Anda di halaman 1dari 70

MEMAHAMI KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGASI

KELOMPOK 1

DEBBY SION 2006619583


AJENG LOSHITA SARI 2106671832
AMIRULLOH DWI FEBRIYANTO 2106671845
CINDY THERESIA BR. MANURUNG 2106671920
M DHIKA ADITYA SUBARKAH 2106672160
SATRIA BAGUS WIJAYANA 2106792796

MAGISTER AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS INDONESIA

2022
STATEMENT OF AUTHORSHIP

Kami yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa tugas terlampir adalah

murni hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang kami gunakan

tanpa menyebutkan sumbernya.

Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk tugas

pada mata ajaran lain, kecuali kami menyatakan dengan jelas bahwa kami

menggunakannya.

Kami memahami bahwa tugas yang kami kumpulkan ini dapat diperbanyak

dan/atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.

Debby Sion Satria Bagus Wijayana M Dhika Aditya S

Cindy Theresia Manurung Amirulloh Dwi Ajeng Loshita Sari


Febriyanto

i
DAFTAR ISI

Statement of Authorship.....................................................................................................i

Daftar Isi............................................................................................................................ii

Daftar Tabel......................................................................................................................iv

Daftar Gambar...................................................................................................................v

Wajah Baru Kerugian Keuangan Negara..........................................................................1

Tipikor dan KPK.............................................................................................................21

Konsep Dasar Kerugian Keuangan Negara.....................................................................28

Menghitung Kerugian Keuangan Negara........................................................................32

Kasus...............................................................................................................................50

1. Hambalang............................................................................................................50

a. Kronologi dan Temuan BPK............................................................................50

b. Tahapan Investigasi.......................................................................................54

c. Penetapan Kerugian Negara..............................................................................56

d. Penetapan Uang Pengganti............................................................................56

e. Kesimpulan.......................................................................................................57

2. E-KTP...................................................................................................................57

a. Tujuan Proyek...................................................................................................57

b. Kronologi......................................................................................................57

ii
c. Keterlibatan Setya Novanto..............................................................................59

d. Modus Operandi............................................................................................59

e. Perhitungan Kerugian Negara...........................................................................59

f. Penyimpangan dalam Proyek E-KTP...............................................................61

g. Hukuman Pelaku...........................................................................................62

h. Kesimpulan & Saran.....................................................................................62

Daftar Pustaka.................................................................................................................65

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Tugas dan Wewenang KPK..............................................................................25

Tabel 2:Tahap-tahap terkait kerugian keuangan negara..................................................32

Tabel 3: Bentuk Tipikor..................................................................................................36

Tabel 4: Ahli dari BPK....................................................................................................48

Tabel 5: Beberapa Terdakwa di Kasus Hambalang, Hukuman Pidana, dan Uang

Penggantinya...................................................................................................................56

Tabel 6: Detail Kasus E-KTP..........................................................................................61

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Pohon Kerugian Keuangan Negara...............................................................39

iv
WAJAH BARU KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

KONSEP KERUGIAN NEGARA

Beberapa Kontroversi

Dalam UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001

[selanjutnya "disingkat "UU Tipikor"), ada dua pasal yang mengatur kerugian keuangan

negara, yakni Pasal 2 dan Pasal 3.

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor berbunyi:

setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan

maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar

rupiah.

Pasal 3 UU Tipikor berbunyi:

setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling

singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan/atau denda paling sedikit 50 juta rupiah

dan maksimal 1 miliar.

Ada dua pertanyaan yang dapat diajukan oleh akuntan forensik atas kutipan Pasal 2 ayat

(1) dan Pasal 3 atas, yakni:

1
1. Dalam kedua pasal itu, Undang-Undang menggunakan kata dapat. Dalam

penggunaan sehari-hari, kata "dapat" bermakna "mempunyai potensi" atau "bisa

ya, bisa tidak". Jadi perbuatan dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jika

diterjemahkan dalam bahasa sehari-hari: "bisa merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara, tetapi juga bisa tidak merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara".

2. Apakah kerugian keuangan negara atau perekonomian negara bagian dari

perbuatan korupsi? Bukankah perbuatan korupsinya sudah terjadi, dan kerugian

keuangan negara atau perekonomian negara hanyalah akibat dari perbuatan

korupsi tersebut? Jika ini benar, apakah kerugian keuangan negara atau

perekonomian negara masih harus dibuktikan?

Untuk menjawab pertanyaan 1, para ahli hukum menggunakan istilah delik formal dan

delik material. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

("UU Perbendaharaan Negara"). Pasal 1 Angka 22 undang-undang ini menyebutkan:

"Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang

nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja

maupun lalai."

Apa arti kerugian yang nyata dan pasti? Contoh kasus: Pinjaman yang diberikan bank

semula dibayar dengan tertib oleh debiturnya. Sebelum terbayar lunas, debitur meminta

perpanjangan jangka waktu pelunasan kredit. Permintaan ini disetujui bank. Menjelang

akhir tahun/penutupan buku, pembayaran kredit dan bunganya mulai tersendat. Bank

membuat perkiraan kerugian dan mencatatnya sebagai penyisihan kerugian pemberian

pinjaman (provision for doubtful loan). Auditor eksternal sependapat dengan

manajemen bank tersebut tentang perlunya penyisihan. Seandainya ada perbuatan

2
melawan hukum dalam perpanjangan jadwal pinjaman. Pejabat bank (loan officer)

disuap oleh debiturnya, karena pejabat bank itu mengetahui kondisi keuangan

nasabahnya yang tidak sehat. Apakah kerugian ini nyata dan pasti?

Menurut ahli hukum, ya "dapat merugikan keuangan negara" dalam konteks delik

formal. Inilah yang diartikan Undang-Undang Tipikor Pasal 2 ayat (1) dan Pasal

Kerugian 3. Sebaliknya, UU Perbendaharaan Negara, menganut konsep kerugian negara

dalam arti delik materiil. Kerugian yang disisihkan bank dalam kasus di atas, dalam UU

Perbendaharaan Negara, belum merupakan kerugian yang nyata dan pasti.

Penjelasan UU Perbendaharaan Negara Pasal 59 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:

"Kerugian negara dapat terjadi karena pelanggaran hukum atau kelalaian pejabat negara

atau pegawai negeri bukan bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan

administratif atau oleh bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan

kebendaharaan. Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk

mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan

disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat negara pada umumnya, dan

para pengelola keuangan pada khususnya."

Pertanyaan kedua di atas (apakah kerugian merupakan unsur dari perbuatan korupsi atau

akibat?) berkaitan dengan pertanyaan: apakah kerugian ini harus dibuktikan, harus

dihitung? Pertanyaan ini berhubungan erat dengan pertanyaan pertama, dan Mahkamah

Konstitusi (MK) sudah dua kali mengambil putusan mengenai hal ini.

Absurdnya Konsep Kerugian yang Nyata dan Pasti

Para peneliti dengan latar belakang akuntansi meragukan dan mempertanyakan konsep

kerugian yang Nyata dan Pasti. Misalnya dalam contoh-contoh kerugian yang Nyata dan

Pasti, yang tidak memperhitungkan:

3
1) Unsur bunga, misalnya dalam kasus penyelamatan bank seperti BLBI, Bank

Century, cessie utang Bank Bali. Bayangkan, para koruptor dalam kasus-kasus

tersebut tidak mengembalikan utang sampai hari ini, bahkan buron ke luar

negeri, dan "berhasil" mencatatkan diri sebagai orang-orang terkaya Indonesia?;

2) Kerugian karena menurunnya nilai tukar rupiah (foreign exchange loss).

Kembali ke contoh BLB yang diberikan pada akhir abad ke-20 yang belum

diselesaikan sampai dasawarsa kedua abad ke-21. Sementara itu dana yang

dikucurkan dilarikan ke luar negeri atau ditukarkan ke dalam valuta asing

misalnya terhadap US dolar pada saat dana dikucurkan dan pada saat utang

dibayar kembali);

3) Peluang yang hilang (opportunity loss) misalnya dana BLBI yang tidak

dipertanggungjawabkan dapat memperbaiki gizi anak-anak Indonesia atau

menciptakan lapangan pekerjaan atau digunakan untuk membangun

infrastruktur, dan seterusnya.

4) Kerugian yang ditaksir. Jembatan ambruk karena ada perbuatan melawan hukum

yang bernama korupsi. Ahli teknik dapat menaksir biaya untuk membangun

kembali jembatan yang ambruk. Tapi ini angka taksiran, dan tidak diterima

penganut konsep kerugian yang Nyata dan Pasti. [Apakah para koruptor baru

disidangkan setelah jembatan dibangun kembali dan biaya pembangunan

kembalinya sudah nyata dan pasti?]

5) Asumsi dalam kerugian perekonomian negara. Asumsi tidak boleh, asumsi

bertentangan dengan konsep kerugian yang nyata dan pasti. Padahal kata

pertama yang dikenal mahasiswa di Fakultas Ekonomi adalah asumsi

4
(assumption), dan kata ini juga yang mereka akan sering gunakan sebagai ahli

ekonomi.

Dengan perhitungan kerugian NYATA dan PASTI yang absurd itu, perilaku para

koruptor kelas kakap ini bisa diduga. STAR (Stolen Asset Recovery) akan tetap berada

di luar negeri, tidak tersentuh, karena para koruptor dalam posisi yang lebih kuat dari

penegak hukum (setidaknya dalam persepsi koruptor). Tidak adanya political will di

antara penegak hukum dan penyelenggara negara, memperparah keadaan yang darurat

korupsi.

Sebelum kasus BLBI, kita sudah "berpengalaman" dengan kasus perbankan lain. Pada

tahun 1991 Bank Pembangunan Indonesia memberikan "kredit" kepada Tan Tjoe Hong

alias Tan Tju Fuan alias Eddy Tansil. Diduga ada perbuatan melawan hukum di

belakang pemberian kredit tersebut. Kredit itu kemudian macet.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis bersalah dan Eddy Tansil dihukum

20 tahun penjara denda Rp30 juta serta membayar uang pengganti Rp500 miliar. Ia juga

dihukum membayar kerugian negara sebesar Rp1,3 triliun. Pada tanggal 4 Mei 1996

Eddy Tansil berhasil kabur dari penjara Cipinang dan menghilang

Kasus Eddy Tansil jauh sebelum ada perdebatan tentang kerugian keuangan negara

yang nyata dan pasti Pemahaman tentang kerugian keuangan negara yang nyata dan

pasti, memperparah keadaan.

Menyelesaikan Kontroversi dengan Pendekatan AFAI

Adakah jalan keluar dari kemelut pemahaman tentang kerugian keuangan negara yang

nyata dan pasti? Para hakim harus keluar dari kepompong mereka yang nyaman, atau

dalam istilah ahli hukum, harus ada judicial activism. Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) Pasal 179 ayat (1) dan (2) berbunyi sebagai berikut:

5
Pasal 179 ayat 1

Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter

atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

Pasal 179 ayat 2

Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang

memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah

atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya

menurut pengetahuan bidang keahliannya.

AFAI, seperti banyak disiplin ilmu forensik lainnya, adalah disiplin baru. Seperti

disebut di atas, umumnya di sektor publik, AFAI baru dikenal sejak (14 Februari) 1998.

Oleh karena itu, dalam KUHAP Pasal 179 ayat (1), AFAI (akuntan forensik dan auditor

investigatif) masuk "ahli lainnya yang wajib memberikan keterangan ahli demi

keadilan".

Di pasal selanjutnya, AFAI: mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan

keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan bidang

keahliannya.

Kepercayaan yang diberikan hukum dan pengadilan kepada berbagai ahli forensik ini

dapat membantu pengadilan untuk disiplin ilmu di luar disiplin hukum. Hakim, Jaksa,

dan Penasihat Hukum/Pengacara adalah ahli-ahli hukum. Dalam menangani kasus-

kasus, sering kali dibutuhkan para ahli yang memberikan kesaksian (expert witness).

Jika hukum dan pengadilan memberikan keleluasaan kepada para ahli ini (selama

mereka memenuhi KUHAP Pasal 179 ayat 2), ada peluang yang besar untuk mengubah

scientific evidence (misalnya accounting evidence) menjadi legal evidence.

6
Transformasi dari bukti ilmiah menjadi bukti hukum itulah yang sebenarnya terjadi

ketika akuntan forensik menghitung kerugian keuangan negara, di bawah sumpah, dan

menjelaskannya dengan baik dan meyakinkan majelis hakim, dan majelis hakim

menetapkan kerugian tersebut dalam vonis.

