalam
bagan berikut.

Gambar 9. Konversi Alat Bukti Hukum


Administrasi Negara
Rekomendasi pengembalian uang perjalanan dinas
yang dianggap telah terjadi penganggaran ganda atau dalam
pos mata anggaran menurut hasil audit investigatif auditor
BPK hampir mirip-mirip, tetapi telah ditetapkan dan
disahkan oleh DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara dapat
digambarkan sebagai berikut.

146
Gambar 10. Konversi Alat Bukti Ilmu
Perundang-undangan
Auditor investigatif BPK berpandangan terjadi pemborosan
karena biaya perjalanan dinas hampir mirip-mirip saja
sehingga upaya yang harus dilakukan adalah pembatalan
peraturan daerah melalui judicial review.
Menurut hasil laporan pemeriksaan keuangan
Pemerintahan Kabupaten Kutai Kartanegara untuk tahun
anggaran tahun 2005, tidak terdapat persinggungan, baik
perbuatan sifat melawan hukum positif maupun perbuatan
sifat melawan hukum negatif. Namun, hasil audit reguler
BPK pertama pada tahun 2006 merekomendasikan
kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara untuk
mengembalikan perjalanan dinas yang tidak didukung

147
dengan bukti kuitansi.
Rekomendasi hasil pemeriksaan keuangan reguler yang
pertama ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara dan anggota beserta pimpinan DPRD periode
tahun 2004 - 2009 bersedia mengembalikan meskipun
sesungguhnya pembiayaan perjalanan dinas telah terdapat
dalam pos anggaran tahun 2005 dan telah sesuai dengan
program kerja DPRD Kutai Kartanegara, hanya saja tidak
dilengkapi dengan kuitansi karena anggota dan pimpinan
DPRD menganggap biaya perjalanan dinas bersifat lumsum.
Menurut Syahril Mahmud, biaya perjalanan dinas anggota
dan pimpinan DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara yang
bersifat lumsum tidak memerlukan bukti pihak ketiga.29
Bagan konversi alat bukti dapat digambarkan sebagai
berikut.

29 Pernyataan disampaikan pada tanggal 31 Mei 2011 pada Pengadilan


Negeri Tenggarong sebagai saksi ahli keuangan negara.

148
Gambar 11. Konversi Alat Bukti Nihil atau
Sesuai Ketentuan

B. Kedudukan Hukum Peraturan BPK Nomor


1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara dalam Tindak Pidana
Korupsi
Dalam pelaksanaan audit investigatif, BPK juga
sering mengacu pada pernyataan akuntansi berterima
umum (PABU) sebagai bahan analitis atau pembanding
dalam pelaksaan APBD. Bagian PABU di dalamnya
termasuk prinsip akuntansi, sedangkan standar akuntansi
pemerintah merupakan panduan yang telah ditetapkan
indikatornya dalam menentukan terjadinya pelanggaran
yang mengakibatkan terjadinya kerugian negara. PABU
sering juga dirujuk sebagai dasar dalam menentukan kerugian

149
negara sehingga memiliki hubungan hukum dengan rumpun
hukum lainnya, lebih khusus lagi memiliki hubungan
dengan hukum administrasi negara.bSelain PABU dan
standar akuntansi pemerintah, auditor BPK juga merujuk
perturan perundang-undangan sebagai dasar hukum untuk
menentukan terjadinya pelanggaran hukum dan berakibat
merugikan keuangan negara. Atas pelanggaran tersebut
auditor BPK akan menghitung kerugian keuangan negara
dan akan menjadi bukti bagi penyidik dalam melakukan
penyelidikan maupun penyidikan.
Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara merupakan peraturan yang
dipergunakan untuk memperoleh bukti terjadinya kerugian
keuangan negara. Bukti yang dihasilkan oleh auditor BPK
dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Dalam
melakukan kajian hukum terjadinya pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan, auditor BPK minimal
harus mempertimbangkan persinggungan antara disiplin
ilmu hukum administrasi negara, hukum tata negara, ilmu
perundang-undangan, dan hukum pidana, lebih khusus lagi
tindak pidana korupsi.
Persinggungan antardisiplin ilmu ini disebut
Tuanakotta sebagai kajian akuntan forensik. Kalau
sudah bersinggungan dengan bidang hukum (litigasi atau
nirlitigasi), istilah akuntansi forensik lebih tepat daripada

150
audit investigatif.30 Dalam konteks bukti sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP, konversi bukti harus
dilakukan karena harus dikaji bukti tersebut dari konsep
hukum administrasi negara, konsep hukum tata negara,
konsep ilmu perundang-undangan, dan konsep hukum
pidana yang lebih khusus lagi tindak pidana korupsi. Dari
hasil persinggungan interdisiplin ilmu dilakukan konversi
untuk menghasilkan bukti yang akurat antara ilmu hukum,
ilmu akuntansi, dan auditing sehingga akan menghasilkan
bukti yang kuat sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Untuk menghasilkan bukti yang akurat, auditor BPK
harus melakukan kajian hukum interdisiplin ilmu maupun
hukum yang terkait dengan keuangan (omnibus regulation),
termasuk jenis hukum dan produk hukum daerah yang
telah terlebih dahulu diatur sebelum lahirnya Peraturan
BPK nomor 2 tahun 2007 tentang Kode Etik Badan
Pemeriksa Keuangan sebagaimana diubah terkhir dengan
Peraturan BPK nomor 2 tahun 2011. Produk hukum
daerah diatur dalam Pasal 2 Permendagri nomor 15 tahun
2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah
yang terdiri atas peraturan daerah, peraturan kepala daerah,
peraturan bersama kepala daerah, keputusan kepala daerah,
dan instruksi kepala daerah.

30 Tuanakotta, Theodorus M., Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,...,


Loc.cit., hlm. iii.

151
Amanah kode etik maupun Permendagri ini tidak jauh
berbeda dengan akuntansi pemerintah di Amerika. Sejak
tahun 1968, The National Committee on overment Accounting
(NCGA) menyusun dasar akuntansi dan prinsip pelaporan
yang berlaku pada lembaga pemerintah. BPK dalam
melaksanakan audit investigatif juga harus memperhatikan
produk hukum daerah agar dapat menghasilkan hasil audit
yang akurat.
Menurut Miller (dalam Nordiawan, dkk.), prinsip
akuntansi berlaku umum merupakan rajutan dari berbagai
aturan dan konsep.31 Prinsip akuntansi yang dipergunakan
dalam akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah
terdiri atas delapan prinsip. Dua di antara prinsip tersebut
adalah (a) prinsip realisasi yang bermakna pendapatan yang
tersedia yang telah diotorisasi melalui anggaran pemerintah
selama satu tahun fiskal akan digunakan untuk membayar
utang dan belanja dalam periode tersebut; dan (b) prinsip
substansi mengungguli bentuk formal yang bermakna
informasi dimaksudakan untuk menyajikan dengan wajar
transaksi atau peristiwa lain yang seharusnya disajikan.
Transaksi atau peristiwa lain tersebut perlu dicatat dan
disajikan sesuai dengan substansi dan realitas ekonomi,
bukan hanya aspek formalitasnya.32

31 Nordiawan, Deddi dkk., Akuntansi Pemerintahan (Jakarta: Salemba


Empat, 2009) hlm. 118.
32 Nordiawan, Deddi dkk., Op.cit., hlm. 133.

152
Pelaksanaan APBD telah memiliki payung hukum
berbentuk Perda tentang APBD dan Peraturan Bupati
tentang Petunjuk Pelaksanaan atas Perda tentang APBD
hingga realisasi anggaran terlaksana secara sempurna dan
belum pernah dicabut. Dengan demikian, pelaksanaan
APBD dapat dikualifikasi menurut hukum masih sah. Ini
sesuai dengan asas het vermoeden van rechtmatigheid33 atau
asas praduga keabsahan (praduga rechtmatigheid) yang di
dalam kepustakaan dikenal dengan asas praesumtio iustae
causa yang maknanya adalah setiap tindakan pemerintah
adalah sah sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya.34
Menurut Choi & Meek, auditor sering sekali melampaui
kewenangan yang diberikan undang-undang mengenai
batasan laporanya.35 Dalam melakukan audit investigasi
BPK juga berpotensi melampaui kewenangan yang diatur
dalam standar pemeriksaan keuangan negara sehingga
laporan hasil pemeriksaan melampaui kewenangannya
sehingga tidak dapat dijadikan sebagai bukti yang sah sebagai
dasar menghitung kerugian negara karena payung hukum
pelaksanaan APBD Kabupaten Kutai Kartanegara tahun
anggaran 2005 masih sah. Ini termasuk surat keputusan
bupati yang mengaturan perjalanan dinas anggota DPRD
33 Putusan Perkara Pidana nomor 260/Pid.B/2010/PN.Tgr., Putusan
tanggal 6 Desember 2011, hlm. 91.
34 Triwulan T., Titik & Widodo, H. Ismu Gunadi, Hukum Tata Negara
dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Cetakan
Pertama (Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2011) hlm. 428.
35 Choi, Fredrick D. S. & Meek, Gary K., International Accounting
(Akuntansi Internasional) (Jakarta: Salemba Empat, 2010) hlm. 112.

153
yang diatur melalui Peraturan Bupati Nomor 180.188/
HK-149/2005 telah dimasukkan dalam pos anggaran
APBD tahun 2005.
BPK dalam menghitung dan menetapkan kerugian
negara sering terjadi tidak konsisten meskipun sudah
ada standar akuntansi pemerintah (SAP). Peristiwa
ketidakkonsistenan tidak hanya terjadi di Indonesia.
Perbedaan pendapat dalam melakukan audit juga sering
terjadi pada auditor internasional sebagaimana yang terjadi
atas 51 kasus (scandals) besar sejak tahun 1986 sampai
dengan 2010 pada kantor akuntan peringkat atas dunia.36
Beberapa nama kantor akuntan publik tersebut adalah
Grand Thornton, Arthur Andersen, Pricewaterhouse
Coopers, dan Deloitte & Touche.
Auditor BPK dalam melakukan pemeriksaan audit
keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan tujuan
tertentu sebagaimana dijelaskan dalam paragraf 12 Peraturan
BPK RI nomor 1 tahun 2007 tentang Pendahuluan
Standar Pemeriksaan. Audit investigatif dilakukan bila
BPK berdasarkan pemeriksaan sebelumnya menduga telah
terjadi kerugian keuangan negara dan/atau terdapat unsur
pidana, atau karena permintaan dari lembaga perwakilan
maupun pengaduan dari masyarakat. Berdasarkan hal-
hal tersebut, BPK dapat melaksanakan audit investigatif

36 Tuanakotta, Theodorus M., Berpikir Kritis dalam Auditing…, Op.cit.,


hlm.184 - 185.

154
dengan metodologi sebagai berikut.
a. Analisis data awal yang tersedia.
b. Menciptakan sebuah hipotesis.
c. Menguji hipotesis.
d. Menyempurnakan dan memperbaiki hipotesis.
e. Observasi (pendokumentasian fakta dan proses
kejadian).
f. Pengujian fisik.
g. Interview.37
Dalam audit investigatif hal yang perlu diperhatikan
dari segi hukum antara lain penyusunan tujuan audit
investigatif harus dilakukan berdasarkan unsur-unsur
kecurangan yang akan dibuktikan sebagaimana peraturan
yang berlaku, pembuatan hipotesis menggambarkan modus
kecurangan yang terjadi. Penggunaan teknik audit investigatif
dalam mengumpulkan bukti harus memperhatikan dan
mempertimbangkan aturan hukum. Penelaahan dokumen
yang diperoleh selama melaksanakan audit investigatif
harus memperhatikan validitas dan otensitas. Adanya
konversi dari bukti-bukti audit investigatif menjadi bukti-
bukti hukum serta perlu pemahaman tentang ketentuan
alat bukti yang sah serta kekuatan pembuktian.

37 Fahroji, Ikhwan & Najih, Mohk., Menggugat Peran DPR dan BPK…,
Ibid., hlm. 50.

155
C. Perbuatan Melawan Hukum pada Temuan Audit
Investigatif BPK atas Pelaksanaan APBD
Jika dalam pelaksanaan audit keuangan reguler terdapat
kekeliruan baik prosedur maupun dalam menentukan bukti
yang sah, hal ini menjadi salah satu pintu masuk dilakukan
audit investigatif sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat (3)
Undang-Undang nomor 15 tahun 2006 tentang BPK.38
Rai menyatakan pemeriksaan (auditing) adalah kegiatan
membadingkan suatu kriteria (apa yang seharusnya) dengan
kondisi (apa yang sebenarnya terjadi).39 Pernyataan ini juga
dipertegas dan diteguhkan Bayangkara yang menyatakan
tujuan audit harus mengacu pada tujuan dan ruang lingkup
audit yang telah ditentukan. Ada tiga elemen penting dalam
tujuan audit, sebagai berikut.
1. Kriteria merupakan norma, standar, atau
sekumpulan standar yang menjadi panduan
setiap individu (kelompok) dalam melakukan
aktivitasnya sebagai pelaksana atas wewenang
dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Standar atau norma ini dipergunakan untuk
menilai aktivitas atau hasil aktivitas dari setiap
individu atau kelompok pada objek audit.
2. Penyebab merupakan tindakan atau aktivitas
aktual yang dilakukan oleh setiap individu
(kelompok) yang terdapat pada objek audit.
38 Pasal 8 ayat (3) menentukan apabila dalam pemeriksaan ditemukan
unsur pidana, BPK melaporkan hasil tersebut kepada isntansi yang
berwenang sesuai ketentuan perundang-undangan paling lambat 1
(satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut.
39 Rai, I Gusti Agung, Audit Kinerja pada Sektor Publik (Konsep, Praktek,
dan Studi Kasus) Loc.cit..

156
3. Akibat merupakan hasil pengukuran dan
pembandingan antara aktivitas individu
(kelompok) dan kriteria yang telah ditetapkan
terhadap aktivitas tersebut.40
Untuk membuktikan tindak pidana korupsi melalui
audit investigatif, BPK harus mengacu pada kualifikasi
yang telah disebutkan di atas dan perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan audit investigatif tidak ada kewenangan untuk
menilai sah tidaknya peraturan perundang-undangan. Hal
ini dijelaskan dalam tugas dan wewenang BPK yang telah
ditentukan pada Bab III Pasal 6 Undang-Undang nomor
15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan
berikut.
1. BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah
pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya,
Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan
layanan umum, badan usaha milik daerah, dan lembaga
atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
40 Bayangkara, IBK., Management Audit, Audit Management, Prosedur
dan Implementasinya (Jakarta: Salemba Empat, 2008) hlm. 24 -
25. Kriteria yang disebutkan oleh Bhayangkara juga dipertegas oleh
Halim, Abdul, Auditing (Dasar-dasar Auditing Laporan Keuangan),
Edisi Keempat, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Sekolah Tinggi
Ilmu Manejemen YKPN, 2008) hlm. 2 yang menjelaskan bahwa
kriteria yang ditentukan merupakan standar-standar pengukur
untuk mempertimbangkan (judgment) asersi-asersi atau representasi-
representasi. Kriteria tersebut dapat berupa prinsip akuntansi yang
berterima umum atau standar akuntansi keuangan, aturan-aturan
spesifik yang ditentukan oleh badan legislatif atau pihak lain, dan
anggaran atau ukuran lain kinerja manejemen.

