i
Undang-Undang Republik Indonesia
No. 19 tahun 2002
Tentang Hak Cipta
KETENTUAN PIDANA
Pasal 72
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
ii
HUKUM PIUTANG NEGARA
1. Hukum
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah buku ini telah dapat diselesaikan untuk dapat dibaca oleh para pemerhati
hukum, khususnya yang berminat mendalami mengenai hukum piutang negara. Bukan
kebetulan, tapi dengan upaya menyingkirkan yang serba mungkin melalui kegiatan penelitian
yang pada akhirnya dapat menghasilkan sebuah buku yang semula akan disajikan pada Disertasi
yang oleh karena perubahan substansinya menjadi judul yang lain , maka atas saran Prof Dr
Ridwan Chaerandy, SH MH. untuk bisa diterbitkan sebuah buku. Dengan terbitnya buku ini,
penulis berharap dapat semakin memberi manfaat dalam hal kontribusi ilmu pengetahuan,
dalam kajian ilmu hukum pada umumnya dan pada kajian mengenai hukum piutang negara pada
khususnya.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................................iv
Daftar Isi...................................................................................................................................v
Daftar Tabel..............................................................................................................................ix
Daftar Gambar.........................................................................................................................x
Daftar Lampiran......................................................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
B. Landasan Teori...................................................................................................................12
B. Kontelasi Peristiwa pada Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dari
Tahun 1997-2013.............................................................................................................33
PIUTANG NEGARA.................................................................................................................81
v
2. Tindakan hukum melalui Lembaga Superbody BPPN..........................................90
PIUTANG NEGARA................................................................................................................105
1. Prinsip kewenangan.....................................................................................................142
A. Kerugian Negara................................................................................................................155
vi
1. Pengertian Kerugian Negara......................................................................................155
C. Transformasi Kelembagaan.............................................................................................180
Perbankan........................................................................................................................196
3. Kredit Macet dan Tindak Pidana...............................................................................199
Piutang Daerah..............................................................................................................203
vii
BAB VII PENUTUP................................................................................................................219
A. Kesimpulan......................................................................................................................... 219
B. Saran-saran.........................................................................................................................223
C. Rekomendasi.......................................................................................................................224
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................226
LAMPIRAN...............................................................................................................................239
DAFTAR TABEL
Tabel 4.2 Karakteristik LPS Swasta Jerman dibanding negara lainnya .....................257
viii
Tabel 4.4 Biaya Restrukturisasi...........................................................................................268
Tahun 2002-2009........................................................................................................340
DAFTAR GAMBAR
Braithwaite 1992).......................................................................................................23
Incapacitative Justice..................................................................................................25
ix
Gambar 4.1 Posisi Departemen Keuangan era 1968-1998..........................................207
Perbankan.....................................................................................................................222
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Lampiran 2.
x
xi
BAB I
PENDAHULUAN
Penyelesaian krisis moneter yang bertumpu pada kebijakan moneter menyisihkan uang
negara yang disertakan dalam keuangan swasta menimbulkan banyak konsekuensi hukum
yang berbeda dalam penyelesaian piutang negara, sehingga batasan-batasan pengertian
keuangan negara yang menimbulkan kerugian bagi negara, tidak lagi tunduk pada hukum
administrasi negara.
0 Beban Negara dalam bentuk SUN yang dikeluarkan sebagai konsekwensi kebijakan –kebijakan
penanganan krisi ekonomi sejak pemerintahan Presiden Soeharto, Presiden Habibie dan Presiden
Abdurahman Wahid adalah sebesar Rp 218,3 Triliyun untuk BLBI dan Penjaminan serta Rp 422,6 Triliyun
untuk rekapitulasi Perbankan,
Sejak tahun 2001 ,Pemerintahan Presiden Megawati menetapkan kebijakan –kebijakan untuk melanjutkan
penangan dampak krisis ekonomi dan kondisi perbankan,terutama yang terkait dengan pengambil alihan
asset-asset obligor serta penjualan asset tersebut . Untuk melaksanakan kebijakan tersebut ,ditetapkan TAP
MPR X/2001 dan TAP MPR VI /2002 yang mengamanatkan pelaksanaan kebijaksanaan MSAA dan MRNA
secara konsisten sesuai dengan Undang-Undang nomor 25 /2000 Propernas . Selanjutnya Pemerintahan
Presiden Megawati menerbitkan INpres nomor 8 Tahun 2002 yang memberikan jaminan Kepadtian Hukum
kepada obligor yang koperatif dan memberikan sanksi kepada
yang tidak kooperatif. ( Djony Edward – BLBI Extraordinary Crime ,suatu analisis Historis dan
Kebijakan , halaman 379 )
0Tindakan pengambil alihan tagihan BLBI oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan dalam
bentuk penerbitan surat utang negara . Namun ketidak sepakatan yang berlarut dalam rangka
penyelesaian pembagian beban biaya yang ditimbulkan dari BLBI tersebut menunjukan bahwa dasar
kebijakan yang menjadi acuan dalam melaksanakan BLBI tidak jelas ,yang akhirnya juga penanganan
Piutang negara pada bank-bank yang mendapat dana BLBI oleh BPPN mengalami kehilangan kekutan
hukumnya. Problem hukum ini diperparah lagi dengan upaya mempercepat penyehatan perbankan yang
tidak didukung oleh BAPEPAM yang menentang program rekapitulasi perbankan.- Kusumaningtuti, SS –
Peranan Hukum Dalam Penyelesaian Krisis Perbankan., hal 157.
1
Hal ini terutama terasa sekali setelah selesai penanganan penyelesaian krisis perbankan
yang menimbulkan piutang negara perbankan macet. Aspek hukum kebijakan bagi
pengkondisian yang dipilih tidak secara konsisten dan berkesinambungan, sehingga
mendorong perubahan kebijakan krisis menjadi problem baru dalam tata kelola
administrasi negara, dimana penyelesaian piutang negara tunduk pada penyelesaian hukum
privat.3
Krisis perbankan yang merebak pada tahun 1997-1998 yang mendorong perubahan
regulasi di bidang perbankan menjadi posisi sulit pemerintah bertindak represif, menarik
kembali piutang negara secara cepat, dikarenakan lembaga khusus yang menangani piutang
negara perbankan telah mengalami perobahan paradigma, pergeseran ini terutama terjadi
yaitu mengenai tata kelola keuangan negara yang disisihkan sebagai penyertaan modal
dalam perseroan (Persero) harus tunduk pada prinsip-prinsip Good Corporate Governance.4
Perubahan dan reformasi hukum ini tampak pada pemisahan kekayaan negara, ini
mengandung makna dan konsekuensi, yaitu pemerintah menyisihkan kekayaan negara
untuk dijadikan modal penyertaan guna dijadikan modal pendirian perusahaan umum atau
perseroan, atau untuk menambah dan memperkuat struktur permodalan perusahaan umum
atau perseroan terbatas dalam meningkatkan kegiatan usahanya.
Lebih jauh lagi penangan terhadap piutang negara yang disebabkan oleh keikutsertaan
pemerintah dalam perseroan yang berbentuk modal saham perseroan pada perbankan, pada
pemulihan krisis perbankan pada kurun waktu 1997-1998 tersebut, arah kebijakannya telah
mengesampingkan kepentingan hukum khusus, dengan mengedepankan kebijakan makro
ekonomi, yaitu dengan kurang kuatnya bentuk produk hukum sebagai dasar hukum
3
Dengan telah dikembalikannya pengurusan Piutang Negara kepada peradilan umum, maka segala hal
yang menyangkut piutang negara pebankan macet, tidak memiliki kekuatan eksekusi , hal mana
sebagaimana ditentukan Peraturan Pemerintah RI nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Pengahapusan Piutang
Negara/Daerah ,yang mengatur pasal II , pengurusan Piutang perusahaan Negara/Daerah untuk
selanjutnya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang
Perseroan Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya.
0Djisman S Simanjutak dalam Good Corporate Governance In Post Crisis Indonesia : Initial Condition
,Windows of Opportunity and Reform Agenda 2001
Implementasi GCG di BUMN didasarkan pada Keputusan Menteri BUMN No 117 /M.MBU/2002 .
Keputusan tersebut dimaksudkan untuk menjadikan GCG menjadi dasar operasional BUMN BUMN dengan
asset lebih dari satu triliyun rupiah, yang menyerap dana publik dan telah tercatat di Bursa wajib memiliki
komite Audit dan sekretaris Perusahaan ( Ridwan Khairandy. 2007. Good Corporate Covernance .
Yogyakarta: Total Media ,hal.19
2
pada landasan pendirian BPPN dan juga politik hukum seperti yang terdapat pada tugas
BPPN menjelang akhir. 5
Akumulasi jumlah Piutang negara yang penangannya diserahkan pada BPPN sebagai
lembaga khusus beraakhir tanpa ada ketegasan berapa jumlah yang tersisa dari keuangan
negara yang dijadikan modal dalam penyelesaian kredit bermasalahan tersebut, karena
dengan landasan hukum penyelematan krisis, telah masuk pemikiran baru dengan
ditemukannyaa suatu paham yang berbeda dalam penyelesaian piutang negara. 6
Kekuatan eksekusi pada piutang negara yang pada mulanya diadakan oleh undang-
undang telah dianulir karena Pemerintah dalam penegakan hukum lebih mengedepankan
mediasi. Hal ini dapat dilihat bagaimana penyelesaian BLBI yang dilakukan oleh BPPN
dengan mekanisme perdata yaitu dengan MSAA dan MRNIA, sehingga piutang negara banyak
diselesaikan diluar pengadilan. Ironisnaya mengesampingkan kekuatan eksekusi yang
terdapat pada Piutang Negara.8
0 Kusumaningtuti SS. 2009. Peranan Hukum Dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia. Jakarta:
Rajawali press, hal 132
1 Dalam program rekapitulasi perbankan , Pemerintah dalam mengatasi krisis perbankan adalah melalui program
rekapitulasi perbankan . Apabila kebijakan ini yang diberlakukan ,pemerintah tidak perlu membayar dana pihak
ketiga maupun kewajiban bank yang dijamin pemerintah karena dalam program ini bank peserta rekap masih
beroperasi secra normal.selain itu ,biaya rekapitulasi perbankan dianggap lebih rendah daripada biaya likuidasi
yang meliputi biaya nasabah dan biaya gaji pegawai. Dengan program ini Pemerintah Indonesia memperkuat
permodalan sejumlah bank dengan cara menerbitkan surat utang negara mencapai sekitar Rp 400. triliyun -
(Kusumaningtuti SS. 2009. Peranan Hukum Dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia. Jakarta:
Rajawali press, hal .111 )
2 Hipotesis teori tersebut sangat kuat dengan Otoritas Jasa Keuangan / Financial Service Authority (OJK/FSA ).
Selalu yang dipakai adalah amanat Undang-Undang Bank Sentral 23/1999. Pembentukan lembaga pengawas
yang baru ini selain mengikuti tren pemisahan pengawasan bank di negara maju seperti Inggris dan Australia,
juga didorong krisis perbankan 1998 . Krisis ini sebagai bukti kegagalan BI melakukan fungsi pengawasan.
Ibaratnya asal bukan BI semua akan beres. Padahal negara pelopornya ( pemerintah Inggris ) dengan model
pemisahan pengawasan ini sudah tidak memakainya lagi dan sekarang model pengawasan jalur keuangan
dikembalikan ke Pemerintah penuh ( Kompas 28 juni 2010 ,opini Abdul Mongid tentang Pasca Pembubaran
FSA di Inggris).
3 Kebijakan Penyelesaian Piutang Negara BLBI ini akhirnya bermuara pada penyelesaian keperdataan, dimana
pemerintah tidak melakukan tuntutan pidana kepada para banker, yang dapat mengembalikan seluruh hutangnya yang
timbul dari penyaluran BLBI , kemudian diadakan kesepakatan bersama antara Pemerintah Indonesia dengan Debitur
dengan membuat Master Setlement Acquisition Agremeent ( MSAA ) dengan klausula hukumnya yang dinamakan
Release And Discharge , yaitu pembebsan dari tuntutan pidana, sedangkan kepada Debitur yang assetnya tidak
mampu memnuhi kewajibannya dibuat kesepakatan Master Refinancing And Note Issuances Agreement
( MRNA ),dimana pihak debitur harus menyerahkan assetnya jika nantinya asset yang sudah diserahkan tersebut
ternyata tidak mencukupi atau dibawah kewajibannya. Dengan skema pembayaran hutang seperti ini , maka sudah
dapat diduaga bahwa penggelembungan nilai asset sangat merajalela terjadi sangat
3
Kebijakan penyelesaian perbankan sebelum krisis, masih berpijak pada ketentuan
kedudukan keuangan negara didalamnya kekayaan negara yang tidak dipisahkan sehingga
penyelesaian kredit macet bank-bank pemerintah, masih dikatagorikan sebagai Piutang
Negara Perbanakan, yang penagihan dan penyelesaiannya melalui PUPN. 9
Problem kronik hukum semacam ini, dalam posisi antara negara dan swasta, bahwa
keikutsertaan negara dalam badan hukum privat harus tunduk pada hukum privat, sehingga
pola pemahaman yang demikian dapat menyebabkan dua makna pengertian antara yuridis
dan ekonomis, yang saling bertentangan. Ketika keuangan negara disisihkan dalam
penyertaan modal swasta, maka yang sangat dibutuhkan adalah meletakan dasar dan
pemikiran dan persepsi ekonomisnya kearah usaha menegakan “Good corporate
governance”, namun akan berbeda bila terdapat dalam pengelolalan tersebut menimbulkan
pengertian “ Merugikan keuangan Negara “.
Munculnya berbagai teori korporasi sangat berpengaruh terhadap BUMN yang model
pengelolaanya diarahkan pada GCG, dalam struktur pembentukan BUMN ini ada dua sistem
hukum yang dapat mempengaruhi terhadap sistem pertanggungan jawab dan pengawasan,
sehingga pemahaman dan pengertian terhadap keuangan negara yang disishkan sebagai
modal perseroan, mendapat pemahaman yang berbeda dan ternyata dampaknya sangat
terasa ketika terjadi pada perbutan hukum yang merugikan keuangan negara. Sistem Anglo-
American atau Comon Law dan Continental European atau Civil Law, Sistem Common Law,
memandang perbuatan yang merugikan keuangan perusahaan, harus dilihat dari sisi
managemen. Sedangkan dalam sistem Civil Law harus dilihat dari sisi dominasi pemegang
saham pengendali.10
Pola pemahaman pertama tersebut diatas yaitu menganut sistim Common Law inilah
yang dikandung oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara ( BUMN ) menegaskan status hukum Persero adalah murni badan hukum perdata.
Demikian pula hubungan usaha diatur menurut hukum perdata serta tidak memiliki fasilitas
negara. Transformasi hukum semacam ini yaitu status yuridis badan hukum, akan berakibat
terhadap aspek kerugian negara, hal inilah yang selalu diidentikan dengan keuangan negara,
sehingga mungkin perbuatan tindak pidana korupsi seseorang dalam perseroan terbatas
(persero) yang sahamnya antara lain dimiliki negara berarti secara formal melawan hukum
dan memperkaya diri, orang lain atau suatu badan. Akan tetapi secara materil tidak
merugikan keuangan negara, karena posisi dan status hukum keuangan negara dalam
perseroan tersebut bukan lagi merupakan keuangan negara, melainkan keuangan milik
badan hukum lain yang berstatus hukum perseroan, dimana pemerintah
mencolok mata. Anehnya , hal seperti ini dibiarkan oleh pemerintah meskipun hal tersebut terjadi didepan mata.
( Fuady. M. 2004. Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih . Bandung: Citra Aditya, hal. 113 ).
0 Dalam Masa Pemerintahan Orde Lama sampai dengan Pemerintahan Orde Baru , penyelesaian piutang
negara Melalui lembaga khusus yang dinamakan PUPN, dasar hukumnya adalah Dengan Peraturan
Pemerintah pengganti Undang-Undang Prp Nomor 49 Tahun 1960, selanjutnya pemerintah pada tahun
1991 mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991 tentang Badan Urusan Piutang Negara
dan Lelang Negara ( BUPLN ), lembaga khusus ini diberi tugas mengawasi kredit dari bank-bank
BUMN /BUMD
1 Khairandy, R. 2003. Itikad Baik Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Fakultas Hukum Pascasarjana UI, hal. 19
4
sebagai pemilik saham mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan pemilik saham
swasta.11
Pencampur adukan posisi dan status hukum keuangan negara dalam hukum pidana
korupsi juga mengesampingkan pemisahan negara berdasarkan hukum peranan dan
statusnya sebagai badan hukum publik dan badan hukum privat. 12
Keuangan negara yang disisihkan sebagai penyertaan modal yang dikelola oleh BUMN,
perlu dilakukan reposisi dan redifinisi mengenai pengertian keuangan negara, selama ini
pengertian keuangan negara hanya dapat dibedakan dalam pengertian yaitu pengertian
dalam arti sempit, dan pengertian dalam arti luas. 13
Pemahaman tersebut di atas lebih diarahkan pada dua hal; yaitu hak dan kewajiban
negara yang timbul dan makna keuangan negara. Adapun yang dimaksud dengan hak
tersebut adalah hak menciptakan uang, hak mendatangkan hasil, hak melakukan pungutan,
hak meminjam dan hak memaksa. Adapun kewajiban adalah kewajiban menyelenggarakan
tugas negara demi kepentingan masyarakat dan kewajiban membayar hak-hak tagih pihak
ketiga berdasarkan hubungan hukum atau hubungan hukum khusus. Dalam ketentuan ini
maka dibentuklah lembaga-lembaga khusus yang dapat menangani Piutang Negara
perbankan yang macet.14
5888 Soeriaatmadja, AP. 2009. Keuangan Publik dalam Prespektif Hukum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada ,hal.119
5889 Penerapan asas-asas hukum pidana korupsi yang demikian mengaburkan dan tidak membedakan
bentuk kerugian negra seperti terlihat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jis Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2000. Analogi ini dapat dijelaskan bilamana pesero tersebut mengalami pailit . jelaskan
bilamana pesero tersebut mengalami pailit . Pernyataan pailit tersebut tidak mengakibatkan negara pailit
juga. Mungkin ini sebagai bukti analogi hukum yag sesat dimana bilamana melihat terpisahnya negara
sebagai badan hukum publik dengan keuangannya dalam bentuk saham dalam persero.
Kekisruhan penerapan hukum semcam ini disebabkan tidak dapat melihat hukum secara murni
sebagaimana dikembangkan oleh aliran Sheine Rehctslehre dar Von Savigny . Memang dalam kondisi dan
situasi tertentu diperlukan pendekatan secara sosiologis . tapi untuk kasus tertentu dimana pendekatan
tersebut dapat mengaburkan batasan hukum murni yang dapat memberikan dampak kepastian hukum ,
pendekatan sosiologis tidak perlu dilakukan demi kepastian hukum. ( Seperti Kasus Shahrir Sabirin )
dalam Soeriatmaja, AP. 1993. Laporan Penelitian Aspek-Aspek Hukum dalam Penyelesaian Piutang Negara.
Jakarta: Departemen Kehakiman Badan Pembinaan Hukum Nasional, hal.120
5890 Pengertian keuangan negara diartikan secara sempit adalah keuangan negara dalam semua aspek
yang tercakup dalam APBN yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR setiap tahunnya , dengan
demikian APBN adalah diskripsi keuangan negara dalam arti sempit sehingga pengawasan terhadap
APBN juga merupakan pengawasan keuangan negara. Sedangkan keuangan negara dalam arti luas adalah
meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD , BUMN, BUMD ,dan pada hakekatnya adalah
seluruh harta kekayaan negara sebagai suatu sistem keuangan negara. Pemahaman yang terakhir yaitu
dalam arti luas yaitu segala aktifitas yang berkaitan erat dengan uang yang diterima atau dibentuk
berdasarkan hak istimewa negara untuk kepentingan publik.
5891 Penjelasan Undang-Undang No 49 Prp Tahun 1960 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara pasal 6-8.
5
yang tidak tunduk pada Hukum Acara Perdata (HIR), hal ini disebabkan karena sifat
hukumnya yang melekat pada Piutang Negara yaitu memiliki kekuatan Hak Eksekusi. 15
Pada masa awal pemerintahan Negara Republik Indonesia, dengan telah dikeluarkan
beberapa kebijakan Perbankan ( dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 24 tanggal 15
Desember 1951 ,setelah melakukan nasionalisasi De Javasche Bank , maka Undang-undang
De Javasche Bank [De Javasche Bankwet ) Tahun 1922, telah diganti dengan Undang-Undang
no 11 /1953 tanggal 29 Mei 1953 Yaitu Undang-Undang Pokok Bank Indonesia ). 16 Seiring
dengan perkembangan perbankan di tanah air , kebijakan penyelesaian piutang negara juga
kemudian diadakan agar semua permasalahan yang menyangkut piutang negara dapat
secara cepat diselesaikan, di masa Pemerintahan Orde lama, lembaga yang menangani untuk
penyelesaian piutang negara diserahkan kepada Panitia penyelesaian piutang Negara,
susunan dan wewenangnya telah diatur dalam Keputusan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf
Angkatan darat No. Kpts/Peperpu/0241/1958 dan selanjutnya peraturan-peraturan yang
bersangkutan dengan itu berdasarkan Undang-Undang Keadaan Bahaya 1957(Lembaran
Negara Tahun 1957 No 160 ) berhubungan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang No 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya 1959 ( Lembaran negara Tahun 1959 No
139 ).17
23 Pola penanganan Piutang Negara yang sesingkat-singkatnya ( Prompter Treatment ). Apabila penanganan
piutang negara kepada PUPN , maka hubungan hukumnya bersifat sub-ordinasi ,artinya kedudukan para pihak
tidak mempunyai kewenangan atau hak yang sama. Pihak Kreditor melalui PUPN mempunyai kewenangan yang
lebih tinggi dari debitor , sehingga PUPN dapat menggunakan upaya paksa , surat paksa ini menurut ketentuan
pasal 6 huruf a UU no 49 Prp 1960 diberikan suatu Title Eksekutorial.
24Ibrahim, Johanes. 2004. Bank Sebagai Lembaga Intermediasi Dalam Hukum Positif . Bandung: Utomo
,Bandung, hal. 51
25Supramono, Gatot. 1996. Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan. Jakarta: Penerbit Jambatan ,
hal.268
6
mengubah istilah “penyelesaian” pada nama panitia ini karena istilah pengurusan
mempunyai pengertian yang lebih luas dari pada penyelesaian.
Supaya penagihan piutang negara itu pada satu pihak berlaku secara cepat dan efisien
dan pada lain pihak para penanggung utang mendapat jaminan-jaminan hukum, maka
dengan panitia dengan syarat-syarat tertentu diberi hak kekuasaan untuk menagih piutang
negara yang dimaksud dalam peraturan ini sesuai dengan cara yang ditentukan dalam
“Undang-undang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa” (Lembaran Negara tahun
1959 No. 63). Perkembangan selanjutnya pada masa Pemerintahan Orde Baru, Kebijakan
mengenai penyelesaian Piutang Negara Perbankan, masih mempertahankan model lembaga
khusus, dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1976 tentang
Panitia urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara, memberikan peran yang
lebih luas pada PUPN, lembaga ini diberi tugas untuk mengurus dan menagih piutang negara
dengan prosedur hukum tanpa mencabut kekuasaan pengadilan umum untuk mengadili
sengketa utang piutang pada umumnya. Sutan Remy Sjahdeini, menyatakan kedudukan
PUPN merupakan peradilan semu (quasi rechtspraak) karena PUPN merupakan badan
peradilan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak/berkepentingan dalam
menyelesaikan sengketa utang piutang negara.18
PUPN adalah suatu panitia, sehingga untuk pelaksanaan penyelenggaraan wewenang dan
tugas yang dimiliki PUPN dibentuk lembaga yang disebut Badan Urusan Piutang Negara
(BUPN) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 1976 tanggal 20 Maret 1976
tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara. BUPN adalah
badan yang menyelenggarakan pelaksanaan pengurusan piutang negara yang terhutang
kepada instansi-instansi pemerintah/Badan-badan usaha negara, atau badan-badan lainnya
baik di pusat maupun di daerah yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Pasal 3 ayat ( 1 ) Keputusan Presiden RI no 11 Tahun 1976, Susunan PUPN terdiri
dari unsur-unsur :
Perbedaan yang menyolok antara Kebijakan Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru
hanya mengenai pengangakatan anggota-anggota PUPN, dalam penjelasan pasal 2 Undang-
Undang Prp Tahun 1960, anggota-anggota PUPN diangkat dengan Keputusan Menteri
Pertama, namun dalam pasal 4 Keppres No 11 Tahun 1976 disebutkan bahwa pengangkatan
dan pemberhentian Ketua dan Anggota PUPN ditetapkan dengan Keputusan Presiden,
peraturan ini tampak tidak sejalan dengan peraturan yang lebih tinggi atau diatasnya.
23 Lihat Sutan Remy Sjahdeini, “Masalah Jaminan Dalam Pemberian Kredit “ Makalah disajikan dalam
pertemuan ilmiah “Penyajian Hasil Penelitian Tentang Aspek-Aspek Hukum Masalah Jaminan Kredit “
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, tanggal 28-30 September 1999, hal. 65
7
dari penyelenggaraan pelaksanaan tugas panitia Urusan piutang Negara maupun
pelaksanaan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan peraturan
perundangan yang berlaku.
Peran Lembaga khusus (PUPN) ini lebih luas disamping sebagai badan peradilan semu
juga diberi tugas mengawasi piutang /kredit yang telah dikeluarkan oleh negara atau badan-
badan negara, apakah kredit itu benar-benar dipergunakan sesuai dengan permohonan
dan/atau syarat-syarat pemberian kredit dan menanyakan keterangan yang berhubungan
dengan itu kepada bank-bank dengan menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang no 23 tahun 1960 yang telah dirubah
menjadi Undang-Undang No 7 tahun 1992 mengenai Perbankan yaitu mengenai rahasia
bank. Disamping itu juga PUPN juga diberi tugas melikuidasi badan-badan negara
sebagaimana diatur dalam pasal 5 undang-undang tersebut ditetapkan bahwa dengan
Keputusan Menteri Keuangan kepada PUPN dapat ditugaskan untuk bertindak selaku
likuidator dari suatu badan negara yang telah dinyatakan dilikuidasi. Dalam kasus Bank
Suma misalnya bank ini kemudian dicabut izinnya oleh pemerintah dan dilikuidasi.
dikarenakan pada bulan November 1992 bank ini menunjukan gagal bayar dimana posisi
kredit yang macet sejumlah 1,6 milyar dari yang disalurkan kepada masyarakat berjumlah
1,8 milyar, dan kredit yang lancar hanya 0,2 milyar, penutupan bank ini disebabkan oleh
besarnya kredit macet, sehingga pemerintah mengambil alih pengurusan kredit macet ini
menjadi piutang negara yang penyelesaiannya dilakukan oleh PUPN. Dalam kurun
pemerintah Orde Baru timbul gagasan memberi peran kepada Kejaksaan untuk
menyelesaikan kredit macet, gagasan ini timbul dikarenakan tidak adanya sanksi terhadap
pelanggaran kewajiban piutang negara diserahkan kepada PUPN dan pelanggaran larangan
penyerahan piutang negara kepada Pengacara, maka timbulah gagasan dari pejabat Bank
Indonesia ini untuk meminta kepada Jaksa Agung agar ikut menangani dan menyelesaikan
kredit macet. Dan kemudian pada bulan April 1993 Jaksa Agung Singgih merespon gagasan
ini, bahwa kejaksaan siap menjadi tukang tagih kredit macet. Maka pada priode ini dan
setelahnya banyak dijumpai di masyarakat debitur bank-bank pemerintah yang macet
dipanggil kejaksaan dan dengan cara-cara yang sangat represif para debitur macet ini
diberikan batas waktu untuk membayar hutang-hutangnya.
5888 Sianturi . P.T. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak
Melalui Lelang . Bandung: Penerbit Mandar Maju, hal. 70
8
untuk mengurus piutang negara, yang diberi kewenangan dan kekuasaan seperti
kewenangan dan kekausaan yang dimiliki pengadilan 20
Dalam masa transisi pemerintahan reformasi ini kurun waktu tahun 1998-2003
permasalahan-permasalahan diberbagai aspek kehidupan bernegara menguras energi
sumberdaya keuangan negara. Diantaranya adalah piutang negara perbankan yang
disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah orede baru yang memerintahkan Bank
Indonesia untuk mengucurkan dana talangan kepada bank-bank nasional yang terkena
dampak krisis moneter, dengan memberikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah suatu kebijaksanan dari pemerintahan dan Bank
Indonesia dimana Bank Indonesia menyuntik dana kepada bank-bank nasional yang sedang
berada dalam kesulitan dana agar bank- bank tersebut dapat membayar kepada para
deposannya masing-masing, sehingga dapat terhindar dari terjadinya kepanikan masyarakat
gagal bayar dari bank tersebut kepada deposannya. Dengan demikian lewat peluncuran
Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI), pemerintah memberikan jaminan umum (blanket
gurantee) kepada masyarakat penyimpan dana bahwa uang simpanannya tidak akan hilang
jika terjadi sesuatu atas bank tersebut. Lembaga blanket guarantee ini diperlukan terutama
sebelum adanya lembaga penjaminan simpanan yang khusus.
Kebijaksanaan bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ini sudah mulai digulirkan
sejak tahun 1997 dan terus berlanjut. Akhirnya keseluruhan Bantuan Likiditas Bank
Indonesia (BLBI) tersebut membengkak menjadi Rp145.000.000.000.000,00 ( seratus empat
puluh lima trilliun rupiah). Pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tersebut
diawali oleh instruksi Presiden Soeharto kepada menteri keuangan (Mar’ie Muhammad) dan
gubernur Bank Indonesia (Sudradjat Djiwandono) dalam sidang kabinet tanggal 3
September 1997. Dipertegas dengan surat perintah dari presiden tanggal 27 Desember 1997
yang ditujukan kepada gubernur Bank Indonesia, dalam hal ini dikirim lewat menteri
Sekretaris Negara saat itu yaitu M Moerdiono.22
Pada tahun 1998, pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam tata kelola perbankan,
dimana Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang perbankan dirubah dengan Undang-
Undang no. 10 Tahun 1998, perubahan ini sekaligus memulai babak baru penyelesaian
piutang negara mengenai BLBI diselesaikan dengan membentuk badan baru yang secara
khusus untuk menyelematkan keuangan negara yang diselewengkan oleh para debitur
(banker) nakal. Kebijakan ini adalah untuk menindaklanjuti laporan dari Badan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP), pada tanggal 14 mei 1999 dengan hasil disclaimer. Dikarenakan
masalah penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indoneisia, maka Dewan Perwakilan Rakyat
0 Soeriaatmaja, AP. 1993. Laporan Penelitian Aspek-Aspek Hukum Dalam penyelesaian Piutang Negara.
Jakarta: Departemen Kehakiman Badan Pembinaan Hukum Nasional , hal 87
Kemudian pada periode tahun 1999 sampai dengan 2003 ini kebijakan mengenai
penyelesaian piutang negara perbankan, masih melanjutkan konsepsi adanya lembaga
khusu, yaitu BPPN untuk menyelesaikan Piutang Negara BLBI, sementara yang untuk
menyelesaikan piutang perbankan yang diakibatkan kredit macet bank BUMN ,melalui
PUPN, hal ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 177 tahun 2000 tanggal 15
Desember 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen. Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 2/KMK.01/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Keuangan, BUPLN diubah menjadi nama Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara
(DJPLN). DJPLN adalah Direktorat yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Menteri Keuangan. DJPLN ini mempunyai dua tugas yaitu:
23 Menyelenggarakan pengurusan piutang negara sebagai pelaksanaan keputusan
PUPN dan sebagai pelaksaan kebijaksanaan yang ditetapkan Menteri Keuangan.
24 Sebagai pelaksanaan lelang barang jaminan dalam kaitannya dengan
pelaksanaan pengurusan piutang negara.
Hubungan antara PUPN dengan DJPLN adala PUPN mempunyai tugas dan wewenang
mengurus piutang negara berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960,
sedangkan DJPLN adalah pelaksanaan penyelenggaraan tugas dan wewenang PUPN, sebagai
pelaksana keputusan PUPN yang mempunyai kantor operasional di seluruh Indonesia yaitu
kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN).
Pada Akhir pemerintahan Presiden Megawati pada tahun 2003, dikeluarkan kebijakan
dibidang Badan Usaha Milik Negara merubah bentuk badan hukumnya yang semula
berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 adalah Perusahaan Jawatan
pengelolaan dan pertanggung jawabannya berpedoman pada Indische Bedrijvenwet, dan
Perum (Perusahaan Umum), maka dengan Undang-Undang nomor 19 Tahun 2003, badan
hukum BUMN berbentuk Perseroan (Persero) dan tunduk pada undang-undang perseroan
terbatas. Maka dengan demikian penyelesaian piutang negara tidak lagi memakai
10
ketentuan khusus, hal ini dikarenakan berkembangnya pemikiran dan konsepsi hukum
mengenai pemahaman pemisahan kekayaan negara, pemisahan kekayaan negara dipahami
sebagai konsekuensi logis yuridis, yaitu pemerintah menyisihkan kekayaan negara untuk
dijadikan modal penyertaan guna dijadikan modal pendirian perusahaan umum atau
perseroan, atau untuk menambah dan memperkuat struktur permodalan perusahaan
umum atau perseroan terbatas dalam meningkatkan kegiatan usahanya.
23 yaitu bank yang mengalami saldo debet yang bertentangan dengan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No : 14/35/Kep/Dir/UPPB tanggal 10 September 1981 ( tentang penyelenggaraan Kliring Lokal
dan Surat Edaran Direksi Bank Indonesia No : 22/227/UPG tanggal 31 Maret 1990 .
Pemberian kredit Likuiditas ( BLBI ) bagi 18 bank yang mengalami saldo debet yang bertentangan dengan
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia telah dianggap sebagai Perbuatan Korupsi.
24 Keputusan upaya administrasi yang menimbulkan akibat keuangan yang dimaksud adalah keputusan
yang mengakibatkan kerugian yang penetapannya didasarkan ketentuan perundang-undangan pembiayaan
melalui ABPN/APBD maka sanksi hukumnya adalah mengganti kerugian tersebut.
11
Karakteristik teori hukum Responsif dari Philippe Nonet-Philip Selznick masing-
masing tipe hukum terikat dengan situasi dan keadaan yang dihadapi dalam kehidupan
bernegara, di samping itu juga penegakan hukum terikat oleh keadaan dan konteks
tertentu. Bahwa agar penegakan hukum berfungsi efektif, bukan dari pelaksanaan
kebebasan atau keleluasaan yang ada pada lembaga-lembaga yang merespon tuntutan-
tuntutan yang bersifat reduksi kekuasaan, tetapi perlu ditegakkannya otoritas pada
lembaga yang merupakan sub-ordinat.
Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick, meski tertib hukum dapat
menggunakan paksaan dalam pemenuhan kepentingannya kembali atas sesuatu yang
diinginkannya haruslah bergantung pada kekuasaan tertinggi untuk melakukan paksaan
tersebut, sehingga perlu dibentuk suatu badan khusus yang kedudukannya sama dengan
pengadilan, dan memiliki kekuasaan hak eksekusitorial, maka jika debitur
wanprestasi/gagal bayar kreditur mendapat kekuasaan tertinggi untuk melakukan apa
saja menjual atau melelang tanpa mengikuti aturan (prosedur) dalam hukum acara
perdata.
Maka dengan demikian, menurut Philippe Nonet tindakan represif atau tindakan
responsif adalah pilihan efektifitas hukum yang tepat bagi pemerintah untuk
melaksanakan penegakan hukum, meskipun kondisi dan situasinya berbeda, tetapi
karena tujuan utama penegakan hukum adalah ketertiban, maka yang perlu dipikirkan
adalah bagaimana agar ketertiban harus dimenangkan.
B. Landasan Teori
Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick, fungsi penegakan hukum terikat
oleh problem dan konteks tertentu (keadaan yang dihadapi), ketika keadaan benar-
benar parah, atau dalam keadaan bahaya, tertib hukum harus memiliki potensi represif,
kondisi-kondisi demikian memerlukan persyaratan bagi efektifitas penegakan hukum,
yaitu menjamin tegaknya keadilan yang benar- benar mampu untuk memperkuat nilai
hukum yang menunjukkan alternatif-alternatif pemaksaan, dan memberikan otoritas
12
kepada penguasa untuk melakukan tindakan-tindakan hukum dengan sumber daya yang
tersedia untuk mencapai tujuan yang menguntungkan negara.
Setiap tindakan yang dilakukan atau kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
mensyaratkan beberapa kepentingan di bawah kepentingan yang lainnya. Sebuah
keputusan dari sebuah kebijakan yang merugikan kepentingan lain dan bahkan
menyakitkan, bukan merupakan suatu represi sepanjang keputusan itu dimaksudkan
untuk menghindari timbulnya bahaya (kerugian negara). Prosedur diperlukan hanya
untuk menghormati hak-hak seseorang atau mencari cara yang dapat mengurangi atau
membatasi akibat yang membahayakan.
Di sisi lain, dalam pandangan Philippe Nonet dan Philip Selznick paksaan tidak
harus represif demikian juga represif tidak harus bersifat memaksa secara langsung
ketika pemerintah mendapatkan legitimasi untuk menegakan ketertiban umum dalam
keadaan krisis (krisis ekonomi/krisis moneter) yang berpotensi merugikan keuangan,
maka tindakan hukum pemerintah harus mengesampingkan asas keseimbangan, yang
diperlukan adalah badan khusus yang disesuaikan dengan ketertiban, memiliki otoritas
sub-ordinasi sebagai lembaga superbody, sehingga dengan demikian tindakan hukum
pemerintah dapat dirasakan bukan sebagai tindakan represi. Bentuk represi yang paling
potensial yang dilakukan oleh lembaga superbody ini adalah penggunaan kekuasaan yang
diberikan undang-undang untuk menjadikan dalam upaya melaksanakan kekuasaan,
misalnya untuk menyita barang jaminan atau menahan seseorang, menekan pihak yang
tidak patuh atau menghentikan protes, tapi represi juga bisa dilakukan dengan sangat
halus, yaitu mendorong tahapan-tahapan prosedur dan menggali isi perjanjian untuk
mendapatkan suatu penyelesaian yang diakibatkan oleh adanya wanprestasi.
Philippe Nonet dan Philip Selznick juga menepikan bila ketertiban dihasilkan dari
hukum otonom, yaitu legitimasi. Legitimasi berarti orientasi dan kelekatan yang ketat
pada prosedur hukum, maka ketertiban tidak lagi dominan dan keadilan menjadi lamban
dan tidak efisien. Oleh karena itu, terhadap kondisi yang sulit atau krisis moneter yang
mengakibatkan banyaknya piutang yang macet, penegakan hukum lebih mengutamakan
pada sasaran-sasaran yang kongkret harus lebih dominan dibanding pada orientasi
prosedur.
Philippe Nonet dan Philip Selznick juga mengorientasikan teorinya pada model
hukum responsif. Dalam hukum responsif mendorong suatu pendekatan yang berpusat
pada masalah dan integratif secara sosial terhadap krisis yang terjadi. Untuk mengatasi
dampak krisis diperlukan resolusi krisis dengan tindakan-tindakan hukum integratif
yang mengutamakan asas keseimbangan melalui upaya atau cara pengampunan atau
13
bernegosiasi yang bertujuan untuk menyusun kembali dimana agar kerangka kerja atau
perjanjian yang sudah dilakukan tetap berjalan, dengan demikian menempatkan
kreditur (pemerintah) dan debitur dalam kedudukan yang sama, sehingga berbagai
masalah dapat diselesaikan secara internal, antara lain dilakukan dengan: retrukturisasi,
penghapusan (Write Off), pengimpasan pinjaman (Set Off) dan dana talangan (Bail Out).
Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick upaya penegakan hukum dalam
model hukum responsif selalu dimenangkan dengan menegakan asas keseimbangan
melalui cara-cara bernegosiasi, yaitu bila para pihak memiliki kedudukan yang sama,
sedangkan penegakan hukum dalam model hukum represif adalah ketertiban dapat
dimenangkan dengan menegakkan asas sub-ordinat (kedudukan kreditur/pemerintah
lebih tinggi daripada debitur atau para pihak tidak mempunyai kewenangan atau hak
yang sama).
Masing-masing tipe hukum terikat dengan situasi dan keadaan yang dihadapi
dalam kehidupan bernegara, penegakan hukumnya juga terikat oleh keadaan yang
dihadapi (problem dan konteks tertentu). Bahwa agar penegakan hukum berfungsi
efektif, bukan dari pelaksanaan kebebasan atau keleluasaan yang ada pada lembaga-
lembaga yang merespon tuntutan-tuntutan yang bersifat reduksi kekuasaan, tetapi perlu
ditegakkannya otoritas pada lembaga yang merupakan sub-ordinat.
Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick, meski tertib hukum dapat
menggunakan paksaan dalam pemenuhan kepentingannya kembali atas sesuatu yang
diinginkannya haruslah bergantung pada kekuasaan tertinggi untuk melakukan paksaan
tersebut, sehingga perlu dibentuk suatu badan khusus yang kedudukannya sama dengan
pengadilan, dan memiliki kekuasaan hak eksekusitorial. Jika debitur wanprestasi, maka
kreditur mendapat kekuasaan tertinggi untuk melakukan apa saja menjual atau melelang
tanpa mengikuti aturan (prosedur) dalam hukum acara perdata.
14
Tabel 1.1. Tiga Jenis Hukum
HUKUM HUKUM
HUKUM OTONOM
REPRESIF RESPONSIF
1 2 3 4
Tujuan Hukum Ketertiban Legitimasi Kompetensi
Legitimasi Ketahanan sosial Keadilan Kadilan substanstif
Dan tujuan prosedural
negara
Peraturan Keras dan rinci Lusa dan rinci Subordinat dari
namun berlaku mengikat penguasa prinsip dan
lemah terhadap maupun yang kebijakan
pembuat hukum dikuasai
15
Partisipasi Pasif; kritik Akses dibatasi oleh Akses diperbesar
dilihat sebagai prosedur baku; dengan Integrasi
ketidaksetiaan munculnya kritik advokasi hukum
atas hukum dan social
Periksa Philippe Nonet dan Philip Selznick, dalam Law and Society in Transition; Toward Respons
Law
Bertolak dari teori Phlippe Nonet dan Philip Selznick menyatakan bahwa kunci
utama pembentukan hukum yang mengarah pada perubahan sosial terletak dari
implementasi hukum. Di sini, perlu dibedakan antara tujuan sosial hukum serta dimensi-
dimensi tata hukum, dan pada pihak lain kebutuhan akan suatu kerangka bagi alternatif
penataan hukum. Berangkat dari teori ini, maka permasalahan penyelesaiaan utang BLBI
akan lebih menunjukkan keberhasilannya apabila penanganannya berangkat tidak
adanya tertib hukum disebabkan adanya penyalah gunaan keuangan, baik dalam
distribusinya maupun penggunaannya, sehingga perlu penanganan khusus dan lembaga
khusus yang postulatnya adalah hukum pengawasan, sedangkan institusi penegakannya
didasari pada kondisi krisis/tidak tertib (disorder). Dengan demikian, maka tata
penyelesaian piutang negara BLBI adalah dengan membangun menggunakan teori
hukum Nonet dari sisi bagaimana ketertiban dapat dimenangkan sehingga uang negara
dapat diselamatkan .
Pada hukum represif, tujuan hukum adalah ketertiban dan dasar keabsahannya
adalah pengamanan masyarakat. Aturan-aturan bersifat terperinci namun kurang
mengikat pembuat aturan, sehingga seringkali terjadi dikresi. Gagasan hukum represif
mengandaikan bahwa setiap tata hukum merupakan “keadilan yang beku” dan
mempunyai potensi represif oleh karena terikat pada status quo dan dengan
menyelimuti otoritas hukum membuat kekuasaan lebih efektif.
Kaitannya dengan kekuasaann bentuk sistematik hukum represif mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :
Pranata-pranata hukum secara langsung disediakan bagi kekuasaan politik, hukum
diidentifikasikan dengan negara dan tunduk kepada kepentingan negara.
Kelestarian kekuasaan negara adalah tugas dari penegakan hukum.
Alat-alat pengendalian khusus seperti polisi menjadi pusat kekuasaan yang bebas.
Kelembagaan keadilan kelas.
Hukum pidana merupakan perhatian penegak hukum.
Melaui pemikiran di atas jelas-lah bahwa hukum merupakan salah satu alat bagi
negara untuk mempertahankan cita-citanya dan oleh karena negara pada dasarnya
tatanan politik suatu masyarakat, maka cita-cita hukum suatu negara secara ideal
merupakan akibat lebih lanjut dari cita-cita politiknya. Negara sebagai suatu tatanan
politik pada dasarnya merupakan suatu alat dari orang atau golongan- golongan yang
memegang kekuasaan di negara tersebut. Dengan perkataan lain, maka hukum yang
berlaku di dalam suatu negara mengandung cita-cita politik dari orang-orang atau
golongan-golongan di dalam negara. Dengan demikian, sifat dan wujud hukum didasari
oleh cita-cita atau aturan-aturan yang berpengaruh besar terhadap orang-orang atau
golongan-golongan yang berkuasa dan hukum sebagai salah cara untuk mengatur
perilaku warga masyarakat secara ideal, selalu di dalam keadaan yang mengalami proses
perubahan sesuai dengan pola-pola politik yang menjiwai masyarakat yang
bersangkutan.
Menurut Nonet dan Selznick maka perwujudan-perwujudaan hukum represif
menampilkan dua gambaran pokok , yaitu :
0 Keterpaduan yang erat antara hukum dan politik dalam bentuk sub-ordinasi langsung
pranata-pranata hukum pada elit yang memerintah dengan menjadi semacam,
“Instrumentalisme primitif” yang siap mengkonsolidasikan kekuasaan, menjamin, hak
istimewa (privilege), dan memenangkan konformitas.
1 Merajalelanya diskresi, baik sebagai hasil maupun sebagai cara untuk menjamin
bekerja peranan hukum sebagai alat di atas.
Pada tipe hukum otonom tujuan hukum adalah legitimasi yang didasarkan pada
kejujuran prosedural. Aturan- aturan mengikat baik bagi penguasa maupun yang
dikuasai, dan diskresi dibatasi oleh hukum serta hukum lebih terbebas dari politik.
Hukum otonom memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Hukum dipisahkan dari politik dengan pemisahan fungsi-fungsi;
0 Tata hukum mendukung “model aturan-aturan”;
1 Prosedur adalah pusat hukum;
2 Kepatuhan pada hukum dipahami sebagai kepatuhan yang ketat pada hukum positif.
17
Hukum responsif yang bertujuan agar hukum lebih tanggap terhadap kebutuhan
terbuka pada pengaruh dan lebih efektif dalam menangani masalah-masalah sosial,
memiliki ciri-ciri, yaitu :
0 Dinamika perkembangan hukum meningkatkan otoritas tujuan
1 Mengendalikan tuntutan pada kepatutan serta mengurangi kelakuan hukum
2 Bantuan hukum menampilkan dimensi politik
3 Terdapatnya perencanaan pranata-pranata hukum secara lebih kompeten.
Dalam penanganan piutang negara oleh negara harus diadakan peraturan yang
menjadi dasar hukum bagi keberadaan lembaga, ketentuan tentang prosedur dan syarat
eksekusi. Negara berwenang membuat ketentuan yang demikian karena negara adalah
pemegang kedaulatan, dengan demikian negara merupakan pemegang otoritas untuk
membuat peraturan, mengadakan lembaga, menentukan syarat dan prosedur eksekusi.
Dalam hal ini adalah eksekusi piutang negara yang diatur terpisah dari eksekusi piutang
non negara.25
Piutang negara atau hutang kepada negara adalah jumlah uang yang wajib
dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung
dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun. Dari
pengertian tersebut, maka piutang negara dibedakan menjadi dua jenis piutang negara,
yaitu Piutang Negara Non Perbankan dan Piutang Negara Perbankan. Piutang Negara
Perbankan adalah piutang yang berasal dari bank-bank yang dimiliki pemerintah pusat
seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Negara
Indonesia 46 (BNI 46), Bank Mandiri dan bank-bank yang dimiliki pemerintah daerah
seperti Bank Pembangunan Daerah, Bank Perkreditan Rakyat/Bank Kredit Kecamatan
Kabupaten.26 Piutang Negara Non Perbankan berupa tagihan-tagihan dari lembaga atau
Pengertian Piutang Negara dalam kapasitas hukum keuangan negara juga telah
diadopsi didalam Undang-Undang Perbankan, dimana Hak Eksekusi dalam Piutang
Negara telah dicantumkan dalam rumusan pasal 31 A pasal 3 huruf I dalam penjelasan
Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik
Indonesia nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, menyatakan bahwa;
“Menurut ketentuan ini atas piutang Bank terhadap pihak ketiga yang diambil alih
penagihannya oleh badan khusus, maka badan khusus dapat melakukan tindakan
penagihan hutang dengan menerbitan surat paksa”.
Dalam hal tindakan penagihan piutang tidak diindahkan oleh pihak berhutang,
maka badan khusus dapat melakukan penyitaan atas hak kekayaan milik pihak yang
berhutang dan selanjutnya dapat melakukan pelelangan atas harta pihak yang berutang
untuk diperhitungkan sebagai pengembalian piutang. Walaupun badan khusus ini diberi
kewenangan untuk melakukan penagihan paksa, tetapi tata cara pelaksanaannya tetap
memperhatikan aspek kepastian hukum dan keadilan.28
Undang Nomor 19 tahun 2003, pasal 1 angka 1 “Badan Usaha Milik Negara” adalah badan usaha yang
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN terdiri atas “persero” dan “Perum”. Bank BUMN pada saat ini
adalah PT (Persero) Bank BRI Tbk, PT (Persero) Bank Mandiri Tbk, PT (Persero) Bank BNI Tbk, dan PT
(Persero) Bank BTN . PT Bank Pembangunan Daerah , PT BPR Daerah.
0 Sianturi P.T. 2008. Perlindungan Hukum Terhdap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui
Lelang. Bandung: Mandar Maju, hal. 66
1 Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/147/KEP /Dir Tanggal 12 November 1998 tentang
kualitas Aktiva Produksi sebagaimana telah diubah Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/6/PBI/2005 tanggal 6
Septeber 2002 Tentang Kualitas Aktiva Produktif ,diantaranya kredit termasuk katagori macet (lose). Kredit
tersebut menjadi Piutang Negara macet. Piutang Negara macet dimungkinkan dulu diselesaikan secara intern
oleh bank pemerintah dimaksud.Jika belum juga debitur menyelesaikan, piutang negara macet diserahkan
pengurusnya oleh bank pemerintah kepada PUPN dan DJPLMN/KP2N.
29
Lihat Sutan Remy Sjahdeni, “Masalah jaminan Dalam Pemberian Kredit” Makalah disajikan dalam pertemuan
ilmiah “Penyajian Hasil Penelitian tentang Aspek-Aspek Hukum Masalah Jaminan Kredit” Diselenggarakan oleh
Badan pembinaan Hukum Nasional, Jakarta tanggal 28-30 September 1999, hal 65.
19
sengketa utang piutang negara. Kemudian oleh Arifin P Soeriaatmadja, dikatakan bahwa
PUPN selintas memang mirip lembaga peradilan yang semu, tetapi pada hakikatnya
PUPN tidak melakukan pengadilan terhadap debitur yang menunggak hutang. Anggapan
tugas PUPN sama dengan tugas pengadilan adalah bahwa tindakan yang dilakukan oleh
PUPN memiliki ciri yang hampir sama dengan penagihan Grosse Akta, yaitu dapat
menagih langsung tanpa proses dan campur tangan pihak pengadilan.
Menurut Edwar W.Reed dan Edward K. Gill, kedua persoalan ini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
“Ketidaksediaan untuk membayar naik turun dengan keberuntungan
ekonomi sebagai peminjam. Dalam masa cerah, keinginan untuk membayar
pinjaman lebih besar daripada masa sulit. Ketidakinginan membayar
pinjaman erat kaitannya dengan depresi ekonomi, masa pengangguran, dan
penurunan laba.
30
Bagian pertimbangan Undang-Undang Prp 49 Tahun 1960 menyatakan: “bahwa untuk kepentingan keuangan
negara, hutang kepada negara atau badan-badan, baik yang langsung maupun yang tidak langsung dikuasai oleh
negara, perlu segera diurus” Bagian penjelasan atas Undang-Undang Prp 49 tahun 1960 dalam alinia keenam
menyatakan supaya penagihan piutang.
31
Surat Paksa berdasarkan pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 49 Prp 1960 diberikan suatu title
eksekusitorial
0 Sianturi, P.T. 2008. Perlindungan Hukum terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang.
Bandung: Mandar Maju, hal. 70.
33
Diskusi Panel Munas IKAHI ke IX Maret 1994.
20
Dalam saat seperti itulah, maka sifat kredit menjadi semakin penting. Pada
masa sulit sifat pemberi pinjaman yang kejam menekan mangsanya, dan
dalam masa sulit inilah pemberi pinjaman dalam pandangan peminjam
seharusnya bertindak sebagai penyelamat. Alasan utama adanya pinjaman
bermasalah dan kemungkinan kerugian adalah ketidakmampuan peminjam
untuk mewujudkan pendapatan dari kegiatan bisnis yang normal, kesempatan
kerja, atau penjualan hartanya”.34
23 Edward W, Reed dan K Gill. 1995. Commercial Bank. diterjemahkan St Dianjung. Jakart: Bumi , hal.303
24 Wijaya. Krisna. 2010. Analisis Kebijakan Perbankan Nasional. Jakarta: Elex Media Komputindo Kompas
Gramedia, hal. 206.
21
memdayagunakan fungsi hukum pidana (Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi), dan mengesampingkan dengan tindakan hukum
perdata ataupun dengan Undang-Undang BUMN, sehingga tepat jika
dikatakan bahwa pemerintah telah mengutamakan fungsi “premium
remedium” bukan fungsi “ultimum remidium” yang dianggap secara efektif
menyelesaikan kerugian negara, seperti penyelesaian kasus Bank Mandiri
(Neloe Cs), Kasus Samadikun Hartono, dan Kasus Hendra Raharja.
Model penyelesaian secara pidana yang berkaitan dengan potensi
kerugian negara pada kasus gagal bayar piutang negara perbankan ini,
dianggap dapat menimbulkan efek jera sekaligus disertai harapan kerugian
negara dapat dikembalikan melalui proses penyitaan dan perampasan aset
hasil tindakan pidana.
Penerapan tindak pidana pada kasus gagal bayar yang berpotensi
merugikan negara digunakan tindakan hukum yang bersifat represif ini
dilandaskan pada teori moralitas (moral theory) yang berasal dari abad ke
17 yang dipengaruhi oleh filsafat Kantianisme (Imanuel Kant). Sedangkan
pandangan modern tentang masalah hukuman dilandaskan pada teori
ekonomi yang dipengaruhi filasafat Utilitarian (J. Bentham) dan telah
dimodifikasi dengan perkembangan ekonomi liberal Robert Cooter dan
Thomas Ullen.36
Berdasarkan pendekatan historis mengungkapkan bahwa penghukuman
tidak pernah berhasil menimbulkan efek jera dan menghilangkan kejahatan
bahkan terjadi sebaliknya dimana hukuman yang sangat kejam tidak bisa
menjamin dapat mengembalikan ketertiban dan keamanan di masyarakat.
36Robert Cooter and Thomas Ullen. 2004. Law and Economic. Pearson Education, Inc. hal.448
37Penjelasan
Komisis III DPR RI menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi pada bulan November 2012 di
harian kompas.
22
mengandung dualisme sanksi kebijakan pembentuk undang-undang
menempatkan sanksi administrasi dan pidana sekaligus dalam satu undang-
undang, jika kasus di bidang keuangan dan perbankan juga telah
mengakibatkan kerugian keuangan negara dan bukan semata-mata
merugikan kepentingan para pihak yang terlibat dalam jasa keuangan dan
perbankan. Apakah perbuatan itu merupakan pelanggaran administratif
ataukah merupakan tindak pidana. Oleh karena semakin besarnya peranan
pemerintah dalam penyertaan modal ke dalam aktivitas dalam bidang
keuangan dan perbankan, terutama dalam keadaan krisis keuangan dan
perbankan, sehingga kasus gagal bayar masih tetap dianggap sebagai
potensi terjadinya kerugian keuangan negara.
C.3 Konsep Putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Piutang Bank BUMN
Bukan Piutang Negara
Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengeluarkan Amar Putusannya
perihal Piutang Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pada tanggal 17
September 2012, Rapat Permusyawaratan Hakim menerbitkan Surat
Putusan MK Nomor: 77/PUU-IX/2011. Inti dari Surat Putusan yang dibaca
pada hari Selasa, 25 September 2012 tersebut ialah, bahwa Piutang Bank
BUMN bukan Piutang Negara.
Pada Amar Putusan tersebut, MK mengabulkan permohonan para
Pemohon untuk sebagian. Para Pemohon yang memiliki utang dengan BNI,
merasa hak konstitusinya dilanggar. Mengingat mereka tidak mendapatkan
haircut (hapus tagih) utang dari BNI yang notabene BUMN, di masa krisis
moneter 1997/1998. Padahal disaat yang sama, debitur-debitur nakal
mendapat kemudahan pengurusan utang oleh BPPN, selebihnya mereka
menikmati pemotongan utang hingga 50%. Selanjutnya, alih-alih
mendapatkan potongan, menurut para pemohon, utang mereka semakin
besar. Pada Amar Putusan tersebut, ada delapan poin keputusan terkait
judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960
(UU49/1960) tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).
Keseluruhannya menyatakan, bahwa frasa-frasa yang terkait Piutang BUMN
adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan kini tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Piutang Bank BUMN tidak lagi menjadi bagian dari
piutang negara, sehingga pengurusan tidak lagi melalaui mekanisme
hukum tidak melalui PUPN.
23
24
BAB II
TINJAUAN YURIDIS HISTORIS PERKEMBANGAN PENYELESAIAN PIUTANG NEGARA
PERBANKAN
Motivasi pencetusan badan PUPN didasarkan atas kenyataan pada saat itu sangat banyak
piutang negara atau dana-dana yang dikeluarkan pemerintah, baik untuk merombak
struktur perekonomian maupun untuk meningkatkan pembangunan. Tapi ternyata sebagian
besar dana-dana tersebut tidak kembali ke kas negara. Oleh karena itu, perlu diambil langkah
dan cara penanggulangan yang cepat agar dana-dana tersebut kembali segera ke kas negara
untuk dipergunakan bagi pembangunan nasional.40
Pengurusan piutang negara menurut UU 49/1960 ditempatkan di dalam dua ranah, yaitu
ranah hukum perdata dan ranah hukum publik. Ranah hukum perdata diatur di dalam Pasal
10 ayat (1) UU 49/1960 yang intinya; Pertama, UU 49/1960 memberikan kesempatan
kepada pihak-pihak yang terlibat di dalam perjanjian untuk mengadakan negosiasi, termasuk
juga perjanjian-perjanjian bermasalah karena adanya krisis moneter, force majeure, sehingga
transaksi dalam mata uang dollar yang mengalami kerugian dan setelah dirundingkan
dengan panitia dengan penanggung utang dan diperoleh kata sepakat tentang jumlah hutang
yang masih harus dibayar, termasuk bunga, denda yang tidak bersifat pidana, serta biaya-
biaya yang bersangkutan dengan piutang tersebut, sehingga oleh ketua panitia dan
penanggung hutang dibuat suatu pernyataan bersama yang memuat jumlah utang tersebut
dan membuat kewajiban penanggung utang untuk melunasinya. Kedua, pernyataan bersama
tersebut memuat unsur-unsur besarnya piutang yang telah pasti menurut hukum, tetapi
penanggung utangnya tidak melunasi utangnya sebagaimana mestinya, sehingga
23 Sibarani, Bachtiar. 2002 Pengurusan Piutang Negara Berjalan Maju Mundur, Kajian Hukum Ekonomi
Maju dan Bisnis. Jakarta: Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, hal. 338.
25
pengurusan-nya diserahkan oleh Pemerintah atau badan-badan yang dimaksud oleh
undang-undang a quo kepada PUPN. Proses negosiasi yang diuraikan di atas merupakan
pelaksanaan UU 49/1960 yang menempatkan proses tersebut berada di dalam ranah hukum
perdata yang memiliki asas-asas sebagai berikut: asas kebebasan berkontrak, asas itikad
baik, asas persamaan, asas perjanjian mengikat sebagai undang-undang, asas kebiasaan, asas
konsesualisme, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas kepentingan individu, asas
hukum yang bersifat pelengkap. Sedangkan tentang ranah hukum publik, pernyataan
bersama tersebut mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti suatu putusan hakim dalam
perkara perdata yang berkekuatan hukum pasti termuat pada konsideran dan penjelasan
umum maupun pada materi pasal-pasal dalam undang-undang tersebut dalam konsideran
Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, antara
lain disebutkan:
5888 Urusan kepentingan keuangan negara, hutang kepada negara atau badan-
badan, baik yang langsung maupun tidak langsung dikuasai oleh negara, perlu
segera diurus;
5889 Peraturan-peraturan biasa tidak memungkinkan untuk memperoleh hasil
yang cepat dalam pengurusan piutang negara.
Kemudian pada Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang
Panitia Urusan Piutang Negara, antara lain disebutkan:
23 Apabila prosedur biasa seperti HIR (Staatsblad 1941 No. 44 Pasal 195 dan
seterusnya) digunakan, penagihan terhadap piutang negara yang oleh berbagai
kesulitan sukar sekali ditagih tidak akan tercapai secara memuaskan;
24 Terhadap para penanggung hutang (debitur) yang “nakal” dan dengan
tindakannya yang terang-terangan merugikan negara perlu dilakukan penagihan
piutang negara secara singkat dan efektif dengan tetap memperhatikan jaminan
hukum terhadap penanggung hutang dan untuk itu Panitia Urusan Piutang
Negara (PUPN) diberi hak kekuasaan untuk menagih piutang dimaksud dengan
syarat-syarat tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. Piutang negara yang
bermasalah atau kredit macet timbul karena adanya Pasal 12 Ayat (2), karena
pasal tersebut memberikan kewenangan khusus kepada PUPN hanya untuk
mengurus piutang negara (di antaranya kredit macet) yang telah terjadi dan
telah diserahkan oleh instansi pemerintah dan badan negara/daerah. Padahal
masalah kredit macet dapat terjadi akibat dari tidak dilaksanakannya proses dan
prosedur pembuatan perjanjian kredit (termasuk perjanjian tambahannya)
dengan benar, seperti: kredit tidak dijamin dengan barang jaminan yang benar
(atau fiktif), sehingga pada saat akan dilakukan penutupan atas kredit macet
dengan penjualan barang jaminan tersebut tidak bisa dipenuhi. Piutang negara
yang diserahkan pengurusannya kepada PUPN adalah piutang yang adanya dan
besarnya telah pasti menurut hukum. Cara penyelesaian piutang negara
berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 dilakukan dengan
membuat Pernyataan Bersama yaitu “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” antara Ketua PUPN dengan penanggung hutang (debitur) yang
memuat kata sepakat antara mereka tentang 19 jumlah hutang yang masih harus
dibayar dan dimuat pula kewajiban penanggung hutang untuk melunasi
hutangnya. Pernyataan bersama ini mempunyai kekuatan pelaksanaan seperti
putusan hakim dalam perkara perdata dan pelaksanaannya dijalankan dengan
surat paksa yang mempunyai kekuatan hukum sama seperti putusan hakim yang
telah berkekuatan hukum tetap (vide Pasal 10 berikut penjelasannya dan Pasal
11 Angka 3 (1), (2) Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara).
26
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang
Panitia Urusan Piutang Negara, maka pengurusan penyelesaian piutang negara
terhadap penanggung hutang (debitur) yang tidak kooperatif atau nakal, dapat
dilakukan secara cepat, efektif, dan efisien. Karena itu Panitia Urusan Piutang
Negara (PUPN) diberikan kewenangan untuk menerbitkan surat paksa, penyitaan
bahkan dapat melakukan paksa badan (gijzeling) kepada penanggung hutang
(debitur) jika tidak melunasi kewajibannya sebagaimana dituangkan dalam
Pernyataan Bersama tersebut.
Dari ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 dan Pasal 2
Keputusan Presiden No. 11 Tahun 1976, dapat diketahui bahwa tugas PUPN antara
lain:
a. Melakukan pengurusan piutang Negara yang harus dibayar kepada
instansi-instansi Pemerintah dan Badan-badan Usaha Milik Negara
5888 Samsul Chorib. Penyelesaian Kredit Macet oleh PUPN/BUPN dan Masalah Yang Timbul Dalam Praktek.
Makalah, Jakarta: 1996, hal. 3
80 dan BUPLN.
27
(BUMN) yang modal atau kekayaannya sebagian atau seluruhnya milik
negara, baik di pusat maupun di daerah.
5888 Melakukan pengawasan-pengawasan terhadap piutang-piutang,
kredit-kredit yang telah dikeluarkan oleh instansi-instansi Pemerintah
dan BUMN, baik di Pusat maupun di Daerah.
Tugas pokok PUPN bukan “mengadili”, tetapi melakukan “pengurusan,
penataan, dan pengawasan”. Dengan kata lain, tugas utama PUPN adalah
“melindungi dan menagih pembayaran” piutang negara agar segera dapat
dikembalikan oleh debitur ke kas negara yang bersangkutan. Tindakan
yang dilakukan PUPN memiliki ciri yang hampir sama dengan penagihan
gross akta, yaitu dapat menagih langsung tanpa melalui proses dan
campur tangan pengadilan.
24 Hartono, Darminto. 2002. Analisis Mekanisme Pola Penanganan Piutang Negara dan Pembentukan
Sebuah Model, Artikel, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 17, Januari 2002, hal. 21
25 Sibarani, Bachtiar. 2002. Pengurusan Piutang Negara Berjalan Maju Mundur, Kajian Hukum
Ekonomi Maju dan Bisnis. Jakarta: Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, hal. 30.
47Tugas ini menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Perbankan tentang Kerahasiaan bank.
28
Pada bulan Desember tahun 1960, semua Peraturan Penguasa Perang Pusat tidak
berlaku lagi,48 maka pemerintah menganggap perlu nama panitia ini diubah dengan istilah
“pengurusan”, karena istilah pengurusan mempunyai pengertian lebih luas daripada
penyelesaian dan perubahan nama ini sekaligus diikuti dengan perubahan landasan hukum
yang sebelumnya hanya berdasarkan Keputusan Penguasa Perang Pusat, kemudian diubah
dengan Undang-Undang.49
Piutang negara menurut ketentuan undang-undang PUPN ialah jumlah uang yang wajib
dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung
dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun. Negara
sebagai terutang selain pemerintah pusat maupun pemerintah daerah juga badan-badan
yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik negara, misalnya
bank-bank negara, perusahaan- perusahaan milik negara, yayasan perbekalan dan
persediaan, yayasan urusan badan makanan dan lain sebagainya.
Dengan demikian dari pengertian tersebut di atas, piutang negara dapat dikelompokkan
menjadi dua jenis piutang negara perbankan dan piutang negara non perbankan:
5888 Piutang negara perbankan, yaitu piutang yang berasal dari bank-bank yang
dimiliki pemerintah pusat seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tabungan
Negara (BTN), Bank Negara Indonesia (BNI 46), Bank Mandiri, dan bank-bank
yang dimiliki oleh pemerintah daerah, seperti Bank Pembangunan Daerah (BPD).
5889 Piutang negara non perbankan berupa tagihan-tagihan dari lembaga atau
instansi atau badan pemerintah pusat dan daerah selain bank, tagihan macet dari
departemen dan lembaga non departemen atau dinas daerah selain bank, seperti
tagihan PLN, TELKOM, Pegadaian, dan lain sebagainya termasuk tuntutan ganti
rugi.
Dalam mengurus piutang negara,PUPN dapat bertindak pasif dan aktif. Pasif bersifat
menunggu. PUPN baru menjalankan tugasnya setelah ada penyerahan piutang negara
kepadanya. Sedangkan bersifat aktif, PUPN dapat langsung mengurus piutang negara tanpa
menunggu penyerahannya. Syaratnya harus ada alasan yang kuat dari PUPN bahwa piutang-
piutang negara tersebut harus segera diurus. Tugas ini dalam hal-hal tertentu saja, jika
terjadi kekhawatiran negara akan dirugikan, sehingga kalau tidak segera diurus akan
membahayakan kelangsungan hidup instansi yang bersangkutan. Untuk semua itu jumlah
piutang negara yang diurus oleh PUPN adalah jumlah hutang yang sudah pasti dan tidak
berubah.
48
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan
Bahaya.
Perbedaan yang mencolok antara Kebijakan Pemerintahan Orde Lama dan Orde
Baru adalah hanya mengenai pengangkatan anggota-anggota PUPN, dalam penjelasan
pasal 2 Undang-Undang Prp Tahun 1960, anggota-anggota PUPN diangkat dengan
Keputusan Menteri Pertama, namun dalam pasal 4 Keppres No 11 Tahun 1976
disebutkan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Ketua dan Anggota PUPN
ditetapkan dengan Keputusan Presiden, peraturan ini tampak tidak sejalan dengan
peraturan yang lebih tinggi atau di atasnya. Selanjutnya dalam tahun 1991, pemerintah
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 21 tahun 1991 tentang Badan Urusan Piutang
dan Lelang Negara (BUPLN). BUPLN adalah lembaga yang berada di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Menteri Keuangan yang memiliki tugas
menyelenggarakan urusan piutang negara dan lelang, baik yang berasal dari
penyelenggaraan pelaksanaan tugas panitia Urusan Piutang Negara maupun
pelaksanaan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan peraturan
perundangan yang berlaku.
Peran lembaga khusus (PUPN) ini lebih luas di samping sebagai badan peradilan
semu juga diberi tugas mengawasi piutang/kredit yang telah dikeluarkan oleh negara
atau badan-badan negara,apakah kredit itu benar-benar dipergunakan sesuai dengan
permohonan dan/atau syarat -syarat pemberian kredit dan menanyakan keterangan
yang berhubungan dengan itu kepada bank-bank dengan menyimpang dari ketentuan-
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang no. 23 tahun 1960
yang telah diubah menjadi Undang-Undang No. 7 tahun 1992 mengenai Perbankan, yaitu
mengenai Rahasia Bank.
Di samping itu juga PUPN juga diberi tugas melikuidasi badan-badan negara
sebagaimana diatur dalam pasal 5 Undang-Undang tersebut ditetapkan bahwa dengan
Keputusan Menteri Keuangan kepada PUPN dapat ditugaskan untuk bertindak selaku
likuidator dari suatu badan negara yang telah dinyatakan dilikuidasi. Misalnya, dalam
kasus Bank Suma, bank ini kemudian dicabut izinnya oleh pemerintah dan dilikuidasi
dikarenakan pada bulan November 1992 bank ini menunjukkan gagal bayar dimana
posisi kredit yang macet sejumlah Rp. 1,6 milyar dari yang disalurkan kepada
masyarakat berjumlah Rp. 1,8 milyar dan kredit yang lancar hanya Rp. 0,2 milyar,
penutupan bank ini disebabkan oleh besarnya kredit macet, sehingga pemerintah
mengambil alih pengurusan kredit macet ini menjadi piutang negara yang
penyelesaiannya dilakukan oleh PUPN.
Dalam kurun pemerintah Orde Baru timbul gagasan memberi peran kepada
Kejaksaan untuk menyelesaikan kredit macet. Gagasan ini timbul dikarenakan tidak
adanya sangsi terhadap pelanggaran kewajiban piutang negara diserahkan kepada PUPN
dan pelanggaran larangan penyerahan piutang negara kepada pengacara, maka
timbullah gagasan dari pejabat Bank Indonesia ini untuk meminta kepada Jaksa Agung
agar ikut menangani dan menyelesaikan kredit macet. Kemudian pada bulan April 1993
Jaksa Agung Singgih merespon gagasan ini, bahwa kejaksaan siap menjadi tukang tagih
kredit macet. Maka pada periode ini dan setelahnya banyak dijumpai di masyarakat
debitur bank-bank pemerintah yang macet dipanggil kejaksaan dan dengan cara-cara
51
Lihat Sutan Remy Sjahdeini, “Masalah Jaminan Dalam Pemberian Kredit” makalah disajikan dalam
pertemuan ilmiah “Penyajian Hasil Penelitian Tentang Aspek-Aspek Hukum Masalah Jaminan Kredit”
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, tgl 28-30 September 1999, hal.65
30
yang sangat represif para debitur macet ini diberikan batas waktu untuk membayar
hutang-hutangnya.
Tujuan kebijakan ini adalah agar tidak ada bank yang ditutup guna menciptakan
stabilitas perekonomian. Instruksi tersebut kemudian diterjemahkan oleh pembantunya,
yakni para menteri dan Gubernur Bank Indonesia dengan memberikan blanket
guarantee atau program penjaminan. Setelah program penjaminan diberikan, program
ini justru menimbulkan ketidakpercayaan para nasabah bank yang akhirnya
berbondong-bondong menarik dananya dalam jumlah besar (rush). Akhirnya program
penjaminan pun dibuka seluas-luasnya tanpa batasan yang aman.
5888 Dimana kedudukan para pihak adalah sub-ordinat, para pihak tidak diberikan wewenang dan
kekuasaan yang sama. Pihak Kreditur melalui PUPN mempunyai kewenangan yang lebih tinggi dari pada
debitur.