Intinya, percayakan pada Ahlinya. Apakah Ahli ini seorang akuntan forensik, seorang

ahli ekonomi, seorang ahli lingkungan, dan seterusnya. Jika Hakim tidak puas dengan

satu Ahli, ia dapat meminta Jaksa menghadirkan Ahli kedua, ketiga, dan seterusnya. Hal

yang sama dapat dilakukan oleh Terdakwa dan Penasihat Hukumnya. Inilah solusi atas

kontroversi yang ditimbulkan dari kerugian keuangan negara yang nyata dan pasti.

Pertanyaan terakhir, bagaimana akuntan forensik menyampaikan perhitungan kerugian

keuangan negara atau bagaimana ahli ekonomi menyampaikan perhitungan kerugian

perekonomian negara? Berikut ini saran-saran dari suatu forum diskusi di Jakarta.

Akuntan menyajikan angka kerugian keuangan negara yang dihitungnya dalam satu

angka. Kemudian dalam butir-butir lainnya, ia dapat memberikan keterangan tambahan.

Misalnya:

1) Kerugian keuangan negara seperti dijelaskan dengan metode arus dana yang

dinikmati oleh para pelaku yang disebutkan di atas, berjumlah Rp3,6 triliun.

2) Jumlah tersebut adalah sekurang-kurangnya kerugian keuangan negara yang

kami hitung dengan metode tersebut.

3) Kerugian keuangan negara dapat bertambah jika diperhitungkan dengan biaya-

biaya yang diperlukan untuk memulihkan bangunan yang ambruk karena

dikerjakan tidak sesuai spec (spesifikasi) dalam kontrak. Menurut para ahli

bangunan dalam tim kami, biaya ini berjumlah Rp2 triliun.

7
Penyajian dalam beberapa butir seperti ditunjukkan atas, mempermudah Hakim

memahami metode dan alur pikir akuntan forensik.

Bagaimana ahli ekonomi menyampaikan perhitungan kerugian perekonomian

negaranya?

4) Batasi perhitungan ini untuk kasus-kasus yang jelas mempunyai dampak

terhadap perekonomian negara. Contoh: kasus perbankan, kasus lingkungan

hidup dalam sumber daya alam (kehutanan, pertambangan, perikanan, dan lain-

lain).

5) Jika harus menggunakan asumsi, gunakan asumsi yang layak (reasonable

assumptions), sehingga hasil akhir dari perhitungan kerugian ini dapat diterima

majelis hakim.

6) Tidak perlu menyajikan angka kerugian dalam rupiah atau mata uang asing.

Kerugian dapat disajikan dalam bentuk kuantitatif lain, seperti berapa tahun

diperlukan untuk menanam kembali sekian juta pohon, dengan tenaga kerja

sekian puluh ribu manusia. Atau, kerugian ini menghilangkan kemampuan

negara memberikan pendidikan kepada sekian juta orang Indonesia dalam usia

wajib belajar. Penyajian seperti ini lebih menggugah hati nurani hakim.

Deferred Prosecution Agreement

Deferred Prosecution Agreement (disingkat DPA) secara harafiah adalah perjanjian

penundaan penuntutan. Praktik ini dilakukan di negara-negara common law, dan

menurut pendapat Penulis, akan menghemat biaya penindakan (misalnya oleh KPK).

Ada hal-hal yang disepakati antara penuntut dengan yang "dituntut" namun tuntutannya

ditunda. Point yang harus diperhatikan:

7) Hal-hal yang disepakati penuntut dan yang dituntut;

8
8) Sanksi keuangan yang dapat membuat korporasi dan pengurusnya jera;

9) Detail dari sanksi keuangan ini dan peluang bagi akuntan forensik menghitung

sanksi keuangan ini;

10) Diskresi yang diberikan pengadilan untuk memberikan discount/potongan dalam

menetapkan sanksi keuangan;

11) Keterlibatan penuntut dari beberapa negara, termasuk KPK.

DPA ini merupakan contoh konkrit dari Economic Analysis of Law dan kerja sama

antara SFO dan KPK serta hal-hal yang bisa dipelajari (lessons learned) dari kerja sama

ini.

METODE PERHITUNGAN KERUGIAN NEGARA

Apakah metode perhitungan baku dibutuhkan, "is it desirable"?

Dalam menghitung kerugian keuangan negara, pertanyaan yang sering diajukan ialah:

12) Mengapa metode perhitungannya sederhana?

13) Mengapa kerugian yang diajukan di persidangan relatif lebih rendah dari

perhitungan dengan "teori akuntansi"?

14) Apakah metode perhitungannya dapat dibakukan atau diseragamkan?

15) Mengapa dalam suatu kasus yang sama, dua lembaga pemeriksa menghasilkan

perhitungan yang berbeda?

Daftar pertanyaannya dapat diperpanjang. Inti perdebatannya: Apakah metode

perhitungan kerugian keuangan negara yang baku atau seragam itu dibutuhkan, atau

dalam ungkapan bahasa Inggris, "is it desirable?". Ada hipotesis bahwa setiap kasus

korupsi berbeda dari kasus lainnya, dan karenanya metode perhitungan untuk setiap

kasus harus berbeda. Apakah demikian? Mungkin "Ya", misalnya dalam kasus A bukti-

9
bukti yang tersedia lebih lengkap dari kasus B. Tetapi ini bukan keunikan dalam

perbuatan korupsinya, melainkan perbedaan dalam tersedianya bukti. Para ahli hukum

berpendapat bahwa konsep kerugian dan ganti rugi dalam pidana, berasal dari hukum

perdata. Buat seorang akuntan forensik (yang terlatih; teliti memperhatikan faktor yang

relevan; dan penuh kehati-hatian), menghitung kerugian apa pun (termasuk kerugian

keuangan negara), bukanlah sesuatu yang sulit. Yang "terlihat" rumit ialah drama yang

diperlihatkan di dalam dan di luar ruang sidang yang begitu dinamis.

Menghitung dan Menetapkan Kerugian

Akuntan Forensik hanya menghitung besarnya kerugian (keuangan negara). Hakimlah

yang pada akhirnya menetapkan besarnya kerugian tersebut. Akuntan Forensik

dihadirkan sebagai Ahli yang memberikan keterangan ahli di persidangan. Ia bisa

menjadi Ahli yang membantu Jaksa Penuntut Umum. Dalam hal ini perhitungannya

mengenai besarnya kerugian dapat digunakan JPU untuk menyusun dakwaan. Akuntan

Forensik juga bisa membantu Terdakwa atau Penasihat Hukumnya. Dalam hal ini ia

dapat menghitung sendiri besarnya kerugian, kalau menurut dia memang ada dan

jumlahnya di bawah kerugian yang didakwakan. Atau, ia memberikan argumen

kerugian itu sebenarnya tidak ada; dan dengan demikian ia menyiapkan bantahan

terhadap dakwaan JPU.

Akuntan forensik juga dapat dihadirkan sebagai Ahli yang memberikan keterangan ahli

di persidangan. Dalam hal ini, simpulan dari keterangan ahlinya, misalnya: "Jumlah

kerugian menurut perhitungan kami ialah maksimum Rp500 juta, atau maksimum

sebesar Rp500 juta. Kerugian ini jauh di bawah kerugian yang didakwakan JPU, yakni

sebesar Rp1.000.000.000.000 (satu triliun rupiah)."

10
Baik Akuntan Forensik yang membantu JPU maupun Terdakwa/Penasihat Hukumnya,

berupaya meyakinkan Hakim mengenai perhitungan kerugian versi mereka masing-

masing. Pada akhirnya Hakimlah yang menetapkan besarnya kerugian.

Kerugian Keuangan Negara dan Pemidanaan

Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus (seperti Hukum Pidana untuk kasus-

kasus korupsi) membedakan pidana pokok dan pidana tambahan. Tindak pidana korupsi

yang dihitung kerugian keuangan negaranya, diatur dalam Pasal 2 dan 3 Undang-

Undang Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20

Tahun 2001).

16) Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor: "Setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan

denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah."

17) Pasal 3: "Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup,

atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau

denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.

18) Pasal 18

(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:

11
 perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau

barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak

pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana

korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang

tersebut;

 pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan

harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

 Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)

tahun;

 Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh

atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh

Pemerintah kepada terpidana.

Besarnya angka kerugian keuangan negara yang ditetapkan Majelis Hakim akan

berdampak terhadap berat/ringannya pidana pokok berupa pidana penjara, tetapi tidak

berdampak pada pidana pokok berupa denda. Pidana tambahan merupakan diskresi

hakim. Pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dipengaruhi oleh besarnya

angka kerugian.

Pembahasan tentang pidana pokok berupa pidana penjara dan pidana tambahan berupa

pembayaran uang pengganti ini ingin menunjukkan pentingnya argumen, Terdakwa dan

Penasihat Hukum dalam Hakim. Ini adalah bagian dari Drama di Pengadilan.

Drama di Pengadilan

Dalam menjelaskan makna akuntansi forensik, D. Larry Crumbley menulis: "Simply

put, forensic accounting is legally accurate accounting. That is, accounting that is

12
sustainable in some adversarial legal proceeding, or within some judicial or

administrative review."

Crumbley bukan saja menekankan makna akuntansi forensik pada "legally accurate

accounting" (akuntansi yang akurat di hadapan hukum). la bahkan menekankan fakta

bahwa akuntansi tersebut harus bisa bertahan dalam persidangan pengadilan yang

adversarial.

Dalam bahasa Inggris istilah "adversarial system" adalah istilah hukum yang

menjelaskan sistem pengadilan di mana dua pihak saling adu argumen untuk merebut

hati hakim (judge) dan para juri (jury dalam upaya memenangkan perkara. Ada

semacam perseteruan di antara para pihak (JPU melawan Terdakwa dan Penasihat

Hukumnya dalam pengadilan pidana, atau antara Penggugat dan Tergugat dalam

Pengadilan perdata). Di dalam suasana perseteruan ini, para pihak berupaya meyakinkan

hakim tentang kebenaran pandangan masing-masing. Dalam mengambil putusan

(menjatuhkan vonis), hakim akan menetapkan besarnya suatu perhitungan, yang bisa

sama atau berbeda dengan perhitungan kedua belah pihak. Perhitungan inilah yang

suatu dimaksud Crumbley sebagai akuntansi forensik.

Sekarang kita membahas pandangan seorang ahli hukum berkebangsaan Belanda.

Pendapatnya secara luas dikenal oleh para ahli hukum di tanah air. Bahkan beberapa

putusan Mahkamah Agung mengutip pendapatnya, yang lazimnya telah diterjemahkan

ke dalam bahasa Indonesia.

Inilah dalil Prof. M. Trapman.

Het standpunt van de verdachte karakterisseerde hij als de subjectieve beoordeling van

een subjectieve positie, dat van de raadsman als de objectieve beoordeling van een

subjectieve positie, dan van de openbare ministerie als de subjectieve beoordeling van

13
een objectieve positie, dat van de rechter als de objectieve beoordeling van een

objectieve positie." Sumber: Leerboek van het Nederlandsche Strafprocesrecht, pagina

132, 6 e herziene druk

Terjemahan bebas:

Sudut pandang si Terdakwa ditandai dengan pertimbangannya yang subjektif dari posisi

yang subjektif. Sudut pandang Penasihat Hukum ditandai dengan pertimbangannya

yang objektif dari posisi yang subjektif. Sudut pandang Penuntut Umum ditandai

dengan pertimbangannya yang subjektif dari posisi yang objektif. Sudut pandang Hakim

ditandai dengan pertimbangannya yang objektif dari posisi yang objektif.

Dalil Prof. Trapman dapat dijelaskan sebagai berikut:

19) Trapman ingin menggambarkan perbedaan di antara empat pihak dalam

pengadilan pidana. itu adalah Terdakwa, yang mendapat nasihat hukum dari

Penasihat Hukum, yang berhadapan Penuntut Umum (jaksa). Mereka bertiga

berupaya, melalui argumen masing-masing di untuk meyakinkan Hakim.

20) Dalam berargumen masing-masing pihak (termasuk Hakim) berangkat dari

pertimbangan dan posisi yang berbeda.

21) Terdakwa berupaya meyakinkan para pihak, bahwa ia tidak bersalah. la

berangkat dari hukum yang menguntungkan dirinya, yang tentunya bersifat

subjektif. Dan juga dari posisi subjektif ("aku tidak bersalah").