157
2. Pelaksanaan pemeriksaan BPK sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan undang-undang
tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara.
3. Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan,
pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan
tertentu.
4. Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan
publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan
hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada
BPK dan dipublikasikan.
5. Dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), BPK melakukan pembahasan
atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa
sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara.
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
tugas BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan peraturan BPK
Tugas dan wewenang BPK tersebut ditegaskan dalam
Tap MPR nomor III/MPR/1978 (Tap No.VI/MPR/1973),
antara lain sebagai berikut.
1. Badan Pemeriksa Keuangan adalah badan yang
memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara,
yang dalam pelaksanaan tugasnya lepas dari pengaruh
dan kekuasaan pemerintah, akan tetapi tidak berdiri

158
sendiri di atas pemerintah.
2. Badan Pemeriksa Keuangan memeriksa semua
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
Penjelasan tugas dan kewenangan BPK tidak ada
yang menjelaskan kewenangan untuk menilai peraturan
perundang-undangan. Dengan kata lain, jika yang dimaksud
BPK bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan
bertalian dengan keabsahan peraturan perundang-
undangan, itu bukan merupakan kewenangan auditor BPK.
Dengan demikian, laporan hasil pemeriksaan keuangan
melalui audit investigatif tidak dapat dijadikan alat bukti
sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP karena dalam
pengumpulan bukti sudah tidak sesuai denganPeraturan
BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara.
Dalam melaksanakan audit langkah pertama yang
dilakukan adalah mengetahui gambaran umum antara
aturan yang telah ditetapkan dalam APBD selanjutnya
dibandingkan dengan pelaksanaan APBD yang dijadikan
dasar melakukan analisis hukum atas dugaan terjadi
kerugian negara maupun kerugian daerah. Pelaksanaan
APBD bertentangan antara kriteria yang ditetapkan dan
kenyataan pelaksanaan dapat dikualifikasi bertentangan
dengan ketentuan perundang-undangan dan dikualifikasi
memenuhi sifat melawan hukum secara positif menjadi

159
wilayah penegak hukum. Ketentuan yang dimaksud dalam
hal ini adalah ketentuan perundang-undangan pemerintah
daerah, yakni Perda tentang APBD dengan segala
pembiayaan telah ditetapkan dan disahkan dalam pos mata
anggaran.
Audit reguler BPK pertama menyimpulkan dan
merekomendasikan kepada Pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara agar biaya perjalanan dinas yang dianggap tidak
lengkap dengan kuitansi-kuitansi pembayaran dikembalikan.
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara menindaklanjuti
surat rekomendasi BPK melalui surat pelaksana tugas (Plt)
Bupati Samsuri Aspar dan meminta agar seluruh anggota
DPRD Kutai Kartanegara mengembalikan. Anggota dan
pimpinan DPRD Kutai Kartanegara mengembalikan
biaya perjalanan dinas yang tidak dilengkapi dengan bukti
kuitansi karena biaya perjalanan dinas bersifat lumsum.
Dalam perspektif hukum tindak pidana korupsi,
penyidik sering berasumsi secara kaku dan sering
menyampaikan pernyataan dengan mengembalikan uang
tidak menghilangkan pidana, paling hanya meringankan
hukuman. Uang perjalanan dinas anggota dan pimpinan
DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara telah terdapat dalam
pos mata anggaran dan dalam menjalankan tugas telah
sesuai dengan program kerja DPRD Kutai Kartanegara,
serta seluruh kegiatan telah disetujui oleh ketua. Pelaksanaan
kegiatan itu juga dibuat surat pertanggungjawaban oleh

160
panitia pelaksana teknis kegiatan (PPTK), hanya saja
tidak dilengkapi kuitansi karena dianggap perjalanan dinas
bersifat lumsum.
Dalam konsep hukum pidana, lebih khusus lagi
tindak pidana korupsi, persoalan pengembalian perjalanan
dinas tidak dapat dipersamakan dengan tindak pidana
korupsi murni. Hal ini diatur dalam Pasal 4 Undang-
Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana terakhir
diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
menyatakan pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya
pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dan Pasal 3. Dengan demikian, meskipun dikembalikan,
tetap harus dihukum karena memperkaya diri sendiri
dengan cara melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum dapat dikualifikasikan
jika dalam pos mata anggaran tidak dianggarkan serta
secara nyata tidak menjalankan tugas. Oleh karena itu,
meskipun uang dikembalikan, tetap harus diproses secara
hukum. Sementara itu, anggota dan pimpinan DPRD
Kabupaten Kutai Kartanegara tidak dapat dikenakan pidana
meskipun dikembalikan karena secara nyata pembiayaan
telah ditetapkan dan disahkan dalam pos mata anggaran
tahun 2005.

161
D. Dasar Hukum Audit Investigatif BPK dalam
Menentukan Perbuatan Tindak Pidana Korupsi
dalam Proses Penyusunan dan Pelaksanaan
Perda tentang APBD
1. Keabsahan Pembentukan Perda tentang APBD
Keberlakuan suatu kaidah hukum dibentuk sesuai
dengan aturan-aturan hukum secara prosedural oleh badan
yang berwenang dan secara substansial tidak bertentangan
dengan kaidah-kaidah hukum lainnya, terutama kaidah
hukum yang lebih tinggi. Menurut W. Zevenbergen,
keberlakuan hukum terjadi jika hukum itu dibentuk
berdasarkan cara yang ditetapkan menurut hukum yang
sering disebut formalisme.41
Menurut Logemann, keberlakuan ini ada jika dalam
hukum itu secara sistematis terdapat hubungan keharusan
antara suatu kondisi dan akibatnya.42 Sementara itu,
menurut Brunggink, keberlakuan normative/formal/yuridis
suatu hukum jika kaidah itu merupakan bagian dari suatu
sistem kaidah hukum tertentu yang dalam kaidah-kaidah
hukum itu menunjuk satu dengan yang lain.43
Audit investigatif BPK dalam kesimpulannya
menyampaikan bahwa Peraturan Bupati nomor 180.188/

41 Rato, Dominikus, Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan, dan


Memahami Hukum, Cetakan Keempat Belas (Surabaya: Laksbang
Justitia, 2011) hlm. 142 - 143.
42 Ibid.
43 Ibid.

162
HK-149/2005 yang mengatur tunjangan operasional
pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara
memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan Perda tentang
APBD maupun petunjuk pelaksanaan APBD. Peraturan
bupati tersebut memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan
Perda tentang APBD karena isi peraturan tersebut
dituangkan dalam pos anggaran dalam pelaksanaan Perda
tentang APBD. Dengan demikian, pelaksanaan Perda
tentang APBD dan Peraturan Bupati nomor 180.188/HK-
149/2005 tidak dapat dijadikan bukti yang bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
dijadikan dasar payung hukum untuk menghitung kerugian
keuangan negara maupun daerah.
Dalam memahami peraturan perundang-undangan,
auditor BPK,merujuk asas legalitas, peraturan yang berlaku
surut, dan menggunakan analogi. Audit investigatif BPK
menyimpulkan Peraturan Bupati nomor 180.188/HK-
149/2005, karena diberlakukan secara surut, bertentangan
dengan asas penyelenggaraan keuangan yang baik karena
dipandang telah menganggarkan secara ganda sehingga
tidak mencerminkan keuangan yang efektif dan efisien.
Analogi dilakukan dengan membandingkan Peraturan
Bupati nomor 180.188/HK-149/2005 dan Keputusan
Menteri Keuangan nomor 7/KMK.02/2003 tentang
Perjalanan Dinas Dalam Negeri bagi Pejabat Negara,
Pegawai Negeri Sipil, dan Pegawai Tidak Tetap. Berdasarkan

163
analogi tersebut, auditor BPK menyimpulkan Pemerintah
Kabupaten Kuatai Kartanegara wajib tunduk pada
Keputusan Menteri Keuangan nomor 7/KMK.02/2003.
Menurut ilmu hukum pidana, analogi tidak dibenarkan
dalam hukum pidana. Hal ini diungkapkan Praja bahwa
asas legalitas mengandung tiga pengertian, yakni tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau
belum dinyatakan dalam aturan undang-undang, dalam
menentukan perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi (qiyas), dan aturan-uturan hukum pidana tidak
berlaku surut.44 Sementara itu, dalam hukum administrai
negara menurut hukum diperkenankan berlaku surut. Ini
disampaikan Zudan Arif Fakrulloh bahwa peraturan tidak
boleh berlaku surut yang bersifat membebani, tetapi untuk
pemberian hak diperkenankan.45 Dengan demikian, auditor
BPK sepatutnya terlebih dahulu melakukan penelahaan
terhadap keputusan tata usaha negara dan keterkaitannya
dengan peraturan perundang-undangan (glede of getrapt
normstelling atau norma berjenjang).46
BPK tidak dapat serta merta mengatakan pelaksanaan
ABPD, peraturan bupati sebagai penjabaran pelaksanaan

44 Praja, H. Juhaya S., Teori Hukum dan Aplikasinya, Cetakan Pertama


(Bandung: CV Pustaka Setia, 2011) hlm. 176.
45 Putusan Perkara Pidana nomor 260/Pid.B/2010/PN.Tgr., Putusan
tanggal 6 Desember 2011, Op.cit., hlm. 73.
46 Minarno, Nur Basuki , Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana
Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah..., Op.cit., hlm. 177 -
178.

164
APBD, dan Peraturan Bupati nomor 180.188/HK-
149/2005 telah bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi jika belum dibuktikan bahwa proses pembentukan
Perda APBD dan peraturan bupati tersebut cacat prosedur
pembentukan perundang-undangan. Hadjon juga
menegaskan ditinjau dari hukum administrasi negara,
cacat yuridis keputusan tata usaha negara dan tindakan
pemerintah pada umumnya menyangkut tiga unsur
utama, yakni cacat wewenang, cacat prosedur, dan cacat
substansi.47 Dari perspektif hukum pidana, tiga ahli hukum
pidana, Indriyanto Seno Adji, Chairul Huda, dan Nyoman
Serikat Putra Jaya, menyatakan bahwa cacat substansi dan
cacat prosedur dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan
jabatan.48
Menurut Jean Rivero dan Waline (dalam Adji),
pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam hukum
administrasi dapat diartikan dalam tiga wujud berikut.
a. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
kepentingan umum atau untuk menguntungkan
kepentingan pribadi, kelompok, atau
golongan.
b. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti
tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan
untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang
47 Sadjijono, H., Bab-bab Pokok Hukum Administrasi Negara, Cetakan
II, Edisi II (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2011) hlm. 103.
48 Kalingis, O. C., Kejahatan Jabatan dalam Sistem Peradilan Terpadu,
Edisi Pertama, Cetakan Pertama (Bandung: PT Alumni, 2011) hlm.
49.

165
dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan
oleh undang-undang atau peraturan lain.
c. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti
menyalahgunakan prosedur yang seharusnya
digunakan untuk mencapai tujuan tertentu,
tetapi telah menggunakan prosedur lain agar
terlaksana.49
Bentuk ketiga yang digunakan dinamakan abuse
of procedure (atau penyalahgunaan kewenangan dalam
arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya
dipergunakan untuk mencapai tujuan tetentu, tetapi telah
menggunakan prosedur lain agar terlaksana). Inilah yang
sering dipergunakan penegak hukum untuk melakukan
kriminalisasi bentuk-bentuk perbuatan dalam ranah
kompetensi hukum administrasi negara dan hukum perdata
sebagai koruptif.50
Tindakan pemerintah dalam menjalankan
kewenangannya dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan
jabatan apabila dalam menjalankan kewenangannya
mengandung cacat wewenang, cacat prosedur, dan cacat
substansi, serta sesuai dengan konsepsi perbuatan melawan
hukum sebagaimana ditentukan dalam undang-undang
tindak pidana korupsi. Hal ini dapat dikualifikasi sebagai
perbuatan pidana murni atau fungsi positif perbuatan
49 Adji, Indriyanto Seno, ”Memahami Hukum; dari Konstruksi sampai
Implementasi”, Kumpulan Tulisan dalam Peringatan Ulang Tahun
yang ke-40 Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, S.H., M.H., Loc.Cit., hlm.
169.
50 Ibid.

166
melawan hukum. Menurut Barda Nawawi Arief (dalam
Prajdjonggo), konsepsi melawan hukum sebagaimana diatur
dalam undang-undang tindak pidana korupsi telah dikenal
dalam ilmu hukum pidana atau doktrin.
Dari berbagai pendapat tersebut dapat diidentifikasi
atau dikategorikan dua pandangan atau pemahaman sebagai
berikut.51
a. Pandangan pertama mengaitkan atau melihat makna
”material” dari sifat atau hakikat perbuatan terlarang
dalam undang-undang atau perumusan delik tertentu.
Jadi, yang dilihat atau dinilai secara material adalah
”perbuatannya”. Cara pandang demikian cukup banyak
terungkap dalam kepustakaan maupun yurisprudensi.
Misalnya, dalam buku hukum pidana kumpulan tulisan
Schaffmeister, Nico Keijzer, dan E. PH. Sutorius
dikemukakan empat makna atau pengertian sifat
melawan hukum atau SMH, yaitu SMH umum, SMH
khusus, SMH formal, dan SMH material.
1) SMH formal berarti telah dipenuhi semua bagian
yang tertulis dari rumusan delik atau semua syarat
tertulis untuk dapat dipidana.
2) SMH material berarti perbuatannya melanggar
atau membahayakan ”kepentingan hukum” yang
hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang
51 Prajdjonggo, KPHA. Tjandra Sridjadja, Sifat Melawan Hukum dalam
Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Ketiga (Jakarta: Indonesia Lawyer
Club, 2010) hlm. 174.

167
dalam rumusan delik tertentu.
b. Pandangan kedua mengaitkan atau melihat makna
”material” dari sumber hukumnya. Jadi, yang dilihat
atau dinilai secara material adalah ”sumber hukumnya”.
Menurut pandangan ini, makna atau pengertian SMH
material sebagai berikut.
1) SMH formal identik dengan melawan hukum
atau bertentangan dengan undang-undang atau
kepentingan hukum, baik perbuatan maupun akibat
yang disebut dalam undang-undang sebagai hukum
tertulis atau sumber hukum formal. ”Hukum”
diartikan sama dengan undang-undang atau wet.
SMH formal dengan demikian identik dengan
onwetmatigedaad.
2) SMH material identik dengan melawan hukum
atau bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau
hukum yang tidak tertulis, disebut juga unwitten law
atau the living law, bertentangan dengan asas-asas
kepatutan atau nilai-nilai dan norma kehidupan
sosial dalam masyarakat, termaasuk tata susila
dan hukum kebiasaan dan adat. Singkatnya,
”hukum” tidak dimaknai secara formal sebagai
wet, tetapi dimaknai secara material sebagai recht.
SMH material dengan demikian identik dengan
onrechtmatigedaad.

168
Menurut pandangan pertama, kriteria material
digunakan untuk52 (a) menilai atau memberikan penafsiran
material terhadap ”perbuatan” atau ”kepentingan hukum”
yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang
dalam perumusan delik tertentu; dan (b) menghapuskan
atau meniadakan sifat melawan hukum formal yang telah
ditetapkan dalam undang-undang sehingga SMH material
hanya digunakan dalam fungsinya yang “negatif” sebagai
alasan pembenar. Sementara itu, menurut pandangan
kedua, (a) kriteria material tidak hanya dapat digunakan
untuk menilai perbuatan yang telah ditetapkan atau
dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang, tetapi juga
terhadap perbuatan tercela lainnya di luar undang-undang
(hukum tertulis); dan (b) dimungkinkan SMH material
dalam fungsinya yang ”negatif” maupun yang positif.
Berkaitan dengan penererapan unsur melawan hukum
tersebut, Hermien Hadiati Koeswadji (dalam Prajdjonggo)
menyatakan apabila melawan hukum diartikan secara
material, peraturan ini ada manfaatnya. Namun, apabila
tidak, yang diartikan melawan hukum itu hanyalah formal,
yaitu bertentangan dengan undang-undang.53 Menurut Andi
Hamzah (dalam Prajdjonggo), pengertian luas mengenai
melawan hukum ini dianggap bertentangan dengan asas

52 Prajdjonggo, KPHA. Tjandra Sridjadja, Sifat Melawan Hukum dalam


Tindak Pidana Korupsi, Ibid. hlm. 176.
53 Prajdjonggo, KPHA. Tjandra Sridjadja, Sifat Melawan Hukum dalam
Tindak Pidana Korupsi, Ibid. hlm. 176.

169
legalitas dalam hukum pidana sehingga diterapkan secara
negatif, artinya diambil sebagai pembenar. Dengan kata
lain, perbuatan tersebut jelas sudah bertentangan dengan
undang-undang, tetapi tidak bertentangan dengan kepatutan
dan kelaziman dalam pergaulan masyarakat, seperti kasus
korupsi Machrus Efendi dan Otjo Danuatmadja.54
Di sinilah pertemuan titik singgung antara hukum
positivisme dan hukum progresif. Oleh karena itu, sudah
sepatutnya diterapkan hukum progresif oleh majelis
hakim. Ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28
Undang-Undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Hakim dalam memutus perkara harus
memperhatikan nilai-nilai yang hidup di masyarakat dan
akan lebih baik lagi jika auditor BPK dalam melaksanakan
audit investigatif juga memahami hal ini sehingga tidak
merusak stabilitas roda pemerintahan, secara khusus
pemerintahan di daerah.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Januari 1966
nomor 42 K/Kr/1966 menetapkan:
Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya
sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan
suatu ketentuan dalam perundang-undangan
melainkan juga berdasarkan azas-azas keadilan
atau azas hukum yang tidak tertulis dan bersifat
umum yang dalam hal ini terdapat tiga faktor,
yaitu 1) negara tidak dirugikan, 2) kepentingan
54 Prajdjonggo, KPHA. Tjandra Sridjadja, Sifat Melawan Hukum dalam
Tindak Pidana Korupsi, Ibid. hlm. 176.

170
umum terlayani, dan 3) terdakwa tidak mendapat
untung.55
Atas putusan Mahkamah Agung tersebut,
sesungguhnya telah diberikan payung hukum terhadap
hakim dalam menjatuhkan putusan jika ditemukan
perbuatan melawan hukum dengan cara melanggar
prosedur, melanggar substansi, tetapi negara tidak
dirugikan dan pelaku tidak memperoleh keuntungan, tetapi
memberikan keuntungan bagi kepentingan publik. Payung
hukum tersebut telah ditentukan pada Pasal 28 ayat (1)
Undang-Undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang berbunyi hakim wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
Jika dalam perspektif ilmu perundang-undangan, Perda
tentang APBD merupakan produk hukum berdasarkan
Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 jo. Undang-
Undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Jika Perda tentang APBD
harus dibatalkan, ada lembaga yang berwenang melakukan
pembatalan jika ketiga unsur tersebut dilanggar sehingga
ada kepastian hukum.
Jaksa Agung juga sependapat tentang keberadaan
lembaga khusus yang melakukan pembatalan Perda
55 Adrianto, Nico & Johansyah, Ludy Prima, Korupsi di Daerah, Modus
Operandi dan Peta Jalan Pencegahannya (Surabaya: Putra Media
Nusantara, 2010) hlm. 103.