5889 berdasarkan Pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960, Surat Paksa, diberikan
suatu title EKSKUSITORIAL, sehingga jika debitur, tidak memenuhi kewajibannya, maka kreditur melalui
PUPN dapat menggunakan alat-alat kekuasaan Negara
5890 Soeriatmaja, A.P . 1993. Laporan Penelitian Aspek-Aspek Hukum Dalam penyelesaian Piutang Negara.
Jakarta: Departemen Kehakiman ,Badan Pembinaan Hukum Nasional, hal. 87
5891 Fuady, Munir . 2004. Bisnis Kotor Anatami Kejahatan Kerah Putih. Bandung: Citra Aditya, hal. 105
31
a. Kredit Likuiditas adalah kredit program Bank Indonesia kepada perbankan dalam
menunjang program khusus pemerintah dengan suku bunga bersubsidi.
Kebijakan ini sudah dilakukan sebelum krisis moneter tahun 1997/1998.
23 Kebijakan penanganan krisis perbankan termasuk tiga kelompok kebijakan yang
berbeda dengan program penjaminan dan program rekapitulasi perbankan. Para
penerima, yaitu BLBI, Program Penjaminan dan program Rekapitulasi
perbankan. Para penerima BLBI mau tidak mau atau suka tidak suka harus
menyelesaikan BLBI yang diterimanya dikarenakan bank-bank mereka tidak lagi
bisa diselamatkan, sedangkan krisis moneter semakin parah.
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah suatu kebijaksanaan dari pemerintah
dan Bank Indonesia yang menyuntik dana kepada bank-bank nasional yang sedang berada
dalam kesulitan dana agar bank -bank tersebut dapat membayar kepada para deposannya
masing-masing, sehingga dapat dihindari terjadinya kepanikan. Dengan demikian lewat
peluncuran Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI), pemerintah memberikan jaminan
umum (blanket gurantee) kepada masyarakat penyimpan dana bahwa uang simpanannya
tidak akan hilang jika terjadi sesuatu atas bank tersebut.
Pada permasalahan tersebut diatas badan khusus PUPN tidak difungsikan secara
maksimal akan tetapi pemerintah transisi justru menggunakan badan khusus baru sebagai
suatu lembaga superbody. Badan khusus ini dibentuk pada masa pemerintahan Soeharto,
yang didirikan pada bulan Januari 1998, diberi nama Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) yang memiliki tugas dan wewenang :
23 Menyehatkan dunia perbankan.
24 Mengembalikan uang negara
25 Mengelola aset-aset yang diambil alih oleh pemerintah.
Program utama dari badan khusus yang baru ini adalah mengadakan
restrukturisasi perbankan yang ditangani dan dilaksanakan secara lintas
sektoral, sedangkan pelaksana tunggalnya yang diberi otoritas adalah BPPN.
B. Konstelasi Politik dan Hukum Penyelesian BLBI dari tahun 1997 – 2013
Berawal dari krisis ekonomi yang menerpa negara-negara di Asia tahun 1997. Satu per
satu mata uang negara-negara di Asia merosot nilainya. Kemajuan perekonomian negara-
negara di Asia yang banyak dipuji oleh banyak pihak sebelumnya menjadi angin kosong
belaka. Persis sebelum krisis ekonomi, World Bank tahun 1997 menerbitkan laporan
berjudul The Asian Miracle yang menunjukkan kisah sukses pembangunan di Asia. Ternyata
kesuksesan pembangunan ekonomi di negara-negara Asia tersebut tidak berarti banyak
karena pada kenyataannya negara -negara tersebut tidak berdaya menghadapi spekulan
mata uang yang tinggi dan berujung pada krisis ekonomi.59
Menyusul jatuhnya mata uang Baht, Thailand, nilai rupiah ikut merosot. Untuk mengatasi
pelemahan rupiah, Bank Indonesia kemudian memperluas rentang intervensi kurs jual dan
kurs beli rupiah, dari Rp. 192 (8%), menjadi Rp. 304 (12%). Guna mengurangi tekanan
57Beban negara dalam bentuk SUN yang dikeluarkan sebagai konsekuensi kebijakan-kebijakan penanganan
krisis ekonomi sejak pemerintahan Presiden Soeharto, Presiden Habibie dan Presiden Abdurahman Wahid
adalah sebesar Rp 218,3 Triliyun untuk BLBI dan Penjaminan serta Rp 422,6 Triliyun untuk rekapitulasi
Perbankan,
58
Sejak tahun 2001,Pemerintahan Presiden Megawati menetapkan kebijakan-kebijakan untuk melanjutkan
penangan dampak krisis ekonomi dan kondisi perbankan,terutama yang terkait dengan pengambil alihan
aset-aset obligor serta penjualan aset tersebut. Untuk melaksanakan kebijakan tersebut ,ditetapkan TAP
MPR/X/2001 dan TAP MPR VI/2002 yang mengamanatkan pelaksanaan kebijaksanaan MSAA dan MRNA
secara konsisten sesuai dengan Undang -Undang nomor 25 /2000 Propernas. Selanjutnya Pemerintahan
Presiden Megawati menerbitkan INpres nomor 8 Tahun 2002 yang memberikan jaminan Kepadtian
Hukum kepada obligor yang koperatif dan memberikan sanksi kepada yang tidak kooperatif. (Djony
Edward – BLBI Extraordinary Crime, suatu Analisis Historis dan Kebijakan, hal. 379)
33
terhadap rupiah, Bank Indonesia mulai melakukan pengetatan likuiditas dengan menaikkan
suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 6% menjadi 14%.
Akibat kondisi ini bank-bank umum kemudian meminta bantuan BI sebagai lender of the
last resort. Ini merujuk pada kewajiban BI untuk memberikan bantuan kepada bank dalam
situasi darurat. Dana talangan yang dikucurkan oleh BI ini yang dikenal dengan BLBI. Se-
sehat apa pun sebuah bank, apabila uang dari masyarakat ditarik serentak tentu tidak akan
sanggup memenuhinya. Penyimpangan BLBI dimulai ketika BI memberikan dispensasi
kepada bank-bank umum untuk mengikuti kliring meskipun rekening gironya di BI bersaldo
debet. Dispensasi diberikan kepada semua bank tanpa melakukan pre-audit untuk
mengetahui apakah bank tersebut benar-benar membutuhkan bantuan likuiditas dan
kondisinya sehat. Akibatnya, banyak bank yang tidak mampu mengembalikan BLBI.
Pada 11 Juli 1997, Pemerintah Indonesia memperluas rentang intervensi kurs dari 192
(8%) menjadi 304 (12 %), melakukan pengetatan likuiditas dan pembelian surat berharga
pasar uang, serta menerapkan kebijakan uang ketat. Pada 14 Agustus 1997, pemerintah
melepas sistem kurs mengambang terkendali (free floating). Masyarakat panik, lalu
berbelanja dolar dalam jumlah sangat besar. Setelah dana pemerintah ditarik ke Bank
Indonesia, tingkat suku bunga di pasar uang dan deposito melonjak drastis karena bank-
bank berebut dana masyarakat. Pada 1 September 1997, Bank Indonesia menurunkan suku
bunga SBI sebanyak tiga kali. Berkembang isu di masyarakat mengenai beberapa bank besar
yang mengalami kalah kliring dan rugi dalam transaksi valas. Kepercayaan masyarakat
terhadap bank nasional mulai goyah. Terjadi rush kecil-kecilan. Pada 3 September 1997,
sidang kabinet terbatas bidang ekonomi, keuangan, dan pembangunan serta produksi dan
distribusi berlangsung di Bina Graha dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto. Hasil
pertemuan adalah pemerintah akan membantu bank sehat yang mengalami kesulitan
likuiditas, sedangkan bank yang ”sakit” akan dimerger atau dilikuidasi. Belakangan, kredit ini
disebut bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pada 1 November 1997, 16 bank
dilikuidasi. Pada 26 Desember 1997, Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono
melayangkan surat ke Presiden Soeharto, memberitahukan kondisi perbankan nasional yang
terus mengalami saldo debit akibat tekanan dari penarikan dana nasabah. Soedradjad
mengusulkan agar mengganti saldo debit dengan surat berharga pasar uang (SBPU) khusus.
Pada 27 Desember 1997, Surat Gubernur BI dijawab surat nomor R-183/M.Sesneg/12/1997
yang ditandatangani Mensesneg Moerdiono. Isinya, Presiden menyetujui saran direksi Bank
Indonesia untuk mengganti saldo debit bank dengan SBPU khusus agar tidak banyak bank
yang tutup dan dinyatakan bangkrut. Pada 10 April 1998, Menkeu diminta untuk
mengalihkan tagihan BLBI kepada BPPN dengan batas waktu pelaksanaan 22 April 1998.
Pada kurun waktu Mei 1998, BLBI yang dikucurkan pada 23 bank mencapai Rp. 164
triliun, dana penjaminan antar bank Rp. 54 triliun, dan biaya rekapitalisasi Rp. 103 triliun.
Adapun penerima terbesar (hampir dua pertiga dari jumlah keseluruhan) hanya empat bank,
yakni BDNI Rp. 37,039 triliun, BCA Rp. 26,596 triliun, Danamon Rp. 23,046 triliun, dan BUN
Rp. 12,067 triliun. Pada 4 Juni 1998, pemerintah diminta membayar seluruh tagihan kredit
perdagangan (L/C) bank-bank dalam negeri oleh Kesepakatan Frankfurt. Ini merupakan
prasyarat agar L/C yang diterbitkan oleh bank dalam negeri bisa diterima di dunia
internasional. Pemerintah terpaksa memakai dana BLBI senilai US$ 1,2 miliar (sekitar Rp. 18
triliun pada kurs Rp. 14 ribu waktu itu). Pada 21 Agustus 1998, pemerintah memberikan
tenggat pelunasan BLBI dalam tempo sebulan. Bila itu dilanggar, ancaman pidana menunggu.
Pada 21 September 1998, Tenggat berlalu begitu saja. Boro-boro ancaman pidana, sanksi
administratif pun tak terdengar. Pada 26 September 1998, menteri keuangan menyatakan
pemerintah mengubah pengembalian BLBI dari sebulan menjadi lima
34
tahun. Pada 27 September 1998, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri,
Ginandjar Kartasasmita meralat angka lima tahun. Menurut Ginandjar, pemerintah minta
pola pembayaran BLBI tunai dalam tempo setahun. Pada 18 Oktober 1998, Hubert Neiss
melayangkan surat keberatan. Dia minta pelunasan lima tahun. Pada 10 November 1998,
pengembalian BLBI ditetapkan 4 tahun. Tahun pertama sebesar 27 persen, sisanya
dikembalikan dalam tiga tahun dalam jumlah yang sama. Jumlah kewajiban BLBI dari BTO
(bank take-over) dan BBO (bank beku operasi) saat itu adalah Rp. 111,29 triliun.
Pada 8 Januari 1999, pemerintah menerbitkan surat utang sebesar Rp. 64,5 triliun
sebagai tambahan penggantian dana yang telah dikeluarkan BI atas tagihan kepada bank
yang dialihkan ke BPPN. Pada 6 Februari 1999, BI dan Menkeu membuat perjanjian
pengalihan hak tagih (on cessie) BLBI dari BI kepada pemerintah senilai Rp 144,53 triliun.
Pada 8 Februari 1999, Penerbitan Surat Utang Pemerintah No SU-001/MK/1998 dan No SU-
003/MK/1998. Pada 13 Maret 1999, pemerintah membekukan kegiatan usaha 38 bank,
mengambil alih 7 bank, dan merekapitalisasi 7 bank. Pada kurun waktu Februari 1999, DPR
RI membentuk Panja BLBI. Pada 19 Februari 1999, Ketua BPKP ,Soedarjono mengungkapkan
adanya penyelewengan dana BLBI oleh para bank penerima. Potensi kerugian negara sebesar
Rp 138,44 triliun (95,78%) dari total dana BLBI yang sudah disalurkan. Pada 13 Maret 1999,
pemerintah mengumumkan pembekuan usaha (BBKU) 38 bank. Pada 14 Maret 1999,
pemerintah dan BI mengeluarkan SKB Penjaminan Pemerintah. Pada 17 Mei 1999, UU No.
23/1999 tentang Bank Indonesia ditandatangani Presiden Habibie. Dalam UU itu disebutkan
bahwa BI hanya dapat diaudit oleh BPK, dan direksi BI tak dapat diganti oleh siapa pun.
1 September-7 Desember 1999: BPK mengaudit neraca BI per 17 Mei 1999 dan
menemukan bahwa jumlah BLBI yang dapat dialihkan ke pemerintah hanya Rp. 75 triliun,
sedangkan Rp. 89 triliun tidak dapat dipertangggung-jawabkan. BPK menyatakan disclaimer
laporan keuangan BI. Tetapi, pejabat BI menolak hasil audit. Alasannya adalah dana BLBI itu
dikeluarkan atas keputusan kabinet. Pada 28 Desember 1999, pemerintah melalui Kepala
BPPN, Glen Yusuf memperpanjang masa berlaku program penjaminan terhadap kewajiban
bank. Pada Desember 1999, BPK telah menyelesaikan audit BI dan terdapat selisih dari dana
BLBI sebesar Rp. 51 triliun yang tidak akan dibayarkan pemerintah kepada BI, terutama
karena penggunaannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
5 Januari 2000: Ada perbedaan jumlah BLBI antara pemerintah dan BI. Pemerintah
menyebut BLBI sebesar Rp. 144,5 triliun plus Rp. 20 triliun untuk menutup kerugian Bank
Exim (Mandiri). Tapi, menurut BI, masih ada Rp. 51 triliun dana BLBI yang harus ditalangi
pemerintah. Dana sebanyak itu diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan
likuiditas selama November 1997-Januari 1998. Pada 10 Januari 2000, bocoran hasil audit
KPMG yang ditunjuk BPK untuk mengaudit neraca awal BI beredar di kalangan wartawan.
Audit itu menemukan bahwa penyelewengan BLBI berjumlah Rp. 80,25 triliun.
Pada 29 Januari 2000, audit BPK menemukan fakta bahwa 95,78 persen dari BLBI
sebesar Rp 144,54 triliun berpotensi merugikan negara karena sulit dipertanggung
jawabkan. Ttersangka dalam kasus cessie Bank Bali. Pada 21 Juni 2000, Gubernur Bank
Indonesia, Syahril Sabirin, ditahan Kejaksaan Agung dengan status sebagai tersangka. Pada 9
Oktober 2000, Ketua BPK Billy Judono mengatakan bahwa BLBI sudah diberikan oleh BI
sejak 1991 hingga 1996. Jadi, tidak benar bahwa BI hanya bertanggung jawab saat krisis saja.
Pada 18 Oktober 2000, Komisi IX DPR yang membidangi perbankan menolak jumlah
BLBI yang ditanggung BI hanya sebesar Rp. 24,5 triliun. Anggota dewan menyatakan jumlah
35
tersebut merendahkan hasil audit BPK. Pada 26 Oktober 2000, jaksa agung menunda proses
hukum terhadap 21 obligor agar mereka punya kesempatan melunasi dana BLBI.
Pada 1 November 2000, DPR dan pemerintah serta BI menetapkan keputusan politik
menyangkut pembagian beban antara pemerintah dan BI terhadap dana BLBI yang sudah
dikucurkan. Awal November 2000, sumber di BI menyatakan bahwa tanggung jawab BI
terhadap BLBI hanya Rp. 48 triliun, terhitung sejak 3 September 1997-29 Januari 1999,
bukan sebelum dan sesudahnya. Pada 2 November 2000, BPK mengancam BI akan
memberikan opini wajar dengan pengecualian terhadap laporan neraca BI jika dana BLBI
tidak dapat dituntaskan. Pada 17 November 2000, pukul 16.30 setempat, pejabat teras BI
menyatakan mundur serentak. Mereka yang mundur adalah Deputi Senior Gubernur Anwar
Nasution, Deputi Gubernur Miranda Goeltom, Dono Iskandar, Achwan, dan Baharuddin
Abdullah, dengan alasan tak mendapat dukungan politik pemerintah dan DPR. Sedangkan
Syahril Sabirin, Achjar Iljas, dan Aulia Pohan tidak mundur. Pokok-pokok Kesepakatan
Bersama antara Pemerintah dan BI ditetapkan. Berdasarkan kesepakatan ini, BI
menanggung beban Rp. 24,5 triliun dan sisanya menjadi beban Pemerintah.
Pada 3 Januari 2001, dua Deputi BI, Aulia Pohan dan Iwan G Prawiranata ditingkatkan
berkasnya ke penyidikan berkaitan dengan keterlibatan mereka dalam penyalahgunaan dana
BLBI. Pada 7 Maret 2001, DPR mengusulkan pembentukan Pansus BLBI DPR. Pembentukan
Pansus ini dipicu oleh pernyataan Menkeu Prijadi Praptosuhardjo yang menyebutkan
pemerintah belum menyepakati jumlah tanggungan BI sebesar Rp. 24,5 miliar. Pada 10
Maret 2001, pemilik BUN, Kaharuddin Ongko ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan
penyelewengan dana BLBI. Pada 22 Maret 2001, pemilik Bank Modern, Samandikun Hartono
ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan dana BLBI.
Pada 29 Maret 2001: Kejagung mencekal mantan ketua Tim Likuidasi Bank Industri
(Jusup Kartadibrata), dan Presider Bank Aspac (Setiawan Harjono). Pada 2 April 2001,
pelaksanaan program penjaminan dana nasabah yang semula diatur melalui SKB antara BI
dan BPPN diubah dengan SK BPPN No 1036/BPPN/0401 tahun 2001. Pada 9 April 2001,
Dirut BDNI Sjamsul Nursalim yang bersatus tersangka penyelewengan dana BLBI dicekal
Kejaksaan Agung. Selain Sjamsul, David Nusawijaya (Sertivia) dan Samandikun Hartono
(Bank Modern) juga dicekal. Pada 30 April 2001, Kejagung membebaskan David Nusawijaya,
tersangka penyelewengan BLBI. Selain itu, Kejagung juga mencekal 8 pejabat bank Dewa
Rutji selama 1 tahun. Pada 2 Mei 2001, Kejagung membebaskan 2 tersangka penyelewengan
BLBI (Samandikun Hartono dan Kaharuddin Ongko) dan mengubah statusnya menjadi
tahanan rumah. Pada 19 Juni 2001, Wapresider Bank Aspac, Hendrawan Haryono dijatuhi
hukuman 1 tahun penjara dan dikenai denda Rp. 500 juta. Ia didakwa telah merugikan
negara sebesar Rp. 583,4 miliar. Pada 21 Juni 2001, Mantan Direksi BI Paul Sutopo ditahan di
gedung Bundar oleh aparat Kejagung.
Pada 31 Mei 2002, tim Bantuan Hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan
menyampaikan laporan pemeriksaan kepatuhan Anthony Salim, Andre Salim dan Sudono
Salim untuk memenuhi Kewajiban-kewajibannya dalam MSAA tanggal 21 September 1998.
Dalam bagian kesimpulannya, TBH antara lain menyatakan meski telah memenuhi sebagian
besar kewajiban-kewajibannya, namun secara yuridis formal telah terjadi pelanggaran, atau
kelalaian atau cidera janji atau ketidakpatuhan, atas kewajiban-kewajibannya dalam MSAA
yang berpotensi merugikan BPPN.
Pada tahun 2004, pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri
mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) kepada lima obligor MSAA dan 17 obligor PKPS
APU padahal mereka belum lunas membayar utang mereka. Pada 11 Januari 2007, dua
petinggi Salim Grup (Anthony Salim dan Beny Setiawan) menjalani pemeriksaan di Mabes
36
Polri atas tuduhan telah menggelapkan aset yang telah diserahkan kepada BPPN sebagai
bagian pembayaran utangnya. Aset yang digelapkan itu meliputi tanah, bangunan pabrik dan
mesin-mesin di perusahaan gula Sugar Grup.
Pada 19 Februari 2007, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja
dengan Komisi XI DPR RI di Gedung MPR/DPR RI menegaskan terhadap 8 obligor yang
bermasalah, pemerintah akan menggunakan kesepakatan awal APU plus denda. “Kami tetap
akan menjalankan sesuai keyakinan pemerintah bahwa mereka (delapan obligor BLBI, red)
default. Tagihan kepada mereka adalah Rp. 9,3 triliun,” tegas Sri Mulyani. Kedelapan obligor
itu adalah James Sujono Januardhi dan Adisaputra Januardhy (Bank Namura), Ulung Bursa
(Bank Lautan Berlian), Lidia Muchtar (Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putra
Multikarsa), Omar Putihrai (Bank Tamara), Atang Latief (Bank Bira), dan Agus Anwar (Bank
Pelita dan Istimarat).
Pada 18 September 2007, sejumlah anggota DPR mengajukan hak interpelasi mengenai
BLBI kepada Pimpinan DPR. Pada 4 Desember 2007, rapat paripurna DPR menyetujui hak
interpelasi atas penyelesaian KLBI dan BLBI yang diajukan 62 pengusul. Pada 21 Januari
2008, ormas-ormas Islam yang tergabung dalam “Jihad Melawan Koruptor BLBI”
memberikan penghargaan terhadap sejumlah anggota DPR yang dinilai benar-benar serius
hendak mengungkap kasus BLBI.
Pada 28 Januari 2008, DPR- RI secara resmi mengirimkan surat kepada Presiden RI agar
memberikan keterangan di depan rapat paripurna DPR sekaitan hak interpelasi atas
penyelesaian KLBI dan BLBI. Pada 29 Januari 2008, ratusan orang yang tergabung dalam
GEMPUR berunjuk rasa di depan gedung DPR. Mereka curiga ada anggota DPR yang menjadi
beking para obligor BLBI. Pada 12 Februari 2008, pemerintah yang diwakili Menko
Perekonomian Boediono menyampaikan jawaban pemerintah terhadap 10 pertanyaan
terkait penyelesaian BLBI di depan Rapat Paripurna DPR. Ketika membacakan keterangan,
lebih separuh anggota dewan meninggalkan ruang sidang. Pada awalnya, Rapat Paripurna
diwarnai hujan interupsi yang mempersoalkan ketidakhadiran SBY dan lembaran jawaban
yang hanya ditandatangani Boediono saja.
Pada 29 Februari 2008, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman,
menyatakan Tim 35 yang melakukan penyelidikan kasus BLBI I dan BLBI II tidak
menemukan adanya pelanggaran pidana yang dilakukan Anthony Salim dan Sjamsul
Nursalim. Menurut Kemas Yahya, sesuai dengan surat penyelesaian utang Master Settlement
for Acquisition Agreement atau MSAA, kewajiban debitur kepada pemerintah dianggap selesai
jika aset yang dinilai sesuai dengan kewajiban dan diserahkan kepada pemerintah. “Kami
sudah berbuat semaksimal mungkin dan kami kaitkan dengan fakta perbuatannya. Hasilnya
tidak ditemukan perbuatan melanggar hukum yang mengarah pada tindakan korupsi,” kata
Kemas Yahya Rachman.
Pada 2 Maret 2008, Jaksa Urip Tri Gunawan yang menjadi ketua Tim Jaksa BLBI II
tertangkap tangan oleh aparat KPK seusai bertandang ke rumah milik pengusaha Syamsul
Nursalim di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan. Dari tangan Urip, penyidik KPK menyita uang
sebesar US$ 660 ribu atau sekitar Rp. 6 miliar. Uang ini diduga sebagai uang suap terkait
kasus BLBI. Selain Urip, KPK juga menahan Artalyta Suryani, seorang pengusaha yang
diketahui dekat dengan Sjamsul Nursalim dan juga Anthony Salim.
Pada 2 Maret 2008, wacana perguliran tentang hak angket mulai mengemuka di kalangan
anggota DPR menyusul tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan. Pada 8 Maret 2008, Guru
Besar Hukum Pidana Internasional Unpad Bandung, Romli Atmasasmita, mengusulkan agar
KPK mengambil alih pengusutan BLBI. Menurut dia, kasus BLBI telah masuk ranah
37
pidana, karena obligor yang tidak membayar menyebabkan negara rugi. Selain itu, ada unsur
penipuan di dalamnya, karena tidak ada niat dari obligor “nakal” untuk melunasi utangnya.
Saran ini mengacu pada pasal 8 ayat 2 UU KPK yang memberi wewenang KPK mengambil
alih penyidikan atau penuntutan pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan polisi
atau jaksa.
Pada 10 Maret 2008, usulan hak angket kasus BLBI sudah diedarkan kepada para
anggota DPR. Usulan hak angket dimunculkan karena langkah penyelesaian kasus BLBI
secara hukum yang dirintis kejaksaan agung ternyata berakhir antiklimaks. Kejagung
menghentikan penyelidikan kasus yang diduga melibatkan sejumlah pengusaha kelas kakap
itu. “Apalagi dengan adanya jaksa yang tertangkap tangan menerima suap. Inilah yang
menyebabkan kami akan menggunakan hak angket,” ujar Dradjad Wibowo, anggota DPR dari
Fraksi PAN. Pada 13 Maret 2008, empat orang inisiator hak angket BLBI; Soeripto, Dradjad
Wibowo, Abdullah Azwar Anas dan Ade Daud Nasution secara resmi menyerahkan draft hak
angket kasus BLBI ke pimpinan DPR. Draft tersebut diterima langsung oleh Wakil Ketua DPR
Muhaimin Iskandar di ruang kerjanya. Sebanyak 55 anggota DPR telah memberikan tanda
tangan sebagai bentuk dukungan. Pada 6 Mei 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
mengabulkan permohonan pra-peradilan Masyarakat Antikorupsi Indonesia terhadap surat
perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan kejaksaan agung atas kasus
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syamsul Nursalim. Kejaksaan agung langsung
menyatakan banding.
Pada 19 September 2012, Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan, Harry Azhar
Azis menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat akan kembali membuka kasus Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia. Menurut dia, pimpinan DPR sudah melayangkan surat ke
komisinya untuk segera kembali membahas kasus tersebut. "Kemungkinan agendanya
setelah pembahasan APBN," kata Harry di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 19
September 2012. Harry menjelaskan, komisinya nanti akan membahas mekanisme
pencairan obligasi rekap tersebut dan keterlibatan pejabat terkait. "Kalau kuat ada unsur
pidana, maka akan diserahkan ke aparat hukum," kata politikus Partai Golkar ini.
Sementara itu, anggota Komisi Keuangan dan Perbankan dari Fraksi Partai Keadilan
Sejahtera, Ecky Awal Mucharam, meminta agar kasus ini dibuka kembali dari awal. Menurut
dia, dibutuhkan kesungguhan politik dari semua pihak untuk menindak obligor
pengemplang dana BLBI tersebut. "Ini sudah bertahun-tahun. Saya tidak melihat
perkembangan signifikan," katanya. Terkait dengan alasan Kementerian Keuangan yang
kesulitan untuk menjual kembali beberapa aset milik obligor karena statusnya yang tidak
jelas, dia menyatakan seharusnya pemerintah memperhitungkan hal itu sejak awal ketika
melakukan inventarisasi aset. "Kenapa mau rekap asetnya kalau tidak clear? Bisa jadi
mereka (para obligor) masih mengelola aset itu," ujar dia. Keinginan agar kasus ini dibuka
kembali juga datang dari anggota Komisi Keuangan dan Perbankan dari Fraksi Partai Amanat
Nasional, Laurens Bahang Dama. Dia meminta Kementerian Keuangan bertindak tegas
kepada para obligor tersebut. "Kami harapkan ada ketegasan. Imigrasi juga harus tegas
karena sekarang ada informasi kalau satu obligor bisa keluar masuk Indonesia," katanya.
38
Pada 27 Januari 2013, Anggota Komisi III DPR Ahmad Yani, mengatakan bahwa Putusan
Kasasi Mahkamah Agung (MA) No. 979 K/PID/2004 terkait vonis Direktur BI, Paul Soetopo
menunjukan bukti yang jelas bagi KPK untuk menetapkan status tersangka bagi Wakil
Presiden Boediono karena mengindikasikan keterlibatannya dalam kasus BLBI. Hal itu
disampaikan Anggota Komisi III DPR Ahmad Yani di Jakarta, pada Minggu 27 Januari 2013.
“Putusan ini menunjukkan bukti yang terang-benderang untuk membuka tabir skandal BLBI
yang melibatkan Boediono, KPK harus tegas soal ini,” ujar Yani kepada hukumonline. 60 Dalam
putusan tersebut, nama Boediono beberapa kali disebutkan terlibat dalam pengambilan
keputusan untuk mengatasi kesulitan likuiditas bank akibat adanya penarikan dana pihak
ketiga dalam jumlah besar. Yani menyayangkan putusan MA soal kasus BLBI yang terendap
sejak tahun 2004, tapi baru bisa diakses melalui direktori putusan MA pada tahun ini. Dia
menduga banyak pihak penguasa yang terlibat dalam lingkaran kasus ini sehingga putusan
tersebut seolah-olah tertutup untuk publik. “Memang semua rezim ingin menutupi ini,
karena memang banyak keterlibatan penguasa di dalamnya,” katanya.
Menurut Yani, peran vital penyelesaian kasus BLBI saat ini berada di tangan KPK. Ia
menyarankan KPK untuk lebih berani menggunakan kewenangannya dalam membongkar
siapa saja dalang dibalik kasus yang merugikan negara sebesar Rp18 triliun itu. “Saya kira
tinggal KPK saja, KPK bisa mengambil alih perkara ini karena sudah tidak ditangani oleh
Kejaksaan Agung lagi, tetapkan saja tersangkanya,” kata Yani. Dengan struktur komposisi
pimpinan KPK saat ini, Yani mengaku optimis dengan langkah yang diambil oleh KPK
mengingat tidak ada pimpinan KPK yang pernah terlibat di dalamnya. “Untuk kasus BLBI ini,
pimpinan KPK saya rasa tidak tersandera sehingga peluangnya lebih mudah,” tandasnya.
Aktivis Petisi 28, Haris Rusly menyatakan akan mendatangi KPK untuk menyampaikan
bukti putusan MA tersebut agar ditindaklanjuti. Menurutnya, KPK wajib bergerak cepat agar
kasus BLBI ini tidak menjadi sejarah kelam gagalnya pengelolaan perbankan di Indonesia.
“Minggu depan, tepatnya hari selasa kita akan mendatangi KPK untuk meneruskan putusan
tersebut,” katanya. Ia mengaku baru menemukan putusan MA terkait kasus BLBI ini melalui
direktori putusan MA. Kendati demikian, sambung Haris, tidak semua orang bisa mengakses
putusan tersebut. “Itupun baru kita dapatkan akhir-akhir ini padahal putusannya sudah
sejak 2004,” ungkapnya.
Pada 12 Januari 2013 muncul usulan politik DPR untuk mengajukan hak menyatakan
pendapat. Ahmad Yani beranggapan, jika KPK menetapkan status tersangka maka DPR bisa
menggunakan hak konstitusionalnya melalui Hak Menyatakan Pendapat (HMP) untuk
“mengadilinya” dengan mekanisme politik. Namun, ia mengaku hal ini akan sulit jika
penetapan status hukum bagi Boediono berjalan di tempat karena faktor tekanan penguasa.
“Kalau Boediono menjadi tersangka maka peluangnya menjadi 99,9 persen,” ujarnya. Jika
DPR menggunakan HMP sebelum adanya petetapan status hukum yang jelas dari KPK, Yani
mengkhawatirkan hal ini akan menjadi momentum bagi KPK untuk tidak melanjutkan
penyelidikan dan penyidikan terhadap Boediono karena preseden politik yang diberikan
oleh DPR. “Kalau sekarang jelas bisa, hanya saja kita pasti kalah kerana peluangnya tipis,”
katanya.
0 Hukum online
39
menyalahgunakan kewenangan dengan mengizinkan dan atau menyetujui pemberian
dispensasi kliring, dan atau fasilitas saldo debet terhadap bank-bank yang telah overdraf.”
Pada 27 Januari 2013 pukul 15:03 WIB, keluar putusan MA bukti Boediono terlibat kasus
BLBI. Petisi 28 menemukan indikasi keterlibatan Wakil Presiden Boediono dalam kasus
skandal Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) berdasarkan putusan Kasasi Mahkamah
Agung (MA). Tim Hukum Petisi 28, Ahmad Suryono mengatakan dalam surat putusan MA
terkait putusan terhadap Direktur Bank Indonesia Paul Sutopo No. 979 K/PID/2004,
putusan No. 977 K/PID/2004, dan putusan No. 981 K/PID/2004 itu mengungkap
keterlibatan Boediono.
"Keputusan rapat Direksi tanggal 15 dan 20 Agustus 1997 itu bertentangan dengan
ketentuan sanksi berupa penghentian sementara kliring lokal terhadap bank yang tidak dapat
menyelesaikan saldo BI," ujarnya di acara Deseminasi Publik bertajuk Penjara dan Pemakzulan
Terkait Fakta Hukum Keterlibatan Langsung Boediono Dalam Skandal BLBI, di Taman Ismail
Marzuki, di Jakarta, pada tanggal 27 Januari 2013. Dirinya juga melihat dari putusan MA itu, jelas
keterlibatan Boediono dan direksi BI lainnya seperti Hendrobudiyanto, Heru Soepraptomo,
Mukhlis Rasyid, Haryono dan Soedrajad Djiwandono dalam praktek korupsi yang mengakibatkan
kerugian negara sekira obligasi rekapitulasi mencapai Rp. 650 triliun dan sebesar Rp 144 triliun
dalam bentuk obligasi BLBI. Ini sudah sangat jelas dan mesti segera diadili baik secara sendiri
dan bersama-sama. Pasalnya dalam putusan tervonis Paul Soetopo Tjokronegoro korupsi itu
dilakukan secara bersama-sama. "Kami melihat ada kesalahan Boediono, kalau memang kolektif
kolegial dia masih bisa berlindung. Tapi kalau kesalahan kedua, dia tidak bisa mengelak, karena
MA mengatakan korupsi itu dilakukan bersama-sama, ini menyangkut pada vonis Paul Soetopo
Tjokronegoro. Kenapa Boediono tidak diproses, siapa Boediono, kenapa begitu kebalnya dia. Itu
disposisi mereka berdua Paul Soetopo dan Boediono," ungkapnya. Maka, tambah Ahmad,
keterlibatan Boediono sudah terang benderang dan dapat dibuktikan dugaan perannya yang
melakukan tindak pidana pasal 1 ayat (1) sub b jo.pasal 28 ji.Pasal 34 sub c Undang-undang No 3
tahun 1971 jo. Pasal 55 ayat (1)ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP jo. Pasal 43 A undang -undang
nomor 20 tahun 2001 tentang perubahaan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tipikor.
"Sudah sangat pantas apabila penyidik Kejaksaan segera melakukan penyidikan terhadap
Boediono dikarenakan keterlibatan yang bersangkutan secara terang benderang dalam kasus ini,
" tuturnya. Seperti diketahui, sebelumnya Jaksa Agung Basrief Arief menutup kasus ini dan tidak
menindaklanjutinya, begitu juga dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
menyebutkan terus mengusut kasus ini, tetapi tidak kelanjutannya hingga saat ini.
Pada 12 April 2013, satu demi satu pejabat yang mengetahui mengenai Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dipanggil KPK. Setelah Kwik Kian Gie, dan Rizal Ramli , kini
giliran mantan Menkeu di era Presiden BJ Habibie, Bambang Subianto yang diperiksa KPK.
Bambang datang sekitar pukul 10.30 WIB di kantor KPK. Dia menjadi salah satu pihak yang
dipanggil sebagai terperiksa penyelidikan kasus BLBI. "Yang bersangkutan dipanggil untuk
40
dimintai keterangan terkait penyelidikan BLBI," ujar Kabag Pemberitaan KPK, Priharsa
Nugraha, ketika dikonfirmasi.
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan (pinjaman) yang
diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat
terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian
Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah
menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.
Tindakan pemerintah dalam menghadapi krisis perbankan pada masa itu dilakukan
dengan prinsip Out of Court Settlement (penyelesaian di luar pengadilan) . Kemudian
untuk mengembalikan fungsi perbankan, pemerintahan Presiden Habibie melakukan
kebijakan rekapitulasi bagi bank yang memiliki kecukupan modal antara minus 25%
hingga 4%, sedangkan bagi bank-bank yang memiliki kecukupan modal dibawah minus
41
25% dilakukan penutupan. Biaya rekapitulasi pada tahun 1999 adalah sebesar Rp.
281,83 triliun.
44
penyehatan dan rekapitulasi perbankan, program PKPS, dan program divestasi telah
melalui proses politik saat itu dan mendapat landasan hukum yang sah, antara lain
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas, TAP MPR No X tahun 2001,
TAP MPR NO VI tahun 2002 dan Inpres nomor 8 tahun 2002 .
ЀЀ AĀ AȀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀఀఀ ЀЀ AĀ AȀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ AĀ AĀ AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀԀAĀ AĀ AĀ ᜀAĀ
ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀఀ̀ AȀ AȀЀ ⠀⤀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ䴀AĀ AĀ AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ伀AĀ AĀ AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ
ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ倀AĀ AĀ AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ЀЀ AĀ AȀ ⸀AĀ AĀ AȀ AĀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ儀AĀ AĀ AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ
ᜀAĀ ᜀAĀ AĀ AȀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ЀЀ AĀ AĀ AȀ ЀЀ AĀ AȀ AĀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀЀЀ ЀЀ AĀ AȀ ⸀AĀ ЀЀ AĀ AĀ AĀ AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ
ᜀAĀ ᜀAȀ ЀЀ AĀ AȀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ЀЀ AĀ AȀ ⸀AĀ AĀ AȀ AĀ ⤀AĀ ᜀAĀ 뜀ǰǰᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ0 Penyelesaian
audit BPK terhadap kinerja BPPN termasuk tingkat pengembalian (Recovery) aset pada
tahun 2006. Hasil audit tersebut menjadi dasar bagi pemerintah untuk menyelesaikan
masalah BLBI.
ЀЀ AĀ AȀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀఀఀ ЀЀ AĀ AȀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ AĀ AĀ AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀԀAĀ AĀ AĀ ᜀAĀ
ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀఀ̀ AȀ AȀЀ ⠀⤀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ䴀AĀ AĀ AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ伀AĀ AĀ AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ
ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ倀AĀ AĀ AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ЀЀ AĀ AȀ ⸀AĀ AĀ AȀ AĀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ儀AĀ AĀ AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ
ᜀAĀ ᜀAĀ AĀ AȀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ЀЀ AĀ AĀ AȀ ЀЀ AĀ AȀ AĀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀЀЀ ЀЀ AĀ AȀ ⸀AĀ ЀЀ AĀ AĀ AĀ AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ
ᜀAĀ ᜀAȀ ЀЀ AĀ AȀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ЀЀ AĀ AȀ ⸀AĀ AĀ AȀ AĀ ⤀AĀ ᜀAĀ 뜀ǰǰᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ1 Pengembalian
uang negara harus diupayakan sebesar mungkin dan punitive action hanya dilakukan
kepeda mereka yang tidak kooperatif serta yang melakukan perbuatan melawan
hukum.
5888 Tindakan PUPN dalam menyelesaikan penanganan obligor yang belum memenuhi
kewajibanya berdasarkan audit BPK:
ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ЀЀ AĀ AȀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ1024 Terhadap obligor
tersebut telah dilakukan pemanggilan, pemblokiran aset yang menjadi jaminan
piutang, pencegahan ke luar negeri dan penilaian aset jaminan oleh penilai
independen.
ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ЀЀ AĀ AȀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ1025 PUPN menindaklanjuti
keputusan DPR pada tanggal 6 Februari 2008 yang menetapkan jumlah
kewajiban 8 obligor PKPS berdasarkan hasil audit BPK yang mengikuti
perhitungan Akta Pengakuan Utang.
ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ЀЀ AĀ AȀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ1026 PUPN akan
menindaklanjuti dengan melakukan serangkaian tindakan pengurusan piutang
negara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 49/Prp Tahun 1960 dan
peraturan pelaksanaanya.
ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ЀЀ AĀ AȀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ1027 Tindakan-tindakan
PUPN adalah melakukan penetapan jumlah piutang negara selanjutnya dengan
mengeluarkan penetapan Surat Paksa yang mempunyai kekuatan
Eksekusitotirial, penyitaan terhadap seluruh harta obligor dan bilamana
dipandang perlu dilakukan paksa badan.
ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ЀЀ AĀ AȀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ1028 Sesuai dengan
perjanjian yang ada, maka PUPN menginventarisir jumlah kewajiban obligor
PKPS sebagai berikut :
1028.1280⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ唀AĀ AĀ AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ AĀ AȀ ⤀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ
AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAȀ AĀ AȀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ Pemegang saham yang
menandatangani Perjanjian PKPS-MSAA adalah sebanyak lima
obligor/pemegang saham dengan total kewajiban Rp. 83,9 triliun.
1028.1281⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ唀AĀ AĀ AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ AĀ AȀ ⤀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ
AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAȀ AĀ AȀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ Pemegang saham pengendali
yang menandatangani perjanjian PKPS-MRNIA adalah sebanyak 4
obligor dengan total kewajiban Rp. 23,8 triliun.
1028.1282⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ唀AĀ AĀ AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ AĀ AȀ ⤀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ
AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAȀ AĀ AȀ ⸀AĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀAĀ ᜀ Pemegang Saham yang
menandatangani Perjanjian PKPS dan Akta Pengakuan Utang adalah
sebanyak 323 obligor dengan total kewajiban sebesar Rp. 15,9 triliun.
45
0 Strategi pemerintah dalam mengembalikan potensi kerugian negara Rp 138,4 triliun
menugaskan PUPN untuk mengupayakan tindakan-tindakan hukum dengan cara
sebagai berikut:
0 Kerugian negara diupayakan untuk ditekan dengan melakukan pengembalian aset
dan meneruskan penagihan kepada para obligor yang menyelesaikan
kewajibannya dan belum mendapatkan Surat Keterangan Lunas.
1 Mengadakan penelusuran aset (aset tracing), penanganan aset obligor yang belum
menyelesaikan Akta Pengakuan Utang dan ditandatangani oleh Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN), serta penjualan aset melalui lelang yang transparandan
akuntabel dengan memperhatikan kondisi pasar.
2 Berdasarkan data yang tercatat di PUPN Program Penyehatan Perbankan menelan
biaya sebesar Rp. 640,9 triliun dengan perincian sebagai berikut:
0 Sebesar Rp. 422,6 triliun dalam kerangka rekapitulasi 4 bank BUMN sebesar Rp.
279,4 triliun (66,1%), rekapitulasi bank swasta (termasuk 6 BTO) sebesar Rp.
1412,96 triliun (33,6%) dan rekapitulasi 12 Bank Pembangunan daerah sebesar
Rp. 1,23 triliun (0,29%). Jumlah tersebut dalam bentuk Surat Utang Negara
(SUN) yang dapat diperdagangkan.
1 Sejumlah Rp. 218,3 triliun diterbitkan dalam kerangka penjaminan dan
restrukturisasi perbankan berupa:
0 Surat Utang kepada Bank Indonesia yang tidak dapat diperdagangkan, terdiri
dari Rp. 144,5 triliun merupakan penyelesaian BLBI dan Rp. 53,8 triliun
merupakan pembiayaan program penjaminan.
1 Sisanya sebesar Rp. 20 triliun merupakan penyertaan modal negara pada PT
Bank Exim (Persero) yang juga merupakan konversi BLBI.
Perkara gagal bayar pada piutang negara yang berpotensi merugikan negara.
Penyelesaian harus dibedakan dengan perkara gagal bayar pada non negara.
Peristiwa gagal bayar pada piutang non negara harus diserahkan pada pengadilan
karena adanya prinsip hukum kedudukan yang seimbang, sedangkan dalam
penyelesaian piutang negara dikenal prinsip sub-ordinat, dimana kedudukan pihak
pemberi pinjaman lebih dominan daripada penerima pinjaman. Oleh karena itu,
penyelesaiannya harus diserahkan pada badan khusus dan dikelola berdasarkan
prinsip-prinsip administrasi negara.
0 Djisman S Simanjutak dalam “Good Corporate Governance In Post Crisis Indonesia: Initial Condition,
Windows of Opportunity and Reform Agenda .2001. Implementasi GCG di BUMN didasarkan pada
Keputusan Menteri BUMN No 117 /M.MBU/2002 . Keputusan tersebut dimaksudkan untuk menjadikan
GCG menjadi dasar operasional BUMN BUMN dengan asset lebih dari satu triliyun rupiah, yang menyerap
dana publik dan telah tercatat di Bursa wajib memiliki komite Audit dan sekretaris Perusahaan;
Khairandy, Ridwan. 2007. Good Corporate Covernance. Yogyakarta: Total Media, hal. 19
46
berikut: yang dimaksudkan dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal
pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan
pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan
pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.
0 Kusumaningtuti SS. 2009. Peranan Hukum Dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Press, hal.132
1 Dalam program rekapitulasi perbankan, Pemerintah dalam mengatasi krisis perbankan adalah melalui
program rekapitulasi perbankan. Apabila kebijakan ini yang diberlakukan, pemerintah tidak perlu
membayar dana pihak ketiga maupun kewajiban bank yang dijamin pemerintah karena dalam program ini
bank peserta rekap masih beroperasi secra normal. Selain itu, biaya rekapitulasi perbankan dianggap lebih
rendah daripada biaya likuidasi yang meliputi biaya nasabah dan biaya gaji pegawai. Dengan program ini
Pemerintah Indonesia memperkuat permodalan sejumlah bank dengan cara menerbitkan surat utang
negara mencapai sekitar Rp. 400 triliun, 9 (dalam Kusumaningtuti,SS. 2009. Peranan Hukum dalam
Penyelesaian krisis Perbankan di Indonesia.Jakarta: Rajawali Press, hal.111)
2 Hipotesis teori tersebut sangat kuat dengan Otoritas Jasa Keuangan/Financial Service Authority (OJK/FSA).
Selalu yang dipakai adalah amanat Undang-Undang Bank Sentral 23/1999. Pembentukan lembaga pengawas
yang baru ini selain mengikuti tren pemisahan pengawasan bank dinegara maju seperti Inggris dan Australia,
juga didorong krisis perbankan 1998. Krisis ini sebagai bukti kegagalan BI melakukan fungsi pengawasan.
Ibaratnya asal bukan BI semua akan beres. Padahal negara pelopornya (pemerintah Inggris) dengan model
pemisahan pengawasan ini sudah tidak memakainya lagi dan sekarang model pengawasan jalur keuangan
dikembalikan ke pemerintah penuh (Opini Abdul Mongid tentang Pasca Pembubaran FSA di Inggris, Kompas 28
Juni 2010)
47
memberikan suatu kepastian hukum bagaimana penyelesaian piutang negara
perbankan dapat diselesaikan secara efektif dan efisien.
Kekuatan eksekusi pada piutang negara yang pada mulanya diadakan oleh
undang-undang tidak digunakan oleh pemerintah. Penegakan hukum lebih
mengedepankan mediasi sebagai penegakan hukum responsif, sebagaimana
penyelesaian BLBI yang dilakukan oleh BPPN dengan mekanisme perdata, yaitu
dengan MSAA dan MRNIA, sehingga piutang negara banyak diselesaikan di luar
pengadilan. Dan ironisnya mengesampingkan prinsip dasar piutang negara, yaitu
tindakan represif (paksaan/hak eksekusi).66
Persoalan Piutang negara perbankan ini seakan never ending cases atau kasus
tiada henti bagi negara ini, belum tuntasnya penyelesaian BLBI, muncul lagi kasus
baru yang cukup menghebohkan dalam jagad politik dan penyelesaian dalam ruang
politik dan hukum, inkonsistensi. Ketika ruang politik mengakselerasi hak-haknya
dalam debat panjang hak angket, ketertiban politik berhenti di persimpangan jalan,
arahnya membingungkan, dan agenda perjalanan politik untuk menegakkan
ketertiban politik dicatat berbalik arah dengan membuat peta baru lewat jalur
hukum. Dan hukum menjadi instrumen kendaraan politik menegakan ketertiban.
Bagaimanapun hebatnya penegakan hukum tanpa didahului memenangkan
0 Kebijakan Penyelesaian Piutang Negara BLBI ini akhirnya bermuara pada penyelesaian keperdataan,
dimana pemerintah tidak melakukan tuntutan pidana kepada para banker, yang dapat mengembalikan
seluruh hutangnya yang timbul dari penyaluran BLBI, kemudian diadakan kesepakatan bersama antara
Pemerintah Indonesia dengan Debitur dengan membuat Master Setlement Acquisition Agremeent (MSAA)
dengan klausula hukumnya yang dinamakan Release And Discharge, yaitu pembebsan dari tuntutan
pidana, sedangkan kepada Debitur yang assetnya tidak mampu memnuhi kewajibannya dibuat
kesepakatan Master Refinancing And Note Issuances Agreement (MRNA), dimana pihak Debitur harus
menyerahkan assetnya jika nantinya asset yang sudah diserahkan tersebut ternyata tidak mencukupi atau
di bawah kewajibannya. Dengan skema pembayaran hutang seperti ini, maka sudah dapat diduaga bahwa
penggelembungan nilai asset sangat merajalela terjadi sangat mencolok mata. Anehnya, hal seperti ini
dibiarkan oleh pemerintah meskipun hal tersebut terjadi didepan mata (dalam Fuady, Munir. 2004. Bisnis
Kotor Kerah Putih. Bandung: Citra Aditya, hal. 113)
1 Yaitu Bank yang mengalami Saldo debet yang bertentangan dengan Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No: 14/35/Kep/Dir/UPPB tanggal 10 September 1981 (tentang penyelenggaraan Kliring Lokal
dan Surat Edaran Direksi Bank Indonesia No: 22/227/UPG tanggal 31 Maret 1990. Pemberian kredit
Likuiditas (BLBI) bagi 18 Bank yang mengalami Saldo debet yang bertentangan dengan Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia telah dianggap sebagai Perbuatan Korupsi)
2 Keputusan Upaya Administrasi yang menimbulkan akibat keuangan yang dimaksud adalah keputusan
yang mengakibatkan kerugian yang penetapannya didasarkan ketentuan perundang-undangan
pembiayaan melalui ABPN/APBD, maka sanksi hukumnya adalah mengganti kerugian tersebut.
48
ketertiban politik, maka ketertiban hukum tidak akan bisa dimenangkan. Dua
ketertiban inilah dalam kasus Bailout Bank Century sedang di tengah persimpangan
jalan
Panitia Khusus (Pansus) DPR pun dibentuk untuk penyelidikan. Melalui voting
keluarlah rekomendasi Pansus DPR yang menyatakan ada kesalahan prosedur dan
kecurigaan di balik pengucuran dana talangan itu. Hasil sidang paripurna DPR
mendukung hasil kerja Pansus Maret 2010. Rekomendasi Pansus DPR yang
dikeluarkan adalah sebagai berikut:
0 Pansus DPR merekomendasikan agar penyelidikan kasus Bank Century
diserahkan kepada penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
1 DPR membentuk pula Tim Pengawas (Timwas) pelaksanaan rekomendasi DPR
atas Bank Century tersebut.
Namun hingga berakhirnya masa tugas Timwas pada Desember 2011, KPK
belum menemukan unsur-unsur tindak pidana dibalik pengucuran dana talangan
tersebut. Masa tugas Timwas DPR pun diperpanjang setahun lagi dan KPK diberi
waktu hingga Juli 2012. Akhir Desember 2011 lalu, BPK menyerahkan laporan audit
forensik yang dikerjakan BPK sebatas “audit investigasi lanjutan”. Banyak kalangan
yang menilai bahwa audit tersebut minim fakta baru dan menuding BPK ter-
kooptasi. Tudingan tersebut pun dibantah BPK. Dari 15 temuan yang dilaporkan
hanya tiga temuan baru. Selain aliran dana kepada Budi Mulya sebesar Rp. 1 miliar,
PT Media Nusa Perdana sebesar Rp. 100,95 miliar dan Hartanto Edi Wibowo sebesar
$ US 125.000.
Berdasarkan hasil audit Investigasi BPK November 2008, kasus Bank Century
terjadi akibat lemahnya dan tidak tegasnya BI selaku pengawas antara lain:
0 Keputusan merger tahun 2001 dengan Bank CIC, Bank Pikko dan Bank
Danpac, padahal syarat-syarat merger tak terpenuhi.
49
0 Merger yang didahului dengan akuisisi Bank Danpac dan Bank Pikko, serta
kepemilikan saham CIC oleh “Chinkara” perusahaan berdomisili di Bahama
yang saham mayoritasnya dipegang oleh Rafat Ali Rizvi (terpidana dan
status buron), tak memenuhi persyaratan administrasi, yaitu tak adanya
laporan keuangan Chinkara tiga tahun terakhir dan tak adanya rekomendasi
otoritas moneter negara asal.
1 Sebagai pengawas Bank Indonesia mengizinkan merger, meskipun ada
pelanggaran, diantaranya berupa surat-surat berharga (SSB) fiktif yang
melibatkan “Chinkara”. Seharusnya BI membatalkan persetujuan merger tiga
bank tersebut.
2 Selanjutnya dalam kurun waktu 2005-2008, pengawasan BI lemah dan tidak
tegas. Banyak terjadi pelanggaran, diantaranya CAR yang minus 132,5%
pelanggaran batas maksimum pemberian kredit dan SSB yang tidak bisa
dijual karena diterbitkan oleh perusahaan terafiliasi. Akibatnya Bank
Century kekurangan modal yang seharusnya ditutup oleh pemilik modal.
Akan tetapi, Bank Indonesia mendiamkan pelanggaran-pelanggaran
tersebut. BI hanya menempatkan Bank Century pada pengawasan intensif.
3 Ditemukannya benturan kepentingan bisnis antara Budi Mulya sebagai
deputi Bank Indonesia selaku pengawas dengan bank-bank yang diawasinya.
Budi Mulya dengan Robert Tantular selaku pemilik Bank Century. Budi
Mulya kekurangan dana, sehingga meminjam uang ke Robert Tantular, tetapi
tidak ada perjanjian pinjamannya. Sementara di sisi lain, pada periode itu
Bank century tengah mengajukan fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP).
Budi Mulya sebagai salah satu pejabat di BI memiliki peranan untuk
mengucurkan FPJP itu, sehingga pinjaman itu berpotensi terjadi konflik
kepentingan.
Perpu nomor 2 Tahun 2008 dan Perpu Nomor 3 tahun 2008 disahkan dalam
sidang paripurna DPR pada tanggal 18 Desember 2008. Dengan begitu Bank
Indonesia diperbolehkan membantu likuiditas atas jaminan agunan berkualitas dan
Lembaga Penjamin Simpanan dan meningkatkan nilai jaminan simpanan nasabah
bank dari Rp 100 juta menjadi Rp. 2 miliar. Perpu Nomor 4 tahun 2008 tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan ditolak DPR, meski tidak dalam bahasa yang tegas. DPR
meminta pemerintah menyempurnakan melalui RUU JPSK.
50
Tindakan JPSK bisa meliputi penanganan kesulitan likuiditas dan/atau masalah
solvabilitas bank atau (lembaga keuangan bukan bank) yang berdampak sistemik.
Instrumen yang dipakai JPSK meliputi fasilitas pembiayaan darurat dan penambahan
modal melalui penyertaan modal sempurna yang disesuaikan dengan tingkat
kebutuhan dan tingkat ancaman. Sumber pendanaan untuk pencegahan dan
penanganan krisis berasal dari APBN.
5888 Soesatyo, Bambang. 2010. Skandal Gila Bank Century. Jakarta: Ufuk Publishing House,hal. 130-141
51
Perdebatan tentang masa berlaku Perpu ini mencuat karena menyangkut dasar
hukum KSSK tentang penanganan bank gagal berdampak sistemik. DPR melalui
Sidang Paripurna tanggal 29 September 2009 sudah berpendapat bahwa semua
kebijakan KSSK atau komite koordinasi terkait penyelamatan Bank Century menjadi
tidak sah karena sidang 18 Desember 2008 tak memberi persetujuan atas Perpu
Nomor 4 Tahun 2008.
Perbedaan pendapat mengenai sah tidaknya bailout Bank Century ini sangat
serius. Masing-masing pihak memiliki legitimasi hukum berdasarkan ruang dan
waktu. Pihak pemerintah mengatakan keputusan atas Bank Century yang dilakukan
pada tanggal 21 November 2008 sah karena keputusan itu dilakukan pada periode
15 Oktober - 18 Desember 2008 ketika Perpu masih berlaku. Menurut pendapat BPK
dan DPR, kebijakan bailout pasca 18 Desember tahun 2008 tidak memiliki dasar
hukum (ilegal).
Tidak ada yang mengira termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla, bahwa Perpu
Nomor 4 Tahun 2008 akan dipakai sebagai instrumen kebijakan pemerintah untuk
menyelamatkan Bank Century dan ternyata bailout sudah dilakukan dengan dua
tahapan:
0 Pada tanggal 14 sampai dengan 18 November, Bank Century sudah mendapat bailout
dari Bank Indonesia berupa fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek (FPJP) senilai Rp. 689
miliar. Padahal sebelumnya sejak tanggal 6 Nopember 2008, Bank Century “dalam
pengawasan khusus”. Itu artinya Bank Indonesia sudah menempatkan pengawasnya di
Bank Century, sehingga BI mempunyai akses untuk memperoleh data mutakhir dari
bank tersebut.
1 Pada tanggal 21 Nopember 2008 pukul 05.30 WIB diadakan rapat tertutup KKSK yang
dihadiri oleh Menteri Keuangan (selaku ketua KSSK), Gubernur Bank Indonesia (selaku
anggota KSSK) dan sekretaris KSSK (Raden Pardede). Rapat tersebut memutuskan
Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan menetapkan
penanganan Bank Century oleh LPS dengan pernyataan sebagai berikut:
Untuk membuat CAR Bank Century menjadi 8% ,diperlukan dana Rp
632 miliar .
Untuk kebutuhan dana likuiditas selama tiga bulan ke depan
diperlukan dana sebesar Rp. 4,59 miliar.
2 Hasil rapat tersebut memutuskan :
Menyerahkan penanganan Bank Century yang merupakan bank
gagal yang berdampak sistemik kepada Lembaga Penjamin
Simpanan.
Penanganan bank gagal tersebut dilakukan dengan Undang-Undang
No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Keputusan Rapat tersebut selanjutnya dituangkan dalam keputusan
KK No 01/KK.01/2008 tanggal 21 November.
Kemudian sehari setelah dikeluarkannya keputusan KSSK tersebut pada tanggal 25
Nopember tahun 2008, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia
Budiono melapor kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tatkala mendengar bahwa
pemerintah dan Bank Indonesia memutuskan untuk membantu Bank Century, ia
meradang marah: “Apa ? Bantuan ? Kenapa harus dibantu ? Ini Perampokan.....! “katanya
dengan suara keras.
BLBI kepada banyak bank pada waktu krisis keuangan melanda menjadi
masalah yang banyak diperhatikan dan dibahas di masyarakat, karena operasi ini
menyangkut dana dalam jumlah sangat besar, dengan kemungkinan kerugian yang
sangat besar, juga pembebanannya dirasakan tidak adil, karena dibebankan pada
anggaran negara yang menyangkut uang rakyat sebagai pembayar pajak. Masalah
ini lebih berat lagi dirasakan, karena berbagai kesalahpahaman dan prasangka
yang melekat di masyarakat terhadap peran perbankan, pemilik bank dan banker.
Peran kelompok ini di satu pihak kurang dipahami secara jelas, di
0 Djiwandono,Soedradjad. 2001. Mengelola Bank Indonesia Dalam Masa Krisis. Jakarta: Pustaka LP3ES,
hal. 236-275
53
pihak lain kental dengan prasangka dan prakonsepsi yang melekat, karena
kaitannya dengan penyakit masyarakat Indonesia, yaitu, kronisme dan nepotisme
(KKN) dengan seluruh aspek negatifnya.
Dalam kaitan ini, peranan dan kegiatan BI sebagai bank sentral yang juga
kurang dipahami masyarakat telah bercampur dengan kelemahan struktural yang
memang masih mewarnai sistem perbankan, termasuk pelaksanaan pengawasan
bank. Dalam keadaan transparansi yang lemah, good governance yang belum
melekat pada otoritas pengawasan perbankan maupun banker dan para
pengusaha, kegiatan yang basisnya jelas dari penyelenggaraan tugas bank sentral,
memberi bantuan likuiditas kepada bank -bank untuk mengatasi masalah yang
melanda perbankan pada waktu terjadi krisis keuangan, telah berkembang
menjadi kontroversi. Masalahnya sendiri terus berkembang menjadi malapetaka
yang sampai sekarang sangat sukar ditemukan jalan keluarnya. Penjelasan di sini
diharapkan akan sedikit mengurangi ketidakjelasan tersebut, sehingga sebagai
masalah diharapkan menjadi lebih jelas, meskipun ini belum menjamin
ditemukannya jalan keluar yang secara tuntas menyelesaikan masalah.
0 Siaran Pers BPK-RI tentang “Hasil Audit Investigasi atas Penyaluran dan Penggunaan BLBI”, 4 Agustus
2000 (mimeo).
54
masyarakat sebagai ada sesuatu yang tidak beres di Bank Indonesia berkaitan
dengan BLBI. Untuk menambah kekurangjelasan tersebut, BPK dalam
pengumumannya juga mengemukakan bahwa pembukuan Bank Indonesia tidak
mengikuti ketentuan yang berlaku dan secara jelas disebutkan bahwa
pengawasan intern Bank Indonesia dinilai lemah. Ini tentu agak membingungkan,
karena sebenarnya disclaimer berkaitan dengan informasi yang tidak mencukupi
untuk membuat penilaian. Dengan demikian, membuat disclaimer sekaligus
menunjukkan bahwa pengawasan intern BI lemah, sebenarnya membingungkan.
Sebagai kelanjutan dari audit umum yang diakhiri dengan disclaimer, suatu
audit investigasi telah dilakukan dan hasilnya diumumkan melalui Siaran Pers
BPK- RI tanggal 4 Agustus 2000. Hasil audit tersebut mengungkapkan hal-hal
yang menimbulkan sangkaan tindak pidana atau perbuatan yang merugikan
keuangan negara. Akibatnya, masalah BLBI mencuat lagi di masyarakat, dalam
hal ini, kini dengan tuduhan yang lebih tegas mengenai ditemukannya tanda-
tanda tindak pidana dalam penyaluran dan penggunaan BLBI.
0 Konspirasi Menggoyang Soeharto: Kumpulan Selebaran Paling Aktual, tidak disebutkan nama penerbit,
Nopember 1997 (mimeo).
55
Dikhawatirkan bahwa prasangka ini juga mendasari timbulnya perasaan
tidak adil, bahwa BLBI dinikmati pemilik bank dan konglomerat, karena langkah
Bank Indonesia, mengapa sekarang pembiayaannya dan kerugian yang timbul
harus dipikul oleh masyarakat melalui APBN yang penyusunannya merupakan
tanggung jawab departemen keuangan? Seandainya prasangka tersebut tidak
ada, maka sebenarnya masyarakat mau menerima bahwa bantuan likuiditas
sebenarnya masyarakat mau menerima bahwa bantuan likuiditas bukan
dilaksanakan untuk membantu pemilik bank atau menyelamatkan sistem
pembayaran dan sistem perbankan yang mendekati kebangkrutan. Seandainya
prasangka itu ada, saya kira mengapa BI yang memberikan bantuan dan sekarang
Departemen Keuangan yang seolah-olah melakukan bailout karena timbul
masalah, dapat disadari sebagai suatu hal yang normal, karena dalam sistem
kenegaraan dan pemerintahan, lembaga-lembaga ini mempunyai fungsi dan
tanggung jawab masing -masing, meskipun yang satu terkait dengan yang lain.
Jadi, bukan yang satu bikin salah dan yang lain yang harus menebus kesalahan
tersebut. Seandainya prasangka itu tidak ada, diperkirakan masyarakat bersedia
menerima bahwa yang diselamatkan adalah siatem, suatu kepentingan yang
bersifat nasional dan bukan para pemilik bank atau nasabah. Bahwa para pemilik
deposito, bahkan pemilik bank bank dan perusahaan nasabah bank yang
menerima manfaat dari fasilitas ini, semua juga pembayar pajak. Jadi, kalau ada
pembiayaan atau kerugian yang timbul, mereka ini merupakan bagian dari
penyebab terjadinya kerugian, tetapi juga bagian dari yang memikul beban
kerugian. Begitu pula seandainya prasangka itu tidak ada, saya kira masyarakat
bersedia mengakui bahwa yang terjadi bukan pemilik bank atau nasabah bank
yang menikmati keuntungan, sedangkan rakyat sebagai pembayar pajak yang
memikul beban.
Bahwa ada atau bahkan mungkin banyak yang mencarui keuntungan diri
sendiri atas kerugian masyarakat, bahwa ada yang korupsi, ada yang mencuri,
mereka harus memper-tanggungjawabkan kesalahannya. Tetapi, tuntutan
pertanggung-jawaban mereka jangan menggunakan dasar salah pengertian,
prasangka atau kecurigaan. Transparansi dan good governance yang ingin kita
tegakkan dalam alam demokrasi bukan dengan cara-cara ini. Kita jangan
melestarikan cara-cara lama, sedangkan yang ganti hanya pelakunya. 73
Mengenai apa arti sebenarnya dari BLBI juga tidak selalu jelas. Ini juga ikut
menyebabkan masalahnya menjadi kontroversial. Berbagai pihak dapat berdebat
mengenai masalah BLBI, meskipun mungkin setelah diteliti mereka berbicara
mengenai hal yang tidak sama. Dalam arti yang luas, BLBI adalah terminologi
yang digunakan untuk mengelompok-kan seluruh bantuan likuiditas BI kepada
perbankan, di luar Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Dilihat dari besarnya
besarnya dana dan perhatian masyarakat, BLBI adalah bantuan likuiditas BI
kepada sejumlah bank yang terjadi pada waktu krisis keuangan melanda sektor
perbankan.
Djiwandono,Soedradjad. 2001. Mengelola Bank Indonesia Dalam Masa Krisis. Jakarta: Pustaka LP3ES,
hal.275
56
secara sistemik yang dialami perbankan dimulai sekitar pelaksanaan kebijakan
pencabutan izin usaha atau likuidasi terhadap 16 bank.
Situasi mulai lebih memanas setelah makin banyak tuntutan untuk reformasi
ekonomi, social, dan politik di masyarakat. Tuntutan-tuntutan tersebut dalam
waktu cepat berkembang menjadi kerusuhan sosial dengan aksi pembakaran,
perampokan dan pemerkosaan di Jakarta dan di berbagai kota lain, yang berakhir
dengan mundurnya Presiden Soeharto tanggal 20 Mei 1998. Ketegangan dan
kerusuhan sosial terus berlangsung, bahkan setelah pergantian oleh Presiden B.J.
Habibie, dan baru mereda akhir Agustus 1998.
Di dalam LoI II, 15 Januari 1998, antara lain disebutkan: pada pertengahan
Nopember 1997, banyak bank mengalami masalah kekurangan likuiditas, dan
tidak dapat memperoleh likuiditas dari pasar uang antar bank, meskipun
bersedia membayar suku bunga lebih tinggi dari 75 persen. Pada waktu yang
sama, sejumlah bank menjadi sangat likuid melakukan transaksi likuiditas antar
bank dengan suku bunga Jakarta Inter-Bank Offer Rate (JIBOR) sekitar 15 persen.
Sementara segmentasi ini berlangsung dan tekanan terhadap perbankan
berlangsung terus, Bank Indonesia terpaksa harus mengambil tindakan, yaitu
58
memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank yang dalam keadaan distress,
sambil menarik likuiditas dari bank-bank lain yang mempunyai kelebihan
likuiditas. Dengan cara ini, suku bunga JIBOR naik sampai menjadi 30 persen
pada Desember (butir 15).
Di dalam butir 36 dari LoI I dinyatakan bahwa segala sesuatu yang berkaitan
dengan penyelenggaraan lender of last resort dari BI akan diperbaiki dan
disempurnakan. Petunjuk Presiden 3 September 1997 dan LoI tersebut
menjelaskan kebijakan membantu likuiditas bank-bank yang menghadapi
masalah likuiditas secara jelas. Dalam kaitan ini, pernyataan para mantan
Menkeu setelah memberikan penjelasan kepada Panja BLBI-DPR, bulan Februari,
bahwa BI salah menginterpretasikan kebijakan pemerintah sebetulnya tidak
tepat. Tindakan yang dilaksanakan BI memberikan BLBI kepada perbankan yang
mengalami masalah likuiditas bukan salah menginterpretasikan kebijakan
pemerintah. Langkah tersebut sebagai kebijakan, bukannya tanpa ketentuan
perundangan yang mendasari.
Pada April 1997, hal yang sama diajukan lagi kepada Presiden dengan
pertimbangan telah diterbitkan peraturan yang lebih memadai untuk
pelaksanaan likuidasi bank. Pada akhir Desember 1996, telah dikeluarkan PP
No. 68 Tahun 1996 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran dan Likuidasi Bank sebagai landasan pencabutan izin usaha bank.
Sejumlah bank mengalami masalah yang kondisinya sulit untuk disehatkan
kembali. Beberapa di antaranya sebelumnya pernah akan dibeli oleh berbagai
pihak, tetapi pada akhirnya sulit untuk dilakukan. Karena itu, jalan yang paling
baik ditempuh adalah melikuidasi bank-bank tersebut. Terhadap usulan ini,
Presiden memberikan persetujuan, namun pelaksanaannya agar menunggu
setelah Pemilu Mei 1997. Malangnya, krisis keuangan mulai menyerang
Indonesia pada Juli 1997, sebelum likuidasi sejumlah bank benar-benar
dilaksanakan. Perlu dikemukakan di sini, bahwa ketujuh bank tersebut akhirnya
merupakan bagian dari keenam belas bank yang dilikuidasi pada Nopember
1997.
Pada April 1998, diambil tindakan oleh BPPN untuk membekukan 7 bank
menjadi Bank Beku Operasi (BBO), dan mengambil alih 7 bank menjadi Bank
Take Over (BTO). Pada Agustus 1998, dilakukan pembekuan operasi terhadap 3
bank dan tetap memberlakukan BTO terhadap 4 bank dengan rencana untuk
merger. Ternyata reaksi pasar terhadap langkah-langkah ini tidak seburuk waktu
dilakukan penutupan terhadap 16 bank. Mungkin pasar telah terbiasa dengan
kebijakan pencabutan izin usaha bank. Pelaksanaan pembekuan operasi bank
juga tampak dapat diterima pasar dan tidak menimbulkan kegoncangan.
Dalam arti yang luas, BLBI merupakan bantuan likuiditas Bank Indonesia di
luar KLBI. Akan tetapi, bantuan likuiditas yang termasuk dalam pengertian
tersebut sebenarnya meliputi 15 macam fasilitas yang dapat dikelompokkan ke
dalam 5 jenis, yaitu:
23 Dasar Hukum
BLBI kepada perbankan didasarkan atas ketentuan perundangan yang
meliputi:
5888 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, pada
pasal 29 ayat (1) dan pasal 32 ayat (3), serta Penjelasan Umumnya.
Ketentuan-ketentuan tersebut mengatakan bahwa “BI dapat memberikan
kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas
dalam keadaan darurat” dan bahwa….sebagai lender of last resort Bank
Sentral dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan likuiditas kepada bank-bank untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan likuiditas yang dihadapi dalam keadaan
darurat.
5889 Pasal 37 ayat (2) huruf b UU No. 7 Tahun 1992 yang mengatakan
bahwa
“Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan
kelangsungan usahanya, maka Bank Indonesia dapat mengambil tindakan
lain sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
penjelasannya dikatakan bahwa BI dapat melakukan langkah untuk
menyelamatkan bank yang mengalami masalah yang membahayakan
kelangsungan usahanya, sebelum dilakukan pencabutan izin usahanya
dan/atau tindakan likuidasi. Langkah penyelamatan tersebut dilakukan
terhadap bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat.
5890 Pasal 2 ayat (1) Keputusan Presiden No. 120 Tahun 1998 yang
mengatakan “Bank Indonesia dapat memberikan jaminan atas pinjaman
luar negeri dan/atau atas pembiayaan perdagangan internasional yang
dilakukan oleh bank”.
63
23 Pasal 1 Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998 yang mengatakan
“Pemerintah memberi jaminan bahwa kewajiban pembayaran bank
umum kepada pemilik simpanan dan krediturnya akan dipenuhi” dan
24 asal 2 ayat (1) Keputusan Presiden No. 1998 yang mengatkan
“Pemerintah memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran Bank
Perkreditan Rakyat”.
25 Petunjuk-petunjuk dan Keputusan Presiden pada Sidang Kabinet
Terbatas Bidang Ekku Wasbang dan Prodis pada tanggal 3 September
1997. Keputusan tersebut antara lain menyebutkan, “Krisis di beberapa
Negara menunjukkan bahwa sektor keuangan, khususnya perbankan
merupakan unsur yang sangat penting dan dapat menjadi pemicu serta
memperburuk keadaan.
Untuk itu kepada Saudara Menteri Keuangan dan Saudara Gubernur Bank
Indonesia saya minta untuk mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
5888 Bank-bank nasional yang sehat, tetapi mengalami kesulitan ikuiditas
untuk sementara supaya dibantu;
5889 Bank-bank yang nyata-nyata tidak sehat supaya diupayakan
penggabungan atau akuisisi dengan bank-bank lainnya yang sehat. Jika
upaya ini tidak berhasil, supaya dilikuidasi sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku dengan mengamankan semaksimal mungkin
para deposan, terutama para deposan kecil”.