22) Penasihat Hukum harus bertitik tolak dari pertimbangan hukum yang benar

(objektif), la boleh memberikan pertimbangan hukum yang tidak benar, semata-

mata agar kliennya bebas. ia memberikan pertimbangan hukum yang tidak

benar, ia akan diserang Penuntut Umum risiko tidak bisa meyakinkan hakim

14
dengan argumennya). Atau, Hakim dapat menetapkannya menghalang-halangi

proses peradilan (obstruction of justice). Meskipun pertimbangan objektif, ia

berangkat dari posisi yang subjektif, yakni membela kliennya.

23) Penuntut Umum mulai dengan tuduhan, dengan “dugaan Terdakwa”. Dengan

argumen dan bukti-bukti hukum yang diperolehnya (dalam tingkat penyelidikan

dan penyidikan) Penuntut Umum berusaha membuktikan kebenaran dugaan dan

dakwaan. Jelas, pertimbanga Penuntut Umum adalah subjektif, ia menggunakan

dugaan dalam dakwaannya. Namun sebagai Penuntut Umum, ia mewakili

negara. Karena itu ia harus berangkat dari posisi yang objektif.

24) Terakhir, sang Penentu, yang harus adil, independen dan fair. Hakim menjadi

penengah diantara pihak-pihak yang berperkara. la sebagai harus menggunakan

pertimbangan hukum yang benar (dan sesuai dengan keyakinan sebagai Hakim)

dari posisi netral. Dalam istilah Trapman, Hakim ditandai dari pertimbangan

hukumnya dan posisinya yang objektif.

Jika para pihak di pengadilan melaksanakan peran mereka sesuai dalil-dalil Trapman,

kita akan melihat apa yang Crumbley istilahkan sebagai "some adversarial legal

proceeding". Ini bukan saja di dalam pengadilan (pidana atau perdata), tetapi juga dalam

penyelesaian sengketa di luar pengadilan, misalnya melalui Arbitrase.

Perbedaan latar belakang budaya dan keyakinan membuat gagasan Trapman terlihat

"terlalu" ideal buat Indonesia, yang cenderung kompromistik. Kita terbiasa membaca

jaksa, polisi, hakim, dan pengacara bermasalah, atau terkena OTT (operasi tangkap

tangan) KPK dan seterusnya. Dari waktu ke waktu terbesit berita bahwa para auditor

investigatif yang menghitung kerugian keuangan negara, juga bermasalah.

15
Kecenderungan tidak sehat tersebut dapat mendorong hasrat untuk mencari metode

perhitungan yang kompromistis, yang dibungkus dengan istilah "metode baku", "yang

nyata dan pasti", dan istilah lainnya.

Menghitung kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi, tidak sukar.

Namun, ia memerlukan kejujuran dan hasrat untuk mempertahankan hasilnya dalam

kancah yang adversarial. Argumen para pihak di bawah pengawasan Hakim selaku

wasit merupakan kancah Candradimuka yang menggembleng para pihak

Dalam suatu diskusi ilmiah di Jakarta, Hakim Artidjo Alkostar menggunakan istilah

"laboratory of logic" dalam menguraikan peran pengadilan. Beliau selanjutnya

menjelaskan: "Hakim memutus demi keadilan dan kebenaran. Memutus demi keadilan,

dengan menggunakan hati, dan demi kebenaran dengan menggunakan otak. Memutus

perkara berdasarkan hati nurani, dengan keyakinan penuh. Keyakinan berdasarkan

pancaindera, keyakinan berdasarkan literatur/ilmu dan berdasarkan hati nurani.

ANALISIS EKONOMI DALAM HUKUM

Dalam bahasa ilmu ekonomi, kesepakatan dibuat untuk kasus-kasus di mana biaya atau

beban untuk menangani kasus (dalam hal ini beban penindakan) lebih besar dari

hasilnya. Atau, C > B di mana C = Cost untukmelaksanakan penindakan terhadap

perbuatan yang diduga korupsi dan B = Benefit, atau pengembalian hasil perbuatan

korupsi. Kesepakatan tersebut mempunyai "hitung-hitungan ekonomi" yang dikenal

dengan istilah cost-benefit analysis.

Beberapa akademisi hukum membuat pernyataan bahwa kerugian keuangan negara

harus ditanggung negara karena Pemerintah tidak mampu membangun sistem

pencegahan dan penindakan korupsi yang efektif. Akibat ketidakmampuan Pemerintah,

16
APBN (seperti lemari besi/vault/brandkas di bank) berhasil dijebol para koruptor. Cost-

benefit analysis dilihat dari dua sisi, yakni dari sisi Pemerintah selaku pengelola negara

yang harus memperhatikan kepentingan orang banyak, dan dari sisi si koruptor (selaku

pelaku atau calon pelaku). Ada kalanya keputusan dalam bidang hukum (pembuatan

Undang-Undang atau peraturan perudang-undangan lainnya) sangat diwarnai oleh cost

benefit analysis, dalam hal ini dari sisi kedua belah pihak (Pemerintah melalui wakil-

wakil di badan legislatif dan perusahaan-perusahaan yang memiliki kepentingan)

melalui sumbangan, lobi dan kampanye.

Sesudah terendus, para pelaku harus mengeluarkan lagi "biaya", misalnya berupa:

Pengembalian secara resmi, sebelum atau sesudah persidangan tipikor. Biaya untuk

Penasihat Hukum (termasuk jika mereka memilih langkah Praperadilan.

 Biaya untuk mendatangkan saksi serta Ahli yang meringankan.

 Suap untuk aparat termasuk anggota APH.

 Atau, yang lebih nista, menggunakan segala ancaman, sampai kekerasan, sampai

upaya pembunuhan terhadap pihak-pihak yang mereka anggap harus

"diamankan".

Jika para pelaku dijatuhi hukuman, misalnya pidana penjara ada biaya yang mereka

keluarkan agar bisa hidup "lebih nyaman", dengan pendekatan kepada petugas atau

Kepala Lapas. Pidana denda dan pidana tambahan berupa uang pengganti, jelas

merupakan biaya berupa uang.

Pertanyaannya ialah, apakah C < B, C = B, atau C > B? Jika C < B dan pelaku tidak

peduli hukum, etika, ajaran agamanya, dan lain-lain (ini asumsi yang penting), "secara

rasional" perbuatan korupsi tersebut sangat "logis".

17
Dari contoh itu, negara harus melindungi diri. Pertama, dengan membuat undang-

undang dan peraturan perundang-undangan yang "menghukum perbuatan tersebut"

(secara de facto, hukuman ini adalah biaya dalam peramaan C < B). Kedua, dengan

penegakan hukum.

Economic Analysis of Law

Economic Analysis of Law dipopulerkan oleh Richard A. Posner yang menulis buku

dengan judul tersebut. Posner adalah Hakim Kepala di Pengadilan Banding Amerika

Serikat (Chief Judge, United States Court of Appeals for the Seventh Circuit).

Posner menunjukkan bahwa hubungan antara kedua disiplin ilmu (ekonomi dan hukum)

sudah lama dikenal. Dalam salah satu tulisannya, Posner memberi contoh tentang para

pelepas uang (loan sharks). Pelepas uang ini akan menghukum para peminjam yang

tidak memenuhi kewajiban mereka, dengan mematahkan kaki dan bukan membunuh.

Hukuman patah kaki jauh lebih cost effective ketimbang membunuh si debitur yang

cidera janji.

Dalam makalah yang sama, Posner mengutip rumus Hand (Hand Formula) yang dibuat

Hakim Learned Hand. Rumus ini berkenaan dengan konsep rationality. Tulis Posner:

"Rationality implies decision making, and people often have to make decisions under

conditions of profound uncertainty; fortunately, economists have devoted a good deal of

attention to decision under uncertainty."

Contoh dari keputusan dalam ketidakpastian dalam hukum: Berapa besar upaya

seseorang untuk menghindari kecelakaan? Kecelakaan terjadi dengan tingkat

probabilitas (probability) P, dan jika terjadi, akan ada kerugian (loss) sebesar L;

asumsikan lebih lanjut bahwa untuk mengeliminasi probabilitas terjadinya kecelakaan,

si calon korban (potential injurer) menanggung beban (burden) B.

18
Maka biaya untuk mencegah terjadinya kecelakaan (the cost of avoiding the accident)

lebih kecil dari biaya kecelakaan yang diharapkan (the expected accident cost) yang

adalah manfaat dari menghindari kecelakaan (benefit of avoiding the accident) jika B

lebih kecil dari L dikalikan P, atau B<PL. Jika kondisi ini terpenuhi maka calon korban

(potential injurer) dapat diartikan lalai (negligent) jika dia mengabaikan

peringat(precaution) untuk mengeliminasi kecelakaan. Inilah negligence formula (rumus

kelalaian) yang dikemukakan Hakim Learned Hand yang diumumkan sebagai putusan

(judicial opinion) tahun 1947.

Dengan menggunakan rumus Hakim Hand (Hand Formula) kita dapat melihat

bagaimana si korban dapat dianggap lalai (an injurer could be deemed negligent)

sekalipun probabilitas terjadinya kecelakaan sangat rendah (B mungkin saja rendah

tetapi L sangat tinggi), atau sekalipun biaya untuk menghindari kecelakaan (the cost of

avoiding the injury) sangat tinggi (karena P dan/atau L mungkin sangat tinggi).

Banyak contoh kasus hukum yang diberikan dalam makalahnya. Sayangnya, tidak ada

contoh dari kasus tindak pidana korupsi.

Terakhir mengenai Posner, kutipan dari Larry L. Chubb sebagai berikut.

Fundamental Concepts of Economic Analysis

Judge Posner points out that the domain of economics is much broader than most

lawyers perceive. Posner perceives economics as the science of rational choice in a

world in which resources are limited in relation to human wants. The three fundamental

principles of economics Posner cites are: the inverse relation between price charged

and quantity demanded; the presumption that all consumers and sellers try to maximize

utility; and that resources tend to gravitate toward their most valuable uses in a free

market.

19
Terjemahan bebas sebagai berikut:

Konsep-Konsep Fundamental Analisis Ekonomi

Hakim Posner menunjukkan bahwa domain ilmu ekonomi jauh lebih luas dari apa yang

dibayangkan kebanyakan lawyers. Dalam pemikiran Posner ilmu ekonomi adalah ilmu

mengenai pilihan yang rasional dalam dunia di mana sumber daya (resources) terbatas,

dibandingkan dengan yang diinginkan manusia. Ada tiga prinsip fundamental ilmu

ekonomi yang dikutip Posner, yakni: hubungan terbalik antara harga yang dibebankan

dengan jumlah yang diminta; anggapan bahwa semua konsumen dan penjual, berupaya

memaksimalkan utility/nilai mereka masing-masing; dan sumber daya cenderung

bergeser ke arah penggunaan yang mempunyai nilai tertinggi dalam suatu pasar bebas.

Berbekal EAL, dapat dipahami bahwa banyak “anomali” disekitar penanganan tindak

pidana korupsi dan segala drama di dalam dan di luar pengadilan. Walaupun Posner

menulis dalam lingkungan “bersih”, EAL-nya dapat dipergunakan untuk menganalisis

anomali dalam lingkungan yang tercemar korupsi.

20
TIPIKOR DAN KPK

Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

UU No 31 Tahun 1999 dan UU No 20 Tahun 2021 mendefinisikan 30 tindak pidana

korupsi (tipikor) dan sanksinya. Sebagian besar perilaku tipikor dijerat 2 pasal, dimana

biasanya mencakup perilaku:

i. Suap menyuap,

ii. Penggelapan,

iii. Pemerasan,

iv. Kecurangan,

v. Benturan kepentingan pengadaan barang,

vi. Menerima gratifikasi.

UNCAC (United Nation Convention Against Corruption)

Dalam resolusi 5/61 tanggal 4 Desember 2000, Sidang Umum PBB mengakui bahwa

negara-negara membutuhkan suatu instrumen hukum nasional untuk melawan korupsi.

Sehingga didirikanlah sebuah organisasi independen yang terdiri dari lintas batas negara

yang dinamakan UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) yang

berlaku sah pada tanggal 14 Desember 2005.