171
tentang APBD dan mengeluarkan surat nomor B-046/A/
Fd.1/08/2008 tanggal 7 Agustus 2008 tentang Kasus
Penyalahgunaan Anggaran DPRD dan adanya Surat
Edaran Mahkamah Agung RI nomor 4 tahun 2005 yang
ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi di seluruh
Indonesia. Poin 2 surat edaran tersebut menyebutkan;
bahwa kebijakan kolektif berupa produk legislatif
yang merupakan kesepakatan dari pemegang
kedaulatan rakyat dalam menetapkan anggaran
dengan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan
Daerah tentang APBD tidak dapat diuji oleh
Yudikatif, kecuali melalui instrumen yudisial
review karena kebijakan tersebut berupa perkiraan
pendapatan dan belanja daerah yang belum sampai
pada tahap penggunaan secara material keuangan
negara.56

2. Keabsahan Pelaksanaan Perda tentang APBD


a. Kualifikasi Cacat Wewenang dalam Menerbitkan
Peraturan Bupati Kutai Kartanegara
Asas larangan menyalahgunakan wewenang dalam
istilah bahasa Perancis disebut d’etournament de pouvair
yang memiliki makna suatu kewenangan yang diberikan
oleh undang-undang harus dipergunakan sesuai dengan
maksud dan tujuan pemberian wewenang tersebut.57 Jika
56 Surat Edaran Jaksa Agung nomor B-046/A/Fd.1/08/2008 tanggal 7
Agustus 2008 tentang Kasus Penyalahgunaan Anggaran DPRD dan
Surat Edaran Mahkamah Agung RI nomor 4 tahun 2005.
57 Marbun, S. F., Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi
di Indonesia, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1997)
hlm. 370.

172
wewenang itu dipergunakan lain dari maksud dan tujuan
semula diberikannya wewenang tersebut, penggunaan
wewenang yang disalahgunakan itu disebut d’etournament
de pouvair.58
Dalam pelaksanaan APBD, seluruh satuan kerja
perangkat daerah wajib mengacu pada pos mata anggaran
yang telah disahkan antara eksekutif dan legislatif.
Menurut Sadjijono, keabsahan wewenang merupakan
syarat yang harus dipenuhi dalam tindakan pemerintahan
harus didasarkan pada norma wewenang yang diterimanya,
baik yang diperolehnya secara atribusi, delegasi, maupun
mandat.59 Wewenang atribusi lazimnya bersumber dari
peraturan perundang-undang, sedangkan wewenang
delegasi dan mandat merupakan kewenangan yang berasal
dari pelimpahan.
Satuan kerja perangkat daerah, dalam hal ini Sekwan
Kabupaten Kutai Kartanegara, memperoleh kewenangan
dengan cara delegasi dari bupati untuk mengelola keuangan
pada DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara periode anggaran
tahun 2005. Dalam pelaksanaan APBD, Sekwan maupun
58 Penjelasan Pasal 53 ayat (2) UU nomor 5 tahun 1986 menentukan
dasar pembelaan ini sering disebut “penyalahgunaan wewenang”.
Setiap penentuan norma-norma hukum di dalam peraturan itu tentu
dengan tujuan dan maksud tertentu. Oleh karena itu, penerapan
ketentuan tersebut harus selalu sesuai dengan tujuan dan maksud
khusus diadakannya peraturan yang bersangkutan. Dengan demikian,
peraturan yang bersangkutan tidak dibenarkan untuk diterapkan guna
mencapai hal-hal yang di luar maksud tersebut.
59 Sadjijono, H., Bab-bab Pokok Hukum Administrasi (Yogyakarta:
LaksBang Pressindo, 2011) hlm. 103.

173
seluruh anggota DPRD Kabupaten Kuatai Kartanegara
telah mengacu pada pos mata anggaran APBD tahun
2005 setelah Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara
mendelegasikan kepada Sekwan sebagai satuan kerja
perangkat daerah yang mengelola keuangan pimpinan dan
anggota DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara periode
2004 - 2009.
Temuan dalam audit investigatif atas Peraturan Bupati
nomor 180.188/HK-149/2005 yang mengatur tunjangan
operasional pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten
Kutai Kartanegara yang menyatakan bertentangan bukan
menjadi tugas dan tanggung jawab BPK dalam menilai
peraturan daerah. Peraturan bupati yang mengatur tentang
tunjangan operasional secara prosedur penganggaran telah
melalui tahapan dan telah masuk dalam pos anggaran tahun
2005 dan telah disahkan secara bersama antara eksekutif
dan legislatif. Demikian juga, Sekwan selaku satuan kerja
perangkat daerah untuk mengelola keuangan legislatif
Kabupaten Kutai Kartanegara periode anggaran tahun
2005 telah mengeluarkan berdasarkan pos mata anggaran.

b. Kualifikasi Cacat Prosedur dalam Pelaksanaan


APBD dan Peraturan Bupati Kutai Kartanegara
Proses pengeluaran dana satuan kerja perangkat daerah
telah mengacu pada jadwal kegiatan dan program kegiatan
yang telah ditetapkan Ketua DPRD Kutai Kartanegara

174
untuk tahun anggaran APBD tahun 2005. Kesimpulan
audit investigatif BPK yang menyimpulkan 11 anggota
DPRD tidak melaksanakan kegiatan pelatihan Pilkada
di Jakarta, tetapi tetap dilakukan pembayaran, padahal
dokumentasi pelaksanaan ada pada panitia pelaksana teknis
kegiatan.
Hal ini terjadi karena auditor BPK tidak melakukan
konfirmasi dan tidak memberikan laporan hasil pemeriksaan
keuangan kepada PPTK, Pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara (eksekutif), dan 11 anggota DPRD dan
legislatif secara keseluruhan. Hal ini sangat bertentangan
dengan kebenaran auditing sebagaimana disampaikan
Agoes & Hoesada bahwa kebenaran dalam auditing adalah
konformitas dengan realitas.60 Dengan demikian, LHP
BPK tidak dapat dijadikan bukti sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 184 KUHAP sebagai dasar menghitung
kerugian negara.

c. Kualifikasi Cacat Substansi dalam Pelaksanaan


APBD dan Peraturan Bupati Kutai
Kartanegara
Proses pengeluaran dana satuan kerja perangkat
daerah telah mengacu pada pos anggaran Kabupaten Kutai
Kartanegara dan tidak melebihi ataupun kurang dalam
pelaksanaan realisasi APBD. Dalam prinsip realisasi,
60 Agoes, Sukrisno & Hoesada, Jan, Bunga Rampai Auditing (Jakarta:
Salemba Empat, 2009) hlm. 20.

175
pendapatan yang tersedia yang telah diotorisasi melalui
anggaran pemerintah selama satu tahun fiskal akan
digunakan untuk membayar utang dan belanja dalam periode
tersebut.61 Anggaran APBD Kabupaten Kutai Kartanegara
telah mengadopsi prinsip realisasi ke dalam Perda tentang
APBD tahun 2005. Dengan demikian, satuan kerja
perangkat daerah dalam pelaksanaan telah mengacu pada
substansi yang telah ditetapkan dalam Perda tentang ABPD
tahun 2005 Kabupaten Kutai Kartanegara.
Satuan kerja perangkat daerah telah mengacu
pada jadwal kegiatan dan program kegiatan yang telah
ditetapkan Ketua DPRD Kutai Kartanegara untuk
tahun anggaran APBD tahun 2005. Kesimpulan audit
investigatif BPK yang menyimpulkan 11 anggota DPRD
tidak melaksanakan kegiatan pelatihan Pilkada di Jakarta,
tetapi tetap dilakukan pembayaran oleh bendahara, padahal
dokumentasi pelaksanaan ada pada panitia pelaksana teknis
kegiatan.
Hal ini terjadi karena auditor BPK tidak melakukan
konfirmasi dan tidak memberikan laporan hasil pemeriksaan
keuangan kepada PPTK, Pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara (eksekutif), dan 11 anggota DPRD dan
legislatif secara keseluruhan. Hal ini sangat bertentangan
dengan kebenaran auditing sebagaimana disampaikan

61 Nordiawan, Dedi, dkk., Akuntansi Pemerintahan (Jakarta: Salemba


Empat, 2009) hlm. 133.

176
Agoes & Hoesada bahwa kebenaran dalam auditing
adalah konformitas dengan realitas62 sehingga LHP BPK
tidak memenuhi syarat dipergunakan sebagai bukti. Ini
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP sebagai
dasar menghitung kerugian negara karena tidak memenuhi
standar yang diatur dalam Peraturan BPK nomor 1
tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara dan menyatakan satuan kerja perangkat daerah
bersama bendahara memperkaya diri sendiri dan orang lain
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 maupun Pasal 3 UU
nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

E. Peraturan Daerah tentang ABPD yang Dianggap


Koruptif
Untuk memperoleh bukti yang objektif harus dikaji
interdisipliner ilmu, yakni hukum, akuntansi, dan auditing.
Kajian interdisiplin ilmu akan menghasilkan beberapa
potensi bukti yang merupakan persinggungan antara
hukum, akuntansi, dan auditing melalui konversi. Konversi
tersebut akan menghasilkan bukti sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 184 KUHAP. Persinggungan interdisiplin ilmu
melalui konversi akan menghasilkan bukti-bukti berikut.
1. Hasil titik singgung antara hukum, akuntansi, dan
auditing melalui konversi menghasilkan bukti atas
62 Agoes, Sukrisno & Hoesada, Jan, Bunga Rampai Auditing (Jakarta:
Salemba Empat, 2009) hlm. 20.

177
laporan hasil pemeriksaan BPK yang masuk ranah
perbuatan melawan hukum murni.
2. Hasil titik singgung antara hukum, akuntansi, dan
auditing melalui konversi menghasilkan bukti atas
laporan hasil pemeriksaan BPK yang masuk ranah
perbuatan melawan hukum bersifat negatif.
3. Hasil titik singgung antara hukum, akuntansi, dan
auditing melalui konversi menghasilkan bukti atas
laporan hasil pemeriksaan BPK yang masuk ranah
hukum administrasi negara.
4. Hasil titik singgung antara hukum, akuntansi, dan
auditing melalui konversi menghasilkan bukti atas
laporan hasil pemeriksaan BPK masuk ranah ilmu
perundang-undangan.
5. Hasil titik antara hukum, akuntansi, dan auditing
melalui konversi menghasilkan bukti atas laporan
hasil pemeriksaan BPK dan tidak menghasilkan titik
persinggungan (nihil).
Hasil titik singgung antara hukum, akuntansi, dan
auditing melalui konversi pada angka pertama hingga angka
keempat telah dibahas, termasuk konsekuensi hukumnya,
pada pembahasan terdahulu. Pembahasan pada angka
kelima tidak terdapat titik persinggungan antara hukum,
akuntansi, dan auditing karena satuan kerja perangkat
daerah (SKPD) telah melaksanakan APBD sesuai dengan
ketentuan dalam APBD berdasarkan pos mata anggaran,

178
tetapi tetap dianggap bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan.
Kesimpulan audit investigatif BPK menentukan
telah terjadi penganggaran secara ganda sehingga dianggap
merugikan kerugian negara walaupun pembentukan
peraturan daerah tentang APBD telah memenuhi syarat-
syarat yang diatur dalam ketentuan pembentukan peraturan
perundang-undangan, baik syarat formal maupun syarat
material. Namun, itu tetap diangap bertentangan dengan
ketentuan perundang-undangan dengan argumentasi ada
beberapa pos anggaran yang ganda sehingga peraturan
daerah ini dikualifikasi koruptif.
Di pihak lain, pelaksanaan APBD harus dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan agar ada kepastian hukum.
Menurut van Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua
segi. Pertama, dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum
dalam hal-hal yang konkret. Pihak-pihak yang mencari
keadilan ingin mengetahui apakah yang menjadi hukum
dalam hal yang khusus63 sebelum memulai perkara. Kedua,
63 Roscoe Pound menamakannya predictability sebagai suatu pandangan
yang menurut beliau tercantum dalam hampir tiap-tiap definisi hukum
(My Philosophy of Law, hlm. 249). Para ahli hukum Amerika dari apa
yang disebut madzhab “realistis” biasanya mengikuti definisi hukum
yang diberikan oleh Oliver Wendell Holmes yang menyatakan the
prophecies of what the courts will do in fact and nothing more pretentious
are what I mean by the law. Itu adalah definisi yang sangat bersifat
sepihak - sebagaimana dikatakan Holmes - diberikan dari sudut bad
man yang menanyakan apa yang dapat diperbuatnya dan hingga mana
ia dapat bertindak dengan tidak mendapat hukuman, atau dengan
tidak dapat dibatalkan oleh hakim.

179
kepastian hukum berarti keamanan hukum. Artinya,
perlindungan bagi pihak terhadap kesewenang-wenangan
hakim.64 Dengan demikian, di antara kedua pandangan itu
terdapat hubungan yang erat.
Pendapat ini menjadi dasar pejabat negara, dalam hal ini
SKPD maupun PPTK, dalam menjalankan tugasnya. Hal
ini juga sejalan dengan pendapat Stephen Leacock (dalam
Triwulan T. & Widodo) bahwa pejabat yang menjalankan
perintah undang-undang selayaknya tidak dapat dipidana.
Ini sebagaimana dijelaskan bahwa kekuasaan eksekutif
adalah kekuasaan mengenai pelaksanaan undang-undang.
Tugas utama eksekutif tidak mempertimbangkan, tetapi
melaksanakan undang-undang yang ditetapkan oleh badan
legislatif.65

1. Pertanggungjawaban Hukum Pelaksana ABPD


yang Dianggap Koruptif dalam Perspektif
Perbuatan Melawan Hukum
Menurut E. H. Sutherland, kriminologi adalah
sperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan
sebagai fenomena sosial, termasuk proses pembuatan
undang-undang, pelanggaran undang-undang, dan reaksi

64 Van Apeldoorn, L. J., Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Ketiga Puluh


Empat, Penerjemah Oetarid Sadino (Jakarta: PT Balai Pustaka
Persero, 2011) hlm. 117.
65 Triwulan T., Titik & Widodo, H. Ismu Gunadi, Hukum Tata Negara
dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia…, Loc.cit.,
hlm. 107.

180
terhadap pelanggaran undang-undang.66 Pelaksanaan
APBD Kabupaten Kutai Kartanegara telah dilaksanakan
satuan kerja perangkat daerah dan pejabat pelaksana
teknis kegiatan sesuai dengan ketentuan dalam APBD
melalui pos-pos anggaran. Namun, itu tetap dianggap
sebagai suatu perbuatan ilegal (perbuatan melawan hukum)
yang kemudian dilegalkan melalui peraturan daerah
dan dikualifikasi sebagai perbuatan tindak pidana yang
merugikan keuangan negara menurut kesimpulan audit
investigatif BPK terhadap pelaksanaan APBD tahun 2005
Kabupaten Kutai Kartanegara.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) tercantum pasal-pasal mengenai tindak pidana yang
dikualifikasi sebagai kejahatan dalam Buku II KUHP yang
memuat unsur kesalahan, sedangkan pelanggaran dalam
Buku III KUHP tidak memuat unsur-unsur kesalahan,
baik berupa opzet (kesengajaan) maupun culpa (kelalaian).
Dalam perumusan pasal-pasal tentang pelanggaran dalam
Buku III KUHP tidak akan ditemukan suatu perumusan
tentang kesalahan, baik kesengajaan maupun kelalaian,
yang kemudian menimbulkan suatu pandangan klasik
tentang ”materiele feit” atau perbuatan material. Artinya,
pertanggungjawaban dari pelaku karena melakukan
pelanggaran meskipun tanpa adanya kesalahan.67
66 Susanto, I. S., Kriminologi, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Genta
Publishing, Tt.) hlm. 1.
67 Adji, Indriyanto Seno, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum
Pidana, Cetakan Ketiga (Jakarta: CV Diadit Media, Tt.) hlm. 98.

181
Menurut paham ini, seseorang dapat dihukum pidana
karena melakukan suatu pelanggaran meskipun tanpa adanya
suatu kesalahan apapun. Pendapat ini banyak mendapat
tanggapan maupun reaksi dari kalangan pengamat hukum
yang menyatakan tidak adil dan tidak mungkin seseorang
dihukum tanpa adanya suatu kesalahan sedikitpun. Paham
yang menentang pendapat ”materiele feit” ini dikenal dengan
pandangan yang menyatakan ”geen straf zonder schuld” atau
”tiada pidana tanpa kesalahan”. Pandangan atau paham ini
telah menggeser pandangan ”materiele feit”.68
Satuan kerja perangkat daerah (SKPD), pejabat
pelaksana teknis kegiatan (PPTK), maupun pejabat yang
melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam APBD
maupun karena perintah atasan sudah selayaknya tidak dapat
dipidana. Hal ini juga telah diatur dalam pasal 50 KUHP
menentukan yang barangsiapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan ketentuan perundang-undangan tidak dapat
dipidana.
Selain itu, dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP juga
dijelaskan barangsiapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan perintah jabatan yang diberi oleh penguasa
yang berwenang tidak dipidana. Namun, dalam praktiknya,
pelaksanaan APBD yang telah sesuai dengan ketentuan
dalam APBD melalui berbagai SKPD pada pemerintah
daerah sering menjadi tersangka, bahkan hingga terpidana,
68 Ibid.