64
menguntungkan penyelenggaraan tugas bank sentral untuk menjaga kestabilan
moneter. Sebenarnya, kalah kliring adalah suatu hal yang biasa bagi suatu bank
karena posisi netto dari hak dan kewajiban harian bank tidak selalu persis
sama besar, tergantung dari transaksi yang dilayaninya pada hari tersebut.
Kalah kliring hanya menjadi masalah serius, kalau suatu bank mengalaminya
secara terus-menerus. Kalah kliring yang terus-menerus menandakan adanya
masalah yang lebih besar dari ketidakseimbangan likuiditas. Biasanya hal ini
berarti ada masalah yang bersifat struktural dari bank tersebut.
65
likuiditas bank sentral memang dilihat sebagai sumber terakhir bagi perbankan.
Dengan demikian, BI memang berfungsi sebagai lender of the last resort.
Suku bunga fasdis yang lebih tinggi daripada suku bunga pasar uang antara
bank memang disengaja untuk menjaga agar bank tidak mudah menggunakan
fasilitas ini. Suatu upaya untuk menghindarkan timbulnya moral hazard. Bisa
dibayangkan kalau bank-bank dapat memperoleh dana murah dari bank sentral,
tentu BLBI ini jumlahnya lebih besar lagi, bahkan seandainya krisis tidak terjadi.
Jadi, suku bunga BLBI itu lebih mahal daripada suku bunga Pasar Uang Antar
Bank (PUAB).
Jadi, dalam keadaan normal, bank yang kalah kliring dapat mencari dana
untuk menutup kekurangan likuiditasnya dengan meminjam dari bank lain pada
pasar uang antar bank dengan suku bunga yang berlaku. Hanya dalam keadaan
terpaksa bank mengatasi masalah kekurangan likuiditas dengan menggunakan
bantuan likuiditas bank sentral, dengan membayar suku bunga yang lebih tinggi
daripada suku bunga pasar uang antar bank. Padahal, suku bunga pasar uang
antar bank itu sendiri biasanya lebih tinggi daripada suku bunga pinjaman yang
secara umum diketahui masyarakat karena pendeknya jangka waktu pinjaman.
Sebagian bank tidak dapat memperoleh akses likuiditas dari pasar, padahal
mengalami masalah mismatch likuiditas. Bank-bank inilah pada dasarnya yang
terpaksa lari ke BI untuk mengajukan permintaan bantuan likuiditas. Bank-bank
yang dalam posisi demikian menjadi semakin banyak jumlahnya dengan krisis
moneter yang terus berkembang. Semula terjadi pelanggaran ketentuan GWM,
tetapi karena penarikan dana perbankan berlanjut, sebagian bank -bank
mengalami saldo debet atau saldo negatif pada rekening giro mereka di BI. Bank
yang mengalami saldo negatif pada akhir tahun 1997 tercatat sebanyak 29.
Selain saldo negatif pada rekening giro bank-bank di BI, bentuk BLBI lain
adalah dana talangan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran yang terkait
dengan pencabutan izin usaha 16 bank pada Nopember 1997. Ini merupakan
konsekuensi dari janji pemerintah memberi perlindungan kepada deposan kecil
pada bank yang dicabut izin usahanya sesuai Kebijakan Pemerintah 3 September
1997. Dalam rangka pencabutan izin usaha 16 bank tersebut, BI membiayai
pengembalian dana deposan sampai dengan Rp. 20 juta untuk masing-masing
rekening. Dana tersebut merupakan dana talangan BI kepada pemerintah. Pada
minggu ketiga Februari 1998, pengembalian dana deposan pada bank-bank yang
dilikuidasi juga dilakukan terhadap pemilik rekening di atas Rp. 20 juta.
67
Pengembalian dana nasabah ini juga dibiayai dengan dana talangan BI kepada
pemerintah.
Ada dua unsur pokok perbedaan BLBI dengan KLBI, yaitu asal dari inisiatif dan
tingkat suku bunga. Dari segi asal datangnya inisiatif, BLBI datang dari bank yang
mengajukan permintaan bantuan kepada BI sebagai lender of the last resort karena
menghadapi masalah ketidakseimbangan likuiditas (mismatch ) antara penerimaan
dan pembayaran dana yang tidak bisa ditutup dengan sumber dana lain yang lazim
dalam perbankan. Dalam hal KLBI, inisiatif datang dari BI yang membantu
pelaksanaan program pemerintah (sebagai agent of development) memberi kredit
kepada bank pelaksana agar menyalurkan kredit tersebut kepada sektor atau
kegiatan atau kelompok yang diprioritaskan dalam program pemerintah. Mengenai
suku bunga, BLBI mempunyai suku bunga yang mengandung unsur penalti untuk
mengurangi moral hazard, karena itu selalu lebih tinggi dari pasar. Sedangkan suku
bunga KLBI mengandung unsur memberi dorongan melalui subsidi kepada
kelompok kegiatan atau sektor yang oleh pemerintah diprioritaskan karena itu lebih
rendah dari suku bunga pasar. Dana kredit-kredit dengan KLBI ini sering merupakan
campuran dari APBN, BI (KLBI) dan dana dari bank-bank pelaksana, ini yang
memungkin-kan adanya subsidi suku bunga.
Besarnya bantuan likuiditas berbeda-beda sesuai kebutuhan bank-bank yang
mengajukan permintaan. Ini terjadi karena besarnya dana yang dihimpun masing-
masing bank dari nasabah atau kredit yang diberikan kepada nasabah juga berbeda,
ada yang besar, ada yang kecil. Kalau BLBI dianggap sama dengan KLBI, maka salah
satu dasar pemberiannya adalah pertimbangan keadilan. Dalam hal ini, bisa timbul
pertanyaan, mengapa bank yang besar diberi bantuan (BLBI) dalam jumlah besar
pula, apa ini tidak bertentangan dengan rasa keadilan? Ini dianggap menyinggung
rasa keadilan karena BLBI sebagai fasilitas atau hadiah untuk dibagi -bagikan.
Menggunakan argumen ini untuk menjelaskan prioritas dalam alokasi KLBI memang
68
tepat. Akan tetapi, argumen ini tidak tepat untuk menilai kebijakan pemberian BLBI
dan alokasinya karena hal ini memang bukan ukuran pemberian BLBI.
Sering ada kecurigaan bahwa dana yang berasal dari BI ini diberikan kepada
perbankan dan kemudian oleh perbankan disalurkan sebagai kredit kepada
kelompok perusahaannya sendiri. Dengan kata lain, seperti proses penyaluran KLBI.
Kecurigaan ini timbul karena ada kesalahpahaman dalam proses pemberian KLBI
dengan BLBI yang berbeda. BLBI timbul karena adanya mismatch dalam likuiditas
karena adanya saldo negatif terhadap BI, sedangkan pemberian KLBI berdasarkan
pertimbangan perlunya mendorong kegiatan atau sektor tertentu dalam
perekonomian melalui kredit program.
Akan tetapi, kalau memang terjadi penyelewengan dan kredit tidak dikembalikan,
maka kita bicara mengenai masalah yang berbeda. Kalau hal ini terjadi atau dalam
hal terjadi penyelewengan oleh bank penerima, ini jelas masalah yang harus
diselesaikan. Penyele-wengan pemanfaatan BLBI harus ditindak sesuai dengan
kesalahannya. Demikian juga kalau memang ada unsur kolusi pejabat yang menerima
uang imbalan dari pemberian BLBI, sudah seharusnya mereka dikenakan sanksi
sesuai dengan kesalahannya.
69
kestabilan perbankan. Sebagai bank sentral, BI bertindak sebagai bank dari
seluruh perbankan nasional atau menjadi lender of the last resort . Undang-
Undang BI memberikan dasar dari langkah yang diambil BI pada waktu harus
mengatasi masalah kekurangan likuiditas yang dihadapi sektor perbankan, setelah
terjadi proses penyelamatan dana perbankan oleh para pemiliknya secara besar-
besaran dan bersamaan, menghadapi gejolak yang timbul pada waktu terjadi
krisis keuangan (pasal 32 ayat 2 UU No. 13 tahun 1968). Jadi, selain kedudukan
dan tugas BI sebagai lender of the last resort untuk perbankan Indonesia,
penyaluran BLBI didasarkan atas kebijakan pemerintah untuk mengatasi krisis
yang dialami perekonomian nasional sejak Juli 1997. Kebijakan BI sendiri disusun
berdasarkan sistem kerja BI, di mana keputusan dilakukan oleh Dewan Direksi
secara kolektif (pasal 16 ayat 3, UU No. 13 Tahun 1968), setelah mendengar dan
membahas laporan dan analisis yang dilakukan para pejabat dan staf pengawasan
perbankan, moneter, giralisasi dan kliring.
23 Berbeda dengan sangkaan kuat yang sering muncul dalam masyarakat, pemberian
fasilitas ini bukan ditujukan untuk menyelamatkan pemilik bank atau bank-bank
secara individual dari kerugian yang mereka derita, tetapi untuk keselamatan dan
kestabilan perbankan sebagai sistem, sebagai bagian vital dari sistem pembayaran
nasional.
24 Apakah kekhawatiran menutup bank bank berdasarkan argumen akan terjadinya
dampak penularan menjadi gejolak sistemik pada perbankan merupakan sikap
ketakutan yang tidak ada dasarnya? Apakah hal ini mendasarkan atas teori yang
tidak terbukti, sebagaimana disebutkan di dalam siaran pers tentang laporan
audit BI oleh BPK? Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini perlu dicatat bahwa
memang benar dasar pertimbangan yang dalam perbankan dikenal sebagai too
big to fail dapat diperdebatkan. Akan tetapi, tidak dapat disangkal bahwa sikap
diingat bahwa sejarah berdirinya bank sentral dalam perekonomian, bermula dari
adanya kekhawatiran akan benarnya prediksi teori tersebut. Hal serupa juga
terjadi dengan pendirian lembaga penjaminan atau asuransi deposito.
25 Pada waktu membahas kebijakan mencabut izin usaha 16 bank pada Nopember
1997, wakil IMF terus-menerus menyatakan bahwa penutupan ini tidak perlu
dikhawatirkan, karena aset dari keenam belas bank tersebut hanya merupakan 3
persen dari keseluruhan aset perbankan Indonesia. Akan tetapi, tindakan pemilik
dana memindahkan dana mereka ke bank-bank lain atau mata uang lain setelah
dilaksanakannya kebijakan tersebut, jelas menunjukkan bahwa penutupan
sejumlah bank dapat menyebabkan masalah kekurangan likuiditas bank menjadi
sistemik. Kejadian ini jelas mendukung argumen mengapa pemerintah takut
melakukan tindakan penutupan bank. Akan tetapi, apa yang terajdi pada April dan
Agustus 1998, pada waktu dilakukan pembekuan dan penutupan bank, yang tidak
menimbulkan dampak seperti yang terjadi sebelumnya, memang mendukung
kritik terhadap argumen too big to fail. Saya mempunyai pendapat tersendiri
mengenai perbedaan pencabutan izin usaha bank pada Nopember 1997 dan April
1998, mengapa memberikan dampak yang berbeda. Akan tetapi, di sini hanya
ingin ditunjukkan bahwa kita tidak dapat dengan tegas mengatakan, seperti
disebutkan BPK, bahwa argumen too big to fail itu didasarkan atas teori yang tidak
ada buktinya.
26 Di alam transparansi yang masih rendah, ketentuan mengenai disclosure belum
sepenuhnya dilaksanakan dan good governance belum kuat, baik pada otoritas
pengawasan bank, pemilik dan pengelola bank, maupun nasabah bank, maka
kekurangjelasan maupun salah pengertian mengenai praktik penyelenggaraan
kegiatan bank sentral dan bank komersial mudah menimbulkan prasangka yang
mempersulit kejelasan masalah yang pada dasarnya memang kompleks ini.
70
Karena prasangka yang kuat bahwa banyak pejabat pemerintah, karena itu juga
pejabat BI, tidak bersih, maka tampaknya sulit bagi banyak orang untuk melihat
bahwa apa yang dilaksanakan BI pada waktu menangani masalah perbankan
selama krisis ini merupakan pelaksanaan tugas bank sentral untuk menjaga
kestabilan perbankan dan sitem pembayaran nasional. Tampaknya yang lebih
diterima adalah kecurigaan adanya kolusi oleh pejabat-pejabat BI dengan pemilik
dan pengelola yang menimbulkan kerugian negara. Oleh karena itu, diindikasikan
adanya tindak pidana korupsi.
5888 Masalah pembebanan dari pengeluaran bank sentral yang digunakan untuk
membiayai BLBI ini menjadi rumit karena adanya kekurangjelasan atau salah
pengertian mengenai berbagai hal yang telah disebutkan di atas. Sebenarnya
sekiranya telah ada kesepakatan antara Departemen Keuangan dengan BI
mengenai kriteria dan jumlah dari keseluruhan bantuan likuiditas, temuan BPK
yang memberikan disclaimer itu tidak perlu terjadi. Penentuan pembebanan
pembiayaan BLBI yang menjadi masalah karena dinilai ada penggunaan dan
penyaluran yang tidak selayaknya harus dipisahkan dari kebijakan memberikan
BLBI itu sendiri yang mendasarkan diri atas ketentuan perundangan dan
kebijakan pemerintah. Pertimbangan pembebanan pembiayaan BLBI kepada
APBN adalah adanya tuntutan agar semua fasilitas bantuan likuiditas serta subsidi
yang merupakan bagian dari kebijakan pemerintah dilaksanakan secara
transparan. Cara yang terbaik untuk terjadinya transparansi dalam kegiatan ini,
yaitu dicantumkan dalam APBN yang penyusunannya menyangkut pengawasan
oleh wakil-wakil rakyat di DPR.
5889 Dalam waktu krisis yang berkembang sebagai proses yang berdampak
penularan (contagious), perkembangan terjadi sangat cepat dan tidak pasti.
Perkembangan keadaan suatu bank, dari solven tetapi menghadapi masalah
kekurangan likuiditas atau illiquid menjadi tidak solven, terjadi sangat cepat.
Dalam krisis, insolvency pada dasarnya telah melanda sektor perbankan Indonesia
pada akhir 1997. Pada dasarnya, sistem perbankan terancam bangkrut. Kebijakan
memberikan bantuan likuiditas oleh BI kemudian menyangkut banyak bank. Akan
tetapi, dasar pertimbangannya tetap sama untuk mempertahankan sistem
pembayaran dan sistem perbankan. Pemberian BLBI tidak untuk menyelamatkan
masing-masing bank secara individu, apalagi menyelamatkan aset pemilik bank.
Ini tidak pernah menjadi dasar pertimbangan langkah memberikan bantuan
likuiditas.
5890 Sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sistem
pembayaran karena perbankan merupakan lembaga perantara yang vital di
dalamnya, BI bertanggung jawab untuk pemeliharaan kestabilan sistem
perbankan. Pada waktu terjadi krisis likuiditas, masalah yang dihadapi adalah
pilihan antara langsung menutup semua bank yang mengalami masalah likuiditas
dengan akibat hancurnya sistem perbankan dan dengan demikian sistem
pembayaran, atau melakukan tindakan untuk menyelamatkan sektor perbankan
dan sistem pembayaran nasional melalui pemberian bantuan likuiditas kepada
perbankan, yang menyangkut pembiayaan sangat besar.
5891 Penilaian terhadap langkah yang dilakukan dalam memberikan BLBI harus
dikaitkan dengan kondisi krisis keuangan yang sangat berbeda dengan kondisi
normal. Pemberian BLBI secara besar-besaran terjadi karena krisis yang terjadi, di
mana banyak bank mengalami krisis likuiditas. Dalam keadaan normal, tidak
masuk akal terjadi permintaan bantuan likuiditas dari perbankan secara besar-
besaran. Oleh karena itu, tidak mungkin terjadi pemberian BLBI dalam jumlah
yang sangat besar. Dalam keadaan normal, perbankan tidak mempunyai dorongan
maupun kepentingan untuk mengajukan permintaan bantuan likuiditas karena
71
besarnya suku bunga yang harus dibayar dan keengganan untuk diketahui bank-
bank lain. Sebaliknya, BI tidak akan memberikan bantuan likuiditas, kalau bank-
bank tidak mengajukan permintaan untuk menggunakan fasilitas tersebut.
Sebelum krisis – antara akhir 1996 dan April 1997 – BI telah mengajukan usul untuk
menutup sejumlah bank. Akan tetapi, izin untuk pelaksanaannya tidak diperoleh
dari Presiden. Kemudian sebagai langkah untuk mengatasi krisis, dalam program
dengan dukungan IMF (stand-by arrangement) akhir Oktober 1997, diizinkan
untuk melakukan likuidasi 16 bank. Malangnya, dampak dari penutupan bank
terbalik dari yang diharapkan, dan kepercayaan pasar dan masyarakat terhadap
perbankan dan manajemen pemerintah justru hilang. Dalam keadaan demikian,
pemerintah kembali tidak berani melakukan penutupan bank. Ketakutan
pemerintah untuk menutup bank diumumkan kembali oleh Presiden pada Januari
1998, diperkuat dengan pengumuman mengenai penerapan sistem jaminan
menyeluruh (blanket guarantee). Pemberian bantuan likuiditas perbankan
merupakan alternatif yang ada karena tidak dimungkinkan melakukan penutupan
bank.
Mengenai ada atau tidaknya penyelewengan penggunaan fasilitas bantuan likuiditas,
ini sepenuhnya ada pada tindakan bank-bank penerima BLBI. BI akan mengetahui
penggunaan bantuan likuiditas ini berdasarkan laporan bank-bank penerima yang
dalam pelaksanaan pengawasan bank oleh BI wajib menyampaikan laporan
kegiatan mereka.
Tabel 2.1 Bantuan Likuiditas BI 1997-1999 (Posisi akhir periode, dalam miliar rupiah)
Keterangan:
Pertama kali merupakan dana talangan kepada pemerintah untuk membayar pemilik deposito
dan tabungan sampai maksimum 20 juta rupiah pada 16 bank yang dilikuidasi 1 November
1997.
Untuk menutup saldo debet bank-bank dalam bentuk Fasilitas Fasdis, pertama diberikan bulan
Agustus 1998.
Fasilitas diskonto bentuk baru diberikan mulai Maret 1998.
72
4Untuk menggantikan Fasdis I, II dan overdraft yang diberikan BI kepada perbankan
sebelumnya. SBPU Khusus ini diberikan pada akhir Desember 1997.
Diberikan pada perbankan untuk menutup tunggakan pinjaman trade financing dalam rangka
Frankfurt Agreement, Juni 1998.
Sumber: diolah dari IMF, Indonesia: Statistical Appendix, (Washington DC: IMF), October 2000,
Tabel 30, halaman 33.
73
talangan bank terhadap
likuidasi dan bank nasabah bank
dibekukan likuidasi dan
BBO
12 Jaminan Blanket Sejak
Pemerintah guarantee 26/1/1998
terhadap s/d
kewajiban 31/1/2000
pembayaran bank
umum
13 Jaminan Blanket 26/1/1998
Pemerintah guarantee s/d
terhadap 31/1/2000
kewajiban
pembayaran BPR
14 Dana talangan Maksimum 2 Valas: Pulihkan Pembayaran
untuk bulan LIBOR 1 kepercayaan setelah
pembayaran tahun + terhadap 30/6/1998
kewajiban luar 10% Rupiah perbankan
negeri bank dalam SBI 1 tahun nasional
rangka trade + 2%
finance dan
interbank debt
arrears
15 Jaminan Untuk
pembiayaan menggairahkan
perdagangan perdagangan
internasional internasional
Tentu saja, tidak adanya bank sentral yang independen tidak dapat dikatakan
sebagai penyebab terjadinya krisis di Indonesia atau di negara-negara lain. Akan
tetapi, apa yang dialami negara-negara Asia pada waktu krisis, sebagaimana terjadi
di Indonesia, menunjukkan bahwa independen atau tidaknya bank sentral
menentukan efektif atau tidaknya upaya untuk mengatasi krisis keuangan dan
perbankan yang melanda ekonomi nasional berbagai negara. Menurut saya, krisis
Asia memberi dukungan argumen pengelolaan kebijakan ekonomi makro dalam
perekonomian nasional. Sebagai pendekatan dalam sistem ekonomi yang
diterapkan dalam suatu negara, bank sentral yang independen dengan tugas dan
fungsi yang jelas serta didukung oleh kelembagaan yang memadai merupakan
persyaratan yang sangat penting untuk terciptanya sistem perbankan yang kuat.
74
Adanya bank sentral yang independen dalam ekonomi nasional semakin
diterima masyarakat, meskipun tidak selalu jelas mengapa demikian. Pada
umumnya, dalam perekonomian nasional yang mendasarkan diri pada bekerjanya
pasar, maka diperlukan adanya bank sentral yang independen. Mungkin dapat
dikatakan bahwa, semakin bebas sistem ekonomi masyarakat, semakin diperlukan
kehadiran suatu bank sentral yang independen. Bank sentral yang independen telah
dianggap merupakan persyaratan untuk perbaikan governance dan transparansi
dari dunia usaha dalam setiap perekonomian nasional yang semakin menyatu
dengan ekonomi global. Sebagai misal, dalam tahap akhir persiapan pembentukan
monetary union untuk Masyarakat Eropa (European Union), adanya bank sentral
yang independen di masing-masing perekonomian dijadikan salah satu persyaratan
dalam aspek moneter bagi negara yang akan bergabung (Eichengreen, 1997, hal,
215). Persyaratan ini telah menjadi pendorong dilaksanakannya perubahan status
bank sentral di negara- negara yang akan masuk ke dalam Masyarakat Eropa, di
mana bank sentral yang ada pada waktu itu belum berstatus independen, termasuk
Inggris dan Perancis.
Sejak bergulir globalisasi pada awal 1980-an, dan terutama sejak 1990-an,
banyak negara berkembang dan negara-negara yang ekonominya dalam transisi,
seolah-olah berlomba membuka perekonomian masing-masing dengan berbagai
langkah liberalisasi menuju ke ekonomi pasar. Bersamaan dengan ini, di banyak
negara tersebut juga terjadi pemberian status independen kepada bank sentral
masing-masing negara. Di Asia dan di negara-negara lain, pemberian status
independen kepada bank sentral merupakan salah satu butir dalam program yang
disusun bersama IMF dari berbagai negara dalam usaha untuk mengatasi krisis
yang melanda Asia sejak Juli 1997. Untuk Indonesia, keputusan memberikan
otonomi kepada BI dalam perumusan kebijakan moneter sebagai unsur pokok
independensi bank sentral, dimasukkan sebagai program reformasi keuangan,
sebagaimana disebutkan dalam butir 22 LoI II. Oleh karena itu, bank sentral yang
independen bagi suatu perekonomian boleh dikatakan telah menjadi conventional
wisdom baru.
76
Stanley Fischer, “Modern Central Banking”, dalam F. Capie et.al., The Future of Central Banking. 1994.
Cambridge: Cambridge University Press
75
Meskipun sistem pengelolaan ekonomi nasional yang diterapkan di suatu negara
tidak selalu sama dengan yang lain, tetapi pada kebanyakan sistem yang dewasa ini
diterapkan, bank sentral biasanya menjalankan fungsi yang menyangkut
pengelolaan moneter, penyelenggaraan sistem pembayaran, dan dalam berbagai
sistem, fungsi dan tugas pengawasan perbankan.77 Pada Masyarakat Eropa, dengan
dibentuknya bank sentral baru, European Central Bank (ECB), secara jelas
disebutkan bahwa sasaran utamanya adalah menjaga kestabilan harga. Kemudian
atas dasar ini ditentukan empat tugas ECB yang meliputi (i) merumuskan dan
melaksanakan kebijakan moneter, (ii) menyelenggarakan pengelolaan valuta asing,
memegang dan mengelola cadangan devisa, dan (iv) mengembangkan sistem
pembayaran.78
Mengenai hal ini perlu lebih dahulu ditekankan bahwa bank sentral pada
umumnya memang menjalankan berbagai macam fungsi karena mempunyai
sasaran yang beragam pula dan dengan demikian tugas utama maupun
tambahannya juga beragam. Pada umumnya, fungsi dan tugas bank sentral dapat
digambarkan sebagai berikut: dengan menguasai jumlah uang primer, bank sentral
bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan jumlah uang dan kredit, dan
karena itu juga penentuan suku bunga. Dalam kasus-kasus tertentu, penentuan suku
bunga dilakukan oleh pemerintah dan hanya pengelolaannya diserahkan kepada
bank sentral, seperti pada Bank of England sebelum reformasi 1994.
Bank sentral menentukan tingkat dan dalam berbagai sistem juga memegang
cadangan wajib dari bank-bank umum. Di Indonesia, liberalisasi perbankan
dilakukan bersamaan dengan penurunan dari besarnya cadangan wajib bagi bank-
bank umum. Pada 1983, dengan kebijakan yang dikenal sebagai Pakjun 1983,
cadangan wajib bank diturunkan dari 30 persen dari besarnya deposito menjadi 15
persen. Pada liberalisasi berikutnya tahun 1988 (Pakto) jumlah ini diturunkan lagi
menjadi hanya 2 persen, dan ditentukan bahwa bank boleh menyimpan cadangan
Pembahasan mengenai permasalahan ini untuk Negara-negara maju, lihat Stanley Fischer, “Modern Central
Banking”, dalam The Future of Central Banking: The Tercentenery Symposium of the Bank of England,
disunting Forest Capie, et. al., Cambridge: Cambridge University Press, 1994. Sedangkan untuk negara-negara
berkembang pembahasan serupa, lihat, Maxwell J. Fry, et al, Central Banking in Developing Countries, London:
Routledge, International Thomson Publishing Company, 1996
Robert C. Effros, ed., Current Legal Issues Affecting Central Banks, Washington, DC: International Monetary
Fund, July 1995, hal. xiii dan 360
76
wajib dalam kas masing-masing bank. Setelah beberapa waktu, saya mengajukan
usul untuk mengubah ketentuan ini, akhirnya Dewan Moneter menyetujui untuk
dilakukan penyesuaian dari ketentuan cadangan wajib bank. Atas dasar ini, BI
menaikkan cadangan wajib bank menjadi 3 persen mulai tahun 1995 dan 5 persen
mulai tahun 1996, dengan keharusan bagi bank-bank menyimpan cadangan wajib
mereka di dalam giro pada BI.
Perkembangan yang pesat dari lembaga keuangan bukan bank dan pasar modal
di Indonesia dan di banyak negara berkembang tersebut belum menggantikan peran
bank dalam sistem pembayaran nasional. Bahkan dapat dipastikan bahwa peran
bank dalam sistem pembayaran nasional di banyak negara berkembang, termasuk
Indonesia, masih sangat dominan. Dalam keadaan ini, pada waktu timbul krisis
perbankan, masalahnya menjadi sangat besar karena langsung berkaitan dengan
sistem pembayaran nasional yang berfungsi menunjang kehidupan dan
perkembangan kegiatan ekonomi di masyarakat.
Untuk banyak negara berkembang, bank sentral pada awalnya lebih banyak
berfungsi sebagai alat pemerintah. Bank sentral banyak digunakan sebagai sarana
untuk membiayai defisit anggaran pemerintah dengan cara memberi pinjaman
Kebijakan moneter merupakan salah satu fungsi pokok bank sentral dalam
sistem ekonomi pasar. Dalam kaitan ini, sistem dengan bank sentral yang
independen dianggap lebih memberi jaminan untuk tercapainya sasaran kestabilan
moneter dibandingkan dengan sistem lain. Lebih jauh sering dikatakan bahwa
kestabilan moneter diperlukan untuk mendukung usaha meningkatkan
pertumbuhan.
Lihat, “Survey, The World Economy”, dalam suplemen The Economist, 25 September 1999, hal. 4.
79
konsep bank sentral yang independen tampaknya masih harus lebih disesuaikan
lagi.
BAB III
80
1. Penyelesaian Kredit Bermasalah di Jepang 81
Pada tahun 1997 beberapa lembaga keuangan/perbankan besar di Jepang
mengalami krisis likuiditas dan diikuti dengan jatuhnya beberapa perusahaan sekuritas.
Kondisi tersebut telah membawa Jepang ke dalam krisis ekonomi yang juga melanda
sebagian besar negara di dunia. Meskipun Bank of Japan telah mengantisipasi
kemungkinan krisis ini, tetapi nampaknya Bank of Japan belum sepenuhnya mampu
mengatasi krisis tersebut karena cepat dan beratnya bobot krisis tersebut (bank-bank
jatuh on weekly basis).
Studi Banding Bank Indonesia dalam Mengurai Benang Kusut BLBI pada tahun 2002 edisi Ke II, terbitan Bank
Indonesia.
82
Ibid hlm 159.
81
1.1 Badan-Badan Khusus Penyelesaian Kredit Bermasalah Deposit Insurance
Corporotion (DIC)
DIC adalah suatu badan yang didirikan pada tahun 1971 untuk melaksanakan
sistem asuransi deposit Jepang sesuai dengan peraturan asuransi deposit yang
dikeluarkan pada tahun yang sama (1971). Sistem deposit asuransi ini dibentuk sesuai
dengan Deposit Insurance Law (UU Asuransi Deposito) yang bertujuan untuk melindungi
nasabah dan memelihara stabilitas keuangan dalam menghadapi persaingan yang
semakin meningkat akibat dari liberalisasi keuangan. DIC sebagai lembaga yang
melaksanakan sistem asuransi deposito mempunyai fungsi antara lain sebagai berikut:
Melakukan pembayaran deposito dan tagihan lainnya yang diasuransikan,
Memberikan bantuan keuangan dalam rangka merger transaksi lainnya yang terkait,
Melakukan pembelian deposito dan tagihan lainnya,
Mengambil alih kepengurusan oleh administrator keuangan atau wakilnya untuk
mengelola lembaga keuangan yang bangkrut,
Mengatur kegiatan operasional bank pendamping (bridge bank),
Penyertaan saham sebagai kompensasi dari pemberian bantuan keuangan dalam
bentuk dana talangan (the pay off cost) dan tindakan lainnya dalam rangka
manajemen krisis keuangan.
Dalam program ini, DIC bekerja sama dengan badan- badan lain seperti Bank of
Japan, Financial Services Agency dan Minister of Finance yang mempunyai peran penting
dalam mengatasi krisis ekonomi di Jepang. Pada tahun 1996, Pemerintah Jepang telah
mengamandemen UU Asuransi Deposito, yaitu dengan adanya pemberian blanked
guarantee dan pelaksanakan penagihan non performance loan,serta diikuti oleh
pendirian The Housting Loan Administration Corporation (HLAC) dan The Resolution an
Collection Bank (RCB), yang membantu penagihan aset lembaga keuangan yangditutup.
Amandemen ini memberikan kewenangan dan petunjuk baru bagi DIC dalam melakukan
penagihan kredit bermasalah (Non Performing Loan /NPL). Kewenangan ini nampak dari
adanya wewenang untuk melakukan criminal investigation (investigasi kriminal).
Dalam struktural DIC terdapat tiga organisasi, yaitu :
Operasi lembaga RCC ini juga menjangkau ke hal-hal yang berkaitan dengan tanggung
jawab pidana dan perdata dari setiap pihak yang terlibat, mencari aset yang disembunyikan
oleh lembaga keuangan dan wewenang penyidikan lainnya yang diberikan oleh DIC. Proses
dan cara penyelesaiannya merupakan suatu hierarki keterkaitan antara Pemerintah, Bank
83
Bank Indonesia op.cit., hlm. 164
83
of Japan, DIC dan RCC. Kerja sama dengan lembaga keuangan dan para debitur diperlukan
untuk mempermudah proses penyelidikan kredit bermasalah. Wewenang penyelidikan DIC
meliputi masalah pidana, penyelidikan lembaga keuangan, inspeksi onsite debitur dan
tempat kedudukan lainnya, memeriksa debitur dan pihak-pihak lainnya. Kalau kita melihat
bagan (1), maka kita dapat uraikan proses dan cara penyelesaian :
Penyelesaian terhadap lembaga keuangan yang bangkrut dengan memberikan bantuan
keuangan melalui rekening umum (General Account) dan rekening kegiatan khusus
(Special Operation Account).
Kegiatan penyehatan fungsi keuangan dan penguatan dini, yaitu :
0 Kegiatan penyehatan fungsi keuangan melalui rekening penyehatan fungsi keuangan
(Financial Function Revitalization Account), antara lain sebagai berikut :
0 Special publik management bank, yaitu akuisisi modal pinjaman.
1 DIC sebagai administrator keuangan, terhadap 7 bank, 1 shinkin bank, 2 credit
corporative.
2 Bridge Bank (bank pendamping).
3 Pembelian NPL lembaga keuangan yang mengalami kesulitan likuiditas.
1 Suntikan modal kepada bank-bank yang memerlukan modal
0 Berdasarkan ketentuan stabilitas keuangan melalui rekening penyehatan fungsi
keuangan.
1 Berdasarkan ketentuan penguatan dini fungsi keuangan melalui rekening
penguatan dini fungsi keuangan.
2 Penagihan NPL yang dilakukan oleh :
3 Penagihan oleh RCC
4 Penyelidikan yang dilakukan oleh DIC
2 Pengejaran tanggung jawab oleh DIC dan RCC terhadap :
0 Para pemilik/pengurus bank yang menyebabkan kebangkrutan lembaga keuangan
berupa tuntutan pidana atau gugatan perdata.
1 Tuntutan dan putusan lainnya, yaitu terhadap kecurangan dalam pelelangan resmi,
kejahatan, kecurangan dalam rangka penyehatan.
1.4 Investigasi dan Pertanggung-jawaban (Pursuit of Liability)
Dalam melakukan pengejaran tanggung jawab terhadap pengurus dan pemilik lembaga
keuangan atau para debitur, DIC mempunyai gugus tugas khusus (Special Task Force) yang
bekerja untuk mengungkap semua aset yang disembunyikan oleh debitur atau pemilik
lembaga keuangan tersebut. DIC juga melakukan investigasi bekerjasama dengan RCC yang
juga memiliki gugus tugas tersendiri dalam struktur organisasinya. Selanjutnya RCC
membawa debitur atau pengurus lembaga keuangan berdasarkan hasil investigasinya ke
lembaga penyidikan (polisi/kejaksaan) untuk perkara-perkara pidana (criminal) dan ke
pengadilan umum (court of justice) untuk klaim perkara-perkara perdata (claim for
damages civil lawsuit).
Untuk pengejaran tanggung jawab yang mengandung unsur pidana DIC dan RCC
telah berhasil menyelesaikan 29 tuduhan (Accusation) dan pengaduan (Claim) dalam
perkara pidana terhadap 64 tersangka di tahun fiskal 2000. Jika dihitung secara
kumulatif sejak Juni 1996 telah berjumlah 174. Perbuatan-perbuatan yang dituduhkan
terhadap pengurus atau pemilik lembaga keuangan yang bangkrut, antara lain sebagai
administratur keuangan di bawah UU Penyehatan Keuangan (Financial Revitalization)
84
DIC telah mengajukan dakwaan atas pemberian laporan/data elektromagnetik autentik
yang tidak benar (the accusation of untrue entry in the original of an officialy autenticated
electromagnetic record) terhadap 6 berkas eksekutif Tokyo Sowa Bank (Mei 2000),
tuduhan atas pelanggaran kepercayaan (breach of true) terhadap 3 berkas eksekutif
Nichinan Shikin Bank (Januari 2001), tuduhan atas pelanggaran kepercayaan atas 2
berkas eksekutif Niigata Chuo Bank (Februari 2001). Sedangkan bersama RCC, DIC
membawa tuduhan atas pelanggaran kepercayaan (breach of trust) terhadap 7 berkas
eksekutif Shonan Credit Coorperatif.
BI. Mengurai Benang Kusut BLBI edisi II.(Jakarta: Katalog dalam terbitan BI, November 2002) hal.156
85
lembaga ini menggunakan pertanggung-jawaban manajerial atau kepengurusan dan
pertanggung-jawaban pihak ketiga sebagai dasar penuntutannya. Untuk perkara-
perkara yang mengandung unsur pidana, maka pihak yang berwenang, yaitu
Kejaksaan atau Kepolisian (Investigative Authorities) akan melakukan penyelidikan
dan penyidikan berdasarkan laporan yang diperoleh dari DIC dan RCC (sebelumnya
HLAC dan RBC). Gugus tugas RCC dan DIC bertugas melakukan pengumpulan data
dan penyelidikan untuk diberikan kepada pihak yang berwenang. Dalam perkara
pidana ini pihak yang berwenang juga melakukan upaya penahanan dalam proses
penyidikannya dengan total 174 tersangka.
86
mengalihkan atau tindakan hukum lain terhadap kondominium tanpa
persetujuan bank pemberi kredit, memberikan pinjaman meskipun mengetahui
bahwa perusahaan yang bersangkutan dalam keadaan tidak bagus, sehingga
menyebabkan sulit untuk menagih.
Kasus menghambat pelaksanaan eksekusi (obstruction of enforced execution) yang
ditangani oleh RCC, kemudian diserahkan kepada Kejaksaan dan Kepolisian
Jepang yang dilakukan oleh debitur, antara lain dengan cara
mengaburkan/menyembunyikan aset dengan mengalihkan tagihan deposit dan
sewa ke account lain, kolusi dengan penyewa sesudah menerima perintah
penyitaan tagihan sewa dengan menyatakan jumlah sewa lebih rendah kepada
pengadilan dan menyembunyikan selisihnya, mengalihkan tagihan sewa ke
account debitur meskipun telah menerima perintah penyitaan tagihan sewa.
Kasus menghambat pelelangan dan pemalsuan dokumen elektromagnetik otentik
yang ditangani oleh RCC, kemudian diserahkan kepada Kepolisian Jepang. Kasus
ini dilakukan debitur lembaga keuangan dengan cara memberikan kontrak lease
palsu.
Kasus menghambat pelelangan dan dokumen dengan tandatangan dan segel palsu
yang ditangani oleh RCC, kemudian diserahkan kepada Kepolisian. Kasus ini
dilakukan oleh debitur lembaga keuangan dengan cara mengubah jangka waktu
pembayaran dalam perjanjian pembayaran kembali pada saat pembeli datang ke
pelelangan dan mengklaim ke petugas pengadilan bahwa keuntungan belum
didapat dan menunda putusan ijin penjualan.
Kasus menghambat pelaksanaan eksekusi dan pemalsuan data elektromagnetik
otentik kemudian bertindak seolah-olah telah menjual aset kepada anak
perusahaan dan mendaftarkan pengalihan hak tersebut.85
Sementara itu, sebagian penulis lain menyatakan, ada perbuatan hukum pemerintahan
bersegi dua (tweezijdige). Mereka mengakui adanya perjanjian yang diatur oleh hukum publik
seperti kortverband contract atau perjanjian kerja yang berlaku selama jangka pendek.
Meskipun dikenal adanya tindakan pemerintah yang bersegi dua, dari argumentasi masing-
masing penulis tampak bahwa pada prinsipnya semua tindakan pemerintahan dalam
menyelenggarakan tugas-tugas publik lebih merupakan tindakan sepihak atau bersegi satu. 86
Indroharto bahkan menyebutkan bahwa tindakan hukum tata usaha negara itu selalu
bersifat sepihak. Tindakan hukum tata usaha negara itu dikatakan bersifat sepihak, karena
Utrect E, Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Ictiar .1957. 91-92, Lihat juga Marbun - Moh Mahfud
hlm. 69-70
87
dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum atau usaha negara yang memiliki kekuatan hukum
itu pada akhirnya tergantung kepada kehendak sepihak dari badan atau jabatan tata usaha
negara yang memiliki wewenang pemerintahan untuk berbuat demikian. Pada perjanjian
kerja jangka pendek (konterband contract), yang dijadikan contoh hubungan hukum dua
pihak dalam hukum publik harus dianggap sebagai cara pelaksanaan tindakan pemerintahan
bukan esensi dari tindakan hukum pemerintahan itu sendiri. Dengan kata lain, sebagaimana
disebutkan W.F. Prins, yang lebih lazim terjadi ialah pernyataan kehendak pemerintah
dijadikan titik berat dalam pelaksanaannya, sedangkan kegiatan pihak yang bersangkutan,
yang melahirkan awal usahanya, menjadi tergeser ke belakang, sekalipun kemudian
ditentukan bahwa pihak yang bersangkutan harus menyetujui penawaran yang diberikan oleh
pemerintah kepadanya.87
Demikian pula pada izin usaha pertambangan dan konsesi pertambangan tidak dapat
dikatakan bahwa pihak yang bersangkutan berkesempatan untuk terlebih dahulu
menyatakan persetujuannya. Sebab izin pengusahaan pertambangan dan konsesi
pertambangan tersebut terjadinya justru karena keputusan pemerintah yang sifatnya
“sepihak” dan berlaku seketika.
Dalam suatu negara hukum setiap tindakan hukum pemerintahan selalu harus
didasarkan pada asas legalitas atau harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Artinya tindakan hukum pemerintahan itu pada dasarnya adalah tindakan yang
dilakukan dalam rangka melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau dalam rangka mengatur dan melayani kepentingan
umum yang dikristalisasikan dalam ketentuan undang-undang yang bersangkutan. Ketentuan
undang-undang ini melahirkan kewenangan tertentu bagi pemerintah untuk melakukan
tindakan hukum tertentu. Karena kewenangan ini hanya diberikan kepada organ
pemerintahan tertentu, tidak kepada pihak lain, tindakan hukum pemerintahan itu pada
dasarnya bersifat sepihak, bukan hasil persetujuan dengan pihak yang dikenai tindakan
hukum tersebut. Dalam hukum administrasi negara, hubungan hukum (rechtsbetrekking)
antara pemerintah, dalam kapasitasnya sebagai wakil dari jabatan pemerintahan bukan
dalam kapasitasnya selaku wakil dari badan pemerintahan, dengan seseorang atau badan
hukum perdata, tidak berada dalam kedudukan yang sejajar. Pemerintah memiliki kedudukan
khusus (de overhead als bijzonder person) sebagai satu-satunya pihak yang diserahi kewajiban
untuk mengatur dan menyelenggarakan kepentingan umum di mana dalam rangka
melaksanakan kewajiban ini kepada pemerintah diberikan wewenang membuat peraturan
perundang- undangan, menggunakan paksaan pemerintahan, atau menerapkan sanksi-sanksi
hukum. Kedudukan pemerintah yang tidak dimiliki oleh seseorang atau badan hukum perdata
ini menyebabkan hubungan hukum antara pemerintah dengan seseorang dan badan hukum
perdata bersifat ordinatif, berbeda halnya dengan hubungan hukum berdasarkan hukum
perdata, yang bertumpu pada asas otonomi dan kebebasan berkontrak. Hubungan hukum
berdasarkan hukum perdata bersifat sejajar. Pemerintah dalam kapasitasnya sebagai wakil
dari badan hukum pemerintahan yang bukan sebagai wakil dari jabatan pemerintahan dapat
mengadakan hubungan hukum berdasarkan hukum perdata dengan kedudukan yang sejajar
atau tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata. Meskipun hubungan
hukumnya bersifat ordinatif, pemerintah tidak dapat melakukan tindakan hukum secara
bebas dan semena-mena terhadap warga Negara. Sebagaimana telah disebutkan, tindakan
hukum pemerintah tetap terikat pada asas yang mendasari tindakan tersebut, yaitu asas
legalitas. Kalaupun kemudian dikenal adanya tindakan hukum dua pihak atau lebih, ini hanya
menyangkut mengenai cara-cara
87
Prins,WF dan R. Kosim Adisapoetra. 1983. Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara. Pradnya Paramita,
hlm. 58.
88
merealisasikan tindakan hukum tersebut. Di atas disebutkan bahwa tindakan hukum dua
pihak diatur dengan peraturan bersama. Kemunculan peraturan bersama pada tugas dan
urusan pemerintahan, yaitu ketika tugas dan urusan pemerintahan tertentu kebetulan ada
kesamaan dengan organ pemerintahan lainnya atau karena ada tujuan agar pelaksanaan
tugas dan urusan tersebut dapat terselenggara secara efektif dan efisien dengan cara
dilaksanakan secara bersama-sama.
Di dalam praktik, urusan pemerintahan itu tidak selalu dijalankan sendiri oleh
pemerintah seperti presiden sebagai kepala pemerintahan beserta perangkatnya atau kepala
daerah beserta perangkatnya, namun dijalankan pula oleh pihak-pihak lain bahkan pihak
swasta yang diberi wewenang untuk menjalankan urusan pemerintahan. E. Utrecht
menyebutkan beberapa cara pelaksanaan urusan pemerintahan, yaitu :
Sepanjang prinsip negara hukum, yaitu asas etmatigheid van bestuur, yang membawa
konsekuensi bahwa wewenang pemerintahan itu sudah ditentukan, masih dijadikan sendi
utama penyelenggaraan pemerintahan, maka tetaplah bahwa prinsip tindakan hukum
pemerintahan yang bersifat sepihak tersebut tidak dapat dikesampingkan, meskipun tugas-
tugas dan pekerjaan pemerintahan dapat dijalankan dengan cara kerja sama (samenwerking),
perjanjian (overeenkomst), perizinan (vergunning), konsesi (consessie), dan sebagainya.
89
CDO (Cease and Decease Order) kepada bank penerima BLBI guna mengontrol
penggunaan dana dan mengurangi risiko.
Posisi akumulatif BLBI sampai dengan 31 Oktober 1997 telah mencapai Rp. 137,5
triliun. Setelah dilaksanakannya likuidasi 16 bank yang disepakati oleh Pemerintah atas
rekomendasi IMF pada awal November 1997 telah terjadi rush pada beberapa bank yang
kemudian mengalami kesulitan likuiditas dan BI telah menyalurkan BLBI sesuai dengan
kebijakan pokok yang telah ditetapkan sebelumnya.
Atas dasar surat persetujuan dari Menteri Sekretaris Negara kepada BI No. R-
183/M.Sesneg/12/1997, tanggal 27 Desember 1997 tentang konversi saldo debet dan
unsur BLBI lainnya menjadi SBPUK atas usul BI, maka Direksi BI telah mengambil
keputusan melalui SK Direksi No. 30/50/DIR/UK tanggal 30 Desember 1997 tentang
SBPUK. Alasan utama diterbitkannya SBPUK adalah agar bank yang akan diterbitkan
pada akhir tahun tidak berdampak rush dan mengamankan saldo debet diikat secara
hukum.
Meskipun pembentukan BPPN melalui Keppres No. 27 Tahun 1998 pada tanggal 26
Januari 1998, tetapi pelaksanaan pemindahan tanggung jawab materiil tidak bisa
dilaksanakan pada saat yang bersamaan karena pemindahan tanggung jawab formil dan
90
materiil memerlukan pengaturan pelaksanaannya yang membutuhkan pentahapan
waktu dan kesiapan kelembagaan, baik di tingkat BPPN maupun pada tingkat BI sendiri.
Pada tanggal 27 Maret 1998, BPPN menulis surat kepada BI dengan No.
S70/PROG/BPPN/1998 tentang saldo debet, fasdis I & II dan SBPUK bank-bank
penerima BLBI dialihkan menjadi tagihan BI kepada BPPN. Oleh karena pemberian BLBI
masih berlanjut, BI meminta tanggung jawab tagihan pengembalian BLBI kepada BPPN
dan BPPN menerbitkan surat untuk BI pada tanggal 2 April 1998 dengan No.
S185/PROG/BPPN/1998 yang menyatakan bahwa saldo debet bank setelah 1 April 1998
agar dialihkan sebagai tagihan BI kepada BPPN. Atas dasar proses seperti dikemukakan
sebelumnya, selanjutnya BI menerbitkan SK Direksi BI No. 31/2/Kep/Dir tanggal 3 April
1998 tentang “pendelegasian wewenang penjatuhan sanksi administratif menurut Pasal
52 dan 53 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan BPPN”.
Oleh karena situasi dan sebab-sebab lain yang mengakibatkan makin memburuknya
situasi kondisi pada saat itu antara lain jatuhnya Pemerintahan Soeharto pada 21 Mei
1998 telah terjadi 8 eskalasi BLBI untuk bank-bank di bawah BPPN yang meningkat
sangat besar, maka pada tanggal 10 Juli 1009, BI dan Pemerintah mengambil kebijakan
agar “pengawasan atau supervisi” (terhadap BBO dan BTO) bank-bank yang berada di
bawah BPPN diambil alih oleh BI kembali, sedangkan pengendalian/pengelolaannya
tetap berada di bawah BPPN.
91
Peningkatan akumulasi BLBI pada bulan Juli 2008 pada saat itu mencapai jumlah Rp.
153,9 triliun yang sesudah pengambilalihan pengawasan atau supervisi oleh BI mula-
mula pada bulan Agustus 1998 naik menjadi Rp. 156,5 triliun, dan pada bulan-bulan
berikutnya telah menurun sampai pada akhir tahun 1998 menjadi Rp. 147,7 triliun, dan
pada 29 Januari 1999 telah berkurang menjadi Rp. 145,5 triliun.
2.1.1.1 Jumlah BLBI sebesar Rp. 144,536 triliun yang telah diganti dengan “Surat Utang
Pemerintah” yang telah disepakati oleh pemerintah dan BI melalui dokumen
“Persetujuan Bersama” pada tanggal 6 Februari 1999 dimana kewajiban bunga
atas surat utang itu tidak dibayar oleh pemerintah, diusulkan untuk diganti
dengan konsep “Perpetual Promisory Notes” (PPN) yang kemudian
disempurnakan menjadi “Redeemable Perpetual Notes” (RPN) dengan
mempertimbangkan “pembagian beban” (burden sharing) antara pemerintah dan
BI. Baik dalam PPN maupun RPN ditetapkan jangka waktu maupun tingkat bunga
yang merupakan pokok dalam “Promisory note” sebagai “surat janji bayar” yang
secara umum harus laku bila dijual di pasar modal atau pasar bebas.
2.1.1.2 Pembagian tanggung jawab (burden sharing) dimana dari utang BLBI sebesar Rp.
144.536 triliun, BI menanggung sebesar Rp. 24,5 triliun. Kesepakatan ini
ditindaklanjuti oleh BI dengan menerbitkan surat utang BI kepada pemerintah
sebesar Rp. 24,5 triliun yang kemudian pada tanggal 2 April 2001, kesepakatan
ini oleh Menteri Keuangan dimintakan pendapat dan konfirmasi Komisi IX DPR,
tetapi sampai saat ini konfirmasi itu belum diberikan.
2.1.1.3 Dengan memperhatikan saran dan pandangan Tim Ahli Internasional yang
dipimpin oleh Paul A. Volcker, maka dokumen PPN ataupun RPN supaya diganti
dengan Capital Maintenance Notes (CMN) untuk merestrukturisasi surat utang
BLBI sebesar Rp. 144,536 triliun ditambah Rp. 14,5 triliun untuk tambahan BLBI
sesudah Januari 1999. Dalam restrukturisasi utang ini, dengan
mempertimbangkan posisi kecukupan modal BI guna memperkuat permodalan
BI dalam jangka panjang diusulkan sebagai berikut :
Dalam jumlah CMN sebesar Rp. 134,5 triliun ini netto (bersih) dalam arti bahwa
tunggakan bunga pokok dan perhitungan indeksasi yang diberlakukan kepada Surat
Utang Pemerintah yang ada, tidak dikenakan. Di dalam CMN tidak diterapkan “jangka
waktu” dan “bunga” dengan alasan bahwa pelunasan pokok dan bunga tergantung pada
posisi perbandingan (rasio) modal BI terhadap kewajiban moneternya. Menurut Volcker,
92
tingkat rasio modal BI yang “aman” adalah sebesar 5% sampai dengan 8%. Apabila rasio
modal turun di bawah 5%, maka pemerintah wajib menutup kekurangan modal BI dari
APBN, sampai rasionya kembali menjadi 5%. Sebaliknya apabila rasio modal dengan
kewajiban moneternya di atas 8% akan digunakan untuk mengurangi atau melunasi
jumlah CMN yang masih outstanding. Konsep CMN ini masih mendapatkan reaksi yang
cukup kuat dari BPK sebagai auditor resmi BI dimana CMN yang tidak ada jangka waktu
dan tingkat bunga yang dikenakan, tidak akan laku dijual di pasar modal, sehingga nilai
CMN sebagai surat berharga dianggap tidak sesuai dengan prinsip akuntansi yang umum.
93
Kedudukan BPPN yang disebutkan oleh Keputusan Presiden No. 27 Tahun 1998
bersifat di bawah Menteri Keuangan memberikan gambaran bahwa BPPN merupakan
lembaga pemerintah dan bertindak atas nama pemerintah. Kondisi tersebut di atas
sempat menimbulkan penilaian oleh berbagai kalangan bahwa BPPN merupakan badan
koalisi yudisial yang berada di bawah pemerintah, sehingga memberikan moral hazard
bahwa rentan untuk diintervensi oleh pemerintah untuk hal-hal yang kurang memenuhi
asas good governance. Pergantian ketua BPPN sebanyak dua kali atau tiga pemimpin
dalam kurun waktu satu tahun dan lebih lanjut keberadaan BPPN selama lima tahun
mengalami pergantian sebanyak enam orang Ketua BPPN merupakan salah satu praktik
yang mendukung saratnya intervensi dimaksud. Keberadaan BPPN kemudian diperkuat
dengan diadakannya pasal mengenai badan khusus dengan wewenang sebagaimana
halnya diembankan pada BPPN. Pasal tersebut mengisi amandemen Undang-Undang
Perbankan No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 yang disahkan pada bulan November 1998.
Dalam perjalanannya, BPPN kemudian lebih diarahkan mengemban misi untuk
memulihkan perekonomian melalui restrukturisasi bank-bank dan restrukturisasi uang
perusahaan serta mengoptimalkan pengembalian uang negara guna mengurangi beban
terhadap anggaran belanja negara. Misi yang cukup berat dan sarat dengan upaya
pengembalian aset negara tersebut membuat pemerintah mengeluarkan perubahan
kedua atas Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1999 dengan Peraturan Pemerintah No.
99 Tahun 1999 yang antara lain menyebutkan bahwa untuk memperlancar pelaksanaan
tugas dan meningkatkan transparasi BPPN, dibentuk komite pengawas yang berfungsi
mengkaji strategi dan kebijakan BPPN agar sejalan dengan praktik-praktik yang berlaku
secara internasional dan memenuhi asas keterbukaan dan transparansi yang mengacu
pada ekonomi pasar serta melakukan evaluasi atas pelaksanaan BPPN guna memastikan
pelaksanaannya telah sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan BPPN. Bobot
kewenangan yang lebih dominan di bidang pengembalian aset negara semakin jelas
dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2001 yang mengalihkan
kedudukan, tugas, dan kewenangan Menteri Keuangan atas BPPN kepada Menteri Badan
Usaha Milik Negara (BUMN).
Kewenangan BPPN yang banyak sekali tersebut di atas khususnya yang
mendasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1999 justru menjadi kendala
saat terjadi sengketa dan dibawa ke Pengadilan. Sementara para hakim berpandangan
bahwa kewenangan yang didasari oleh Undang-Undang akan memiliki kekuatan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kewenangan yang didasari oleh peraturan pemerintah,
sehingga dari kasus hukum yang dihadapi BPPN hanya sedikit sekali yang dimenangkan
perkaranya di pengadilan.88
Perjalanan perubahan dasar hukum pendirian dan dasar hukum kewenangan BPPN
sebagai lembaga yang penting dalam menyelesaikan krisis perbankan di Indonesia
memberikan pengaruh yang besar terhadap kualitas dan efektivitas pencapaian sasaran.
Perubahan yang cukup sering tidak saja dalam bentuk produk hukumnya, melainkan
pergeseran sasaran kewenangan serta strukturnya membawa efek ketidakkonsistenan
sekaligus menghambat penyelesaiannya.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden No. 27 Tahun 1998 dengan tugas pokok antara lain :
88
I Putu Gede Ary Suta dan Soebowo Musa. 2004. BPPN The End. Jakarta; Yayasan Sad Satria Bhakti, hal.
292
94
Melakukan pengadministrasian jaminan yang diberikan pemerintah kepada Bank Umum
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1998. 89
Melakukan pengawasan, pembinaan, dan upaya penyehatan termasuk restrukturisasi bank
yang oleh Bank Indonesia dinyatakan tidak sehat.
Melakukan tindakan hukum lain yang diperlukan dalam rangka penyehatan bank yang tidak
sehat sebagaimana dimaksud pada butir 2.
Menurut Keputusan Presiden tersebut, kedudukan BPPN berada di bawah Menteri
Keuangan, dan keberadaannya sementara hingga tugasnya telah tercapai dan BPPN
dapat dibubarkan serta segala kekayaannya menjadi milik negara.
Pilihan kebijakan pemerintah terhadap kasus BLBI (Jilid Kedua) pasca-Inpres ini
telah menempatkan pihak pemerintah (Menteri Keuangan, diwakili oleh BPPN) dan
para obligor sebagai para pihak yang sederajat dalam perjanjian tersebut (MSAA,
MRNIA, APU, dan SKL) yang tunduk kepada rezim hukum perdata, khususnya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1995 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Penempatan status hukum para pihak ini tidak
tepat dilihat dari substansi pokok dari apa yang menjadi kesepakatan di mana pihak
obligor merupakan pihak yang berutang kepada Negara, dan pihak pemerintah
merupakan pihak yang menuntut dipenuhinya pengembalian utang para obligor ini.
Posisi para pihak ini jelas tidak memiliki kesetaraan di muka hukum sehingga perjanjian
(MSAA, MRNIA, APU, dan SKL) bukan merupakan bentuk perjanjian murni bersifat
keperdataan, melainkan merupakan bentuk perjanjian yang bersifat memaksa
(dwangen overeenkomst ) atau bentuk perjanjian “semi keperdataan”. Padanan dalam
sistem hukum “Common Law” ialah bentuk “INJUNCTION”.90
90Black Laws Dictionary (1996) hlm. 816 mendefinisikan: “A court order commanding or preventing an action”.
Perjanjian berdasarkan Inpres 2002 ini dapat digolongkan ke dalam, “preventive injunction” =an injuction
designed to prevent a loss or injury in the future”, atau dapat dimasukkan sebagai “preliminary injuction” = “A
temporary injunction issued before or during trial to prevent an irreparable injury from occurring before the court
has a chance to decide the case”. Bedanya dengan pola penyelesaian kasus BLBI, ialah bahwa injuction harus
ditetapkan oleh penetapan pengadilan, bukan oleh keputusan badan eksekutif.
95
faktor tidak adanya itikad baik dari para obligor tersebut yang “didukung” oleh peranan
BPPN ketika itu sebagai lembaga pemerintah satu-satunya yang diberi mandat untuk
menyelesaikan aset-aset obligor yang tidak kooperatif. Itikad tidak baik para obligor
antara lain telah menjaminkan aset yang dinilai sangat rendah dibandingkan dengan
nilai kewajiban yang harus dilunasinya.
3. Penanganan Kasus BLBI Sebelum Terbentuknya KPK
Megaskandal itu bernama BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Jumlahnya
tidak tanggung-tanggung yakni sedikitnya bernilai Rp 320 triliun! Tragisnya, kerugian
negara itu kini menjadi beban seluruh rakyat. Kenaikan pajak, harga bahan bakar minyak
(BBM), tarif dasar listrik (TDL). dan sebagainya merupakan dampak langsung dari
skandal mahadahsyat yang melibatkan konglomerat kakap semacam Om Liem (Liem
Sioe Liong alias Soedono Salim).
Lebih tragis lagi, tatkala hukum di Indonesia mulai ditegakkan, para penilep uang
rakyat lewat BLBI dan kredit yang melanggar batas maksimum pemberian kredit
(BMPK) justru masih melenggang bebas di luar negeri. Mereka seakan hidup tanpa dosa.
Bahkan, Soedono Salim dan Anthony Salim hingga kini belum diproses secara hukum.
Menghadap Kejaksaan Agung pun belum pernah mereka alami. Padahal, keduanyu
bertanggungjawab terhadap beban negara sebesar Rp. 52,7 triliun.
Total BLBI sedikitnya Rp. 320 triliun. Terdiri dari Rp. 175,3 triliun BLBI yang
diterima bank BUMN dan Rp. 144,5 triliun diterima 48 bank umum swasta nasional.
Bank pemerintah penerima BLBI adalah BRI Rp. 8,174 triliun, BNI Rp. 2,550 triliun, BTN
Rp. 1,453 triliun, dan empat bank yang tergabung dalam Bank Mandiri Rp. 163,195
triliun. Keempat bank yang menjadi cikal bakal Bank Mandiri adalah Bank Exim Rp.
101,847 triliun, Bapindo Rp. 40,396 triliun, Bank Bumi Daya (BBD) Rp. 11,279 triliun,
dan Bank Dagang Negara (BDN) Rp. 8,673 triliun.
Selama ini, pemerintah hanya memperhatikan BLBI senilai Rp. 144,5 triliun yang
diterima 48 bank umum swasta nasional. Bagaimana dengan BLBI sebesar Rp. 175,3
triliun yang diterima bank BUMN? Apakah tak ada debitor besar yang ikut bertanggung
jawab? Sangat mungkin, konglomerat orde baru seperti Soedono Salim, Usman
Admadjaja, Eka Tjipta Widjaja, dan Mochtar Riady ikut terlibat.
Presiden Center for Banking Crisis (CBC) Deni Daruri mengatakan, sebagian BLBI
yang diterima bank-bank pemerintah diberikan kepada sejumlah konglomerat. Cuma,
hingga saat ini, aliran BLBI itu ditutup-tutupi.
Dari dalam jumlah itu, obligasi yang diterbitkan untuk menutup BLBI yang sudah
dikucurkan ke 48 bank swasta sebesar Rp. 144,5 triliun, obligasi penjaminan sebesar
Rp. 73,78 triliun, obligasi kredit program Rp. 9,97 triliun, dan obligasi rekap (obligasi
yang diterbitkan untuk merekapitalisasi perbankan) sebesar Rp. 426,8 triliun. Pada
APBN 2001, bunga obligasi yang harus dibayar sekitar Rp. 61 triliun. Jumlah itu bisa
membesar lagi kalau suku bunga meningkat. Pada tahun- tahun akan datang, beban
obligasi akan terus membesar. Pada periode 2004-2009 bunga dan cicilan pokok
obligasi yang ditanggung APBN bisa mencapai Rp. 100 triliun pertahun.
96
Dana Rp. 61 triliun untuk membayar bunga obligasi tahun 2001 bukanlah angka
kecil. Angka itu sekitar 33 persen dari total penerimaan pajak pada APBN 2001 atau 64
persen dari pajak penghasilan (PPh) tahun yang sama. Ulah sejumlah konglomerat,
bankir dan pejabat membuat seluruh rakyat ikut menderita. Karena seperti telah
dijelaskan, beban utang itu ditanggung oleh para pembayar pajak. Akibat bunga obligasi
yang begitu besar, biaya untuk pendidikan, kesehatan, perbaikan infrastruktur, dan
sebagainya tersedot. Pada tahun anggaran berjalan, pengeluaran pembangunan hanya
Rp. 46 triliun atau 75 persen dari bunga obligasi.
Kewajiban yang mencapai Rp. 655 triliun berupa obligasi itu hanya diimbangi oleh
aset sebesar Rp. 542 triliun yang kini dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN). Aset itu terdiri atas aset finansial atau kredit sebesar Rp. 271 triliun, aset
nonfinansial Rp 8 triliun, aset yang diserahkan sembilan grup sebesar Rp. 112,8 triliun,
dan investasi pemerintah di bank rekap dan bank take over (BTO) sebesar Rp. 132
triliun.
Itu angka di atas kertas. Dalam realitas, nilai aset itu sangat rendah. Hingga April
2001, dana segar, hasil penjualan aset, yang diterima pemerintah baru sekitar Rp. 40
triliun atau 7,3 persen dari total nilai aset yang tercantum saat penyerahan. Angka
recovery rate ini masih sangat jauh dari harapan. Dalam UU No 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004 disebutkan. recovery asset
diupayakan optimal hingga 70 persen pada tahun 2004.
Bisakah recovery rate aset sebesar 70 persen tercapai? Kemungkinan besar tidak.
Karena aset yang dialihkan dari bank beku operasi (BBO)/bank beku kegiatan usaha
(BBKU) ke BPPN umumnya aset jelek dan tak semuanya didukung aspek legal. Pada
akhir Mei 2001, masyarakat dikejutkan oleh keterangan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) yang menyatakan bahwa nilai aset yang diserahkan bank penerima BLBI hanya
sekitar Rp. 12 triliun atau 8,5 persen dari jumlah BLBI yang diterima 48 bank. Itu
berarti, pokok obligasi sebesar Rp. 144,5 triliun plus bunga harus ditutup oleh seluruh
rakyat lewat APBN.
Siapa penerima BLBI terbesar? Hasil audit BPK mengemukakan, pada awalnya,
penerima BLBI terbesar adalah Bank Central Asia (BCA) milik Soedono Salim. Tapi,
dalam perkembangan, sebagian dana BLBI itu bisa dikembalikan, sehingga pada 29
Januari 1999, posisi BLBI yang diterima BCA sebesar Rp. 26,6 triliun. Posisi BLBI
terbesar pada periode itu adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), yakni
sebesar Rp. 37 triliun. Peringkat ketiga dan keempat, adalah Bank Danamon Indonesia
sebesar Rp. 23 triliun dan Bank Umum Nasional (BUN) sebesar Rp. 12 triliun. BLBI
yang diterima BDNI, BCA, Danamon, dan BUN sebesar Rp. 98,7 triliun atau 68 persen
dari total BLBI yang dikucurkan ke 48 bank umum swasta.
3.2 Penyimpangan
Pada hasil audit BPK 31 Juli 2000 disebutkan, dari Rp. 144,5 triliun BLBI yang
dikucurkan ke 48 bank umum nasional itu, sebesar Rp. 138,4 triliun atau 96 persen
dinyatakan berpotensi merugikan negara, karena kurang jelas penggunaannya. Dari
jumlah itu, auditor resmi pemerintah itu menemukan penyimpangan Rp 84,8 triliun.
Yang mencengangkan, sebesar Rp. 22,5 triliun di antara BLBI yang menyimpang
itu digunakan untuk membiayai kontrak derivatif alias spekulasi valas. Pembelian
dolar AS besar -besaran tahun 1998 yang mcnghancurkan nilai rupiah hingga level
Rp. 16.000 per dolar AS, antara lain, dipicu oleh tindak spekulasi ini. Bank manakah
yang melakukan spekulasi valas dengan rupiah sebesar itu? Meski belum ada
97
informasi yang jelas, yang pasti, langkah itu efektif diambil oleh pihak yang memiliki
akses tinggi ke pusat kekuasaan atau pengambil keputusan penting di bidang politik
dan ekonomi.
Penyimpangan BLBI paling besar, demikian hasil audit BPKP itu, adalah spekulasi
valas, membiayai ekspansi kredit, membayar kewajiban kepada pihak terkait, dan
sebagainya. Sangat patut diduga, sebagian besar BLBI itu justru masuk ke kantung
pribadi. Saat ini perusahaan boleh terancam bangkrut, tapi pengusaha justru kaya
raya.
Selama periode September 1998 hingga April 1999, pemegang saham mayoritas
delapan bank penerima BLBI dan pelanggar BMPK sepakat dengan pemerintah
untuk menyelesaikan kewajiban mereka yang berjumlah total sekitar Rp 112 triliun.
Pemegang saham empat bank lainnya Pelita, Centris, Istismarat, dan Deka – tak
menandatangani kesepakatan.
Ada dua macam kesepakatan, yakni MSAA (master settlement and acquisition
agreement) dan MRNIA (master refinancing and noteassuances agreement).
Pemegang saham bank penerima BLBI dan pelanggar BMPK dipersilakan
menandatangani MSAA bila asetnya dinilai mampu menutup seluruh kewajiban. Para
penanda tangan MSAA adalah Soedono Salim dan Anthony Salim, Sjamsul Nursalim,
Bob Hasan, dan Sudwikatmono. Pada klausul MSAA disebutkan, dengan
menandatangani penyerahan aset, mereka dilepaskan dari tuntutan pidana (release
and discharge).
98
Jika aset yang diserahkan dinilai tak mencukupi para pemegang saham bank
penerima BLBI yang sekaligus debitor pelanggar BMPK itu tak boleh
menandatangani MSAA, melainkan MRNIA. Pada naskah perjanjian MRNIA
disebutkan, para penanda tangan harus menyerahkan personal guarantee dan
menyatakan kesediaan untuk menyerahkan tambahan aset jika nantinya aset yang
sudah diserahkan tak mencukupi atau di bawah kewajiban.
Lewat penandatanganan MSAA dan MRNIA itu, para pemegang saham bank dan
pelanggar BMPK berjanji menyerahkan aset dengan nilai total sekitar Rp. 111 triliun.
Ternyata, nilai aset sebesar itu hanya di atas kertas. Saat ini nilai aset pimpinan
empat grup usaha yang bertanggungjawab atas BLBI dan BMPK itu hanya separuh.
Aset Salim, misalnya, hanya ditaksir sekitar Rp. 20 triliun. Itu sebabnya, pada
penanda tangan MSAA kini digugat. Ahli hukum Kartini Mulyadi dan Fred Tumbuan
telah memberikan rekomendasi untuk meninjau ulang MSAA. Disarankan agar para
penanggung jawab diwajibkan menyerahkan tambahan aset dan personal guarantee
dan tak dilepaskan dari tuntutan hukum.
Banyak pihak ragu, apakah benar Salim tak memiliki kekayaan untuk melunasi
semua kewajibannya? Jika hanya mampu membayar Rp. 20 triliun, siapakah yang
harus menanggung sisa beban utang Salim yang berjumlah Rp. 32,7 triliun? Haruskah
rakyat yang sebagian besar miskin dan menderita menanggung beban utang
konglomerat orde baru itu?. Salim kini berada di luar negeri, antara lain Singapura.
Dari sana. Dia mengendalikan bisnis di Indonesia, khususnya mengatur pembelian
kembali aset-asetnya yang ada di BPPN lewat tangan perusahaan asing dan lokal.
Menurut perhitungan seorang pakar, dengan memperoleh BLBI Rp. 52,7 triliun
pada saat kurs Rp. 2.500 per dolar AS, Salim sesungguhnya memiliki dana di atas Rp.
200 triliun. Kekayaan Salim sangat besar. Kedekatannya dengan Soeharto membuat
Salim mampu memanfaatkan berbagai kebijakan untuk meraih untung di pasar
valas.91 Dengan dananya yang besar, Salim bisa berbuat apa saja, termasuk membeli
kembali asetnya yang ada di BPPN dan mempengaruhi elite politik.
3.4 Masih Bebas
Jumlah BLBI dan pelanggaran BMPK yang begitu besar tak luput dari unsur pidana.
Namun, alangkah menyedihkan, hingga saat ini, baru beberapa orang yang dijadikan
tersangka dan cuma satu yang dipidana, yakni Hendrawan Haryono. Hukuman bagi mantan
wakil presdir Bank Aspac itu dinilai terlalu ringan, yakni penjara satu tahun dan denda Rp
500 juta. Padahal, akibat ulahnya, negara dirugikan Rp. 583 miliar.
Pihak yang saat ini dalam status tersangka sehubungan dengan kasus BLBI adalah tiga
pejabat BI (Heru Supraptomo, Hendro Budiyanto, dan Paul Sutopo) dari sejumlah
pengusaha, antara lain Sjamsul Nursalim, Samadikun Hartono, Kaharudin Ongko, mantan
Komisaris PT BUN Iryanto Ongko, dan mantan Dirut PT Bank Dewaruci, dsb.
Sjamsul dan Ongko kini tahanan rumah. Untuk menjalani pengobatan, Sjamsul
diperkenankan ke luar negeri, dan sempat dirawat di Tokyo. Untuk keperluan pengusutan,
Jaksa Agung Baharudin Lopa menginstruksikan Sjamsul untuk segera kembali ke Tanah Air
agar proses hukum bisa dilanjutkan.
Pertanyaan terbesar, mengapa cuma Sjamsul dan sejumlah pengusaha dan bankir?
Bukankah Salim juga punya dosa, bahkan jauh lebih besar dari siapa pun? Mengapa
91
Tim Humanika , Megaskandal Ekonomi Indonesia,penerbit Humanika , jakarta 2001
99
Soedono Salim dan Anthony Salim dibiarkan bebas di luar negeri? Bukankah utang
keduanya yang tak bisa ditutup oleh aset mencapai Rp. 32 triliun lebih? Bukankah MSAA
harus segera direvisi?
BLBI adalah megaskandal yang kurang mendapat perhatian memadai dari DPR dan para
penegak hukum. Padahal, dengan mengefektifkan proses hukum terhadap para peneriman
BLBI dan pelanggar BMPK, uang negara yang dapat diselamatkan bisa mencapai puluhan
triiliun. Pada masa sulit ini, kenaikan harga BBM dan tarif listrik mestinya bisa ditunda
andai puluhan triliun dana BLBI bisa dikembalikan.
Sebenarnya Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) berasal dari upaya
pemerintah bersama Bank Indonesia untuk mencegah dan mengatasi krisis perbankan
nasional sehubungan dengan krisis keuangan dunia yang terjadi dalam kurun waktu 1997
dan 1998. Pemerintah dan Bank Indonesia sepakat untuk mengucurkan bantuan ini sebesar
Rp. 143 triliun kepada perbankan nasional. Dalam pelaksanaannya ternyata pengucuran
tersebut diberikan juga kepada bank nasional yang tidak sehat atau di bawah NPL yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia sendiri. Begitu pula penerimaan dana BI oleh para obligor
(pemilik bank) tidak sesuai atau bahkan bertentangan denngan tujuan peruntukannya,
antara lain dana tersebut digunakan untuk membayar utang, menambah aset bank, dan ada
yang ditransfer ke LN hingga negara.