Adapun butir penting yang terdapat dalam UNCAC yaitu tentang pencegahan terjadinya

korupsi (prevention), tentang penetapan korupsi sebagai tindak pidana (criminalization),

tentang kerja sama internasional (international cooperation), dan tentang pemulihan

aset yang dikorupsi (asset recovery). Berikut merupakan penjelasan singkat terkait

butir-butir tersebut:

21
a. Prevention

Pencegahan dalam UNCAC diserahkan untuk sektor publik maupun swasta, yang di

dalamnya meliputi kebijakan untuk pencegahan, seperti pendirian lembaga anti

korupsi (contohnya di Indonesia adalah KPK). Kemudian perlu adanya peningkatan

transparansi dalam pendanaan kampanye pemilihan, serta keterbukaan sumber dana

parpol. Perlu juga transparansi dan pertanggungjawaban di bidang keuangan negara,

khususnya di bidang yang rawan seperti pengadaan barang dan jasa.

b. Criminalization

UNCAC mengharuskan negara mempunyai ketentuan perundang-undangan yang

memidanakan perbuatan korupsi. Perbuatan yang dipidanakan bukan hanya bentuk

korupsi mendasar, melainkan kejahatan yang mendukung korupsi seperti money

laundering dan menghalang-halangi upaya peradilan juga harus dipidanakan.

c. International Cooperation

Negara-negara sepakat untuk kerja sama dalam segala aspek terkait pemberantasan

korupsi, termasuk upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan. Negara yang

terikat dalam UNCAC mengajukan bentuk bantuan hukum bersama (mutual legal

assistance) berkenaan dengan pengumpulan dan penyerahan bukti-bukti untuk

digunakan di pengadilan dan untuk mengekstradisi pelaku kejahatan. Negara juga

diharuskan memiliki kebijakan untuk mendukung penelusuran (tracing), pembekuan

(freezing), penyitaan (seizure) dan perampasan (confiscation) hasil korupsi.

d. Asset Recovery

Pemulihan aset yang dikorupsi harus direkonsiliasi dengan pengamanan hukum dan

pengamanan proseduran negara. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan kerugian

yang dialami negara atas tipikor yang dilakukan.

22
Komisi Pemberantas Korupsi (KPK)

UU No. 30 Tahun 2002 tanggal 27 Desember 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi menjelaskan terkait:

1) Tujuan pembentukan: meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi.

2) Sifat dalam pelaksanaan tugas: independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan

mana pun.

3) Azas dalam menjalankan tugas dan wewenangnya: Kepastian hukum, keterbukaan,

akuntabilitas, kepentingan umum dan profesionalisme. KPK bertanggung jawab

kepada publik, dan menyampaikan laporannya kepada Presiden, DPR dan BPK.

Tugas dan wewenang KPK meliputi:

Tugas Wewenang

Koordinasi 1 Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan

dengan instansi terhadap tipikor.

yang berwenang 2 Meletakkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan

melakukan tipikor.

pemberantasan 3 Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tipikor

tipikor kepada instansi terkait.

4 Melaksanakan dengan pendapat atau pertemuan dengan

instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tipikor.

5 Meminta laporan instansi terkait pencegahan tipikor.

23
Supervisi 1 Melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap

terhadap instansi instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang

yang berwenang berkaitan dengan pemberantasan tipikor dan instansi yang

melakukan melaksanakan pelayanan publik.

pemberantasan 2 Mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku

tipikor tipikor yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.

Penyelidikan, 1 Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.

penyidikan dan 2 Memerintahkan seseorang pergi keluar negeri.

penuntutan 3 Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan

terhadap tipikor lainnya tentang keadaan keuangan tersangka.

4 Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya

untuk memblokir rekening yang diduga hasil korupsi.

5 Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk

memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.

6 Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan,

perdagangan dan perjanjian lainnya, atau pencabutan

sementara perizinan, lisensi, serta konsesi yang dimiliki

tersangka atau terdakwa.

7 Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak

hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan

dan penyitaan barang bukti di luar negeri.

8 Meminta bantuan kepolisian atau instansi terkait untuk

melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan

penyitaan dalam perkara tipikor.

24
Pencegahan 1 Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan

tipikor harta kekayaan penyelenggara negara.

2 Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi.

3 Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi.

4 Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi

pemberantasan tipikor.

5 Melakukan kampanye anti korupsi ke masyarakat umum.

6 Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral dalam

pemberantasan tipikor.

Pemantauan 1 Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan

penyelenggaraan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah.

pemerintahan 2 Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan

negara pemerintah untuk melakukan perubahan jika sistem

pengelolaan administrasi berpotensi korupsi.

3 Melaporkan kepada Presiden, DPR dan BPK jika saran KPK

mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.

Tabel 1: Tugas dan Wewenang KPK


Kewajiban dan larangan KPK meliputi:

KPK berkewajiban untuk :

1. Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang melaporkan atau

memberi keterangan atas terjadinya tipikor.

25
2. Memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan

bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tipikor

yang ditangani.

3. Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden, DPR dan BPK.

4. Menegakkan sumpah jabatan.

5. Menjalankan tugas, tanggung jawab dan wewenangnya berdasarkan asas-asas di

atas.

Pimpinan, tim penasihat dan pegawai KPK dilarang:

1. Mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak

lain yang berhubungan dengan perkara tipikor yang ditangani KPK.

2. Menangani perkara tipikor yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah

atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan

anggota KPK yang bersangkutan.

3. Menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan, organisasi yayasan, pengawas atau

pengurus koperasi dan jabatan atau profesi lainnya yang berhubungan dengan

jabatan tersebut.

Setiap anggota dan pegawai KPK yang melanggar larangan di atas, dipidana dengan

hukuman penjara paling lama lima tahun. Dan setiap anggota dan pegawai KPK yang

melakukan tipikor, pidananya akan diperberat dengan menambah 1/3 dari ancaman

pidana pokok.

26
27
KONSEP DASAR KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

Dalam pembahasan tersebut kita akan membagi dalam dua hal besar pada diskusi kali

ini. Pertama adalah Konsep kerugian dan kedua adalah konsep keuangan negara. Dalam

proses hukum kita, terdapat hukum perdata terkait dengan hukum privat dan hukum

administrasi negara serta hukum pidana masuk dalam hukum publik. Kedua hukum

tersebut, menjelaskan beberapa definisi atas kerugian pada konteksnya masing –masing.

Konsep Dasar Kerugian

Dalam hukum perdata, penjelasan pada kerugian dijelaskan dalam hukum perdata

bagian 4 mencakup pasal 1243 sampai dengan pasal 1252 yang berjudul “Penggantian

Biaya, Kerugian dan Bunga Karena Tidak dipenuhinya suatu perikatan”. Pada hukum

perdata di Indonesia umumnya mengutip terkait beberapa istilah yang sangat mendekati

dengan pendefinisian atas kerugian yaitu kosten, schaden en interessen. Dengan

definisi yang dimaksudkan kerugian yang dapat dimintakan penggantian itu, tidak

hanya yang berupa biaya yang sungguh –sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau

kerugian yang sungguh –sungguh menimpa harta benda si berpiutang (schaden), tetapi

juga yang berupa kehilangan keuntungan (interessen). Yaitu keuntungan yang akan

didapat seandainya si berhutang tidak lalai ( winstderving).

Dalam hukum Administrasi Negara, kerugian negara atau daerah dapat mengutip pada

Undang – Undang tentang Perbendaharaan Negara (UU No 1 Tahun 2004). Dalam

penjelasan kerugian ini adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata

dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun

lalai. Hal ini selaras dengan paham kerugian sebagai akibat perbuatan melawan hukum,

dapat dituntut, ini sesuai dengan pasal 1365 KUHPer.

28
Dalam praktik hukum administrasi negara, peranan dilakukan oleh BPK dan BPKP.

Dalam hal ini BPK dalam petunjuk BPK, menjelaskan dua hal yaitu kerugian negara itu

sendiri dan besarnya jumlah kerugian negara. Pada konsep kerugian negara sendiri

menitikberatkan pada “berkurangnya kekayaan negara” sedangkan pada besarnya

jumlah kerugian negara sendiri yaitu “...pada dasarnya besarnya kerugian Negara

tidak boleh ditetapkan dengan dikira-kira atau ditaksir”. Sedangkan dari sudut pandang

BPKP, merujuk pada konsep pemeriksaan khusus yaitu pemeriksaan yang dilakukan

terhadap kasus penyimpangan yang menimbulkan kerugian keuangan/kekayaan negara

dan/atau perekonomian negara. Sedangkan kerugian keuangan/kekayaan negara sendiri

adalah suatu kerugian negara yang tidak hanya bersifat riil yaitu benar –benar telah

terjadi namun juga yang bersifat potensial yaitu yang belum terjadi seperti adanya

pendapatan negara yang akan diterima dan lain sebagainya. Meskipun dalam praktik

hukum persidangan, majelis lebih menekankan kerugian riil namun pengungkapan

kerugian yang bersifat potensial tetap harus dilakukan oleh BPKP.

29
Gambar 6.

Titik Singgung Pengaturan Ganti Kerugian dari Hukum Perdata, Administrasi Negara, Hukum Pidana

Sumber: M Tuanakotta

Dalam ilmu ekonomi sendiri, dasar atas kerugian ditempatkan pada konsep well-

offness atau better –offness. Dalam hal ini, terkadang mengalami kesulitan dalam

mengukur secara objektif, namun atas permasalahan tersebut bukanlah menjadi alasan

untuk sebagai salah satu pengabaian. Dari sisi akuntansi sendiri, titik berat dalam

pembahasan kerugian negara pada konsep itu adalah substance over form. Dalam hal ini

penjelasannya merujuk pada makna ekonomis dari suatu transaksi (substance), dan

bukan sekedar tampilan luar. Begitu juga konsep different costs for different purposes

yang dikemukakan oleh Clark dalam konteks akuntansi forensik yaitu segala data dan

30
informasi (termasuk data biaya dan kerugian) yang relevan dengan tujuannya dalam hal

ini tujuannya adalah pembuktian tentang adanya kerugian negara.

Keuangan Negara

Keuangan negara sendiri dalam arti luas melihat arti luas yaitu menjelaskan tentang

kehadiran negara dalam menghasilkan public goods sebagai konsekuensi atas

penyelenggaraan sektor publik. Sedangkan dalam arti sempit, sudut pandang akan

diarahkan pada APBN. Namun, atas terbitnya UU no 17 Tahun 2003 tentang

keuangan negara menjadikan keuangan negara cukup jelas dalam pengertian dan

ruang lingkupnya.

Dari sisi obyek, keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban

negara yang dapat dinilai dengan uang. Dari sisi subjek, keuangan negara meliputi

pemerintah baik pusat dan daerah, perusahaan negara maupun badan lain yang ada

kaitannya dengan keuangan negara. Sedangkan dari sisi proses, Keuangan negara

mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek

sebagaimana tersebut diatas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan

keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan keuangan negara

sendiri adalah untuk penyelenggaraan negara.

31
MENGHITUNG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

Tahap – tahap berkenaan dengan kerugian keuangan negara:

Tahap Kegiatan Pemeran Keterangan

Menentukan ada atau tidaknya Penyelidik,


1
kerugian keuangan negara Penyidik Tahap 1 dan 2 bersifat

Akuntan interaktif dan reiterative


2 Menghitung kerugian
Forensik

Tahap 1 dan 2 dengan 3


3 Menetapkan kerugian Hakim
searah

Fakultatif, wewenang
4 Menetapkan uang pengganti Hakim
hakim

Tabel 2:Tahap-tahap terkait kerugian keuangan negara


Tahap 1 – Menentukan Kerugian Keuangan Negara

Merumuskan perbuatan melawan hukum, dengan pertanyaan apa fakta hukumnya?

Dengan fakta hukum itu, penegak hukum merumuskan tindak pidana korupsinya,

menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara, dan bentuknya. Produk akhir

dari tahap 1 adalah menentukan apakah ada kerugian keuangan negara.

Tahap 2 - Menghitung Kerugian Keuangan Negara

Tahap 2 Merupakan ranah akuntan/auditor/akuntan forensik. Pihak yang menghitung

adalah Ahli menurut pengertian KUHP; Ahli menurut Undang- Undang No.. 15 tahun

2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan; dan peraturan terkait lainnya. Tahap 1 dan 2

prosesnya interaktifdan reiterative, dan merupakan keunggulan KPK yang memiliki

akuntan forensik (in house) dan senantiasa dapat berinteraksi secara intensif dengan

penyelidik, penyidik atau penuntut lainnya.

32
Tahap 1 dan tahap 2 berlangsung sampai kesiapan untuk menuntut di pengadilan.

Berdasarkan barang bukti mereka dapat memutuskan:

(1) Mengumpulkan bukti dan bukti tambahan

(2) Mengupayakan pemulihan kerugian negara melalui jalur hukum perdata atau

hukum administratif

Tahap 1 dan 2 praktis berakhir bersamaan, apabila pada akhirnya penyidik

menyimpulkan bahwa:

A. Tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan unsur tindak pidana korupsi

B. Tetapi secara nyata telah ada kerugian negara

Maka upaya berikutnya diatur dalam Undang – Undang tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi adalah:

A. penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada

Jaksa Pengacara negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada

instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan

B. Menegaskan bahwa putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak

menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.

Menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian

keuangan negara” adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya

berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang

ditunjuk.

Tahap 3 – Kerugian Keuangan Negara

Tahap ketiga merupakan putusan majelis hakim dan dilakukan di Pengadilan Negeri,

Pengadilan Negeri, dan Mahkamah Agung.

Tahap 4 – Menetapkan Besarnya Uang Pengganti

33
Tahap 4 bisa ada bisa tidak dan tahap ini berhubungan dengan pemidanaan dalam tindak

pidana korupsi. Pemidanaan dalam tindak pidana pidana umum dijelaskan dalam KUHP

pasal 10 yang terdiri:

 Pidana Pokok mencakup pidana mati, pidana penjara, kurungan, dan denda

 Pidana tambahan mencakup pencabutan hak – hak tertentu, perampasan barang

– barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Jenis – jenis pidana pokok tidak dapat dijatuhkan secara kumulatif. Tindak pidana

tertentu yang diancam dengan pidana pokok lebih dari satu, selalu bersifat alternatif.

Pidana pokok bersifat imperatif, artinya jika terbukti tindak pidana terbukti, maka

pidana wajib dijatuhkan sesuai dengan yang dicamkan pada tindak pidana yang

dilakukan oleh si pembuat. Pidana tambahan yang bersifat fakultatif, artinya tidak ada

keharusan untuk dijatuhkan. Apabila tindak pidana dilakukan. Penjatuhan pidana

tambahan itu bergantung pada kebijakan majelis hakim perlu dipertimbangkan atau

tidak.

Mengenai berat ringannya pidana pokok yang akan dijatuhkan pada si pelaku dalam

vonis hakim, undang – undang telah menentukan batas maksimum, khususnya pada tiap

– tiap tindak pidana. Majelis hakim tidak boleh melampaui batas maksimum khsus

tersebut. Batas minimal secara khusus tidak ditentukan. Secara umum batas minimal,

misal kurungan adalah satu hari.

Pemidanaan dalam Tipikor

Perincian 30 bentuk tindak pidana korupsi menurut undang – undang No. 31 tahun

1999 jo. Undang – Undang No. 20 Tahun 2001 terbagi menjadi 7 kelompok tipikor

No Kelompok Tipikor Keterangan Pidana (penjaran

dan denda)

34
1 Kerugian Keuangan Memperkaya Diri, 1 tahun - Seumur

Negara Menyalahgunakan Wewenang hidup, Pidana

Mati, 50 – 1.000

juta

2 Suap Menyuap Menyuap, memberi hadiah, 1 tahun- Seumur

menerima suap atau hadiah Hidup, 50 – 1.000

juta

3 Penggelapan dalam Pegawai Negeri menggelapkan 1 – 15 tahun, 50 –

jabatan uang atau membiarkan 750 juta

penggelapan, memalsukan

buku, memalsukan bukti,

membiarkan atau membantu

merusak bukti

4 Perbuatan Pemerasan Pegawai Negeri Memeras Seumur Hidup 200

– 1.000 juta

5 Perbuatan Curang Pemborong berbuat curang, 2-7 tahun,

Pengawas proyek membiarkan 100-350 juta

erbuatan curang, Rekanan

TNI/Polri berbuat curang

6 Benturan Kepentingan Pegawai Negeri turut serta 4 tahun – seumur

dalam pengadaan dalam pengadaan yang hidup, 200 – 1.000

diurusnya juta

7 Gratifikasi Pegawai Negeri menerima 4 - 20 tahun, 200

gratifikasi dan tidak lapor ke – 1.000 juta

35
KPK

Tabel 3: Bentuk Tipikor

MENGHITUNG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

Selama periode tahun 2007, KPK membuat kajian tentang perhitungan kerugian

keuangan dengan 15 kasus tindak pidana korupsi sebagai sampel yang mempunyai

kekuatan hukum tetap. Berdasarkan hasil identifikasi terdapat 8 butir permasalahan

sebagai berikut:

 Terdapat 5 konsep atau metode perhitungan kerugian keuangan negara yaitu:

a. Kerugian keseluruhan (total loss) dengan beberapa penyesuaian

b. Selisih antara harga kontrak dengan HPP

c. Selisih antara harga kontrak dengan harga atau nilai pembanding tertenu

d. Penerimaan yang menjadi hak negara tapi tidak disetorkan ke Kas Negara

e. Pengeluaran yang tidak sesuai anggaran, digunakan untuk kepentingan pribadi

atau pihak – pihak tertentu.

 Pada 6 kasus penentuan jumlah kerugian antara dakwaan JPU dengan putusan

pengadilan berbeda, Sedangkan pada 9 kasus, penentuan jumlah kerugian keuangan

negara antara laporan perhitungan kerugian keuangan negara yang disusun oleh

ahli , dakwaan JPU, dan putusan pengadilan, sama

 Hubungan kausalitas antara perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan

wewenang, sarana, dan kesempatan dengan timbulnya kerugian keuangan negara

sering kali tidak dapat dilihat dengan jelas. Hal itu karena terkadang tidak mudah

mengidentifikasikan perbuatan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

 Pada 3 dari 15 kasus, dipermasalahkan terpenuhi atau tidaknya unsur “bagian dari

keuangan negara”:

36
1. Pengadaan barang oleh suatu Perusahaan Jawatan

2. Pelepasan aset tetap milik sebuah BUMN

3. Pengelolaan dana PNBP yang telah direkayasa pada suatu instansi

Jika dana dalam kasus tersebut digolongkan dalam keuangan negara, maka kerugian

yang teradi adalah kerugian keuangan negara.

 JPU menyusun dakwaannya berdasarkan pertimbangan ahli yang berbeda dengan

BPKP dalam menghitung kerugian keuangan negara pada 14 kasus. JPU

menggunakan ahli dari Inspektorat Jenderal suatu Departemen hanya pada 1 kasus.

Pertanyaannya adalah, apakah perlu menggunakan pertimbangan ahli untuk

menghitung kerugian keuangan negara?, kompetensi yang dibutuhkan?, penentuan

ahli berdasarkan atribut atau instansi asal?, profesi apa yang paling tepat?, jika

dilakukan auditor apakah termasuk audit investigatif dan apa standar auditnya?

 Sebagian besar sumber bukti yang digunakan oleh ahli dalam menghitung kerugian

keuangan negara berasal dari KPK. Pertanyaannya adalah, apakah ahli tersebut

objektif dan independen?, jika dipermasalahkan prosedur apa yang harus

dilaksanakan dan barang bukti apa yang harus dikumpulkan?.

 Terdapat 1 kasus jumlah kerugian keuangan negara yang dilaporkan waktu

penyidikan berubah pada saat memberikan keterangan di Pengadilan, alasannya

muncul bukti baru. Pertanyaannya, apa kekuatan laporan hasil perhitungan kerugian

keuangan negara yang dibuat oleh ahli di depan persidangan?, apakah ahli perlu

memberikan keterangannya secara langsung di persidangan?.

 Hanya terdapat 6 kasus distribusi penerimaannya dapat diidentifikasikan secara

penuh. Hal ini karena para ahli tidak melaporkan distribusinya ke pihak – pihak

37
yang memperkaya diri atau pihak – pihak lain, padahal hal tersebut harus

diperhatikan.

Pembakuan dan Fleksibilitas

Apakah perhitungan kerugian keuangan Negara dapat diseragamkan?, Dengan adanya

pembakuan atau standardisasi, ada kepastian mengenai metode, atau pola perhitungan

yang andal, bermutu, dan dapat diterima dalam persidangan di pengadilan. Pembakuan

perhitungan kerugian keuangan negara bergantung pada:

· Bentuk – bentuk kerugian negara dalam tindak pidana korupsi

· Apakah memiliki kesamaan, sehingga pola perhitungan dapat ditemukan, atau

justru terlalu bervariasi

· Apakah ada tingkat kerumitan yang berbeda dalam merumuskan tipikor yang

secara interaktif dan reiterative memengaruhi perhitungan kerugian keuangan

negara

Pohon Kerugian Keuangan Negara

Bagan pohon ini meringkas perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian

keuangan negara tanpa melihat melihat kontroversi tentang apa yang dimaksud dengan

keuangan negara. Pohon kerugian keuangan negara mempunyai empat cabang, dalam

hal ini yaitu akun. Masing-masing akun mempunyai cabang yang menunjukkan kaitan

antara perbuatan melawan hukum dengan akun-akun tersebut. Keempat akun tersebut

adalah :

38
Gambar 1: Pohon Kerugian Keuangan Negara

· Kerugian Keuangan Negara Berkenaan Dengan Aset

Terdapat 5 sumber kerugian keuangan negara terkait dengan aset:

1. Pengadaan Barang dan Jasa

Bentuk kerugian keuangan negara dari pengadaan barang dan jasa adalah pembayaran

yang melebihi jumlah seharusnya. Bentuk kerugian ini dapat berupa:

a. Markup untuk barang yang spesifikasinya sudah sesuai dengan dokumen tender

dan kuantitasnya sesuai dengan pesanan, tetapi harganya lebih mahal.

b. Harga secara total sesuai dengan kontrak, tetapi kualitas dan/atau kuantitas

barang lebih rendah dari yang disyaratkan.

c. Syarat penyerahan barang lebih istimewa sedangkan syarat pembayaran tetap,

sehingga menimbulkan kerugian bunga.

39
d. Syarat pembayaran lebih baik, tetapi syarat lainnya seperti kualitas dan kuantitas

tetap, sehingga menimbulkan kerugian bunga.

e. Kombinasi dari beberapa kerugian di atas.

2. Pelepasan Aset

Bentuk dan kerugian yang dapat ditimbulkan:

1. Penjualan aset yang dilakukan berdasarkan nilai buku sebagai patokan dimana

panitia penjualan menyetujui harga jual di atas harga buku. Sehingga, para

pelaku bisa berkelit bahwa penjualan aset telah menguntungkan negara. Padahal

pada kenyataannya, penjualan tersebut bisa dilakukan dengan atau tanpa tender.

Praktik tender yang curang serupa dengan proses tender pada pengadaan barang

dan jasa seperti yang telah dijelaskan di atas.

2. Penjualan tanah dan bangunan “diatur” melalui NJOP hasil kolusi dengan

pejabat terkait. NJOP di sini berperan sebagai nilai buku seperti pada poin a di

atas.

3. Tukar guling (ruilslag) tanah dan bangunan milik negara dengan tanah,

bangunan, atau aset lain. Dengan demikian aset ditukar dengan aset sehingga

nilai pertukarannya sulit ditentukan. Masalah lainnya adalah surat kepemilikan,

penguasaan atas tanah, peruntukan tanah yang diterima dalam tukar guling. Aset

negara yang bernilai tinggi di-ruilslag dengan tanah bodong (substance

disamarkan melalui form).

4. Pelepasan hak negara untuk menagih. Para makelar perkara (biasa disebut juga

dengan makelar kasus atau markus) memberikan perangsang kepada penguasa

untuk menghilangkan hak tagih. Atau sebaliknya, penegak hukum melihat

peluang untuk berkooptasi dengan para markus. Besarnya kerugiannya bukan

40
semata-mata hilangnya jumlah pokok, tetapi juga kerugian bunga sejak hak tagih

hilang sampai terpidana membayar kembali berdasakan putusan majelis hakim.

3. Pemanfaatan Aset

Hal ini dilakukan ketika lembaga-lembaga negara mempunyai aset yang belum

dimanfaatkan secara penuh, “salah beli”, atau “salah urus” dan pihak ketiga meihat

peluang untuk memanfaatkan kekayaan negara ini, tetapi bukan melalui transaksi jual

beli, seperti sewa, kerja sama operasional, atau kemitraan strategis.

Bentuk kerugian keuangan negara dari pemanfaatan aset antara lain:

a. Negara tidak memperoleh imbalan yang layak jika dibandingan dengan harga

pasar.

b. Negara ikut menanggung kerugian dalam kerja sama operasional yang

melibatkan aset negara yang “dikaryakan” kepada mitra usaha.

c. Negara kehilangan aset yang dijadikan jaminan kepada pihak ketiga. Misalnya

aset tersebut dijadikan sebagai inbreng.

Potensi terjadinya kerugian menjadi lebih besar ketika asetnya tidak bertuan. Contohnya

adalah aset yang dibangun Pemerintah Pusat dengan dana APBN, tetapi tidak tercatat

sebagai aset baik di Pemerintah Pusat maupun Pemda.

4. Penempatan Aset

Penempatan aset merupakan penanaman atau investasi dari dana-dana milik negara.