182
meskipun telah melaksanakan tugas dan tanggung jawab
sesuai dengan ketentuan maupun atas perintah atasan.
Pergeseran atas pandangan ”materiele feit” ini dimulai
dengan adanya ”Water en Melk Arrest” dari Hoge Raad tanggal
14 Februari 1916. Di Belanda terdapat suatu aturan, yakni
Pasal 303 a Pol Verod Amsterdam yang menentukan antara
lain dilarang menjual, melever, atau mempunyai persediaan
untuk dilever, susu dengan nama susu murni (volle melk)
jika di situ ditambahkan atau dihilangkan”.69 Ancaman
yang dikenakan adalah pidana 6 hari kurungan atau denda
F. 20. Peristiwanya telah melibatkan dua orang sekaligus,
yakni majikan (pengusaha susu) dan pesuruh (pembantu
yang mengedarkan susu kepada pelanggan). Majikan
didakwa sebagai pihak yang menyuruh dan pembantu atau
pesuruh sebagai pihak yang menyerahkan susu dicampur
air kepada pelanggan, sedangkan pesuruh tidak mengetahui
keberadaan susu yang telah dicampur air sehingga kedua
orang tersebut dikenakan Pasal 344 Pol. Verod jo. Pasal 55
KUHP Belanda.
Pada peradilan tingkat pertama dari Kantonrechter,
majikan maupun pesuruh, dihukum bersalah. Majikan
sebagai pihak yang menyuruh mengedarkan susu
yang dicampur air dan pesuruh sebagai pihak yang
mengedarkan atau menyerahkan susu yang dicampur
dengan air. Selanjutnya, pada tingkat pengadilan banding,
69 Adji, Indriyanto Seno, Ibid., hlm. 99.

183
Pengadilan Arrondissements-Rechtbank di Amsterdam telah
membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dengan
keputusan sebagai berikut.
a. Si pembantu atau pesuruh yang mengedarkan
susu kepada para langganannya itu telah
dibebaskan dari dakwaan karena dianggap tidak
tahu-menahu mengenai adanya campuran susu
dengan air.
b. Namun, si majikan dijatuhi hukuman sebagai
Doen Pleger (pihak yang menyuruh berbuat)
agar si pesuruh atau pembantu mengedarkan
susu yang telah dicampur.70
Doen Pleger, sebagaimana tercantum dalam Pasal 55
ayat (1) KUHP, berarti ia dapat dihukum apabila majikan
melakukan suatu pembujukan (uitlokker) sehingga pihak
yang dibujuk pun dapat dihukum. Majikan (pengusaha)
melalui Kejaksaan mengajukan kasasi kepada Hoge Raad
(Mahkamah Agung Belanda) dengan mengemukakan alasan
bahwa si pembantu juga dapat dihukum karena peraturan
yang dilanggar (Pasal 344 Vol. Verod) tidak mensyaratkan
adanya kesalahan. Namun, Hoge Raad menolak kasasi dari
majikan dan berpendapat sudah benar bahwa pembantu
tidak dapat dihukum karena tidak ada kesalahan padanya.
Kesalahan tersebut menjelaskan majikan memilih
pemahaman tentang ”materiele feit” dengan menyatakan
bahwa peraturan yang dilanggar tidak mensyaratkan adanya
suatu kesalahan, dalam arti dengan pelanggaran pun sudah
70 Adji, Indriyanto Seno, Ibid., hlm. 100.

184
barang tentu pembantu sudah dapat dihukum. Sebaliknya,
Hoge Raad dengan pemahaman ”geen straf zonder schuld”
telah menolak alasan kasasi tersebut dan menekankan
bahwa tidaklah mungkin menghukum si pembantu tanpa
adanya suatu kesalahan sedikit pun.
Hal ini juga sesuai dengan teori kehendak bahwa
SKPD tidak memehuhi syarat yang terdapat dalam teori
kehendak. Berdasarkan teori kehendak (wilstheorie),
kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada
terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam undang-
undang (wet). Menurut teori pengetahuan, kesengajaan
adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-
unsur yang diperlukan menurut rumusan. Kesengajaan
dapat dijumpai dalam Weatboek van Strafecht 1809, yaitu
kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau
tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau
diharuskan oleh undang-undang.71
Menurut Memorie van Toelichting (M.v.T), unsur
kesengajaan meliputi willens en wetens (menghendaki atau
mengetahui).72 Hoge Raad mengartikan perkataan willens
atau menghendaki sebagai kehendak untuk melakukan
suatu perbuatan tertentu dan wetens atau mengetahui
diartikan sebagai mengetahui atau dapat mengetahui bahwa
perbuatan tersebut dapat menimbulkan akibat sebagaimana

71 Op.cit. hlm. 22.


72 Ibid., hlm. 23.

185
dikehendaki. Dengan demikian, inti dari opzet (kesengajaan)
adalah willens en wettens atau kehendak dan kesadaran
seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja harus
menghendaki perbuatannya.
Pembuatan peraturan daearah tentang APBD yang
dianggap BPK bertentangan dengan ketentuan perundang-
undangan tidak melibatkan SKPD dalam proses
pembuatannya. Hal ini juga sama dengan pembantu yang
mengantar susu yang sudah dicampur dengan air juga tidak
mengetahui proses pencampuran airnya sehingga sudah
patut menurut hukum tidak dapat dipidana. Selain itu,
harus pula disadari atau dimengerti akibat dari perbuatan
itu. Dengan demikian, kesengajaan adalah melaksanakan
suatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk
berbuat atau bertindak.
Untuk menentukan suatu perbuatan serta akibat
perbuatan itu dapat dikehendaki atau tidak dikenal dua
macam teori, yaitu teori kehendak (wilstheorie) dan teori
pengetahuan (voorstellingstheorie).73 Berdasarkan kedua
teori ini, satuan kerja perangkat daerah tidak memiliki
kehendak untuk memperkaya 40 anggota dan pimpinan
DPRD dan juga tidak memiliki kapasitas untuk menyusun
Perda APBD untuk memperkaya DPRD. Ini sama halnya
dengan pengantar susu tidak berpengetahuan maupun ada
kehendak untuk mencampur susu dengan air untuk menipu
73 Ibid.

186
orang.
Sejak adanya ”Water en Melk Arrest” ini, mulai
dikenal asas ”geen straf zonder schuld” sebagai suatu ajaran
baru yang meninggalkan asas ”materiele feit” yang lama.
Asas ”geen straf zonder schuld” atau dikenal dengan asas
”Afwezigheid Van Alle Schuld” (AVAS) merupakan alasan
penghapus kesalahan. Ini merupakan alasan penghapus
yang timbul dari luar undang-undang atau dikembangkan
melalui ilmu hukum dan yurisprudensi.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, asas ”geen straf
zonder schuld” sesuai dengan prinsip tujuan hukum
pidana, yaitu mencapai rasa objektivitas dan rasa keadilan
bagi masyarakat. Wirjono Prodjodikoro menyampaikan
pandangan berikut.74
”Bagi saya adalah sangat menarik pertimbangan
dari Hoge Raad yang pada akhirnya memajukan
”rechtgevoel” atau ”rasa keadilan” sebagai alasan
untuk mengganggap berlakunya prinsip ”tiada
hukuman tanpa kesalahan”. Ini cocok dengan sikap
saya pada umumnya dalam meninjau hukum pada
umumnya.
Dalam pelaksanaan APBD tahun 2005 Pemerintah
Kabupaten Kutai Kartanegara, SKPD telah menjalankan
APBD sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam
APBD. Namun, penyidik pada Polda Kalimantan
Timur dan Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur tetap

74 Adji, Indriyanto Seno, Ibid., hlm. 101.

187
berpandangan telah terjadi tindak pidana korupsi yang
merugikan keuangan negara. Berdasarkan asas ”geen straf
zonder schuld”, seharusnya terlebih dahulu diuji peraturan
daerah yang dihasilkan legislatif apakah benar bersifat
koruptif, apa indikator koruptif, dan media apa yang
akan dipergunakan untuk membatalkan peraturan daerah
yang koruptif sebelum mengadili pelaksana APBD selaku
pelaksana undang-undang maupun karena diperintah
atasannya.

2. Pertanggungjawaban Hukum Pembuat Peraturan


Daerah tentang ABPD yang Dianggap Koruptif
dalam Perspektif Perbuatan Melawan Hukum
Secara umum, ”strafbaar feit” (delict) atau tindak pidana
perumusannya adalah perbuatan orang yang diancam pidana,
perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu
kesalahan, dan pelakunya dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Berkaitan dengan strafbaar feit atau delict,
Jonkers dan Utrecht memandang rumusan dari Simons
yang dianggap merupakan rumusan yang lengkap.
Rumusan tersebut meliputi suatu perbuatan yang diancam
dengan pidana oleh hukum, bertentangan dengan hukum,
dilakukan oleh orang yang bersalah, dan orang itu dipandang
bertanggung jawab atas perbuatannya.75
Berkaitan dengan peraturan daerah tentang APBD
yang koruptif dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban
75 Adji, Indriyanto Seno, Ibid., hlm. 156 - 157.

188
pidana, seseorang dapat dilepaskan dari segala tuntutan
hukum apabila perbuatannya tidak melawan hukum
secara material meskipun perbuatan itu melawan hukum
secara formal, tetapi pengertian melawan hukum secara
material harus diartikan secara negatif. Dengan demikian,
sifat melawan hukum secara negatif hanya dipergunakan
berkaitan dengan alasan untuk menghapuskan tindak
pidana yang berada di luar KUHP.
Menurut C. H. Enschede dan A. Heijder, pengakuan
adanya sifat melawan hukum dengan mengaitkan kaidah
material dari suatu tindak pidana tegasnya dinyatakan
sebagai berikut. 76
”Bila kita bertanya, apakah seseorang telah
berkelakuan melawan hukum, maka kita bertanya,
apakah kelakuannya itu adalah sesuai ataukah
bertentangan dengan kaidah material yang berlaku
umum, jadi dengan suatu kaidah material, yang
ditujukan kepadanya. Karena menurut sifatnya,
tidak ada artinya untuk menghukum kelakuan yang
tidak melawan hukum (hukum pidana adalah hanya
suatu hukum sanksi), maka melawan hukum dari
kelakuan itu adalah syarat untuk dapat dipidana
si pelaku itu. Walaupun seolah-olah kelihatannya
kebalikannya, tidak selalu ada sifat melawan
hukum apabila perumusan dari tindak pidana telah
terpenuhi”.
Adji menarik kesimpulan dari pernyataan C. H.
Enschede dan A. Heijder bahwa seseorang tidak perlu
76 Adji, Indriyanto Seno, Ibid., hlm. 30.

189
dikenakan pidana meskipun persyaratan pelanggaran
terhadap delik telah terpenuhi apabila perbuatannya
tidak mengandung sifat melawan hukum material.
Sebaliknya, apabila suatu perbuatan yang dipandang
formal tidak melawan hukum (tidak melanggar ketentuan
undang-undang), tetapi dipandang tercela atau materi
perbuatannya melawan hukum, itu merupakan syarat pula
untuk mengenakan sanksi pidana pada pelaku. Meskipun
demikian, hal ini tidak dapat diberlakukan secara umum
mengingat adanya keterbatasan asas legalitas yang melekat
pada hukum pidana.
Adanya suatu garis baru yang diakui secara akademis
dari C. H. Enschede dan A. Heijder mengenai kaidah
material dari sifat melawan hukum selanjutnya dikenal
dengan ”materiele wenderechtelijkheid” dengan fungsi
negatif. Perkembangan adanya penerimaan pandangan
tentang ajaran perbuatan melawan hukum material hanya
terbatas dan dikaitkan dengan dengan persoalan mengenai
alasan-alasan yang menghapuskan tindak pidana di luar
perundang-undangan (tertulis) dari perbuatan pelaku.
Dengan demikian, hanya diperkenankan adanya sifat
melwan hukum material dengan mempergunakan fungsi
negatifnya mengingat adanya suatu adigium dalam hukum
pidana mengenai asas legalitas (principle of legality).
Dengan alasan tersebut sebagian besar pihak, baik
ahli hukum pidana dari kalangan akademisi maupun

190
praktisi, hingga kini mengharapkan ajaran perbuatan
melawan hukum material tidak dapat dipergunakan dalam
fungsi positifnya. Artinya, apabila perbuatan dari pelaku
ternyata tidak memenuhi rumusan deliknya atau tidak
ada pelanggaran terhadap peraturan tertulisnya ataupun
bila perbuatannya tidak ada pengeturannya dalam undang-
undang, sehingga perbuatan formalnya tidak dikualifikasi
wenderrechtelijk meskipun material perbuatannya melawan
hukum ataupun dipandang tercela, pelaku tidak dapat
dikenakan pidana.
Peraturan daerah tentang APBD yang dianggap
koruptif sangat beralasan menurut hukum untuk tidak
dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum yang
bersifat positif apabila peraturan daerah dianggap koruptif
dapat diawasi dan dibatalkan sebelum disahkan dan dicatat
dalam lembaran daerah. Pengawasan terhadap peraturan
daerah tentang APBD dapat diawasi melalui executive review
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 186 Undang-Undang
nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Undang-
Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah. Dalam pasal tersebut dikenal pengawasan represif
untuk mengevaluasi Raperda dan Peraturan Kepala daerah
tentang APBD.
Selain itu, ketentuan Pasal 39 Peraturan Pemerintah
nomor 79 tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

191
telah menentukan kewenangan Menteri Dalam Negeri
dan Gubernur untuk mengevaluasi rancangan peraturan
daerah dan peraturan kepala daerah. Hal ini juga telah
diatur dalam Pasal 41 tentang prosedur keberatan terhadap
pembatalan peraturan daerah, termasuk Perda tentang
APBD. Pembatalan peraturan daerah yang telah dibatalkan
Mendagri sejak tahun 2002 hingga tahun 2006 telah
dilakukan pembatalan sebanyak 554 Perda.77
Selain pembatalan melalui executive review, pembatalan
peraturan daerah dapat juga melalui judicial review melalui
peran serta masyarakat. Menurut Paulus Effendi Lotulung
(dalam Huda), dalam rangka judicial review, hakim berhak
melarang dan membatalkan tindakan-tindakan pemerintah
yang:78
a. dilakukan secara sewenang-wenang (arbitrary),
semau-maunya dan berganti-ganti (capricous),
penyalahgunaan wewenang diskresioner (abuse
of discretion), dan tindakan lain yang tidak
sesuai dengan hukum;
b. bertentangan dengan hak-hak konstitusional,
bertentangan dengan wewenang atau kekuasaan,
previlege atau imunitas;
c. melampaui batas wewenang yang telah
ditentukan undang-undang atau tidak
didasarkan pada suatu hak apapun;
d. dilakukan tanpa memperhatikan atau menuruti
prosedur yang telah ditentukan dalam hukum;
77 Huda, Ni’matul, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, Cetakan
Pertama (Yogyakarta: UII Prss, 2010) hlm. 156.
78 Huda, Ni’matul, Ibid., hlm. 77.

192
dan
e. tidak didukung oleh kebenaran dalam fakta-
fakta persoalan yang bersangkutan yang
merupakan suatu ”substansial evidence” dalam
tindakan pemerintahan tersebut.
Dengan adanya pengawasan peraturan daerah bersifat
executive review maupun judicial review dengan sendirinya
telah ada solusi yang paling relevan dan memiliki batasan
yang jelas atas peraturan daerah yang dianggap bersifat
koruptif. Jika pengawasan dipergunakan dengan pendekatan
sifat melawan hukum secara positif, selain melanggar asas
legalitas juga akan bertentangan dengan asas kepastian
hukum sebagaimana disampaikan van Apeldoorn.
Dengan pembatalan peraturan daerah, baik melalui
judicial review maupun executive review peraturan daerah
tersebut tidak sah. Menurut Marbun & Mahfud M. D.,
pernyataan tidak sahnya suatu peraturan perundang-
undangan berdasarkan hasil hak uji belum berarti pencabutan
secara otomatis bagi peraturan itu. Pencabutannya hanya
dapat dilakukan oleh instansi yang mengeluarkan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan.79
Setelah dinyatakan tidak sah melalui hasil hak
uji (judicial review), tetapi instansi yang mengeluarkan
menolak untuk mencabut peraturan yang dinyatakan tidak
sah serta tetap masih mempergunakan peraturan daerah
79 Marbun, S. F. & Mahfud MD, Moh., Pokok-pokok Hukum Administrasi
Negara, Cetakan Kelima (Yogyakarta: Liberty, Tt.) hlm. 37.

193
yang dibatalkan, saat inilah dapat dikualifikasi perbuatan
melawan hukum. Peraturan daerah tentang APBD yang
dinyatakan tidak sah, tetapi eksekutif dan legislatif tetap
tidak mencabut dan masih mempergunakan sebagai dasar
pembiayaan, itu dikualifikasi sebagai perbuatan melawan
hukum yang dapat merugikan keuangan negara.

F. Kedudukan Standar Pemeriksaan Keuangan


Negara dalam Mengidentifikasi Bukti Melalui
Audit Investigatif
Menurut Adami Chazawi, auditor yang dilibatkan
dalam pembuktian perkara korupsi menghasilkan dua alat
bukti. Pertama, bahan tulisan yang berupa laporan audit
investigasi merupakan alat bukti surat seperti laporan visum
et repertum oleh dokter forensik atau rumah sakit. Kedua,
alat bukti keterangan ahli apabila auditor memberikan
keterangan ahli, baik dalam penyidikan di hadapan
penyididik maupun dalam sidang pengadilan, terutama di
depan hakim karena hasil atau isi alat bukti akan bernilai
dalam pembuktian jika didapat atau diberikan di hadapan
hakim di sidang pengadilan.80
Untuk memperoleh bukti surat yang akan dituangkan
melalui laporan hasil pemeriksaan BPK ditetapkan tata cara
80 Kajian terhadap Putusan MA nomor 995/PID/2005. Kompasiana,
Peran Laporan Audit Investigasi dalam Hal Menentukan Kerugian
Negara dalam Perkara Korupsi (online), http://politik.kompasiana.
com/2010/01/29/peran-laporan-audit-investigasi-dalam-hal-
menentukankerugian-negara-dalam-perkara-korupsi/.