Laporan Audit BPK 22 Juli 2000 menyatakan telah terjadi penyimpangan sebesar Rp.
54.5 triliun dari Rp. 106 triliun BLBI yang diberikan kepada 10 Bank Beku Operas dan 32
bank beku kegiatan usaha. Pada 5 Agustus 2000, laporan audit final BPK menyatakan
terdapat potensi kerugian Negara sebesar Rp. 138,4 triliun dari Rp. 144,5 triliun BLBI yang
dikucurkan; dan BPK juga menyatakan terjadi penyimpangan penggunaan dana BLBI
sebesar Rp. 84,4 triliun oleh 48 bank penerima, dan sekitar Rp. 34,7 triliun (25%) dana
BLBI yang telah dipertanggung-jawabkan.92
Terhadap kasus penyimpangan dana BLBI telah terdapat Putusan Mahkamah Agung RI
dalam kasus tiga direksi Bank Indonesia yang telah dijatuhi hukuman dan seorang Gubernur
BI (yang memperoleh SP3 Kejaksaan Agung) dan beberapa obligor telah dijatuhi putusan
MA yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Namun terhadap penyelesaian kasus BDNI (SYN) dan BCA (AS) pemerintah memilih
penyelesaian secara keperdataan dengan diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor
8 Tahun 2002 yang merujuk kepada landasan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000
tentang Propenas. Kebijakan pemerintah mengeluarkan Inpres ini dilandaskan kepada
pertimbangan perlu adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap obligor
yang dinilai kooperatif. Atas dasar pertimbangan tersebut ditetapkan perjanjian MSAA,
MRNIA, APU, dan SKL.
Keganjilan Inpres tersebut terdapat pada amar penetapan, khusus Butir Keempat, yang
menegaskan dan memerintahkan kepada Kepolisian dan Kejaksaan untuk menghentikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku. Amar: Inpres butir keempat bermaksud untuk mencegah penyidik dan
penuntut umum melakukan tugas dan wewenangnya yang diberikan undang-undang
kepada kedua instansi tersebut karena model penyelesaian keperdataan tengah dilakukan.
Kelemahan penetapan Inpres dalam kaitan penyelesaian kasus BLBI, pertama, telah
bertentangan dengan asas-asas hukum umum berlakunya hukum pidana (Undang-Undang
Pidana) dan hukum perdata (Undang-Undang Keperdataan). Asas hukum umum dimaksud
Bertolak dari analisis hukum tersebut, maka penerbitan Inpres 2002 untuk penyelesaian
kasus BLBI (BDNI dan BCA) jelas bertentangan dengan asas hukum umum tersebut (UU
KUHAP dan UU Nomor 3 Tahun 1971), sehingga secara hukum Inpres tersebut sepanjang
mengenai amar putusan butir keempat, ialah batal demi hukum (van rechts nieteg) karena
bertentangan dengan UU di atasnya, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang lainnya (UU
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Kepolisian RI, dan UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan).
Konsekuensi hukum dari bunyi amar Inpres tersebut, maka pihak kepolisian dan
kejaksaan telah menghentikan langkah pro-justisia terhadap kasus BLBI terhitung sejak
diterbitkannya Inpres (2002). Pihak Kejaksaan Agung RI dengan Surat Keputusan Jaksa
Agung RI (MA RAHMAN) 14 Juni 2004 telah mengeluarkan SP3 terhadap kasus obligor, SYN
dari BDNI. Penghentian proses penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan tersebut
merupakan bentuk intervensi terhadap langkah pro-justisia di dalam penyelesaian kasus
BLBI.
101
tepat untuk menyelesaikan kasus BLBI yaitu, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang. 93
Tindak lanjut optimalisasi peranan dan fungsi hukum pidana dalam penyelesaian kasus
BLBI terletak pada masalah lembaga penegak hukum yang berwenang dan dapat dipercaya
untuk tujuan tersebut karena Kejaksaan Agung pernah melakukan penyidikan terhadap kasus
BDNI (BLBI) SYN pada 2002 dan kemudian dikeluarkan SP3 pada 14 Juni 2004 oleh Jaksa
Agung MA Rachman dengan merujuk kepada Inpres Nomor 8 Tahun 2002. Kejaksaan Agung
di bawah Hendarman Supanji berusaha (kembali) melakukan penyelidikan (bukan
penyidikan) terhadap kasus BDNI (BLBI) SYN, pada 2006, dan kemudian diumumkan kepada
publik pada 2008 bahwa Kejaksaan Agung tidak melanjutkan penyelidikan atas kasus BDNI
ini dengan pertimbangan, tidak ditemukan unsur melawan hukum dalam kasus BLBI
sehubungan dengan kebijakan Inpres ini dan kerugian negara disebabkan karena fluktuasi
nilai aset sehubungan dengan keadaan perekonomian negara. Namun, kemudian tidak lama
setelah pengumuman Kejaksaan Agung ini, KPK telah menangkap basah UTG, Ketua Tim BLBI
(Kasus BDNI) yang menerima uang sebesar US$ 600.000 dari ART, seorang kepercayaan SYN
(BDNI). Di dalam pemeriksaan sidang Pengadilan Tipikor untuk terdakwa ART telah
terungkap pembicaraan pertelepon antara UTG dan ART, antara ART dan KYR (mantan
Jampidsus) dan pembicaraan antara UUS (Jamjatun) dan ART, dan inisiatif Jamintel untuk
mennagkap ART pada saat KPK melakukan penangkapan terhadap ART. Berdasarkan fakta di
persidangan atas nama terdakwa ART tampak telah ada skenario dari petinggi Kejaksaan
Agung ini untuk “menyelamatkan” ART dari penangkapan KPK. Pihak Kejaksaan Agung
(Jamdatun dan Jamintel) membantah adanya skenario ini. Fakta persidangan dalam perkara
terdakwa ART dan UTG sampai saat ini telah menunjukkan secara jelas dugaan kuat
keterkaitan antara pemberian sejumlah uang oleh ART kepada UTG dan tidak dilanjutkannya
penyelidikan oleh Kejaksaan Agung yang telah diumumkan kepada publik.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus pra-peradilan terhadap SP3
Kejaksaan Agung dan diperintahkan untuk membuka kembali kasus BDNI ini. Jaksa Agung
mengajukan keberatan kepada Pengadilan Tinggi; sampai saat ini belum ada putusan PT
terhadap keberatan Jaksa Agung. Keberatan yang diajukan oleh Jaksa Agung terhadap
keberatan Jaksa Agung. Keberatan yang diajukan oleh Jaksa Agung terhadap putusan pra-
peradilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus SP3 BDNI/SYN justru ganjil dan
tidak masuk akal sekalipun Kejaksaan Agung memiliki alasan hukum sesuai dengan UU.
Keberatan yang diajukan Kejaksaan Agung tersebut telah mengandung “konflik kepentingan”
secara kelembagaan karena di satu sisi, berdasarkan UU Kejaksaan, fungsi, peranan dan tugas
Kejaksaan Agung, yaitu mewakili kepentingan negara, tetapi dengan pengajuan keberatan
oleh kejaksaan agung dalam putusan pra-peradilan atas kasus SP3, kasus BDN/SYN,
Kejaksaan Agung mewakili kepentingan negara atau kepentingan SYN/BDNI (?) Dalam
konteks SP3 yang bersifat kontroversial ini, maka secara implisit pengajuan keberatan
Kejaksaan Agung atas putusan praperadilan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, secara
psikologis mencerminkan bahwa Kejaksaan Agung tetap pada pendirian awal
mempertahankan SP3 atas kasus BDNI/SYN yang telah tidak beritikad baik dan tidak
kooperatif terhadap negara (melarikan diri ke luar negeri), tidak memenuhi panggilan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pasal 2, menegaskan tiga unsur yang harus dipenuhi untuk menyatakan
bahwa suatu perbuatan merupakan tindak pidana korupsi, yaitu (1) unsur melawan hukum; (2) unsur
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; dan (3) merugikan perekonomian dan keuangan negara.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang diubah dengan Undang_Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang, menegaskan bahwa hasil tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana
pencucian uang jika dilakukan dengan sengaja menempatkan, menyamarkan, dan/atau mengintegrasikan ke
dalam rekening seseorang di bank.
102
Kejaksaan Agung dengan alasan yang direkayasa; melakukan penyuapan terhadap pejabat
Kejaksaan Agung yang tengah dilangsungkan persidangannya.
Berdasarkan fakta tersebut, dapat ditarik kesimpulan, pertama, Kejaksaan Agung tidak
memiliki kapabilitas dan kredibilitas untuk menangani kasus BDNI/SYN atau kasus BLBI
lainnya; dan kedua, bahwa KPK harus segera melakukan pengambilalihan kasus BDNI/SYN
dan kasus BLBI lainnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
KPK sudah seharusnya proaktif melakukan proses penyelidikan untuk tujuan
pengambilalihan atas kasus BDNI (SYN) dari Kejaksaan Agung terhitung sejak proses
persidangan kedua terdakwa, UTG dan ART. Landasan hukum pengambilalihan tersebut telah
diatur dalam Pasal 68jo. Pasal 9 huruf d, jo. Pasal 8 UU Nomor 30 tahun 2002. 94 Ketiga,
pengambilalihan kasus BLBI (BDNI/BCA) oleh KPK untuk memulihkan kewibaan pemerintah
Indonesia in case lembaga penegak hukum itu sendiri termasuk Kejaksaan Agung di hadapan
publik, baik dalam maupun di luar negeri.
Isi ketentuan pasal 68 UU Nomor 30 Tahun 2002: “Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya KPK,
dapat diambil alih (kalimat positif/perintah) oleh KPK berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 9.”
Isi ketentuan pasal 9 UU Nomor 30 tahun 2002: “Pengambilalihan penyelidikan dan penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, dilakukan oleh KPK dengan alasan (antara lain), penanganan tindak
pidana korupsi mengandung unsur korupsi.”
Isi pasal 8 huruf d UU Nomor 30 Tahun 2002: “(2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1), KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap
pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.”
103
104
BAB IV
TINJAUAN YURIDIS HUBUNGAN BANK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH DAN PRINSIP-
PRINSIP HUKUM PIUTANG NEGARA
Menurut teori murni tentang hukum, hukum tidak lain dari sistem hukum positif yang
dibuat penguasa. Hukum positif ini dapat berupa peraturan perundang-undangan sebagai
kaidah umum ( general norm) dan kaidah-kaidah yang terjadi karena putusan hakim sebagai
kaidah khusus (individual norm). Norma secara umum dibedakan antara norma hukum
publik dan norma hukum privat. Tujuan penormaan dalam tata urutan perundangan adalah
untuk menjamin adanya kepastian hukum atas sikap tindak adil dan benar didalam
hubungan antara warga masyarakat.
Vander Viles I.C mengemukakan bahwa suatu regulasi perlu memperhatikan asas-asas
pembentukan peraturan yang baik, yaitu beberapa asas penting dalam mewujudkan
kepastian hukum antara lain:97
Asas Lex Superiori Derogat Legi Inferiori yang berarti peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi tingkatannya mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah tingkatannya.
Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori, yaitu peraturan perundang-undangan yang baru
mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lama.
Asas Lex Spesialis Derogat Legi Generale yang berarti peraturan perundang-undangan yang
bersifat khusus mengalahkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.
Manan, Bagir. 2003. Teori Dan Politik Konstitusi. Yogyakarta : FH UII Press, hal.212
Ibid 216
Purnadi Purbacaraka, et.al. 1989. Perundang-undangan dan Jurisprudensi. Bandung: Citra Aditya Bakti, hal.
12
105
d. Azas Non Retro Actif yang berarti asas yang melarang adanya peraturan perundang-
undangan yang berlaku surut.
Peraturan perundang-undangan yang telah dibuat sesuai dengan asas-asas hukum yang
baik harus dilaksanakan secara konsekuen karena apabila peraturan perundang-undangan
yang telah baik tidak dijalankan secara benar, maka hal tersebut akan menyebabkan penguasa
bersifat sewenang-wenang, atau apabila dilaksanakan secara apatis akan menjadikan
peraturan perundang-undangan itu tidak efektif. 98 Dan salah satu sifat yang melekat pada
peraturan perundang-undangan adalah sifat otoriter dari rumusan-rumusan peraturannya,
maka seharusnya peraturan perundang-undangan dituangkan dalam bentuk yang lebih jelas,
sehingga tidak memerlukan interprestasi. Peraturan yang berkaitan dengan pengurusan dan
penyelesaian piutang negara perbankan adalah Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang
Keuangan Negara dan Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara.
B. Peran Dan Wewenang Departemen Keuangan dan Bank Indonesia
1. Peran dan Wewenang Departemen Keuangan
Sebagaimana halnya yang terdapat di semua negara, Menteri Keuangan adalah
menteri yang memimpin Departemen Keuangan yang merupakan anggota kabinet dari
pemerintah dan bertanggung jawab di bidang pengelolaan keuangan dan fiskal negara
yang bersangkutan. Departemen Keuangan merupakan institusi pemerintah yang
bertanggung jawab untuk membentuk dan menentukan kebijakan fiskal atau kebijakan
yang diambil oleh pemerintah di dalam mengadakan barang dan jasa untuk keperluan atau
kebutuhan negara dan bagaimana cara pemerintah membiayai kebutuhan tersebut.
Kebijakan fiskal dilakukan melalui dua sarana, yaitu pajak dan pinjaman, dengan tujuan
utama kebijakan fiskal adalah menjaga kestabilan antara public spending dan public
borrowing. Selain kebijakan fiskal, Departemen Keuangan juga merupakan bagian sistem
keuangan Indonesia karena Departemen Keuangan mewakili pemerintah dalam
memberikan perizinan dan melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan. Hal-hal
yang terkait dengan lembaga keuangan meliputi struktur maupun operasinya berada di
bawah kewenangan Departemen Keuangan. Oleh karena itu, seluruh lembaga keuangan
bukan bank sepenuhnya diatur dan diawasi oleh Departemen Keuangan, sementara bank-
bank diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia. Sebelum krisis merebak pada tahun 1997-
1998, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengatur bahwa mengenai
perizinan seperti pemberian dan pencabutan izin usaha bank dilakukan oleh Menteri
Keuangan, di samping itu juga memiliki peran antara lain :
1. Kebijakan Penyelesaian Piutang Negara BLBI
Peranan Departemen Keuangan dalam penyelesaian krisis perbankan amat besar
yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan. Selain
pengaturan dan pengawasan, Departemen Keuangan menentukan dalam penetapan
bank-bank yang mendapatkan rekapitalisasi, penentuan besarnya nilai rekapitalisasi
bagi masing-masing bank, program penjaminan pemerintah, dan penerbitan obligasi
dalam kaitan dengan penyelesaian krisis dimaksud. Dalam pelaksanaannya,
Departemen Keuangan membawahi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). 99
Maria Frida Indrati Soeparto dalam Ernawati M. Pelaksanaan Undang-Undang dan Penegakan Hukum, dikutip
dari Kusumaniastuti, Peranan Hukum dalam penyelesaian Krisis perbankan di Indonesia, hal. 52
Departemen Keuangan yang memberikan persetujuan hampir setiap proses yang dilaksanakan oleh BPPN,
termasuk penyediaan dana dalam program jaminan, seperti yang dikemukakan oleh I Putu Gede Ari Suta dan
Soebowo Musa dalam BPPN The End. September 2004. Jakarta: Yayasan Sad Satria Bhakti, hal.. 308-309.
106
Secara rinci, peranan Departemen Keuangan di dalam penetapan kebijakan
perbankan tertuang di dalam Undang-Undang Bank Sentral No. 13 Tahun 1968.
Pemerintahdalam hal ini Departemen Keuangan merupakan pimpinan dari Dewan
Moneter dan merupakan sekretariat dari Dewan Moneter. Sementara itu, menurut Pasal
16 Undang-Undang No 7 Tahun 1992 izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat diberikan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Bank
Indonesia. Untuk mendapatkan izin usaha, Bank Umum maupun BPR wajib memenuhi
persyaratan, baik tentang struktur organisasi, permodalan, kepemilikan, keahlian di
bidang perbankan, maupun kelayakan rencana kerja, serta hal-hal lain yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, dan ketentuan-ketentuan lain yang tertuang di dalam peraturan
pemerintah.
107
Presiden
Dewan Moneter
Bank Indonesia
Perbankan
Pada bagan di atas, dapat dijelaskan bahwa Dewan Moneter terdiri dari Menteri
Keuangan sebagai Ketua, Menteri Perdagangan sebagai anggota, dan Gubernur Bank
Indonesia sebagai anggota. Dewan Moneter menetapkan kebijakan moneter dan Bank
Indonesia melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan. Apabila pada Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992, masih terdapat pemisahan yang tegas antara Bank Indonesia dan
Departemen Keuangan, sedangkan pada amandemennya dengan Undang-Undang No.
10/1998 fungsi Menteri Keuangan khususnya di dalam memberikan izin terhadap
pendirian bank baru beralih ke pimpinan Bank Indonesia. Peranan Menteri Keuangan
menjadi erat dengan keberadaan BPPN sebagaimana di dalam Pasal 37 A. 100
Krisis perbankan akibat krisis moneter pada pertengahan 1997 yang lalu
semulanya terbatas, tetapi pada akhirnya menjadi sistemik, sehingga Pemerintah
Indonesia kemudian melibatkan bantuan IMF, Bank Dunia, dan Asian Development Bank,
atau ADB. Ketiga institusi ini bekerjasama menelaah kondisi serta merumuskan strategi
untuk membantu sektor keuangan.101 Menyikapi krisis moneter yang terjadi dan
Pasal 37A ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 menyebutkan, apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan perbankan yang
membahayakan perekonomian nasional, atas permintaan Bank Indonesia, pemerintah setalah berkonsultasi
kepada DPR RI dapat membentuk badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan;
ayat (2), Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan program penyehatan terhadap bank-
bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada Badan dimaksud; ayat (3), Dalam
melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank, badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) serta wewenang lain; ...... ayat (7), Badan
khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada Menteri Keuangan.
Telaahan dilakukan terhadap 92 bank dari 238 bank yang ada, karena 92 bank ini dianggap menguasai 85% aset
perbankan nasional. Depresiasi rupiah pada saat itu disertai sentimen negatif pada masyarakat belum sepenuhnya
menyebabkan krisis perbankan menjadi sistemik. Krisis yang terjadi pada bank-bank pemerintahpun
108
kemudian berimbas kepada krisis perbankan nasional, pemerintah pada masa itu
mengambil langkah-langkah sebagaimana disebutkan di bawah ini :
0 Keputusan Presiden pada sidang Kabinet terbatas bidang Ekuwasbang (ekonomi
keuangan pengawasan pembangunan) dan Prodis (program disiplin) pada 3
September 1997 memerintahkan kepada Menteri Keuangan RI dan Gubernur Bank
Indonesia untuk mengambil langkah-langkah, antara lain :
0 Bank nasional yang sehat, tetapi mengalami kesulitan likuiditas untuk sementara
dibantu;
1 Bank-bank yang nyata-nyata tidak sehat, supaya diupayakan penggabungan atau
akuisisi dengan bank-bank lain yang sehat. Jika upaya ini tidak berhasil, bank
dilikuidasi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dengan
mengamankan semaksimal mungkin deposan, terutama deposan kecil.
1 Keterangan pemerintah mengenai gejolak rupiah dan upaya untuk mengatasinya
yang disampaikan di depan Sidang Paripurna DPR RI tanggal 16 September 1997
antara lain menyebutkan pada butir 8, konsolidasi dan penyehatan perbankan akan
terus dilanjutkan. Dalam rangka ini studi mengenai rencana merger bank-bank
pemerintah yang sedang dalam penyelesaian akan ditindak-lanjuti secepatnya.
Demikian pula rencana merger atau akuisisi bank-bank swasta diharapkan akan
berlanjut. Bank-bank yang benar-benar dalam keadaan yang tidak sehat dan tidak
dapat diatasi dengan cara merger atau akuisisi akan dilukuidasi, dengan
mengamankan sejauh mungkin para deposan, terutama deposan kecil.
Surat Mensesneg yang ditujukan kepada Gubernur Bank Indonesia dengan Nomor R-
183/M.Setneg/12/1997 tanggal 27 Desember 1997 antara lain menyebutkan: Bapak
Presiden menyetujui saran Direksi Bank Indonesia untuk mengganti saldo debet
bank yang ada harapan sehat dengan SBPUK.
Pada dasarnya, kebijakan pemerintah yang dikeluarkan pada 3 September 1997 ini
bertujuan untuk mempertahankan adanya kondisi perbankan nasional yang sehat, kuat,
dan kredibel, serta mempertahankan berfungsinya sistem pembayaran. Dalam
pelaksanaan kebijakan tampak tidak terdapat koordinasi yang lancar, termasuk dalam
pelaksanaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI, kegiatan penyehatan bank,
maupun likuidasi perbankan secara transparan. Hak tersebut menambah gejolak yang
menghilangkan kepercayaan masyarakat dan akibatnya terjadi arus penarikan dana
masyarakat yang sangat besar dan menyulitkan perbankan.
Pengambilalihan BLBI oleh pemerintah dalam bentuk penerbitan Surat Utang Negara
sebesar Rp. 144,5 triliun sebagai konsekuensinya menyebabkan pemerintah memiliki
bank-bank penerima BLBI secara mayoritas. Surat utang tersebut diterbitkan oleh
Menteri Keuangan pada tanggal 25 September Tahun 1998 sebesar Rp. 80 triliun dengan
Nomor SU-001/MK/1998, dan sebesar Rp. 64,5 triliun pada tanggal 8 Februari Tahun
1999 dengan Nomor SU-003/MK/1999. Pengalihan hak tagih BLBI dilakukan pada
tanggal 6 Februari 1999 ketika Menteri Keuangan atas nama pemerintah dan Gubernur
Bank Indonesia menandatangani persetujuan bersama tentang pengalihan dan
penyerahan hak tagih BLBI dari Bank Indonesia kepada Pemerintah.
Dengan persetujuan tersebut, pemerintah dalam hal ini BPPN mengambil alih hak
tagih (cessie) terhadap bank-bank penerima BLBI dari Bank Indonesia, yang dilakukan
pada tanggal 29 Januari Tahun 1999.102 Meskipun telah terdapat penerbitan surat utang
dianggap masih manageable akibat adanya penyesuaian fiskal,dan hampir sebagian besar bank-bank swasta
mengalami modal positif.
102
Setelah terjadinya cessie, jaminan BLBI yang diberikan bank-bank penerima BLBI dialihkan oleh Bank
Indonesia kepada BPPN berupa aset pemilik bank dan harta yang terkait dengan 33 Bank dalam
109
negara yang disertai dengan pengalihan hak tagih, penyelesaian beban kewajiban
tersebut tidak berjalan lancar, baik dari segi keuangan maupun dari segi pembahasannya
di DPR. Hal tersebut disebabkan oleh hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan
atau BPK pada akhir Desember 1999, yang pada pokoknya mengemukakan bebarapa hal
dari penyaluran BLBI oleh Bank Indonesia yang tidak sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang ada.103 Di lain pihak, Bank Indonesia menanggapi hasil audit investigasi
BPK tersebut dengan mengemukakan bahwa pada pokoknya tindakan penyediaan BLBI
tersebut tetap berada dalam koridor kebijakan pemerintah dan telah melakukan
penegakan ketentuan secara konsisten. Misalnya, kebijakan pemerintah untuk tidak
melakukan stop kliring atau penutupan bank dan pengenaan transaksi stop kliring
terhadap bank bermasalah secara serentak dalam kondisi krisis yang dapat
menimbulkan kepanikan masyarakat.
Kebijakan BLBI adalah kebijakan pemerintah yang dirumuskan bersama Bank Indonesia
dalam masa krisis, kemudian dilaksanakan oleh Bank Indonesia dalam upaya
menyelamatkan sistem moneter dan perbankan, serta perekonomian secara
keseluruhan yang antara lain berdasarkan petunjuk-petunjuk dan putusan-putusan
presiden dalam Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekkuwasbang dan Prodis tanggal 3
September Tahun 1997.
Penyelesaian beban BLBI memperhatikan kemampuan anggaran pemerintah dengan
sedapat mungkin meringankan beban APBN baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang sekaligus memperhatikan kondisi keuangan Bank Indonesia yang memadai
dalam jangka panjang.
Masalah hukum yang timbul karena dugaan penyimpangan penyaluran, penerimaan, dan
penggunaan dana BLBI agar ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
Pengambilalihan tagihan BLBI oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan
dengan bentuk penerbitan Surat Utang Negara tersebut merupakan tindakan
kelembagaan yang memadai, yaitu biaya penanggulangan krisis yang sistemik menjadi
biaya fiskal, dan tindakan tersebut diawali oleh pelaksanaan penyediaan dana oleh Bank
Indonesia yang berfungsi sebagai Lender of Last Resort dalam arti luas.
penyehatan (10 Bank Beku Operasi, 5 bank Take Over , dan 18 bank dalam Penyehatan atau BBKU). Selain
itu juga di cessie-kan hak tagih terhadap 15 Bank Dalam Likuidasi atau BDL tidak termasuk Bank
Andomeda. Jaminan pribadi dan jaminan perusahaan yang diserahkan nilainya Rp 132,3 triliun atau
99,8% dari total BLBI yang diterima bank-bank tersebut yang nilainya mencapai Rp 132,6 triliun.
Sementara jumlah BLBI untuk BDL adalah sebesar Rp.11,9 triliun. Diuraikan dalam “Mengurai Benang
Kusut BLBI” Edisi II, Satgas BLBI, Jakarta November 2003, hlm.91 -93
103Dengan berlakunya Undang-Undang Bank Indonesia yang baru, yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 1999,
secara spesifik dalam Pasal 59 dan Pasal 61 diatur bahwa BPK pemeriksaan khusus (due diligence) terhadap
Bank Indonesia apabila diminta DPR. Pada triwulan IV Tahun 1999, BPK menyatakan tidak dapat menyakini
kebenaran jumlah nominal BLBI yang dapat dibebankan kepada pemerintah.BPK memberi opini disclaimer (tak
memberikan pendapat) terhadap laporan keuangan Bank Indonesia. DPR kemudian menegaskan BPK untuk
melakukan audit investigasi terhadap Bank Indonesia dengan surat tanggal 6 Januari Tahun 2000. Ibid, h. 55-87.
110
yang menjadi acuan dalam melaksanakan BLBI tidak jelas. Contohnya adalah pendapat
BPK dalam hasil audit investigasi yang mengemukakan bahwa Bank Indonesia tidak
tegas dan lemah dalam menjalankan ketentuan dan pengenaan sanksi (vide Surat Direksi
No. 30/50/Dir/UK tanggal 30 Desember 1997), sehingga mengakibatkan bank
diperbolehkan ikut proses kliring walaupun telah mengalami saldo debet. Sementara itu,
Bank Indonesia berpendapat bahwa Bank Indonesia dan pemerintah dihadapkan pada
permasalahan yang dilematis, yaitu antara penutupan bank-bank yang dapat
mengakibatkan runtuhnya sistem perbankan karena efek domino dengan kegiatan
ekonomi atau memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank yang akhirnya
membebani keuangan.
Pada periode Oktober sampai dengan Desember 1997 dalam rangka mengatasi
kesulitan ekonomi moneter yang melanda Indonesia termasuk dan tidak terbatas pada
restrukturisasi perbankan nasional, IMF ikut berperan aktif dalam menentukan langkah-
langkah kebijakan yang ditempuh pemerintah. 104 Namun usul paket kebijakan yang
kemudian diimplementasikan itu justru makin memperburuk kondisi perbankan. 105
Bantuan IMF ini diikuti dengan pinjaman hampir sebesar 43 miliar dolar AS, 23 miliar dolar untuk
pinjaman awal, sedangkan hampir 20 miliar dolar AS untuk pinjaman cadangan. Pinjaman awal terdiri dari
10 miliar dolar AS dari IMF, 4,5 juta dolar AS dari Bank Dunia, 3,5 juta dolar AS dari ADB dan 5 miliar dolar
AS lagi dari sumber-sumber Indonesia lainnya. Sementara itu, sumber pinjaman cadangan adalah
pinjaman dari enam negara (walaupun pinjaman yang bersumber dari negara-negara yang disebut second
line of defense ini tidak pernah direalisasi)
Paket IMF sendiri terdiri dari dua komponen yaitu :
Panduan yang berisi garis-garis besar target kebijakan ekonomi makro (pertumbuhan ekonomi, tingkat
inflasi, defisit neraca berjalan, dan keseimbangan fiskal)
Panduan garis besar kebijakan reformasi ekonomi yang mencakup perdagangan, investasi institusi
keuangan dan infrastruktur pasar.
Sementara itu, paket kebijakan perbankan, pemerintah Indonesia dengan IMF menyepakati
beberapa paket kebijakan termasuk di dalamnya kebijakan terhadap lima puluh bank, yang merefleksikan
34,3% dari sistem perbankan, penutupan 16 bank swasta kecil, yaitu :
a. meningkatkan pengawasan, khuusnya pada elemen-elemen kunci seperti lukuiditas dan foreign
exposure bagi 6 bank swasta terbesar;
b. rencana rehabilitasi, bagi 7 bank swasta kecil dengan pangsa pasar 0,7 persen yang memiliki
permasalahan serius termasuk kebutuhan akan modal;
111
Selanjutnya, pada tanggal 27 Januari 1998 pemerintah mengeluarkan tiga langkah
penyelamatan darurat perbankan sekaligus memberikan komitmen pemerintah untuk
membayar ongkos restrukturisasi perbankan, yaitu sebagai berikut:
Semua deposan dan kreditur bank nasional dijamin pemerintah.
Membentuk badan khusus bernama Badan Penyehatan Perbankan Nasional di bawah
naungan Menteri Keuangan dengan masa operasi lima tahun. Badan ini selanjutnya
bertugas mengambil alih dan melakukan program penyehatan terhadap bank yang
bermasalah dan mengelola kredit macet dari bank yang masuk ke dalam program
penyehatan.
Mengajukan struktur dan pola pengelolaan restrukturisasi korporasi paket kebijakan ini
membawa dampak positif. Nilai Rupiah terus menguat menjadi Rp. 10.000 per dolar dan
terus menguat. Dana pihak ketiga pun kembali ke sistem perbankan.
conservatorship bagi 3 bank, yang mengalami kebutuhan modal paling parah (dengan pangsa pasar hanya
0,1 persen), dan penundaan pembahasan terhadap 6 bank pembangunan daerah yang tidak solvent
dengan pangsa pasar 0,4 persen), yang harus menunggu pembahasan dengan pemerintah daerah
pemilik DPD;
mentransfer aset yang baik dari bank pemerintah yang bermasalah (dengan pangsa pasar 9,6 persen)
kepada bank pemerintah lainnya serta melakukan merger terhadap kedua bank dimaksud;
mengambil langkah-langkah rehabilitasi terhadap 10 bank swasta yang tidak solvent (dengan pangsa
pasar 3%) yang mendapat bantuan dari bank Indonesia, serta meningkatkan akselerasi modalnya agar
menjadi solvent;
melakukan langkah penutupan kepada 16 bank swasta yang sangat tidak solvent (dengan pangsa pasar 2,5
%) dengan memberikan proteksikepada deposan kecil.
I Putu Gede Ary Suta, Soebowo Musa, Membedah Krisis Perbankan : Anatomi Krisis dan Penyehatan
Perbankan, 2003. Menurutnya, pengumuman penutupan enam belas bank belum disertai dengan
penyempurnaan kelembagaan, legal, dan kerangka aturan yang pada saat itu juga sedanag dalam proses
penyempurnaan
Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab II.C.1 Program Penjaminan Pemerintah (blanket guarantee),
kedua ketentuan merupakan bagian yang mengatur penjaminan terhadap nasabah dan kreditor dalam
112
Program penjaminan pemerintah atau blanket guarantee ini dilaksanakan oleh
BPPN dan Bank Indonesia sebagaimana didasarkan pada ketentuan Surat Keputusan
Bersama Direksi Bank Indonesia dan Ketua BPPN NO. 30/270/KEP/DIR dan No.
1/BPPN/1998 tanggal 6 Maret 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Jaminan
Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum. Keikutsertaan bank dalam
program penjaminan ini bersifat wajib atau compulsary, kecuali bank campuran boleh
tidak mengikuti program penjaminan dengan syarat bank asing pemegang saham bank
yang bersangkutan telah memberikan jaminan yang sama kepada nasabah atau
krediturnya. Peranan Departemen Keuangan dalam hal ini adalah menyediakan dana
program penjaminan yang semula berasal dari dana talangan Bank Indonesia kemudian
diganti oleh Departemen Keuangan mewakili pemerintah dengan menerbitkan Surat
Utang Negara. Jumlah dana sebesar Rp. 53,8 triliun dimuat dalam Surat Utang Negara No.
SU-004/MK/1999 tanggal 28 Mei 1999. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah
mengeluarkan beberapa kebijakan, di antaranya member jaminan atas seluruh
kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Hal
ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan
Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193
Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkereditan
Rakyat.
LPS berfungsi menjamin simpanan nasabah dan turut aktif dalam memelihara
stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Fungsi penjaminan
diejawantahkan dengan melakukan pembayaran klaim penjaminan aats simpanan
nasabah bank yang dicabut izinnya dan menunjuk tim likuidasi untuk membereskan aset
dan kewajiban bank tersebut.
Sementara itu, fungsi turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan yang
diwujudkan melalui upaya menyelamatkan atau penyehatan bank gagal yang tidak
berdampak sistemik maupun yang tidak berdampak sistemik (bank resolution).
Keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bank gagal tidak berdampak
sistemik ditetapkan LPS. Salah satu pertimbangannnya didasarkan pada perhitungan
negeri, sedangkan bagian yang mengatur penjaminan terhadap kreditor luar negeri dimuat dalam
Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1998 tanggal 23 Januari tentang Jaminan Pembayaran Pinjaman Luar
Negeri, dan Kepuutusan Presiden No. 120 Tahun 1998 tanggal 12 Agustus 1998 tentang Jaminan atas
Pinjaman Luar Negeri dan atau atas Pembiayaan Perdagangan Internasional yang dilakukan oleh Bank.
113
biaya yang lebih rendah (lower cost test) antara menyelamatkan bank tersebut dengan
membayar klaim penjaminan.
Selain itu, keputusan untuk menyelamatkan bank gagal yang berdampak sistemik
ditetapkan dan diserahkan oleh Komite Koordinasi yang terdiri dari Menteri Keuangan,
Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner. LPS selanjutnya bertindak
sebagai pelaksana dalam penyelamatan bank gagal yang telah diputuskan berdampak
sistemik. Dalam upaya penyelamatan bank gagal, LPS berwenang mengambil alih dan
menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk RUPS; menguasai,
mengelola, dan menjual/mengalihkan aset bank; melakukan penyertaan modal
sementara; serta mengalihkan manajemen pada pihak lain.
LPS mempunyai jangka waktu penyelamatan paling lama empat tahun untuk bank
tidak berdampak sistemik dan lima tahun untuk bank gagal yang berdampak sistemik.
Selanjutnya LPS wajib menjual seluruh saham bank yang tidak berdampak sistemik
mulai pada tahun kedua, dan tahun ketiga untuk bank yang berdampak sistemik secara
terbuka dan transparan. Dalam hal LPS telah membayar klaim penjaminan simpanan
nasabah bank yang dicabut izinnya, LPS mempunyai hak untuk menggantikan posisi
nasabah penyimpan tersebut (hak subrogasi) dalam pembagian hasil likuidasi bank.
Pemberian kewenangan dan hak tersebut dimaksudkan untuk mengoptimalkan tingkat
pemulihan (recovery rate) bagi LPS sehingga keberlangsungan program penjaminan
simpanan dapat terus dijaga.
107
Seperti juga digambarkan oleh Kaoru Hosono et.al..Banking Crises, Deposit Insuranse and Market Dicipline:
Lesson from the Asian Crisse, RIETI Discussion Paper Series 05E-029 Thid Draf 27 October 2005, Japan
115
Struktur industri bank yang telah direhabilitasi harus dapat menyediakan atau menjalankan
core banking service (jasa inti perbankan) dan dalam jangka panjang perlu diperhatikan
tujuan dan peta dari sektor perbankan tersebut.
Lembaga ini harus dapat melakukan kontrol dan bertanggung jawab terhadap dana publik
yang telah dikeluarkan di sektor perbankan dalam rangka penyelamatan sektor
perbankan tersebut melalui berbagai cara.
Mengupayakan pengembangan dana pemerintah yang telah dikeluarkan pada program
penyehatan perbankan.
Selain memberikan pendanaan langsung kepada bank-bank peserta rekapitalisasi, lembaga
ini juga dapat memutuskan sejauh mana aset-aset yang bermasalah pada bank-bank
tersebut akan ditarik dari pembukuan bank-bank tersebut.
Perlu atau tidaknya lembaga ini melaksanakan program penjaminan pemerintah.
Departemen Keuangan sebagai pilar lembaga keuangan publik dinilai paling tepat di
dalam mengelola lembaga yang melaksanakan program penyehatan perbankan
dibandingkan dengan lembaga pemerintah lainnya. Namun, secara umum, untuk
menjaga keseimbangan antara independensi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik,
struktur lembaga pelaksana program penyehatan perbankan dapat dibentuk
sebagaimana dalam gambar berikut.
Gambar 4.2. Struktur Umum Lembaga Pelaksana Program Penyelamatan Perbankan
Struktur umum yang dibangun dengan memperhatikan tata kelola yang baik dan
tepat, sehingga terdapat checks and balances terhadap pelaksanaan kebijakan yang
ditentukan oleh bank sentral dan pemerintah. Struktur umum yang dirancang
116
berdasarkan fungsi, tugas, dan wewenang secara vertikal, sedangkan koordinasi dan
kerjasama digambarkan secara horizontal.
Unit pengaturan dan pengawasan bank sentral: unit ini berada di bawah naungan
bank sentral yang secara bersama-sama dengan Departemen Keuangan menyiapkan
pembentukan lembaga pelaksanaan penyehatan perbankan serta menyiapkan strategi
pelaksanaan sesuai dengan kebijakan umum dalam menangani masalah krisis
perekonomian atas persetujuan parlemen.
Rekapitalisasi berdasarkan arahan Komite Pengarah Program dalam hal ini Menteri
Keuangan dan Bank Indonesia menghasilkan dari 128 bank umum swasta nasional, 74
bank termasuk kategori A dapat tetap beroperasi tanpa harus mengikuti program
rekapitalisasi, 8 bank diambil alih oleh pemerintah karena pemiliknya tidak dapat
memenuhi kebutuhan tambahan modal, tetapi bank-bank tersebut memiliki nasabah
yang banyak dan jaringan operasi yang luas, dan 38 bank dinilai tidak memenuhi
persyaratan dan direkomendasikan kepada Bank Indonesiauntuk dialihkan BPPN. Hasil
akhirnya dari tujuh bank milik negara: empat bank dimerger dan direkapitalisasi;
sementara tiga bank lainnya tetap direkapitalisasi; dari 27 bank milik
117
pemerintah daerah, 12 bank direkapitalisasi; dan dari 142 bank milik swasta nasional,
dan 7 bank direkapitalisasi.
Ismail, Maqdir. 2010. Bank Indonesia Dalam Perdebatan Politik dan Hukum. Jakarta: Navila Idea. hal.146
118
0 Bank Indonesia melaksanakan kebijaksanaan moneter secara berkelanjutan, konsisten,
dan transparan dengan memperhatikan kebijakan umum pemerintah dibidang
perekonomian.
1 Sasaran laju inflasi ditetapkan bukan lagi oleh Bank Indonesia, tetapi oleh pemerintah dan
harus ada koordinasi antara pemerintah dan Bank Indonesia.
2 Fungsi sebagai lender of last resort, maka diperlukan pendanaan jangka panjang dengan
persyaratan ketat untuk mengatasi kondisi seperti ini. Dengan adanya kebijakan (exit
policy), maka ada penambahan pengaturan dalam pasal 4 dan ayat 5 yang mengatur
kemungkinan pemberian fasilitas pembiayaan darurat yang dananya menjadi beban
pemerintah yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
3 Fungsi pengawasan bank sementara belum dibentuk lembaga pengawas sektor jasa
keuangan yang independen dan dibentuk selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2002,
kemudian diperpanjang Desember 2010. Sebelum dibentuknya UU OJK, Bank Indonesia
masih memiliki fungsi pengawasan di sektor perbankan. Dan pengalihan fungsi
pengawasan sektor perbankan itu akan dilakukan secara bertahap dan harus dilaporkan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat terlebih dahulu (pasal 34 ayat 2 UU No. 3 Tahun 2004
tentang Bank Indonesia).110
Kewenangan Kebijakan Moneter
Bank Indonesia adalah bank sentral yang merupakan lembaga penyeimbang antara
permintaan, penyediaan barang dan jasa dengan permintaan dan penyediaan uang. Fungsi
utama bank sentral adalah menjaga agar daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa
tersedia. Apabila jumlah uang yang ada lebih banyak dibandingkan dengan ketersediaan
barang dan jasa, hal tersebut akan mengakibatkan kemampuan membeli yang berlebih,
sehingga harga barang dan jasa meningkat dan nilai uang turun. Inflasi terjadi jika nilai uang
lebih rendah dibandingkan daya belinya. Sebaliknya, bila ketersediaan barang dan jasa yang
terbatas, sehingga terdapat keterbatasan dalam membelanjakan uang, terjadi deflasi atau
nilai uang lebih tinggi dibandingkan daya beli. Agar terjadi keseimbangan antara nilai uang
dan daya beli, bank sentral harus melakukan kebijakan dan kegiatan pengendalian melalui
instrumen-instrumennya. Untuk melakukan fungsi utama tersebut, kepada bank sentral
diberikan kewenangan untuk melaksanakan kebijakan moneter melalui beberapa instrumen,
misalnya penetapan suku bunga, operasi pasar terbuka, pengendalian jumlah uang beredar,
persuasi untuk mengarahkan ekpektasi inflasi, dan sebagainya.
Dalam melaksanakan kebijakan moneter, bank sentral menggunakan pula sarana bank-
bank sebagai pencipta uang giral, sehingga dalam rangka tersebut bank sentral
mengeluarkan kebijakan dan peraturan terhadap bank-bank, misalnya: ketentuan giro wajib
minimum (kewajiban untuk menyimpan dananya di bank sentral hingga persentase yang
ditentukan agar tidak terjadi kelebihan likuiditas di pasar uang). Selain dari fungsi utama
tersebut, kepada bank sentral lazimnya diberikan pula kewenangan untuk memelihara
sistem pembayaran dan mengawasi bank-bank. Pada dasarnya tugas mengawasi sistem
pembayaran terkait dengan fungsi utama, mengingat bank sentral juga bertugas
menerbitkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dan juga mengatur sistem pembayaran
agar transaksi perekonomian menjadi lancar.
110
Ismail. Maqdir. Ibid hal. 272
119
independensi menjadi amat penting bagi lembaga tersebut seperti dikemukakan David
Ricardo sejak abad ke-19. Pada dasarnya prinsip independensi tersebut terkait dengan
kewenangan bank sentral untuk menjalankan kebijakan moneter yang tidak dicampuri oleh
pemerintah. Apabila kebijakan pencetakan uang atau kebijakan pembiayaan bank sentral
diarahkan oleh pemerintah berdasarkan kepentingan yang populis, akan sulitlah bagi bank
sentral tersebut untuk menjaga kestabilan harga atau menjaga kestabilan nilai valutanya.
Di Indonesia, Bank Indonesia telah disebut sejak Republik Indonesia berdiri di dalam
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dan setelah konstitusi tersebut beberapa kali
diamandemen, dalam Pasal 23 D disebutkan bahwa Bank Indonesia adalah bank sentral
Republik Indonesia yang independen dalam melaksanakan tugasnya. Dalam Undang-Undang
No. 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2004,
disebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah, dan untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan
moneter secara berkelanjutan. Dalam mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia memiliki
tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran serta mengatur dan mengawasi bank- bank. Undang-Undang ini lahir
setelah krisis karena sebelumnya berlaku Undang-Undang Bank Indonesia No. 13 Tahun
1968.
Perbedaan mendasar yang terkait dengan penyelesaian krisis perbankan adalah bahwa
pada Undang-Undang sebelumnya secara kelembagaan Bank Indonesia berada di dalam
pemerintah atau di bawah Presiden sebagai Kepala Pemerintah dan di bawah Dewan
Moneter yang diketuai oleh Menteri Keuangan dalam melakukan kebijakan moneter.
Sementara itu, dengan Undang-Undang baru, Bank Indonesia berada di luar pemerintah,
artinya tidak berada di bawah menteri kabinet dalam pemerintahan presiden, tetapi tetap
dalam koordinasi presiden sebagai Kepala Negara. Perbedaan kewenangan yang mendasar
terkait dengan penyelesaian krisis perbankan adalah bahwa kebijakan-kebijakan pengaturan
dan pengawasan bank-bank termasuk penutupan bank harus berada dalam koordinasi
dengan Menteri Keuangan, termasuk hak untuk memberikan dan mencabut izin usaha bank
berada pada Menteri Keuangan. Setelah Undang-Undang baru, koordinasi dengan Menteri
Keuangan lebih dikaitkan karena Departemen Keuangan yang merupakan otoritas keuangan
dan fiskal, sementara kebijakan pengaturan dan pengawasan sepenuhnya berada di Bank
Indonesia, termasuk hak pemberian dan pencabutan izin usaha bank.
120
1945, Indonesia masih memiliki lembaga tertinggi negara yang direpresentasikan dengan
Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR). Pada Pasal 1 UUD 1945, kedaulatan berada ditangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. MPR terdiri atas anggota-anggota DPR
ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan- golongan menurut
aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Sementara itu, pemegang kekuasaan
pemerintahan tertinggi adalah presiden, dan dalam hal membantu pengelolaan pemerintah,
presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Dalam menjalankan tugasnya pun presiden
dapat membentuk suatu Dewan Pertimbangan yang bertugas memberikan nasehat dan
pertimbangan kepada presiden yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang. Di dalam
UUD 1945 keberadaan Bank Indonesia diatur di dalam penjelasan Pasal 23 berikut juga
tentang hal macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang ini. Di sisi lain
adalah tugas pengawasan penyaluran kredit likuiditas.
Kredit likuiditas sebagai dana talanagan dari Bank Indonesia yang diberikan kepada
bank berdasarkan ketentuan Undang-Undang Bank Indonesia dapat diberikan sebagai kredit
darurat yang benar-benar diperlukan bank dalam kondisi krisis keuangan. Kebijakan Bank
Indonesia untuk pemberian kredit likuiditas darurat, dananya diambilkan dari Anggaran
Pendapatan Negara yang menjadi beban pemerintah, sehingga penagihannya dialihkan
kepada pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan melalui Badan Khusus di bawah
pengawasan Kementerian Keuangan. Badan khusus ini hanya memiliki fungsi pengawasan
terhadap piutang negara yang berupa kredit dari bank milik negara atau dana-dana talangan
(bailout) pemerintah pada perbankan.
Kredit Likuiditas Darurat yang diberikan oleh Bank Indonesia bertumpu pada dasar
hukum fungsinya sebagai lender of last resort yang mengatur mengenai pemberian kredit
likuiditas darurat bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Bank Indonesia dapat
pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank umum untuk mengatasi kesulitan
likuiditas dalam keadaan darurat (pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 1998). Dalam
hal suatu bank mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan kelangsungan usahanya,
Bank Indonesia dapat mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Fungsi sebagai lender of last resort, maka diperlukan pendanaan
jangka panjang dengan persyaratan ketat untuk mengatasi kondisi seperti ini. Adanya
kebijakan kredit likuiditas darurat, maka ada penambahan pengaturan dalam pasal 4 dan
ayat 5, yang mengatur kemungkinan pemberian fasilitas pembiayaan darurat yang dananya
menjadi beban pemerintah yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Untuk memberikan landasan yang hukum yang lebih kuat bagi Bank Indonesia dalam
menyelamatkan bank-bank yang mengalami kesulitan likuidasi, dalam ketentuan Undang-
Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No.4 Tahun 2004 diatur mengenai amanat akan dibuatnya ketentuan
mengenai pelaksanaan fungsi lender of last resort dalam kondisi krisis yang sistemik. Dalam
ketentuan pasal 11 ayat (4) dan (5) Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.3 Tahun
2004 diatur bahwa dalam hal bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik
dan berpontensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, maka Bank
Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi
beban pemerintah. Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan
keuangan bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat dan
sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam
Undang-Undang tersendiri,yang ditetapkan selambat-lambatnya akhir tahun 2004. Meskipun
sayangnya sampai saat ini Undang-Undang dimaksud belum terbentuk.
121
Pada masa-masa yang akan datang peranan Bank Indonesia yang terikat dengan lender
of last resort atau LLR perlu diperjelas dengan kriteria dan mekanisme yang baik saat terjadi
krisis yang sistemik. Dalam situasi normal lender of last resort hanya berlaku bagi bank yang
solven dengan kolateral yang cukup. Bagi lembaga yang insolven langkah-langkah yang
ditempuh perlu lebih proporsional, misalnya dengan kebijakan exit policy (program
penutupan bank) dengan mencabut izin usaha dan melakukan likuidasi bank dimaksud.
Penerapan exit policy perlu dilaksanakan dengan konsisten dan jelas. Peran bank sentral
dalam hal ini diminimalkan dengan terdapatnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang
akan memberikan brigdging finance terhadap lembaga yang insolven, tetapi mengalami
keterlambatan dalam proses penutupan. Dalam situasi krisis yang sistemik, landing of last
resort harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari strategi manajemen krisis yang
didesain secara baik. Kerangka lembaga perlu memberikan pembagian yang jelas atas
prosedur landing last of resort, seperti tanggung jawab Bank Indonesia untuk menganalisis
tekanan sistemik terhadap stabilitas keuangan sementara keputusan final atas penyelesaian
krisis perlu dibuat bersama-sama oleh Bank Indonesia dan Departemen Keuangan. 111
Pengawasan piutang negara dalam rangka kredit likuiditas Bank Indonesia yang bersifat
darurat adalah untuk menangani penyehatan sistem perbankan, sehingga diperlukan badan
khusus selain PUPN. Demikian halnya juga diperlukan suatu skim penjaminan serta lembaga
yang menanganinya. Badan khusus dimaksud hanya bertugas dengan tiga penanganan
pokok, yaitu :
0 Penyehatan bank yang diserahkan oleh Bank Indonesia.
1 Penyelesaian aset bank, baik aset fisik maupun kewajiban debitur melalui unit
pengelola aset.
2 Pengupayaan pengembalian yang tersalur pada bank-bank dan masyarakat.
Fasilitas Dana Talangan (program Bailout)
Secara umum fasilitas dana talangan yang merupakan bagian dari BLBI adalah
perwujudan atau pelaksanaan dari Keppres No. 24 Tahun 1998 tanggal 23 Januari 1998
Tentang Penjaminan, Pinjaman Luar Negeri dan L/C, dan juga Keppres No. 26 Tahun 1998
tanggal 26 Januari 1998 Tentang Penjaminan atas Dana Deposan dan Kreditur 16 BDL
(blanket guarantee). Keppres No. 24 dan 26 Tahun 1998 tersebut telah diikuti pula oleh
Keputusan Menteri Keuangan No.26/KMK.017/1998 tanggal 28 Januari 1998 Tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank
Umum.
Sebagai realisasi dari Keppres No. 26/1998 Menteri Keuangan telah menulis surat
kepada BI pada tanggal 8 Februari 1998 tentang pembayaran kepada deposan 16 BDL. Pada
tanggal 20 Februari 1998 Menteri Keuangan telah mengirim surat kepada Direksi BI Tentang
Pengembalian Dana Deposan 16 BDL.
Sebagai tindak lanjut Keppres No. 24 Tahun 1998 tanggal 23 Januari 1998 telah terjadi
proses dalam upaya untuk mengembalikan kepercayaan kreditur dan investor luar negeri
terhadap sistem perbankan Indonesia, Pemerintah Indonesia dengan kreditur dan investor
luar negeri Frankfurt, Jerman yang kemudian dikenal sebagai “Frankfurt Agreement” yang
intinya antara lain bahwa “perbankan Indonesia harus melunasi tunggakan trade finance
pada tanggal 30 Juni 1998. Untuk melaksanakan kesepakatan itu Direksi BI telah
mengeluarkan SK Direksi BI No. 31/53A/KEP/DIR tanggal 19 Juni 1998 tentang Dana
Talangan untuk Tunggakan Interbank Debt Trade. Untuk lebih memperkuat posisi Indonesia
dalam perdagangan internasional yang sesuai dengan kemampuannya, maka Keppres No. 24
Kusumaningtuti SS. 2009. Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia. Jakarta: Raja
Grafindo, hal.102
122
Tahun 1998 telah diganti dengan Keppres No. 120 Tahun 1998 tanggal 12 Agustus 1998
tentang Pemberian Jaminan oleh BI atas Pinjaman Luar Negeri dan Pembayaran
Perdagangan oleh bank. Sebagai pelaksanaan Keppres No. 120 Tahun 1998, Direksi BI telah
menerbitkan SK Direksi BI No. 31/89/KEP/DIR tanggal 7 September 1998 tentang Jaminan
Pembiayaan Perdagangan Internasional dan SK Direksi BI No. 31/90/KEP/DIR tanggal 7
September 1998 tentang Jaminan Pinjaman Luar Negeri antar bank sebagai penegasan
penyelesaian tunggakan interbank debt dan trade finance, Direksi BI telah menerbitkan SK
Direksi BI No. 31/174/KEP/DIR tanggal 22 Desember 1998 sebagai pengganti SK Direksi BI
No. 31/89/KEP/DIR tanggal 7 September 1998 yang diikuti oleh Surat Gubernur BI No.
31/31/GBI/BSK tanggal 23 Desember 1998.
Kebijakan Pemerintah dan pelaksanaan BLBI pada saat itu, secara sadar dan jelas
dilakukan oleh Pemerintah dan BI dalam upaya mengatasi krisis ekonomi dan keuangan atau
perbankan nasional. Oleh karena itu, sejak awal pemerintah merasa bertanggung jawab
penuh dalam mengatasi krisis perbankan yang menjadi sistemik sifatnya antara lain dengan
pembentukan BPPN pada bulan Januari 1998 melalui Keppres No. 26 Tahun 1998 dan
serangkaian kebijakan-kebijakan pemerintah dan BI sesudahnya.
Tentang pelaksanaan dalam mengatasi bank-bank yang tidak sehat diserahkan oleh BI
kepada pemerintah pada tanggal 14 Februari 1998 menunjukkan pula kesungguhan
pemerintah dalam mengambil tanggung jawab penuh kebijakan BLBI yang memang sesuai
dengan keputusan kebijakan ekonomi dan politik pada waktu itu.
Sebagian besar kebijakan di bidang ekonomi dalam mengatasi krisis, tidak bisa lepas
dari kebijakan yang disarankan dan bantuan yang diberikan IMF dan lembaga-lembaga
112
BI dan BLBI Suatu Tinjauan dan Penelian Aspek Ekonomi, Keuangan dan Hukum Banttuan Likuiditas Bank
Indonesia (hasil Riset Bank Indonesia /Satgas BLBI dengan HLB Hadori & Rekan bekerja sama dengan Law
Office Soehardjono & Asssociates – Indonesia , Jakarta Desember 2003)
123
keuangan internasional lainnya, seperti ADB dan World Bank. Keterlibatan IMF secara
formal adalah dengan serangkaian Letter of Intent (LOI) yang ditandatangani oleh
Pemerintah dan IMF sejak bulan Oktober 1997, Januari 1998 dan seterusnya sampai dengan
akhir tahun 2002.
Tanggung jawab atas pengambilan kebijakan BLBI oleh Pemerintah juga ditegaskan
dengan persetujuan bersama antara Pemerintah dan BI yang ditandatangani pada 6 Februari
1999, dimana Pemerintah bersepakat untuk menerbitkan surat utang kepada BI, dan BI
menyerahkan sepenuhnya penagihan piutang BLBI (cessie) kepada Pemerintah, saldo
akumulatif BLBI sampai dengan 29 Januari 1999 sebesar Rp. 144,536 triliun.
Instrumen yang dipakai untuk penyediaan dana restrukturisasi perbankan itu adalah
dengan penerbitan “obligasi pemerintah” yang dilaksanakan melalui BI. Penerbitan berbagai
instrumen untuk mengatasi masalah BLBI, rekapitalisasi dan dana-dana penjamin dalam
rangka merestrukturisasi sistem perbankan secara menyeluruh, baik berupa obligasi, surat
utang atau surat kewajiban membayar dan bentuk-bentuk instrumen lainnya itu merupakan
tanggung jawab pemerintah yang pengembaliannya dilakukan melalui APBN, pembayaran
hutang jangka panjang oleh penerima berbagai fasilitas yang diberikan BI, penerima piutang
pemerintah, penjualan barang jaminan dan lain-lain.
Dalam upaya penyehatan perbankan nasional melalui BPPN yang bertindak atas nama
pemerintah, maka posisi BI adalah melakukan intermediasi perbankan dalam melaksanakan
kebijakan Pemerintah dalam mengatasi dan memperbaiki posisi sekaligus sistem perbankan
nasional. Oleh karena itu pula, kedudukan hukum BI dalam kaitan dengan penerbitan “surat
utang” oleh pemerintah guna menyelesaikan BLBI adalah sebagai lembaga intermediasi dan
bukan sebagai lembaga yang menanggung beban disalurkannya BLBI. Akan tetapi
sebaliknya, oleh karena BI adalah lembaga sektor publik yang tidak bertujuan mencari laba
(sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia) yang sepenuhnya dimiliki
negara yang diwakili oleh pemerintah. Di samping pemerintah berhak untuk mengambil
surplus bila ada, maka pemerintah juga berkewajiban untuk mengganti bila terjadi defisit di
samping memperkuat permodalan BI yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan di
masa yang akan datang.
125
menanggung dana yang telah dikeluarkan oleh BI dan atas dasar Surat Menteri Keuangan
kepada BI No. S- 373MK.01/1998 tanggal 3 Juli 1998 perihal tunggakan trade finance/
interbank debt itu menjadi tanggungan Pemerintah. Demikian pula permintaan
penegasan BI kepada Menteri Keuangan tentang penyelesaian tunggakan interbank debt
and trade finance melalui surat tanggal 23 Desember 1998 dan telah dibalas persetujuan
Menteri Keuangan melalui surat Menteri Keuangan kepada Gubernur BI No. S-
686/MK.017/1998 tanggal 31 Desember 1998 tentang penegasan penjaminan
Pemerintah jika bank yang bersangkutan tidak dapat melunasinya.
d. Fasilitas dana talangan jaminan Pemerintah untuk membayar kembali
simpanan/deposan dan kreditur kecil 16 BDL pada 1 November 1997, BI telah meminta
penegasan tentang tanggung jawab dana talangan yang dikeluarkan BI, maka Menteri
Keuangan telah menegaskan melalui SK Menteri Keuangan No. Peng.66/97 tanggal 1
November 1997 tentang likuidasi 16 bank yang kemudian dilaksanakan oleh BI tanggal
13 November 1997 sesuai SK Menteri Keuangan tersebut, yaitu pembayaran kepada
deposan kecil (di bawah Rp. 29 juta). Demikian pula terhadap permintaan penegasan
dana talangan untuk BBO yang diputuskan oleh Menteri Keuangan pada September
1998. BI telah mendapat penegasan dari Meneteri Keuangan melalui suratnya No. S-
489/MK/1998 tanggal 11 September 1998 yang menyatakan bahwa dana talangan BBO
merupakan beban pemerintah. Atas dasar itu BI baru menjawab tentang persetujuan
dana talangan BBO melalui Surat Direksi BI No. 31/40/DIR/UK tanggal 25 Oktober 1998.
Konversi saldo debet menjadi fasilitas diskonto sampai menjadi SBPUK memang terpaksa
tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di
BI mengingat krisis yang terjadi pada waktu itu tidak dapat diperhitungkan sebelumnya.
Situasi ekonomi moneter bergejolak demikian cepatnya tidak lagi dari hari per hari melainkan
jam per jam bahkan mungkin menit per menit, sehingga langsung atau tidak langsung
memang tidak tertutup kemungkinan BI tidak dapat menerapkan prinsip kehati-hatian
(prudential banking). Apabila BI mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada, maka sistem
perbankan akan hancur dan sulit memulihkan serta mempertahankan kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan.
113
Ibid hal. 93
126
Menutup bank yang bermasalah karena bertentangan dengan peraturan perundangan, atau
Menyelamatkan sistem perbankan nasional untuk mengembalikan dan mempertahankan
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional dan internasional.
Penyaluran BLBI dilakukan dalam keadaan darurat dan dilakukan demi kepentingan
umum. Kebijakan penyaluran BLBI diambil dengan mempertimbangkan adanya
konflik/pertentangan kewajiban hukum dimana di satu sisi pemerintah tidak menghendaki
sistem moneter dan perbankan collapse (hancur) dan eksistensi perbankan dapat dijaga
sampai Pemilu 1998 yang menyebabkan BI terpaksa menempuh kebijakan yang tidak
sepenuhnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, dengan
adanya konflik kepentingan umum tersebut, maka kebijakan penyaluran BLBI dapat
dibenarkan secara hukum.
3. Penyimpangan Bantuan Likuiditas
Dalam temuan penyimpangan penyaluran maupun penggunaan BLBI, baik di Bank
Indonesia, bank pemerintah dan bank swasta ataupun pihak ketiga yang terkait, baik yang
ditemukan oleh BPK maupun BPKP tidak tertutup kemungkinan bahwa kasus- kasus yang
terjadi disebabkan adanya : mismanajemen, masalah perdata dan masalah pidana.
Dari sisi penggunaan dana BLBI, sebagian besar para penerima BLBI tidak memenuhi
persyaratan Surat Direksi BI No. 30/50/DIR/UK tanggal 30 Desember 1997 dan bahkan
sampai saat ini belum sepenuhnya mengembalikan pinjaman yang berupa BLBI tersebut.
Dalam hubungan ini sebagian besar bank penerima BLBI yang tidak memenuhi persyaratan
Surat Direksi BI No. 30/50/DIR/UK tersebut telah melakukan wanprestasi.
Menurut BPK dan BPKP, penyaluran BLBI berpotensi menimbulkan kerugian negara
karena dana yang disalurkan berasal dari keuangan negara dan oleh bank-bank penerima
telah digunakan tidak sesuai peruntukkannya, seperti antara lain untuk : membayar
kewajiban pihak terkait, membayar dana pihak ketiga, membiayai kontrak derivatif,
membiayai penempatan baru di PUAB, ekspansi kredit dan lain-lain.
Penyaluran BLBI yang dianggap oleh BPK, BPKP maupun JPU sebagai suatu perbuatan
melawan hukum yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara. Hal tersebut
dapat dipahami sepenuhnya mengingat penyaluran BLBI dilakukan dengan alasan yang juga
dikenal dalam khasanah ilmu hukum, yaitu karena sebab-sebab yang dilakukan dalam
keadaan krisis dan darurat dan/atau karena melakukan ketentuan Undang-Undang dan atau
karena perintah jabatan, beroeprecht dan atau demi kepentingan umum. Tindakan yang
dilakukan dengan pertimbangan tersebut mempunyai alasan pembenar dan alasan pemaaf.
127
Dalam UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, para Pejabat BI tidak mendapatkan
suatu perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas, wewenang dan kewajibannya,
sehingga rentan untuk dituntut apabila terjadi adanya penyimpangan. Padahal tidak setiap
penyimpangan yang dilakukan oleh Pejabat BI merupakan suatu perbuatan yang bersifat
mismanajemen dan atau perdata/TUN. Dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
Pasal 45 telah mengatur tentang pemberian perlindungan hukum bagi Pejabat BI yang
melaksanakan tugasnya dengan itikad baik. Dengan demikian apabila terjadi krisis serupa di
masa yang akan datang, Pejabat BI dapat bertindak tegas tanpa ragu-ragu untuk
melaksanakan tugasnya tanpa dibayang-bayangi kehawatiran akan adanya ancaman pidana.
Untuk menjembatani jurang pemisah antara kepentingan para pemimpin BPPN dengan
kepeentingan rakyat, maka harus dibentuk pengawasan yang lebih efektid. Mengingat kerja
BPPN dimasa lalu tidak hanya jauh dari harapan rakyat tapi juga jauh dari format
pengawasan yang efektif. Padahal dalam pasal 3 ayat (3) dari PP 17 berbunyi L Untuk
memperlancar pelakasanaan tugas dan peningkatan transparansi BPPN, dibentuk Komite
Pengawas dengan fungsi: Pertama, pengkajian terhadap strategi dan kebikjasanaan BPPN
agar sejalan dengan praktik-praktik yang berlaku secara internasional dan memnuhi asas
keterbukaan dan transparansi yang mengacu pada ekonomi pasar. Kedua, melakukan
evaluasi atas pelaksanaan BPPN guna memastikan pelaksanaanya telah sesuai dengan
prosedur yang telah ditetapkan oleh BPPN.
Masih dalam pasal yang sama, ayat (4) mengatakan bahwa: pembentukan serta
keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dalam keputusan
Keputusan Presiden (Keppres). BPPN berada langsung di bawah dan bertanggung jawab
Ahmad Deni Daruri ,Djony Edward . 2004. BPPN Garbage In Garbage Out. Jakarta: Center for Banking Crisis,
hal 171
128
kepada menteri (pasal 6). Ketua diangkat dan diberhentikan oleh presiden berdasarkan
usulan menterti (pasal 5 , ayat (3)).
nomor 63 tahun 2001, pasal 1, mengatakan bahwa : kedudukan, tugas dan kewenangan
Menteri Keuangan terhadap BPPN sebagaimana diatur dalam PP. No . 17/1999 tentang
Pengalihan pengawasan BPPN kepada Menneg BUMN. Pengalih: Kedudukan, tugas dan
wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak temasuk dalam rangka penerbitan
surat utang guna pembiayaan penyertaan Modal Sementara (PMS) oleh BPPN.
Pasal 2 mengamanatkan tugas dari KKSK: Pertama, merumuskan arah kebijakan bagi
upaya penyehatan perbankan, termasuk restrukturisasi dan rekapitalisasi bank. Kedua,
merumuskan arah kebijakan bagi restrukturisasi utang perusahaan yang terkait dengan
upaya pemulihan ekonomi nasional terutama yang berhubungan dengan penyehatan
perbankan. Ketiga, merumuskan kriteria optimalisasi nilai aset secara transparan dan efektif
guna mengamankan pengembalian uang negara. Keempat, mengkoordinasikan dan
mengawasi pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c di atas.
Selain itu pasal 4 mengatakan bahwa wewenang KKSK: Pertama, KKSK memberikan
pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana induk penyehatan perbankan yang disusun
oleh BPPN. Kedua, KKSK memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rencana
Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) BPPN.
Perlu diingat, pertimbangan oleh KKSK hanya dilakukan untuk rencana induk
penyehatan perbankan dan RKAT BPPN, bukan seperti saat ini dimana semua kasus
memerlukan pertimabangan dan persetujuan, sehingga KKSK terlibat jauh yang menyulitkan
KKSK untuk menjalankan fungsi koordinasi dan pengawasanya sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang KKSK justru semakin memperkeruh penyakit agency
problem yang ada.115
Dalam sidang kabinet terbatas yang dipimpin oleh presiden Megawati Soekarnoputri
(Senin, 17 November 2003) telah diambil keputusan politik tentang pembubaran BPPN yang
konon menurut Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjorojakti disetejui oleh
semua peserta rapat. Namun demikian perlu diingat bahwa keputusan politik ini tidak serta
merta mengakui bahwa kerugian negara yang terjadi dan diperlihatkan dalam salah satunya
adalah tingkat recovery rate yang rendah merupakan biaya krisis ekonomi yang llayak
ditanggung rakyat. Keputusan ini harus diikuti oleh audit investigasi yang indpeden sebelum
dan sesudah BPPN ditutup. Tanpa dilakukan audit investigasi yang indepeden, maka
penutupan penutupan BPPN sama saja dengan memutihkan kesalahan-kesalahan BPPN
sama saja dengan memutihkan kesalahan-kesalahan BPPN dalam menjalankan tugasnya
sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang.
Oleh karena itu, perlu adanya pengkajian yang lebih serius mengenai. Apakah Keputusan
sidang kabinet ini sesuai dengan PP No. 17/1999. Mengingat masih dalam PP No. 17/1999
pasal 11 ayat (1) mengatakan bahwa apabila setelah lewatnya jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 (4) dan menurut penilaian Pemerintah bahwa BPPN telah
115
Deni Daruri. Djoni Edward. Ibid hal 118
129
menyelesaikan tugasnya, Pemerintah menyatakan berakhirnya BPPN. Jadi dalam kaitan
pembubaran BPPN harus memnuhi dua syarat, pertama, telah lewatnya jangka waktu.
Kedua, Pemerintah menganggap BPPN Telah menyelesaikan tugasnya. Dalam konteks
peraturan ini maka hasil sidang kabinet terbatas yang dipimpin Presiden tidak memenuhi
unsur penutupan BPPN, yaitu telah lewatnya jangka waktu BPPN (baca telah melewati
Februari 2004) dan BPPN telah menyelesaikan tugasnya.
Syarat kedua dari penutupan BPPN adalah Pemerintah menganggap BPPN telah
melaksanakan tugas-tugasnya perlu juga dicermati secara seksama. Ketakutan bahwa
penutupan BPPN sesungguhnya merupakan Pemutihan dosa bagi penghapusan dosa-dosa
BPPN sangatlah beralsassn. Hal ini disebabkan karena sidang kabinet terbatas tersebut
merupakan keputusan publik yang mengatakan bahwa BPPN telah menjalankan tugasnya
yang juga berarti cenderung mengatakan bahwa BPPN tidak merugikan negara. Ayat tiga
dari peraturan ini mengatakan bahwa pengakhiran BPPN serta akibat hukumnya ditetapkan
dalam keputusan presiden. Bagaimana bisa mengatakan bahwa tugas BPPN selesai? Apa
ukurannya? Sampai saat ini Pemerintah maupun BPPN belum pernah menetapkan kriteria
pengukuran selesainya tugas-tugas BPPN secara kongkret dan terbuka, sehingga boleh
dikatakan bahwa keputusan kabinet yang mengatakan bahwa BPPN telah menyelesaikan
tugas-tugasnya selalu dapat dipertanyakan.
Opsi penutupan BPPN mengtakan bahwa sisa aset BPPN akan ditampung dalam
perusahaan induk atau perusahaaan patungan. Aset itu berasal dari BRU, AMI, dan AMC.
Sedangkan kasus-kasus hukum akan diserahkan penyelesaiannya kepada penegak hukum
untuk ditindaklanjuti. Hal ini sesuai dengan PP. No 17/1999 ayat (2) yang mengatakan
bahwa “dengan berakhirnya BPPN, segala kekayaannya menjadi kekayaan negara.”
Pertanyaannya adalah betulkah itu kekayaan atau justru kerugian negara?
Syarat kedua yang menyatakan bahwa BPPN berhasil menyelesaikan tugasnya agar bisa
ditutup sesuai dengan PP No.17/1999 masih belum terpenuhi. Tugas BPPN dapat dilihat
dalam peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.17/1999 dalam pasal tiga ayat (1),
yaitu: pertama, penyehatan bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia.
Kedua, Penyelesaian aset bank baik aset fisik maupun kewajiban debitur melalui Unit
Pengolalaan Aset (Asset Management Unit). Ketiga, mengupayakan pengembalian uang
negara yang telah tersalur kepada bank-bank melalui penyelesaian aset dalam
restrukturisasi. Selain itu ada tambahan tugas BPPN lainnya, yaitu melakukan penjaminan
simpanan nasabah bank.
Apakah BPPN menjalankan tugasnya dengan baik dalam hal recovery rate dan
penyehatan perbankan sesuai dengan yang diamanatkan oleh PP No.17/1999? Dalam Koran
Tempo (Selasa, 18 November 2003) disebutkan oleh Ketua BPPN bahwa total recovery rate
BPPN adalah sebesar 28% yang diperoleh dalam waktu yang sangat lama. Bandingkan,
misalnya dengan lembaga sejenis di negara-negara lain yang justru beroperasi dalam waktu
yang lebih singkat dapat memperoleh recovery rate yang lebih tinggi. Seperti FRA berhasil
melakukan recovery rate sebesar 35%, KAMCO 49%, DANAHARTA 66% dan FDIC 57%.
Dengan perbandingan seperti ini, dapat dikatakan bahwa upaya BPPN untuk mengembalikan
aset negara yang telah tersalur kepada bank-bank melalui penyelesaian aset dalam
restrukturisasi kredit sebagaimana amanat PP No.17/1999, jauh untuk dikatakan berhasil.
130
Tabel 4.1 Asset Disposal Recovery Rates (Cross Country NPL Resolution Agencies
Comparison)
131
Lantas, bagaimana dengan prestasi restrukturisasi? Melihat rentang waktu hampir
enam tahun, restrukturisasi aset di BPPN berjalan sangat lamban. Hal ini ditandai dengan
nilai buku aset yang masuk ke dalam tahap implementasi restrukturisasi per 13 September
2002 hanya mencapai 13% dari total aset kredit yang harusnya direstrukturisasi oleh BPPN,
sedangkan jumlah debitur yang masuk dalam tahap restrukturisasi baru mencapai 0,06%
sejak BPPN didirikan tahun 1998 hingga 13 September 2002 sebenarnya lembaga itu
memiliki waktu yang cukup untuk berkarya lebih baik. Logikanya dapat diperkirakan bahwa
tingkat restrukturisasi BPPN hingga periode penutupannya dimana jika sanggup mencapai
30% dari total kredit yang bisa direstrukturisasi saja itu sudah sangat baik.