Kerugian keuangan negara terjadi ketika adanya unsur kesengajaan menempatkan dana-

dana tersebut pada investasi yang tidak seimbang antara risk dan reward-nya. Apabila

mereka memiliki kelebihan dana, mereka sering tergoda untuk melakukan penempatan

aset dengan risiko yang relatif tinggi dibandingkan dengan imbalannya. Ciri yang sering

menonjol adalah tidak sejalannya usaha baru dengan bisnis inti. Ketika usaha barunya

41
gagal, mereka sering berdalih bahwa ini bukanlah kerugian keuangan negara, melainkan

sekadar business loss yang sangat lazim di dunia bisnis. Apabila penempatan aset

memberikan hasil atau keuntungan, para pejabat dapat menerima keuntungan.

Sebaliknya, ketika penempatan aset menimbulkan kerugian, mereka “lepas tangan”.

Penempatan aset merupakan kiat para pelaku kejahatan berkerah putih dimana seluruh

transaksi didukung dengan dokumen hukum yang sah dan lengkap. Bentuk luarnya

sempurna, tapi substansinya bodong.

Bentuk-bentuk kerugian negara dari penempatan aset antara lain:

1. Imbalan yang tidak sesuai dengan risiko.

Besarnya kerugian sebesar selisih bunga ditambah premi untuk faktor tambahan risiko

dengan imbalan yang diterima selama periode sejak dilakukannya penempatan aset

sampai dengan pengembaliannya.

2. Jumlah pokok yang ditanamkan dan yang hilang. Besarnya kerugian sebesar

jumlah pokok dan bunga.

3. Jika ada dana-dana pihak ketiga yang ikut hilang dan ditalang oleh negara, maka

kerugiannya adalah sebesar jumlah pokok dari dana talangan beserta bunganya.

5. Kredit Macet

Kredit diberikan dengan melanggar rambu-rambu perkreditan, baik yang ditetapkan

oleh BI maupun oleh Bank BUMN itu sendiri dimana sebenarnya kredit ini sudah

diperkirakan akan macet. Bankir yang menjadi koruptor tersebut akan menggunakan

alasan bahwa kredit macet merupakan bagian yang tak terpisahkan dari risiko

perbankan. Pemberian kredit dengan cara ini merupakan kejahatan kerah putih,

dilakukan dalam bentuk kolusi antara pejabat bank dan sarat dengan benturan

kepentingan.

42
Oleh karena proses pemberian kredit dilakukan dengan cara melawan hukum, bentuk

kerugian negara berupa jumlah pokok dan bunga tanpa dikurangi hair cut.

Kerugian Keuangan Negara Berkenaan Dengan Kewajiban

Terdapat 3 jenis kerugian negara berkaitan dengan kewajiban di antaranya perikatan

yang menimbulkan kewajiban nyata, kewajiban bersyarat yang menjadi nyata, dan

kewajiban tersembunyi.

1. Perikatan yang Menimbulkan Kewajiban Nyata

Dokumentasinya terlihat sah, tetapi isinya sebenarnya bodong, dimana transaksi

istimewa diselipkan diantara transaksi normal karena mengetahui bahwa transaksi ini

akan bermasalah. Sifat fraud-nya adalah penjarahan kekayaan negara melalui

penciptaan transaksi fiktif yang menyerupai transaksi normal. Bentuk kerugiannya

adalah jumlah pokok kewajiban dan bunga selama periode sejak timbulnya kewajiban

nyata sampai dengan pengembalian dana oleh terpidana.

2. Kewajiban yang berasal dari kewajiban bersyarat

Pejabat lembaga Negara, BUMN, dan lain-lain mengadakan perikatan dengan pihak

ketiga yang pada awalnya merupakan contingent liability. Laporan keuangan lembaga

tersebut tidak menunjukkan adanya kewajiban karena masih merupakan kewajiban

bersyarat. Pada akhirnya, pihak ketiga tidak mampu memenuhi kewajibannya sehingga

lembaga negara yang menjadi penjaminnya memiliki kewajiban nyata yang sebelumnya

adalah kewajiban bersyarat.

Bentuk kerugian keuangan negara adalah sebesar jumlah pokok kewajiban dan bunga

selama periode sejak kewajiban bersyarat berubah menjadi kewajiban nyata sampai saat

pengembalian dana tersebut oleh terpidana.

3. Kewajiban Tersembunyi

43
Kewajiban tersembunyi mencuat dalam kasus aliran dana suatu lembaga besar yang

diduga untuk membantu mantan pejabatnya mengatasi masalah hukum. Dalam

praktiknya, kantor-kantor akuntan yang termasuk dalam Big Four senantiasa

memfokuskan suatu audit pada pengeluaran untuk masalah hukum karena legal

expenses merupakan tempat persembunyian segala macam biaya yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan.

Hal ini mengakibatkan adanya kecenderungan dari pihak pimpinan lembaga untuk

membersihkan pembukuan ketika auditor menemukan penyimpangan ini, yaitu dengan

dua cara:

1. Menciptakan aset bodong untuk menghindari pengeluaran fiktif.

2. Aset bodong tersebut dihilangkan melalui kewajiban kepada pihak yang masih

terafiliasi.

Bentuk kerugian negara adalah sebesar jumlah pokok kewajiban dan bunga sejak

periode dana diterima oleh pelaku kejahatan sampai saat pengembaliannya.

Dari ketiga jenis ranting kewajiban di atas, pola penghitungan kerugian keuangan

negara cukup sederhana

Kerugian Keuangan Negara Berkenaan dengan Penerimaan

Penerimaan Negara umumnya ditetapkan dengan undang-undang, misalnya:

A. penerimaan yang bersumber dari perpajakan atau bea dan cukai,

B. penerimaan pemerintah yang merupakan bagian pemerintah atas pengelolaan

minyak dan gas bumi, batu bara, serta mineral lainnya.

C. penerimaan negara bukan pajak (PNBP). PNBP ini dapat ditemukan di hampir

semua lembaga namun pertanggungan jawabnya tidak selalu ada atau terbuka

untuk diperiksa oleh BPK, sehingga penerimaan ini rawan korupsi. Contohnya

44
di Perguruan Tinggi, Rektor, Dekan, dan pejabat struktural lainnya mempunyai

kewenangan atas PNBP.

Dari Pohon Kerugian Keuangan Negara dapat kita lihat ada tiga sumber kerugian

keuangan negara sebagai berikut.

1. Wajib Bayar Tidak Menyetor Kewajibannya

Inisiator: pihak ketiga yang menjadi wajib pungut.

Contoh: Dalam beberapa Undang-Undang wajib bayar menghitung dana menyetorkan

kewajibannya ke kas negara. Kelalaian para wajib bayak akan menimbulkan kerugian

keuangan negara. Negara bukan saja tidak menerima jumlah yang menjadi kewajiban

wajb bayar, tetapi juga kehilangan bunga atas penerimaan tersebut karena adanya unsur

waktu (keterlambatan menyetor).

2. Penerimaan Negara Tidak Disetor Penuh oleh Pejabat yang Bertanggung Jawab

Inisiator: Lembaga negara yang bersangkutan menjadi penyetor, namun pejabat yang

berwenang tidak meminta dilakukannya setoran penuh.

Contoh: Selisih antara ”tarif tinggi” dan ”tarif rendah” dalam pengurusan dokumen

keimigrasian di Kedutaan Besar RI di Malaysia yang sudah disinggung di atas.

3. Penyimpangan dalam Melaksanakan Diskresi Berupa Pengurangan Pendapatan

Negara

Inisiator: Lembaga negara yang bersangkutan menjadi penyetor, namun ada

kewenangan untuk melakukan pemotongan penerimaan negara.

Secara substansi ketiga ranting di atas merupakan penerimaan negara yang tidak

disetorkan sebagian atau seluruhnya, atau tidak disetorkan tepat waktu.

45
Jumlah kerugian negara = sebesar jumlah penerimaan negara yang tidak disetorkan

ditambah bunga untuk periode sejak saat penerimaan negara seharusnya disetorkan

sampai saat terpidana mengembalikan penerimaan negara tersebut.

Secara umum pola perhitungannya sama dengan pola perhitungan kewajiban, yaitu

pokok ditambah bunga

Kerugian Keuangan Negara Berkenaan dengan Pengeluaran

Kerugian keuangan negara terjadi karena pengeluaran negara dilakukan lebih dari

seharusnya, atau pengeluaran negara seharusnya tidak dilakukan, dan/atau pengeluaran

negara dilakukan lebih cepat.

Dari Pohon Kerugian Keuangan Negara, kerugian keuangan negara berkenaan dengan

transaksi pengeluaran dapat terjadi karena hal-hal berikut.

1. Kegiatan Fiktif/Pengeluaran Fiktif.

Tidak dilaksanakannya kegiatan yang dicantumkan dalam anggaran (APBN, APBD,

anggaran BUMN, dan seterusnya) tetapi dilaporkan seolah-olah sudah dilaksanakan.

Contoh: Kepala daerah/pejabat daerah memerintahkan bawahannya untuk mencairkan

dan menggunakan dana/anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya, kemudian

mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan menggunakan

bukti-bukti yang tidak benar atau fiktif.

2. Pengeluaran Berdasarkan Ketentuan Perundang-Undangan yang Sudah Tidak

Berlaku Lagi.

Contoh: pengeluaran Pemda, pejabat Pemda menerbitkan peraturan daerah dengan

merujuk peraturan perundang-udangan yang tidak berlaku. Kepala daerah menerbitkan

peraturan daerah sebagai dasar pemberian upah pungut atau honor dengan

46
menggunakan dasar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang tidak berlaku

lagi.

3. Pengeluaran Bersifat Resmi, Tetapi Dilakukan Lebih Cepat.

Contoh: dalam kasus pembayaran kepada pemasok atau kontraktor, pembayaran kepada

mereka dilakukan sebelum kemajuan kerja yang disepakati tercapai.

Jumlah kerugian negara = sebesar uang yang dibelanjakan untuk kegiatan fiktif,

ditambah dengan bunga selama periode sejak dikeluarkannya uang tersebut sampai uang

dikembalikan terpidana.

AKUNTANSI FORENSIK SEBAGAI AHLI DI DALAM DAN DI LUAR

PERSIDANGAN

Seorang ahli harus memiliki keahlian khusus tentang kerugian keuangan negara,

sehingga ia dapat membuat terang suatu perkara pidana korupsi guna kepentingan

pemeriksaan.

Ahli dari BPK

Pihak yang memberikan keterangan ahli adalah BPK, bukan pribadi (anggota,

karyawan, auditor, dan seterusnya)

No Perihal Ahli selaku Ahli selaku lembaga

pribadi

1 Kompetensi Memberi Memberi keterangan tentang kerugian

Ahli keterangan yang negara yang merupakan kompetensi

diminta instansi BPK

berwenang, sesuai

kompetensi yang

melekat

47
2 Substansi Pendapat yang Memberikan keterangan tentang

Keterangan ahli diberikan kerugian negara/daerah karena tugas

merupakan konstitusional BPK. Pendapat yang

pendapat pribadi diberikan merupakan pendapat BPK

3 Pengolahan Diolah secara Diolah secara kelembagaan, diperoleh

informasi pribadi dengan melalui pemeriksaan investigatif

pengetahuan dan

pengalaman

pribadi

4 Kepemilikan Keterangan Milik Keterangan milik BPK sebagai

atas keterangan pribadi lembaga negara

ahli

5 Kebebasan Memiliki Merupakan personifikasi BPK, tidak

memberikan kebebasan memiliki kebebasan pribadi, dan

pendapat memberi pendapat harus berkordinasi dengan pimpipnan

dan berdasarkan karena yang diterangkan adalah hasil

pemikirannya pemeriksaan BPK

6 Batasan Hanya dibatasi Memberikan keterangan sesuai hasil

pengalaman dan pemeriksaan BPK

pengetahuan

Tabel 4: Ahli dari BPK

Audit Investigatif dan Akuntansi Forensik

Audit investigatif merupakan audit yang bersifat investigatif. Akuntansi forensik adalah

penerapan disiplin ilmu akuntansi untuk keperluan hukum. Audit investigatif lebih luas

48
dari sekadar audit dan dari hasilnya menemukan bukti – bukti dapat menentukan

seseorang bersalah atau sebaliknya.