194
memperoleh bukti tersebut melalui standar pemeriksaan
keuangan negara yang telah diatur dalam Peraturan BPK
nomor 1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara yang merupakan payung hukum dalam
melaksanakan pemeriksaan keuangan negara, baik untuk
pemeriksaan laporan keuangan untuk menghasilkan
opini, pemeriksaan kinerja yang menghasilkan kesimpulan
dan rekomendasi, maupun audit tujuan tertentu yang
menghasilkan kesimpulan saja. Apabila ada dugaan tindak
pidana, BPK segera melaporkan kepada penyidik dan
laporan BPK akan dijadikan penyidik sebagai bukti awal
untuk mendalami lebih lanjut. Ketentuan inilah yang
menjadi pedoman auditor BPK untuk memperoleh bukti
yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Bukti awal akan dipergunakan penyidik untuk
menindaklanjuti kebenaran bukti yang dihasilkan oleh
auditor BPK melalui kesimpulan yang diterbitkan dalam
laporan hasil pemeriksaan (LHP) atau audit investigatif.
Untuk memperoleh bukti yang benar dan sah menurut
hukum sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 183
KUHP disusunlah standar pemeriksaan keuangan negara
sebagai standar yang dipergunakan oleh seluruh auditor
BPK maupun akuntan publik yang bekerja untuk dan atas
nama BPK.
Menurut Agoes & Hoesada, kebenaran dalam
auditing adalah konformitas dengan realitas. Berbagai bukti

195
berlainan dapat saling menunjang atau saling memperkuat
menuju (atau memaksa) suatu keputusan audit yang tidak
dapat diingkari (dibantah atau direkayasa) oleh auditor.81
Pada kasus lain, berbagai bukti berlawanan bermunculan
membutuhkan pertimbangan dan keputusan profesional
yang lebih sulit dan berat bagi auditor sehingga berpotensi
menimbulkan tuntutan hukum dari pihak yang dirugikan.
Dalam kasus ini, aporan hasil pemeriksaan yang
dilakukan melalui audit investigatif tidak pernah melakukan
konfirmasi terhadap auditee oleh BPK, baik kepada
tersangka maupun terhadap Pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara. Dengan demikian, bukti berupa laporan hasil
pemeriksaan keuangan Kabupaten Kutai Kartanegara tidak
memenuhi ketentuan hukum sebagai bukti. Hal ini sesuai
dengan pendapat Agoes & Hoesada bahwa kebenaran dalam
auditing adalah konformitas dengan realitas.

G. Kedudukan Hukum Laporan Hasil Pemeriksaan


Keuangan BPK dalam Lapangan Hukum
Dalam melakukan audit investigatif, BPK
mempergunakan Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007
tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Menurut
Astawa, mengapa standar pemeriksaan keuangan sudah ada,
tetapi jika audit keuangan pemerintah dilakukan auditor
yang berbeda, hasilnya berpotensi berbeda.
81 Agoes, Sukrisno & Hoesada, Jan, Bunga Rampai Auditing (Jakarta:
Salemba Empat, 2009) hlm. 20.

196
Dalam pelaksanaan audit investigatif, jika pelaksanaan
tidak sesuai dengan peosedur yang telah ditetapkan, hal
itu dapat dikualifikasi melanggar prosedur sebagaimana
diatur dalam Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara sehingga pihak
yang dirugikan dapat melakukan upaya hukum pembatalan
laporan hasil pemeriksaan pada Pengadilan Tata Usaha
Negara. Hal ini juga sejalan dengan Pasal 3 ayat (1) Bab
III Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 5 tahun 1997
tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti
Rugi Kerugian dan Barang Deerah.
Ketentuan Pasal 3 ayat (1) Bab III Peraturan Menteri
Dalam Negeri nomor 5 tahun 1997 tentang Tuntutan
Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi Kerugian dan
Barang Daerah menentukan sebagai berikut.
Ayat (1)
”Informasi mengenai adanya kekurangan
perbendaharaan yang mengakibatkan kerugian
daerah dapat diketahui dari berbagai sumber
antara lain a) hasil pemeriksaan aparat pengawasan
fungsional, b) hasil pengawasan melekat yang
dilaksanakan oleh atasan langsung, c) hasil
verifikasi biro/bagian keuangan atau pejabat yang
diberikan kewenangan melakukan verifikasi pada
badan usaha milik daerah.
Dalam menghitung kerugian negara, Tuanakotta
menegaskan secara konseptual dapat dibagi proses
berkenaan dengan kerugian negara dalam tindak pidana

197
korupsi menjadi tiga tahap berikut.82
1. Tahap pertama menentukan ada atau tidaknya kerugian
negara.
2. Tahap kedua menghitung besarnya kerugian keuangan
negara tersebut jika memang ada.
3. Tahap ketiga menetapkan kerugian negara.
Sebelum masuk dalam tahap pertama, kedua, dan
ketiga, auditor melakukan fungsi utama, yakni melakukan
analisis terhadap apa yang ditentukan dalam APBD dan apa
yang dilaksanakan atas APBD. Auditing mempunyai sifat
analitis karena akuntan publik memulai pemeriksaannya
dari angka-angka laporan keuangan, lalu dicocokkan dengan
neraca saldo (trial balance), buku besar (general ledger), buku
harian (special jurnal), bukti-bukti pembukuan (document),
dan subbuku besar (subledger). Sementara itu, accounting
mempunyai sifat konstruktif karena disusun mulai dari
bukti-bukti pembukuan, buku harian, buku besar dan
subbuku besar, neraca saldo, sampai laporan keuangan yang
dilakukan pegawai.83
BPK dalam melakukan audit untuk memperoleh
bukti yang sah yang akan dituangkan dalam laporan hasil
pemeriksaan harus sesuai dengan Peraturan BPK nomor
1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan.
82 Tuanakotta, Theodorus M., Menghitung Kerugian Negara, dalam
Tindak Pidana Korupsi, ..., Loc.cit., hlm. 131.
83 Agoes, Sukrisno, Auditing, Petunjuk Praktis Pemeriksaan Akuntan oleh
Akuntan Publik, ..., Loc.cit., hlm. 8.

198
Menurut William R. Bell, faktor-faktor yang berkaitan
dengan pembuktian sebagai berikut.
1. Bukti tidak boleh didasarkan pada persangkaan
yang tidak semestinya. Artinya, bukti tersebut
bersifat objektif dalam memberikan informasi
mengenai suatu fakta.
2. Dasar pembuktian, maksudnya adalah
pembuktian haruslah berdasarkan alat-alat
bukti yang sah.
3. Berkaitan dengan cara mencari dan
mengumpulkan bukti harus dilakukan dengan
cara-cara yang sesuai dengan hukum.84
Dalam pengumpulan bukti melalui audit investigatif
peraturan yang dipergunakan adalah Peraturan BPK nomor
1 tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara yang juga merupakan hukum yang telah masuk
dalam lembaran negara dan juga masuk dalam hierarki
perundan-undangan.
Menurut kajian akademik, beberapa universitas yang
tergabung dalam Forum Experts Meeting dengan judul
Menyelamatkan Uang Rakyat, pada intinya pemberlakuan
surut tidak dibenarkan karena sifat hukum administrasi
negara dan hukum tata negara bersifat publik sebagaimana
halnya dengan hukum pidana. Hal ini tentu tidak dapat
dipersamakan walaupun sama-sama bersifat hukum
publik.85 Kenyataan konkret, seperti bencana di Aceh,
84 Hiariej, Eddy O. S., Teori dan Hukum Pembuktian (Yogyakarta:
Erlangga, 2012) hlm. 13.
85 Anggota Forum Experts Meeting terdiri dari Moh. Mahfud M. D., Edy

199
tanah longsor di Wamena, harus segera ditangani mau
tidak mau harus diberlakukan aturan surut agar bantuan
pembiayaan dapat dikucurkan jika tidak tentu mayat-mayat
tidak dapat dikebumikan dengan baik. Pemberlakuan surut
dalam hukum administrasi sangat diperlukan, hanya saja
harus pada kepentingan orang banyak. Jika tetap terjadi,
upaya hukum adalah melalui pembatalan dan kenyataannya
hingga saat ini tidak menjadi ranah korupsi.
Jika terdapat perbedaan antara apa yang ditetapkan
dalam APBD dan apa yang dilaksanakan dalam APBD,
baru masuk pada tahap pertama, yakni apakah benar terjadi
kerugian negara. Menurut Tuanakotta, tahap pertama ini
menjadi domain ahli hukum. Jika terjadi perbedaan antara
penetapan dan pelaksanaan APBD, langkah yang harus
dilakukan auditor BPK adalah melakukan klarifikasi
untuk memastikan terjadi kerugian negara atau terjadi
kesalahan dalam melakukan posting anggaran maupun
terjadi kesalahan penulisan (pencatatan).
Apabila memang terjadi kesalahan pencatatan,
perbaikan (adjusment) dapat dilakukan. Sebaliknya, jika
memang murni terjadi perbuatan yang bersifat melawan
hukum secara positif, baru masuk pada tahap kedua untuk
Suandi Hamid, Pratikno M., Werry Darta Taifur, Denny Indrayana,
Marwan Mas, Wihana Kirana Jaya, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra,
Eddy O. S. Hiariej, Iwan Satriawan, Zainal Arifin Mochtar, dan
Dadang Trisasongko, diselengarakan oleh Kemitraan Partnership
Pusat Kajian Korupsi dan Indonesia Court Monitoring di Yogyakarta
tanggal 26 - 29 Januari 2007.

200
menghitung kerugian negara. Dalam kasus ini, BPK
juga harus melakukan konfirmasi atas dokumen yang
diverifikasi.
Klarifikasi diatur untuk membela kepentingan orang
yang merasa dirugikan, baik sebagai perorangan maupun
sebagai pemerintah, dalam hal ini pemerintah Kabupaten
Kutai Kartanegara. Jika dalam upaya hukum ternyata
prosedur audit investigatif yang dilakukan auditor BPK,
pihak yang diaudit harus dapat menerima hasil audit
investigatif BPK. Salah satu prosedur yang dilakukan dalam
hal audit investigatif adalah harus melakukan konfirmasi
terhadap auditan. Dengan demikian, bukti yang kuat akan
dihasilkan sebagaimana yang diharapkan dalam Pasal 184
KUHAP dan bukti permulaan yang kuat dapat dipenuhi.
Dalam perlawanan hukum terhadap laporan hasil
pemeriksaan keuangan pemerintah melalui audit investigatif
BPK, pihak yang diaudit memungkinkan untuk meminta
pembatalkan laporan hasil pemeriksaan keuangan yang
dilakukan oleh auditor BPK sepanjang memenuhi syarat-
syarat yang diatur dalam undang-undang. Undang-undang
tersebut adalah Undang-Undang nomor 51 tahun 2009
tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 5 tahun
1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Syarat yang
harus dipenuhi tersebut adalah harus bersifat final, konkret,
dan individual.

201
Laporan hasil pemeriksaan keuangan negara yang
dilakukan melalui audit invewstigatif terhadap laporan
keuangan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara yang
tidak sesuai dengan Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007
memberikan hasil berupa bukti yang tidak objektif. Padahal,
bukti berupa laporan hasil pemeriksaan akan dipergunakan
oleh penegak hukum, dalam hal ini penyidik, sebagai bukti
permulaan yang kuat. Pemerintah daerah yang merasa
dirugikan atau terdakwa dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara.

1. Laporan Hasil Pemeriksaan BPK merupakan


Keputusan Tata Usaha Negara
Keputusan tata usaha negara (KTUN) sering juga
disebut dengan istilah keputusan administrasi negara.
Keputusan tata usaha negara sebagai keputusan administratif
merupakan suatu pengertian yang sangat umum yang
bentuknya dapat beragam. Dalam bahasa Belanda keputusan
tata usaha negara biasa disebut beschinkking yang berarti
norma hukum yang bersifat individual dan konkret sebagai
keputusan pejabat tata usaha negara atau administrasi
negara (beschikkingsdaad van de administratie).86
Keputusan tata usaha negara yang merugikan
perseorangan ataupun institusi dapat dibatalkan melalui
86 Triwulan T., Titik & Widodo, H. Ismu Gunadi, Hukum Tata Usaha
Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia,
Cetakan Kesatu (Jakarta: Prenada Media, Tt.) hlm. 314.

202
upaya hukum. Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara yang timbul dalam bidang tata
usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Hal
ini telah diatur dalam Pasal 1 butir (9) Undang-Undang
nomor 51 tahun 2009 yang berbunyi:
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata.
Dasar-dasar yang menjadi alasan hukum untuk
melakukan permohonan pembatalan laporan hasil
pemeriksaan keuangan audit investigatif berdasarkan Pasal
53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang nomor 51 tahun
2009 berikut.
Ayat (1)
Orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan
Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan
tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang
berisi tuntutan agar Keputusan TataUsaha Negara
yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak
sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi
dan/atau direhabilitasi.

203
Ayat (2)
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah a)
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat
itu bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, b) Keputusan Tata Usaha
Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-
asas umum pemerintahan yang baik.”
Untuk membatalkan suatu peraturan peruandang-
undangan atau keputusan tata usaha negara dapat
dipergunakan asas hukum. Bahkan, Pemerintah Kabupaten
Kutai Kartanegara atas rekomendasi audit reguler BPK
terhadap pelaksanaan APBD tahun 2005 juga diterima
karena dianggap tidak memiliki bukti-bukti kuitansi
yang tidak lengkap. Dalam hal ini anggota dan pimpinan
DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara beranggapan biaya
perjalanan dinas bersifat lumsum. Pemerintah Kabupaten
Kutai Kartanegara maupun anggota dan pimpinan DPRD
Kabupaten Kutai Kartanegara bersedia mengembalikannya
karena tidak dikenakan hukuman pidana.
Sesungguhnya payung hukum atas penggunaan biaya
perjalanan dinas adalah sah karena telah ada dalam pos
mata anggaran. Selain itu, pelaksanaan kegiatan sudah
sesuai dengan agenda tahunan yang telah disusun anggota
bersama pimpinan DPRD dan dalam menjalankan kegiatan
telah mendapat disposisi pimpinan DPRD Kabupaten
Kutai Kartanegara. Dengan demikian, sesungguhnya

204
tidak ada penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh
Sekretaris Dewan maupun anggota dan pimpinan DPRD
Kabupaten Kutai Kartanegara. Menurut Arief, pidana
administrasi dapat dikenakan jika menyimpang dalam
menjalankan kewenangan87 sebagaimana kewenangan yang
telah ditetapkan dalam anggaran APBD tahun 2005.

2. Batal atau Tidak Sahnya Keputusan Tata Usaha


Negara
Tindakan hukum administrasi negara menganut asas
presumtio justae causa yang bermakna suatu keputusan
tata usaha negara harus selalu dianggap benar dan dapat
dilaksanakan sepanjang hakim belum membuktikan
sebaliknya. Badan peradilan yang diberi wewenang undang-
undang untuk menyatakan batal atau tidak sah suatu
keputusan tata usaha negara adalah Peradilan Tata Usaha
Negara berdasarkan Undang-Undang nomor 51 tahun
2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 5
tahun 1986.
Secara umum, syarat-syarat sah atau tidak sahnya
suatu keputusan tata usaha negara sebagai berikut.
a. Syarat material
1) Keputusan harus dibuat oleh alat negara (organ)
yang berwenang.

87 Arief, Barda Nawawi Kapita Selekta Hukum Pidana, ..., Loc.cit., hlm.
14.

205
2) Karena keputusan itu, suatu pernyataan kehendak
(wilsverklaring) tidak boleh memuat kekurangan
yuridis.
3) Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan
dalam peraturan dasarnya dan pembuatannya
harus memperhatikan cara (prosedur) membuat
keputusan itu jika hal itu ditetapkan dengan tegas
dalam peraturan dasar tersebut.
4) Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi
dan tujuan peraturan dasar.
b. Syarat formal
1) Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan
persiapan dibuatnya keputusan dan berhubungan
dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi.
2) Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan.
3) Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan
dilakukannya keputusan harus dipenuhi.
4) Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya
hal-hal yang menyebabkan dibuatnya keputusan
dan diumumkannya keputusan itu tidak boleh
dilewati.88
Pada prinsipnya, hakim Pengadilan Tata Usaha
Negara erat hubungannya dengan fungsi peradilan dalam
masalah hak menguji (toetsing recht). Berdasarkan ketentuan
88 Triwulan T., Titik & Widodo, H. Ismu Gunadi, Hukum Tata Usaha
Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, ...,
Op.cit., hlm. 322 - 323.