Melihat data dan argumentasi di atas, secara umum dapat diformulasikan ada empat
permasalahan yang harus diperhatikan berkaitan dengan transfer dari aset-aset BPPN ini.
Pertama, transparansi dari nilai aset yang hingga kini tidak pernah selesai berapa
sesungguhnya nilai existing asset BPPN. Dengan semakin transparannya nilai aset BPPN,
maka kemungkinan terjadinya pengecilan nilai (down sizing) aset pasa saat penyerahan
dapat dihindarkan. Kedua, masalah transaction cost atau transaction fee dari aset-aset yang
ada membuat tingkat pengembalian menjadi lebih rendah. Indonesia sebagai negara yang
menduduki posisi paling parah dalam hal korupsi di dunia ini dipastikan sampai sulit
menurunkan transaction cost. Ketiga, koordinasi lanjutan dalam penanganan aset-aset yang
diserahkan masih terlalu lemah. Aset dari Direktorat Hukum dipastikan tidak berada di
dalam perusahaan induk maupun perusahaan patungan yang bakal dibentuk BPPN, padahal
bukannya tidak mungkin masih ada keterkaitan hukum dengan aset yang berada di
perusahaan induk atau perusahaan- perusahaan patungan bersama itu. Hal ini justru
menjadi celah yang melemahkan bagi negara untuk memaksimalkan recovery asset. Belum
lagi biaya yang muncul akibat beragamnya institusi yang menangani aset-aset sisa BPPN.
Hal ini akan menajadi bertumbuh parah jika nantinya dibentuk banyak perusahaan joint
venture ataupun perusahaan induk yang ujung-ujungnya adalah menyulitkan koordinasi dan
tingginya biaya transaksi antar institusi. Keempat, lembaga pengambil alih sisa asset BPPN
akan kehilangan kesaktiannya karena tidak lagi bisa berlindung dalam Undang-Undang yang
selama ini dibuat untuk memperkuat kinerja BPPN seperti PP No.17/1999.
Seperti telah disebutkan di atas bawah masa tugas BPPN akan berakhir Februari 2002,
setelah pengakhiran masa tugas tersebut diperkirakan masih teradapat beberapa masalah
yang menurut penulis sangat krusial antara lain maslah program penjaminan , sisa kredit
yang notabene adalah kredit macet, dan penyertaan modal sementara Pemerintah dalam
bank-bank rekap.
132
Beban yang ditanggung pemerintah sebagai akibat diberlakukan program
penjaminan (blanket guarantee) ditandai dengan dikeluarkannya. Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI) oleh Bank Indonesia. BLBI dimaksud untuk 48 Bank dengan nilai
Rp. 144,5 triliun untuk menalangi dana nasabah dan juga penerbitan obligasi
pemerintah sebesar Rp. 28 triliun untuk mendukung program penjamin dana simpanan
pihak ketiga dan kreditur bank bermasalah. Jumlah tersebut terus bertambah seiring
dengan terbitnya obligasi pemerintah untuk mengisi rekening penjamin 502 dan 519,
belum lagi secara riil pemerintah harus membayar bunga obligasi sebesar Rp. 42 triliun
lagi secara riil pemerintah harus membayar bunga obligasi sebesar Rp. 42 triliun pada
tahun 2000, Rp. 61,17 triliun pada tahun 2001, dan Rp. 59,5 triliun tahun 2002.
Skema LPS sebagai financial safety nety memiliki dua tujuan yang berbeda atau
bertolak belakang. Di satu sisi, melindungi para deposan kecil dan memastikan
stabilitas finanasial. Namun di sisi lain untuk mengurangi insentif bank-bank dalam
mengambil resiko secara agresif. Di satu pihak pembentukan LPS dapat menjadi
kebijakan yang optimal dalam menunjang stabilitas perbankan dengan menghindari
terjadinya penarikan dana besar-besaran (bank runs), namun dapat juga menjadi
sumber moral hazard apabila bank-bank dapat memindahkan resiko usaha ke pemilik
atau bohir skema LPS, yaitu seringkali pada pembayar pajak, sehingga ketimbang
menunjang stabilitas perbankan, hal ini justru meningkatkan bank fragility.
133
Namun demikian, LPS di Jerman cukup menarik untuk dicermati karena skema ini
menonjol dari skema LPS lainnya. Selain keikutsertaan berdasarkan suka rela, LPS ini
dikelola dan didanai oleh pihak swasta dan di luar supervisi pemerintah. Namun,
lembaga ini tetap menjalankan kerjasama yang baik dengan publik maupun pemerintah
dalam hal audit dan ijin perbankan serta resolusi krisis. Walaupun memberikan
cakupan yang hampir tak terbatas atau unlimited, para deposan tidak memiliki hak
(statutory right).
Eksplisit Ya Ya Ya 68 Negara
134
Riks Adjusted Ya Tidak Ya Di 21 negara dari 68
diatur/ di menganut risk
regulasi adjusted premium
Sumber: Beck Thorsten, “Deposit Insurance as Privat Club: The Case of Germany”, Wold Bank,
June 2000.
Contoh dari Skema LPS Jerman ini membuktikan bahwa skema seperti ini dapat
sepenuhnya didanai dan dilakukan oleh perbankan dan masih feasible. Namun demikian,
suksesnya skema LPS Jerman ini perlu dinilai dari latar belakang lingkungan internasional
yang dapat menunjang penegakan hukum dan membatasi tingakat korupsi.
Seperti layaknya sebuah perusahaan asuransi, maka pola operasional menjalankan LPS
harus ada premi yang dibayar dan juga batasan pemberian klaim jika bank bangkrut atau
dilikuidasi. Besarnya premi tergantung dari pertanggungan yang akan dipikul. Dengan
demikian, ada batasan besaran persentase atas simpanan yang akan ditanggung oleh LPS.
Menurut Demigruc- Kunt dan Edward J. Kane (2002), LPS tidak memberikan dampak
positif bila diterapkan di negara yang memiliki tingkat transparansi dan lingkungan institusi
yang lemah. Bahkan, dapat menyebabkan perampokan uang negara oleh pengelola bank
atau oknum tertentu dengan cara pengelolaan yang buruk atas dana simpanan dan
selanjutnya meminta ganti rugi dari pemerintah. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Robert
Cull Lemma W. Senbet dan Marco Sorge , bahwa pemebentukan LPS harus diikuti oleh
perbaikan kondisi institusi dan kredibilitas lembaga bersangkutan sekaligus instansi terkait
melalui kebijakan yang kredibel. Jika kredibilitas rendah, maka penerapan LPS akan kontra
produktif.116
Demigruc-Kunt dan Hizinga (1999) juga menemukan bahwa cost of fund untuk bank-
bank menjadi lebih rendah dan lebih kurang sensitif terhadap risiko spesifik perbankan
bahwa pendirian di dalam negara yang menganut LPS. Hal ini mendukung pendapat bahwa
pendirian LPS tersebut dapat melemahkan kedisplinan pasar, baik disiplin oleh deposan,
kreditur bank, dan para pemegang saham.
Tujuan dari LPS adalah untuk memberikan risk free asset terhadap deposan yang kecil
(Folkters-Landau dan Lindgreen 1998). Namun, beberapa pendapat menyatakan bahwa
fungsi tersebut dapat dijalankan dengan biaya yang lebih murah terhadap perekonomian
melalui aset ketimbang asuransi dana pihak ketiga, yaitu postal savings, pasar uang yang di
dukung oleh utang pemerintah (Calomiris, 1996 & Stiglitz 1992) atau bank yang
mengeluarkan perlindungan terhadap dana pihak ketiga dapat dibatasi menjadi bank-bank
narrow.
Namun demikian, menurut studi yang dilakukan di berbagai negara yang memiliki iklim
institusi LPS yang sangat baik dan kondusif berpotensi untuk tidak mengakibatkan
ketidakbstabilan, yang mungkin disebabkan oleh otoritas moneter di negara-negara
tersebut dapat mengatasi moral hazard.
116
Op.cit hal.120
135
Sementara itu, Luc Leaven (2002) mengungkapkan bahwa pertama, LPS harus
menetapkan valuasi yang tinggi terutama premi kepada bank yang terdapat konsentrasi
kepemilikan guna menghindari penyalahgunaan wewenang. Kedua, penjaminan sebaiknya
hanya diberlakukan untuk deposan kecil yang notabene dimiliki masyarakat kecil yang
kurang akses terhadap informasi dan pengetahuan perbankan, ekonomi dan risiko, berbeda
dengan deposan besar yang memiliki akses yang besar terhadap infomasi dan pengetahuan
tersebut, sehingga risiko dapat diperhitungkan. Ketiga, besarnya jaminan dibuat selimit
mungkin untuk menghindari aktvitas moral hazard oleh pengelola bank sebab semakin
besar jaminan diberikan, maka semakin mengandung kemanjaan bagi pengelola bank.
Dari berbagai negara yang telah menerapkan LPS, kebanyakan lebih dikarenakan untuk
melindungi deposan kecil, menjaga kepercayaan pasar, dan stabilitas sistem keuangan.
Dengan akan dibentuknya LPS tersebut di Indonesia, pencabutan blanket guarantee akan
dilakukan secara bertahap untuk menjaga kestabilan perbankan dan upaya untuk
menghindari timbulnya kekhawatiran yang berlebihan pada masyarakat. Seperti yang
diketahui cakupan blanket guarantee yang dijamin pemerintah saat ini selain dari dana
pihak ketiga dan pinjaman antar bank adalah:
On-balance sheet
0 Fasilitas impor
1 Setoran Jaminan Nasabah
2 Surat berharga seperti Floating Rate Note (FRN), Floating Rate Certificate on
Deposit (FRCD), Medium Term Notes (MTN)
3 Obligasi
4 Kewajiban bank lain seperti pinjaman langsung
Off-balance sheet
0 Transaksi impor (trade related) seperti letter of credit jaminan dan kewajiban
lain
1 Jaminan yang diberikan dalam bentuk standby L/C
2 Bank garansi
3 Transaksi currency swap
4 Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN)
Untuk jaminan sebesar Rp. 100 juta tesebut, bank diwajibkan untuk membayar
premi (asuransi) sekitar 0,2% dari total dana nasabah bank yang dilindungi. Pemberian
jaminan sebesar maksimum Rp 100 juta terhadap dana pihak ketiga oleh LPS ini
diperkirakan akan memadai mengingat sekitar 90% hingga 93% nasabah bank di
Indonesia rata- rata memiliki dana simpanan di bawah Rp. 100 juta. Hal ini sejalan
dengan prinsip untuk melindungi deposan kecil seperti yang telah diulas. Namun, dari
segi nilai jaminannya sebesar Rp. 100 juta hanya mewakili sekitar 25% dana masyarakat
di perbankan. Berarti, sekitar 75% deposan termasuk nasabah bank kelas atas yang
memiliki simpanan di atas Rp. 100 juta.
136
Saat ini pemerintah telah mangajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
LPS ke DPR dan diharapkan RUU LPS sudah dapat disahkan pada 2004. Dalam
mengantisipasi pembubaran BPPN yang rencananya dilakukan 27 Februari 2004,
Departemen Keuangan tengah mempersiapkan cikal bakal LPS, yaitu Perusahaan
Pengelola Aset (PPA) untuk menangani program penjaminan tersebut. Yang juga penting
dipikirkan pemerintah adalah sejauh mana LPS dapat mengatasi masalah bank-bank
yang mempunyai dampak sistemik terhadap perbankan nasional seperti kalau terjadi
penutupan pada bank-bank yang berskala besar.
Setelah berdiri sejak Januari 1998, ternyata BPPN belum juga membentuk tim
likuidasi bank guna mengatasi 52 bank beku operasi dan beku kegiatan usaha (BBO-
BBKU) yang terjadi selama periode tahun 1998-2001. Permasalahan utama yang harus
diselesaikan adalah pembayaran dana pihak ketiga sebesar Rp. 575 miliar. Dengan upaya
ini, maka BPPN menghapus kemungkinan untuk mengalihkan penanganan 52 BBO-BBKU
kepada bank sentral. Menurut rencana BPPN akan menggunakan dana rekening 502 yang
sebelumnya akan dimintakan persetujuan dari Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI
untuk dibayarkan kepada Tim Likuidasi kepada nasabah BBO-BBKU. Pelaksanaan ini
harus searah dengan PP No. 25/1999 tentang Likuidasi Bank.
Dalam program penjualan aset kredit sampai dengan Oktober 2003 saja, dari
portofolio senilai Rp. 310,41 triliun (belum termasuk litigasi & potensial out) dengan
jumlah 296.198 debitur, BPPN telah berhasil menjual aset kredit senilai Rp. 208,05 triliun
dengan jumlah debitur sebanyak 152.004. Sedangkan jumlah portofolio yang belum
terjual adalah sebesar Rp. 73,29 triliun dengan jumlah debitur sebanyak 97.154 dan
jumlah portofolio yang telah dilunasi adalah sebesar Rp. 29,06 triliun dengan jumlah
debitur sebanyak 47.760. Komposisi total portofolio aset kredit sebesar Rp. 310,41 triliun,
sebanyak 90,6% diantaranya berasal dan kredit korporasi dan komersial senilai Rp.
281,22 triliun dengan jumlah debitur sebesar 3.478. Sedangkan sisanya 9,4% senilai Rp.
29,16 triliun berasal dari kredit UKM dan ritel dengan jumlah debitur sebanyak 293.440.
Namun dari penjualan total aset kredit senilai Rp. 208,051 triliun di atas sekitar 56%
atau Rp. 116,492 triliun dan jumlah debitur 1.876 yang berasal dari aset kredit yang tidak
direstrukturisasi (unrestructured) dan seluruhnya berasal dari sektor korporasi dan
komersial. Begitupula sisa aset BPPN yang belum terjual (unsold) sebesar Rp. 73,29 triliun
dimana sekitar 41% atau Rp. 29,85 triliun termasuk aset kredit yang tidak
direstrukturisasi (unrestructured).
137
perbankan perlu mencermati secara mendalam dampak atas penjualan portofolio aset
kredit tersebut terhadap sektor perbankan maupun institusi keuangan mengingat masih
rentannya sektor perbankan nasional dan belum pulihnya sektor riil.
Restrukturisasi oleh BPPN juga berjalan lamban dimana nilai buku aset yang masuk
ke dalam tahap implementasi restrukturisasi per 13 September 2002 hanya mencapai
13% (berdasarkan nilainya) dari total aset kredit yang harusnya direstrukturisasi oleh
BPPN, sedangkan jumlah debitur yang masuk dalam tahap implementasi restrukturisasi
baru mencapai 0,06%. Sejak BPPN didirikan tahun 1998 hingga 27 Februari 2002
bukanlah waktu yang sebentar untuk menapaki prestasi restrukturisasi.
Seandainya diasumsikan secara konservatif aset-aset senilai Rp. 250 triliun ini telah
dibeli oleh pihak ketiga dengan discount sebesar 80%, dan diasumsikan pula bahwa
perbankan membelinya kembali dengan nilai yang sama yang berani perbankan harus
menyediakan provisi sebesar Rp. 50 triliun. Karena rendahnya kualitas aset kredit BPPN
ini, bukan tidak mungkin kredit ini akan kembali macet total di masa depan, sehingga
mengakibatkan modal perbankan berpotensi untuk terpangkas sebesar Rp. 50 triliun dan
itu lebih dari separuh nilai modal keseluruhan perbankan tahun 2002. Jadi, risiko yang
ditanggung pembeli aset tak direstrukturisasi berbanding terbalik dengan besarnya dis-
count dari harga aset. Semakin besar discount semakin rendah risiko bagi sektor
perbankan, demikian sebaliknya. Persoalannya akan menjadi bertambah parah jika
ternyata pembelian aset BPPN ini menggunakan kredit dari sektor perbankan sendiri.
Perbankan terancam kerugian yang sangat besar akibat macetnya aset-aset BPPN yang
mereka beli dan macetnya kredit yang telah mereka kucurkan untnk pembelian aset
tersebut.
Data konfidensial internal BPPN sendiri mengatakan bahwa jumlah aset yang belum
direstrukturisasi yang dijual BPPN adalah Rp. l16.50 triliun. Aset yang belum
direstrukturisasi yang belum dijual sebesar Rp. 29,8 triliun. Dialihkan atau tidaknya sisa
aset kredit BPPN dalam suatu entitas baru atau yang sering disebut holding company,
perlu dicermati bahwa apakah aset tersebut nantinya akan dikelola, direstrukturisasi,
atau dijual lagi seperti program-program yang selama ini dilakukan BPPN atau alternatif
lain seperti disekuritisasi yang lebih dikenal sebagai Efek Beragun Aset (EBA).
Alternatif tersebut pernah pula dikaji, baik oleh pihak internal BPPN maupun pihak
eksternal. Bila ditelaah lagi, sisa aset kredit BPPN dapat di sekuritisasi dengan
pertimbangan telah adanya historical arus kas yang dapat digunakan sebagai prediksi
arus kas ke depan relatif seragamnya metodologi pembentukan dan dokumentasi aset,
kinerja yang relatif independen dari kinerja BPPN, dan kesiapannya untuk dialihkan ke
138
SPV secara true sale (seluruh tagihan berikut perjanjian serta jaminan kredit yang
mendasarinya ditransfer seluruhnya kepada SPV melalui proses jual beli dengan harga
pasar yang wajar) sebagaimana telah dilakukan melalui penjualan aset kredit selama ini.
Dan peraturan mengenai EBA ini telah dituangkan dalam Keputusan Ketua Bapepam No.
Kep-53/PM/ 1997 tanggal 26 Desember 1997. EBA didefinisikan sebagai “Unit
Penyertaan Kontrak Investasi Kolektif yang portofolionya terdiri dari aset keuangan
berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, sewa guna usaha, perjanjian
jual beli bersyarat, perjanjian pinjaman cicilan, tagihan kartu kredit, pemberian kredit
termasuk kredit pemilikan rumah atau apartement, efek bersifat hutang yang dijamin
oleh pemerintah, sarana peningkatan kredit (credit enhancement), serta aset keuangan
setara dan aset keuangan lain yang berkaitan dengan aset keuangan tersebut. Dengan
demikian EBA bukan merupakan reksadana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
27 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Pasar Modal.”
Tabel 4.3. Sisa Kepemilikan Pemerintah di bank-bank BPPN (Per 31 Desember 2003)
Sesuai dengan PP17, SKB 53, SKB 117, dan konsep dasar penyertaan modal sementara
yang menyatakan kepemilikan pemerintah pada bank-bank tersebut di atas bersifat
sementara, maka seluruh kepemilikan pemerintah atas bank-bank tersebut harus dilepas
atau dijual. Tetapi kapan waktu yang tepat untuk melepas sisa kepemilikan saham
pemerintah tersebut? Bagaimana dengan obligasi rekap pada bank -bank tersebut?
Sebandingkah biaya pembayaran bunga obligasi yang dikeluarkan APBN dengan
penerimaan dari divestasi sisa kepemilikan saham bank tersebut?.
Dalam hal ini pemerintah menghadapi dilema, di satu sisi pemerintah membutuhkan
dana segera untuk memenuhi kebutuhan APBN dengan melepas sisa kepemilikan saham.
Namun di sisi lain, pemerintah memiliki kewajiban pembayaran bunga obligasi rekap
tersebut, yang juga sumber dananya dari APBN. Sementara upaya untuk mengurangi atau
menarik obligasi pemerintah belum optimal dilakukan karena keterbatasan keuangan
negara, sehingga pemerintah telah menjadi bandar yang terus-menerus merugi.
Sebagai ilustrasi dan mengingatkan kembali bahwa beban pembayaran bunga obligasi
rekap yang ditanggung pemerintah sangatlah besar belum lagi pembayaran pokok nanti
pada saat jatuh temponya, seperti dalam kajian BPPN dalam Economic Review edisi April
2002. Mengutip isi kajian tersebut, estimasi beban pembayaran bunga obligasi
pemerintah termasuk obligasi pada bank-bank rekap, yaitu hampir Rp. 7.000 triliun
dengan asumsi dilakukan roll-over atau penundaan pembayaran pokok dan bunga.
Dari total obligasi yang diterbitkan porsi terbesar, yaitu 38% merupakan obligasi yang
diindeksasi terhadap inflasi dan 36%-nya merupakan obligasi dengan suku bunga
mengambang. Tabel 4.4 adalah struktur pendanaan program restrukturisasi perbankan.
Obligasi yang diterbitkan tersebut terdiri dari empat tipe, yaitu obligasi dengan suku
bunga mengambang (variable rate), hedge bond, dan bunga tetap, serta obligasi yang
diindeksasi terhadap inflasi. Untuk keperluan rekapitalisasi bank didanai dari obligasi
berbunga mengambang dan bunga tetap, sedangkan untuk program penjaminan dan
bantuan likuiditas yang dibenkan Bank Indonesia didanai dari obligasi yang diindeksasi
terhadap inflasi.
Dalam hitungan Tim Pengkaji Bappenas, disimulasikan enam skenario profil jatuh
tempo dari obligasi pemerintah yang telah dikeluarkan per data tanggal 25 Januari 2002.
Skenario pertama hingga ketiga mengasumsikan pemerintah tidak akan menunda
140
pembayaran pokok dan cicilan dari obligasi pemerintah yang jatuh tempo, sedangkan
pada skenario empat hingga skenario enam mengasumsikan bahwa pemerintah
melakukan penundaan untuk pembayaran pokok dari obligasi pemerintah selama satu
periode kemudian (roll over).
Pada skenario pertama, diasumsikan suku bunga SBI tiga bulanan flat pada rata-
rata 17%, nilai inflasi 10%, dan SIBOR (Singapore Bank Offere Rate) tiga bulan masing-
masing adalah 1% (2002), 1,75% (2003), 2,25% (2004) dan 2,35% (2005). Skenario
kedua, mengasumsikan suku bunga SBI tiga bulanan flat pada rata-rata 14%, nilai inflasi
8%, dan SIBOR tiga bulan masing-masing adalah 1% (2002), 1,75% (2003), 2,25 %
(2004) dan 2,35% (2005). Skenario ketiga, mengasumsikan suku bunga SBI tiga bulanan
flat pada rata-rata 19%, nilai inflasi 12%, dan SIBOR tiga bulan masing-masing adalah
1% (2002), 1,75% (2003), 2.25% (2004) dan 2,35% (2005).
Skenario keempat mengasumsikan suku bunga SBI tiga bulanan flat pada rata-rata
17%, nilai inflasi 10%, dan SIBOR tiga bulan masing-masing adalah 1% (2002), 1,75%
(2003), 2,25% (2004) dan 2,35% (2005). Skenario kelima, mengasumsikan suku bunga
SBI tiga bulanan flat pada rata-rata 14%, nilai inflasi 8%, dan SIBOR tiga bulan masing-
masing adalah 1 % (2002), 1,75% (2003), 2,25% (2004) dan 2,35% (2005). Dan terakhir,
skenario keenam, mengasumsikan suku bunga SBI tiga bulanan flat pada rata-rata 19%,
nilai inflasi 12%, dan SIBOR tiga bulan masing-masing adalah 1% (2002), 1,75% (2003),
2,25% (2004) dan 2.35% (2005).
Grafik di bawah menunjukkan profil jatuh tempo dari pokok obligasi yang telah
dikeluarkan untuk membiayai program restrukturisasi perbankan. Pengeluaran obligasi
diatur dengan menempatkan sejumlah besar obligasi supaya jatuh tempo pada paruh
kedua dasawarsa saat ini (2000-2010) sehingga masih ada waktu untuk membangun
infrastruktur yang diperlukan (berupa pasar primer dan sekunder obligasi). Jumlah
obligasi yang jatuh tempo pada paruh kedua dasawarsa tersebut didominasi oleh obligasi
suku bunga mengambang dan hedge bond dengan jumlah Rp 253,4 triliun, untuk
141
suku bunga mengambang dengan benchmark SBI tiga bulan sedangkan hedge bond
menggunakan SIBOR tiga bulan. Obligasi tipe hedge bond mendominasi obligasi yang
jatuh tempo pada tahun 2002 dan 2003. Kewajiban pemerintah untuk membayar pokok
obligasi mencapai jumlah terbesar pada tahun 2018 sebesar Rp 138.3 triliun yang
keseluruhannya merupakan obligasi yang diindeksasi terhadap inflasi. Dengan begitu,
diharapkan dapat tercapai portfolio hutang yang berimbang.
Dan hasil kajian tersebut tampak jelas bahwa total pokok dan bunga dan obligasi
pemerintah yang harus dibayar oleh negara akan semakin besar dengan di-roll over-nya
pokok dari obligasi pemerintah tersebut. Tanpa di roll-over saja nilai nominal total dari
beban obligasi pemerintah yang harus dibayar oleh negara rata-rata sudah mencapai Rp
1.000 triliun. Dengan dilakukannya rollover maka beban negara melenting menjadi Rp
3.000 triliun (Skenario 5), di atas Rp 4.000 triliun (Skenario 4), dan Rp 7.000 triliun
(Skenario 6). Roll-Over menyebabkan beban hutang menjadi berlipat ganda.117
Dalam hukum wewenang dapat sekaligus berarti hak dan kewajiban (richten en
plichten). Dalam kaitan dengan Keuangan Negara, hak mengandung pengertian kekuasaan
untuk mengatur dan mengelola yang dilakukan oleh pejabat, sedangkan kewajiban secara
horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan dan menggunakan keuangan
negara sebagaimana mestinya. Sedangkan secara vertikal, hak bisa berarti kekuasaan
untuk menjalankan penyelesaian piutang negara dalam satu tertib ikatan pemerintahan
negara secara keseluruhan.
Stroink, F.A.M, en J.G Steenbeek. Inleiding in het Staats-en Administratief, Alpha aan den Rijn .Samsom HD.
Tjeenk Willink , 1985, hal. 26
119
Bagir Manan. Wewenang Propinsi, Kabupaten dan Kota dalam rangka Otonomi Daerah. Makalah pada
Seminar Nasional, Fakultas Hukum Unpad Bandung, hal. 12
142
Pemahaman berkaitan dengan “staatsbeleid” (kebijakan negara dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik atau Algemene Beginselen van Behoolijk Bestuur). Menurut
Nonet, penerapan perundang-undangan seperti ini, termasuk kelompok atau model
hukum birokratif, yaitu apabila seorang pejabat membuat kebijakan tidak memenuhi
sasaran dan mengakibatkan kerugian bagi instansinya apakah itu BUMN atau bukan,
maka yang bersangkutan dikenakan perbuatan Tindak Pidana Korupsi. Tuduhan
utamanya adalah detournemnt de pouir, yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk
tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut. Tugas dan kewenangan suatu
lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu lama dan
kepadanya diberikan tugas dan wewenang. Dalam konteks ini kewenangan yang
dimaksud adalah kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu di
bidang publik. Jabatan itu seperti halnya badan hukum yang merupakan suatu abstraksi
atau fiksi yang diakui keberadaannya dalam lalu lintas pergaulan hukum (rechtsverkeer)
dan dapat melakukan perbuatan hukum atas dasar kewenangan yang bersifat hukum
publik (publiekrechtelijke bevoegdheden). Adanya kewenangan publik inilah yang
membedakan subjek hukum publik dengan subjek hukum privat. Subjek hukum publik itu
melakukan perbuatan hukum atas dasar kewenangan (bevoegdheid), sedangkan subjek
hukum privat bertindak atas dasar kecakapan (bekwaam). Dengan kata lain, validitas atau
keabsahan perbuatan hukum publik (publiekrechtelijke handelingen) ditentukan oleh ada
atau tidaknya kewenangan, yang secara teoretis dapat diperoleh melalui atribusi, delegasi,
dan mandat. Sedangkan validitas perbuatan hukum perdata (privaatrechtelijke
handelingen) ditentukan oleh ada atau tidaknya kecakapan yang dimiliki subyek
hukum.120
Sebagai suatu abstraksi, jabatan hanya dapat melakukan perbuatan hukum melalui
suatu perwakilan, yakni pejabat (ambtsdrager) atau organ yakni orang atau sekelompok
orang yang berdasarkan undang-undang atau anggaran dasar berwenang mewakili badan
hukum (atau jabatan) untuk terlibat dalam pergaulan hukum, atau setiap orang yang
dilekati kewenangan itu berkuasa untuk melakukan perbuatan hukum atau sesuatu yang
sejenis dengan itu.
Secara lebih rinci, SF Marbun menyebutkan kelompok badan atau pejabat Tata Usaha
Negara yang menyelenggarakan urusan, fungsi atau tugas pemerintahan, yakni:
Mereka yang termasuk dalam lingkunga eksekutif mulai dari presiden sebagai kepala
pemerintahan (termasuk pembantu-pembantunya di pusat seperti wakil
pressiden , para menteri dan lembaga-lembaga non departemen.
Mereka yag menyelenggarakan urusan desentralisasi, yaitu kepala daerah tingkat I
(termasuk sekretariat daerah tingkat I dan dinas-dinas daerah tingkat I), kepala
daerah tingkat II (termasuk sekretariat daerah tingkat II dan dinas-dinas daerah
tingkat II) dan pemerintahan desa.
Mereka yang menyelenggarakan urusan dekonsentrasi seperti gubernur (termasuk
sekretariat wilayah dan kanwil-kanwil), bupati (termasuk sekretariat wilayah dan
kandep-kandep), walikota madya , walikota administratif, camat serta lurah.
Pihak ketiga atau pihak swsata yang mempunyai hubungan istimewa atau hubungan
biasa dengan pemerintah, baik yang diatur atas dasar hukum publik maupun
hukum privat.
Pihak ketiga atau pihak swasta yang memperoleh konsesi atau ijin dari pemerintah.
Pihak ketiga atau swasta yang diberi subsidi oleh pemerintah, misalnya sekolah-
sekolah swasta.
120
Indroharto. Op cit hlm. 91
143
Pihak ketiga atau koperasi yang didirikan dan diawasi oleh pemerintah ;
Pihak ketiga atau bank-bank yang didirikan dan diawasi oleh pemerintah.
Pihak ketiga atau swsata yang bertindak bersama-sama dengan pemerintah (persero),
seperti BUMN yang memperoleh atribusi wewenang, PLN, Pos dan Giro, PAM,
Telkom, Garuda dan lain-lain.
Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Tinggi, dan Ketua Mahkamah Konstitusi,
Ketua Mahkamah Agung, serta panitera dalam lingkungan pengadilan;
Sekretarian pada Lembaga Tinggi Negara (MPR) dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara
serta Sekretariat pada DPRD .121
Nasabah yang kreditnya telah dihapusbukukan secara intern, yaitu nasabah yang
memiliki kriteria berikut :
0 Nasabah yang dihapuskan secara intern adalah penghapusan kredit dari
pembukuan efektif yang dipindahkan ke pembukuan administratif, yang
ditujukan hanya untuk kepentingan administrasi bank saja.
121
SF Marbun dan Moh Mahfud. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta; Liberty 1988 hlm 141
144
0 Nasabah yang dihapuskan secara intern harus tetap ditagih untuk
membayar/melunasi kreditnya.
1 Tindakan melakukan penghapusbukuan secara intern tersebut tidak boleh
diberitahukan kepada nasabah yang bersangkutan.
2 Terhadap kredit yang diberikan kepada nasabah yang telah dihapusbukukan
secara intern dan belum ada penyelesaiannya harus tetap tercantum di dalam
Daftar Waspada Bank.
3 Surat penegasan baki (bilyet baki) utang nasabah yang sebenarnya pada
setiap akhir tahun harus tetap dikirimkan kepada nasabah yang
bersangkutan.
1 Kriteria nasabah yang dapat diusulkan dihapusbukukan secara intern adalah sebagai
berikut :
1.0.0 nasabah macet yang telah diserahkan penyelesaiannya kepada BUPLN, yaitu:
0 nasabah yang telah mendapat keputusan pailit dari Pengadilan Negeri atau
sedang dalam proses pailit ;
1 jaminan tidak ada/telah dilelang habis, tetapi kewajiban nasabah masih ada
yang belum diselesaikan;
2 untuk kredit yang diasuransikan, Tuntutan Ganti Rugi (TGR) yang diajukan
ditolak oleh perusahaan asuransi kredit;
3 nasabah yang telah dibentuk Cadangan Penghapusan Aktiva Produktif yang
Diklasifikasikan (CAD) - penghapusan nasabah macet, sesuai dengan
ketentuan pembentukan cadangan yang berlaku.
1.0.1 Kriteria nasabah macet yang belum diserahkan penyelesaiannya kepada
BUPLN adalah sebagai berikut :
0 Nasabah tertentu yang telah diputuskan untuk dihapuskan secara intern
berdasarkan kebijakan direksi dan komisaris.
1 Nasabah telah meninggal dunia dan alamatnya tidak diketahui yang harus
dikuatkan pembuktiannya dengan surat keterangan dari instansi yang
berwenang seperti kepala desa/lurah, camat, dan sebagainya.
2 Untuk kredit yang diasuransikan, Tuntutan Ganti Rugi (TGR) yang diajukan
ditolak atau disetujui, tetapi tidak diterima secara penuh, oleh perusahaan
asuransi kredit.
3 Kondisi jaminan secara yuridis bermasalah (cacat hukum).
4 Nasabah yang telah dibentuk Cadangan Aktiva Produktif yang
Diklasifikasikan (CAD) penghapusan nasabah macet sesuai dengan ketentuan
pembentukan cadangan yang berlaku.
Teknis Pelaksanaan :
Prosedur dan tata cara penyerahan kredit macet kepada PUPN/BUPLN adalah sebagai
berikut :
0 Apabila kolektibilitas telah dinyatakan macet, bank wajib menyerahkan
pengurusan penagihannya kepada PUPN/BUPLN.
1 Penyerahan kredit macet diajukan oleh bank secara tertulis kepada PUPN/BUPLN
melalui Kantor Pelayanan Penagihan Piutang Negara (KP3N).
145
sebab-sebab kredit dinyatakan macet, misalnya mismanagement (keuangan,
personalia, pemasaran) atau nasabah beritikad buruk dan sebab lain;
penetapan kredit menjadi macet, misalnya harus dicantumkan tanggal realisasi
kredit, tanggal kredit dinyatakan kurang lancar, diragukan dan macet;
jumlah piutang yang harus ditagih, terinci dalam utang pokok, tunggakan bunga,
tanpa harus merinci tunggakan bunga intra dan ekstra komtabel;
jaminan kredit dengan diuraikan mengenai jenis, letak, status kepemilikan,
pengikatan, kondisi, perkiraan nilai jual;
data lainnya, seperti : Usaha-usaha yang telah dilaksanakan bank sendiri dalam
membina dan menyelesaikan utang nasabah; Surat-surat peringatan kepada
nasabah; bantahan-bantahan dari nasabah dan tanggapan bank atas bantahan
tersebut; data lainnya yang dapat menjelaskan duduk persoalan piutang yang
diserahkan.
146
mengingat berkas-berkas yang telah diserahkan kepada PUPN/KP3N
adakalanya sulit ditemukan.
Apabila PUPN/KP3N mengadakan pemeriksaan (on the spot) jaminan dengan
tujuan hendak menyita atau melelang, bank hendaknya turut membantu,
misalnya menyediakan sarana angkutan dan mengikut-sertakan petugas dari
bank.
Apabila PUPN/BUPLN hendak melelang jaminan, terlebih dahulu harus meminta
harga limit dari bank.
Di samping itu, PUPN/BUPLN juga berwenang untuk memintakan dilakukannya
pencegahan terhadap nasabah/pengurus perusahaan nasabah/penjamin
utang untuk bepergian ke luar negeri dengan syarat sebagai berikut : Jaminan
yang ada tidak meng-cover kreditnya; nasabah tidak mempunyai itikad baik.
Contoh hal ini adalah: Penerapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
201/PMK.06/2010
Untuk itu digunakan metode penyisihan piutang tidak tertagih. Pasal 7 PP Nomor 71
Tahun 2010 mengatur penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual
dapat dilaksanakan secara bertahap dan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Menteri Keuangan. Terkait dalam aset berupa piutang, K/L wajib melakukan penilaian
atas kualitas piutang dan melakukan penyisihan atas piutang tidak tertagih terhadap
seluruh piutang negara berdasarkan PMK Nomor 201/PMK.06/2010.
147
Mengingat implementasi kebijakan penyisihan piutang harus dilakukan secara
berjenjang mulai dari Satuan Kerja sampai dengan tingkat Kementerian
Negara/Lembaga dan memerlukan waktu yang relatif cukup panjang untuk
menerapkannya, maka PMK Nomor 201/PMK.06/2010 dalam LKKL Tahun 2010
diterapkan secara bertahap sebagai berikut :
Penyisihan piutang cukup diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK)
pada Laporan Keuangan Tahun 2010 (aufited) bagi K/L yang sudah dapat
menerapkan penyisihan piutang.
Penyisihan piutang disajikan pada Neraca dan diungkapkan secara memadai dalam
CaLK mulai Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga, Tahun 2011.
Untuk piutang yang sudah diserahkan ke PUPN/DJKN dan dimasukkan ke dalam akun
aset lain-lain, agar tidak dilakukan reklasifikasi akun atau tetap disajikan dan
diungkapkan dalam akun piutang yang bersangkutan dengan menghitung penyisihan
piutang sebagaimana piutang kualitas macet.
Berkaitan dengan aplikasi untuk penyisihan piutang akan menjadi bagian dari
aplikasi Sistem Akuntansi Instansi (SAI) yang dibangun oleh Direktorat Sistem
Perbendaharaan (DJP). Langkah-langkah penyelesaian Piutang Negara Perbankan
dengan kebijakan penyelamatan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
dilaksanakan dengan hal ini disebabkan karena sifat hukumnya yang melekat pada
Piutang Negara, yaitu memiliki kekuatan Hak Eksekusi.122
Prinsip hukum Prompter Treatment menegaskan bahwa badan khusus diberi tugas untuk
mengurus dan menagih piutang negara dengan prosedur hukum tanpa mencabut kekuasaan
pengadilan umum untuk mengadili utang-piutang pada umumnya. Menurut Sutan Remy
Sjahdeini, kedudukan badan khusus merupakan peradilan semu (quasi rechtspraak) karena
badan khusus merupakan badan peradilan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak
memihak/kepentingan dalam menyelesaikan sengketa utang piutang negara. Tindakan badan
khusus ini adalah yang dianggap sama dengan pengadilan karena memiliki ciri yang
Pola penanganan Piutang Negara yang sesingkat-singkatnya (Prompter Treatment). Apabila penanganan Piutang
negara kepada PUPN, maka hubungan hukumnya bersifat sub-ordinasi,artinya kedudukan hpara pihak tidak
mempunyai kewenangan atau hak yang sama. Pihak Kreditur melalui PUPN mempunyai kewenangan yang lebih
tinggi dari debitur, sehingga PUPN dapat menggunakan upaya paksa, surat paksa ini menurut ketentuan pasal 6
huruf a UU no 49 Prp 1960 diberikan suatu Title Eksekutorial.
148
hampir sama dengan penagihan grosse akta, yaitu dapat menagih langsung tanpa proses dan
campur tangan pihak pengadilan.
Pada hakikatnya piutang negara adalah piutang seluruh rakyat. Dengan demikian yang
memiliki tagihan terhadap debitur adalah seluruh rakyat dalam negara yang bersangkutan.
Oleh karena itulah, maka menjadi tepat apabila pengaturan tentang eksekusi piutang negara
dibedakan dengan eksekusi piutang non negara. Proses penanganan piutang negara
dibedakan dengan penanganan piutang non negara sejak tahap penentuan sampai dengan
tahap eksekusi.
Dalam penanganan piutang negara, peraturan telah diadakan oleh negara yang menjadi
dasar hukum bagi keberadaan lembaga, ketentuan tentang prosedur dan syarat eksekusi.
Negara berwenang membuat ketentuan yang demikian karena negara adalah pemegang
kedaulatan. Dengan demikian negara merupakan pemegang otoritas untuk membuat
peraturan, mengadakan lembaga, menentukan syarat dan prosedur eksekusi, yang dalam hal
ini adalah eksekusi piutang negara yang diatur terpisah dari eksekusi piutang non-negara.
Macamnya hak eksekusi Piutang Negara dapat dibedakan menjadi Piutang Negara
Perbankan dan Piutang Negara non Perbankan. Untuk melaksanakan eksekusinya, maka ada
beberapa jenis eksekusi yang antara lain mengenai pelaksanaan eksekusinya yang
disesuaikan dengan penegakan hukum dalam memaksakan suatu realisasi undang-undang
dalam penyelesaian piutang negara yang berkaitan dengan non Perbankan dan Perbankan,
yaitu dengan cara :
Eksekusi Piutang Negara Non Perbankan
0 Pemutusan/penyegelan meteran, tindakan pemutusan/penyegelan meteran pada
langganan listrik, air minum, atau telepon, didasarkan pada isi perjanjian langganan.
Tindakan ini tidak lain merupakan upaya paksa oleh penyelenggara terhadap
pelanggan yang nunggak dengan tujuan terbayar lunasnya tunggakan. Hasil upaya
paksa ini adalah dorongan terhadap pelanggan untuk segera melunasi tunggakan.
Oleh karena itu, eksekusi ini dikategorikan sebagai eksekusi realisasi tidak langsung.
Dengan demikian, sebenarnya tindakan pemutusan/penyegelan meteran merupakan
sarana bagi penyelenggara untuk menghentikan pasokan obyek perjanjian (arus
149
listrik, air minum atau sarana komunikasi). Bagi pelanggan yang membutuhkan
pasokan obyek perjanjian, dirinya akan segera melunasi tunggakan, sehingga dapat
menikmati kembali pasokan yang dibutuhkan;
Surat pemberitahuan barang di pabean dinyatakan sebagai barang tidak dikuasai. Dalam
surat pemberitahuan tersebut diterangkan bahwa barang disimpan di tempat
penyimpanan pabean, dan pemilik dapat mengurus dalam jangka waktu 30 hari
disertai ancaman jika dalam 30 hari tidak diurus, maka barang akan dilelang (Pasal
65-66 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana
diubah dengan Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, selanjutnya disebut UU
Kepabeanan);
Pencegahan barang dan/atau sarana pengangkut untuk pemenuhan kewajiban pabean
(Pasal 77 UU Kepabeanan). Untuk dipenuhinya kewajiban pabean, maka pejabat bea
dan cukai berwenang mencegah barang dan/atau sarana pengangkut;
Penguncian, penyegelan dan/atau pelekatan tanda pengaman yang diperlukan terhadap
benda impor yang belum diselesaikan kewajiban pabean dan barang ekspor atau
barang lain yang harus diawasi yang berada di sarana pengangkut, tempat
penimbunan, atau tempat lain oleh pejabat bea dan cukai (Pasal 78 UU Kepabeanan);
Menolak memberikan pelayanan kepabeanan oleh pejabat bea dan cukai dalam hal orang
yang bersangkutan (importir atau eksportir) belum memenuhi kewajiban
kepabeanan Pasal 83 (3) UU Kepabeanan.
Pada tanggal 8 juni 2006 berdsar Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan
Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi Dan Tugas Esselon I Kementrian Republik Indonesia, PUPN dan
KLN bersama dengan Bidang Kekayaan Negara berada dibawah Direktorat Jendral Kekayaan Negara (DJKN) yang
menggantikan Direktorat Jendral Piutang Dan Lelang Negara (DJPLN) , sedangkan DJPLN sendiri adalah pengganti dari
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN).
Pada tanggal 6 Oktober 2006 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah,wewenang
PUPN dikurangi,yaitu Pengurusan Piutang Perusahaan Negara /Daerah tidak lagi menjadi weweng PUPN,
melainkan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang perseroan
terbatas dan badan usaha milik negara/daerah beserta peraturan pelaksanaannya.
151
Negara dengan menggunakan kekuasaan-kekuasaan yang tercantum dalam Peraturan
Penguasa Perang Pusat yang pada umumnya berhasil secara memuaskan.
Seperti telihat dalam pertimbangan putusan Mahkamah Agung dalam kasus ECW Neloe
(Kasus Bank Mandiri), menyatakan:
“Bahwa ternyata terbukti dipersidangan, Terdakwa dalam proses dan pemutusan pemberian
kredit pada PT. Cipta Graha Nusantara, telah melakukan perbuatan melanggar ketentuan
Undang-Undang Perbankan (Undang-Undang No. 10 tahun 1998) dan Kebijakan Perkreditan
Bank Mandiri (KPBM) Tahun 2000, yaitu melanggar asas kehati-hatian dari Undang-Undang
No. 10 tahun 1998 dimana asas kehati-hatian bank harus memenuhi 5 C, yaitu : Character,
condition of economy, capital, collateral, dan capacity, dan tujuan pemberian kredit, bank
harus ada analisis mendalam, ada kemampuan untuk pengembalian dari pihak debitur dan
tidak melanggar asas perkreditan yang sehat. Dari uraian pertimbangan dan fakta-fakta
tersebut perbuatan para Terdakwa telah melanggar prinsip kehati-hatian serta asas
perkreditan yang sehat, pada hakikatnya telah mengabaikan prinsip-prinsip “Good Corporate
Governance” yang berada dalam ranah Undang-undang Perbankan, akan tetapi perbuatan
melawan hukum tersebut menjadi titik awal bahkan kemudian meluas serta masuk ke wilayah
perbuatan pidanan Tindak Pidana Korupsi yang mengakibatkan timbulnya kerugian negara
yang jumlahnya amat besar”.
Pengertian melawan hukum dalam lapangan Hukum Perdata maupun Hukum Pidana,
menurut Oemar Seno Adji saling melengkapi, hal itu dikemukakannya saat menjabat sebagai
Menteri Kehakiman RI mewakili Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi ke DPR. Selanjutnya dikatakannya, bahwa pengertian maupun istilah
“wederrechtelijk binnendrigen” (masuk paksa secara melawan hukum) dan “wederrechtelijk
bevoordeling” (memberikan keuntungan secara melawan hukum) terdapat, baik dalam
lapangan Hukum pidana maupun Hukum perdata.125
Dalam lapangan Hukum Pidana, pengertian melawan hukum ada 3 (tiga) pendapat,
yaitu:126
Bertentangan dengan hukum (Simons)
Bertentangan dengan hak (subyectief recht)
Tanpa kewenangan atau tanpa hak; hal ini tidak perlu bertentangan dengan hukum (H.R).
Praktik-praktik melawan hukum baik yang berkaitan dengan prinsip mengenal nasabah
(know your costumer), kejahatan perbankan dan tindak pidana perkreditan dapat dicermati
dari proses pemberian kredit yang diberikan yang tanpa didahului oleh analisis kredit yang
professional dan diragukan integritasnya. Sedangkan menurut Jeremy Pope, bahwa integritas
itu sangat penting di dalam upaya untuk mencegah korupsi. 127 Tujuan analisis kredit adalah
menilai mutu permintaan kredit yang diajukan oleh calon debitur. Apabila bank meluluskan
permintaan kredit setelah penilaian mutu melalui analisis kredit yang benar berdasarkan
pedoman perkreditan, risiko berkembangnya kredit yang diberikan menjadi kredit
bermasalah/macet dapat diperkecil. Demikian pula sebaliknya, tidak diterapkannya secara
memadai terhadap aspek governance merupakan awal dari terjadinya kredit macet.
Indriyanto Seno Adji. Korupsi dan Hukum Pidana, Ed.2-Cet. 2. Kantor Pengacara & Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno
Adji & Rekan, Jakarta, 2002, hal. 32
Sudarto.1990. Hukum Pidana I. Cet. 2.Semarang: Yayasan Sudarto Fak. Hukum UNDIP, hal.84
Jeremy Pope. 2003. Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integritas Nasional. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, hal. 61
153
154
BAB V
KEDUDUKAN HUKUM KERUGIAN NEGARA
PADA PIUTANG NEGARA PERBANKAN DAN PERBANDINGAN
JUMLAH KERUGIAN NEGARA
A. Kerugian Negara
1. Pengertian Kerugian Negara
Kesalahan pengelolaan keuangan negara menyebabkan peruntukannya tidak tepat
sasaran dan menimbulkan kerugian negara. Kesalahan terjadi karena pelakunya
melakukan kesengajaan atau kelalaian dalam mengelola keuangan negara. Hal ini tidak
boleh dilakukan agar terhindar dari cengkeraman hukum sebagai objek hukum bukan
merupakan subjek hukum selaku pendukung hak dan kewajiban dalam perhubungan
hukum di bidang pengelolaan keuangan negara.
128
Sutedi, Andrian. 2010. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika Jakarta , hal. 163
155
Kurang dari modal karena menjual sesuatu lebih rendah dari harga pokok.
Tidak mendapatkan sesuatu yang berguna.
Tidak menguntungkan.
Sesuatu yang kurang baik.
Dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa rugi dapat bersifat material maupun
nonmaterial. Kerugian material adalah kerugian yang dapat diukur dengan nilai uang
berdasarkan parameter yang objektif. Selain itu, besarannya dapat diuji secara
profesional. Adapun kerugian nonmaterial lebih bersifat subjektif, sulit diukur dengan
mata uang dan besarannya tidak dapat diuji secara profesional.
Dari dua pertanyaan tersebut, semestinya tuntutan kerugian keuangan negara dapat
dikenakan kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan semua profesional pelaku usaha.
Dalam praktik pengadilan, terutama saat pemberian keterangan dari saksi ahli, sering
terjadi masing-masingnya memiliki pemahaman yang berbeda terkait dengan cara
perhitungan dan instansi yang kompeten untuk menghitungnya. Kata “dapat” pada
uraian Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sampai saat ini masih menjadi polemik,
terutama apakah delik formil atau delik material, dan antara berpotensi dengan tidak
berpotensi. Belum lagi bila kerugian keuangan negara ditinjau dari pelaku, sebab- sebab
timbulnya, dan waktu kejadiaannya, semua masih terbuka untuk didiskusikan lebih
lanjut.
Selebar apa pun materi diskusi, masih ada persamaannya, yaitu penetapan
langkah-langkah perhitungan kerugian keuangan negara dan nilai yang digunakannya.
Namun demikian, keduanya tidak dapat dipolakan seragam mengingat modus operandi
kasus penyimpangan yang beragam. Langkah-langkah perhitungan kerugian keuangan
negara adalah sebagai berikut:
Mengidentifikasikan penyimpangan yang terjadi, mencakup: scoring jenis
penyimpangan, penelaahan dasar hukum, pencermatan kategori kasus, identifikasi
waktu dan kejadian, identifikasi ada tidaknya perbuatan melawan hukum, dan
penentuan sebab terjadinya kasus.
Mengidentifikasi transaksi, mencakup: proses, jenis, besaran nilai transaksi, para pihak
yang terlibat, dan penentuan jenis kerugian.
Mengidentifikasi, mengumpulkan, memverifikasi, dan menganalisis bukti yang
berhubungan dengan perhitungan kerugian keuangan negara atas kasus
penyimpangan yang diaudit.
Menghitung jumlah kerugian keuangan negara berdasarkan bukti-bukti yang telah
diidentifikasi, dikumpulkan, diverifikasi, dan dianalisis.
157
Penggunaan berbagai cara penilaian tersebut harus memperhatikan peraturan
perundang- undangan dan kelaziman yang dapat dipertanggung-jawabkan secara
profesional serta dapat diterima logika hukum. Dari berbagai kasus peradilan yang
terjadi, historical cost adalah nilai yang lazim digunakan. Untuk kasus bidang kehutanan,
contoh DL Sitorus, yaitu menghitung nilai tegakan di areal konsesi eks HPH PT Inhutani
IV. Dari nilai tegakan itu diperoleh kerugian keuangan negara berupa PSDH/DR sebesar
Rp 323,65 miliar.130
158
Timbulnya kerugian negara menurut Yunus Husein 131 sangat terkait dengan
berbagai transaksi, seperti transaksi barang dan jasa, transaksi yang terkait dengan
utang piutang, dan transaksi yang terkait dengan biaya dan pendapatan. Dalam kaitan
ini, Djoko Sumaryanto mengemukakan bahwa tiga kemungkinan terjadinya kerugian
negara tersebut menimbulkan beberapa kemungkinan peristiwa yang dapat merugikan
keuangan negara, adalah sebagai berikut.132
Terdapat pengadaan barang-barang dengan harga yang tidak wajar karena jauh di atas
harga pasar, sehingga dapat merugikan keuangan negara sebesar selisih harga
pembelian dengan harga pasar atau harga yang sewajarnya;
Harga pengadaan barang dan jasa wajar. Wajar, tetapi tidak sesuai dengan spesifikasi
barang dan jasa yang dipersyaratkan. Kalau harga barang dan jasa murah, tetapi
kualitas barang dan jasa kurang baik, maka dapat dikatakan juga merugikan
keuangan negara;
Terdapat transaksi yang memperbesar utang negara secara tidak wajar, sehingga dapat
dikatakan merugikan keuangan negara karena kewajiban negara untuk membayar
utang semakin besar;
Piutang negara berkurang secara tidak wajar dapat juga dikatakan merugikan
keuangan negara;
Kerugian negara dapat terjadi kalau aset negara berkurang karena dijual dengan harga
yang murah atau dihibahkan kepada pihak lain atau ditukar dengan pihak swasta
atau perorangan (ruilslag);
Untuk merugikan negara adalah dengan memperbesar biaya instansi atau perusahaan.
Hal ini dapat terjadi baik karena pemborosan maupun dengan cara lain, seperti
membuat biaya fiktif. Dengan biaya yang diperbesar, keuntungan perusahaan yang
menjadi objek pajak semakin kecil; dan
Hasil penjualan suatu perusahaan dilaporkan lebih kecil dari penjualan sebenarnya,
sehingga mengurangi penerimaan resmi perusahaan tersebut.
131
Yunus Husein, Op.cit hal. 7
Djoko Sumaryanto,Op.cit hal. 49
159
Berbeda halnya yang dilakukan oleh Theodorus M. Tuanakotta dengan tegas
membagi atas lima sumber kerugian keuangan negara adalah sebagai berikut: 133
Pengadaan Barang Dan Jasa bentuk kerugian keuangan negara dari pengadaan barang
dan jasa adalah pembayaran yang melebihi seharusnya. Bentuk kerugian ini dapat
berupa hal-hal berikut.
0 Mark Up untuk barang yang spesifikasinya sudah sesuai dengan dokumen
tender. Kualitas dan kuantitas barang sudah benar, tetapi harganya lebih
mahal;
1 Harga yang lebih mahal dikarenakan kualitas barang yang dipasok di bawah
persyaratan. Harga secara total “sesuai” dengan kontrak, tetapi kualitas
dan/atau kuantitas barang lebih rendah dari yang disyaratkan;
2 Syarat penyerahan barang (terms of delivery) lebih “istimewa”. Oleh karena
syarat pembayaran (terms of payment) tetap, maka ada kerugian bunga;
3 Syarat pembayaran yang lebih baik, tetapi syarat-syarat lainnya seperti
kuantita, kualitas, dan syarat penyerahan barang tetap. Seperti contoh di atas,
ada kerugian bunga;
4 Kombinasi dari kerugian yang disebutkan di atas, seperti mark up dan adanya
kerugian bunga.
Pelepasan Aset, istilah yang lebih sering didengar adalah pelepasan kekayaan negara
atau pelepasan harta negara. Di bawah ini bentuk pelepasan aset (disposal of asset
atau asset disposal) dan kerugian yang dapat ditimbulkannya, sebagai berikut.
0 Penjualan aset yang dilakukan berdasarkan “nilai buku” (nilai buku
akuntansi) sebagai patokan. Panitia penjualan (boleh Direksi dengan
persetujuan Dewan Komisaris) menyetujui harga jual di atas nilai buku.
Proses penjualannya dapat dengan atau tanpa tender. Praktik tender yang
curang serupa dengan proses tender pada pengadaan barang dan jasa;
1 Penjualan tanah dan bangunan “diatur” melalui Nilai Jual Objek Pajak hasil
kolusi dengan pejabat terkait. Nilai Jual Objek Pajak di sini berperan seperti
“nilai buku”, yaitu sebagai pembenaran, seakan-akan penjualannya telah
dilakukan dengan due process.
2 Tukar guling (ruilslag) tanah dan bangunan yang dikuasai oleh negara
dengan tanah, bangunan, atau aset lain. Oleh karena aset ditukar dengan aset,
maka nilai pertukaran (exchange values)-nya lebih sulit ditentukan. Contoh,
dokumen transaksi menunjukkan bahwa tanah seluas delapan hektar ditukar
dengan tanah seluas delapan puluh hektar. Padahal tanah seluas delapan
hektar berlokasi di kawasan prima di ibukota (negara, provinsi, dan
kabupaten/kota). Sedangkan tanah seluas delapan puluh hektar berlokasi di
tempat yang belum pernah dikunjungi manusia. Masalah lain adalah surat-
surat kepemilikan, penguasaan atas tanah, peruntukan tanah, dan izin-izin
atas bangunan yang diterima dalam tukar guling. Aset negara yang bernilai
tinggi di-ruilslag dengan “tanah bodong” (substance disamarkan melalui
form).
3 Pelepasan hak negara untuk menagih. Hak negara dapat timbul karena
perikatan (misalnya dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dan putusan
pengadilan. Pelaksanaan klaim atau hak tagih sering kali terlaksana seret;
tidak atau kurang ada pengendalian internal atas hak tagih ini atau tindak
lanjutnya sangat lemah. Para makelar perkara (wartawan memperkenalkan
istilah “markus” atau makelar kasus) memberikan perangsang kepada
penguasa untuk “menghilangkan” hak tagih. Atau sebaliknya, penegak hukum
133
Theodorus M. Tuanakot, 2009 ;158-164
160
melihat “peluang” untuk berkooptasi dengan para makelar kasus. Bentuk dan
besarnya kerugian keuangan negara seharusnya bukan semata-mata jumlah
pokok (total loss), tetapi juga kerugian bunga untuk periode sejak hak tagih
“hilang” sampai terpidana membayar kembali berdasarkan putusan majelis
hakim.
Pemanfaatan Aset, Kementerian Negara, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, Badan Hukum Milik Negara, Badan Layanan Umum dan Lembaga-lembaga
lainnya mempunyai aset yang mungkin belum dimanfaatkan secara penuh karena
“salah beli” atau “salah urus”. Pihak ketiga melihat peluang untuk memanfaatkan
kekayaan negara ini, tetapi bukan melalui transaksi jual-beli. Transaksinya dapat
berupa sewa, kerja sama operasional, atau kemitraan strategis.
Upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang diberi wewenang untuk
melakukan pengembalian kerugian negara di luar peradilan merupakan tata cara
yang tidak dikenal dalam prosedur pada lembaga peradilan. Tata cara yang
dilakukan di luar peradilan dalam rangka pengembalian kerugian negara diatur
dalam UU BPK dan dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Bentuk
penyelesaian yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan berupa tuntutan
ganti kerugian yang berkaitan dengan keuangan negara yang dikategorikan sebagai
suatu kerugian negara. Tuntutan ganti kerugian yang dibebankan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan kepada pihak-pihak yang melakukan perbuatan melanggar
hukum berupa menimbulkan kerugian keuangan negara.
162
b. Tindakan Represif dengan tuntutan Ganti Kerugian
Setiap kerugian negara yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau
kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Penyelesaian kerugian negara perlu segera
dilakukan untuk mengembalikan kekayan negara yang hilang atau berkurang serta
meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat negara
pada umumnya, dan para pengelola keuangan negara pada khususnya. Pengertian
seseorang bukan hanya bendahara, termasuk pula pegawai negeri bukan
bendahara dan pejabat lain yang bertugas mengelola keuangan negara. Sementara
itu, bendahara meliputi bendahara umum negara, kuasa bendahara umum negara,
dan bendahara yang berada pada kementerian negara, lembaga nonkementerian,
dan lembaga negara.
c. Juridiksi Bendahara
Bendahara dalam ruang lingkup ini hanya tertuju pada bendahara yang berada di
kementerian negara, lembaga nonkementerian, dan lembaga negara. Jika
bendahara dalam pengelolaan keuangan negara melakukan perbuatan melanggar
hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya dan langsung
menimbulkan kerugian negara, maka wajib mengganti kerugian negara.
Pembebanan ganti kerugian adalah konsekuensi dari sumpah jabatan yang
diucapkan pada saat pelantikannya menjadi bendahara berupa melaksanakan
undang-undang dan peraturan pelaksanaannya secara jujur dan konsisten.
Ketika ada kerugian negara yang dilakukan oleh bendahara, kerugian itu tidak
boleh dipeti-eskan karena berpengaruh pada kegiatan yang membutuhkan
pembiayaan dari keuangan negara. Kerugian negara wajib dilaporkan oleh atasan
langsung atau kepala kantor kepada menteri, pimpinan lembaga nonkementerian,
atau pimpinan lembaga negara yang berkompeten untuk itu. Penyampaian kerugian
negara merupakan kewajiban hukum yang melekat pada kerugian negara, bertujuan
agar dilakukan penanggulangan (represif) berupa pembebanan ganti kerugian
kepada bendahara yang bersangkutan. Di samping itu, kerugian negara
diberitahukan pula kepada Badan Pemeriksa Keuangan dalam jangka waktu
selambat-lambatnya tujuh hari setelah diketahui kerugian negara. Karena, kerugian
negara dilakukan oleh bendahara yang proses tuntutan ganti rugi berada dalam
kewenangan badan Pemeriksa Keuangan. Sebenarnya pengenaan tuntutan ganti
163
kerugian atas perbuatan yang dilakukan bendahara bukan merupakan kewenangan
menteri, pimpinan lembaga nonkementerian, atau pimpinan lembaga negara
melainkan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan. Tujuan pemberitahuan untuk
mencocokkan laporan pertanggungjawaban bendahara yang disampaikan kepada
Badan Pemeriksa Keuangan. Proses tuntutan ganti kerugian negara oleh bendahara
berada dalam kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan.
Bendahara yang terbukti melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya, segera
dimintakan membuat surat keterangan tanggung jawab mutlak. Surat keterangan itu
berisikan pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian negara
merupakan tanggung jawabnya dan bersedia menggantikannya. Ketika bendahara
tidak membuat surat keterangan tanggung jawab mutlak bukan merupakan
kewenangan menteri, pimpinan lembaga nonkementerian, atau pimpinan lembaga
negara untuk menegurnya, melainkan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan. Hal
ini didasarkan bahwa proses tuntutan ganti kerugian kepada bendahara adalah
kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan.
Bentuk teguran yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan kepada bendahara
yang tidak membuat surat keterangan tanggung jawab mutlak adalah
diterbitkannya surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara
kepada yang bersangkutan. Surat keputusan itu mempunyai kekuatan hukum untuk
pelaksanaan sita jaminan (conservatoir beslaag) terhadap barang-barang milik
bendahara sebagai jaminan atas kerugian negara. Sita jaminan diperuntukkan
terutama terhadap barang-barang bergerak kemudian dapat diikuti dengan barang-
barang tidak bergerak, bila dipandang bahwa nilai barang-barang bergerak belum
cukup untuk memenuhi jumlah kerugian negara.
Setelah diketahui ada kekurangan kas/barang dalam persediaan yang merugikan
negara, Badan Pemeriksa Keuangan menerbitkan surat keputusan penetapan batas
waktu pertanggung-jawaban bendahara. Surat keputusan itu diterbitkan ketika
belum ada penyelesaian yang dilakukan berdasarkan tata cara penyelesaian ganti
kerugian negara yang ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Sebenarnya surat keputusan penetapan batas waktu pertanggung-jawaban
bendahara merupakan tindak lanjut untuk memaksa bendahara agar mengganti
kerugian negara. Upaya paksa dari Badan Pemeriksa Keuangan bukan merupakan
perbuatan melanggar hukum yang melanggar hak asasi manusia bagi bendahara
yang bersangkutan. Upaya paksa itu dibenarkan oleh Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UUPN) untuk dilakukan tatkala tidak
memenuhi kewajibannya berupa mengganti kerugian negara yang terjadi pada saat
sebagai bendahara.
Sungguh pun demikian, secara yuridis tidak mudah menentukan batasan arti
kerugian keuangan negara. Dalam perundang-undangan seperti Nomor 31 Tahun
1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang diubah dengan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan KUH Pidana Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, tidak ada pengertian dan
batasan yang baku perihal arti kerugian keuangan negara. Biasanya hal tersebut
tercantum dalam Bab I Ketentuan Umum. Satu-satunya undang-undang yang
mengatur tentang aset negara dan memuat pengertian dan batasan kerugian
164
keuangan negara adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara. Hanya saja cakupan undang -undang ini hanya sebatas
pada mekanisme tuntutan ganti rugi bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), baik
bendaharawan maupun nonbendaharawan. Pengertian yang sempit ini tentu
menjalin kerjasama dengan pemerintah. Fakta menunjukkan bahwa terdakwa selalu
berpasang-pasangan, yaitu birokrat dan perusahaan.
Sumber Hukum Pengaturan Kerugian Negara
0 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1
butir 22 berbunyi:
“Kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang/surat berharga dan barang
yang nyata serta pasti jumlahnya sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum
baik disengaja maupun karena kelalaian.”
Di bagian lain undang-undang ini, yaitu pada Pasal 59 sampai dengan Pasal 67
menguraikan tentang mekanisme tuntutan ganti rugi bagi bendaharawan dan
nonbendaharawan di lingkungan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan
KUH Pidana, tidak satu pun pasal yang memuat kata-kata “kerugian keuangan
negara”.
0 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, tidak satu
pun pasal yang memuat kata-kata “kerugian keuangan negara”.
1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Bab V Pasal 22 dan Pasal 23
mengupas khusus tentang pengenaan ganti kerugian negara oleh bendahara
di lingkungan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang penetapannya diterbitkan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan.
2 KUH Perdata:
0 Pasal 1366 berbunyi:
“Setiap orang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga masuk kerugian yang
disebabkan karena kelalaian atau kekuranghati-hatian.”
1 Pasal 1367 berbunyi:
“Seorang tidak hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian
165
karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau
disebabkan oleh barang-barang yang ada di bawah pengawasannya.”
Perjanjian yang dibuat tidak selalu berakibat baik bila niat untuk membuat
perjanjian kredit sejak semula ada unsur kejahatannya seperti penyalahgunaan
pemberian fasilitas kredit.
6. Hukum Kejahatan Perbankan
6.1. Aspek Perdata Dalam Produk Perbankan
Terhadap semua kasus-kasus perbankan, penyalahgunaan pemberian fasilitas atau
penggunaan kredit bank dan pemberian L/C atau aktivitas yang terkait dengan Bank
lainnya, pada hakikatnya memang dapat diproses secara pidana apabila ditemukan
penyimpangan-penyimpangan yang memenuhi rumusan delik suatu tindak pidana.
Kasus-kasus tersebut juga dapat diproses secara perdata baik yang bersifat non litigasi
maupun litigasi, atau dapat juga prosesnya ditempuh secara bersama-sama perdata dan
pidananya tergantung pada kasus posisi perkaranya.
Mariam Darus Badrulzaman et.al. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan, cetakan ke-1. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, hal. 1
166
Terhadap kasus yang demikian ini, ada perangkat hukum perdata yang memberikan
perlindungan untuk menyelesaikan persoalan kredit macet. Secara preventif bank
memang dibatasi dengan prinsip kehati-hatian yang diatur oleh Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang -Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Secara represif terhadap debitur yang di dalam perjanjiannya menyertakan jaminan
berupa agunan, maka kreditur dapat menyita dan melelang agunan tersebut. Kekuasaan
kreditur ini disebut beding van eigen matige verkoop, yang dilegalisir oleh pasal 11 ayat 2
huruf e Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah.
Selain dari itu diatur juga lembaga paksa badan berdasarkan Peraturan Mahkamah
Agung RI Nomor 1 Tahun 2004, terhadap para penunggak kredit ini dapat dikenakan
sandera paling lama 6 bulan yang dapat diperpanjang bila masa sanderanya berakhir.
Peraturan Mahkamah Agung ini mengesampingkan Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 02 Tahun 1964 jo. Nomor 04 Tahun 1975, yang melarang adanya lembaga
sandera, sebagaimana yang diatur di dalam pasal 209-224HIR/Pasal 242-258 RBg.
United Nations, Economic and Social Council, Appropriate Modalities and Guidenelines for the Prevention and
Control of Organized Transnational Crime at the Regional and International Levels, Naples : World Ministerial
Conference on Organized Transactional Crime, 21-23 November 1994, hal 3.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hal. 19.
167
sosio-ekonomi sebagai usaha bisnis atau sebagai aktivitas utama, seperti
penyalahgunaan kredit bank.137
138
Mardjono Reksodiputro. Hukum Positif Mengenai Kejahatan Ekonomi dan Perkembangan di Indonesia,
Dalam Rangkuman Seminar Ikhtisar dan Kumpulan Makalah tentang Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan,
Bank Indonesia, Jakarta, 4-7 Januari 1993, hal. 326.
168
bidang perbankan adalah pelanggaran tindak pidana ekonomi sebagai tersebut dalam pasal
1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955.
Usaha perbankan sebagai korporasi atau sebagai rechtsperson (badan hukum), dapat
melakukan tindak pidana yang dibedakan dalam 2 (dua) kategori, yaitu :
Tindak pidana yang dilakukan perbankan dalam usahanya untuk memperoleh
keuntungan (crimes for corporation), dan
Usaha perbankan yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan (criminal
corporation) misalnya Bank Gelap/usaha tanpa ijin.
Bank sebagai korporasi merupakan wadah seluruh kegiatan organisasi bisnis yang
dapat dijadikan wahana untuk melakukan kejahatan oleh para eksekutif korporasi atau
bank tersebut. Dalam proses law enforcement terhadap tindak pidana perbankan sebagai
korporasi, maka kita dihadapkan pada 2 (dua) masalah pokok, yaitu:
Masalah pertanggung-jawaban pidana dari perbankan sebagai korporasi, dan
Sistem pemindaan terhadap bank sebagai korporasi.
Kedua masalah ini belum diatur secara eksplisit dalam perundang-undangan, namun
karena secara fisik kegiatan korporasi diwakili oleh satu atau beberapa eksekutif
korporasi, maka secara teoritis bila korporasi melakukan kegiatan kejahatan adalah
manifestasi dari para eksekutifnya.
Demikian pula sistem pemindaannya, sulit untuk menentukan sanksi pidana yang
tepat untuk korporasi karena tentunya pidana penjara atau pidana mati tidak mungkin
dikenakan pada korporasi. Oleh karena itu, perlu segera diupayakan adanya pengaturan
tersendiri dalam perundang- undangan mengenai tindak pidana korupsi. Dalam
rancangan KUHP Bab II pasal 45 s/d 50 telah ada rancangan pasal-pasal korporasi,
dimana dinyatakan korporasi merupakan subjek tindak pidana (pasal 450. Dan
penuntutan dapat dilakukan, serta pidananya dijatuhkan terhadap korporasi itu sendiri,
atau korporasi dan pengurusnya saja. Namun, dalam ketentuan tersebut hanya
menyangkut pertanggung-jawaban pidananya saja, pemindaannya belum diatur.
Kredit Macet Bank RI Capai Rp 33 Triliun di 2011 naik 17%. Bank Indonesia (BI)
mencatat hingga akhir 2011 jumlah kredit macet perbankan mencapai Rp 33,401 triliun.
Jumlah ini naik 17,64% dibandingkan akhir 2010 yang sebesar Rp 28,396 triliun. Demikian
terungkap dari data statistik perbankan yang dikutip detikFinance dari Bank Indonesia
(BI), Kamis (16/2/2012).
Meskipun begitu, khusus untuk bulan Desember 2011 saja, nilai kredit macet
perbankan di Desember 2011 turun Rp. 3,603 triliun dibandingkan November 2011 yang
nilainya Rp. 37,004 triliun. Berdasarkan data BI tersebut, total jumlah kredit bermasalah
(NPL/Non Performing Loan) dari perbankan per akhir 2011 mencapai Rp. 52,527 triliun,
naik tipis dari posisi di akhir 2010 yang sebesar Rp. 52,794 triliun. Rasio NPL perbankan di
akhir 2011 mencapai 1,53%. Sampai akhir 2011 jumlah kredit yang dikucurkan perbankan
Indonesia mencapai Rp. 2.200,094 triliun. Kredit ini naik dibandingkan di 2010 yang
nilainya Rp. 1.765,845 triliun. Dari total kredit tersebut, sebanyak Rp. 2.067,704 triliun
masuk kategori lancar.
Sementara Rp. 7,407 triliun masuk kategori kurang lancar, lalu Rp. 6,887 triliun masuk
kategori diragukan, dan Rp. 33,401 triliun masuk kategori macet. Bank yang menguasai
kredit terbesar hingga November adalah Bank Umum Swasta Nasional Devisa senilai Rp.
922,541 triliun, bank BUMN Rp. 776,833 triliun, Bank Pembangunan Daerah (BPD) Rp.
170
175,702 triliun, bank asing Rp. 136,486 triliun, bank campuran Rp. 120,389 triliun, dan
Bank Umum Swasta Non Devisa Rp 68,143 triliun. Berikut posisi jumlah kredit macet
perbankan: Bank BUMN Rp. 15,4 triliun Bank Umum Swasta Nasional Devisa Rp. 11,275
triliun, Bank Pembangunan Daerah Rp. 2,494 triliun, Bank Asing Rp. 2,296 triliun, Bank
Campuran Rp. 1,196 triliun, dan Bank Umum Swasta Nasional Non Devisa Rp. 741 miliar.
*) Bank persero meliputi Bank Ekspor Indonesia, Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat
Indonesia, Bank Tabungan Negara, dan Bank Mandiri.