Pemeriksaan BPK

Cakupan pemeriksaan BPK: pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan

pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan Keuangan setara dengan general

audit, opinion audit, atau independent audit. Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan

yang bertujuan untuk melihat apakah pelaksanaan program memenuhi kriteria efisiensi,

efektivitas, dan ekonomis. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu mencakup segala macam

pemeriksaan, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kerja

49
KASUS

a. Hambalang

a. Kronologi dan Temuan BPK

a. 2003

Proyek ini dimulai pada tahun 2003, karena ada kebutuhan oleh DepDikBud

terkait pusat pendidikan dan pelatihan olahraga yang bertaraf internasional dan untuk

menambah fasilitas olahraga selain Ragunan. Dan pada saat ini, yang direkomendasikan

adalah 3 wilayah, yaitu Hambalang Bogor, Desa Karang Pawitan, dan Cariuk Bogor.

Yang dipilih pada akhirnya adalah Hambalang.

b. 2004

Dilakukan pembayaran kepada para pembangun lahan di lokasi Hambalang dan

telah dibangun fasilitas-fasilitas seperti masjid, asrama, lapangan sepakbola, dan pagar,

c. 2004-2009

Proyek di Kemendikbud ini dipindahkan ke Kemenpora, dan dilaksanakan

pengurusan sertifikat tanah Hambalang, namun hal ini tidak diselesaikan.penjabarannya

adalah sebagai berikut:

h. 2005

Didatangkan studi geologi oleh konsultan di lokasi Hambalang.

i. 2006

Dianggarkan pembuatan maket dan masterplan, di mana di rencana awalnya ada pusat

peningkatan olahraga nasional jadi pusat untuk atlet nasional & atlet elite.

50
j. 2007

Diusulkan perubahan nama dari Pusat Pendidikan Pelatihan Olahraga Nasional menjadi

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Prestasi Olahraga Nasional.

k. 2009

Diajukan anggaran pembangunan dan dialokasikan sebesar Rp 1,25 miliar.

d. 2010

Pada 20 Januari 2010, diterbitkan sertifikat hak guna nomor 60 atas nama

Kemenpora untuk tanah Hambalang, dan pada tanggal 30 Desember di tahun 2010,

keluar izin pendirian bangunan dengan nomor 641/003.21.00910/BPT 2010. Di tahun

tersebut, terdapat perubahan lagi, berupa penambahan fasilitas seperti bangunan sport

sains, asrama atlit senior, lapangan menembak, extreme sport, panggung terbuka, dan

volley pasir, yang anggaran totalnya membutuhkan Rp 1,75 triliun.

Sejak 2009 sampai dengan 2010, telah dikeluarkan anggaran sebanyak Rp 675

miliar, dan pada 6 Desember 2010, telah keluar surat kontrak tahun jamak dari

Kemenkeu untuk pembangunan proyek sebesar Rp 1,75 triliun.

e. 2012

Tanggal 31 Desember 2012, BPK telah menyelesaikan audit investigasi tahap I

terkait pembangunan proyek Hambalang ini, dan BPK menyimpulkan adanya indikasi

penyimpangan tentang peraturan perundang-undangan dan penyalahgunaan

kewenangan yang dilakukan banyak pihak di proyek tersebut. Berdasarkan pemeriksaan

BPK sampai tanggal 30 Oktober 2012, kerugian Negara mencapai sejumlah Rp 243,66

miliar. Penyimpangan yang ditemukan oleh BPK adalah sebagai berikut:

1. Terkait Surat Keputusan Hak Pakai,

51
a. Kepala Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Surat Keputusan Hak

Pakai pada tanggal 6 Januari 2010 untuk tanah di Hambalang padahal

surat pelepasan hak dari pemegang hak sebelumnya yang menjadi syarat

penerbitan Surat Keputusan tersebut diduga palsu

b. Kabag Persuratan dan Kearsipan BPN menyerahkan SK Hak Pakai bagi

Kemenpora ke pihak yang mewakilkan Kemenpora tanpa adanya surat

kuasa dari Kemenpora selaku pemohon hak tersebut.

2. Terkait lokasi dan site plan, ditemukan ada pelanggaran terhadap UU no. 32

tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan

PerBup Bogor no. 30 tahun 2009 tentang Pedoman Pengesahan Master Plan,

Site Plan, dan Peta Situasi

3. Terkait izin mendirikan bangunan, ditemukan ada pelanggaran terhadap

Perda Kabupaten Bogor no. 12 tahun 2009 tentang Bangunan Gedung karena

penerbitan izin mendirikan bangunan oleh Kepala Badan Perizinan Terpadu

Kabupaten tersebut, meskipun Kemenpora belum melakukan studi Amdal untuk

proyek ini.

4. Terkait teknis, ditemukan ada pelanggaran terhadap Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum no. 45 tahun 2007 karena ada pengeluaran pendapat teknis

seperti yang dimaksudkan dalam PMK 56/PMK.02/2010 yang diberikan oleh

Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum

tanpa adanya pendelegasian dari menteri PU.

5. Terkait revisi rencana kerja anggaran kementerian/lembaga, Sesmenpora

mengajukan permohonan revisi RKA-KL tahun 2010 pada 16 November 2010,

jadi diduga ada pelanggaran PMK 69/PMK 02/2010 Juncto PMK 180/PMK.

52
02/2010, dan Sesmenpora mengajukan Revisi RKA-KL tahun 2010 dengan

menyajikan volume keluaran yang asimetris dengan faktanya, di mana seakan-

akan terjadi kenaikan, padahal yang terjadi adalah penurunan, sehingga diduga

ada pelanggaran terhadap PMK tersebut.

6. Terkait permohonan kontrak tahun jamak, Sesmenpora ditemukan

menandatangani surat persetujuan kontrak tahun jamak tanpa ada pendelegasian

atau pemberian surat kuasa dari Menpora, dan hal ini melanggar PMK

56/PMK.02/2010, dan Menpora membiarkan Sesmenpora melakukan hal ini,

yang melanggar PP no. 60 tahun 2008.

7. Terkait kontrak tahun jamak, ditemukan bahwa menkeu menyetujui kontrak

tahun jamak dan dirjen anggaran menyelesaikan proses persetujuan, meskipun

kontrak itu melanggar PMK 56/PMK.02/2010, dan pelanggaran tersebut adalah

terkait seluruh unit bangunan yang hendak dibangun harus dibangun dalam

waktu lebih dari satu tahun anggaran dan terkait surat persetujuan kontrak yang

tidak diajukan oleh menteri, serta terkait revisi RKA-KL kemenpora 2010 yang

menunjukkan kegiatan lebih dari 1 tahun anggaran yang belum ditandatangani

oleh Dirjen Anggaran.

8. Terkait persetujuan RKA-KL 2011, di mana Dirjen Anggaran menetapkan

RKA-KL Kemenpora tahun 2011 dengan skema tahun jamak sebelum penetapan

proyek tahun jamak disetujui, dan ini melanggar PMK 104/PMK.02/2010.

9. Terkait pelelangan, di mana sesmenpora menetapkan pemenang lelang

konstruksi dengan nilai kontrak di atas Rp 50 miliar tanpa adanya surat kuasa

dari menpora, dan hal ini melanggar KepPres no. 80 tahun 2003, dan Menpora

membiarkan hal ini terjadi, yang melanggar PP no. 60 Tahun 2008. Di samping

53
itu, proses evaluasi prakualifikasi dan teknis terhadap penwaran calon rekanan

tidak dilakukan oleh panitia pengadaan, tapi diatur oleh rekanan yang

direncanakan akan menang, yang melanggar KepPres no. 80 tahun 2003.

Terakhir soal pelelangan ini, ditemukan ada rekayasa dalam proses pelelangan

pekerjaan konstruksi pembangunan Hambalang untuk memenangkan kerja sama

Operasi.

10. Terkait pencairan anggaran 2010, Kabag keuangan Kemenpora

menandatangani dan menerbitkan Surat Perintah Membayar meskipun Surat

Permintaan Pembayaran belum ditandatangani oleh pejabat pembuat komitmen

(PPK), yang melanggar PMK 134/PMK. 06/2005 dan Perdirjen

Pembendaharaan Per-66/PB/2005

11. Terkait pelaksanaan pekerjaan konstruksi, di mana KSO, Adhi-Wika yang

dikontrak mensubkontrakkan sebagian pekerjaan utamanya ke perusahaan lain,

yaitu PT Dutasari Citra Laras, PT Global Daya Manunggal, PT Aria Lingga

Perkasa, dan 32 subkontraktor lainnya, dan hal ini melanggar Keppres 80 Tahun

2002.

f. 2014

Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Penghitungan Kerugian Negara yang

dilakukan BPK RI Auditoriat Utama Keuangan Negara III Nomor 01/HP/XV/01/2014

atas Dugaan Tipikor Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga

Nasional Hambalang Tahun 2010-2012, kerugian keuangan negara yang diakibatkan

oleh Tipikor dalam kasus Hambalang ini adalah sebesar Rp 464.391.00.000,00.

54
b. Tahapan Investigasi

1. Perencanaan

Tahapan ini dilaksanakan setelah diterimanya informasi awal yang kemudian

ditindaklanjuti organisasi pengawas dengan membentuk tim Audit Investigasi. Tim

Audit Investigasi terdiri dari para auditor yang kompeten, memiliki integritas yang

tinggi, serta independensi. Tim Audit Investigasi kasus Hambalang haruslah terdiri dari

auditor-auditor yang berkompeten dan paham mengenai peraturan terkait pelaksanaan

proyek seperti: keputusan hak pakai, lokasi dan site plan, izin mendirikan bangunan,

teknis, kontrak tahun jamak, pelelangan, pencarian anggaran, dan pelaksanaan

pekerjaan konstruksi.

Tim Investigasi harus menentukan jenis-jenis penyimpangan yang terjadi, sebab-

sebab penyimpangan, modus operandi, pihak-pihak yang terlibat, unsur-unsur

kerjasama,dan estimasi besarnya kerugian negara atau daerah akibat kasus ini.

2. Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan Tim Audit Investigasi bertugas untuk memperoleh bukti

audit yang nantinya dapat memperkuat dugaan adanya tindakan pidana korupsi. Bukti

audit ini dapat diperoleh Tim Audit Investigasi melalui observasi, inspeksi, konfirmasi,

analisa, wawancara, pemeriksaan bukti tertulis, review analitis, perhitungan kembali,

penelusuran, dll.

3. Pelaporan

Tahap pelaporan hasil investigasi yang dikeluarkan oelh Tim Audit Investigasi

harus memenuhi unsur akurasi, berimbang, relevan, jelas,dan tepat waktu. Terkait

teknik yang digunakan Tim Audit Investigasi untuk mendapatkan temuan audit

investigasi seperti di dalam berita tersebut adalah pemeriksaan fisik, meminta

55
informasi dan konfirmasi, pemeriksaan dokumen, review analitis, perhitungan

kembali, penggunaan metode net worth, dan mengikuti jejak keuangan/follow the

money.

c. Penetapan Kerugian Negara

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada Putusan No.

2427 K/Pid.Sus/2014, kerugian yang diakibatkan oleh tipikor yang terjadi pada kasus

Hambalang ini adalah sebesar Rp 464.391.00.000,00, atau setidaknya sejumlah itu

sesuai dengan Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Penghitungan Kerugian Negara

yang dilakukan BPK RI Auditoriat Utama Keuangan Negara III Nomor

01/HP/XV/01/2014 atas Dugaan Tipikor Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan

Sekolah Olahraga Nasional Hambalang Tahun 2010-2012.

d. Penetapan Uang Pengganti

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, uang pengganti dan pidana

yang harus dibayarkan oleh para terdakwa untuk membayar kerugian negara adalah

sebagai berikut:

Terdakwa Pidana Uang Pengganti

Andi Alifian Malarangeng 10 Tahun Penjara Rp 2.500.000.000,00

Andi Zulkarnaen Anwar 3 Tahun Penjara Rp 5.000.000.000,00

(Choel Mallarangeng) (sudah dibayar ke

KPK)

Anas Urbaningrum 8 Tahun Penjara Rp 57.592.330.580,00

dan $ 5.261.070,00

56
Muhammad Nazaruddin 7 tahun Penjara -

Angelina Patricia Sondakh 12 Tahun Penjara Rp 12.580.000.000,00

dan $ 2.350.000,00
Tabel 5: Beberapa Terdakwa di Kasus Hambalang, Hukuman Pidana, dan Uang Penggantinya

e. Kesimpulan

Berdasarkan Penyelidikan, jenis korupsi yang dilakukan dalam kasus Hambalang

adalah dalam cabang korupsi, ranting penyuapan dan penyalahgunaan wewenang yang

dilakukan oleh banyak pihak dan melibatkan banyak pihak, dan hal ini terjadi karena

pengendalian internal yang buruk. Agar hal ini tidak terjadi lagi di masa depan, maka

pengendalian internal dan pengawasan, serta transparansi di organisasi pemerintahan

perlu ditingkatkan.

b. E-KTP

a. Tujuan Proyek

• Merupakan program nasional pemerintah dalam usaha memperbaiki sistem data

kependudukan di Indonesia

• Menghindari KTP Ganda atau KTP Palsu dan memudahkan dalam melakukan

validasi data kependudukan dalam pelayanan publik

• Membantu penegak hukum dalam melacak identitas seseorang yang melakukan

kejahatan.