206
Pasal 48 Undang-Undang nomor 51 tahun 2009,
hakim Pengadilan Tata Usaha menganut pendirian yang
mewajibkan penyelesaian sengketa administrasi tertentu
melalui upaya administrasi sebelum gugatan diajukan.
Auditor BPK melakukan audit juga terikat dengan
ketentuan ini, yakni auditor BPK harus terlebih dahulu
memberikan kesempatan kepada yang diaudit untuk
menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Hal ini juga telah
ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1) Bab III Peraturan Menteri
Dalam Negeri nomor 5 tahun 1997 tentang Tuntutan
Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi Kerugian dan
Barang Daerah maupun dalam Pasal 9 Peraturan BPK
nomor 3 tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti
Kerugian Negara terhadap Bendahara agar mengumpulkan
dan melakukan verifikasi dokumen.
Dalam hal ini, BPK juga harus melakukan konfirmasi
atas dokumen yang diverifikasi sehingga dapat memperoleh
kebenaran yang objektif dalam audit investigatif BPK
yang nantinya akan dijadikan bukti oleh penyidik. Agoes
& Hoesada menyatakan bahwa kebenaran dalam auditing
adalah konformitas dengan realitas. Berbagai bukti
berlainan dapat saling menunjang atau saling memperkuat
menuju (atau memaksa) suatu keputusan audit yang tidak
dapat diingkari (dibantah atau direkayasa) oleh auditor.89

89 Agoes ,Sukrisno & Hoesada, Jan, Bunga Rampai Auditing, ..., Loc.cit.,
hlm. 20.

207
Audit investigatif BPK terhadap pelaksanaan
APBD tahun 2005 Kabupaten Kutai Kartanegara telah
dilaksanakan dua kali. Audit pertama tahun 2006 memberi
kesimpulan dan rekomendasi agar mengembalikan biaya
perjalan dinas anggota dan pimpinan DPRD Kabupaten
Kutai Kartanegara periode 2004 - 2009 karena menurut
auditor BPK biaya perjalanan dinas tidak dilengkapi bukti
pendukung berupa kuitansi. Hal ini disimpulkan auditor
setelah melakukan verifikasi dan konfirmasi terhadap
panitia pelaksana teknis kegiatan (PPTK), sedangkan bukti-
bukti tidak dipenuhi (tidak diserahkan) karena anggota
dan pimpinan DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara
berpandangan biaya perjalanan dinas bersifat lumsum.
Audit kedua dilaksanakan oleh auditor BPK pada
tahun 2010, tetapi dilaksanakan oleh orang yang berbeda
atas objek audit yang sama, yakni tetap pemeriksaan atas
pelaksanaan APBD tahun 2006. Ketentuan Pasal 14
ayat (1) Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara menentukan apabila dalam pemeriksaan ditemukan
unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut
kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.90
90 Fajri, Em Zul & Senja, Ratu Aprilia, Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia (Tanpa kota: Difa Publisher, Tt.) hlm. 740 menjelaskan
yang dimaksud dengan segera; cepat-cepat, lekas-lekas; dalam kata
kerja menjadi menyegerakan yang bermakna mempercepat, melakukan
dengan lebih awal.

208
Ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang nomor
15 tahun 2004 telah secara jelas tersurat dan tersirat
maknanya bahwa anggota BPK, siapapun tanpa terkecuali,
harus melaporkan jika dalam pemeriksaan menemukan
unsur pidana. Pemeriksaan dalam hal ini haruslah dimaknai
pada jenis pemeriksaan apa saja sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang nomor 15
tahun 2004. Pemeriksaan tersebut terdiri atas tiga jenis
pemeriksaan, yakni pemeriksaan keuangan, pemeriksaan
kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Dengan
demikian, tidak harus melalui pemeriksaan dengan tujuan
tertentu saja yang memiliki kewenangan untuk melaporkan
telah ditemukan unsur pidana oleh auditor BPK.
Dalam persoalan pemeriksaan pelaksanaan APBD
tahun 2005 Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara,
pelaksanaan audit pertama dilakukan secara reguler atau
audit keuangan. Laporan hasil pemeriksaan keuangan
tersebut memberikan kesimpulan agar mengembalikan biaya
perjalanan dinas karena dianggap kurang didukung bukti-
bukti pengeluaran. Audit reguler BPK saat melaksanakan
audit keuangan memiliki kewenangan dalam menyimpulkan
hasil pekerjaannya apakah ada unsur pidana atau tidak.
Devisi Standar Auditing pada AICPA membuat suatu
ringkasan mengenai tanggung jawab auditor berkaitan
dengan kecurangan dan tindakan ilegal pada masa
berlakunya GAAS dalam laporan berkala In Our Opinion

209
bulan Juli 1985 sebagai berikut.
Tanggung jawab auditor untuk mendeteksi dan
melaporkan kecurangan telah dikemukakan dalam
Statement on Auditing Standards (SAS) nomor
16, The Auditor’s Responsibility for the Detection
of Errors or Irregularities (Tanggung Jawab Auditor
dalam Mendeteksi Kesalahan atau Ketidakberesan,
1977) dan SAS nomor 17, Illegal Act by Clients
(Tindakan Ilegal oleh Klien, 1977).91
Untuk mengantisipasi terjadinya tumpang-tindih atau
kontraproduktif atas hasil laporan pemeriksaan keuangan,
baik untuk pemeriksaan keuangan, kinerja, maupun dengan
tujuan tertentu, pedoman pelaksanaan telah diatur dalam
ketentuan Lampiran III Peraturan BPK nomor 1 tahun
2007 berkaitan dengan standar pemeriksaan pernyataan
nomor 2 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan,
Pertimbangan terhadap Hasil Pemeriksaan Sebelumnya
dalam paragraf 15 dan 16 yang menentukan sebagai
berikut.
15 Pernyataan standar pelaksanaan tambahan kedua
adalah pemeriksa harus mempertimbangkan hasil
pemeriksaan sebelumnya serta tindak lanjut atas
rekomendasi yang signifikan dan berkaitan dengan
tujuan pemeriksaan yang sedang dilaksanakan.
16 Pemeriksaan harus memperoleh informasi dari
entitas yang diperiksa untuk mengidentifikasi
pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja,
dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu atau
91 Tunggal, Amin Widjaja, Forensic and Investigative Accounting,
Pendekatan Kasus (Jakarta: Harvarindo, 2012) hlm. 83.

210
studi lain yang sebelumya telah dilaksanakan
dan berkaitan dengan tujuan pemeriksaan yang
sedang dilaksanakan. Hal ini dilaksanakan untuk
mengidentifikasi langkah koreksi yang berkaitan
dengan temuan dan rekomendasi signifikan.
Pemeriksa harus mempergunakan pertimbangan
profesionalnya untuk menentukan a) periode
yang harus diperhitungkan, b) lingkup pekerjaan
pemeriksaan yang diperlukan untuk memahami
tindak lanjut temuan signifikan yang mempengaruhi
pemeriksaan, dan c) pengaruhnya terhadap resiko
dan prosedur pemeriksaan dalam perencanaan
pemeriksaan.
Dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu (audit
investigatif) juga harus dipertimbangkan hasil laporan
pemeriksaan sebelumnya sebagaimana ditentukan dalam
Lampiran VII Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007
bertalian dengan Standar Pemeriksaan Pernyataan Nomor
06 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Tujuan Tertentu,
Pertimbangan terhadap Pemeriksaan Sebelumnya paragraf
15 dan 16 menentukan sebagai berikut.
15 Pernyataan standar pelaksanaan tambahan kedua
adalah pemeriksa harus mempertimbangkan hasil
pemeriksaan sebelumnya serta tindak lanjut dari
rekomendasi yang signifikan dan yang berkaitan
dengan hal yang diperiksa.
16 Pemeriksa harus memperoleh informasi dari
entitas yang diperiksa untuk mengidentifikasi
pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan
pemeriksaan dengan tujuan tertentu, atau studi lain

211
yang sebelumnya telah dilaksanakan yang berkaitan
dengan hal yang diperiksa. Hal ini dilakukan untuk
mengidentifikasi tindak lanjut yang telah dilakukan
berkaitan dengan temuan dan rekomendasi yang
signifikan. Dengan memahami rekomendasi yang
signifikan pemeriksa dapat mengevaluasi hal
yang diperiksa. Pemeriksa harus menggunakan
pertimbangan profesionalnya dalam menentukan
a) periode yang harus diperhitungkan, b) lingkup
pekerjaan pemeriksaan yang diperlukan untuk
memahami tindak lanjut temuan signifikan yang
mempengaruhi pemeriksaan, dan c) pengaruhnya
terhadap resiko dan prosedur pemeriksaan dalam
perencanaan pemeriksaan.
Standar Pernyataan Pemeriksaan 02 lampiran III
dan Standar Pernyataan pemeriksaan 06 lampiran VII
mengharuskan pemeriksaan mempertimbangkan hasil
pemeriksaan sebelumya, baik untuk pemeriksaan keuangan
maupun pemeriksaan untuk tujuan tertentu, agar tidak
terjadi kontraproduktif atas laporan yang dihasilkan dan
mengakibatkan ketidakpastian hukum. Pemeriksaan
pelaksanaan APBD tahun 2005 Pemerintah Kabupaten
Kutai Kartanegara telah dilakukan pemeriksaan sebanyak
dua kali. Pada tahun 2006 dilakukan pemeriksaan dengan
jenis pemeriksaan keuangan dan memberikan kesimpulan
dan merekomendasikan pengembalian atas perjalanan
dinas karena tidak didukung dengan bukti-bukti dan tidak
dikualifikasi sebagai tindak pidana.

212
Pada tahun 2010, auditor BPK melakukan
pemeriksaan yang kedua, yakni jenis pemeriksaan dengan
tujuan tertentu terhadap objek yang sama atas pelaksanaan
APBD tahun 2005 Pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara, Pemeriksaan ini memberikan kesimpulan
telah terjadi tindak pidana korupsi yang merugikan keungan
negara. Hal ini terjadi karena pemeriksaan yang kedua tidak
mempertimbangkan hasil laporan keuangan yang pertama
sehingga terjadi kontraproduktif atas laporan yang pertama
dengan hasil laporan yang kedua. Padahal, dalam ketentuan
pemeriksaan telah ditentukan harus mempertimbangkan
laporan hasil pemeriksaan sebelumnya sehingga tidak
merugikan kepentingan seseorang dan entitas pemerintah
dengan terhambatnya layanan terhadap masyarakat.
Penghitungan kerugian negara dipertautkan dengan
harus mempertimbangkan hasil laporan pemeriksaan
sebelumnya, baik untuk pemeriksaan keuangan maupun
pemeriksaan tertentu, disebutkan pemeriksa harus
menggunakan pertimbangan profesionalnya dalam
menentukan periode yang harus diperhitungkan. Hal ini
sangat bertalian dalam perhitungan kerugian negara karena
ada beberapa metode sebagaimana yang dikenal dalam ilmu
akuntansi yang tersedia sesuai dengan bentuk tindak pidana
korupsinya. Metode-metode berikut dapat dipergunakan
secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri.

213
a. Kerugian total (total loss). Dalam metode ini seluruh
jumlah yang dibayarkan dinyatakan sebagai kerugian
negara. Misalnya, pejabat tinggi departemen membeli
alat berat dari negara lain, sedangkan suku cadangnya
tidak diproduksi lagi di manapun. Dalam dakwaan,
jaksa penuntut umum meyakinkan hakim bahwa
keseluruhan kegiatan pembelian merupakan perbuatan
melawan hukum. Metode ini juga dapat diterapkan
dalam penerimaan negara yang tidak disetorkan, baik
sebagian maupun keseluruhan.
b. Kerugian total dengan penyesuaian. Metode ini diperlukan
dalam hal barang yang dibeli harus dimusnahkan dan
pemusnahan memerlukan biaya sehingga kerugian
negara bukan hanya pembelian, melainkan juga biaya
untuk memusnahkan.
c. Kerugian bersih (net loss). Metode ini dilakukan dalam
hal barang rongsokan yang tadi dibeli masih ada
nilainya sehingga kerugian negara adalah sejumlah
kerugian bersih, yaitu kerugian total dikurangi nilai
bersih barang yang rongsok.
d. Harga wajar. Metode ini seringkali merugikan negara
karena transaksi yang dibeli dibuat dengan harga yang
tidak wajar, baik dalam transaksi pembelian maupun
pelepasan dan pemanfaatan barang. Kunci metode ini
adalah penentuan harga wajar. Harga wajar menjadi
pembanding untuk harga realisasi. Kerugian negara

214
terjadi akibat ada transaksi yang tidak wajar kemudian
dihitung dari selisih harga yang tidak wajar dengan
harga realisasi.
e. Harga pokok (HP). Metode ini sering dikritik karena
harga pokok tidak sama dengan harga jual. Harga jual
dipengaruhi permintaan pasar dan margin keuntungan
atau kerugian setiap perusahaan.
f. Harga perkiraan sendiri (HPS). Dalam metode ini
harga disusun oleh lembaga yang melaksanakan tender.
Harga perkiraan sendiri dihitung dengan pengetahuan
dan keahlian mengenai harga barang atau jasa
yang ditenderkan dan berdasarkan data yang dapat
dipertanggungjawabkan.
g. Penggunaan appraiser. Metode ini dipergunakan dalam
pelepasan aset melalui pertukaran harus diperhatikan
faktor harga atau nilai pertukaran. Nilai pertukaran
inilah harga yang diterima, tetapi karena tidak dalam
bentuk uang, harus dinilai kembali. Dalam hal ini,
penilaian barang seperti gedung, mobil, tanah, dan
sebagainya ahli yang paling tepat adalah appraiser,
yaitu orang yang memiliki keahlian dalam menilai aset
tertentu.
h. Metode terakhir adalah opportunitiy cost. Metode
ini untuk menilai apakah pengambilan keputusan
yang terbaik dan apakah pengambil keputusan sudah
mempertimbangkan alternatif-alternatif lain, apakah

215
alternatif yang terbaik. Metode ini sulit diterapkan
dalam konsep menghitung kerugian negara yang nyata
dan pasti.92

3. Dasar Hukum Pembatalan Keputusan Tatas


Usaha Negara
Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang nomor 51 tahun
2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berbunyi
alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagai
berikut.

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang Digugat


Bertentangan dengan Peraturan Perundang-
undangan yang Berlaku
Akibat keputusan tata usaha tersebut merugikan
kepentingan orang menjadi tersangka dan sangat merusak
nama, baik secara pribadi maupun keluarga dan di lingkungan
kerja. Pengaturan kewenangan dalam melakukan audit,
baik secara reguler (audit tahunan) maupun audit tujuan
tertentu (audit investigatif), telah diatur dalam ketentuan
Pasal 8 Peraturan BPK RI nomor 3 tahun 2007 tentang
Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara. Ketentuan
tersebut menjelasakan bahwa pimpinan instansi segera
menugaskan Tim Penyelesaian Kerugian Negara (TPKN)

92 Kholis, Efi Laila, Pembayaran Uang Pengganti dalam Perkara Korupsi,


..., Loc.cit., hlm. 72 - 74.

216
untuk menindaklanjuti ”setiap” kasus kerugian negara
selambat-lambatnya tujuh hari sejak menerima laporan”.
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1)
menyebutkan TPKN mengumpulkan dan melakukan
verifikasi dokumen-dokumen, baik kerugian yang diketahui
dari pemeriksaan BPK, pengawas aparat pengawasan
fungsional, pengawasan dan/atau pemberitahuan atasan
langsung bendahara, atau kepala kantor atau satuan kerja
sebagaimana tercantum dalam Bab III Pasal 3 Peraturan
BPK RI nomor 3 tahun 2007. Demikian juga dalam
Pasal 17 ayat (5) Undang-Undang nomor 15 tahun 2004
dijelaskan laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu
disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan
kewenangannya.
Dengan demikian perlu dimaknai laporan hasil
pemeriksaan keuangan negara yang dilaksanakan BPK,
baik untuk audit keuangan maupun audit untuk tujuan
tertentu (audit investigatif), hasil temuan auditor BPK
maupun atas laporan dari masyarakat harus dilaporkan
kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya
sehingga temuan tersebut dapat diklarifikasi maupun
diverifikasi atas kebenaran audit tersebut.

217
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang Digugat
Bertentangan dengan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik
Dalam penjelasan huruf b Pasal 53 ayat (2) Undang-
Undang nomor 51 tahun 2009 dinyatakan bahwa asas-
asas umum pemerintahan yang baik meliputi asas kepastian
hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan,
proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 28
tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Asas
hukum tidak dapat dijadikan atau diterapkan dalam hukum
konkret, khususnya untuk mempidana orang, kecuali asas
itu juga tersurat dan konkret sebagimana yang dikatakan
Mertokusumo bahwa tidak menutup kemungkinan asas
memiliki dua peran sekaligus.93
Korupsi merupakan kejahatan yang dikategorikan
extraordinary crime sehingga penanganannya juga harus
extraordinary. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah
adalah melahirkan Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun
2010 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah nomor
24 Tahun 2005 tentang Standar Akutansi Pemerintah.
Standar akutansi pemerintah dipergunakan sebagai media
mencatat seluruh transaksi atas pelaksanaan APBD sehingga

93 Mertokusumo, Sudikno, Kapita Selekta Ilmu Hukum, ..., Loc.cit.,


hlm. 113.