**) Kredit bermasalah dalam perbankan diistilahkan dengan non-performing loan (NPL).
Adapun yang dimaksud dengan rasio merupakan rasio antara kredit bermasalah dan
totalkredit.
***) Data hingga Februari.Sumber: Litbang “Kompas”/BIM, disarikan dari Bank Indonesia
diterbitkan oleh harian Kompas pada tanggal 22-10-2012.
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara akan terus melakukan upaya penyelesaian piutang
negara ini, sekalipun harus mengejar aset yang berada di luar negeri. "Pemerintah
melakukan upaya extra effort yang betul-betul militan."139 Kredit macet di bank-bank
pemerintah mencapai rekor Rp. 767, 5 triliun Kredit macet di bank- bank milik pemerintah
naik signifikan. Mengutip data Bank Indonesia (BI) terbaru, sampai dengan akhir Februari
2012. Kredit macet atau kolektibilitas lima (terburuk), pada November 2010 mencapai Rp.
642,7 triliun. Naik Rp.13,47 triliun hanya dalam rentang satu bulan. Nilai kredit macet senilai
hampir Rp. 15 triliun tersebut merupakan nilai kredit macet terbesar untuk kelompok bank-
bank plat merah sejak akhir tahun 2008 lalu. Di antara kelompok bank-bank lain, nilai kredit
macet bank-bank BUMN ini juga merupakan yang terbesar.
Di saat yang sama, jenis kredit diragukan (kolektibilitas empat) di bank-bank persero
juga naik sekitar Rp. 1,1 triliun. Dengan demikian, total nilai kredit bermasalah alias non
performing loan (NPL) di kelompok bank BUMN mencapai Rp. 23,05 triliun. Naik lumayan
besar dari posisi bulan sebelumnya yang baru sebesar Rp. 19,29 triliun. Nominal NPL
November ini juga yang terbesar bila dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2009 lalu yang
baru sebesar Rp. 18,82 triliun. Jadi, rasio NPL bank -bank milik pemerintah inipun melonjak
tinggi mencapai 3,71%. Bulan sebelumnya, rasio NPL bank-bank persero masih sebesar
3,16%. Januari 2009, rasionya juga masih relatif rendah, yakni 3,19%.
Empat bank BUMN ini adalah Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BNI), Bank Negara
Indonesia (BNI), dan Bank Tabungan Negara (BTN). Secara nasional, besar kredit
bermasalah di perbankan memang naik cukup tinggi. BI mencatat, selama 11 bulan tahun
2010 lalu, jumlah kredit bermasalah di bank naik 9,7% menjadi Rp. 52,2 triliun.
Dari data Departemen Keuangan dikatakan bahwa penetapan jumlah piutang negara
(PJPN) 7 obligor penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) menunggu keputusan
DPR. "Proses PJPN menunggu kepastian terlebih dahulu keputusan DPR karena DPR berjanji
akan mendalami terlebih dahulu permasalahan terkait dengan obligor, walaupun
pemerintah sudah menetapkan mereka sudah default (gagal bayar)," kata Dirjen Kekayaan
Negara Departemen Keuangan. Proses tindak lanjut penagihan piutang negara dari obligor
PKPS sudah diserahkan oleh Menteri Keuangan kepada Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN) Jakarta. PUPN Jakarta akan menyelesaikan utang obligor itu melalui mekanisme
PUPN.140
Proses penyelesaian piutang negara oleh PUPN dalam kondisi normal adalah selama 71
hari. Prosesnya meliputi mulai dari surat penerimaan pengurusan piutang, pemanggilan,
pemanggilan kedua jika pertama tidak hadir, dan pernyataan bersama (jika ada kesepakatan
antara PUPN dengan obligor). Dalam pertemuan dengan obligor ternyata tidak tercapai
kesepakatan mengenai jumlah utang-piutang tersebut. Dan mereka menyatakan belum
Sebelumnya Tim PKPS pemerintah menyimpulkan obligor PKPS itu telah default
berdasarkan perjanjian PKPS-Akta Pengakuan Utang (APU) Reformulasi, sehingga
perhitungan jumlah piutang kembali berdasarkan perjanjian PKPS-APU Awal, yaitu
pembayaran secara 100 persen cash settlement dengan memperhitungkan utang pokok
termasuk bunga dan denda. Sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memverifikasi
bahwa jumlah kewajiban obligor PKPS adalah sebesar Rp. 2,297 triliun dibanding dengan
perhitungan Tim PKPS sebesar Rp. 2,541 triliun, sehingga terdapat selisih Rp. 234,6 miliar.
Untuk menyelesaikan masalah perhitungan piutang itu pemerintah mengajukan tiga
skenario :
obligor dinyatakan default, sehingga jumlah piutang dihitung berdasarkan APU Awal terdiri
atas pokok, bunga dan denda.
obligor dinyatakan default, tapi diberikan keringanan bunga dan denda, sehingga jumlah utang
yang harus diselesaikan para obligor sebesar outstanding utang pokok sesuai APU Awal.
obligor dianggap tidak default, yaitu jumlah utang didasarkan pada APU Reformulasi.
Terdapat 8 nama obligor PKPS, yaitu James Januardy dan Adisaputra Januardy (eks Bank
Namura), Atang Latif (eks Bank Bira), Ulung Bursa (eks Bank Lautan Berlian), Omar Putihrai
(eks Bank Tamara), Lidia Muchtar (eks Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (eks Bank Putera
Multikarsa), dan Agus Anwar (eks Bank Pelita Istimarat). Sementara itu, mengenai upaya
paksa badan (gijzeling), merupakan upaya terakhir untuk memastikan obligor melunasi
utang-utangnya. "Upaya ini harus dimintakan izinnya lebih dahulu kepada kejaksaan tinggi,"
katanya. Paksa badan dalam perkara perdata ini berbeda dengan penahanan bagi mereka
yang terlibat dalam kasus pidana.
D. Peringkat Kredit Macet Perbankan Nasional
Bank Indonesia (BI) mencatat hingga November 2011 jumlah kredit macet perbankan
mencapai Rp. 37,499 triliun. Jumlah ini turun tipis dalam sebulan dibandingkan Oktober
2011 yang sebesar Rp. 37,856 triliun. Namun kredit macet ini tercatat naik dibandingkan
November 2010 yang sebesar Rp. 32,036 triliun. Kredit macet bank BUMN paling besar, yaitu
Rp. 17,28 triliun.141
Dari total kredit tersebut, sebanyak Rp. 1.997,533 triliun masuk kategori lancar.
Sementara Rp. 9,368 triliun masuk kategori kurang lancar, lalu Rp. 7,861 triliun masuk
kategori diragukan, dan Rp. 37,499 triliun masuk kategori macet. Bank yang menguasai
kredit terbesar hingga November 2011 adalah :
1. Bank Umum Swasta Nasional Devisa senilai Rp. 887,709 triliun,
141
Demikian terungkap dari data statistik perbankan yang dikutip detikFinance dari Bank Indonesia(BI),
(14/1/2012).
173
Bank BUMN Rp. 760,53 triliun.
Bank Pembangunan Daerah (BPD) Rp. 176,561 triliun.
Bank asing Rp. 135,755 triliun.
Bank campuran Rp. 120,398 triliun.
dan Bank Umum Swasta Non Devisa Rp. 65,907 triliun.
Hingga akhir 2011, BI mencatat kredit macet perbankan Indonesia mencapai Rp. 33,401
triliun, jumlah ini naik 17,64% dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp. 28,396 triliun.
Pada Desember 2011 tercatat nilai kredit macet perbankan turun Rp. 3,603 triliun dibanding
November 2011 yang mencapai Rp. 37,004 triliun. BI juga menunjukkan jumlah total kredit
bermasalah (NPL/Non Performing Loan) perbankan hingga akhir 2011 mencapai Rp.52,527
triliun, naik dari tahun sebelumnya di Rp. 52,794 triliun. Rasio NPL perbankan hingga akhir
2011 mencapai 1,53%. Untuk jumlah kredit yang dikucurkan perbankan Indonesia mencapai
Rp. 2.200,094 triliun naik dari Rp. 1.765,845 tahun lalu. Sebanyak Rp. 2.067,704 triliun dari
total kredit tahun 2011 masuk kategori lancar sementara Rp. 7,407 triliun masuk kategori
kurang lancar, dan Rp. 6,887 triliun masuk kategori meragukan, dan Rp. 33,401 triliun
masuk kategori macet. Kredit terbesar hingga November tercatat dikuasai oleh Bank Umum
Swasta nasional Devisa sebesar Rp. 922,541 triliun, BUMN Rp. 776,833 triliun, Bank
Pembangunan Daerah (BPD) Rp. 175,702 triliun, bank asing Rp. 136,486 triliun, bank
campuran Rp. 120,389 triliun, dan Bank Umum Swasta Non Devisa Rp. 68,132 triliun.
142
Mudrajad Kuncoro. 2010. Masalah Kebijakan dan Politik Ekonomika Pembangunan. Jakarta: Penerbit
Erlangga, hal. 330
174
BAB VI
PRAKTIK PENYELESAIAN PIUTANG NEGARA PERBANKAN
DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN
Salah satu penyebab utama terjadinya krisis perbankan adalah karena sangat kurangnya
penerapan good corporate governance yang bukan saja terjadi pada industri perbankan, tetapi
juga pada sektor swasta lainnya dan sektor pemerintahan. Lemahnya penegakan hukum,
minimnya informasi tentang debitur merupakan andil lain yang tak kalah besarnya dalam
mempengaruhi tingkat kesehatan sistem keuangan dan perbankan. Oleh sebab itu, untuk
melakukan program restrukturisasi perbankan sekarang ini, setidak-tidaknya terdapat dua
hal yang harus dilakukan. Pertama, penyelesaian aset bermasalah (kredit macet) dan kedua,
mengupayakan terciptanya good corporate governance. Upaya restrukturisasi kredit macet
oleh bank-bank BUMN/BUMD menghadapi tantangan yang cukup sulit. Pemerintah pada 16
Oktober 2006 melalui Kementerian Keuangan telah mengeluarkan peraturan pelaksanaan
penyelesaian kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) bank BUMN/BUMD yang
dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.87/PMK.07/2006 tentang
Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah. PMK ini merupakan kelanjutan dari
penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas PP No. 14
Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Keluarnya PP No. 33
Tahun 2006 disambut dengan euforia oleh bank -bank BUMN. Beberapa bank BUMN, bahkan
langsung memasukkan haircut kredit macet yang dimilikinya menjadi agenda Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS).
Namun, euforia ini akhirnya tidak berlangsung lama. Bank-bank BUMN/BUMD akhirnya
harus kembali kepada mekanisme lama terkait dengan penyelesaian kredit macetnya.
Penyebabnya, masih terjadi perbedaan cara pandang antara kalangan bank BUMN/BUMD
dengan aparatur penegak hukum di lapangan yang melihat bahwa landasan hukum untuk
melakukan haircut kredit macet melalui mekanisme RUPS lemah karena didasarkan pada PP
No. 33 Tahun 2006. Sementara itu, Undang-Undang No. 49 Prp Tahun 1960 yang
kedudukannya lebih tinggi dibanding PP, masih tetap berlaku. Pasal 12 ayat (1) UU No. 49.Prp.
Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara menyatakan: “Instansi-instansi
pemerintah dan badan-badan negara yang dimaksud Pasal 8 peraturan ini diwajibkan
menyerahkan piutang-piutangnya yang ada dan besarnya telah pasti menurut hukum.Akan
tetapi, penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia
Urusan Piutang Negara (PUPN)”. Sedangkan dalam Pasal 8 disebutkan: “yang dimaksud
dengan piutang negara atau hutang kepada negara oleh peraturan ini, ialah jumlah uang yang
wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak
langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun”.
Implikasinya, sesuai mekanisme yang berlaku dalam UU No. 49 Prp Tahun 1960, jika
penyelesaian kredit macet tidak dapat dilakukan oleh bank BUMN/BUMD terkait, maka kredit
175
macet tersebut diserahkan kepada Kementerian Keuangan (dan diperlakukan sebagai
“piutang negara”) untuk proses penyelesaian lebih lanjut. Oleh karena kredit macet tersebut
diperlakukan sebagai piutang negara, maka secara yuridis mana kala terbukti keuangan
negara dirugikan, para bankir bank-bank BUMN/BUMD dapat terancam sanksi pidana.
Rencana penghapusan piutang kredit macet pada BNI, Direktur Utama Bank BNI
mengungkapkan pihaknya memiliki piutang kredit macet mencapai Rp. 25 triliun per
semester I-2012. Kondisi ini membuat BNI berharap pemerintah segera menghapuskan
tagihan piutang macet (haircut) tersebut. "Kita di BNI cukup banyak (tagihan piutang macet)
sekitar Rp. 20 triliun dan Rp. 25 triliun”. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana
menghapuskan tagihan piutang macet sejumlah bank BUMN (termasuk diantaranya BNI Rp.
25 triliun) senilai Rp. 85 triliun.
Bidang tugas pengurusan piutang negara, sebagai bagian dari tugas dan fungsi DJKN,
juga dikelola dan dilaksanakan dengan visi yang sama. Dengan visi tersebut, bidang tugas
pengurusan piutang negara membantu stakeholders penyerah piutang untuk
mendapatkan hasil tagih atas hak mereka.
Hasil tagih atas hak tersebut, selanjutnya akan digunakan oleh negara melalui
mekanisme APBN (apabila penyerah piutang adalah kementerian negara/lembaga
pemerintah non kementerian negara/kelembagaan negara) atau APBD (apabila penyerah
piutang adalah pemerintah daerah) dapat disalurkan kembali menjadi kredit baru,
sehingga dapat membantu menggerakkan sektor riil (bila penyerahan piutang adalah
BUMN dan BUMD Perbankan) atau digunakan untuk hal-hal lain yang mendukung
pengembangan organisasi (bila penyerah piutang adalah BUMN dan BUMD non
perbankan).
Jika PUPN sudah mengupayakan penagihan secara optimal, namun piutang tetap tidak
dilunasi oleh debitur, upaya optimal PUPN tersebut dapat digunakan oleh penyerah
piutang untuk menjadi dasar melakukan satu kebijakan akuntansi piutang, yaitu
143
Tribunews.com, Jakarta, Juni 2012
176
penghapusan piutang, baik penghapusbukuan (penghapuaan secara bersyarat) maupun
penghapustagihan (penghapusan secara mutlak). Pengurusan piutang negara
dilaksanakan dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 49 Prp.Tahun 1960 tentang
PUPN144 jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan
Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
88/PMK.06/2009. Dengan dasar hukum tersebut, PUPN bersama-sama dengan dengan
DJKN melakukan penagihan piutang negara dengan surat paksa145dan melakukan upaya-
upaya lainnya untuk mempercepat dan mengoptimalkan hasil pengurusan piutang
negara. Upaya-upaya lainnya tersebut antara lain melakukan pencegahan bepergian ke
luar wilayah Republik Indonesia,146 melakukan pemblokiran dan penyitaan harta
kekayaan debitur dan/atau penjamin utang yang tersimpan pada bank, 147 melakukan
paksa badan148 dan/atau memberikan keringanan penyelesaian utang. Pengurusan
piutang negara dimulai dengan penerbitan Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara
(SP3N) oleh PUPN terhadap piutang- piutang yang pengurusannya diserahkan oleh
penyerah piutang dengan melampirkan dokumen yang dapat menjadi bukti tentang ada
dan besarnya piutang negara tersebut. SP3N tersebut akan meningkatkan outstanding
piutang negara yang sedang aktif diurus oleh PUPN/DJKN, yang lebih dikenal dengan
Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) aktif.
144
Semula, Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara merupakan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Paniitya Urusan Piutang
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2104). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Penetapan Semua Undang-Undang Darurat dan Semua Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Yang Sudah ada Sebelum Tanggal 1 Januari 1961 Menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2124)
145
Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN, penagihan piutang negara
dengan surat paksa dilakukan dengan penerbitan Surat Paksa yang bila tidak dipenuhi oleh Penanggung
Utang/Debitur, ditindaklanjuti dengan penyitaan dan penjualan melalui lelang atas barang-barang kekayaan
penanggung utang, serta dengan penyanderaan terhadap penanggung utang.
146
Kewenangan dan tanggung jawab pencegahan ini diberikan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian kepada Menteri Keuangan dalam rangka pengurusan piutang negara.
147
Kewenangan ini didahului dengan upaya membuka rahasia bank dengan izin Gubernur Bank Indonesia,
sesuai ketentuan Pasal 41A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
148
Kewenangan ini didasarkan pada Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang
PUPN.
177
Tabel 6.1 Target dan Realisasi Hasil Pengurusan Piutang Negara Periode tahun 2002-2009
PNDS
TAHUN
TARGET REALISASI
2002 1.283.000,00 444.618,88
Dengan tingkat keberhasilan PNDS sebagaimana data di atas penerbitan PSBDT, serta
jumlah penerbitan SP3N, perkembangan outstanding piutang negara yang diurus secara
aktif oleh PUPN/DJKN pada periode waktu tahun 2002-2009 adalah sebagai berikut :
(lihat tabel)
150
Lihat BAB XXI Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/PMK.06/2009.
178
Tabel 6.2 Perkembangan outstanding aktif BKPN periode tahun 2002-2009
Outstanding
BKPN Nilai
TAHUN (dalam satuan) (dalam jutaan rupiah)
Secara grafik, perkembangan Outstanding Aktif BKPN periode tahun 2002-2009 bisa dilihat pada
grafik berikut ini :
Dari grafik 1 terlihat bahwa selama kurun waktu tahun 2002-2006 terjadi
peningkatan jumlah BKPN aktif secara konstan. Pada tahun 2007, outstanding BKPN aktif
berkurang hampir sebanyak 29.400 BKPN bila dibandingkan outstanding tahun 2006.
Penyebab utama terjadinya penurunan yang signifikan atas jumlah BKPN aktif
179
pada tahun 2007 tersebut adalah pencapaian PNDS dan penertiban PSBDT yang tidak
diikuti dengan penerbitan SP3N baru atas penyerahan pengurusan dari BUMN/BUMD.
Hal tersebut terjadi karena sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 33
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005
tentang Penghapusan Piutang Negara/Daerah pada 6 Oktober 2006, BUMN dan BUMD
tidak lagi menyerahkan pengurusan piutang macetnya kepada PUPN/DJKN.
Namun demikian, outstanding BKPN aktif tahun 2007 lebih rendah dibandingkan
dengan Outstanding pada tahun 2008 dan 2009. Hal ini menunjukkan bahwa pencapaian
PNDS dan penerbitan PSBDT tidak dapat mengimbangi laju penerbitan SP3N. Tingginya
penerbitan SP3N disebabkan oleh tingginya tingkat penyerahan pengurusan piutang
negara yang berasal dari DJKN c.q. Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain.
Secara nilai, pada periode tahun 2002 sampai dengan 2009, outstanding nilai piutang
negara yang secara aktif diurus oleh PUPN tidak berkurang setiap tahunnya, sebaliknya
selalu meningkat. Peningkatan tahunan yang sangat signifikan mulai terjadi pada tahun
2007, ketika outstanding nilai BKPN aktif meningkat sebanyak hampir Rp. 9 Trilyun bila
dibandingkan dengan outstanding nilai pada tahun sebelumnya.
Bila membandingkan data PNDS yang dihasilkan oleh PUPN/DJKN pada kurun waktu
Tahun 2002-2009 dengan data perkembangan outstanding nilai BKPN aktif pada periode
yang sama, terlihat bahwa hasil pengurusan piutang negara (PNDS dan PSBDT) tidak
cukup besar untuk dapat mengurangi outstanding nilai BKPN. Dengan kenyataan seperti
itu, maka dibutuhkan upaya ekstra untuk dapat dengan segera menurunkan outstanding
nilai BKPN aktif tersebut.
C. Transformasi Kelembagaan
Paradigma pengelolaan Keuangan Negara pasca terbitnya paket Undang -Undang
keuangan negara menuntut adanya pengelolaan piutang negara yang menerapkan prinsip-
prinsip pemerintahan yang baik (good governance) yang sesuai dengan lingkungan
pemerintahan. Penerapan good governance tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan
transparansi dan akuntabilitasi dalam pengelolaan piutang negara. Perubahan paradigma
tersebut menuntut DJKN untuk membantu Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum
Negara dalam melakukan pembinaan pengelolaan piutang negara.
Apabila sebelum bidang tugas pengurusan piutang negara pada DJKN hanya terbatas
pada pelaksanaan pengurusan npiutang negara yang telah diserahkan kepada PUPN, ke
depan DJKN juga harus melakukan perumusan kebijakan dan standarisasi, serta pembinaan
pengelolaan piutang negara. Dengan kata lain, DJKN harus melakukan transformasi
kelembagaan, sehingga tugas fungsi DJKN terkait piutang negara tidak hanya terbatas pada
pengurusan piutang negara, tetapi meliputi juga bidang tugas pengelolaan piutang negara.
Dua tahun terakhir ini, DJKN sudah mulai melaksanakan tugas yang terkait dengan
pengelolaan piutang negara, yaitu melakukan inventarisasi piutang negara dan perumusan
ketentuan peraturan yang terkait dengan pengelolaan piutang negara, yaitu Peraturan
Menteri Keuangan yang memungkinkan kementerian negara/lembaga pemerintah non
kementerian negara/lembaga negara menyajikan piutangnya pada neraca sebesar nilai yang
mungkin dapat direalisasikan (netrealizable value) sebagaimana yang diamanatkan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Transformasi kelembagaan yang sudah dirintis oleh DJKN tentunya mengandung arti
penambahan beban tugas yang menuntut adanya sumber daya yang mempunyai dedikasi
untuk bidang tugas itu. Kondisi ini menuntut pembagian fokus perhatian yang selama ini
180
ditujukan pada pengurusan piutang negara yang telah diurus oleh PUPN, atau dengan kata
lain DJKN harus segera menyelesaikan beban outstanding BKPN aktif agar dapat secara
optimal mulai melaksanakan tugas tambahan terkait dengan pengelolaan piutang negara.
Program aksi di dalam road map percepatan penyelesaian pengurusan piutang negara
terdiri dari 11 program aksi yang dilaksanakan oleh Kantor Pusat, Kantor Wilayah, dan
Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Penertiban (KPKNL), baik secara sendiri-
sendiri maupun secara bersama-sama. Dengan program aksi tersebut diharapkan
outstanding BKPN aktif per Juli 2010 yang diurus oleh PUPN/DJKN dapat diselesaikan pada
tahun 2014.
Program aksi di dalam road map tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab KPKNL dan
Kanwil DJKN dituangkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor SE-
01/KN/2011 tanggal 28 Januari 2008 tentang Road Map Percepatan Penyelesaian
Pengurusan Piutang Negara Tahun 2010 s.d 2014. Rincian 11 Program Aksi dalam Road Map
tersebut adalah sebagai berikut :
182
Melaksanakan pemeriksaan dalam rangka asset/debtor tracing sebelum terbit
PSBDT.
Program aksi ini merupakan inti dari roadmap percepatan penyelesaian
pengurusan piutang negara yang menjadi program DJKN sampai tahun 2014
nanti.
Program Aksi yang dilakukan Kanwil DJKN dan KPKNL adalah sebagai berikut : Program
Aksi 9, intensifikasi pelaksanaan kewenangan pemberian keringanan penyelesaian
utang debitur yang dilaksanakan dengan kegiatan sebagai berikut :
0 Pemberitahuan kepada para debitur tentang kesempatan untuk menyelesaikan utang
masing-masing dengan mendapatkan insentif berupa keringanan.
1 Percepatan penyelesaian kajian atas permohonan keringanan penyelesaian utang.
Maksud dari program aksi ini adalah memberikan kesempatan kepada para
penanggung utang (debitur) yang memenuhi syarat tertentu untuk segera
menyelesaikan utangnya dengan mendapatkan insentif berupa keringanan, baik
keringanan jumlah utang, keringanan jangka waktu penyelesaian utang, maupun
kombinasi dari keduanya.
Diharapkan, insentif berupa keringanan tersebut dapat menjadi pemicu banyak
penanggung utang (debitur) untuk menyelesaikan utangnya kepada negara.
Program Aksi yang dilakukan Kantor Pusat DJKN adalah sebagai berikut :
0 Program Aksi 5, penyederhanaan prosedur pengurusan piutang negara yang
dirumuskan dalam RUU tentang Pengurusan Piutang Negara dan Piutang Daerah.
RUU tersebut dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) menjadi salah satu RUU
yang diprioritaskan untuk dibahas di DPR pada tahun 2011. Diharapkan RUU
tersebut selesai dibahas di DPR dan dapat diundangkan pada Semester II Tahun
2011.
1 Program Aksi 6, penyusunan peraturan yang memungkinkan penyederhanaan
proses/tahap pengurusan piutang negara. Peraturan tersebut disusun baik sebagai
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN (sambil
menunggu diundangkannya RUU tentang Pengurusan Piutang Negaradan Piutang
Daerah) maupun pelaksanaan Undang-Undang tentang APBN yang diundangkan
setiap tahunnya.
2 Program Aksi 10, intensifikasi pembinaan kepada Kantor Wilayah DJKN dan KPKNL.
Program aksi yang dilakukan Kantor Pusat DJKN, Kanwil DJKN, dan KPKNL, baik secara
bersama-sama maupun pada masing-masing tingkatan adalah sebagai berikut :
0 Program Aksi 7, capacity building bagi juru sita, pemeriksa dan pengelola (analisa)
BKPN. Kegiatan ini ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan para
petugas yang menjadi tulang punggung dalam pengurusan piutang negara (jurusita),
pemeriksa, dan pengelola (analisa) BKPN.
Bentuk kegiatan tersebut melaksanakan rapat kerja pembinaan yang juga
menghadirkan narasumber dari Direktorat Jenderal Pajak, Pengadilan Negeri, dan
Badan Pertanahan Nasional yang memberikan sharing pengalaman terkait tugas
kejurusitaan, serta pengetahuan hukum pertanahan yang terkait dengan penyitaan.
Selain itu, diadakan juga kegiatan workshop penelusuran aset dan debitur (asset and
debtor tracing) dengan narasumber yang berasal dari instansi yang secara intensif
melakukan kegiatan penelusuran aset dan orang, seperti Komisi Pemberantasan
Korupsi, DJP, Bareskrim POLRI, dan PPATK.
183
Program Aksi 8, koordinasi dengan penyerah piutang khususnya BUMN/D agar menarik
pengurusan piutang negara dari PUPN/DJKN, baik dalam rangka restrukturisasi
maupun dalam rangka penyelesaian piutang dengan mekanisme korporasi.
Selain program aksi tersebut di atas, terdapat beberapa upaya lain yang dapat
mempercepat penyelesaian pengurusan piutang negara, yaitu :
kerjasama dengan penyerah piutang untuk memasarkan barang jaminan;
kerjasama dengan BPN dalam rangka penelusuran/pencarian barang jaminan berupa tanah
yang belum/tidak ditemukan pada waktu penyitaan, serta untuk mencari jalan keluar
terhadap penjualan melalui lelang atas tanah yang masa berlaku hak kepemilikannya
telah habis.
Kerjasama dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Hukum dan HAM, serta
stakeholder DJKN lainnya, khususnya dalam pencarian informasi dan dokumen yang dapat
memberikan bukti kepada PUPN/DJKN dalam mempercepat piutang negara tak tertagih.
Konsepsi penyelesaian ini begitu mendesaknya, sehingga pemerintah mengajukan
rancangan Undang Undang Piutang Negara dan Daerah yang sekarang dalam penggodokan.
Akan tetapi, rancangan ini sangat merugikan rakyat dikarenakan konsep dasar penyelesaian
piutang negara dibatasi pada persoalan keuangan mikro.
a. Upaya Pemerintah Menanggulangi Keadaan Darurat/Krisis Ekonomi
Indonesia sudah belajar dari krisis ekonomi tahun 1998 dan 2008. Dari kondisi
tersebut, Indonesia meningkatkan sistem peringatan dini (early warning system) dan
protocol manajemen menghadapi krisis. Kondisi ini membuat Indonesia lebih siap
meredam krisis yang datang.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengemukakan hal itu dalam pidatonya saat
membuka seminar internasional “Financial Stability Through Effective Crisis Management
and Inter-agency Coordination”, di Nusa Dua, Bali, pada tanggal 6 Desember-2012. Seminar
dihadiri sekitar 250 orang dari beberapa negara, yang bergerak di sektor finansial.
“Langkah-langkah itu untuk mencegah, mendeteksi, dan mengatasi krisis,” kata Agus.
Langkah stabilitas financial di Indonesia melibatkan empat lembaga dalam Forum
Koordinasi Stabilitas Sektor Keuangan.
Michael Taylor dari Financial Stability Board dalam pidato pembukanya menyatakan,
kebijakan makroprudensial untuk membatasi risiko sistematis. Risiko itu berupa
gangguan-gangguan stabilitas keuangan ataupun risiko yang berakibat serius pada
perekonomian. “Elemen kuncinya adalah identifikasi dan monitor risiko keuangan
sistematis serta kalibrasi instrumen makro prudensial,” papar Taylor. Dari sejumlah krisis
finansial yang melanda dunia, ada pelajaran yang bias diambil, yakni terbangunnya risiko
sistematis perlu waktu serta pembuat kebijakan perlu tahu dan paham hubungan pasar
intra-finansial yang kompleks.
Lebih lanjut, Bank Indonesia akan meningkatkan kerangka kerja manajemen krisis
secara komprehensif sebagai bagian dari protokol manajemen krisis. Kerangka kerja Bank
Indonesia itu didasarkan pada empat prinsip dasar, yaitu tata kelola, pencegahan dan aksi,
koordinasi, serta komunikasi. (IDR)
151
Tugas FSSK :
Dapat merekomendasikan langkah penyelamatan Ban Indonesia atau lembaga Penjamin Simpanan.
Rekomendasi ke Bank Indonesia berupa melakukan fasilitas pembiayaan ,sedangkan rekomendasi ke
Lembaga Penjamin Simpanan berupa langkah likuidasi.
Jika penyelamatan melalui APBN , tugas Menteri Keuangan untuk mengusulkannya ke DPR dan DPR
dalam waktu 1 X 24 jam harus memutuskan diterima atau tidaknya usulan FKSSK tersebut.
( sumber data dari Harian Kompas tanggal 7 Desember 2012 )
185
Sebagai implementasinya, pada 22 September 2004, ditetapkan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). LPS dirancang
sebagai satu unsure penting dalam jarring pengaman sistem keuangan (financial safety
net) yang merupakan praktek terbaik di banyak negara.
Sementara itu, fungsi turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan yang
diwujudkan melalui upaya menyelamatkan atau penyehatan bank gagal yang tidak
berdampak sistemik maupun yang tidak berdampak sistemik (bank resolution).
Keputusan menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bank gagal tidak berdampak
sistemik ditetapkan LPS. Salah satu pertimbangannnya didasarkan pada perhitungan
biaya yang lebih rendah (lower cost test) antara menyelamatkan bank tersebut dengan
membayar klaim penjaminan.
Selain itu, keputusan untuk menyelamatkan bank gagal yang berdampak sistemik
ditetapkan dan diserahkan oleh Komite Koordinasi yang terdiri dari Menteri Keuangan,
Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner. LPS selanjutnya bertindak
sebagai pelaksana dalam penyelamatan bank gagal yang telah diputuskan berdampak
sistemik.
Dalam upaya penyelamatan bank gagal, LPS berwenang mengambil alih dan
menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk RUPS; menguasai,
mengelola, dan menjual/mengalihkan aset bank; melakukan penyertaan modal
sementara; serta mengalihkan manajemen pada pihak lain.
Sejalan dengan API, LPS mempunyai jangka waktu penyelamatan paling lama empat
tahun untuk bank tidak berdampak sistemik dan lima tahun untuk bank gagal yang
berdampak sistemik. Selanjutnya LPS wajib menjual seluruh saham bank yang tidak
berdampak sistemik mulai pada tahun kedua, dan tahun ketiga untuk bank yang
berdampak sistemik secara terbuka dan transparan.
Dalam hal LPS telah membayar klaim penjaminan simpanan nasabah bank yang
dicabut izinnya, LPS mempunyai hak untuk menggantikan posisi nasabah penyimpan
tersebut (hak subrogasi) dalam pembagian hasil likuidasi bank. Pemberian kewenangan
dan hak tersebut dimaksudkan untuk mengoptimalkan tingkat pemulihan (recovery rate)
bagi LPS sehingga keberlangsungan program penjaminan simpanan dapat terus dijaga.
Keberadaan LPS sejalan dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang bertujuan
menciptakan sistem perbankan nasional yang kuat, bertumbuh, dan sehat. Fungsi LPS
dalam menjamin simpanan nasabah bank maupun melakukan penyelamatan bank gagal
merupakan bagian penting dalam Pilar ke-6 API. Selain itu, peran LPS dalam mendukung
stabilitas sistem perbankan berkontribusi mendorong pertumbuhan perekonomian
nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
186
E. ANALISIS HASIL PENELITIAN
1. Analisis Hubungan Konsep Negara Kesejahteraan dengan BUMN
Pada ringkasnya kesejahteraan rakyat yang menjadi dasar dan tujuan negara Indonesia
Merdeka ialah keadilan masyarakat atau keadilan sosial. Menurut Hamid S. Attamimi,
bahwa negara Indonesia memang sejak didirikan bertekad menetapkan dirinya sebagai
negara yang berdasar atas hukum, sebagai Rechtsstaat. Bahkan Rechtsstaat Indonesia itu
ialah Rechtsstaat yang “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Rechtsstaat
itu ialah Rechtsstaat yang material, yang sosial, yang oleh Bung Hatta disebut Negara
Pengurus, suatu terjemahan Verzorgingsstaat.152
Secara teoretik, jabatan (ambt) adalah lingkungan pekerjaan tetap yang dibentuk atau
diadakan untuk melaksanakan tugas dan kewenangan atau suatu lembaga dengan lingkup
pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu lama dan kepadanya diberikan tugas dan
wewenang. Kewenangan yang dimaksud dalam konteks ini adalah kemampuan untuk
melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu di bidang publik. Jabatan itu seperti halnya
badan hukum merupakan suatu abstraksi atau fiksi yang diakui keberadaannya dalam lalu
lintas pergaulan hukum (rechtsverkeer) dan dapat melakukan perbuatan hukum atas dasar
kewenangan yang bersifat hukum publik (publiekrechtelijke bevoegdheden). Adanya
kewenangan publik inilah yang membedakan subjek hukum publik dengan subjek hukum
privat. Subjek hukum publik itu melakukan perbuatan hukum atas dasar kewenangan
(bevoegdheid), sedangkan subjek hukum privat bertindak atas dasar kecakapan
(bekwaam). Dengan kata lain, validitas atau keabsahan perbuatan hukum publik
(publiekrechtelijke handelingen ) ditentukan oleh ada atau tidaknya kewenangan, yang
secara teoretik dapat diperoleh melalui atribusi, delegasi, dan mandat. Sedangkan validitas
perbuatan hukum perdata (privaatrechtelijke handelingen) ditentukan oleh ada atau
tidaknya kecakapan yang dimiliki subyek hukum.
152
Hamid S. Attamimi, Der Rechtsstaat Republik Indonesia dan Perspektifnya Menurut Pancasila dan UUD
1945, Makalah pada Seminar Sehari dalam Rangka Dies Natalies Universitas 17 Agustus ke-42, Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus, Jakarta, 9 Juli 1949, h. 17.
187
Sebagai suatu abstraksi, jabatan hanya dapat melakukan perbuatan hukum melalui
suatu perwakilan, yakni pejabat (ambtsdrager) atau organ yakni orang atau sekelompok
orang yang berdasarkan Undang-Undang atau anggaran dasar berwenang mewakili badan
hukum (atau jabatan) untuk terlibat dalam pergaulan hukum, atau setiap orang yang
dilekati kewenangan itu berkuasa untuk melakukan perbuatan hukum atau sesuatu yang
sejenis dengan itu.
Bedasarkan konsep badan hukum dan jabatan atau organ tersebut, muncul pertanyaan
tentang kedudukan hukum (rechtspositie) BPPN dan PUPN , apakah badan hukum atau
organ pemerintahan ? Beberapa penulis seperti Indroharto mengatakan bahwa BPPN ,
PUPN tidak berbeda dengan BUMN itu tergolong “instansi pemerintah”. Sementara
menurut Arifin, BUMN/BUMD itu merupakan badan hukum perdata yang tidak
mempunyai kewenangan publik. Kekayaan negara dan daerah yang menjadi modal dalam
bentuk saham dari badan usaha tersebut tidak lagi merupakan kekayaan negara atau
daerah, tetapi telah berubah status hukumnya menjadi kekayaan badan usaha tersebut.
Sintesis hukum seperti ini adalah sangat berbahaya karena melepaskan fungsi kepentingan
umum menjadi kepentingan pribadi/badan.
Dengan demikian masih melekatnya unsur pejabat dalam kedudukan hukum Piutang
Negara perbankan , maka penyelesaiannya tunduk pada hukum publik dan imunitas
publiknya sebagai penguasa masih tetap berlaku, sehingga fungsi hak mendahului dari
kreditur lainya memiliki kekuatan hak eksekusi.153
1.1. Analisis Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 terhadap BLBI
Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No.14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/ Daerah.
Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari terbitnya Peraturan Pemerintah yang baru itu
berkisar kepada hal-hal berikut :
Bagaimana piutang-piutang bank BUMN dapat diselesaikan menurut Undang-Undang No. 1
Tahun 1995 tentang Perseroan.
Mengapa penegakan hukumnya dilakukan secara responsif padahal pemerintah sebagai
pemegang saham mayoritas (kreditur) yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada
debitur (sub-ordinat)
Bagaimana tindakan hukumnya, bila tindakan direksi dan komisaris dianggap merugikan
pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas.
Apakah sinkronisasi Undang-Undang dengan model hukum reponsif secara efektif dapat
menyelesaikan piutang negara perbankan.
153
Lihat pada Arifin P. Soeria Atmadja, Format Fungsi Publik Pemerintah dan Badan-Badan
188
Nonet juga mengartikan bila ketertiban dihasilkan dari hukum otonom 154, yaitu
legitimasi. Legitimasi berarti orientasi dan kelekatan yang ketat pada prosedur hukum,
maka ketertiban tidak lagi dominan dan keadilan menjadi lambat dan tidak efisien.
Olehkarena itu terhadap kondisi yang sulit/krisis atau banyaknya piutang yang macet,
penegakan hukum lebih mengutamakan pada sasaran-sasaran yang kongkret harus lebih
dominan dibanding pada orientasi prosedur.
Nonet dan Selznick juga mengorientasikan teorinya pada model hukum responsif,
dalam hukum responsif tertib hukum dinegosiasikan, pengampunan terhadap pelanggaran
hukum dapat dinegosiasikan demi kepentingan menyusun kembali perjanjian. Dimana
perjanjian akan terus berjalan misalnya dengan upaya- upaya retrukturisasi, penghapusan
(Write Off), Pengimpasan pinjaman (Set Off) dan dana talangan (Bail Out). Jadi, menurut
Nonet upaya penegakan hukum dalam model hukum responsif selalu dimenangkan melalui
cara-cara pengampunan, sedangkan penegakan hukum dalam model hukum represif
adalah dimenangkan melalui sub-ordinat (kedudukan para pihak tidak mempunyai
kewenangan atau hak yang sama dalam penagihan piutang). 155 Masing-masing tipe hukum
terikat dengan dalam situasi dan keadaan yang dihadapi dalam kehidupan bernegara, 156
dan penegakan hukumnya juga terikat oleh keadaan yang dihadapi (problem dan konteks
tertentu).157 Selanjutnya Nonet mengatakan bahwa agar penegakan hukum berfungsi
efektif, bukan dari pelaksanaan kebebasan atau keleluasaan yang ada pada lembaga-
lembaga yang merespon tuntutan-tuntutan yang bersifat reduksi kekuasaan, tetapi perlu
ditegakkannya otoritas pada lembaga yang merupakan sub-ordinat.
Menurut Philippe Nonet, meski tertib hukum dapat mengunakan paksaan dalam
pemenuhan kepentingannya kembali atas sesuatu yang diinginkannya haruslah
bergantung pada kekuasaan tertinggi untuk melakukan paksaan tersebut. Dalam piutang
negara perbankan, misalnya kalau debitur wanprestasi, maka kreditur mendapat
kekuasaan tertinggi untuk melakukan apa saja untuk menjual atau melelang tanpa
mengikuti aturan (prosedur) dalam hukum acara perdata.
Dalam teori Nonet dikenal juga tipe hukum otonom, pada tipe hukum ini tekanan dari legitimasinya diletakan pada
prosedural.
155
Pihak kreditur melalui PUPN mempunyai kewenangan yang lebih tinggi dari debitur, sehingga PUPN dapat
menggunakan upaya represif (surat paksa, surat sita, pemblokiran dan sandera)
156
Philippe Nonet, Philip Selznick - mengembangkan tiga tipologi hukum yang mengatakan bahwa antara
otoritas, legalitas dan negositas adalah berdiri sendiri, dengan model hukum yang tersebut masing-masing
mengutamakan kebutuhan atau situasi yang menyertainya, misalnya tipe hukum represif, yang dipermasalahkan
adalah otoritas tunggal, dalam tipe hukum Otonom yang dipersolkan adalah masalah legitimasi dari tata tertib
sosial yakni legitimasi yang didasarkan atas gagasan bahwa tertib sosial sah apabila penggunaan kekuasaan
didasarkan atas prinsip-prinsip konstitusional, prosedur-prosedur formal, dalam lembaga peradilan yang bebas,
yang merupakan cita-cita “rule of law” yang liberal klasik. Sedangkan tipe hukum Responsif yang
dipermasalahkan adalah tujuan dan tata tertib sosial yang berasal dari hasrat untuk membuat hukum lebih
bertujuan dalam melayani manusia dan institusi-institusi untuk mencapai tujuan dimaksud, sehingga yang ingin
dicapai memberikan kemampuan fasilitasi untuk menentukan atau merancang kesesuain badan-badan khusus
(institusi-institusi) sebagai elaborasi antara kepentingan politik dan hukum dan merancang beragam
pengawasan
157
Pemikiran Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition : Toward Responsive
Law,Harper & Row, 1978, diterjemahkan oleh. Raisul Muttaqien, Hukum Responsif,(Bandung: Nusamedia,
2007)
189
menghadapi kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) bank PT. BRI (Persero) Tbk, PT.
Bank BNI (Persero) Tbk, PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Pemerintah merencanakan
penghapusan pasal 19 dan Pasal 20 PP No.14 Tahun 2005. Menteri Keuangan Sri Mulyani
menyatakan : “Selanjutnya, pengurusan piutang perusahaan negara/daerah dilakukan
berdasarkan UU Perseroan Terbatas dan UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jadi
disebutkan bahwa aturan yang mengatur bank-bank BUMN adalah UU Perseroan dan UU
BUMN.”
Bahwa oleh karena itu, piutang BUMN menurut pasal ini adalah piutang negara, dan
penyelesaiannya melalui jalur badan khusus, yaitu PUPN, Undang-Undang ini masih
sejalan dengan penegakan hukum represif. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8
Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara
menyatakan bahwa “piutang negara atau hutang kepada negara adalah jumlah uang yang
wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak
langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab
Erma Rajaguguk , Disampaikan Pada Seminar Nasional “Risiko Hukum Dan Bisnis Dalam Investasi BUMN
&BUMD : Implikasi Penerbitan PP 33 Tahun 2006 Tentang Piutang Negara”, diselenggarakan oleh Ikatan
Alumni Universitas Diponogoro dan INFO BANK, Jakarta, 20 April 2007 Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Mendapat Sarjana Hukum (SH) dari Universitas Indonesia (1974), LL.M dari University
Washington School of Law, Seattle (1984), Ph.D dari University Washington School of Law, Seattle (1988).
190
apapun”. Dan dalam penjelasannya dikatakan bahwa piutang negara meliputi pula piutang.
“badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik
negara, misalnya Bank-bank Negara, P.T-P.T Negara, Perusahan-Perusahaan Negara,
Yayasan Perbekalan dan Persedian, Yayasan Urusan Bahan Makanan dan sebagainya ”, Pasal
12 ayat (1) Undang-Undang yang sama mewajibkan instansi- instansipemerintah dan
badan-badan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 untuk menyerahkan piutang-
piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, tetapi penanggung
hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang
Negara. Ketentuan ini adalah kedudukannya sama dengan ketentuan tentang piutang
BUMN dalam Undang-Undang No. 49 Prp. Tahun 1960 tersebut semestinya mengikat
secara hukum dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara, bukan tidak mengikat sebagaimana pendapat Mahkamah Agung, sehingga
pemerintah akhirnya memandang bahwa perlu diadakan perubahan prinsip hukum
penyelesaian piutang negara yang mengesampingkan lex specialis asas sub-ordinat dengan
alasan bahwa merupakan undang-undang BUMN, memiliki kedudukan khusus (lex
specialis).
Sebenarnya bila dipandang dari asas-asas hukum tidak ada perbedaan Undang-Undang
yang khusus, kedua-duanya juga merupakan bagian dari Undang-Undang khusus adalah
merupakan rumpun dari peraturan primer hukum keuangan negara. Dan antara Undang-
Undang BUMN danUndang-Undang keuangan negara, Undang-Undang perbendaharaan
negara tidak terlepas dari bagaimana mengatur dan mengelola keuangan negara yang
dipakai dan digunakan untuk perusahaan negara, sehingga bila ada tagihan piutangyang
berpotensi merugikan negara yang disebabkan adanya perjanjian, penyelesaiannya harus
dibedakan dengan piutang non negara. Maka diperlukan Undang-Undang untuk menagih
piutang negara melalui suatu badan khusus, seperti Undang- Undang No. 49 Prp. Tahun
1960 tantang PUPN berfungsi mengatur yang memiliki sifat yang sama antara Undang-
Undang BUMN, yaitu sebagai hukum materiil.
Pasal 2 huruf g Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 yang berbunyi :
Keuangan Negara sebaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi :
“kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atauoleh pihak lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.”
Dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, maka ketentuan
dalam Pasal 2 huruf g khusus mengenai “kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/perusahaandaerah” sebenarnya lebih mengikat pada pola penegakan hukum
represif dan yang secara-jelas dan terang bahwa pengaturan ini memakai konsep tidak ada
pembedaan jenis “uang negara” antara yang dipisahkan dengan yang tidak dipisahkan, tetap
disebut sebagai keuangan negara bandingkan dengan definisi “Piutang Negara adalah
jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat
yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”;
191
Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Peraturan Pemerintah tersebut menghapuskan
Pasal 19 dan Pasal 20 dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005.
Pandangan diatas tidak terdapat sinkronisasi dengan definisi piutang negara yang
terdapat dalam Undang-Undang perbendaharaan negara dan Undang-Undang PUPN.
Meskipun dalam penjelasan UU BUMN diterangkan bahwa yang dimaksud “dipisahkan”
pemisahan dari APBN, untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaan-nya tidak lagi
didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada
prinsip-prinsip perusahaan yang sehat (entitas perusahaan negara yang sehat). Makna
perusahaan perusahaan yang sehat, tidak berarti mengambil alih pemaknaan secara
analogi 159 dengan perusahaan swasta, hal ini tidak berarti bahwa kekayaan negara itu
menjadi milik perusahaan swasta, tapi masih tetap melekat pada prinsip-prinsip
piutang negara dengan demikian pengelolaan termasuk pengurusan atas Piutang BUMN
tersebut harus tetap dilakukan dalam koridor pengurusan Piutang Negara dan
mekanisme pengelolaan pengurusannya berdasarkan prinsip-prinsip hukum
penyelesaian piutang negara.
Bila makna kekayaan negara yang dipisahkan harus tunduk pada hukum perseroan,
maka penyelesaian Piutang-Piutang BUMN dilaksanakan secara model hukum responsif
berdasar Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, bertabrakan
dengan prinsip-prinsip piutang negara. Pertama-tama, Direksi perlu menyusun
klasifikasi piutang-piutang tersebut menurut besarnya piutang, apakah masih ada
anggunan, nilai pasar anggunan tersebut sekarang, dan eksistensi Debitur sekarang ini.
Perseroan perlu membuat pedoman tentang pemotongan utang dan penghapusan
piutang. Dalam hal ini organ tertinggi adalah Rapat Umum Pemegang Saham. Karena
Secara hermeunetik pemaknaan demikian adalah memahami simbol pada simbol yang lain berakibat
pengertian yang seharusnya dapat diterangkan menjadi menerangkan.
192
Pemerintah sebagai Pemegang Saham 100% atau Pemegang Saham mayoritas, maka
Pemerintah perlu membuat pedoman tersebut.
Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
menyatakan, RUPS mempunyai segala wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi
atau Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan/atau
Anggaran Dasar.
Pasal 88 ayat (1) Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau
menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan.
Pasal 100 ayat (1) menyatakan, dalam Anggaran Dasar dapat ditetapkan pemberian
wewenang kepada Komisaris untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada
Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu.
Implikasi dari perubahan penegakan hukum dari represif menjadi responsif, yaitu PP 36
Thn 2006 terhadap penyelesaian piutang negara bank BUMN. Berdasarkan uraian di atas
implikasinya terhadap BUMN mengatur hal-hal berikut ini:
kekayaan PT. Persero dan Perum bukan termasuk kekayaan negara, tetapi merupakan
kekayaan badan hukum PT. Persero dan Perum itu sendiri.
namun demikian dengan perubahan beberapa undang-undang tersebut di atas, Kejaksaan dan
KPK berhak memeriksa dugaan korupsi di BUMN Persero dan Perum, tanpa
mengkaitkannya dengan “keuangan negara” atau “kerugian negara” lagi.
perubahan beberapa undang-undang tersebut di atas perlu untuk sinkronisasi Undang-
Undang Perseroan Terbatas dan beberapa undang-undang lainnya termasuk Undang-
Undang Pemberantasan Korupsi dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Sinkronisasi ini perlu agar berbagai Undang-Undang tersebut di atas tidak
bertabrakan, sehingga terdapat konsitensi perundang-undangan dan kepastian hukum.
Penyelesaian secara responsif dari analisa di atas bila terjadi tindakan direksi dan
komisaris dianggap merugikan Pemerintah sebagai pemegang saham ditempuh melalui
dua tahapan :
1. Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas harus mengajukan gugatan. 160 Undang-
Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dapat memungkinkan Pemegang
Saham menggugat Direksi atau Komisaris apabila keputusan mereka itu dianggap
merugikan Pemegang Saham berdasarkan salah satu dari tiga pasal berikut ini: Pasal 54
ayat (2) yang menyatakan :
“Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan ke Pengadilan
Negeri apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil akibat
keputusan RUPS, Direksi atau Komisaris”.
Pasal 85 ayat (3) yang menyatakan :
“Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu
persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang karena
kesalahan atas kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan”.
Pasal 98 ayat (2) yang berbunyi :
160
Penggugatnya adalah Kejaksaan Agung sebagai pengacara negara
193
“Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu
persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap Komisaris yang karena kesalahan
atau kelalaiannya dapat menimbulkan kerugian pada perseroan”. Oleh karenanya, negara
sebagai Pemegang Saham berdasarkan pasal-pasal di atas dapat menggugat individu
Komisaris dan Direksi bila keputusan mereka dianggap merugikan.
1.3. Diterapkannya Hukum Represif tuntutan pidana kepada Direksi dan Komisaris
PT. BUMN (Persero)
Direksi suatu perusahaan BUMN Persero dapat dituntut dari sudut hukumpidana.
Hal ini dapat saja dilakukan apabila Direksi bersangkutan melakukan penggelapan,
pemalsuan data dan laporan keuangan, pelanggaran Undang-Undang Perbankan,
pelanggaran Undang-Undang Anti Pencucian Uang (Money Laundring).
Pemerintah melalui Kejaksaan Agung tetap dapat menuntut korupsi yang terjadi
dalam BUMN Persero. Di Amerika, berdasarkan The Foreign Corrupt Practices Act,
perusahaan Amerika yang melakukan suap di luar negeri dapat dituntut di AS. Begitu
juga menurut The United Nations Convention of AntiCorruption, swasta dapat dituntut
oleh negara kalau melakukan penyuapan, pemalsuan pembukuan, penghilangan
dokumen, dan lain-lain. Akan tetapi, bukankarena kekayaan perusahaan itu merupakan
kekayaan negara. Korupsi adalah kejahatan, sama dengan pencurian, perampokan;
walaupun bukan uang negara yang dicuri atau dirampok, alat negara menuntut dan
menghukum pelakunya.
1.4. Sinkronisasi Penegakan hukum Responsif penyelesaian piutang negara
Perbankan
Menurut Nonet dan Selznick, fungsi penegakan hukum terikat oleh problem dan
konteks tertentu (keadaan yang dihadapi), ketika keadaan benar-benar parah, atau
dalam keadaan bahaya, tertib hukum harus memiliki potensi represif, kondisi-kondisi
demikian memerlukan persyaratan bagi efektifitas penegakan hukum, yaitu: menjamin
tegaknya keadilan yang benar-benar mampu untuk memperkuat nilai hukum yang
menunjukkan alternatif-alternatif pemaksaan,161 dan memberikan otoritas kepada
penguasa untuk melakukan tindakan-tindakan hukum dengan sumber daya yang
tersedia untuk mencapai tujuan yang menguntungkan negara.
Setiap tindakan yang dilakukan atau kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
mensyaratkan beberapa kepentingan di bawah kepentingan yang lainnya. Sebuah
keputusan dari sebuah kebijakan yang merugikan kepentingan lain dan bahkan
menyakitkan bukan merupakan suatu represi sepanjang keputusan itu dimaksudkan
untuk menghindari dari timbulnya bahaya/kerugian negara. Prosedur diperlukan hanya
untuk menghormati hak-hak seseorang atau mencari cara yang dapat mengurangi atau
membatasi akibat yang membahayakan.
Di sisi lain, dalam pandangan Nonet & Selznick, pengabaian terhadap asas
keseimbangan/kedudukan yang sama (antara kreditur dan debitur) dapat dirasakan
bukan sebagai represi jika tindakan tersebut terjadi dalam keadaan darurat yag
dirasakan secara luas, seperti dalam situasi krisis moneter atau situasi sejenis.
161
Upaya paksa untuk merealisasi hak/sanksi keberadaannya bersamaan dengan adanya bidang-bidang hukum
baik perdata maupun pidana, maka terhadap piutang, khusus piutang negara pada hakikatnya adalah piutang
seluruh rakyat. Dengan demikian yang memiliki tagihan terhadap debitur adalah seluruh rakyat dalam negara,
maka piutang negara harus dibedakan dengan piutang non negara.( Muhammad Dja’is,“ Hak Eksekusi dan
Manfaatnya dalam Penyelesaian Piutang Negara dalam Perseptif Hukum Bisnis Indonesia pada Era
Globalisasi, (Semarang: Genta Press, 2007), h.275.
194
Penerapan hukum represif diperlukan dalam situasi kondisional. Gambaran umumnya
dapat diketahui dari keadaan yang dihadapi, misalnya situasi, yaitu krisis moneter atau
kondisi sulit banyaknya piutang/kredit macet yang berpotensi merugikan negara.
Bentuk represi yang paling potensial dalam penegakan hukum adalah penggunaan
kekuasaan yang diberikan Undang-Undang untuk menegakan hak dalam melaksanakan
kekuasaan, misalnya untuk menyita barang jaminan atau menahan seseorang, menekan
pihak yang tidak patuh, atau menghentikan protes. Akan tetapi, represi bisa dilakukan
sangat halus dengan mendorong tahapan-tahapan prosedur dan menggali isi perjanjian
untuk mendapatkan suatu penyelesaian yang diakibatkan oleh adanya wanprestasi. 162
Substansi hukum represif adalah undang-undang yang mengandung unsur-unsur hukum materil dan unsur-
unsur hukum formal .
Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development’.Journal of International Law and Policy. Vol 9, h.
195
Konsekuensinya pengelolaan persero bertanggung jawab terhadap hutang-hutang
Perusahaan apabila terjadi kerugian negara dilakukan terhadap UU No. 31 Tahun
1999tentang Tindak Pidana Korupsi, yaitu mengenai pengertian tindak pidanakorupsi,
yaitu : “Tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara termasuk juga korupsi yang dapat merugikan keuangan
perusahaan negara Pasal 2 UU No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
termasuk juga yang dapat merugikan negara, yaitu merugikan perusahaan negara karena
korupsi adalah kejahatan. Seperti yang terdapat dalam “Anti Foreign Corruption Act”
Amerika Serikat dan “United Nations Convention Against Corruption, 2003”, yang telah
kita ratifikasi dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Corruption, 2003. Dalam U.N. Convention Against
Corruption, 2003 dikategorikan korupsi apabila terjadi penyuapan pejabat-pejabat
publik nasional, penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pejabat-pejabat organisasi-
organisasi internasional publik; penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain
kekayaan oleh pejabat publik; memperdagangkan pengaruh, penyalagunaan fungsi;
memperkaya diri secara tidak sah; penyuapan di sektor swasta; penggelapan kekayaan di
sektor swasta, pencucian hasil-hasil kejahatan; penyembunyian kekayaan hasil
pelanggaran apapun.
UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara perlu diubah agar pengertian keuangan
negara tidak disalahtafsirkan dengan menggunakan norma hukum sebagaimana Fatwa
Mahkamah Agung yang mengatakan Pasal 2 g tersebut yang tidak mempunyai mengikat
secara hukum.
0 No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan
Negara, mengikuti analisis definisi “keuangan negara” dalam beberapa Undang-Undang
sebelumnya seperti tersebut di atas, sehingga kekayaan BUMN merupakan keuangan negara
atau kekayaan negara sebagai pemegang saham, tetapi kekayaan negara bukan kekayaan
badan hukum sebagaimana badan hukum menurut Perseroan Terbatas.
164
Sintesis hukum seperti ini menurut Van Vallon Hoven “ Hetakeligste en verwaandste jurisdische maaksel
dat met zich den kenkan “ produk hukum yang paling mengerikan /ber bahaya dan paling sombong yang
orang dapat bayangkan.
196
saham-saham BUMN telah dijual yang sebagian menjadi milik publik status, tetapi badan
hukum BUMN tunduk pada peraturan-peraturan keuangan negara. Ambivalensi ini
disebabkan karena turut campurnya keluarga dan kroninya dalam memburu rente dalam
proses privatisasi yang mengaburkan komitmennya untuk membayar utang luar negeri.
Dengan masih dipegangnya pengelolaan keuangan negara pada sistem birokrasi inilah, maka
keluarga dan kroni Soeharto dengan mudah masuk untuk mengupayakan terjadinya
privatisasi penjualan saham-saham BUMN.165
Di era reformasi ketika keuangan negara sedang mengalami defisit, paradigma ini
mengalami pergeseran yang pada mulanya pemerintah Indonesia mendirikan BUMN dengan
dua tujuan yang bersifat ekonomi dan tujuan yang bersifat sosial. Salam tujuan yang bersifat
ekonomi, BUMN dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis strategis agar tidak
dikuasai pihak-pihak tertentu. Bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak,
seperti perusahaan listrik, minyak dan gas bumi sebagaimana diamanatkan pasal 33 UUD
1945, seyogyanya dikuasai BUMN. Dengan adanya BUMN diharapkan dapat terjadi
peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat yang berada di sekitar lokasi
BUMN.
Tujuan BUMN yang bersifat sosial antara lain dapat dicapai melalui penciptaan lapangan
pekerjaan serta upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal, dimana di dalamnya
dibantu dengan permodalan perbankan nasional, sehingga rakyat ikut bergairah menciptakan
lapangan pekerjaan dan mengerakkan ekonomi kerakyatan dan juga melalui BUMN ini
perekrutan tenaga kerja akan semakin banyak, sehingga roda perekonomian bisa berputar
dan dapat memunuhi kebutuhan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, BUMN terutama
perbankan nasional pengelolaannya tetap menjadi bagian dari birokrasi pemerintah, sehingga
fungsi bank sebagai lembaga mediasi tetap dapat dijalankan dalam program pembangunan
ekonomi nasional.
Pada era Kabinet Indonesia Bersatu, paradigma ini kemudian mengalami pergeseran.
Privatisasi tetap dianggap penting untuk mendorong tata kelola perusahaan yang baik (good
corporate governance), dimana BUMN tidak lagi tunduk pada hukum publik atau administrasi
negara, tetapi tunduk pada hukum privat. Di sisi lain penegakan hukum di bidang
pemberantasan korupsi menjadi slogan politik pemerintahan, sehingga pengaturan
perundang-undangan juga mengakibatkan munculnya contrariori terhadap pemaknaan
keuangan negara.
Dari pendekatan regulasi mengenai korupsi, terlepas ada tidaknya pemisahan kekayaan
negara (dengan cara penempatan keuangan negara) sebagai penyetoran modal yang tetap
dianggap sebagai bagian dari keuangan negara, maka pimpinan BUMN masuk dalam kategori
sebagai “pegawai negeri”. Akan tetapi, pendekatan secara limitatif terhadap pengertian
Kedua mengenai pengertian makna “keuangan negara” dengan status “BUMN” dalam
kaitannya dengan penempatan keuangan negara. Undang-Undang nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, khususnya mengenai ruang lingkup keuangan negara pasal 2 yang
ternyata sejalan dengan Penjelasan Umum Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi, sehingga keuangan negara memiliki makna yang ekstensif meliputi kekayaan
negara yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan. Dalam pengertian ini, kekurangan
satu rupiah pun akan berarti uang negara berkurang dan dianggap merugikan negara,
sehingga sifatnya masih dalam ranah Hukum Pidana.
Jadi, memang untuk menentukan ada atau tidak adanya kerugian negara ini sangat
tergantung dengan pemaknaan kekayaan negara yang terpisah atau tidak terpisah, yang
akhirnya akan menentukan area Hukum Perdata atau area Hukum Pidana sebagai indikator
kerugian negara tersebut. Polemik ini akan menjadi sikap rutinitas manakala subjek pelaku
tindak pidana korupsi adalah para pelaku BUMN yang merupakan aparatur negara untuk
menentukan kriteria ada tidaknya kerugian negara.167
Kebijakan pimpinan perbankan (BUMN) dalam memberikan persetujuan kredit (yang ternyata
berstatus kredit macet) merupakan area administrasi negara sebagai Kebijakan
Aparatur Negara “Overheidsbeleid”, karena pimpinan BUMN adalah subjek pengertian
Pegawai Negeri menurut UU Tindak Pidana Korupsi, sedangkan proses pemberian kredit
maupun pasca pemberian kredit yang macet merupakan area Hukum Perdata sebagai
“privaatrechtelijkeid”, wanprestasi yang tidak dapat diartikan sebagai perbuatan melawan
hukum dalam Hukum Pidana karena sumber perikatan yang berlainan antara keduanya.
Wanprestasi adalah persoalan persetujuan yang didasari perundang-undangan, sedangkan
perbuatan melawan hukum bersumber pada perbuatan seseorang yang tidak sah dan tidak
Indriyatno Seno Aji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, (Jakarta: Kantor Pengacara Prof Oemar Seno
Adji & Rekan, 2006), h. 31.
Kredit macet adalah sebuah kesalahan dan betul pula bahwa pelakunya harus
mendapatkan hukuman. Namun, perlakuannya tidak selalu dapat dimasukkan dalam ranah
hukum pidana dan korupsi. Untuk memutuskan apakah kredit macet masuk ranah hukum
pidana dan korupsi atau tidak, semestinya perlu dilihat bagaimana prosesnya. Sepanjang
keputusan kredit (yang akhirnya macet) diambil berdasarkan business judgement, diputus
tanpa adanya conflict of interest, dan telah accountable, semestinya hal itu tidak dapat
dinyatakan salah secara pidana. Namun, apabila persoalan ini hanya dilihat berdasarkan
hasil akhirnya (kredit macet), bukan pada prosesnya, tidak menutup kemungkinan
akibatnya adalah bahwa kredit macet dianggap sebagai bentuk kejahatan perbankan dan
tak jarang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Hal ini dapat dilihat dari Keputusan Mahkamah Agung Nomor 1144 K/Pid/ 2006
dalam perkara pidana dengan terdakwa mantan Petinggi PT. Bank Mandiri (Persero) ECW
Neloe (mantan dirtektur utama), I Wayan Pugeng (mantan direktur manajemen resiko) dan
M. Sholeh Tasripan (mantan direktur kredit korporasi). Mahkamah Agung berpendapat
bahwa :
Meskipun Bank Mandiri merupakan PT. Terbuka, tetapi secara struktural Bank Mandiri tetap
sebagai sebuah Persero yang menjadi ciri bahwa Bank Mandiri adalah milik negara.
Perubahan-perubahan kepemilikan saham, apalagi saham negara menduduki jumlah
terbesar dibandingkan dengan pemegang saham lainnya (posisi dominan). Hal itu sama
sekali tidak mengurangi status hukum Bank Mandiri sebagai BUMN yang mengelola
kekayaan negara. Dalam status yang demikian, direksi atau setiap orang yang bekerja pada
Bank Mandiri demikian pula BUMN lainnya, tidak semata-mata melakukan fungsi
keperdataan, tetapi juga fungsi publik yang menjalankan tugas pemerintahan pada Bank
Mandiri sebagai BUMN. Lebih lanjut hal itu secara hukum mengandung arti bahwa direksi
atau setiap orang yang bekerja pada BUMN seperti Bank Mandiri berkedudukan sebagai
168
Op.cit., hal. 30
199
unsur penyelenggara pemerintahan, sehingga kepada mereka dapat dilakukan ketentuan-
ketentuan mengenai penyelenggara pemerin-tahan seperti ketentuan tentang
pemberantasan korupsi.
Seperti dikemukakan sebagai BUMN, Bank Mandiri mengelola kekayaan negara sebagai
pengelola kekayaan negara, maka tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh direksi
atau pegawai Bank Mandiri yang merugikan atau dapat merugikan Bank Mandiri dapat
dikategorikan sebagai perbuatan korupsi karena telah menimbulkan kerugian atau dapat
merugikan negara, yaitu kekayaan negara yang dikelola Bank Mandiri.
Tidak terdapat suatu definisi yang seragam tentang kejahatan perbankan. UU No. 7
Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
(selanjutnya disebut UU Perbankan) tidak memberikan definisi tertentu tentang kejahatan
perbankan. Di Amerika Serikat, bank fraud diartikan sebagai “the criminal offence of
knowingly executing, or attempting to execute, a scheme or artifice to defraud a financial
institution, or to obtain property owned by or under the control of financial institution, by
means of false or fraudulent pretenses, representations or promises”. Meski tidak memberikan
definisi tentang kejahatan perbankan, UU Perbankan menetapkan tiga belas macam tindak
pidana yang diatur mulai dari Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A. Ketiga belas tindak pidana
itu dapat digolongkan ke dalam empat macam, yaitu: (1) tindak pidana yang berkaitan
dengan perizinan; (2) tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia bank;
tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan; dan (4) tindak pidana
yang berkaitan dengan usaha bank.
Untuk itu bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential banking) dalam
memberikan kredit yang secara umum dikenal dengan prinsip "the 5 C's of credit, yakni
character, condition, capacity, capital dan collateral. Dalam pemberian kredit oleh bank
dikenal ada 2 (dua) jenis risiko, yakni risiko bisnis dan risiko non bisnis.
Manakala dalam pemberian kredit, pejabat/petugas bank telah menerapkan prinsip kehati-
hatian dengan benar, kemudian kredit menjadi macet akibat dari, misalnya kalah
200
bersaing dengan usaha sejenis atau rugi terus menerus karena omzet yang kian menurun,
maka kredit macet seperti ini menjadi risiko bisnis bank.
Namun apabila kredit macet itu terjadi akibat kesalahan dalam proses pemberiannya,
misalnya tidak diperiksa ke tempat usahanya, tidak dianalisis dengan benar prinsip 5C's
of credit tadi, maka ini menjadi risiko non bisnis, risiko yang tidak diterima oleh bank dan
menjadi tanggung jawab para petugas dan pejabat yang terkait dengan pemberian kredit
tersebut.
Apabila kredit sudah macet dan menjadi risiko non bisnis, bila ditinjau dari konsep gagal
bayar mengenai resiko kredit, kegagalan tersebut dapat diakibatkan karena : Menurut
pendapat Krisna Wijaya :
Berdasarkan pengalaman praktik perbankan apabila terjadi gagal bayar pada kredit macet
pada sebuah bank, penyebabnya hanya ada dua, yaitu karena error omission dan error
commision.
Error ommission (OC) adalah timbulnya kredit macet karena memanfaatkan lemahnya
peraturan atau ketentuan yang memang belum ada atau sudah ada, tetapi tidak jelas.
Error Ommission jelas motifnya sejak awal tidak baik, dengan kata lain, sejak awal niatnya
melanggar. Model ini lebih mudah dideteksi karena alat pembuktiannya mudah.
Error Commission (EC) yang memang tidak ada aturan dan ketentuannya yang dilanggar,
tetapi ada motif untuk memanfaatkan belum adanya ketentuan atau aturan, sehingga
dengan mudah para pejabat bank mengeluarkan kebijakan yang didasari oleh unsur-
unsur tertentu. Modus EO sering terjadi pada saat adanya pengambilan keuntungan dari
penerimaan kredit. Permainan ini sebenarnya sebagai modus klasik, misalnya dalam
pemberian liquidity support dalam kasus BLBI yang dengan sengaja telah diselewengkan
oleh begitu banyak bank, sehingga bukannya kebutuhan dari nasabah yang mendapatkan
prioritas, tapi justru kebutuhan dari bank itu sendiri beserta kebutuhan dari pihak yang
terafiliasi dengan bank. Sedangkan modus EC ini digunakan sangat rapi dan melibatkan
pejabat bank.
Misalnya, kasus Bank Mandiri yang menyeret direktur utamanya Neloe, fasilitas kredit
yang diberikan pada PT Citra Graha Nusantara (PT CGN) sebesar Rp. 160 milyar dinyatakan
macet. Berdasarkan pengalaman kasus-kasus perbankan nasional yang berkaitan dengan
kredit macet persoalannya tidak akan lepas dari EO dan EC. 169
Oleh karena itu, pejabat/pegawai terkait berarti telah melanggar prinsip kehati-hatian
dari Bank Indonesia dan secara pidana dapat dikategorikan sebagai memperkaya orang lain
dengan cara yang tidak benar, sehingga secara yuridis dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana korupsi.
Sesungguhnya rakyat tidak memiliki apapun atas fasilitas strukturisasi dan penghapusan
hutang yang diberikan pada para debitur, kecuali “kepastian hukum” bahwa tindakan
restrukturisasi dan penghapusan hutang (hair cut) bank bukan lagi tindak pidana korupsi.
Hasil penagihan piutang BUMN/BUMD oleh Departemen Keuangan dikembalikan kepada
BUMN/BUMD bersangkutan. Proses penyelesaian melalui Departemen Keuangan inilah
yang sesungguhnya tidak diinginkan oleh bank BUMN dan BPD karena pasti akan
membutuhkan waktu panjang dan kompleks.
Inti dari PP Nomor 33/2006 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK07/2006 adalah
menggunakan tindakan-tindakan responsif bahwa kini bank BUMN memiliki wewenang
untuk menyelesaikan kredit bermasalah secara lebih luwes, seperti layaknya bank swasta,
dengan kewenangan untuk memberikan keringanan kepada debitur
169
Krisna Wijaya. 2010. Analisis Kebijakan Perbankan Nasional. Jakarta: Elex Media Komputindo, Kompas
Gramedia, hal. 206
201
bermasalah. Dengan PP No.33 dan PMK No.87. Kini kewenangan tersebut telah dimiliki
bank BUMN dan percepatan penyelesaian NPL bank BUMN tentunya akan segera menjadi
kenyataan. Pemerintah telah pula menyampaikan bahwa untuk menjamin asas governance
dalam pelaksanaan PP No. 33 dan PMK No. 87 akan dibentuk Oversight Committee (OC)
yang tugas utamanya adalah mengawasi agar penyelesaian NPL benar-benar dilaksanakan
sesusai tata kelola yang baik. Tentunya keberadaan OC ini akan semakin memperkuat
upaya penyelesaian NPL di bank BUMN dan kembali menjauhkan adanya moral hazard.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa muara kemelut hair cut kredit macet bank BUMN dan
BPD adalah bersumber dari kontradiksi antara UU No. 49/Prp 1960 dengan PP No. 33
Tahun 2006 dan PMK No. 87 Tahun 2006. Penyelesaian kredit macet sebagai piutang
negara tak tertagih bila dilaksanakan dengan dua tipologi hukum represif dan responsif,
jelas tidak akan pernah tuntas bila kontradiksi ini tidak diselesaikan.
Piutang negara perbankan tak tertagih pada umumnya diakibatkan tidak adanya kemampuan
dan niat baik dari debitur untuk melunasi hutangnya, kasus gagal bayar memang
seyogyanya diselesaikan melalui pengadilan, tetapi terdapat penyertaan modal negara dan
negara terancam bahaya, maka harus diselesaikan diluar pengadilan (Out of Court
Settlement (OCS)), bila keadaan darurat juga diberlakukan pada kasus yang berpotensi
merugikan negara, maka tindakan-tindakan yang dilakukan hanya ada dua pilihan, yaitu
secara respresif atau responsif, tindakan-tindakan represif yang menurut pendapat
Phillipe Nonet merupakan hukum yang sangat primitif, dalam situasi dan kondisi bahaya
adalah pilihan yang tepat karena potensi kerugian negara jika dibiarkan akan berdampak
kepada kepentingan umum yang harus dijaga dan diselamatkan dengan menggunakan
instrumen hukum yang bekerjanya secara efisien dan efektif dapat digunakan. Dalam
kaitan ini perlu mempertahankan UU Nomor 49/Prp/Tahun 1960 sebagai landasan yang
penyelesaian karena substansi undang-undang ini telah memiliki kemampuan baik secara
materiil dan formil sebagai suatu sistem hukum represif, tapi justru kebutuhan dari bank
itu sendiri beserta kebutuhan dari pihak yang terafiliasi dengan bank. Sedangkan modus
EC ini digunakan sangat rapih dan melibatkan pejabat bank, maka perlu adanya badan
khusus untuk menyelesaikan kasus gagal bayar terhadap piutang negara perbankan, dan
hal ini juga diakui oleh pemerintah ketika sebagai saksi dalam uji materi Undang-Undang
No 49/Prp tahun 1960 tentang PUPN di Mahkamah Konstitusi. 170
Pemerintah berpendapat Pasal 4, Pasal 8, dan Pasal 12 ayat (1) UU No. 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara (PUPN) merupakan landasan hukum kewenangan PUPN dalam mengurus piutang
negara yang telah diserahkan pengurusannya kepada pemerintah.