• Menjamin keakuratan data dalam pemilihan umum.

• Merupakan langkah strategis dalam mencegah tidak pidana korupsi, pencucian

uang dan penggelapan asset dalam rangka pemberantasan korupsi.

57
b. Kronologi

• Kasus ini berawal saat Kemendagri di tahun 2009 merencanakan mengajukan

anggaran untuk penyelesaian Sistem Informasi Administrasi Kependudukan

(SIAP) dimana salah satu komponennya adalah Nomor Induk Kependudukan

(NIK)

• Lelang proyek e-KTP ini dimulai sejak tahun 2011 dan banyak masalah yang

terjadi karena diindikasikan banyak terjadi penggelembungan dana.

• Kasus Korupsi proyek e-KTP ini terendus akibat kicauan mantan Bendahara

Umum Partai Demokrat, Mohammad Nazaruddin.

• Korupsi dimulai setelah rapat pembahasan anggaran pada bulan Februari 2010.

Saat itu, Irman yang pada saat itu masih menjabat sebagai Direktur Jenderal

Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri dimintai sejumlah uang oleh ketua

Komisi II DPR Burhanudin Napitupulu. Permintaan uang itu bertujuan agar

usulan anggaran proyek e-KTP yang diajukan Kemendagri disetujui oleh Komisi

II DPR.

• Irman kemudian menyetujui permintaan tsb dan menyatakan bahwa pemberian fee

kepada anggota DPR akan diselesaikan oleh Andi Agustinus alias Andi

Narogong. Irman bekerjasama dengan Andi Narogong agar perusahaan Andi

dimenangkan dalam tender proyek e-KTP

• Andi dan Irman meminta bantuan Setya Novanto yang saat itu menjabat sebagai

ketua Fraksi Golkar. Mereka berharap agar Novanto dapat mendukung dalam

penentuan anggaran proyek ini.

• DPR melakukan pembahasan RAPBN 2011 terkait proyek e-KTP. Andi bertemu

berkali-kali dengan Setya Novanto, Nazaruddin dan Anas Urbaningrum. Dari

58
beberapa kali pertemuan, disepakati anggaran proyek e-KTP sebesar Rp 5,9

triliun. Sebanyak 51% dari total anggaran akan digunakan untuk belanja modal

atau belanja rill proyek dan sisanya 49 % akan dibagi – bagi kepada pihak terkait.

• Dalam proses pengadaan barang, Sugiharto diangkat oleh Irman sebagai Pejabat

Pembuat Komitmen (PPK). Pada pelaksanaan pengadaan, Sugiharto menetapkan

dan menyetujui harga perkiraan sendiri (HPS) yang telah digelembungkan.

c. Keterlibatan Setya Novanto

Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa KPK di Pengadilan Tipikor pada tanggal

17 Juli 2017, Novanto disebut memiliki peran dalam mengatur besaran anggaran e-KTP

yang mencapai 5,9 triliun. Novanto sempat membantah dan mengelak. Ia bahkan

mengajukan praperadilan atas penetapan statusnya sebagai tersangka. Setyanovanto

sempat memenangkan praperadilan.

Pada bulan September 2017, KPK memanggil kembali Novanto untuk diperiksa

sebagai tersangka. Saat itu, Novanto sudah menjadi ketua DPR RI. Setya Novanto

berkali – kali tidak hadir dengan berbagai alasan. Novanto selalu menunda proses

penyidikan terhadap dirinya sampai putusan praperadilan keluar.

d. Modus Operandi

Setyanovanto dkk, diduga melakukan mark – up atas proyek pengadaan e-KTP

tahun 2011 – 2013 dengan nilai anggaran 5,9 triliun. Dari total anggaran tersebut, 51%

yaitu sebesar Rp 2,66 triliun direalisasikan untuk belanja pembiayaan proyek, sisanya

49% nya yaitu sebesar Rp 2,56 triliun digunakan untuk bancakan.

59
e. Perhitungan Kerugian Negara

Dalam menghitung kerugian keuangan negara terkait kasus korupsi proyek e-KTP

sebesar 2,3 triliun, KPK menghadirkan auditor investigasi Badan Pengawas Keuangan

dan Pembangunan (BPKP) yaitu Suedi, SE, Akt, CFE.

Menurut Suedi, penghitungan dilakukan dengan menelisik unsur -unsur terkait

pengadaan proyek tersebut. Metode penghitungan kerugian negara pada kasus ini

dilakukan dengan perhitungan sbb:

1) Pengadaan Blanko EKTP 3, Penghitungan berdasarkan perbandingan unsur biaya

pekerjaan material Petg (platik bahan pembuat blanks), Chip, Personalisasi dan

Distribusi

2) Pengadaan Hardware & Software, Penghitungan berdasarkan pembandingan Surat

Pengantar Pencairan Dana (SP2D) yang sudah diperoleh dari konsorsium PNRI,

harga pembelanjaan vendor ditambah harga additional cost (biaya tambahan) yang

dikeluarkan oleh vendor tersebut, dan biaya pengiriman sampai ke daerah masing-

masing.

3) Pengadaan Sistem AFIS, Perhitungan berdasarkan perbandingan pembayaran SP2D

dengan harga yang dikeluarkan vendor AFIS.

4) Pengadaan Jaringan Komunikasi Data, Perhitungan berdasarkan perbandingan

pembayaran SP2D dan jumlah yang dibayarkan ke PT Indosat TBK

5) Pekerjaan Helpdesk, Perhitungan didasarkan dari perbandingan SP2D yang diterima

konaorsium dengan jumlah gaji tenaga kerja Helpdesk yang sebenarnya dibayarkan.

Menurutnya ada perbedaan antara jumlah yang dibayarkan dengan orang yang

bekerja di lapangan (yang nyatanya lebih sedikit).

60
6) Gaji Pendamping Teknis dari Kabupaten/Kota dan Kecamatan, Perhitungan

didasarkan perbandingan SP2D dengan jumlah tenaga kerja yang sebenarnya

dibayarkan.

Kasus Tahun Tersangka / Nilai Nilai Konsep & Ahli


Kejadian Terdakwa kerugia kerugia Metode
n negara n negara Perhitunga
menurut menurut n Kerugian
Dakwaa Hakim Keuangan
n Negara
Pengadaa 2011 - 2013 1. Irman 2,3 2,3 Harga BPKP
n Proyek 2. Sugiharto Triliun Triliun Realisasi
e-KTP 3. Andi dikurangi
Narogong harga wajar
4. Setya Novanto
Tabel 6: Detail Kasus E-KTP

f. Penyimpangan dalam Proyek E-KTP

Berdasarkan audit yang didasarkan pada dokumen dari penyidik KPK dan
beberapa saksi, terdapat beberapa penyimpangan dalam proyek KTP Elektronik
tersebut, antara lain:
o Proses pra pelelangan, ,adanya pertemuan-pertemuan sebelum proses pelelangan

untuk memangkan konsorsium PNRI.

o Pertemuan di ruko Fatmawati dihadiri oleh pihak dari Kemendagri, BPPT,

Konsorsium PNRI, Konsorsium Asta Grafia, dan Konsorsium Murakabi Sejahtera.

o Penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dan spesifikasi barang telah mengarah

pada vendor tertentu.

61
o Dalam proses pelelangan didaptkan juga adanya usaha dari Kuasa Pengguna

Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan panitia lelang untuk

memenabgkan konsorsium PNRI.

o Penggunaan dokumen pelelangan yang tidak benar.

o Lelang melalui Sistem Pengadaan Lelang Secara Elektronik (LPSE) hanya di awal

saja dan pada proses pemberian penjelasan (Aanwijzing) dilakukan secara manual.

o Vendor PT HP Indonesia telah melakukan pemesanan barang setelah proses

(Aanwijzing) sebelum ditetapkan pemenang dan penandatangan kontrak.

o Jenis kontrak langsam tetapi telah diadendum sebanyak sembilan kali untuk

menyesuaikan progres dari Konsorsium PNRI.

o Adanya prasarana pekerjaan yang tidak sesuai dengan Kerangka Acuan Kerja

(KAK).

g. Hukuman Pelaku

Pengadilan sudah memvonis bersalah kepada 4 orang yang terlibat dalam kasus
korupsi e-KTP. Berikut rinciannya:
 Sugiharto: 5 tahun penjara (vonis 22 Juni 2017)
 Irman: 7 tahun penjara (vonis 20 Juli 2017)
 Andi Naragong: 8 tahun penjara (21 Desember 2017)
 Setya Novanto: 15 tahun penjara (divonis 24 April 2018, kemudian mengajukan
peninjauan kembali (PK) setahun setelahnya)

h. Kesimpulan & Saran

1) Ada 4 tahapan dalam menyelesaikan kerugian keuangan negara, yaitu

a. Menentukan ada atau tidaknya kerugian

b. Menghitung kerugian

62
c. Menetapkan kerugian

d. Menetapkan pembayaran uang penggantian

2) Konsep/metode penghitungan kerugian keuangan negara:

a. Total Lost

b. Total Lost dengan penyesuaian

c. Kerugian bersih

d. Selisih harga kontrak dengan harga pembanding nilai tertentu

e. Penerimaan negara yang tidak disetorkan ke kas negara

f. Harga realisasi dikurangi harga wajar

g. Pengeluaran yang tidak sesuai anggaran

3) Pada kasus e-KTP, besarnya kerugian negara dihitung dengan menggunakan

perhitungan BPKP berdasarkan harga realisasi dikurangi harga wajar. Dasar dari

perhitungan tersebut didasarkan pada modus operasi yang melakukan mark up

sehingga kerugian adalah selisih harga realisasi dengan harga wajar dari barang / jasa

yang diterima / dibeli

4) Terdapat perbedaan jumlah perhitungan kerugian negara menurut BPK dan BPKP

pada kasus korupsi e-KTP yaitu:

a. Menurut BPK - nilai kerugian negara adalah Rp 2,5 triliun

b. Menurut BPKP - nilai kerugian negara adalah Rp 2,3 triliun

Jaksa KPK memutuskan untuk menggunakan hitungan kerugian negara versi BPKP

Saran:

1. Akuntan forensik perlu memiliki pemahaman atas berbagai makna kerugian

sehingga memiliki wawasan terhadap cara/metode penghitungan kerugian

keuangan negara dalam tipikor

63
2. Dalam menghitung kerugian negara, seorang penyidik atau akuntan forensic

harus memahami modus operasi kasus tipikor tersebut, sehingga metode yang

digunakan sebagai dasar perhitungan kerugian dapat diambil dengan tepat

3. Apabila dalam proses pengumpulan bukti besarnya kerugian negara, tidak dapat

diperoleh bukti asli, disarankan atas bukti yang berupa fotocopy dilegalisasi oleh

pejabat yang menandatangani bukti tersebut beserta pimpinan instansi yang

diaudit, dan diperkuat dengan bukti – bukti pendukung lainnya

64
DAFTAR PUSTAKA

Kusumawati, Utami D., (2015), BPK: Kerugian Negara Proyek Hambalang Mencapai

Rp 706 Miliar. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160330205132-12-

120654/bpk-kerugian-negara-proyek-hambalang-rp706-miliar. Diakses pada 13

Oktober 2022

Kronologi Proyek Hambalang dari Tahun ke Tahun, (2012),

https://news.detik.com/berita/d-1928176/kronologi-proyek-hambalang-dari-tahun-

ke-tahun-. Diakses pada 13 Oktober 2022

Gatra, S., (2012) Inilah Hasil Audit BPK Soal Hambalang.

https://nasional.kompas.com/read/2012/10/31/15532777/Inilah.Hasil.Audit.BPK.s

oal.Hambalang. Diakses pada 13 Oktober 2022

Direktori Putusan Mahkamah Agung Indonesia, putusan.mahkamah.agung.go.id.

Awal Mula Kasus Korupsi E-KTP yang Sempat Hebohkan DPR hingga Seret Setya

Novanto (kompas.com)

https://news.detik.com/berita/d-3912156/ini-cara-auditor-bpkp-hitung-kerugian-rp-23-t-

dari-proyek-e-ktp

https://www.tribunnews.com/nasional/2018/03/13/asal-usul-jumlah-kerugian-negara-rp-

23-triliun-pada-kasus-korupsi-e-ktp

65

Anda mungkin juga menyukai