218
pelaksanaan pemerintahan yang baik dapat dijalankan,
khususnya dalam tata kelola keuangan pemerintah pusat
ataupun pemerintah daerah dapat mengonstruksikan
laporan keuangan dengan baik.
Pelaksanaan APBD tahun 2005 Pemerintah
Kabupaten Kutai Kartanegara telah mengacu pada asas
umum pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan
berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah nomor 58
tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang
menentukan sebagai berikut.
1) Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis,
efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat
untuk masyarakat.
2) Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam
suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam
APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan
daerah.
Penjelasan masing-masing asas tersebut sebagai
berikut.94
1) Asas tahunan memberikan persyaratan bahwa anggaran
negara dibuat secara tahunan yang harus mendapat
94 Tunggal, Hadi Setia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan
Keuangan Negara, ..., Loc.Cit.. Lihat juga Suwartono, Asas-asas Umum
Pengelolaan Keuangan (online), http://sebuahcatatanhidupsuwartono.
blogspot.com/2010/04/asas-asas-umum-pengelolaan-keuangan.html.

219
persetujuan dari badan legislatif (DPR).
2) Asas kesatuan mempertahankan hak budget dari
dewan secara lengkap berarti semua pengeluaran harus
tercantum dalam anggaran. Oleh karena itu, anggaran
merupakan anggaran bruto dan yang dibukukan dalam
anggaran adalah jumlah brutonya.
3) Asas spesialitas mensyaratkan jenis pengeluaran dimuat
dalam mata anggaran tertentu atau tersendiri dan
diselenggarakan secara konsisten, baik secara kualitatif
maupun kuantitatif. Secara kuantitatif artinya jumlah
yang telah ditetapkan dalam mata anggaran tertentu
merupakan batas tertinggi dan tidak boleh dilampaui.
Secara kualitatif berarti penggunaan anggaran
hanya dibenarkan untuk mata anggaran yang telah
ditentukan.
4) Asas akuntabilitas berorientasi pada hasil mengandung
makna setiap pengguna anggaran wajib menjawab
dan menerangkan kinerja organisasi atas keberhasilan
atau kegagalan suatu program yang menjadi tanggung
jawabnya.
5) Asas profesionalitas mengharuskan pengelolaan
keuangan negara ditangani oleh tenaga yang
profesional.
6) Asas proporsionalitas maksudnya pengalokasian
anggaran dilaksanakan secara proporsional pada fungsi-
fungsi kementerian atau lembaga sesuai dengan tingkat

220
prioritas dan tujuan yang ingin dicapai.
7) Asas keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara
mewajibkan adanya keterbukaan dalam pembahasan,
penetapan, dan perhitungan anggaran serta hasil
pengawasan oleh lembaga audit yang idependen.
8) Asas pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang
bebas dan mandiri memberi kewenangan lebih besar
pada Badan Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan
pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara secara
objektif dan independen.

4. Badan Pemeriksa Keuangan merupakan Pejabat


Negara
Ketentuan umum Pasal 1 ayat (1) Bab I Undang-
Undang nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme memberikan pengertian pejabat negara. Dalam
undang-undang ini yang dimaksud dengan penyelenggara
negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi
eksekutif, legislatif, atau yudikatif, serta pejabat lain
yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 11 (1) Undang-Undang nomor 43
tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor
8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, pejabat

221
negara terdiri atas 1) presiden dan wakil presiden; 2) ketua,
wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3) ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan; 4)
ketua, wakil ketua, dan ketua muda, dan hakim agung pada
Mahkamah Agung, serta ketua, wakil ketua, dan hakim
pada semua badan peradilan; 5) ketua, wakil ketua, dan
anggota Dewan Pertimbangan Agung; 6) ketua, wakil
ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; 7) menteri
dan jabatan yang setingkat menteri; 8) Kepala Perwakilan
Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai
duta besar luar biasa dan berkuasa penuh; 9) gubernur dan
wakil gubernur; 10) bupati/walikota dan wakil bupati/wakil
walikota; dan 11) pejabat negara lainnya yang ditentukan
oleh undang-undang.
Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan BPK
pembiayaan ditanggung oleh pemerintah sebagaimana
diatur dalam Pasal 35 ayat (1) Bab VIII Undang-Undang
nomor 15 tahun 2006. Dalam pasal tersebut ditentukan
bahwa anggaran BPK dibebankan pada bagian anggaran
tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Dengan demikian, Badan Pemeriksa Keuangan dapat
dikualifikasikan sebagai pejabat negara yang menjalankan
penyelenggaraan negara.
Ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (7)
Undang-Undang nomor 51 tahun 2009 yang menentukan
bahwa tata usaha negara adalah administrasi negara yang

222
melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Lebih
lanjut, ketentuan Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang nomor
51 tahun 2009 menentukan bahwa badan atau pejabat tata
usaha negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan
urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dalam konteks audit yang dilakukan
oleh BPK adalah melaksanakan pemeriksaan keuangan
pemerintah pusat maupun daerah atas pelaksanaan APBN
maupun APBD.

5. Unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara


Pasal 1 butir (9) Undang-Undang nomor 51 tahun
2009 menentukan bahwa keputusan tata usaha negara
adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual,
dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata.
Jenis pemeriksaan keuangan negara diatur dalam
ketentuan Pasal 4 Undang-Undang nomor 15 tahun 2004.
Pemeriksaan tersebut terdiri atas tiga jenis pemeriksaan,
yakni pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan
pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Laporan hasil
pemeriksaan keuangan BPK untuk ketiga jenis pemeriksaan

223
tersebut dibuat secara tertulis sehingga dapat dikualifikasi
sebagai surat penetapan secara tertulis.
Badan Pemeriksa Keuangan melaksanakan
tugas, kewajiban, dan wewenangnya dalam rangka
menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang
pemeriksaan keuangan negara. Tugas, kewajiban, dan
wewenang BPK adalah menyelenggarakan pemeriksaan
urusan administrasi di bidang pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara yang diselenggarakan
oleh penyelenggara negara.
Apabila laporan hasil pemeriksaan auditor BPK
meragukan, seseorang atau entitas dapat mengajukan
gugatan untuk pembatalan terhadap keputusan tata
usaha negara, yakni LHP BPK, dengan ketentuan
harus memenuhi unsur-unsur sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang nomor 51
tahun 2009 yang menentukan sebagai berikut.
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata.
Rumusan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang nomor
51 tahun 2009 mengandung elemen-elemen utama yang

224
terdiri atas a) penetapan tertulis oleh badan atau pejabat
tata usaha negara, b) tindakan hukum tata usaha negara,
c) konkret, d) individual, e) final, dan f) akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata. Unsur-unsur atau
elemen-elemen utama hanya terdiri dari enam unsur atau
elemen sebagaimana digambarkan dalam bagan berikut.

Gambar 12. Unsur Keputusan Tata Usaha Negara

225
Gambar di atas berkaitan dengan rumusan yang
ditentukan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang nomor
51 tahun 2009 yang mengandung unsur-unsur sebagai
berikut.
a. Surat penetapan tertulis
Penetapan tertulis adalah cukup ada hitam di atas putih
karena dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan
bahwa “form” tidak penting dan bahkan nota atau
memo saja sudah memenuhi syarat sebagai penetapan
tertulis. Dalam konteks laporan hasil pemeriksaan
BPK, penetapan tertulis terutama menunjuk pada isi
laporan hasil pemeriksaan keuangan yang dilakukan
oleh auditor BPK bukan bentuk keputusan yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara.
Keputusan itu memang diwajibkan tertulis, tetapi
yang diwajibkan tertulis bukan bentuk formalnya
sebagaimana surat keputusan pengangkatan atau surat
keputusan pemberhentian.
b. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara
Pengertian badan atau pejabat tata usaha negara
dirumuskan dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang
nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Undang-
Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Pada dasarnya, badan atau pejabat tata
usaha negara melakukan urusan pemerintah. Pasal
1 angka 7 menentukan tata usaha negara adalah

226
administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di
pusat maupun di daerah. Ketentuan Pasal 1 angka
8 menentukan badan atau pejabat tata usaha negara
adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Rumusan di atas sangat luas sehingga Indroharto
mengatakan bahwa apa saja dan siapa saja yang
berdasarkan undang-undang yang berlaku pada suatu saat
melaksanakan urusan pemerintah, menurut ketentuan
undang-undang ia dapat dianggap berkedudukan sebagai
badan atau pejabat tata usaha negara.95 Dari penjabaran
di atas, BPK dalam melaksanakan audit laporan
keuangan merupakan upaya untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan di daerah (pemerintah daerah),
yakni melakukan audit keuangan maupun audit
investigatif terhadap pelaksanaan APBD tahun 2005
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Hal ini juga ditegaskan Santer Sitorus bahwa BPK
melaksanakan tugas, kewajiban, dan wewenangnya
dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan
dalam bidang pemeriksaan terhadap penyelenggaraan
pengelolaan keuangan negara, yaitu penyelenggaraan
pemeriksaan administrasi di bidang pengelolaan
95 Makalah BPK Ditama Binbangkum, Raker, Desember 2009, hlm.
8.

227
dan pertanggungjawaban keuangan negara yang
diselenggarakan oleh penyelenggara negara.96 Dengan
demikian, auditor BPK jelas merupakan pejabat tata
usaha negara.
c. Bersifat konkret
Maksud keputusan tata usaha negara bersifat konkret
adalah objek yang diputuskan dalam keputusan tata
usaha negara tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu,
atau dapat ditentukan. Contoh, keputusan mengenai
pemberhentian si A sebagai pegawai negeri, atau dalam
konteks audit pemeriksaan pelaksanaan APBD jelas
disebutkan tahun 2005 sebagai objek keuangan yang
diperiksa oleh auditor BPK, keuangan yang diperiksa
adalah keuangan Pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara.
d. Bersifat individual
Bersifat individual artinya keputusan tata usaha negara
itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu, baik
alamat maupun hal yang dituju. Apabila yang dituju
lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena
putusan itu disebutkan. Ini sebagaimana 40 anggota
dan pimpinan DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara
disebutkan satu persatu nama dan jumlah yang harus
dikembalikan. Hal ini disebabkan menurut auditor BPK

96 Makalah BPK Ditama Binbangkum, Raker, Desember 2009, hlm.


9. Santer Sitorus merupakan mantan Ketua Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara di Jakarta.

228
pada pemeriksaan keuangan atas pelaksanaan APBD
tahun 2005 Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara
pada tahun 2006 karena tidak dilengkapi bukti-bukti
dan merekomendasikan pengembalian dan tidak
dikualifikasi sebagai tindak pidana. Menurut anggota
dan pimpinan DPRD Kabupaten Kuatai Kartanegara,
bukti tidak dilengkapi karena biaya perjalanan dinas
bersifat lumsum.
Selanjutnya, auditor BPK melakukan audit yang
kedua. Jenis audit yang digunakan adalah audit dengan
tujuan tertentu dan menyimpulkan telah terjadi tindak
pidana korupsi atas pelaksanaan APBD tahun 2005
terhadap objek yang sama, yakni uang perjalanan
dinas 40 anggota dan pimpinan DPRD periode tahun
2004 - 2009. Dalam hal ini, dalam keputusan tata
usaha negara, yakni laporan hasil pemeriksaan (LHP),
disebutkan namanya satu persatu serta jumlah kerugian
negara menurut audit versi kedua pada tahun 2010.
Walaupun laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan
Pemeriksa Keuangan memuat lebih dari satu temuan
dan rekomendasi, laporan hasil pemeriksaan keuangan
tetap dianggap bersifat individual karena temuan dan
rekomendasi tersebut tidak ditujukan kepada semua
orang, tetapi hanya kepada orang-orang yang namanya
jelas dinyatakan dalam rekomendasi laporan hasil
pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan tersebut.

229
e. Bersifat final
Bersifat final artinya sudah definitif sehingga
dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan
yang memerlukan persetujuan instansi atasan atau
instansi lain belum bersifat final karena belum dapat
menimbulkan suatu hak dan kewajiban pada pihak
yang bersangkutan. Dalam hal ini, ketika laporan hasil
pemeriksaan keuangan sudah dimintakan tanggapan
dari pihak yang diperiksa (auditee) kemudian diserahkan
kepada DPR atau DPRD, laporan hasil pemeriksaan
Badan Pemeriksa Keuangan tersebut sudah final.
Dalam hal auditor BPK menduga ada tindak pidana
korupsi dilakukan oleh yang diperiksa, perlukah auditor
BPK meminta tanggapan terhadap yang diperiksa atau
langsung diserahkan kepada penyidik. Hal ini perlu
ditegaskan sekalipun menurut auditor BPK menduga
ada dugaan tindak pidana korupsi dilakukan oleh
auditee. Auditor BPK tetap wajib meminta tanggapan
terhadap yang diperiksa, bukan langsung menyerahkan
kepada penyidik kepolisian maupun kejaksaan.
Selain dari perspektif teori maupun praktik, hal itu
juga telah diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1)
Bab III Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 5
tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan
Tuntutan Ganti Rugi Kerugian dan Barang Daerah
maupun dalam Pasal 9 Peraturan BPK nomor 3 tahun

230
2007 tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian
Negara terhadap Bendahara agar mengumpulkan dan
melakukan verifikasi dokumen.
Dalam hal ini, BPK juga harus melakukan konfirmasi
atas dokumen yang diverifikasi. Konfirmasi atas
dokumen yang diverifikasi sudah sesuai dengan yang
diamanatkan unsur keputusan tata usaha negara
bersifat final, yakni wajib meminta tanggapan atau
konfirmasi terhadap yang diperiksa, baik sebagai
perorangan maupun entitas, sehingga dapat memperoleh
kebenaran yang objektif dalam audit investigatif BPK
yang nantinya akan dijadikan bukti oleh penyidik
jika memang memenuhi unsur-unsur tindak pidana
korupsi.
Inilah landasan filosofis dari keputusan tata usaha
negara yang bersifat final wajib dilakukan untuk
meminta tanggapan yang diperiksa atau diduga
melakukan tindak pidana korupsi, siapapun pelapornya
baik dari masyarakat. Atas temuan penyidik kejaksaan
maupun kepolisian, BPK wajib terlebih dahulu meminta
tanggapan yang diperiksa. Dalam kontek yang melapor
masyarakat, temuan penyidik adalah dugaan tindak
pidana korupsi atas pelaksanaan APBD sehingga
apabila BPK diminta untuk menghitung kerugian
negara wajib melakukan pemeriksaan terhadap entitas
dan menyerahkan laporan hasil pemeriksaan kepada

231
eksekutif maupun legislatif.
f. Mempunyai akibat hukum
Keputusan tata usaha negara mempunyai akibat
hukum artinya mengakibatkan timbulnya hak atau
kewajiban pada orang lain. Dalam hal ini, laporan hasil
pemeriksaan keuangan Badan Pemeriksa Keuangan
dalam rekomendasinya menimbulkan hak dan kewajiban
terhadap pihak yang terkena dampak rekomendasi
Badan Pemeriksa keuangan. Perlu dipahami pula, ada
beberapa pengecualian yang bukan merupakan objek
tata usaha negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal
2 Undang-Undang nomor 51 tahun 2009 jo. Undang-
Undang nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai berikut.
1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan
perbuatan hukum perdata.
2) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan
pengaturan yang bersifat umum.
3) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih
memerlukan persetujuan.
4) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan
berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan
lain yang bersifat hukum pidana.

232
5) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan
atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
6) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha
Tentara Nasional Indonesia.
7) Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik di
pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan
umum.97
Laporan hasil pemeriksaan keuangan negara yang
dilakukan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan dikaitkan
dengan Pasal 2 huruf (d) tidak dapat dibatalkan melalui
gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara. Sebelum
membahas Pasal 2 huruf (d), terlebih dahulu dilihat
dalam penjelasannya, sebagai berikut.
1) Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan
ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Misalnya dalam perkara lalu lintas terdakwa dipidana
dengan suatu pidana bersyarat yang mewajibkannya
memikul biaya perawatan si korban selama dirawat
di rumah sakit. Karena kewajiban itu merupakan
syarat yang harus dipenuhi oleh terpidana, maka
97 Undang-Undang nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara terdapat perubahan berupa penambahan pada
huruf d, yakni Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan
berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan
perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.

233
jaksa yang menurut Pasal 14 huruf d Kitab Undang-
undang Hukum Pidana ditunjuk mengawasi
dipenuhi atau tidaknya syarat yang dijatuhkan
dalam pidana itu, lalu mengeluarkan perintah
kepada terpidana agar segera mengirimkan bukti
pembayaran biaya perawatan tersebut kepadanya.
2) Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan
Ketentuan Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana misalnya kalau penuntut umum
mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap
tersangka.
3) Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan lain
yang bersifat hukum pidana umpamanya perintah
jaksa untuk melakukan penyitaan barang-barang
terdakwa dalam perkara tindak pidana ekonomi.
Penilaian dari segi penerapan hukum terhadap ketiga
macam Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat
dilakukan hanya oleh pengadilan di lingkungan
peradilan umum. Dengan demikian, jelas laporan hasil
pemeriksaan BPK tidak masuk dalam wilayah peradilan
umum, tetapi masuk dalam wilayah peradilan tata usaha
negara sehingga dapat diminta untuk dibatalkan jika
laporan hasil pemeriksaan tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana diatur dalam Peraturan BPK nomor 1
tahun 2007 tentang Standar Pemeriksan Keuangan
Negara.