“Pengurusan piutang ini yang berasal dari instansi pemerintah berdasarkan suatu peraturan, pejanjian
atau sebab apapun sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan sesuai UU No 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara dan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,” kata Dirjen
Kekayaan Negara Kemenkeu Hadiyanto dalam pengujian UU PUPN di ruang sidang MK, Kamis (5/1).
Permohonan ini diajukan Direktur Utama PT Lamindo Group Syaiful yang menaungi tujuh perusahaan,
salah satunya PT Sarana Aspalindo Padang Dkk. Para pemohon menilai berlakunya pasal-pasal yang diuji
itu menimbulkan ketidakadilan, dan ketidakpastian hukum bagi debitur yang mengalami kredit macet di
Bank Negara Indonesia (BNI). Hal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD
1945.
Sebab, sejak berlakunya UU PUPN ini pemerintah (bank pemerintah, red) masih belum bisa melakukan
pemotongan utang (haircut) kepada debitur yang mengalami kredit macet di bank pemerintah karena
terikat dengan kewenangan PUPN. Jika pemotongan hutang dilakukan berdasarkan struktur keuangan
negara dinilai sebagai kerugian negara yang dianggap sebagai korupsi.
Sementara kalau di bank swasta pemotongan utang berdasarkan aturan bisa dilakukan. Hal ini
menimbulkan perlakuan tidak adil dan diskriminatif yang dialami pemohon. Karena itu, para pemohon
202
Analisis Rancangan Undang-Undang (RUU) Piutang Negara dan Piutang Daerah Rancangan
Undang-Undang tentang Piutang Negara dan Piutang BUMD yang diajukan
oleh Menteri Keuangan kepada DPR pada bulan Oktober 2011. MateriRUU ini tidak lebih baik
dengan Undang-Undang No 49 /Prp /1960 tentang PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara).
Argumentasi amandemennya adalah: pertama, UU tentang PUPN dianggap sudah ketinggalan
jaman. Argumentasi kedua, Undang-Undang tersebut dibuat negara dalam keadaan darurat
ekonomi dimana piutang negara atau hutang kepada negara sangat kritis karena banyaknya
piutang negara macet, lalu bagaimana dengan kondisi negara sekarang yang dihadapkan pada
persoalan kredit macet, penghapusan kredit macet pada Bank BUMN/BUMD, saldo debet
skandal BLBI dan bailoutBank Century serta skandal perbankan lainnya yang sampai
sekarang pun masih belum dapat diselesaikan. RUU ini secara terang-terangan melegitimasi
persoalan tersebut adalah bukan persoalan piutang negara. Sangat disayangkan asumsi dasar
penerapan norma ini berseberangan dengan filosofi dasar hukum keuangan negara.
Semestinyamakna piutang negara/hutang kepada negara yang bermasalah tidak berbeda
dengan perbuatan korupsi. Keduanya berbicara tentang bagaimana menyelamatkan keuangan
negara yang disebabkan adanya kehilangan uang negara karena dalam norma hukum
keuangan negara kehilangan uang satu rupiah adalah merupakan kerugian negara. Kerugian
negara dapat disebabkan oleh :
Hutang kepada negara yang tidak dapat dikembalikan atau piutang negara macet/kredit
bermasalah.
Korupsi.
Titik berat penyelamatan keuangan negara yang disebabkan adanya kerugian negara
adalah “hasilnya”, bukan pada prosedur, sehingga pelaksanaannya harus melalui lembaga
khusus. Dalam kajian hukum responsif Philippe Nonet-Selznick, penyelesaian secara efektif
dan efisien tergantung pada keadaan yang dihadapi apabila tindakan tersebut terjadi dalam
keadaan darurat secara luas seperti banyaknya kredit bermasalah dan dalam kondisi krisis
moneter, maka diperlukan tindakan represif dilaksanakan oleh lembaga khusus yang bersifat
sub-ordinasi. Instrumen hukumnya harus memuat unsur hukum materil dan hukum formil
berorientasi pada hasil. Sedangkan apabila tindakan hukum otonom adalah mengutamakan
prosedur dan berpusat pada juris, dan orientasinya bukan pada hasil melainkan pada
ditaatinya rutinitas administrasi yang digariskan, sehingga penyelesaiannya memakan waktu
lama dan berbelit-belit. Kemudian ada penegakan hukum lain yang disebut dengan
penegakan hukum responsif, penyelesaian tindakan hukum ini berorientasi “Purposif”, yaitu
pada tujuan yang hendak dicapai dengan cara pengampunan, misalnya dengan upaya -upaya
restrukturisasi, penghapusan hutang (Write off) atau set off, dan memakan biaya cukup
banyak, tetapi biaya penyelamatannya membebani APBN.
Sebagai contoh biaya penyelamatan BLBI sebesar Rp. 650 Triliyun kalau kita bandingkan
kerugian negara yang disebabkan oleh korupsi, berapa banyak uang piutang negara yang
tidak bisa diselesaikan ketika terjadi krisis 1997/1998 dan berapa jumlah kredit macet pada
bank BUMN yang masuk kategori penghapusan.
meminta MK membatalkan pasal-pasal itu dengan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Menurut Hadiyanto, jika pasal-pasal yang diuji itu dibatalkan, maka akan terjadi kekosongan hukum dalam
upaya penagihan piutang negara oleh Menkeu sebagai diamanatkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU
Perbendaharaan Negara. Hal ini akan menimbulkan kerugian besar bagi negara. Sebab, piutang negara
tidak dapat ditagih secara cepat. Selain itu, berdasarkan Pasal 8 UU Perbendaharaan Negara, piutang
badan atau BUMN tidak ada kewajiban bagi bank BUMN untuk menyerahkan pengurusan piutang kredit
macetnya kepada PUPN lagi. Bank BUMN
203
Lalu bagaimana Rumusan RUU pengertian piutang negara dan piutang daerah, materi
RUU piutang negara dan piutang daerah tidak menjangkau pengertian kerugian negara secara
luas dan sangat diskriminatif. Dalam Undang-Undang No 49/Prp/1960, makna piutang
negara menjangkau semua sektor kerugian negara yang diakibatkan oleh piutang bermasalah,
baik yang terjadi di perbankan maupun di non perbankan (baik pada BUMN/BUMD maupun
Non BUMN/BUMD).
Tentang Badan khusus yang mengurus piutang negara bergeser dari orientasi
independen kepada berorientasi birokratif, Bab II Kewenangan Pengurusan Piutang Negara
pasal 3: (1) Menteri Keuangan berwenang melakukan Pengurusan Piutang Negara dan
Piutang daerah yang telah diserahkan oleh Penyerah Piutang, (2) Pengurusan Piutang Negara
dan Piutang daerah dilaksanakan oleh Pejabat Pengurusan Piutang. Tugas badan ini lebih
sempit dari Undang-Undang yang lama, kalau dulu bisa melakukan pengawasan terhadap
piutang-piutang/kredit yang telah dikeluarkan oleh negara/badan-badan negara, tetapi dalam
naskah RUU sekarang ini hanya sebatas ecek-ecek, mengurusi denda yang belum dibayar
karena Pejabat Pengurusan Piutang dibatasi dengaan adanya pasal 2 ayat (2) Pengurusan
Piutang Negara dan Piutang Daerah tidak termasuk pengurusan piutang negara dan daerah
yang cara penyelesaiannya diatur dalam Undang-Undang tersendiri, serta pengurusan piutang
badan hukum yang cara penyelesaiannya diatur dalam Undang-Undang pembentukannya.
Konflik norma keuangan negara yang selama ini menjadi perdebatan akademis, yaitu
tentang apakah kredit macet pada bank BUMN /BUMD termasuk piutang negara. RUU ini
langsung memberikan legitimasi dalam pasal 2 ayat 1 huruf d pengurusan piutang negara dan
piutang daerah meliputi piutang badan hukum yang dibentuk oleh negara atau daerah selain
BUMN dan BUMD.
Dalam penjelasan RUU yang dimaksud badan hukum antara lain LPE dan LPS. Nuansa
RUU ini sangat jelas bahwa penghapusan kredit macet pada Bank BUMN/BUMD bukan
termasuk piutang negara ? Lalu bagaimana dengan uang yang triliunan itu ? Jelas tidak
terjangkau oleh RUU, bahkan lembaga penyanderaan yang hendak dihidupkan dalam RUU ini
sangat menguntungkan para obligor karena peraturan penyanderaan tidak diberlakukan bagi
para debitur kredit macet piutang negara perbankan.
Konsep hukum RUU Piutang Negara dan Piutang Daerah ini tidak memahami prinsip
hukum: keuangan negara dan piutang negara (money follow function). Pemahaman terhadap
keuangan negara bermakna ganda dan dipahami sebagai fungsi “uang” yang diterjemahkan
menjadi uang negara dan uang perusahaan negara/BUMN (dianggap uang Persero identik
dengan PT swasta) pertanggung-jawabannya pada rakyat karena di bawah pengawasan,
sedangkan uang BUMN tanggung jawab perseroan, kedudukannya sama dengan uang swasta
karena dilepaskan dari pengawasan BPK. Oleh karena itu, jika dalam pengelolaannya
berpotensi merugikan negara, maka penyelesaiannya juga berbeda-beda. RUU ini tidak
sinkron dengan Undang-Undang BUMN, Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang
Perbendaharaan Negara dan juga Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
204
Pemerintah dan DPR seyogyanya memahami tentang hakikat piutang negara/hutang
kepada negara. Pada hakikatnya piutang negara adalah piutang seluruh rakyat/hutang pada
seluruh rakyat. Dengan demikian yang memiliki tagihan terhadap debitur adalah seluruh
rakyat dalam negara yang bersangkutan. Demikian juga kekayaan negara yang pada
hakikatnya adalah kekayaan seluruh rakyat yang berhak menikmatinya adalah seluruh rakyat,
sehingga analogi hukumnya kekayaan negara yang dipisahkan pun adalah kekayaan milik
rakyat dan juga hutang negara pada hakikatnya adalah hutang seluruh rakyat. Ketika
kekayaan negara dipisahkan untuk kepentingan BUMN /BUMD, maka kepentingan itu tunduk
pada hukum korporasi bukan pada hukum keuangan negara ini. Hal itu berarti kekayaan
negara yang dipisahkan itu bukan lagi kekayaan seluruh rakyat. Sintesis hukum seperti ini
menurut Van Vallon Hoven “Hetakeligste en verwaandste jurisdische maaksel dat met zich den
kenkan” produk hukum yang paling mengerikan/berbahaya dan paling sombong yang orang
dapat bayangkan.
Pelaku dari kasus aliran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia adalah bankir-
bankir itu sendiri. Mereka “nakal”, tidak mau mengembalikan dana BLBI. Hal ini
menimbulkan indikasi bahwa memang ada penyewelengan bantuan dana itu. Berikut
beberapa data mengenai hal tersebut. Di antaranya adalah:
Daftar bankir yang diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): 171
0 Atang Latief (Bank Indonesia Raya – hutang 325,46 miliar);
1 James Januardy (Bank Namura Internasional – hutang 123,04 miliar);
2 Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian – hutang 615 miliar);
3 Lidia Mochtar (Bank Tamara – hutang 202,80 miliar);
4 Omar Putirai (Bank Tamara – hutang 190,17 miliar);
5 Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa – hutang 1.130,61 triliun).
Daftar bankir yang diserahkan ke Kepolisian:172
0 Baringin Panggabean (Bank Namura Internusa – APU (Akta Pengakuan Utang) –
158,93 miliar);
1 Santosa Sumali (B.Metropolitan – APU – 46,55 miliar);
2 Fadel Muhammad (Bank Intan – APU – 93,28 miliar);
3 Santosa Sumali (B. Bahari – APU – 295,05 );
4 Trijono Gondokusumo (Bank PSP – APU – 3.3031,11 triliun);
5 Hengky Widjaya (Bank Tata – APU – 461,99 miliar);
6 Taony Tanjung I Gde Dermawan (Bank Aken – APU – 680,89 miliar);
7 Tarunojoyo Nusa (Bank Umum Servitia-APU-3.336, 44 triliun);
8 David Nusa Widjaya Kaharuddin Ongko (BUN – MRNIA (Master Refinancing and
Notes Insurance Agreement) – 8.348 triliun);
9 Samadikun H. (Bank Modern – MRNIA – 2.663 triliun).
Data di atas menunjukkan bahwa memang para bankir itu terindikasi melakukan
penyelewengan dana BLBI. Polisi dan KPK masing-masing menyelidiki jika
terdapat unsur-unsur korupsi terhadap bankir-bankir tersebut.
205
5.2. Penegakan Hukum Represif
Pada dasarnya hutang atau sering juga disebut sebagai kredit adalah suatu bentuk
kepercayaan inter subjektif yang pada mulanya hanyalah sebagai perangkat moraldari
sebuah hubungan kepercayaan, sehingga perbuatan ini dibungkus dengan sanksi moral
yang disebut “malu”. Jangankan suatu hutang yang pembayarannya mesti dicicil, tidak
dilaksanakan, untuk perbuatan “hutang” saja orang sudah merasa malu. Karena itu, kalau
dahulu orang malu jika banyak hutang, sehingga timbul ucapan seperti hutangnya melilit
pinggang, maka di era globalisasi sekarang ini orang bahkan bangga dengan hutangnya,
pergeseran moral hutang yang demikian akan membentuk norma yang ketat agar rasa
malu dapat ditekan ke arah perbuatan yang memiliki akibat hukum. Rasa malu yang
hilang inilah menimbulkan pilihan legitimasi bagi perbuatan yang secara efektif dapat
dilakukan suatu upaya hukum yang memaksa (sanksi) dalam hukum perdata bertujuan
untuk memberikan reparasi (Reparation), sedangkan dalam hukum pidana tujuannya
adalah retributif atau menurut pandangan modern adanya pencegahan (deterrence,
prevention).173
Demikian halnya ketika Badan Usaha Milik Negara perbankan mengadakan suatu
traksaksi di bidang permodalan, tidak selalu hubungan ini ordered atau teratur. Dari
hubungan yang semula sangat teratur dimana kebutuhan permodalan diberikan
berdasarkan suatu perjanjian hutang piutang dan dapat berubah menjadi ketidak-
teraturan diakibatkan adanya perbuatan wanprestasi atau kredit macet atau juga karena
situasi krisis global dan/atau dalam masa transisi.
Pemberian kredit oleh bank memiliki risiko kemacetan walaupun telah dilakukan
berbagai analisis secara seksama. Seorang analis kredit tidak dapat memprediksi bahwa
kredit selalu berjalan dengan baik, banyak faktor penyebabnya diantaranya kesalahan
penggunaan kredit, manajemen yang buruk, dan kondisi perekonomian mempunyai
pengaruh yang besar terhadap kesehatan keuangan debitur dan atas kerugian kredit
bank.
173
Jimly Asshiddiqie & M Ali Safa’at. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum.Jakarta: Kerjasama Konstitusi
Press dan PT.Syamil Cipta Media, hal.50
Edward W. Reed dan Edward K. Gill.1995. Commercial Bank, diterjemahkan St. Dianjung, Bank Umum.
Jakarta: Bumi Aksara, hal. 305
206
Peran negara dalam komunikasi antar subjektif ini menggeser perbuatan moral, yaitu
rasa malu menjadi otoritatif karena perjanjian yang dibuat adalah suatu perbuatan di
luar kepentingan antar subjektif yang tidak lagi tunduk pada eksekusi moral yang
menimbulkan rasa malu. Negara telah menggeser nilai “kepercayaan” dalam persoalan
hutang pada warganya kepada suatu ketentuan yang mengikat secara normal. Hal ini
diperlukan guna menjaga ketertiban dari suatu perbuatan intersubjektif. Norma inilah
yang dinamakan ketentuan hukum publik, sehingga setiap perbuatan hukum yang
menimbulkan tagihan bagi negara akan disebut sebagai Piutang Negara.
Ketentuan piutang negara yang menjadi norma dalam tindakan penekanan kepada
warganya dalam penyelesaian hutangnya kepada negara, baik karena perbuatan hukum
dalam ikatan perjanjian hutang piutang dengan perbankan atau karena sebab lain bukan
karena perjanjian hutang piutang ini membawa efek kepada sebuah struktur
penyelesaian hutang, sehingga menimbulkan suatu arah hendak dibawa ke mana model
penegakan hukumnya karena dari setiap rezim pemerintahan telah mengalami banyak
perubahan.
Lembaga yang dikhususkan untuk mengeksekusi piutang negara dalam era
pemerintahan Orde Lama, rezim ORBA baru maupun pemerintahan era reformasi
sebelum tahun 2006, kecenderungannya ditegakkan dengan upaya-upaya represif karena
setiap keputusan dari lembaga eksekutor ini memiliki kekuatan paksa (eksekusitorial).
Selama ini banyak kritik yang dialamatkan pada lembaga eksekusi dalam Piutang
Negara, penegakan hukumnya hanya mampu bertindak represif bila berhadapan dengan
debitur-debitur yang lemah. Akan tetapi, akan bertindak responsif bila berhadapan
dengan debitur kaya. Berdasarkan penelitian penulis eksekusi piutang negara yang
berhasil dilakukan sebagian besar dilaksanakan dalam tingkat represif 85% hanya
terhadap debitur lemah dengan jumlah kredit di atas minimal ketentuan Undang-
Undang.
Piutang negara menimbulkan kendala manakala penegak hukum mengikuti proses
hukum yang menyimpang tidak dilaksanakannya eksekusi langsung sebagaimana
karakter dan sifat piutang negara, hal ini dapat diamati dengan adanya proses gugatan
yang berkepanjangan dari penolakan lelang yang diadakan oleh kantor lelang. 175 Dan juga
penyelesaian Piutang Negara yang disebabkan oleh macetnya pengembalian dana BLBI
melalui BPPN berdasarkan opini disclaimer per 14 Mei 1999 dari Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan, masih menyisakan piutang negara yang disalahgunakan
dan belum dapat ditagih yang ditengarai sebagai skandal perbankan terbesar di Republik
ini.176
Berdasarkan Penelitian disertasi Purnama Tiora Sianturi, pada kantor lelang/PUPN mengenai Lelang Jaminan
barang Tidak Bergerak, banyak lelang yang dibatalkan oleh Pengadilan, dimana debitur kaya berlindung pada
prosedur hukum Acara, hal ini akibat bergesernya pemahaman Doktrin Parate Eksekusi, pemahaman Gross Akte
Pengakuan Hutang oleh MA. Sifat penegakan hukum yang responsif ini bergerak dari pemahaman yang
otonom,sehingga para penegak hukumnya lebih memeiliki karakter responsif, menurut ajaran hukum responsif
adalah dinamakan artificial legitimit, seni membolak balikan hukum/seni memutus kan hukum secara
kontradiksi
Jumlah Uang negara yang dipinjamkan dan menjadi piutang negara, yang disalahgunakan oleh penerima BLBI
tidak tanggung-tanggung, yaitu sampai nilai Rp 138.000.000.000.000.000 (seratus tiga puluh delapan trilyun),
dari keseluruhan dana pinjaman Rp 145.000.000.000.000.000. (seratus empat puluh lima trilyun) sumber data
dari buku Munir Fuadi – Bisnis Kotor ,anatomi kejahatan kerah putih, penerbit Citra Aditya Bakhti bandung
2004)
207
Pergerakan seperti ini adalah suatu gerak asimetris penegakan hukum dimana satu
sistem ditekan kearah represif, maka otonomi penegak hukumnya lebih kepada
responsif, sehingga sifat institusi hukum akan bergeser pada suatu kepentingan antara
kekuatan-kekuatan di luar fungsi hukumnya.
Piutang Negara Perbankan dihadapkan dengan norma hukum yang inkonsistensi
terutama mengenai norma hak tanggungan dan doktrin parate eksekusi, dimana
pengaturan norma eksekusi ini berbenturan dengan hukum eksekusi yang diatur
didalam hukum acara perdata. Pandangan Mahkamah Agung sebagai lembaga judikatif
bergerak tidak seimbang dengan arah penegakan hukumnya, sehingga antara kekuasaan
yang satu dengan kekuasaan lain akan membiaskan ketentuan norma dan pengalaman
hukum yang berada di dalam masyarakat.
Problem semacam ini sebagaimana dikatakan Philippe Nonet - Philip Selznick
dinamakan retorika legitimasi, ia diterima bersifat otoritatif yang mengikatkan dirinya
sendiri kepada teknik penemuan hukum yang ahli, pada saat yang sama ia menjustifikasi
klaim para ahli hukum bahwa dirinya bersifat otonom. Perubahan pandangan dari
doktrin eksekusi dalam Piutang Negara yang bersifat represif kemudian beralih kepada
hukum otonom yang orientasinya adalah :
Cenderung membatasi tanggung jawab sistem hukum. Ketika keadilan dilaksanakan dengan
cara-cara yang ditentukan terlebih dahulu di dalam doktrin, kemudian proses hukumnya
membatasi sumber-sumber daya dengan persyaratan bahwa harus ada peraturan yang
sudah tertentu. Dalam hukum perdata persyaratan semacam ini adalah untuk
menghindari tuntutan yang mungkin tidak mampu ia penuhi.
Peralihan hukum otonom adalah menjinakkan represi kepada doktrin yang represif yang
berkomitmen pada gagasan bahwa hukum adalah sarana kontrol sosial. Dalam jangka
pendek kontrol lebih mudah dilembagakan ketika orang lebih mengandalkan peraturan
daripada petunjuk yang lebih umum (kebijakan). Hal itu berlawanan dengan pengertian
doktrin dengan fungsi nilainya represif yang menganggap peraturan adalah garda depan
kontrol perikatan.
Pengalaman hukum semacam ini tidak lepas dari konsekuensi pandangan yang
berkembang di negara-negara lain seperti Italia dan Belanda, yaitu untuk menghindari
kuasi kontrak dari perbuatan melawan hukum yang berbasis pada ajaran itikad baik.
Piutang Negara dalam artifisial ajaran itikad baik tidak memandang bahwa kebebasan
berkontrak melemahkan institusi eksekusi, sehingga landasan hukum untuk memelihara
otoritas hukum (received law) dengan cara menjadikannya sebuah rumusan putusan
represif.
Di beberapa negara civil law upaya hukum tersebut bergeser dari peninjauan itikad
baik ke dalam hubungan prakontrak. Pemahaman seperti ini berpengaruh di Indonesia
dan akan berakibat dalam praktik penegakan hukum menurut Philippe Nonet-Philipe
Selznick menyebutnya dengan alasan artificial,yaitu mempertunjukkan seni
memutuskan kontradiksi, mengisi celah-celah dan menyediakan perubahan hukum yang
dibutuhkan. Alasan artificial adalah retorika legitimasi hukum. Hal ini dapat dilihat dari
putusan-putusan mengenai pandangan doktrin itikad baik dalam perkara-perkara
piutang negara perbankan berkepanjangan yang bermuara pada terhambatnya
pengembalian uang negara.
208
menimbulkan tirani urgensi.177 Model peraturan yang tidak bertahan lama ini menurut
Nonet menunjukkan bahwa seni membolak-balikan masalah menjadi suatu tujuan
politik. Ketika penyelesaian piutang negara digunakan tindakan responsif pemerintah
cenderung menghindari konsekuensi represif terhadap para obligor (bandingkan dengan
kasus gagal bayar yang berpotensi merugikan negara dalam penyelesaian para Obligor
BLBI). Konsep hukum represif dalam peraturan PUPN yang memiliki kewenangan
eksekusitorial tidak digunakan secara efektif. Munculnya regulasi-regulasi moneter
secara evolusioner yang berorientasi responsif hanya berlaku sesaat dan tidak memiliki
visi jangka panjang, sehingga mengakibatkan tindakan pemerintah menguntungkan
obligor yang nyata-nyata telah merugikan negara.
“Dugaan atau prasangka bahwa penambahan atau perubahan peraturan itu bagus.
Akan tetapi, terlalu sering peraturan-peraturan semacam itu diubah membawa
konsekuensi yang tidak diinginkan, sehingga pada akhirnya dapat membantu
menciptakan bencana yang selanjutnya”.178
Pandangan tersebut di atas cocok dengan tata cara penyelesaian piutang negara,
maka diperlukan peran penagih, yaitu pemerintah pejabat negara yang diberikan kepada
kejaksaan dan pelaksanaannya dilakukan dengan hukum formil dan hukum materil
sebagaimana ketentuan Undang-Undang No. 49 Prp 1960 tentang Panitia Urusan Piutang
Negara, peraturan pelaksanaannya dengan Keputusan Presiden No. 11 tahun 1976
tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara.
Dalam praksis sesuai watak dari “tirani urgensi” para pengambil keputusan akhirnya hanya menghasilkan
kebijakan-kebijakan yang dangkal karena gagal memahami secara komprehensif akar persolaan , kebijakan yang
mereka hasilkan tidak lebih dari sekedar “respon” terhadap gejala yang ada. Tidak mengherankan jika hasilnya
“sakdadine” (asal jadi) dan bukan strategi besar masa depan dengan seluruh kalkulasi resikonya, karena mereka
(pemerintah dan parlemen) dihinggapi politik transaksional demi kepentingan previlege ekonomi dan politik
jangka pendek (Sunardi, dalam tulisan artikel – Tahun Perburuan Analisa Politik , Kompas Januari 2012 )
Johan Van Overtveldt , Bernankers Test, diterjemahkan oleh Sugianto Yusuf dengan judul Ben Bernanke Alam
Greenspan dan Drama Bankir Bank Sentral, (Jakarta: PT Gramedia,2009), hal.228
209
bertanggung jawab, bentuk Panitia Urusan Piutang Negara, tugas yang harus dikerjakan,
dan apa yang menjadi wewenang dari panitia ini. Sedangkan unsur hukum formil atau
yang mengatur tata cara penegakan dari hukum material dari Undang-Undang ini adalah
menyangkut isi dari tugas yang diurus, dalam bentuk apa dan bagaimana cara
pelaksanaan pengurusannya. Demikian pula dengan pasal 195 dan seterusnya dari HIR,
yaitu tentang menjalankan putusan, terdapat unsur hukum formal dan unsur-unsur
materialnya, sehingga kedua Undang-Undang tersebut, yaitu Undang-Undang Nomor 49
Prp Tahun 1960 dan HIR (Staatblad 1941 Nomor 44) khususnya pasal 195 dan
seterusnya kedudukannya seimbang, yaitu sama-sama memiliki unsur hukum formil dan
unsur hukum material. Dipandang dari segi pembentukannya, maka Undang-Undang
Nomor 49 Prp Tahun 1960 memiliki arti formil karena dibentuknya oleh presiden
bersama dengan DPR-GR. Selain itu Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 juga
mempunyai arti material, yaitu berlaku umum dan dibuat oleh penguasa yang sah. Pada
HIR, pembentukannya dilakukan oleh Raja dengan mendengar Raad Van State bersama-
sama Staten General. Dari kenyataan tersebut, maka secara formal kedudukan HIR
adalah setaraf dengan Undang-Undang Nomor 49 Prp tahun 1960. Kemudian HIR juga
memiliki arti untuk umum dan pembuatannya oleh pejabat yang sah, maka HIR juga
memiliki arti material. Dengan kenyataan di atas pengesampingan yang dilakukan oleh
Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 terhadap beberapa pasal HIR khususnya
pada pasal 195 dan seterusnya dapat dibenarkan karena keduanya memiliki bobot yang
sama, baik dalam arti material maupun dalam arti formal. 179
Arifin P. Soeriaatmadja. 1993/1994. Laporan Penelitian Aspek-Aspek Hukum dalam Penyelesaian Piutang-
Piutang Negara.Jakarta Departemen Kehakiman, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1993/1994 ) hal 67-69.
Sebagaimana kita ketahui saat sekarang ini sistem kekuasaan kehakiman menurut ketentuan pasal 2 UU No 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingklungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Sistem kekuasaan kehakiman ini
memungkinkan terjadinya sinergisitas law enforcement sekaligus legal law implementation dalam berbagai bidang
sesuai dengan kapasitas dan kompentensi produk hukum yang ditangani dan dipertanggungjawabkan kepada publik
negara secara proposional (Misbah Iskandar dalam disertasinya yang berjudul “Kewenangan peradilan Agama Dalam
Sistem Peradilan di Indonesia” dan telah dipertahankan di depan dewan penguji Universitas Islam Indonesia).
210
Walaupun secara jelas norma eksekusi dalam piutang negara diuraikan dalam
Undang-Undang PUPN, tetapi dalam perkembangan selanjutnya norma hukum tersebut
dikesampingkan. Penegakan hukum penyelesaian piutang negara perbankan pada saat
ini mengambil sikap responsif dengan membiarkan masuknya norma lain, yaitu
mengakomodasi kemauan pihak berutang dengan menggunakan penyelesaian dengan
pilihan musyawarah dalam penyelesaian sengketa di bawah Alternative Dispute
Resolution yang mengacu pada pasal 6 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa.182
Unsur korupsi lainnya terpenuhi, yaitu memperkaya diri sendiri. Hal ini menyebabkan
negara merugi karena dana BLBI yang seharusnya dikembalikan malah hilang entah
kemana dan tidak dikembalikan. Seperti tercantum dalam pasal 1 ayat (1) angka {a} yang
berbunyi, “Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: barangsiapa dengan melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan,
yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau
perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan
tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Berdasrkan uraian diatas , ternyata kasus aliran dana BLBI itu adalah masuk ke
dalam ranah pidana, yaitu kejahatan korupsi. Unsur-unsur tindak pidana korupsi pun
terpenuhi (meskipun tidak semuanya). Adalah memperkaya diri dan penyuapa. Kasus
BLBI tidak dapat di hentikan hanya dengan membayar/mengembalikan dana BLBI oleh
para obligor. Hal ini dikarenakan, pengembalian uang negara itu tidak akan
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi. Sesuai dengan pasal 4
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa:
“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidanya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal
Pasal 2 dan Pasal 3.” Lebih lanjut di dalam penjelasan Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tersebut, pasal 4 menyebut bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan. Oleh
karena itu, kasus BLBI tidak bisa selesai hanya dengan mengembalikan dana BLBI
kepada pemerintah melalu Bank Indonesia oleh bankir-bankir bank yang bermasalah.
Naja, HR Daeng . 2005. Hukum Kredit dan Bank Garansi. Bandung: Citra Aditya, hal. 366
Fuady, Munir. 2002. Hukum Perkreditan Kontemporer. Bandung: Citra Adtya Bakti, hal.8
211
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat menjerat para pelaku di balik
kasus BLBI adalah ketentuan di dalam Undang-undang No.3 Tahun 1971 (pasal 1 ayat
angkat {a} dan {b}) Juncto Undang-undang No.31 Tahun 1999 (pasal 2 ayat (1), pasal 3,
dan pasal 4). Selain dijerat oleh ketiga Undang-undang korupsi di atas, juga bisa oleh
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai penyertaan, percobaan, maupun
penyitaan (pasal 39 KUHP). Untuk proses penyelesaiannya, bisa menggunakan Undang-
undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi maupun Undang-undang No.3 Tahun 1971 Juncto Undang-
undang No.31 Tahun 1999
5.3. Penegakan Hukum Responsif
Hukum responsif mempunyai visi harmonisasi kekuasaan-kekuasaan dan
dikaburkannya batas-batas institusional, pembedaan antara ketentuan Undang-Undang
dan keputusan hukum tidak dihapuskan, sebaliknya proses hukum yang bertujuan
memperbesar kompentensi institusi hukum, maka :
Desain kelembagaan dalam penyelesaian piutang negara di bidang perbankan dapat
dibangun di atas premis-premis yang diterima untuk menentukan tujuan yang dilayani
hukum.
Penegakan hukum dalam penyelesaian piutang negara lebih memberi ruang pada
pengampunan bagi debitur dan dengan tetap menggunakan asas keseimbangan
kedudukan kreditur dengan debitur mengesampingkan Hak Eksekusi yang melekat pada
piutang negara.
Konstruksi mandat, yaitu tujuan-tujuan kontrak apa saja yang mestinya dijamin oleh
cara-cara lain dalam melaksanakan kontrak. Dalam kapasitas hukum seperti ini,
kewenangan kepada institusi-institusi yang memberi mandat terhadap pelaksanaan
perjanjian harus bersifat eksekusitorial. Pengertian ini sebenarnya telah terkandung
pada awal pemerintahan Republik Indonesia yang diwujudkan dalam kebijakan
penyelesaian piutang negara yang bersifat hukum publik sebagaimana diuraikan di
muka.
Bagaimana pun proses pemberian kredit tidak akan lepas dari adanya unsur-unsur
error omission (EO) dan error commision (EC) seperti halnya, proses pemberian kredit
yang menyimpang, kelalaian dalam mengembalikan kredit, dan keputusan pimpinan
perbankan dalam menentukan persetujuan kredit yang mengakibatkan kredit macet
maupun pelanggaran prinsip Kehati-hatian Perbankan (Prudential Banking Principles).
214
pergeseran setelah diberlakukannya suatu penyelesaian dalam watak hukum responsif
sebagaimana diuraikan terdahulu, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah
RI Nomor 33 Tahun 2006 tanggal 6 Oktober 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah, Pasal II yang mengatur pengurusan piutang perusahaan negara/daerah
untuk selanjutnya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan
pelaksanaannya.
Tabel 6.4. Penegakan Hukum Penyelesaian Piutang Negara Perbankan menurut Philippe
Nonet & Philip Selznick
1 2 3 4
215
dilaksanakan selama kurang lebih 43 tahun yang lalu. 185 Kebijakan hukum pidana Indonesia
khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi ini sejak 1960-an sampai dengan
akhir 1970-an masih dapat diterima dalam kondisi perekonomian Indonesia terutama saat
berakhirnya rezim Soeharto semakin terpuruk dan banyak penyelenggara negara dan pelaku
bisnis di kalangan Badan Usaha Milik Negara “telah mengambil keuntungan dalam
kesempitan” terutama di bidang minyak dan gas bumi. 186 Pertanyaan lanjutan dari pola
kebijakan hukum pidana dalam kaitan dengan tindak pidana korupsi yang selama ini telah
dijalankan, apakah pola ini masih relevan dan tetap dapat dipertahankan terutama dalam
perekonomian nasional yang telah “dipaksa” tunduk kepada ketentuan hukum perdagangan
bebas yang menuntut suatu usaha BUMN yang kompetitif dan akuntabel serta profesional ?.
Merujuk kepada konsep RR dan pemberian sanksi dengan pola piramida regulasi (RP)
dan piramida keterpaduan keadilan restorative, penjeraan dan penghukuman (keadilan
terintegrasi) dari Braithwaite, tampaknya pengambil kebijakan hukum di Indonesia perlu
mempertimbangkan kemungkinan solusi hukum sejalan dengan konsep sistem piramida
keadilan terpadu tersebut.
Konsep sistem piramida keadilan terpadu/SPKT (Integrated Justice System Pyramid),
yang saya usulkan merupakan suatu konsep solusi hukum untuk menemukan keseimbangan
antara keadilan yang bersifat retributive, distributive, dankomutatif.187 Konsep SPKT
mengusulkan perubahan kebijakan hukum dalam penegakan hukum yang melibatkan sektor
swasta yang menekankan kepada pendekatan yang modern terhadap BUMN atau sektor
swasta lain yang terlibat dalam suatu tindak pidana. Konsep ini, memerlukan penelitian
lebih lanjut dan penyempurnaan sehingga dapat dijadikan keseimbangan ketiga konsep
keadilan tadi. Perubahan nyata yang diusulkan ialah peninjauan kembali dan mengkaji
seluruh peraturan perundang-undangan administratif yang memiliki ketentuan pidana
seperti Undang-Undang Perbankan, Pasar Modal, dan Pajak.
185
Sejarah peraturan perundang-undangan pidana Indonesia dalam bidang perekonomian telah diberlakukan
sejak 1955 dengan Undang-Undang Drt. Nomor 7 Tahun 1995 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi,
dilanjutkan dengan pembentukan undang-undang baru tentang kepabeanan (1995) yang memasukkan seluruh
ketentuan UU Drt. 1995 ke dalam undang-undang ini. Pada 1960, dibentuk Perpu tentang pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang merupakan embrio UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saat ini. Di dalam UU
Nomor 3 Tahun 1971 yang mencabut Perpu Tahun 1960, dimasukkan kalimat, “merugikan keuangan Negara
dan/atau perekonomian Negara” sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi. Unsur ini tetap dipertahankan
dalam Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001.
Kasus Kilang Minyak Balongan dengan tersangka GK yang kemudian dihentikan penyidikan oleh Kejaksaan
Agung sedangkan kerugian Negara sangat signifikan; Kasus Karaha Bodas Coy, yang melibatkan pejabat Negara
ketika itu tidak dilanjutkan penyidikan oleh Kejaksaan Agung.
Kasus Kilang Minyak Balongan dengan tersangka GK yang kemudian dihentikan penyidikan oleh Kejaksaan Agung
sedangkan kerugian Negara sangat signifikan; Kasus Karaha Bodas Coy, yang melibatan pejabat Negara ketika itu
tidak dilanjutkan penyidikan oleh Kejaksaan Agung.
187
Fletcher, Op.cit., hlm.80-81; Kurt Wilk, “The Legal Philosophies of Lask,” Radbruch, and Dabin; Harvard
University Press; 1950; hlm. 186-187. Konsep keadilan retributive menetapkan bahwa semua orang memperoleh
keadilan yang sama dan tidak ada satu pun yang dibedakan dengan orang yang lain. Konsep keadilan retributive
menetapkan bahwa, keadilan hanya dapat diwujudkan jika setiap perbuatan harus diberikan hukuman yang
setimpal sesuai dengan tingkat keseriusan dan akibat dari kejahatan yang bersangkutan.Konsep keadilan
komulatif yang berlaku dalam hukum keperdataan yang menitikberatkan kepada iktikad baik dari para pihak,
bahwa para pihak harus melaksanakan perikatan hukum yang telah disepakatinya secara baik dan jujur.Konsep
keadilan ini menghendaki adanya pola penyelesaian hukum yang bersifat “pemulihan hubungan hukum” antara
para pihak.
216
Peninjauan kembali atas seluruh peraturan perundang-undangan dimaksud untuk
menempatkan posisi regulasi di seluruh sektor kehidupan yang menyangkut sumber daya
alam dan hayati serta bidang perekonomian pada tempat yang selayaknya sebagai “Lex
specialis systematic” bukan sebagai objek dari “lex specialis”. Pernyataan ini dilandaskan
kepada bunyi pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang diubah oleh Undang-
Undang nomor 20 tahun 2001: “Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-Undang
yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang
tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
ini.”
Penafsiran a contrario terhadap bunyi ketentuan tersebut yaitu, jika dalam ketentuan
Undang-Undang lain (selain UU ini, UU 31/1999) tidak dinyatakan secara tegas bahwa
pelanggaran atas ketentuan Undang-Undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi. Masa
yang berlaku, yaitu Undang-Undang lain bukan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Jika
dalam Undang-Undang tentang perbankan, Pasar Modal, atau Perpajakan, tidak ditegaskan
pelanggaran atas ketentuan pidana dalam Undang-Undang ini sebagai tindak pidana korupsi,
maka atas pelanggaran Undang-Undang tersebut, yang diberlakukan yaitu sanksi
administratif, perdata atau pidana yang berlaku di dalam Undang-Undang Perbankan, Pasar
Modal, atau Perpajakan tersebut.
Penegasan sebagaimana tersebut dalam pasal 14 UU nomor 31 tahun 1999 tersebut
dalam doktrin disebut sebagai “lex specialis systematic” asas hukum ini tidak bertentangan
dengan asas concursus realis, sebagaimana diatur dalam pasal 63 KUHP. Pasal 63 KUHP
memuat dua asas hukum yaitu ketentuan pasal 63 ayat (1) memuat asas hukum concursus
realis, sedangkan pasal 63 ayat (2) memuat asas hukum “lex specialis derogate lege
generali”.188 Ketentuan pasal 63 ayat (1) KUHP seolah-olah dapat diterapkan ke dalam kasus
tindak pidana Perbankan, Pasar Modal, dan atau Perpajakan dengan secara tegas dalam
ketentuan penutup (pasal 103 KUHP)189 bahwa jika oleh Undang-Undang lain (lex specialis)
ditentukan lain daripada apa yang diatur dalam Bab I hingga dengan Bab VIII, termasuk
antara lain pasal 63 ayat (1) KUHP; maka kekecualian yang terdapat dalam Undang-Undang
lain (Lex Specialis) itu yang diberlakukan sebagaimana dimuat dalam ketentuan pasal 14
Undang-Undang nomor 31 tahun 1999. Dengan kata lain, asas hukum lex specialis derogate
lege generali berlakunya Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 hanya sebatas ketentuan
dalam Buku Kesatu Bab I hingga Bab VIII, tetapi pemberlakuan ini dibatasi oleh bunyi
ketentuan pasal 103 KUHP.
Mengapa pembentuk Undang-Undang memuat ketentuan “lex specialis systematic” (pasal
dalam Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 ? Hal ini membuktikan bahwa pembentuk
Undang-Undang tidak menghendaki Undang-Undang 31 tahun 1999 diberlakukan sebagai
“Pukat Harimau” semata-mata karena dipenuhinya unsur melawan hukum, memperkaya diri
sendiri, atau orang lain, atau korporasi dan adanya unsur merugikan perekonomian dan
keuangan Negara (pasal 2 dan pasal 3). Ketentuan pasal 14 dapat mencegah kekhawatiran
terjadinya penegakan hukum pidana yang mengutamakan sebagai “primum remedium”, dan
bukan sebagai “ultimum remedium”, sehingga prinsip proporsionalitas dan prinsip
Pasal 63 ayat (1):”Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya
salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok
yang paling berat.”
Pasal 63 ayat (2):”Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam
aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.”
Pasal 103 KUHP: “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I hingga Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang
oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.”
217
subsidaritas190 dalam doktrin hukum pidana tetap dapat dipelihara dan dipertahankan oleh
penegak hukum.
Berdasarkan uraian di atas diperlukan introspeksi, reorientasi dan rekonseptualisasi
terhadap ketentuan dan penerapan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah
diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi terhadap kasus-kasus di bidang Perbankan, Perpajakan, Pasar Modal, dan
kepabeanan serta Undang-Undang lain yang berpotensi merugikan perekonomian dan
keuangan negara, sehingga dapat dicegah “kerusakan” secara fisik dan psikis lebih jauh
terhadap iklim dunia usaha di Indonesia yang saat ini tengah mengalami masa sulit yang
disebabkan karena multifaktor antara lain, tingkat kepercayaan masyarakat yang masih
rendah dihadapkan kepada iklim kompetitif yang didominasi oleh perusahaan multi nasional
asing.
Uraian dan ajakan penulis sejalan dengan skala Cooter dan Ullen (skala kesalahan), yang
menegaskan bahwa hanya perbuatan yang telah melampaui batas ( cross-border), kategori
fault (kelalaian) dan memasuki katagori guilt (kesengajaan), yang dapat dijatuhi sanksi
pidana; sedangkan perbuatan yang termasuk kategori fault diberikan sanksi perdata atau
peringatan tertulis saja.
Reorientasi dan rekonseptualisasi berikut penerapan kembali seluruh asas-asas hukum
pidana pada tempat yang selayaknya terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan
perekonomian nasional, keuangan, dan perbankan, maka diperlukan kemampuan untuk
memberikan penilaian secara taat asas dan benar mengenai skala kesalahan (culpability
scale). Penilaian dimaksud hanya dapat diwujudkan dan sangat tergantung dari
profesionalisme aparatur penegak hukum dalam proses penyelidikan dan penyidikan
termasuk juga hakim dalam proses pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka pendekatan keadilan restorative dan
pendayagunaan konsep RR dalam aktifitas perekonomian, keuangan, dan perbankan
merupakan kebijakan hukum yang tepat karena sering terjadi perbuatan dalam aktifitas
tersebut berada pada suatu grey-area: diantara skala fault dan skala guilt. Dalam konteks ini,
maka privatisasi BUMN murni merupakan kebijakan hukum perdata dan bukan kebijakan
hukum pidana, sehingga setiap akibat yang ditimbulkannya patut dan seharusnya diletakkan
di dalam kerangka penegakan hukum keperdataan dengan menggunakan konsep keadilan
restorative. Dalam kaitan privatisasi tersebut, maka di masa yang akan datang konsep “RR”
selayaknya tetap dimasukkan dan dipertahankan dalam peraturan perundang-undangan
pidana yang bersifat administratif (administrative penal law) serta didayagunakan secara
efisien dan efektif.191
J. Remmelink, Op.cit
Pengertian didayagunakan secara efektif dan efisien dalam implementasi peraturan perundang-undangan yang bersifat
administratif yang diperkuat oleh ketentuan pidana, ialah dengan rujukan konsep Braithwaite tentang
Piramida Regulasi yang menetapkan enam tahap “sanksi progresif” (istilah penulis), dimulai dengan
“persuasion”; “warning letter”; “civil penalty”; “criminal penalty”; “licence suspension” dan “licence
revocation”.
218
BAB VII
PENUTUP
Pada bab ini akan menjawab perumusan masalah dan pertanyaan penelitian
sebagaimana dikemukakan dalam Bab I. Bab ini dapat memberikan gambaran efektifitas
penyelesaian Piutang Negara Perbankan dengan pendekatan teori hukum responsif Philippe
Nonet - Phlip Selznick.
A. Kesimpulan
Piutang negara perbankan tak tertagih pada umumnya diakibatkan tidak adanya
kemampuan dan niat baik dari debitur untuk melunasi hutangnya. Kasus gagal bayar
memang seyogyanya diselesaikan melalui pengadilan. Akan tetapi, apabila terdapat uang
milik negara dalam perusahaan perbankan milik negara dan Bank Indonesia yang disalurkan
kepada masyarakat/perbankan terancam bahaya dikarenakan kredit yang disalurkan
tersebut menjadi macet dan bermasalah serta ada penyalahgunaan pemberian kredit,
sehingga berpotensi merugikan negara, maka tindakan yang paling tepat dilaksanakan oleh
pemerintah adalah diselesaikan di luar pengadilan (Out of Court Settlement (OCS). Tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah hanya ada dua pilihan, yaitu secara represif atau
responsif (menggunakan HIR atau membentuk badan khusus). Maka untuk menjawab
pertanyaan penelitian disertasi sebagai berikut :
Apakah teori Philippe Nonet - Philip Selznick dapat dipergunakan sebagai cara
menyelesaikan piutang negara perbankan secara efektif dan efisien;
Mengapa teori Philippe Nonet-Philip Selznick merupakan pilihan tepat dalam penyelesaian
piutang negara perbankan;
Apakah konsekuensi penerapan teori Philippe Nonet - Philip Selznick, mengubah peraturan
dan tata cara penyelesaian negara perbankan ;
Dapat disimpulkan bahwa meskipun tindakan-tindakan hukum otonom dan hukum
responsif telah dilakukan oleh pemerintah, dalam upaya penyelesaian piutang disebabkan
oleh penyalahgunaan kredit negara yang disebabkan kredit bermasalah Bank Indonesia
( BLBI ) , berbasis pada penyelesaian lewat pengadilan dan pengampunan atau negosiasi,
tetapi ternyata hasilnya tidak efisien dan efektif dapat menarik kembali uang negara dari
kerugian penyalahgunaan kredit.
Pada periode diterapkannya lembaga superbody BPPN, lembaga ini tidak sepenuhnya
menerapkan prinsip-prinsip hukum penyelesaian piutang negara. Padahal dalam situasi dan
kondisi tertentu, yaitu untuk memulihkan kestabilan dan memenangkan ketertiban di bidang
keuangan negara, seharusnya negara tidak boleh berpaling dari tindakan-tindakan represif.
Hasil kajian analisis teori hukum reprosif membuktikan bahwa semestinya negara
memfungsikan secara optimal dua Lembaga Superbody BPPN dan PUPN karena badan
khusus ini yang paling tepat dapat memenangkan ketertiban terhadap penyalahgunaan
kredit. Jika badan khusus ini sepenuhnya diefektifkan, sudah dapat diprediksikan bahwa
pengawasan penggunaan dan penyaluran kredit dapat dipantau sejak awal, sehingga dengan
pengawasan yang represif akan dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan kredit dan
timbulnya kejahatan di dalam bidang perbankan.
Di sisi lain negara dalam kondisi dan situasi krisis moneter atau krisis perbankan karena
banyaknya kredit macet yang berpotensi merugikan negara, maka pemerintah harus
menguatkan sistem hukum represif di bidang moneter karena fungsi utama penegakan
hukum menurut pendapat Nonet adalah memenangkan ketertiban. Jika upaya untuk
memenangkan ketertiban dilakukan dengan cara-cara prosedural, maka tindakan ini tidak
efektif karena akan memakan waktu yang lama dan bertele-tele. Hal itu terbukti dengan
penyelesaian BLBI dan jumlah kredit macet pada bank-bank milik negara. Dalam data-data
219
hasil penelitian menunjukkan hal yang sangat ironis sekali karena ternyata jumlah kredit
macet sangat luar biasa dibandingkan dengan kejahatan korupsi. Oleh karena itu,
pemerintah dalam hal ini BPPN terjebak dalam pola penyelesaian negoisasi yang
mengurangi standar-standar penegakan hukum superbody dalam penerapan prinsip-prinsip
hukum piutang negara.
Adalah pilihan yang tepat dari sebuah konsekuensi jika pada akhirnya pemerintah
Republik Indonesia melakukan tindakan hukum represif terhadap penyelesaian piutang
negara perbankan. Konsekuensi ini didasari pada motivasi pemerintah untuk menanggulangi
keadaan dan situasi penyelamatan kredit macet, baik yang disalurkan lewat Bank BUMN
atau kredit likuiditas yang disalurkan lewat Bank Indonesia. Konsepsi hukum responsif,
karena potensi kerugian negara jika dibiarkan akan berdampak kepada kepentingan umum.
Oleh karena itu, konsekuensi dari kredit macet yang berpotensi merugikan negara melihat
data-data dari hasil penelitian , menunjukkan bahwa jumlah uang negara yang hilang dan
belum bisa ditarik kembali oleh pemerintah ternyata lebih besar disebabkan oleh kredit
macet dibandingkan oleh tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, konsekuensi dari situasi
yang dihadapi pemerintah sekarang ini adalah diperlukannya suatu peraturan perundang-
undang yang memiliki karakter hukum represif, yang tegas dan berfungsi untuk
memenangkan ketertiban di bidang keuangan negara.
Dengan demikian efektifitas penyelesaian piutang negara perbankan dapat berhasil bila
teori hukum represif diterapkan sebagai pedoman pembentuk atau pembaharuan undang-
undang piutang negara. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan :
Tindakan Hukum Represif
Bahwa dalam memandang proses penyelesaian piutang negara yang berasal dari
kredit macet BLBI, diperlukan lembaga superbody semacam PUPN dengan berpijak pada
konsep sifat melawan hukum formil dengan tetap memperhatikan konsep sifat melawan
hukum materil, sehingga kasus gagal bayar kredit macet, baik yang disalurkan oleh Bank
BUMN maupun Bank Indonesia, tidak hanya sebagai akibat, namun juga harus dilihat
sebagai suatu perbuatan hukum. Penegakan hukum adalah merupaka acuan utama
sebagai bagian hukum yang penting dan jantung keadilan bagi kepentingan rakyat ,
bukankah pada hakekatnya uang negara adalah uang rakyat , demikian juga piutang
negara adalah juga piutang rakyat, rakyat berhak juga untuk menagih terhadap piutang
BLBI , sehingga motivasi utama pemerintah dengan membentuk suatu badan khusus
adalah pencegahan terhadap kerugian negara dengan upaya menarik kembali uang
negara yang telah disalurkan sebagai kredit oleh bank maupun oleh Bank Indonesia.
Dalam kajian teori Nonet dikatakan bahwa penegakan hukum tergantung pada situasi
dan kondisi, dengan demikian untuk mencapai tujuan memenangkan ketertiban, maka
pemerintah harus memiliki dan memahami hal-hal sebagai berikut :
uang negara yang hilang dan berpotensi merugikan negara harus secepatnya ditarik
kembali, dengan konsepsi filosofis semacam ini akan memotivasi/ mendorong
pemerintah untuk membuat undang-undang yang memiliki karakter hukum
represif.
bahwa kredit macet pada umumnya terjadi merupakan resiko bisnis dan non bisnis
karena keduanya mengandung unsur-unsur Error Omission dan Error Commision.
Error Commission (EC) adalah timbulnya kredit macet karena memanfaatkan
lemahnya peraturan atau ketentuan yang memang belum ada atau sudah ada, tetapi
tidak jelas. Pada Error Omission jelas motifnya sejak awal tidak baik atau dengan
kata lain, sejak awal niatnya melanggar. Model ini lebih mudah dideteksi karena alat
pembuktiannya mudah. Lain halnya dengan Error Commission yang memang tidak
ada aturan dan ketentuannya yang dilanggar, tetapi ada motif untuk memanfaatkan
220
belum adanya ketentuan atau aturan, sehingga dengan mudah para pejabat bank
mengeluarkan kebijakan yang didasari oleh unsur-unsur tertentu.
Modus EO sering terjadi pada saat adanya pengambilan keuntungan dari penerimaan
kredit. Permainan ini sebenarnya merupakan modus klasik, contohnya dalam
pemberian liquidity support dalam kasus BLBI yang dengan sengaja telah
diselewengkan oleh begitu banyak bank, sehingga bukannya kebutuhan dari
nasabah yang mendapatkan prioritas, tapi justru kebutuhan dari bank itu sendiri
beserta kebutuhan dari pihak yang terafiliasi dengan bank. Sedangkan modus EC ini
digunakan sangat rapih dan melibatkan pejabat bank.
Maka perlunya ada badan khusus menyelesaikan kasus gagal bayar terhadap piutang
negara perbankan, dan hal ini juga diakui oleh pemerintah ketika sebagai saksi
dalam uji materi Undang-Undang No. 49/Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan
Piutang Negara di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006, (Putusan Mahkamah
Konstitusi dalam perkara Nomor 023/PUPN-IV/2006 yang mengakui keberadaan
PUPN – bandingkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor
77/PUU-IX/2011 yang menolak keberadaan PUPN ).
Tindakan-tindakan represif yang dilakukan oleh badan semacam PUPN ini tetap
dipertahankan dalam penyelesaian kasus gagal bayar kredit macet yang sangat
efektif untuk dapat menarik kembali uang negara. Upaya-upaya penarikannya dapat
berhasil secara efektif dan efesien dikarenakan badan ini memiliki kewenangan
untuk melakukan penagihan sekaligus dengan Surat Paksa, Penyitaan, dan
Pelelangan Barang Jaminan.
Di samping itu juga, badan khusus ini harus diberikan kewenangan lain dalam penagihan
piutang negara, yaitu melalui:
a. Pencegahan bepergian ke luar negeri
b. Pemblokiran harta kekayaan lain, termasuk pemblokiran dan penyitaan rekening di
bank; serta Paksa Badan.
221
negara dapat memenangkan ketertiban?.jika otoritas negara tidak digunakan untuk
memenangkan ketertiban itu.
Motivasi negara untuk menjaga uang miliknya yang ditempatkan pada bank sentral
dan perusahaan perbankan adalah agar uang bermanfaat dan dapat digunakan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat karena hakikat uang negara dalam kondisi dan
posisinya harus mengikuti fungsinya, bukan melepaskan kedudukannya sebagai uang
negara. Pandangan bahwa uang negara akan berbeda hukumnya ketika berada dalam
tempat yang berbeda dan dikelola oleh isntansi yang berbeda adalah pandangan yang
asintesis, artinya sintesa hukum ini lebih mengutamakan tempat dan pengelolanya. Oleh
karena itu, konsekuensi yuridisnya juga berfluktusi seperti harga dalam lalu lintas
ekonomi. Pandangan norma yang fluktuatif menurut pendapat Nonet adalah seni
membolak-balikkan hukum (artifical of law), sehingga substansi undang-undang tidak
lagi kehilagan represifnya, yang seharusnya memiliki kemampuan, baik secara materiil
dan formil sebagai hukum . Maka dari itu, menurut Nonet - bagaimanapun negara itu
modern dan liberalnya bila dihadapkan dalam kondisi tertentu yang tidak bisa diatasi
secara cepat dan efektif, maka tidak ada jalan lain kecuali berpaling pada sistem hukum
represif.
222
Presiden R.I. dengan persetujuan DPRRI melalui Menteri Keuangan untuk jumlah lebih
dari Rp. 100.000.000.000,- per debitur.
Jumlah kredit macet dari bank BUMN dan kredit macet dari Bank Indonesia ternyata masih
banyak belum dapat diselesaikan dan pemerintah masih mencari cara-cara penagihan
dengan menggunakan beberapa jalur. Berdasarkan data Kredit Bermasalah Bank Pesero
dari Tahun 2007 sampai dengan Tahun 2012 naik secara signifikan menjadi Rp. 767,5
Triliun (sumber data dari Bank Indonesia), bandingkan dengan uang negara yang tidak
bisa ditarik kembali, akibat tindak Pidana Korupsi hanya sebesar Rp. 53 Triliun (sumber
data dari KPK pada harian Kompas tahun 2012). Kerugian negara yang disebabkan oleh
perbuatan perdata ternyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan perbuatan pidana.
UU No. 49 Prp/1960 yang kedudukannya lebih tinggi dibanding PP sebagai dasar
pembentukan PUPN , masih tetap berlaku, dan tidak diakomodir ketika pembentukan
BPPN, sehingga sistem penagihan uang negara tidak diintergrasikan pada satu model
hukum tertentu dalam konsep hukum responsif secara maksimal , akan tetapi kebijakan
pemerintah tidak konsisten penyelesaian piutang negara perbankan yang berpotensi
merugikan negara diserahkan proses penyelesaian di gunakan model-model hukum
antara responsif dan represif , dan penegakan hukumnya tidak pasti dimensi awal
penyelesaian secara perdata melalui Departemen Keuangan, dimensi lain menggunakan
hukum publik , tidakan hukum semacam ini sudah pasti akan membutuhkan waktu
panjang dan kompleks.
c. Konsekwensi penerapan teori hukum Responsif Philip Nonet- Selznick , adalah peraturan
perundang-undangan penagihan piutang yang dibuat harus sesuai dengan prinsip-prinsip
hukum penyelesaian piutang negara, dengan demikian diperlukan suatu badan khusus
yang diberikan otoritas setara dengan pengadilan.
Saran-saran
0 Mempertahankan konsep penegakan hukum secara represif dan menggunakan suatu
badan khusus sebagai lembaga peradilan karena sesuai dengan sifat piutang negara yang
memiliki hak eksekusi, maka ketentuan-ketentuan yang merupakan prinsip hukum
piutang negara harus diimplementasikan ke dalam peraturan perundang-undangan,
sehingga bentuk regulasinya adalah mengandung substansi hukum materil dan formal.
1 Diadakan perubahan sistem penagihan piutang negara dalam satu struktur lembaga yang
bekerja secara orientasi di bawah pertanggung-jawaban presiden dan kedudukannya
setara dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
2 Penyelamatan Piutang Negara Perbankan tak tertagih pada kredit macet Bantuan
Likuidasi Bank Indonesia harus dilaksanakan setelah proses penyelesaian bersifat
delegatif dari pejabat penyerah piutang negara Bank Indonesia kepada badan khusu
223
dilaksanakan dengan prinsip-prinsip hukum penyelesian piutang negara dengan upaya
hukum represif.
2.0.0 Berkaitan dengan pengawasan perbankan dengan adanya perintah Undang-
Undang membentuk badan khusus, yaitu Otoritas Jasa Keuangan UU No. 21 tahun 2011
yang dikonstruksikan sebagai pengawasan privat adalah sangat bertentangan dengan
konsep hukum responsif karena pada dasarnya pengawasan harus selalu dalam konteks
konstitusi, dan tidak akan membawa kemanfaatan secara publik. Hal itu juga
bertentangan dengan konstitusi. Perlu diingat bahwa lembaga ini di negara pencetusnya
negara Inggris dan Amerika Serikat sudah dibubarkan dengan alasan karena lembaga ini
tidak secara efektif dapat mengawasi kinerja lembaga keuangan perbankan dan non
perbankan, sehingga pemerintah secara dini tidak dapat mencegah timbulnya krisis
moneter. Akan tetapi, justru dinegeri ini lembaga tersebut malah digunakan dengan
semangat “coba-coba”. Karena konsep dasarnya adalah privatisasi segala bidang, dengan
demikian filosofi pembentukan undang-undang ini adalah sangat yakin bahwa setelah
dilepaskannya sistem pengawasan Bank Indonesia terhadap Perbankan Nasional dapat
mencegah krisis moneter secara dini. Hal itu sangat disayangkan karena kebijakan ini
tidak didasarkan pada aspek sejarahnya.
2.0.1 Berakhirnya rezim pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan nasional
adalah cermin bahwa kemauan pemerintah untuk merespon segala kepentingan
keuangan publik menjadi kepentingan privat, seyogyanya dikondisikan pada pola-pola
hukum otonom, yaitu praktik prosedural administrasi negara masih terikat pada asas-
asas administrasi negara, sehingga dengan demikian tindakan debitor yang merugikan
keuangan negara adalah perbuatan korupsi.
2.0.2 Pemaknaan “Persero” adalah Badan Usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas
(pasal 1
Angka 1 Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang BUMN) adalah pengertian yang
menyimpang dari masalah referensi. Dengan kata lain, masalah-masalah keadaan yang
bersesuaian dengan isi sebuah fungsi tanda. Jika ini diabaikan akan terjadi kesalahan
referensial. “Persero” itu adalah suatu “tanda” yang menunjukkan perbedaan dengan
“Perseroan Terbatas”.
Akan tetapi, dalam referensi Undang-Undang ini dikatakan Persero adalah BUMN yang
berbentuk perseroan terbatas alias “Persero” sama dengan PT. Menurut Uberto Eco,
korespodensi semacam ini akhirnya menjadikan kesalahan referensi. Suatu “tanda” akan
menunjukkan jati dirinya yang berbeda dengan “tanda” lainnya dan menunjukkan
penggunaannya. BUMN adalah Badan Usaha Milik Negara bukan Badan Usaha berbentuk
Perseroan Terbatas. Karena “tanda” persero adalah persero, sedangkan PT adalah PT,
sehingga badan hukum Persero tidak sama dengan badan hukum PT.
Rekomendasi
0 Merubah pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 tahun 2003 tentang BUMN. Pasalini
mendefinisikan Persero adalah BUMN berbentuk perseroan terbatas yang modalnya
terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki negara
yang tujuannya mengejar keuntungan. Mengusulkan untuk merubah bunyinya menjadi :
Persero adalah BUMN berbentuk badan usaha persero yang modalnya terbagi dalam saham
yang seluruhnya atau paling sedikit 51 % sahamnya dimiliki negara yang tujuannya
mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. (Oleh karena
pada hakikatnya Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha milik rakyat, maka
keuntungan yang diperoleh dari BUMN bukan untuk para pemilik pemegang saham, tapi
keuntungan tersebut yang utama adalah untuk rakyat bukan untuk pemegang saham).
0 Pengelolaan dan pertanggung-jawaban Persero adalah tunduk pada Undang-Undang
Persero, yaitu Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara, bukan pada Undang-Undang
Perseroan Terbatas.
224
Harus dibentuk Badan Khusus setingkat lembaga negara yang terlepas dari struktur
Departemen Keuangan Republik Indonesia dan di bawah langsung Presiden setara dengan
Lembaga Negara KPK yang profesional, berintegritas tinggi dengan organisasi internal
audit dan kepatuhan yang tinggi serta adanya pengawasan eksternal (auditor independen
dan BPK) yang simultan dan berkelanjutan.
Rancangan Undang-Undang Piutang Negara dan Piutang Daerah perlu ditarik kembali karena
mengeksprepsikan piutang negara hanya sebatas piutang tunggakan-tunggakan
pembayaran pajak dan bea masuk atau bea tak tertagih dari bea perolehan negara bukan
pajak,sedangkan piutang negara yang ditimbulkan oleh Badan Usaha Milik Negara dan
Milik Daerah diselesaikan lewat jalur-jalur non settlement.Hal ini akan membahayakan
karena membuka peluang hilangnya uang negara. Pembentukan Badan Khusus adalah
ketentuan yang setara dengan amanat konstitusi bahwa uang negara adalah uang rakyat
yang tidak boleh ada pemisahan makna ketika uang negara tersebut dipisahkan bagi
kepentingan badan usaha negara.
Perlu diakomodasi menjadi Undang-Undang mengenai PP Nomor 33/2006 dan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 87/PMK07/2006. Bank BUMN mengharap-kan adanya
kesamaan pandang antara aparat hukum dan pengawas mengenai PP No.33/2006 tentang
Tata Cara Penyelesaian Piutang Negara.
Merestrukturisasi semua kredit macet piutang negara, baik yang disebabkan oleh kredit
macet bank BUMN maupun kredit likuiditas bank Indonesia ( BLBI ) meskipun sudah ada
jaminan dari PP itu dan Keputusan Menkeu PMK No 87/2006 tentang Pengurusan Piutang
Perusahaan Negara/Daerah yang pada dasarnya memberi kewenangannya sesuai
mekanisme administrasi negara, akan tetapi harus terlebih dahulu mendapat rekomendasi
Badan Khusus.
225
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Abimanyu, A., dan Andie Megantara, 2009, Era Baru Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan
Implementasi, Kompas,Jakarta.
Adjie, H., 2000, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung.
Akyuwen, R.,Krisna, dan I Dewa Gede Suthapa, 2010, teori dan praktek Keuangan Mikro di
Indonesia, Sekolah Pascasarjana, UGM.
Ali Achmad, 2011, Menguak Realitas Hukum, Rampai Kolom & Artikel Dalam Bidang Hukum,
Kencana, Jakarta
Amos, H.F.A., 2005, Sistem Ketatanegaraan Indonesia: dari Orla, Orba sampai Reformasi telaah
sosiologis Yuridis dan Pragmatis Jati Diri Hukum TataNegara, Raja Grafindo, Jakarta.
Anshori, A.G., 2008, Kapita Selekta Perbankan Syariah Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta.
Arifin, S.,R Winantyo, dan Yati Kurniati, 2004, Integrasi Keuangan Dan Moneter Asia Timur:
Peluang Dan Tantangan Bagi Indonesia, Gramedia, Jakarta.
Asser, C.,12 Maret 1991, Pedoman Untuk Pengkajian Hukum Perdata, diterjemahkan oleh
Sulaiman Binol, Jakarta.
-----------------, 2010, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga negara Pasca Reformasi. , Sinar
Grafika , Jakarta.
Badan Pemeriksa Keuangan (Tim BPK), 2000, Keuangan Negara dan Badan Pemeriksa Keuangan,
Sekretariat Jenderal BPK, Jakarta.
Bank Indonesia, 2003, Contagion and Interdependence in The Asian Crises: ACointergrated
Approach, Pendidikan dan Studi Kebansentralan, Jakarta Pusat.
226
Bearly,R. & Steward Meyers, 1984, Principles of Corporate Finance. Second Edition, McGraw Hill
International Book Company, New York.
Bintang, S., dkk.,2000, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi Dan Bisnis, Citra Aditya Bakti. Bandung.
Black, H.C., 1990, Blak’s Law Dictionary, West Publishing Co., St Paul Minnesota.
Bodgan, R., and Steven J. Taylor, 1993, Kualitatif (Dasar-Dasar Penelitian). diterjemahkan A.
Khozin Afandi, Penerbit Usaha Nasional, Surabaya Bryde,WW. MC., A Flessner, and S.C.J.J
Kortman, 2003, Principles Of Europe Insolvency Law, Law of Business and Finance Volume
4, Kluwer Legal Publishers.
Braithwaite, John, 2002, Restorative Justice and Responsive Regulation, Oxford University Press
Corporaso,J.A., and David P Levine, 2008, Teori-Teori Ekonomi Politik, diterjemahkan oleh Suraji,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Darus, M., et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, 2001
Effendy, M. 2012, Tipologi Kejahatan Perbankan Dari Prespektif Hukum Pidana, Sumber Ilmu Jaya,
Jakarta.
Edward,D., 2010, BLBI Extraordinary Crime: Suatu Analisis Historis dan Kebijakan, Lkis Bantul,
Yogyakarta.
Emirzon, J., dkk., 2007, Perspektif Hukum Bisnis Indonesia, Genta Press, Yogyakarta.
Emirzon, J., Prespektif Hukum Bisnis Indonesia Pada Era Globalisasi Ekonomi, Genta Press,
Yogyakarta.
Fajar, M. dan Yilianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Tata
Aksara, Yogyakarta.
Friedman,L., 1975, The Legal System, Asosial Science Perspectives Russel Sage Foundation, New
York.
Friedman,L. M. & Harry N. Scheiber, 1996, Legal Culture and TheLegal Profession, Westview
Press.
Fromm, E., 2001, Marx’s Concept of Man (Konsep Manusia Menurut KarlMarx), Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Fuady, M., 2004, Bisnis Kotor Anatami Kejahatan Kerah Putih, Citra Aditya, Bandung.
227
Fletcher George P, 2006, Basic Concept of Legal Thought, Oxford University Press.
Gazali,D. S. dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta.
Hadiwigeno, S. dan Farid Wijaya M.,1984, Ekonomi Moneter dan Perbankan, BPFE UGM,
Yogyakarta.
Handoko, P, 2006, Menakar Jaminan Atas Tanah sebagai pengaman Kredit Bank, Center for
Society Studies, Jember.
Harsono,B., 1995, Hubungan Hukum Adat dan Hukum Tanah Nasional, BPHN, Jakarta.
Hartono, S., 1994, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad Ke-20, Alumni, Bandung.
Haryani, I., 2010, Restruturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, Kompas Gramedia, Jakarta.
---------. Hukum piutang dan lelang negara di Indonesia. Kompas Gramedia ,Jakarta.
Hidayat L.M, 2007, Reformasi Administrasi , Kajian Pemerintah Tiga Presiden, Gramedia Pustaka
Utama , Jakarta.
Hasan, D., 1992, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda lain yang melekat pada
Tanah Dalam Konsepsi Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hamzah, Fahri, 2012, Negara BUMN dan kesejahteraan rakyat, Yayasan Faham Indonesia, jakarta.
Honohan, P.,and Daniella Klingebiel, 2000, Controlling Fiskal Cost of Banking Crisis, Policy
Research, paper No. 2441, 2000, The World Bank.
Huda, N.,2009, Hubungan Pengawasan Produk Hukum Daerah antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Ringkasan Disertasi, Program Doktor
Ilmu Hukum UII, Yogyakarta.
Huntington,S.P., 2003, Tertib Politik pada Masyarakat Yang Sedang Berubah, diterjemahkan oleh
Sahat Simamora dan Suryatin, Penerbit Raja Grafindo, Jakarta.
__________________., 1999, Hak Jaminan Kebendaan dan Kepailitan. Hak Tanggungan dan Asas
Pemisahan Horisontal, BPHN, Jakarta.
228
_____________________., 2000, Analisa dan Evaluasi Hukum tentang Hak Tanggungan Dalam Kegiatan
Usaha Perbankan, Dept. Hukum dan Perundang-Undangan RI, Jakarta.
Hutagalung,A.S., 1996, Undang-Undang Hak Tanggungan Atas Tanah dan jaminan Perbankan,
BPHN, Jakarta.
_______________.,1999, Serba Aneka Masalah Tanah Dalam Kegiatan Ekonomi (Suatu Kumpulan
Keuangan), BPFH-UI, Jakarta.
Ibrahim,J., 2004, Bank sebagai Lembaga Intermediasi dalam Hukum Positif, Penerbit Utomo,
Bandung.
Ibrahim,J., 2004,Cross Default & Cross Colleteral Sebagai Upaya penyelesaian Kredit bermasalah,
Refika Aditama, Bandung.
Ibrahim, J., 2010,Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum: Teori dan Implikasi Penerapannya dalam
Penegakan Hukum, Its Press, Yogyakarta.
Info Bank, 1997, Solusi Hukum Dalam Menyelesaikan Kredit Bermasalah, Ikrar Mandiriabadi,
Jakarta.
_______________, 2008, Korupsi dan Pembalikan Beban pembuktian, Senoaji Centre, Jakarta.
Ismail, M.,Bank Indonesia dalam Perdebatan Politik dan Hukum, Navila Ibila Yogyakarta.
J. Soedradjad Djiwandono, 2001, Mengelola Bank Indonesia Dalam Masa Krisis, Pustaka LP3ES,
Jakarta.
Kansil,C.S.T. dan Christie ST Kansil, 2010, Perbandingan Hukum Administrasi Negara, Rene Cipta,
Jakarta.
Khairandy, R., 2003,Itikad Baik Kebebasan Berkontrak, Fakultas Hukum Pascasarjana UI, Jakarta.