234
Bab V
Penutup

Audit investigatif BPK bertujuan untuk


mengumpulkan bukti awal. Bukti awal tersebut berupa
laporan audit investigasi yang disampaikan dalam bentuk
laporan hasil pemeriksaan keuangan Pemerintah Kabupaten
Kutai Kartanegara tahun anggaran 2005. Dalam
melaksanakan audit tidak dilaksanakan dengan melakukan
konfirmasi ke lapangan. Hal ini bertentangan dengan
kebenaran audit untuk memperoleh bukti yang sah.
Dalam melaksanakan pemeriksaan, BPK juga telah
melampaui kewenangannya dengan menilai produk hukum
daerah yang merupakan kewenangan pemerintah dalam
bentuk executive review, kewenangan Mahkamah Agung
berupa judicial review, dan kewenangan legislatif dalam

235
bentuk legislative review. Jika dalam pemeriksaan tersebut
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan,
peraturan daerah tentang APBD tersebut akan dibatalkan.
Jika hasil audit investigatif BPK menemukan cacat
wewenang, cacat prosedur, dan cacat substansi dalam
pelaksanaan APBD tahun 2005 dan mengakibatkan
kerugian keuangan negara maupun daerah, itu dapat
dikualifikasikan telah melakukan pelanggaran tindak pidana
korupsi. Namun, jika terjadi hanya salah pencatatan, itu
dikualifikasikan sebagai kesalahan adminsitratif. Apabila
peraturan daerah Kutai Kartanegara yang bertalian dengan
Perda tentang ABPD tahun 2005 jika menurut auditor
BPK bertentangan dengan asas-asas pengelolaan keuangan
negara, itu hanya dapat dibatalkan melalui judicial review.

236
Daftar Pustaka

Adji, Indriyanto Seno. Tt. Korupsi Kebijakan Aparatur


Negara dan Hukum Pidana, Cetakan Ketiga. Jakarta:
CV Diadit Media.

________. 2009. Korupsi dan Penegakan Hukum, Cetakan


Pertama. Jakarta: Diata Media.

________. 2009. ”Memahami Hukum: dari Konstruksi


sampai Implementasi”. Kumpulan Tulisan dalam
Peringatan Ulang Tahun yang ke-40, Zudan Arif
Fakrulloh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Adrianto, Nico & Johansyah, Ludy Prima. 2010.


Korupsi di Daerah, Modus Operandi dan Peta Jalan
Pencegahannya. Surabaya: Putra Media Nusantara.

237
Agoes, Sukrisno. 2012. Auditing, Petunjuk Praktis
Pemeriksaan Akuntan oleh Akuntan Publik, Edisi
Keempat, Buku Satu. Jakarta: Salemba Empat.

Agoes, Sukrisno & Hoesada, Jan. 2009. Bunga Rampai


Auditing. Jakarta: Salemba Empat.

Ali, H. Farid. 2011. Teori dan Konsep Administrasi. Jakarta:


PT Raja Grafindo Persada.

Anonim. Tt. Himpunan Peraturan Perundang-undangan


Republik Indonesia, Cetakan Pertama. Bandung: CV
Nuansa Aulia.

Anonim. Tt. Lumsum (online), diambil dari http://www.


artikata.com/arti-339053-lumsum.html.

Antaranews. Tt. Deklarasi GERAM Balikpapan (online),


diambil dari http://kaltim.antaranews.com/
photo/1031/deklarasi-geram-balikpapan.

Arief, Barda Nawawi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana,


Cetakan Pertama. Semarang: PT Citra Aditya Bakti.

Astawa, I Gde Pantja & Na’a, Suprin. 2008. Dinamika dan


Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Edisi Pertama.
Bandung: PT Alumni.

Atmasasmita, Romli. 2012. Teori Hukum Integratif, Cetakan


Pertama. Yogyakarta: Genta Publishing.

238
Atmosudiro, Prajudi. 1986. Hukum Administrasi Negara,
Cetakan Kedelapan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Bastian, Indra. 2007. Sistem Akuntansi Sektor Publik,


Cetakan Kedua. Jakarta: Salemba Empat.

________. 2009. Telaah Kritis Standar Pemeriksaan


Keuangan Negara, SK Ketua BPK nomor 1/2007,
Edisi Pertama, Cetakan Pertama. Yogyakarta: BPFE-
Yogyakarta.

Bayangkara, IBK.. 2008. Management Audit, Audit


Management, Prosedur dan Implementasinya. Jakarta:
Salemba Empat.

BPK Perwakilan VII Makasar. 2005. Laporan Audit


Investigatif BPK Perwakilan VII Makasar, Pengaduan
Masyarakat atas Dugaan Korupsi Mantan Bupati
Minahasa Selatan di Amurang, Bab II Uraian Audit
Investigatif (online), diambil dari http://www.bpk.
go.id/doc/hapsem/2005ii/apbd/220.pdf.

Budiman, Arief. 1996. Teori Negara: Negara, Kekuasaan,


dan Ideologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Choi, Fredrick D. S. & Meek, Gary K.. 2010. International


Accounting (Akuntansi Internasional). Jakarta:
Salemba Empat.

Djumhana, Muhamad. 2007. Pengantar Hukum Keuangan


Daerah dan Himpunan Peraturan Perundang-undangan

239
di Bidang Keuangan Daerah, Cetakan Pertama.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Erwin, Muhamad. 2011. Filsafat Hukum, Refleksi Kritis


terhadap Hukum, Cetakan Pertama. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.

Fajri, Em Zul & Senja, Ratu Aprilia. Tt.. Kamus Lengkap


Bahasa Indoneia. Tanpa kota: Difa Publisher.

Garner, Brayen A.. 1999. Black’s Law Dictionary, Seventh


Edition. In Chief (Ed.). Minn., United State of
America: West Group, St. Paul.

Hadjon, Philipus M., dkk., 2011, Hukum Administrasi dan


Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Pertama. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Halim, Abdul. 2001. Auditing 1 (Dasar-dasar Audit


Laporan Keuangan), Cetakan Kedua. Yogyakarta:
Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) AMP YKPN.

________. 2008. Auditing 1, Edisi Keempat, Cetakan


Pertama. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen
YKPN.

Halim, Abdul & Bawono, Icuk Rangga. 2011. Pengelolaan


Keuangan Negara-Daerah: Hukum, Kerugian Negara,
dan Badan Pemeriksaan Keuangan. Yogyakarta: Unit
Penerbit dan Percetakan.

240
Hamidi, Jazim & Sinaga, Budiman N. P. D.. Tt.
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam
Sorotan, Cetakan Pertama. Jakarta: PT Tatanusa.

Hamzah, Andi. 2006. Perbandingan Pemberantasan Korupsi


di Berbagai Negara. Jakarta: Sinar Grafika.

________. 2009. Terminologi Hukum Pidana, Cetakan


Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

Hiariej, Eddy O. S.. 2012. Teori dan Hukum Pembuktian.


Yogyakarta: Erlangga.

Huda, Chairul. Tt., Dari Tiada Pidana Kesalahan Menuju


kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa
Kesalahan, Cetakan Keempat. Jakarta: Prenada Media
Group.

Huda, Ni’matul. 2010. Problematika Pembatalan Peraturan


Daerah, Cetakan Pertama. Yogyakarta: UII Prss.

Ibrahim, Johnny. 2011. Teori dan Metodologi Penelitian


Hukum Normatif, Cetakan Keempat. Malang:
Bayumedia Publishing.

Indra, Mexsasai. 2011. Dinamika Hukum Tata Negara


Indonesia, Cetakan Kesatu. Bandung: PT Refika
Aditama.

Indriati S., Maria Farida. 1996. Ilmu Perundang-undangan,


Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Satu. Yogyakarta:
Kanisius.

241
Institut Akuntan Publik Indonesia. 2011. Standar
Profesional Akuntan Publik, Terbitan 31 Desember
2001. Tanpa kota: Salemba Empat.

Ishaq. 2009. Dasar-dasar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua.


Jakarta: Sinar Grafika.

Islahuzzaman. 2012. Istilah-istilah Akuntansi dan Auditing,


Cetakan Pertama. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Johan, M. Yusuf & Setiawan, Dwi. 2009. Kiat Memahami


Pemeriksaan Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kajian terhadap Putusan MA nomor 995/PID/2005.

Kalingis, O. C.. 2011. Kejahatan Jabatan dalam Sistem


Peradilan Terpadu, Edisi Pertama, Cetakan Pertama.
Bandung: PT Alumni.

Kaltim Post, 2011, 31 Desember, hlm. 1.

Kansil, C. S. T., dkk.. 2009. Hukum Administrasi Daerah,


Cetakan Pertama. Jakarta: Jala Permata Aksara.

Keppres nomor 31 tahun 1983 tentang BPKP.

Keputusan Presiden nomor 64 tahun 2005 tentang


BPKP.

Kholis, Efi Laila. 2010. Pembayaran Uang Pengganti dalam


Perkara Korupsi, Cetakan Pertama. Jakarta: Solusi

242
Publishing.

Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami untuk


Membasmi – Buku Saku untuk Memahami Tindak
Pidana Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan
Korupsi.

Kompasiana. 2010. Peran Laporan Audit Investigasi


dalam Hal Menentukan Kerugian Negara dalam
Perkara Korupsi (online), diambil dari http://politik.
kompasiana.com/2010/01/29/peran-laporan-audit-
investigasi-dalam-hal-menentukankerugian-negara-
dalam-perkara-korupsi/.

Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan nomor II/C/S/


XIV.15/2006 tanggal 26 September 2006.

Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan BPK nomor 02/


LHP/XIX.SMD/I/2010 tanggal 14 Januari 2010.

Lumintang, P. A. F.. 1984. Kitab Undang-undang Hukum


Acara Pidana dengan Pembahasan secara Yuridis
Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum
Pidana. Bandung: Sinar Baru.

Mahakammedia. 2010. Mantan Sekretaris DPRD Kukar


Ditahan Polda Kaltim (online), diambil dari http://
mahak ammedia.wordpress.com/2010/04/25/
mantan-sekretaris-dprd-kukar-ditahan-polda-
kaltim/.

243
Marbun, S. F.. 1997. Peradilan Administrasi Negara dan
Upaya Administrasi di Indonesia, Cetakan Pertama.
Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.

Marbun, S. F. & Mahfud M. D., Moh.. Tt.. Pokok-pokok


Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kelima.
Yogyakarta: Liberty.

Marpaung, Leden. 2008. Asas-Teori-Praktek Hukum


Pidana, Cetakan Kelima. Jakarta: Sinar Grafika.

Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum, Cetakan


Keenam. Jakarta: Prenada Media Group.

Mas, Marwan. 2011. Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan


Kedua (Revisi). Bogor: Ghalia Indonesia.

Mertokusumo, Sudikno. 2011. Kapita Selekta Ilmu


Hukum, Edisi Pertama. Yogyakarta: Liberty.

Minarno, Nur Basuki. 2009. Penyalahgunaan Wewenang


dan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan
Keuangan Daerah, Cetakan Kedua. Surabaya:
Laksbang Mediatama.

Moh., Mahfud M. D.. 2010. Konstitusi dan Hukum dalam


Kontroversi Isu, Cetakan Kedua. PT. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Mulyadi. Tt. Auditing, Buku satu, Edisi Keenam. Jakarta:


Salemba Empat.

244
________. 2007. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,
Normatif, Teoritis, Praktek, dan Masalahnya. Bandung:
PT Alumni.

Mulyadi, Lilik. 2007. Hukum Acara Pidana (Normatif,


Teoritis, Praktik, dan Permasalahannya), Cetakan
Pertama. Bandung: PT Alumni.

Mustafa, Bachsan. 2001. Sistem Hukum Administrasi


Negara Indonesia, Cetakan Pertama. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti.

Nordiawan, Deddi, dkk.. 2009. Akuntansi Pemerintahan.


Jakarta: Salemba Empat.

Pengadilan Negeri Tenggarong. 2010. Putusan Perkara


Pidana nomor 260/Pid.B/2010/PN.Tgr., Putusan
tanggal 6 Desember 2011, hlm. 91.

Permendagri nomor 5 tahun 1997 tentang Tuntutan


Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi Keuangan
dan Barang Daerah.

Peraturan BPK nomor 1 tahun 2007 tentang Standar


Pemeriksaan Keuangan Negara.

Peraturan BPK RI nomor 3 tahun 2007 tentang Tata Cara


Penyelesaian Ganti Kerugian Negara.

Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 5 tahun 1997


tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan
Ganti Kerugian Keuangan dan Barang Daerah.

245
Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2006 tentang


Pelaporan Keuangan dan Kinerja Pemerintah.

Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang


Pengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008 tentang


Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.

Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang


Perubahan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun
2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah.

Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2005 tentang


Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah.

Posner, Richard A.. 2001. Frontiers of Legal Theory.


Cambridge, Massachusetts, London: Hardvard
University Press.

Praja, H. Juhaya S.. 2011. Teori Hukum dan Aplikasinya,


Cetakan Pertama. Bandung: CV Pustaka Setia.

Prajdjonggo, KPHA. Tjandra Sridjadja. 2010. Sifat


Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi,
Cetakan Ketiga. Jakarta: Indonesia Lawyer Club.

246
Prakoso, Djoko. 1988. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian
di dalam Proses Pidana. Yogyakarta: Liberty.

Primaconsultinggroup. 2008. Memahami Perbedaan


dan Dasar Hukum (online), diambil dari http://
primaconsultinggroup.blogspot.com/2008/05/
memahami-perbedaan-dan-dasar-hukum.html.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan Badan


Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan. 2009.
Auditing II, Kode MA. 1.220 (online), diambil dari
http://www.scribd.com/doc/ /51192195/8/C-Tujuan-
Audit.

Rachmat. 2010. Akuntansi Pemerintah. Bandung: CV


Pustaka Setia.

Rahayu, Siti Kurnia, dkk.. 2010. Auditing dan Pedoman


Pemeriksaan Akuntan Publik. Yogyakarta: Graha
Ilmu.

Rai, I Gusti Agung. 2010. Audit Kinerja pada Sektor Publik


(Konsep, Praktek, dan Studi Kasus). Jakarta: Salemba
Empat.

Rato, Dominikus. 2011. Filsafat Hukum: Mencari,


Menemukan, dan Memahami Hukum, Cetakan
Keempat Belas. Surabaya: Laksbang Justitia.

Rasjidi, Lili & Putra, Ida Bagus Wyasa. 2003. Hukum


sebagai Suatu Sistem, Edisi Kedua. Bandung: PT

247
Fikahati Aneska.

Rhiti, Hyronimus. 2011. Filsafat Hukum, Cetakan Kelima.


Yogyakarta: Universitas Atmajaya.

Ridwan H. R.. 2002. Hukum Administrasi Negara, Cetakan


Pertama. Yogyakarta: Tim UII Press.

Rifai, Abu Fida’ Abdur. 2006. Terapi Penyakit Korupsi


dengan Tazkiyatun (Penyucian Jiwa). Jakarta:
Republika.

Sadjijono, H.. 2011. Bab-bab Pokok Hukum Administrasi,


Cetakan Kedua. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.

Setiyawati, Deni. 2008. Kiprah Komisi Pemberantasan


Korupsi dalam Memberangus Korupsi. Jogjakarta:
Pustaka Timur.

Soepiadhy, Soetanto. 2008. Meredisain Konstitusi,


Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk
Demokrasi. Jakarta: Burung Merak Press.

Surat Edaran Jaksa Agung nomor B-046/A/Fd.1/08/2008


tanggal 7 Agustus 2008 tentang Kasus Penyalahgunaan
Anggaran DPRD.

Surat Edaran Mahkamah Agung RI nomor 4 tahun


2005.

Susanto, I. S.. Tt.. Kriminologi, Cetakan Pertama.


Yogyakarta: Genta Publishing.

248
Suwartono. 2010. Asas-asas Umum Pengelolaan
Keuangan (online), diambil dari http://
sebuahcatatanhidupsuwartono.blogspot.
com/2010/04/asas-asas-umum-pengelolaan-
keuangan.html.

Tribun Kaltim, 2010, 16 September, hlm. 13.

Tribun Kaltim, 2011, 5 November, hlm. 1.

Tuanakotta, Theodorus M.. 2007. Akuntansi Forensik


dan Audit Investigatif. Jakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.

________. 2010. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif,


Edisi Kedua. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.

Tunggal, Amin Widjaja. 2012. Forensic and Investigative


Accounting Pendekatan Kasus. Jakarta: Harvarindo.

Tunggal, Hadi Setia. 2011. Himpunan Peraturan


Perundang-undangan Keuangan Negara. Jakarta:
Harvarindo.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang


Perbendaharaan Negara.

Undang-Undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan


Kehakiman.

249
Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan


Kedua atas Undang-Undang nomor 32 tahun 2004.

Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang


Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab
Keuangan Negara.

Undang-Undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan


Pemeriksaan Keuangan.

Undang-Undang nomor 15 tahun 2011 tentang Akuntan


Publik.

Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan


Negara.

Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang nomor 28 tahun 1999 tentang


Penyelenggaran Negara Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme.

Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

250
Undang-Undang nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan
atas Undang-Undang nomor 8 tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian.

Undang-Undang nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan


Kedua atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Van Apeldoorn, L. J.. 2011. Pengantar Ilmu Hukum,


Cetakan Ketigapuluh Empat. Penerjemah Oetarid
Sadino. Jakarta: PT Balai Pustaka Persero.

Waspadamedan. Tt. Positif bila Kasus Yusril vs Hendarman


ke Pengadilan (online), diambil dari http://www.
waspadamedan.com/index.php?option=com_conten
t&view=article&id=3226:positif-bila-kasus-yusril-
vs-hendarman-ke-pengadilan&catid=62:tajuk&Item
id=233.

Wijaya, Firman. 2011. Delik Penyalahgunaan Jabatan


dan Suap dalam Praktek, Cetakan Pertama. Jakarta:
Penaku.

251

Anda mungkin juga menyukai