Kusumah, M. W., 1986, Perspektif Teori dan Kebijaksanaan Hukum, Rajawali, Jakarta.
Kusumaningtuti, S.S., 2009, Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia,
Raja Grafindo, Jakarta .
Lebacqz, K., 1986, Teori-Teori Keadilan Analisis Kritis terhadap Pemikiran J.S Mill, John Rawls,
Robert Nozick, Reinhold Neibuhr, Jose Porfirio Miranda diterjemahkan Yudi Santoso,
Penerbit Nusa Media, Bandung.
Mahmud M.D., 2007, Hukum Tak Kunjung Tegak, Citra Aditya Bakti, Bandung.
229
_______________, 2001, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta.
Manan, B., 2003, Teori Dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta.
______________, 1993, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia Alumni Bandung.
_______________, 2004, Hukum Positif Indonesia, Suatu Kajian Teknik , FH UII Press
Mantayborbir SH., M.H., et.al ., 2001,Pengurusan Piutang Negara Macet pada PUPN/BPUPLN,
Pustaka Bangsa Press.
Marbun S.F. dan Mahfud Md., 1987, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty,
Yogyakarta.
Munir,F.,2004, Bisnis Kotor: Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Musgrave, R.A., and Peggy B Musgrave,1998, Keuangan Negara Dalam Praktek Dan Teori,
diterjemahkan olehAlfonsus Sirait, Erlangga, Surabaya.
Naja, H.R.D., 2005,Hukum Kredit dan Bank Garansi, Citra Aditya, Bandung.
Nolan,J.R., and Jacqueline. M., 1990, Black’s Law Dictionary, West Publishing, Boston, USA.
Nonet, P.,and Philip Selznick, 2007, Law and Society in Transition : Toward Responsive Law,
Harper & Row,diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien dengan Judul Hukum Responsif ,
Nusamedia, Bandung
Overtveldt Van Johan, 2009, Bernanker’s Test, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Ben
Bernake, Alan Greenspan dan Drama Bankir Bank Sentral, kompas Gramedia, Jakarta.
Perangin, E., 1987, Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit, Rajawali Press, Jakarta.
Popper Karl, 2008, The Logic of Scientific Discovery , diterjemahka ke dalam Bahasa Indonesia
Logika Penemuan Ilmiah , Pustaka pelajar, Yogayakarta
Prasetyantoko,A., 2009, Krisis Finasial Dalam Perangkap Ekonomi Neo Liberal, Kompas, Jakarta.
230
Pusat Pengkajian Hukum & Mahkamah Agung, 2002, Perjanjian-Perjanjian Dalam Rangka
Restrukturisasi, Lokakarya Terbatas.
_________., 2009, Tiga Dimensi Hukum Administrasi Dan Peradilan Administrasi, FH UII,
Yogyakarta.
Raharjo, S., 2006, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta.
Raharjo, S., 1979, Budaya Hukum dalam Permasalahan Hukum di Indonesia, BPHN, Jakarta.
Rajagukguk Erman, 2011, Butir-Butir Hukum Ekonomi, Lembaga Studi Hukum Ekonomi fakultas
Hukum UI Jakrata.
Rawl, J., 2006, Teori Keadilan, Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan
Sosial dalam Negara, terjemahan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Robert Cooter and Thomas Ullen, 2004 , Law & Economic , Pearson Education ,Inc
Russel Bertrand, 1946, History of Westrn Philosophy and its Conection with Political and Social
Circumtances From Earliest times To the Present Day, George Alen and UNWM , Ltd ,
London. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia, dengan judul Sejarah Filsafat Barat, dan
kaitannya dengan kondisi sosio politik dari jaman kuno hingga sekarang.Pustaka Pelajar,
Yogyakarta 2002
Salman, S.O., dan Anton F Susanto, 2004, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka
kembali, Refika Aditama, Bandung.
__________________. Menuju Penegakan Hukum Responsif, “Konsep Philippe Nonet & Schelznick”.
231
_________________., 2008, Perbandingan Civil Law System & Common Law System Spiral Kekerasan &
Penegakan Hukum, Pustaka Timur, Yogyakarta.
Sitompul Z, 2002, Perlindungan nasabah bank, Suatau Gagasan Tentang Pendirian lembaga
Penjamin Simpanan Di Indonesia, Fakultas Hukum UI , Jakarta
Singh,K., 1998, Memahami Globalisasi Keuangan: Panduan Untuk Memperkuat Rakyat, Yakoma,
Jakarta.
Sjahdeini, S.R., 1993, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak
Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia.
Soekanto, S., dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soekanto, S., 2008, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Soeparmono, 1997, Masalah Sita Jaminan (C.B) dalam Hukum Acara Perdata, Mandar Maju,
Bandung.
Soeriatmamaja, A.P.,2009, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum: Teori, Kritik, dan Praktik,
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soesatyo,B., 2010, Skandal Gila Bank Century: Mengungkap Yang Tak Terungkap Skandal
Keuangan Terbesar Pasca- Reformasi, Ufuk Press, Jakarta.
Stroink, FAM en J.G Steenbeek, 1985, Inleiding in het Staats–en Administratif Recht, Alphen aan
den Rijn Samsom HD Tjeenk Willink
Subekti,R., 1996, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, ditulis
kembali oleh Johanes Gunawan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Suharnoko, dan Hartati Endah, 2006, Doktrin Sunrogasi, Novasi, dan Cessie, “Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Nieuw Nederlands Burgerlijk Wetboek, Code Civil
Perancis, dan Common Law”, Kencana, Jakarta.
232
Sunggono, B., 1995, Pengantar Hukum Perbankan, Mandar Maju. Bandung.
Supramono, G.,1996, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan, Penerbit Jambatan, Jakarta.
Supramono, G., 1996, Perbankan dan Masalah Kredit: Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta.
Sutantio, R., 1996, Prosedur Eksekusi Hak Tanggungan, Citra Aditya Bakti, BPHN. Jakarta.
________________., 1999, Perlindungan Hukum Eksekusi Jaminan Kredit. Dept. Kehakiman, BPHN.
Jakarta.
Sutejo, S., 1997, Menangani Kredit Bermasalah: Konsep teknik dan kasus, Pustaka Binaman
Pressindo, Jakarta.
Sutojo Siswanto, 1997, menangani Kredit Bermasalah, Konsep, Teknik dan Kasus, Pustaka
Binaman Pressindo, Jakarta.
Sutrisno P.H., 1982, Dasar-Dasar Ilmu Keuangan Negara, Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi
UGM, Yogyakarta.
Tauda A Gunawan, 2012, Komisi Negara Independen, eksistensi Independen Agencies sebagai
Cabang Kekuasaan Baru dalam Sistem Ketatanegaraan, Genta Press Yogyakarta.
Usman,R., 1999, Pasal-Pasal Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Djambatan, Jakarta.
Utrecht, E. 1957, 1988, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Mas, Surabaya.
Widjaja,G., 2002, Pengelolaan Harta Kekayaan Negara Suatu Tinjauan Yuridis, Rajagrafindo,
Jakarta.
Widoatmodjo, S., 2010, Mencari Kebenaran Objektif Dampak Sistem Bank Century: Kajian Teoritis
dan Empire, Gramedia, Jakarta.
Wignjosoebroto, S., 2007, Hukum Dalam Masyarakat: Perkembangan dan Masalah, Sebuah
Pengantar ke Arah Sosiologi Hukum, FISIP Unair, Surabaya.
Wijaya, K., 2010, Analisis Kebijakan Perbankan Nasional, Kompas Gramedia, Jakarta.
Yustika,A.E., 2009, Ekonomi Politik : Kajian Teoritis dan Analisis Empiris, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
233
Zwijndregt, J.V., 1952, Economic Act, JB Welters, Groningen.
B. Makalah/Jurnal /Paper
Asshidiqie, J., 2006, Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia (Menyoal Moral
Penegak Hukum) Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 16 Februari
2006.
Atamimi, A.H., 1992, Perbedaan antara peraturan perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan,
Jakarta, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Pidato Dies Natalis PTIK ke 46.
Batunanggar,S., 2002,Indonesia ‘s Banking Crisis Resolution : Lesson and The Way Forward,
Occasional Internal Paper.
Claessens, S.,Daniela Klingebiel, and Luc Leaven, 2004, Resolving Systemic Financial Srises,
Policies and Institutions, Policy Working Papers, World Bank, Washington DC. No 3377
Darus, M., 2003, Pokok-Pokok Pikiran Penyelesaian Sengketa Bisnis, kertas kerja Bali, 16 Juli 2003
Djohansyah, J., 2003, Kreditur Separatis dan preferens serta Tentang Penjamin utang, dalam
Inservice training, Mahkamah Agung RI.
Enoch,C.,Barbara Baldwin, Oliver Frecaut, and Arto Kovanen, 2001, Indonesia Anatomy of A
Banking Crisiss Two years of Living of Dangeriously 1997-1999, IMF Working Paper,
Washington DC.
Hadianto, M., 2004,Eksistensi BUMN di Tengah Sistem Ekonomi Pasar,Tulisan Makalah yang
dimuat dalam buku Kebijakan Fiskal, Penerbit Gramedia, Jakarta.
Haryanto, A., 2004,Aspek Hukum Dalam Penetapan Kebijakan Keuangan Negara, Tulisan makalah
yang dimuat dalam Kumpulan Karangan Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep dan
Implementasi.
Honohan, Patrick and Daniela Klingebiel, 2000, Controling Fiscal Costs of Banking Crisis, Policy
Research Paper, The World Bank , Washington DC : No 2441.
Indroharto. 1995, Pengurusan Kredit Macet Melalui Badan Urusan Piutang Negara. Dalam Kapita
Selekta Hukum (Mengenang Prof. H. Oemar Seno Adji. SH), Ghalia Indonesia, Jakarta.
Juwana,H., 2006, Arah Kebijakan pembangunan Hukum di bidang Pereekonomian dan Investasi,
Seminar Badan pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta.
29-31 Mei 2006.
Mahfud, M.D., 2008, Bahan Kuliah, Program Doktor Ilmu Hukum UII, Yogyakarta.
Manan, B., 1994, Peraturan Kebijakan, Makalah Penataan Dosen Fakultas Hukum Seluruh
Sumatera, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang 5 April 1994.
Muhammad, A., 2004, Pengawasan Pengelolaan Keuangan Negara, Tulisan Makalah dalam
Kumpulan Karangan Kebijakan Fiskal.
Minoru, S., 1982, Integrated Approach to Criminal and Justice (UNAFEI), Jurnal Hukum Ius Quia
Lustrum, FH UII.
Pangestu,M.E., 2003, The Indonesia Banking Criss and Restructuring : Lessonand Implication s for
Other Developing Countries, G-24 Discussion Paper Series No 23 ,United Nations
Coference on Trade and Development.
Raharjo, S., 2007, Konsep dan Karakteristik Hukum Progresif, disampaikan dalam Seminar
Nasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro bekerja
sama dengan Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP dan Fakultas Hukum Universitas
Trisakti, Jakarta. (tanggal 15 Desember 2007 di Semarang)
Ross, L., 1999, Law Finance and Economic Growth, Journal of Financial Intermediation.
_______________, 2008, Sari Kuliah Kebijakan Pembangunan Hukum pada Prog. Doktor Ilmu Hukum
PPs. FH. UII, Jogjakarta: PPs Uii.
Sjahdeni, R.S.,2001, Beberapa Pokok Pikiran Mengenai Reformasi Hukum Perbankan Indonesia.
____________________, 1999, Masalah Jaminan Dalam Pemberian Kredit, Makalah disajikan dalam
Pertemuan Ilmiah “Penyajian Hasil Penelitian Tentang Aspek-Aspek Hukum Masalah
Jaminan Kredit” diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta,
tanggal 28-30 September 1999.
Soeriatmaja, A.P., 1993, Laporan Penelitian Aspek-Aspek Hukum dalam Penyelesaian Piutang
Negara, Departemen Kehakiman, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta.199
Wignjosoebroto, S., 2007, Sari Kuliah Teori Hukum Program Doktor Ilmu Hukum, PPs FH. UII.
______________________, 2007, Hukum Progresif: Apa yang Harus Dipikirkan dan Dilakukan Untuk
Melaksanakannya (sebuah makalah, sebaran pemikirannya disampaikan dalam Seminar
Nasional tentang “Hukum Progresif” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNDIP
bekerjasama dengan Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP Semarang dan Fakultas
HUkum Universitas Trisakti Jakarta. Semarang 15 Desember 2007.
Tiong,P.H., 2002, Pola Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham Bank Melalui Settlemen and
Acquisition Agrement, Makalah yang tidak diterbitkan sekolah Staf dan Pimpinan Bank
Indonesia/SEPIBI, Angkatan XXV.
Warassih, E., 2001, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan Tujuan Hukum Proses
Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan, UNDIP, Semarang.
235
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara.(PUPN).
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-
Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Nomor 24 tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara (SUN) Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Undang-Undang Nomor
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia.
Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 21 Tahun 1991 tentang Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara.
236
Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 26 Tahun 1998 tentang Program Penjaminan Pemerintah.
Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 27 Tahun 1998 tentang Badan Penyehatan Perbankan
Nasional.
Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 84 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan, Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal di Lingkungan Departemen
Keuangan.
Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil
dan Menngah.
Inpres (Instruksi Presiden) Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum
Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada
Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajiban Pemegang Saham.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah .
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005.
KMK (Keputusan Menteri Keuangan) Nomor 61/KMK.08/2002 tentang Panitia Urusan Piutang
Negara (PUPN).
PMK (Peraturan Menteri Keuangan) Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Usul,
Penelitian, dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah dan Piutang
Negara /Daerah.
PMK (Peraturan Menteri Keuangan) Nomor 112/PMK.07/2005 tentang Perubahan Atas PMK
(Peraturan Menteri Keuangan) Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara Pengajuan
Usul, Penelitian, dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah dan
Piutang Negara/Daerah.
PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Kesehatan
Bank Umum.
PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor 7/12/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank
Umum.
237
PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor 8/15/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.
PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor 9/16/PBI/2007 tentang Perubahan Kedua Atas PBI
Nomor 7/2/PBI2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.
SE-BI (Surat Edaran Bank Indonesia) Nomor 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 tentang Sistem
Penilaian Tingkat kesehatan Bank Umum.
238
Lampiran
Kasus-Kasus
Kasus Posisi:
Pande N. Lubis, berdasar SK. Menteri Keuangan RI No. 499/KMK.01/UP.II/ 1998 tanggal 7
Desember 1998 diangkat sebagai Pimpinan/Wakil Ketua BPPN (Badan Penyehatan Perbankan
Nasional) Jakarta.
Pada tahun 1999 bulan Juni, Pande N.Lubis selaku Wakil Ketua BPPN, telah menerima
Surat Permohonan Klaim PT. Bank Bali Tbk. No. 012/CL/02/99 tanggal 12 Februari 1999 untuk
pencairan tagihan Bank Bali terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) berupa : 8
transaksi swap dan 2 (dua) “Transaksi Money Market” (eks. Transaksi SWAP) sebesar Rp.
436.717.230.423,00 dan US Dollar 45.000.000,-
Klaim PT. Bank Bali ini telah ditolak oleh “Bank Indonesia”, karena tidak termasuk dalam
program penjaminan Pemerintah sebagaimana yang ditentukan dalam KEPPRES. Keputusan
Presiden : No. 26/tahun 1998 serta SKB Menteri Keuangan dan Bank Indonesia: No.
30/270/Kep/Dir – tanggal 6 Maret 1998
1/BPPN/1998
No. 32/46/Kep/Dir – tanggal 14 Mei 1999
181/BPPN/0599
Karena klaim/tagihan Bank Bali ini, telah ditolak oleh Bank Indonesia, maka di Hotel
Mulia Jakarta diadakan pertemuan dihadiri oleh pejabat BPPN – Bank Indonesia – Bank Bali
serta orang-orang penting lainnya (Pengusaha). Atas arahan Wakil Ketua BPPN maka Direksi
Bank Bali Rudy Ramli dan Firman Soetjahya menyampaikan Surat No. 012/CL/02/099 –
Februari 1999 perihal transaksi Bank Bali dengan Bank Beku Operasi (BBO) yang ditujukan
kepada BPPN Up. Pande N. Lubis yang menguraikan tentang transaksi Bank Bali dengan Bank
BDNI dan mohon BPPN membantu menyelesaikan klaim Bank Bali secara keseluruhannya.
Karena klaim/tagihan Bank Bali selalu ditolak oleh Bank Indonesia dan “BPPN” maka
Rudy Ramli Direktur Bank Bali dan Joko S. Tjandra, Direktur PT. Era Giat Pratama diadakan suatu
perjanjian pengalihan agihan (Cessie Tagihan) No. 002/P-EGP/I/1999 sebesar Rp.
798.091.770.00,00 terhadap “BDNI” dan BUN kepada PT. Era Giat Prima.
Walaupun Pande N. Lubis sebelumnya sudah mengetahui bahwa tagihan/klaim “Bank
Bali” telah ditolak Bank Indonesia, karena tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang
ditentukan SKBNo. 30/270/KEP/DIR jo. No. 1/BPPN/1998 tanggal 6 Maret 1998, namun ia tetap
berusaha memproses tagihan Bank Bali tersebut dengan cara meminta kepada “Bank Indonesia”
untuk melakukan verifikasi. Selanjutnya ia akan mengaturnya untuk membayar klaim tersebut.
Verifikasi yang dilakukan oleh (UpmB2 B.I), Erman Munzir memberitahukan kepada
“Ketua BPPN” dengan surat No. 31/1658/Adp tanggal 22 Maret 1999 – yang isinya menyatakan;
terhadap yang diperlukan tidak diketemukan, sehingga transaksi antara BDNI dengan Bank Bali
tidak dapat diketahui kewajarannya, sehingga transaksi tersebut tidak termasuk transaksi yang
dijamin Pemerintah yang diatur di dalam KEPPRES No. 26/Tahun 1998 jo. KEP.MEN.KEU.RI No.
26/KMK.017/1998 dan SKB No. 30/270/KEP/DIR tanggal 6 Maret 1998 jo. O. 32/46/KEP/DIR
tanggal 18/BPPN/0599.
Pande N. Lubis, sebagai “Wakil Ketua BPPN” membuat Surat bersama Farid Harianto No.
PB-385/BPPN/0699 tanggal 1 Juni 1999 tentang pendebetan R/K.502.000.002 yang isinya
meminta kepada “Keala Urusan Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia” untuk
membayar kepada Bank Bali, rekening No. 523.013.000 atas beban R/K 502.000.002 Bendahara
Umum Negara untuk obligasi dalam rangka penjaminan = Rp. 904.642.428.369,-. Surat tersebut
dibawanya dan diserahkannya sendiri kepada “Kepala Urusan Akunting dan Sistem Pembayaran
Bank Indonesia” dan pencairan pendebetannya diproses secara cepat pada hari itu juga.
239
Bank Bali telah menerima pembayaran = Rp. 904.642.428.369,- yang dilaksanakan oleh
Kepala Urusan Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia atas permintaan “Wakil Ketua
BPPN” yang tertuang dalam Surat No. 385/BPPN/0699 tanggal 1 Juni 1999.
Pada 3 Juni 1999 uang tersebut diserahkan kepada “PT. ERA GIAT PRIMA (PT.EGP)”
melalui transaksi ke rekening “PT. EGP” Rp. 141.826.116.369,- di Bank Bali, sehingga yang
diterima oleh “PT.EGP” = Rp. 546.468.544.738,-
Setelah Joko Soegiarto Tjandra Direktur “PT.EGP” menerima uang Rp. 546.468.544.738,-dari Bank Bali,
yang berasal dari pembayaran claim oleh BPPN, maka Joko S. Tjandra minta Bank Bali Sudirman Jakarta agar
mentransfer dana tersebut ke rekeningnya “PT. EGP” No.
246.0000.42755.001 sebesar Rp. 120.000.000.000,- dan kedalam rekeningnya Joko S.Tjandra
No. 246.0000.44664.01 sebesar Rp. 426.466.119.369,- pada BNI Rasuna Said Jakarta. Dari
rekening tersebut dipindahbukukan kepada orang-orang lain atau ke Bank lain : PT. Ungaran
Garmen – Marimutu Manimaren – MS. Rolie Siregar – Setya Novanto – Anna Buntaran –
Enggartiasto Lukito – Arung Gauk Jare – Bong No Lie – dan lain-lainnya.
Semua perbuatan “Wakil Ketua BPPN” Pande N. Lubis tentang pencairan claim Bank Bali
tersebut di atas, oleh Jaksa Penuntut dilakukan penyidikan dan setelah ditemukan “unsur yang
melawan hukum” dari perbuatan pencairan klaim tersebut, maka Pande Lubis diajukan
sebagai terdakwa ke persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dimana oleh Jaksa
Penuntut Umum ia didakwa melakukan “Tindak Pidana Korupsi”.
Putusan Pengadilan Negeri No. 566/PID-B/2000/PN.JAKSEL, tanggal 24 Nopember 2000 :
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta, Pande N. Lubis, Wakil Ketua BPPN
(mantan) oleh Jaksa Penuntut Umum, ia didakwa melakukan “Tindak Pidana Korupsi” yaitu :
Dakwaan Primair :
Ex pasal 1 ayat (1) sub “a” jo pasal 28 jo 34 “c” Undang-Undang No. 3/tahun 1971 jo
pasal 55 ayat (1) ke 1 jo pasal 64 ayat (1) jo pasal 1 ayat (2) KUHPidana jo Undang-Undang No.
31/tahun 1999.
Dakwaan Subsidair :
Ex pasal 1 ayat (1) sub “b” jo pasal 28 jo pasal 34 “c” Undang-Undang No.3/tahun 1971 jo
pasal 55 ayat (1) ke 1 jo pasal 64 ayat (1) jo pasal 1 ayat (2) dari KUHPidana jo Undang-Undang
No. 31/tahun 1999.
Dakwaan lebih Subsidair :
Ex pasal 1 ayat (2) jo pasal 1 ayat (1) sub “a” jo pasal 28 jo 34 ‘c” Undang-Undang No.
3/tahun 1971 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 jo 64 ayat (1) jo pasal 1 ayat (2) KUHPidana jo Undang-
Undang No. 31/tahun 1999.
Setelah persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dinyatakan selesai, maka Jaksa
Penuntut Umum mengajukan “requisitoir” yang pada pokoknya sebagai berikut :
Menyatakan terdakwa Pande N. Lubis, “mantan
Wakil Ketua BPPN”, terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana
Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut”, diatur dalam pasal 1 ayat (1)
sub “a” jo pasal 28 jo pasal 34 “c” Undang-Undang No. 3/tahun 1971 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 jo
pasal 64 ayat (1) jo pasal 1 ayat (2) KUHPidana jo Undang-Undang No. 31/tahun 1999 dalam
“Dakwaan Primair”.
Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa
Pande N. Lubis selama 4 (empat) tahun, dikurangi selama terdakwa ditahan.
Pidana denda Rp. 30 juta, Subsidair 6 (enam)
bulan kurungan.
Menyatakan barang bukti berupa :
1. Uang tunai Rp. 546.466.116.369,- dirampas
untuk negara cq. Departemen Keuangan RI.
2. Uang tunai Rp. 28.756.560,- dikembalikan
kepada PT. ERA GIAT PRIMA (PT.EGP).
240
3. Barang-barang bukti berupa Surat-surat tetap
terlampir dalam berkas penjara.
Menetapkan terdakwa dibebani membayar
biaya perkara Rp. 5.000,-
Majelis Pengadilan Negeri setelah memeriksa perkara ini member putusan (setebal 300
halaman) yang pertimbangan hukumnya intisarinya sebagai berikut :
Mengenai “Dakwaan Primair”, ex pasal 1 ayat (1) sub “a” Undang-Undang No. 3/1971, adalah
suatu delicta Communia, tanpa mengharuskan adanya kwalitas tertentu dari pelakunya,
karenanya siapapun orangnya dapat dipertanggung jawabkan secara hukum berdasarkan pasal
1 (1) sub “a” Undang-Undang No. 3/tahun 1971.
Pasal 1 ayat (1) sub “a” Undang-Undang No. 3/1971 “unsur melawan hukum” dapat diartikan
secara formil dan secara materiil.
Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa perbuatan terdakwa yang dinilai sebagai
tindakan melawan hukum adalah :
1. Masalah pendaftaran/pengajuan tagihan/klaim.
2. Kewajiban BDNI tidak termasuk yang dijamin.
3. Tidak dilakukan verivikasi transaksi.
4. Membayar bunga yang tidak diminta Penagih
Bank Bali.
5. Mengajukan perminaan pembayaran sebelum
adanya persetujuan Menteri Keuangan RI.
Tidak benar claim Bank Bali terhadap BDNI tidak didaftarkan dan terlambat diajukan.
Dan tidak benar pula pendaftaran klaim harus dilakukan oleh Bank Debitur bukan oleh Bank
Kreditur, sebab KEPMEN.KEU yang lebih tinggi tingkatannya telah menentukan pendaftaran
boleh oleh Bank Kreditur. Karenanya, tindakan terdakwa yang memproses klaim Bank bali
tersebut, menurut Majelis Hakim bukan suatu perbuatan melawan hukum.
Meskipun keadaan giro BDNI Bank Indonesia mengalami “overdraft/saldo debet”, namun
karena semua transaksi yang dilakukan oleh BDNI dengan Bank bali tersebut adalah dengan
sepengetahuan dan atas persetujuan “petugas pengawas” Bank Indonesia, dan tidak ternyata
adanya akibat buruk bagi BDNI dan Bank Bali atas transaksi tersebut, maka tindakan terdakwa
untuk memproses tagihan/klaim Bank Bali adalah bukan merupakan “perbuatan melawan
hukum”.
Bahwa transaksi antara Bank bali dengan BDNI terdiri dari “8 transaksi SWAP dan 2
transaksi Money Market”, adalah transaksi bilateral yang data-datanya sama pada kedua pihak.
Hal ini tidak ada kaitannya dengan pemeriksaan tentang kebenaran dan kewajaran adanya
transaksi tersebut. Dalam KEP.MEN.KEU dan SKB, secara limitative imperative tidak terlihat
bentuk khusus pemeriksaan data-data yang ditentukan dalam program penjaminan Pemerintah
sebagaimana keterangan para saksi dari Bank Indonesia, bahwa istilah “verifikasi on site” dan
“verifikasi off site”, adalah istilah intern Bank Indonesia, dan bukan satu keharusan untuk
diperlakukan terhadap pemeriksaan data-data dalam rangka penjaminan Pemerintah tersebut.
Dari alasan di atas, menurut Majelis Hakim tidak ternyata, adanya ketidakbenaran
ketidakwajaran dari transaksi-transaksi antara Bank Bali dengan BDNI. Bukan kamuflase atau
rekayasa, maka tindakan terdakwa yang memproses pencairan claim Bank Bali, bukan
melawan hukum.
Baik dalam KEP.MEN.KEU maupun SKB, tidak secara limitatif melarang pembayaran
bunga, sehingga tindakan terdakwa memperhitungkan pembayaran bunga atas
tagihan/claim Bank Bali terhadap BDNI bukan merupakan perbuatan melawan hukum.
Bahwa pengajuan permintaan (claim) pembayaran “sebelum” adanya persetujuan Menteri
Keuangan, oleh Jaksa dinilai sebagai perbuatan melawan hukum. Hal ini tidak beralasan.
Surat Menteri Keuangan No. SR-176/MK.01/1999 tanggal 31 Mei 1999 dikemukakan
sebagai tindak lanjut penerbitan “Surat Utang Pemerintah” sebagai jaminan terhadap kewajiban
Bank-bank Umum dan BPR yang telah dibekukan, maka diminta kepada Gubernur Bank
241
Indonesia untuk membuka Rekening No. 502.000.002, atas nama Bendaharawan Umum
Negara untuk obligasi dalam rangka penjamian sebagai realisasi kewajiban Bank dan
memberikan otorisasi pendebetan Rekening tersebut kepada BPPN dan menurut saksi Farid
Harijanto di persidangan, pada tanggal 1 Juni 1999 tersebut, (ketika saksi sebagai PLT. Ketua
BPPN karena Ketua Glenn Yusuf cuti), pihak Menteri Keuangan beberapa kali telepon
menginstruksikan agar pencairan “tagihan” antar “Bank” termasuk “tagihan Bank Bali” dapat
segera dilakukan untuk memenuhi target batas waktu penandatanganan Letter of Intent (LOI)
dengan “IMF”.
Dari fakta di atas, disimpulkan : bahwa Otorisasi yang diberikan oleh Menteri Keuangan
kepada BPPN tersebut adalah berlaku untuk semua tagihan yang telah diproses oleh BPPN
termasuk klaim/tagihan Bank Bali terhadap BDNI.
Dengan telah diberikannya otorisasi kepada BPPN untuk melakukan pen-debet-an atas
Rekening No. 502.000.002, tanpa adanya pengecualian atas tagihan Bank Bali, maka Majelis
Hakim berpendapat bahwa adalah tidak benar proses pencairan tagihan/klaim Bank Bali
tersebut dilakukan “sebelum” atau “tanpa adanya” persetujuan Menteri Keuangan RI.
Karena itu, Majelis berpendapat bahwa perbuatan terdakwa memproses pencairan
tagihan Bank bali, bukanlah tindakan yang melawan hukum.
Dengan alasan yuridis tersebut di atas, majelis Hakim berpendapat bahwa “unsur
melawan hukum” dalam pasal 1 ayat (1) sub “a” Undang-Undang No. 3/tahun 1971-tidak
terbukti.
Karena salah satu unsur esensial dalam delik tersebut, tidak terpenuhi maka Majelis
tidak mempertimbangkan unsur-unsur delik lainnya dalam pasal 1 ayat (1) sub “a” Undang-
Undang No. 3/tahun 1971.
Dengan demikian “kesalahan terdakwa” dalam “Dakwaan Primair” dinilai tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, karenanya terdakwa Pande N. Lubis harus dibebaskan
dari Dakwaan Primair tersebut.
Mengenai “Dakwaan Subsidair” Majelis Hakim berpendirian bahwa Dakwaan Subsidair
ini adalah sama dengan Dakwaan Primair, dengan penekanan pada: penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan
tujuan untuk menguntungkan diri sendiri/orang lain/suatu badan.
Oleh karena uraian perbuatan yang dipersalahkan kepada terdakwa adalah sama
dengan dakwaan Primair, sedangkan dalam pertimbangannya, disimpulkan bahwa unsur
esensial melawan hukum ini tidak terpenuhi dalam Dakwaan Primair, maka dengan
mengambil alih pertimbangannya, secara mutatis mutandis dianggap diulang dalam Dakwaan
Subsidair ini, sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa kesalahan terdakwa dalam
Dakwaan subsidair inipun juga tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karenanya
terdakwa harus dibebaskan dari Dakwaan Subsidair.
Mengenai Dakwaan Lebih Subsidair, ini uraian perbuatan terdakwa yang dipersalahkan
melanggar pasal 1 ayat (2) jo pasal 1 (1) sub “a” Undang-Undang No. 3/1971, adalah sama
dengan uraian dalam Dakwaan Primair perbedaannya penekanan pada uraian melakukan
“pemufakatan” untuk tujuan memperkaya diri sendiri atau dst…
Karena pertimbangan Majelis telah berpendapat bahwa unsur esensial: melawan
hukum tidak terpenuhi, maka dengan mengambil alih pertimbangan dalam Dakwaan
Primair, secara mutatis mutandis dianggap diulang kembali dalam mempertimbangkan
“Dakwaan Lebih Subsidair”, sehingga Majelis berpendapat bahwa kesalahan terdakwa dalam
“Dakwaan Lebih Subsidair” inipun tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena terdakwa
Pande N. Lubis, harus dibebaskan dakwaan ini.
Dakwaan “Primair – dakwaan “Subsidair” Dakwaan “Lebih Subsidair”, tidak terbukti
secara sah meyakinkan, maka terdakwa Pande N. Lubis harus dibebaskan dari segala dakwaan,
sehingga hak terdakwa dalam kemampuan kedudukan, dan harkatnya serta martabatnya,
haruslah dipulihkan kembali.
242
Akhirnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memberi putusan yang
amarnya sebagai berikut :
Mengadili :
- Menyatakan kesalahan terdakwa Pande N. Lubis dalam Dakwaan Primair-Subsidair-
Lebih Subsidair; tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karenanya membebaskan
terdakwa dari segala dakwaan tersebut.
Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
Menyatakan barang bukti berupa uang tunai Rp. 546.466.116.369,- dan Rp. 28.756.560,-
yang telah diputus dalam perkara No. 156/Pid.B/2000/PN. Jakarta Selatan, tanggal 28
Agustus 2000 atas nama Joko Sugianto Tjandra, sedangkan barang bukti surat-surat tetap
dalam penyitaan untuk digunakan dalam perkara ini.
Membebankan beaya perkara Rp. 5.000,- kepada Negara.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 380.K/PID/2001 tanggal 10 Maret 2004:
Terdakwa yang dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dibebaskan dari semua
Dakwaan melakukan “Tindak Pidana Korupsi”, mendorong Jaksa Penuntut Umum untuk
menolak putusan tersebut dan mengajukan pemeriksaan kasasi dengan mengemukakan
beberapa keberatan atas putusan tersebut yang tercantum dalam Memori Kasasi.
Majelis Mahkamah Agung yang memeriksa perkara pidana kasasi ini dalam putusannya
berpendapat bahwa Jaksa Penuntut Umum dapat membuktikan bahwa “putusan bebas” yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut adalah merupakan “putusan bebas
yang tidak murni”, karena adanya penafsiran yang keliru tentang unsur “melawan hukum”,
dalam Tindak Pidana Korupsi ex pasal 1 ayat (1) sub “a” Undang-Undang No. 3/tahun 1971,
sehingga permohonan kasasi tersebut, telah diajukan dalam tenggang waktu dan menurut cara
yang ditentukan oleh Undang-Undang karena itu formil dapat diterima.
Majelis Mahkamah Agung setelah meneliti semua fakta yang telah terbukti dalam
persidangan di Pengadilan Negeri menilai bahwa putusan Judex factie-Pengadilan Negeri
salah dalam menerapkan hukum, sehingga putusan Judex factie, a’quo harus dibatalkan dan
selanjutnya Majelis Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan
memberikan pertimbangan hukum yang intisarinya adalah sebagai berikut:
Memperhatikan “Penjelasan Undang-Undang No. 3/tahun 1971” dan Surat Menteri
Kehakiman RI tanggal 11 Juli 1970 dalam Pengantar RUU No. 3/1971 serta Jurisprudensi MA-RI
No. 275/K/Pid/1983, maka Majelis MA-RI, berpendirian bahwa dengan berpedoman pada
pengertian “Perbuatan Melawan Hukum secara materiil”, maka perbuatan yang bertentangan
dengan KEPPRES No. 26/tahun 1998 dan SK Menteri Keuangan RI No. 26/KMK.017/1998 serta
SKB Direksi Bank Indonesia dan Ketua BPPN Nomor :
30/270/KEP/DIR tanggal 6 Maret 1998
1/BPPN/1998
32/46/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1998
181/BPPN/0599
Adalah merupakan : Perbuatan Melawan Hukum secara materiil.
Bahwa perbuatan terdakwa tersebut adalah memenuhi rumusan “melawan hukum”
yang dimaksud dalam Juriprudensi Mahkamah Agung tanggal 29 Desember 1983 No. 275
K/Pid/1983,yaitu bahwa perbuatan terdakwa tersebut merupakan “penggunaan kekuasaan dan
wewenang secara menyimpang”.
Bahwa dari alasan yuridis di atas, maka “unsur melawan hukum” di dalam pasal 1 ayat
sub “a” Undang-Undang No. 3/tahun 1971, dalam Dakwaan Primair, telah terpenuhi oleh
perbuatan terdakwa.
Mengenai unsur “memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan”,
dipertimbangkan demikian:
Dalam sidang perkara ini telah terbukti fakta di persidangan Pengadilan Negeri, bahwa
terdakwa dengan secara melawan hukum telah berhasil mencairkan klaim PT. Bank Bali
dari Bank Indonesia, sebesar Rp. 904.642.428.369,- (semula klaim tersebut ditolak oleh Bank
243
Indonesia), sehingga dengan cara perbuatan melawan hukum tersebut, maka terdakwa
telah menambah kekayaan Bank Bali.
Dengan alasan ini, maka unsur memperkaya diri dst…, dalam pasal 1 ayat (1) sub “a”
Undang-Undang No. 3/tahun 1971, telah terbukti terpenuhi oleh perbuatan terdakwa.
Mengenai “unsur langsung atau tidak langsung” merugikan Keuangan Negara dst….
Mengacu pada “Penjelasan” pasal 1 (1) sub “a” Undang-Undang No. 3/tahun 1971, maka
dapat diartikan bahwa “Keuangan yang ada dalam pengelolaan Bank Indonesia adalah
merupakan Uang Negara, karena uang tersebut milik suatu badan yang mempergunakan uang
dari negara.
Pencairan klaim Bank Bali Rp. 904.642.428.369,- yang dilakukan oleh Terdakwa dengan
cara-cara melawan hukum tersebut, terbukti memperkaya Bank Bali, namun mengakibatkan
kerugian pada ic. Bank Indonesia. Dengan alasan Yuridis di atas, maka Tindak Pidana Korupsi ex
pasal 1 ayat (1) sub “a” Undang-Undang No.3/tahun 1971 telah dipenuhi oleh perbutaan
terdakwa.
Berdasarkan atas pertimbangan di atas Mahkamah Agung berpendapat bahwa
Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana
Korupsi”, dalam Dakwaan Primair ex pasal 1 ayat (1) sub “a” Undang-Undang No. 3/tahun
1971.
Mengenai unsur “Turut Serta melakukan tindak pidana” ex pasal 55 ayat (1) ke-1 dari
KUHPidana, maka Majelis Mahkamah Agung berpendapat bahwa unsur ini, juga telah terbukti
dipenuhi oleh perbuatan terdakwa karena di persidangan Pengadilan Negeri telah terbukti fakta
bahwa terdakwa dalam usaha dan mempersiapkan pencairan klaim/tagihan Bank Bali telah
terlebih dahulu mengadakan pertemuan-pertemuan dan pembicaraan dengan : A.A. Baramuli-
Tanri Abeng-Joko S. Tjandra-Setyo Novanto-Syahril Sabirin-Firman Soetjahya.
Mengenai “perbuatan berlanjut” ex pasal 64 ayat (1) KUHPidana, disidang Pengadilan
Negeri telah terbukti fakta sebagai berikut:
Tanggal 11 Februari 1999 terdakwa minta kepada Firman Soetjahya agar Bank Bali
segera mengirimkan Surat kepada BPPN “up” Pande N. Lubis yang isinya surat tersebut : minta
bantuan BPPN untuk menyelesaikan dengan cepat klaim (tagihan) Bank Bali terhadap
BDNI, walaupun klaim tersebut telah ditolak oleh Bank Indonesia, karena tidak memnuhi syarat
SKB.
Walaupun klaim Bank Bali tersebut telah ditolak oleh Bank Indonesia, namun terdakwa
masih mengirimkan surat No. S.100/PB/BPPN/II/1999 untuk minta kepada Bank Indonesia
melakukan verifikasi atas transaksi antara Bank Bali dengan BDNI dan BUN.
Terdakwa telah memberi disposisi dalam “Surat Bank Indonesia” tanggal 22 Maret 1999
No. 31/1658/UP/UPPB/Hd isinya: “RM-BL harap diproses lebih lanjut”.
Terdakwa juga member disposisi dalam Memo No. 008. BL berbunyi: “Post due interest
tetap dibenarkan”, walaupun menurut SKB-1, masalah “bunga” tidak termasuk.
Walaupun tidak ada persetujuan Menteri Keuangan RI, Terdakwa dengan Farid
Harijanto dalam suratnya 1 Juni 1999, No PB-385/PBB/0699 terdakwa minta kepada Bank
Indonesia untuk mencairkan klaim Bnak Bali sebesar Rp. 904.642.428.369,- dan oleh Bank
Indonesia uang tersebut telah dicairkan dengan mendebetkan pada rekening “B.I” No.
502.000.02, atas nama Bendaharawan Umum Negara dan selanjutnya men-kredit-kan
kedalam Rekening Bank Bali di Bank Indonesia No. 523.013.000,- yang kemudian sejumlah
uang Rp. 546.468.544.738,- ditransfer ke Rekening PT. ERA GIAT PRIMA.
Berdasarkan atas pertimbangan hukum yang intinya disebutkan di atas, maka Majelis
Mahkamah Agung berpendapat bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan : Tindak Pidana ex pasal 1 ayat (1) sub “a” Undang-Undang No. 3/tahun 1971
dalam Dakwaan Primair karena terdakwa harus dihukum.
Karena Dakwaan Primair telah terbukti maka Dakwaan “Subsidair” dan “Lebih Subsidair”
tidak perlu dibuktikan lagi.
244
Setelah dipertimbangkan hal yang meringankan dan hal yang memberatkan, maka
Majelis Mahkamah Agung memberi putusan sebagai berikut:
Mengadili :
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon: Jaksa Penuntut Umum.
Membatalkan Putusan Pengadilan negeri Jakarta Selatan No. 566/PID.B/2000/PN. Jak.Sel.
Mengadili Sendiri:
1. Menyatakan terdakwa : Pande N. Lubis terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan Tindak Pidana : “KORUPSI YANG DILAKUKAN BERSAMA-SAMA DAN
SEBAGAI PERBUATAN BERLANJUT”.
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 4 (empat)
tahun dan denda Rp. 30 juta, dengan ketentuan bila denda tersebut tidak dibayar, diganti
dengan pidana kurungan 6 bulan.
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani, terdakwa, dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan.
4. Menetapkan barang bukti berupa surat-surat tetap terlampir dalam Berkas Perkara ini untuk
digunakan dalam perkara lain.
5. Biaya perkara dst….
Komentar :
Tidak sependapat dengan putusan judex juris yang menyatakan perbuatan terdakwa
tersebut merupakan penggunaan kekuasaan dan wewenang secara menyimpang, sebagaimana
terlihat dalam dictum pertimbangan di bawah ini :
Bahwa perbuatan terdakwa menurut pendapat Mahkamah Agung adalah merupakan
perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) sub “a” Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971 mengingat alasan-alasan sebagai berikut:
a. Bahwa memperhatikan, pengertian “perbuatan
melawan hukum secara materiil”, sebagaimana dimaksud dalam pertimbangan di atas,
perbuatan tersebut adalah merupakan perbuatan melawan hukum secara materiil, karena
perbuatan terdakwa tersebut bertentangan dengan Surat Keputusan Presiden No. 26 Tahun
1998, Surat Keputusan Menteri Keuangan RI tanggal 28 januari 1999, Surat Keputusan
Bersama Direksi Bank Indonesia dengan ketua BPPN tanggal 6 Maret 1998 No.
30/270/Kep/Dir , dan 1/BPPN/1998 Tanggal 14 Mei 1999 No.32/46/Kep/Dir
81/BPPN/0599
0 Bahwa perbuatan terdakwa tersebut adalah memenuhi rumusan perbuatan melawan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 29
Desember 1983 No. 275 K/Pid/1983 karena perbuatan terdakwa tersebut merupakan
penggunaan kekuasaan dan wewenang secara menyimpang.
Menurut penulis perbuatan terdakwa tersebut masuk lingkup pengertian perbuatan
melawan hukum formil, mengingat yang dilanggarnya adalah peraturan yang kedudukannya
di bawah Undang-Undang, yang mengatur tentang kebijakan bukan mengenai
penatalaksanaan tugas dan kewenangan (job description).
telah diputus pada tanggal 15 Juli 1999, di tingkat pengadilan tinggi tata usaha negara diputus
pada tanggal 9 Desember 1999, di tingkat kasasi Mahkamah Agung diputus pada tanggal 13
November 2000, dan di tingkat peninjauan kembali Mahkamah Agung diputus pada tanggal 15
Juli 2004 (Bukti P-10, P-11, P-12, P-13) ;
Bahwa dengan adanya putusan-putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde) tersebut, maka sengketa hukum antara Penggugat dengan Tergugat II
dan Direktorat Jendaral Pajak dkk telah selesai ;
Bahwa dengan selesainya sengketa hukum antara Penggugat dengan Tergugat II dan
Direktorat Jenderal Pajak dkk., maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Dua
(KPPWPB II) melalui Surat No. S-364/WPJ.19/KP.02/2005 tertanggal 27 Januari 2005 yang
ditujukan kepada Tergugat I, meminta pencabutan pemblokiran yang dilakukan atas rekening
milik Penggugat. Isi surat dikutip sebagai berikut :
“Sehubungan adanya Keputusan Mahkamah AgungRI Nomor Reg. 07/PK/TUN/2002
tanggal 15 Juli 2004 dan putusan Mahkamah Agung Nomor 2177 K/Pdt/2003 tanggal 31Agustus
2004 yang telah membatalkan Surat Paksa Nomor SP-0000182/ WPJ.05/KP.0608/1999 tanggal 5
April 1999, SP-0000202/WPJ.05/KP.0608/1999 tanggal 28 April 1999, SP-0000302/WPJ.05/
KP/2001 tanggal 10 Mei 2001, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (3) huruf f Peraturan
Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 jo Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000
247
tanggal 26 Desember 2000, dengan ini diminta kepada saudara untuk mencabut pemblokiran
tersebut” ; (Bukti P-14) ;
Bahwa Tergugat I telah melaksanakan pelepasan blokir sesuai perintah surat tersebut
(Bukti P-15) ;
Bahwa KPPWPB II melalui Surat Nomor S-363/WPJ.19/KP.02/2005 tertanggal 27
Januari 2005 yang ditujukan kepada Penggugat, telah mencabut penyitaan yang dilakukan atas
rekening milik Penggugat. Isi surat dikutip sebagai berikut :
“Sehubungan dengan adanya putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor Reg
07/PK/TUN/2002 tanggal 15 Juli 2004 dan putusan Mahkamah Agung Nomor 2177 K/PDT/2003
tanggal 31 Agustus 2004 yang memutuskan membatalkan surat paksa berikut di bawah ini :
SP-0000182/WPJ.05/KP.0608/1999 tanggal 5 April 1999,
SP-0000202/WPJ.05/KP.0608/1999 tanggal 28 April 1999,
SP-0000302/WPJ.05/ KP/2001 tanggal 3 Mei 2001,
SP-0000322/WPJ.05/KP/2001 tanggal 10 Mei 200,
Maka sesuai dengan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2000,
penyitaan atas rekening escrow account pada PT. Bank Mandiri Cabang Imam Bonjol milik
Saudara yang telah dilakukan pada tanggal 5 Juli 2001 dan 28 Oktober 2003 dengan ini
dicabut”(Bukti P-16);
Bahwa dengan telah dicabutnya sita terhadap seluruh dana rekening giro dan deposito
ARO atas nama Penggugat pada Tergugat I sejak tanggal 27 Januari 2005 terlebih pula tidak ada
perikatan/hubungan hukum antara Penggugat dengan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan
Nasional) sejak tanggal 30 April 2003, maka Penggugat telah mengajukan permohonan
pembayaran/pencairan atas dana rekening giro dan deposito ARO dimaksud dan telah
melaksanakan semua mekanisme, prosedur dan persyaratan-persyaratan pengajuan
pembayaran/pencairan pada akhir Januari 2005, namun demikian sampai gugatan ini diajukan
pembayaran/pencairan atas dana rekening giro dan deposito ARO atas nama
Penggugat pada Tergugat I belum tuntas dilaksanakan oleh Tergugat I, sedangkan Penggugat
perlu untuk melaksanakan pembayaran kepada pihak lain (Bukti P-17);
Bahwa pada saat ini tidak ada alasan hukum dan kewenangan hukum bagi Tergugat I
untuk menahan pembayaran/pencairan atas dana rekening giro dan deposito ARO atas nama
Penggugat yang berada pada Tergugat I sebagai penyimpan dana ;
Bahwa rekening giro dan deposito ARO tersebut sudah tidak dalam status sita atau status
hukum lain yang sesuai dengan yang diberikan oleh undang-undang pihak Tergugat I atau
Tergugat II untuk dapat menahan dana rekening giro dan deposito ARO atas nama Penggugat ;
Bahwa terkait dengan hal tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah
mengeluarkan Penetapan No. 02/Som/2005/PN.Jak.Sel. tertanggal 5 April 2005 yang pada
intinya telah mengabulkan permohonan PT Timor Putra Nasional (Penggugat) untuk
memperingatkan/somasi kepada Direksi PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (Tergugat I) agar
segera mencairkan dana rekening giro dan deposito ARO atas nama PT Timor Putra Nasional
(Penggugat) ;
Bahwa terhadap peringatan/somasi tersebut, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (Tergugat
dengan Surat tertanggal 12 April 2005 No. DIR.CHC/LGL. 142/2005 telah mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang pada pokoknya untuk
menyerahkan dana berupa giro dan deposito ARO atas nama PT Timor Putra Nasional
(Penggugat) dan bukan atas nama BPPN atau pihak lain tersebut ;
Bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mengeluarkan Penetapan No.
02/Cons/2005/PN.Jak.Sel jo. No. 02/Som/2005/PN.Jak.Sel yang pada intinya memerintahkan
kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menerima penitipan/konsinyasi,
berupa dana rekening giro dan deposito ARO sejumlah Rp.1.027.162.267.620,- (satu trilyun dua
puluh tujuh milyar seratus enam puluh dua juta dua ratus enam puluh tujuh ribu enam ratus dua
248
puluh rupiah) dan giro sejumlah USD 3.974.94 (tiga ribu sembilan ratus tujuh puluh empat poin
sembilan puluh empat dollar Amerika Serikat) yang selanjutnya untuk diserahkan kepada
Pemohon Somasi/Termohon Konsinyasi, yaitu PT Timor Putra Nasional (Penggugat) dan bukan
pihak lain (Bukti P-19) ;
Bahwa ternyata sesuai dengan surat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. W7-
Dd.HT.04.10.01.1694 tanggal 26 Mei 2005, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (Tergugat I) baru
melakukan konsinyasi atas giro dollar sebesar USD 3,974.94 dan belum memenuhi kewajibannya
untuk mengkonsinyasi sisa sejumlah Rp.1.027.162.267.620,- (satu trilyun dua puluh tujuh milyar
seratus enam puluh dua juta dua ratus enam puluh tujuh ribu enam ratus dua puluh rupiah)
sesuai dengan permohonan yang telah diajukan (Bukti P-20) ;
Bahwa dengan permohonan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (Tergugat I) kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar menerima seluruh dana rekening giro dan deposito ARO
atas nama PT Timor Putra Nasional (Penggugat) merupakan bukti pengakuan Tergugat I bahwa
rekening giro dan deposito ARO memang milik Penggugat. Hal ini dikuatkan dengan
dikirimkannya “surat permohonan konfirmasi” oleh Tergugat I kepada Penggugat mengenai
saldo-saldonya per tanggal 31 Desember tahun 2004 (Bukti P-21). Surat permohonan konfirmasi
tidak akan pernah dimintakan kepada nasabah yang bukan pemilik rekening di bank
bersangkutan ;
Bahwa kuasa hukum Penggugat dengan surat No. 679/OCK.IV/06 tanggal 17 April 2006
telah menyampaikan peringatan/teguran kepada Tergugat I atas penahanan dana rekening giro
dan deposito ARO atas nama Penggugat namun tidak mendapatkan tanggapan apapun dari
Tergugat I (Bukti P-22) ;
Bahwa dengan tidak adanya tanggapan/jawaban dari Tergugat maka kuasa hukum
Penggugat dengan surat No. 826/OCK.V/06 tanggal 15 Mei 2006 telah menyampaikan somasi
kepada Tergugat I untuk segera melakukan pencairan atas dana rekening giro dan deposito ARO
atas nama Penggugat dalam waktu 3 x 24 jam, dan ternyata Penggugat mendapatkan jawaban
mengada -ada dari Tergugat I hendak menghindar dari tanggungjawab selaku bank terhadap
nasabah pemilik rekening, sehingga Tergugat I jelas menunjukkan itikad tidak baik dan ketidak
-profesionalan selaku bank penghimpun/penyimpan dana masyarakat dan selaku perusahaan
yang telah go public (Bukti P-23) ;
Bahwa dana milik Penggugat yang ada pada Tergugat I pada saat ini tidak dalam status
penyitaan dan atau jaminan dalam bentuk apapun, hal ini terbukti dengan tidak adanya surat
sita atau sita eksekusi yang dikeluarkan oleh instansi/pengadilan yang berwenang untuk itu dan
atau dalam bentuk jaminan sesuai dengan akta penjaminan yang disyaratkan oleh undang-
undang yang khusus dibuat untuk itu dan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Bahwa apabila Tergugat I tidak dapat mencairkan dana rekening giro dan deposito ARO
atas nama Pengguat sewaktu dana dalam status sita oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka hal
tersebut dapat dimengerti. Akan tetapi, apabila Tergugat I kemudian beralasan bahwa
permintaan pencairan belum dapat dipenuhi karena adanya permintaan dari Tergugat II selaku
Ketua TP BPPN (Tim Pemberesan BPPN) agar tidak dilakukan pencairan, maka hal tersebut tidak
berdasar hukum ;
Bahwa Tergugat I sebagai pihak yang independen tidak mempunyai kewajiban hukum
untuk menuruti permintaan Tergugat II (bukan instruksi sebagaimana anggapan Tergugat I)
dalam hal ini baik dalam kedudukannya sebagai Menteri Keuangan dan atau sebagai Ketua TP
BPPN. Karena kedudukan-kedudukan tersebut jelas tidak memiliki tugas dan kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang untuk secara sepihak menahan dana milik Penggugat yang
berada dalam rekening di tempat Tergugat I ;
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, terbukti bahwa sekalipun
Penggugat telah mengajukan permohonan kepada Tergugat I untuk dilakukan
pembayaran/pencairan atas dana rekening giro dan deposito ARO atas nama Penggugat pada
Tergugat I. Namun Tergugat I belum memenuhinya padahal tidak ada hak dan tidak ada
kewenangan apapun yang diberikan oleh undang-undang kepada Tergugat I untuk dilakukan
249
penahanan pembayaran pencairan dana rekening giro dan deposito atas nama nasabahnya
(Penggugat);
Bahwa tindakan/perbuatan Tergugat I menahan pembayaran/pencairan atas dana
rekening giro dan deposito ARO atas nama Penggugat pada Tergugat I adalah nyata-nyata
sebagai perbuatan tanpa hak dan melawan hukum karena Tergugat I adalah hanya sebagai
tempat penyimpan dana nasabah dan bukan sebagai kreditur dari Penggugat ;
Bahwa perbuatan Tergugat II yang meminta kepada Tergugat I secara sepihak adalah
suatu perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting), apabila Tergugat II hendak
mempermasalahkan kepemilikan dari dana tersebut seharusnya dilakukan melalui mekanisme
gugatan;
Bahwa Tergugat II sebagai Menteri Keuangan seharusnya mengetahui hukum karena
Tergugat II adalah kepala suatu kantor departemen pemerintah yang seharusnya menjalankan,
mematuhi dan menghormati hukum ;
Bahwa Tergugat I juga sangat tidak profesional, tidak bisa memisahkan posisinya sebagai
BUMN yang berada di bawah pemerintah dan sebagai bank atau subyek hukum yang
independen. Tergugat I mengetahui jelas bahwa rekening tersebut atas nama Penggugat apabila
diminta oleh Penggugat seharusnya diserahkan, apabila ada pihak lain yang menyatakan berhak
atas dana tersebut, maka harus dilakukan melalui suatu upaya hukum ;
Bahwa kebetulan Tergugat I adalah badan usaha milik negara apabila bank asing atau
bank swasta lain, Penggugat yakin dana tersebut akan diserahkan. Hal ini adalah suatu preseden
buruk bagi dunia perbankan khususnya bank milik pemerintah, nasabah-nasabah akan takut
menempatkan dananya pada bank tersebut karena pemerintah melalui kekuasaannya tanpa
melalui prosedur hukum, semena-mena (secara melawan hukum) melakukan penahanan dana
milik pihak lain yang kebetulan berada di tempat yang bisa diperintahnya ;
Bahwa perbuatan Tergugat II adalah suatu perbuatan yang tidak fair dan tidak
profesional, Tergugat II adalah pihak dalam perkara No. 279/Pdt.G/2001/ PN.Jak.Sel. (vide Bukti
P-6, P-7, P-8). Dalam perkara tersebut Tergugat II tidak mengajukan keberatan atas disita atau
diblokirnya rekening tersebut, ketika setelah bertahun-tahun Penggugat memperjuangkan
haknya dan menang. Tergugat II sebagai salah satu pihak yang kalah, dengan kekuasaan yang ada
padanya tanpa mengindahkan hukum “menista” lagi rekening tersebut. “Penyitaan” dilakukan
dengan kekuasaan bukan melalui kewenangan yang didasarkan pada perundang-undangan ;
Bahwa dengan demikian jelaslah perbuatan Tergugat I yang menahan dana milik
Penggugat atas permintaan Tergugat II adalah tidak mempunyai landasan dan melanggar hukum
sehingga perbuatan para Tergugat adalah jelas dan nyata sebagai perbuatan melawan hukum ;
Bahwa TP BPPN pada saat inipun telah bubar, namun demikian Tergugat I ternyata masih
tetap menahan dana milik Penggugat secara melawan hak ;
Bahwa setelah TP BPPN bubar, mengherankan pula bahwa Tergugat II mengeluarkan
suatu Keputusan Menteri Kuangan (KMK) No. 85/KMK/01/2006 tanggal 15 Februari pada diktum
ke tujuh angka 1 huruf m disebutkan “perjumpaan utang (set off) PT Timor Putra
Nasional”. Tindakan Tergugat II adalah perbuatan sepihak, tidak memiliki payung hukum
dan/atau tanpa landasan hukum yang sah (Bukti P-24) ;
Bahwa berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 5 Tahun 2005 tentang Perpanjangan Kedua
Kali Masa Tugas TP BPPN ditentukan masa tugas TP BPPN hanya diperpanjang sampai
dengantanggal 27 Desember 2005 (Bukti P-25) dan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pengalihan
Piutang oleh BPPN, maka terhitung sejak tanggal 30 April 2003 BPPN telah menjual/mengalihkan
seluruh hak dan kewajiban BPPN atas piutang kepada pembeli.
Oleh karena itu nyata-nyata tidak ada perikatan hukum/hubungan hukum antara
Tergugat II dan Penggugat (Bukti P-26) ;
Bahwa berdasarkan ketentuan akta perjanjian pengalihan piutang (cessie),
terhitung sejak berlakunya Cessie tanggal 30 April 2003 maka setiap dan seluruh
250
piutang menjadi milik dan hak pembeli dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
piutang menjadi resiko pembeli. Sesuai hukum perikatan, Tergugat II tidak terkait dan tidak
memiliki hak dan kepentingan atas piutang yang telah dijual/dialihkan secara sah dan menurut
hukum sejak tanggal 30 April 2003 (kecuali bagi pembeli yang dapat berkepentingan sepanjang
memiliki perikatan dengan Penggugat) (Bukti P-27) ;
Bahwa akibat perbuatan Tergugat I dan Tergugat II, maka Penggugat telah menderita
kerugian, baik secara materiil maupun immateriil. (Selain terjadinya penundaan pembayaran
atas kewajiban Penggugat kepada pihak lain) ;
Kerugian materiil Penggugat berupa hilangnya potensi pendapatan/ penerimaan yang
seharusnya diperoleh, yang hingga saat ini ditaksir sebesar Rp.19.560.096.314,- (sembilan belas
milyar lima ratus enam puluh juta sembilan puluh enam ribu tiga ratus empat belas rupiah),
dengan perincian sebagaimana tersebut dalam gugatan ;
Kerugian immateril Penggugat berupa merosotnya reputasi bisnis dan nama baik serta
hilangnya kepercayaan mitra bisnis/vendor/supplier yang tidak dapat dinilai dengan uang,
namun dalam perkara ini Penggugat akan menentukan nilainya dengan kerugian sebesar
Rp.30.000.000.000,- (tiga puluh milyar rupiah);
Bahwa untuk mencegah agar seluruh dana rekening giro dan deposito ARO atas nama
Penggugat pada Tergugat I tidak dialihkan/dipindahbukukan dananya ke pihak ketiga lain dan
untuk menghindarkan dari kerugian yang lebih besar lagi bagi diriPenggugat, dengan ini
Penggugat mohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berkenan
mengeluarkan penetapan sita jaminan berupa seluruh dana rekening giro dan deposito ARO atas
nama Penggugat pada Tergugat I tanpa ada yang dikecualikan dan memerintahkan Tergugat I
dan Tergugat II tidak melakukan tindakan pengalihan/pemindahbukuan dana atas rekening giro
dan deposito ARO atas nama Penggugat pada Tergugat I, baik atas sejumlah nilai nominal yang
ada sekarang maupun atas penambahan bunga-bunganya yang masih akan ada (timbul)
kemudian ;
Bahwa untuk menjamin dilaksanakannya putusan ini nantinya oleh Tergugat I dan
Tergugat II, maka Penggugat mohon agar Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng
membayar uang paksa (dwangsom) kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah) sehari setiap ia lalai memenuhi isi putusan terhitung sejak putusan diucapkan sampai
dilaksanakan;
Bahwa Penggugat mohon putusan serta merta walau ada verzet, banding atau kasasi dari
Tergugat I dan Tergugat II ;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Penggugat mohon kepada Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan supaya memberikan putusan sebagai berikut :
Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya ;
Menetapkan sah menurut hukum Penggugat adalah pemilik atas seluruh dana rekening giro dan
deposito ARO atas nama Penggugat pada Tergugat I berikut bunga-bunganya tanpa ada yang
dikecualikan ;
Menyatakan perbuatan Tergugat I yang menahan pembayaran/pencairan atas seluruh dana
rekening giro dan deposito ARO atas nama Penggugat pada Tergugat I berikut bunga-
bunganya adalah melawan hukum dan Tergugat II turut bertanggung jawab ;
Menghukum Tergugat I melakukan pembayaran/pencairan atas seluruh dana rekening giro dan
deposito ARO atas nama Penggugat pada Tergugat I berikut bunga-bunganya tanpa ada yang
dikecualikan ;
Menghukum Tergugat I membayar ganti kerugian kepada Penggugat materil sebesar Rp.
19.560.096.314,- (sembilan belas milyar lima ratus enam puluh juta sembilan puluh enam
ribu tiga ratus empat belas rupiah) dan immateriil sebesar Rp.30.000.000.000,- (tiga puluh
milyar rupiah) ;
Menghukum Tergugat II untuk mematuhi dan tunduk pada putusan dalam perkara ini ;
Menyatakan sah dan berharga sita jaminan dalam perkara ini ;
251
8. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar uang paksa
(dwangsom) kepada Penggugat sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) sehari setiap
ia lalai memenuhi isi putusan terhitung sejak putusan diucapkan sampai dilaksanakan ;
Menyatakan putusan perkara ini serta merta dijalankan walau ada verzet, banding atau kasasi
dari Tergugat I dan Tergugat II ;
10.Menyatakan putusan perkara ini serta merta dijalankan walau ada verzet, banding atau
kasasi dari Tergugat I dan Tergugat II ;
ATAU : Apabila Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan u.p. Majelis Hakim yang
memeriksa perkara ini berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) ;
Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut Tergugat I mengajukan gugatan balik
(rekonvensi) pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut :
Bahwa apa yang tertuang dalam konvensi, mohon dianggap tertuang kembali di
sini ;
Bahwa dalam rekonvensi ini, semua (dalam konvensi) disebut Tergugat I, di sini disebut
Penggugat Dalam Rekonvensi, semula disebut Penggugat, di sini disebut Tergugat Dalam
Rekonvensi dan semula disebut Tergugat II di sini disebut Turut Tergugat Dalam
Rekonvensi ;
Bahwa gugatan rekonvensi ini, Penggugat Dalam Rekonvensi lakukan karena Penggugat
Dalam Rekonvensi menghadapi dilema di dalam menangani masalah dana rekening giro dan
deposito atas nama Tergugat Dalam Rekonvensi tersebut,yaitu :
a. Tergugat Dalam Rekonvensi telah mengajukan permohonan kepada Penggugat Dalam
Rekonvensi agar Penggugat Dalam Rekonvensi mencairkan dana rekening deposito dan giro
atas nama Tergugat Dalam Rekonvensi tersebut ; namun di lain pihak
b. Turut Tergugat Dalam Rekonvensi/Menteri Keuangan RI telah menyampaikan surat kepada
Penggugat Dalam Rekonvensi No. SR-44/MK.01/2005 tanggal 19 April 2005 (vide Bukti TI-23)
yang meminta agar Penggugat Dalam Rekonvensi tidak melakukan pencairan atas beberapa
rekening deposito dan giro yang berjumlah ± Rp. 1,02 trilyun yang merupakan jaminan hutang
Tergugat Dalam Rekonvensi, sampai ada keputusan lebih lanjut dari Turut Tergugat Dalam
Rekonvensi selaku Ketua Tim Pemberesan BPPN. Keputusan Turut Tergugat Dalam Rekonvensi
tersebut sampai dengan saat ini belum kami peroleh ;
Bahwa namun demikian, satu hal yang pasti bahwa di dalam masalah dana rekening giro
dan deposito atas nama Tergugat Dalam Rekonvensi tersebut, Penggugat Dalam Rekonvensi
tidak pernah dan tidak benar telah melakukan perbuatan melawan hukum, selain karena alasan
sebagaimana telah disampaikan dalam konvensi di atas, juga diperkuat oleh fakta-fakta sebagai
berikut :
a. Bahwa permohonan Tergugat Dalam Rekonvensi untuk mencairkan dana rekening giro dan
deposito yang ada pada Penggugat Dalam Rekonvensi bukanlah untuk pertama kalinya ;
b. Sebelumnya Tergugat Dalam Rekonvensi telah mengajukan pencairan dana rekening giro dan
deposito masing-masing sebagai berikut :
Pencairan 2 bilyet deposito atas nama Tergugat Dalam Rekonvensi pada Bank Mandiri Cabang
Jkt. Jatinegara senilai Rp. 35 milyar ;
Tergugat Dalam Rekonvensi dengan surat No. 529/Dir/TPN/VI/2003 tanggal 2 Juni 2003 (Bukti
TI-27) yang ditujukan kepada Bank Mandiri Cabang Jkt Jatinegara mengajukan permohonan
untuk mencairkan deposito atas nama Tergugat Dalam Rekonvensi yang ada pada Bank
Mandiri Cabang Jkt. Jatinegara sebesar Rp.35 milyar (2 bilyet @ Rp. 31,5 milyar dan Rp. 3,5
milyar) ;
Mengingat bahwa sesuai prosedur, permintaan pencairan dari Tergugat Dalam Rekonvensi
tersebut harus diteruskan kepada BPPN/Tim Pemberesan BPPN untuk mendapatkan
persetujuannya, maka Penggugat Dalam Rekonvensi dengan surat
No.RMN.CRY/Dept.I/747/2003 tanggal 4 Agustus 2003 (Bukti TI-28) meneruskan permohonan
Tergugat Dalam Rekonvensikepada BPPN/Tim Pemberesan BPPN ;
252
- BPPN memberikan persetujuannya sesuai surat No. Prog 817/BPPN/103 tanggal 13 Oktober
2003 (Bukti TI-29) ;
- Berdasarkan surat dari BPPN tersebut di atas, Penggugat Dalam Rekonvensi kemudian
memberikan persetujuan pencairan deposito tersebut kepada Tergugat Dalam Rekonvensi
sesuai No. RMN.CRY/1072/2003 tanggal 29 Oktober 2003 (Bukti TI-30) ;
Pencairan 6 bilyet deposito dan 1 rekening giro atas nama PT Timor Distributor Nasional yang
statusnya sebagai dana terkait debitur (agunan) BPPN/ex BPPN pada Bank Mandiri Cabang Jkt.
Imam Bonjol senilai Rp.3.600.000.000,- ;
- PT Timor Distributor Nasional (perusahaan terafiliasi dengan Tergugat Dalam Rekonvensi)
dengan surat No. 009/Dir/TDN/I/2004 tanggal 13 Januari 2004 (Bukti TI-31) mengajukan
permohonan pencairan/ pendebetan rekening PT Timor Distributor Nasional No. 122-
0096013670 sejumlah Rp.3.474.000.000,- untuk ditransfer ke rekening PT Timor Distributor
Nasional di BNI Cabang Jkt. Gambir;
- Permohonan PT Timor Ditributor Nasional tersebut telah diteruskan oleh Penggugat Dalam
Rekonvensi kepada Tim Pemberesan BPPN sesuai surat No.CRY/Dept.I/412/2004 tanggal 7
Juni 2004 (Bukti TI-32) ;
- Tim Pemberesan BPPN memberikan persetujuannya sesuai surat No. S 046/POKJA-1/TP-
BPPN/0704 tanggal 15 Juli 2004 (Bukti TI-33) ;
- Persetujuan Dalam Rekonvensi kepada Tergugat Dalam Rekonvensi dengan surat No.
CRY/530/2004 tanggal 3 Agustus 2004 (Bukti TI-34) dan kepada PT Timor Distributor
Nasional dengan No. CRY/531/2004 tanggal 3 Agustus 2004 (Bukti TI-35) ;
Pencairan 17 bilyat deposito atas nama PT Timor Distributor Nasional yang statusnya juga
sebagai dana terkait (agunan) debitur BPPN/exBPPN pada Bank Mandiri Cabang Jkt. Imam
Bonjol senilai Rp.2.400.000.000,- ;
- Tergugat Dalam Rekonvensi dengan surat No. 120/Dir/TPN/XII/2004 tanggal 3 Desember
2004 (Bukti TI-36) yang ditujukan langsung kepada Tim Pemberesan (tanpa melalui Bank
Mandiri) mengajukan permohonan pencairan 17 rekening deposito atas nama PT Timor
Distributor Nasional;
- Terhadap permohonan Tergugat Dalam Rekonvensi tersebut, Tim Pemberesan BPPN dengan
surat yang ditujukan kepada Penggugat Dalam Rekonvensi dengan tembusan kepada Tergugat
Dalam Rekonvensi No. S-284/POKJA-1/TP-BPPN/ 1204 tanggal 14 Desember 2004 (Bukti TI-
37) menyetujui permohonan pencairan deposito tersebut ;
- Penggugat Dalam Rekonvensi meneruskan keputusan Tim Pemberesan BPPN tersebut di atas
kepada PT Timor Distributor Nasional dengan surat No. CRY/Dept I/005/2005 tanggal 05
Januari 2005 (Bukti TI-38) dan kepada TPN dengan surat No. CRY/Dept.I/006/2006 tanggal 05
Januari 2005 (Bukti TI-39) ;
Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, terbukti bahwa sebenarnya Tergugat
Dalam Rekonvensi sadar dan tahu betul mengenai prosedur pencairan dana giro dan deposito atas
nama Tergugat Dalam Rekonvensi maupun atas nama perusahaan afiliasinya, yaitu harus atas
dasar persetujuan BPPN/Tim Pemberesan BPPN. Oleh karena itu, dalil Tergugat Dalam
Rekonvensi butir 26, 27, 28, 29 dan 35 yang pada intinya menyatakan bahwa tidak/belum
dicairkannya dana rekening giro dan deposito atas nama Tergugat Dalam Rekonvensi oleh
Penggugat Dalam Rekonvensi sebagai tidak mempunyai landasan hukum adalah merupakan dalil
yang mengada-ada karena Tergugat Dalam Rekonvensi sadar dan tahu betul bahwa ada prosedur
untuk pencairan dana tersebut, yaitu harus atas dasar persetujuan BPPN/Tim Pemberesan
BPPN;
Berdasarkan alasan-alasan yang telah disampaikan dalam rekonvensi dan ditambah
fakta-fakta tersebut di atas, maka tidak benar Penggugat Dalam Rekonvensi telah melakukan
perbuatan melawan hukum, sehingga karenanya tidaklah patut Penggugat Dalam Rekonvensi
harus dihukum untuk membayar ganti rugi kepada Tergugat Dalam Rekonvensi sebagaimana
yang dituntut oleh Tergugat Dalam Rekonvensi ;
253
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Penggugat dalam Rekonensi mohon
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan supaya memberikan putusan sebagai berikut :
Mengabulkan gugatan rekonvensi Penggugat Dalam Rekonvensi untuk seluruhnya ;
Mohon Majelis Hakim untuk menetapkan hak kepemilikan atas dana rekening giro dan deposito
atas nama Tergugat Dalam Rekonvensi tersebut ada pada siapa dan harus dicairkan kepada
siapa ;
Menyatakan sebagai hukum Penggugat Dalam Rekonvensi tidak melakukan perbuatan melawan
hukum ;
Menyatakan sebagai hukum Penggugat Dalam Rekonvensi tidak patut untuk dihukum membayar
ganti rugi karena tidak melakukan perbuatan melawan hukum;
Biaya menurut hukum ;
Menimbang, bahwa amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
928/Pdt/G/2006/PN.Jak-Sel. tanggal 21 November 2006 adalah sebagai berikut:
I. DALAM KONVENSI :
Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian ;
Menyatakan sah menurut hukum Penggugat adalah pemilik atas seluruh dana rekening giro dan
deposito ARO atas nama Penggugat pada Tergugat I berikut bunga-bunganya tanpa ada yang
dikecualikan ;
Menyatakan perbuatan Tergugat I yang menahan pembayaran/pencairan atas seluruh dana
rekening giro dan deposito ARO atas nama Penggugat pada Tergugat I berikut bunga-
bunganya adalah melawan hukum dan Tergugat II turut bertanggung jawab ;
Menghukum Tergugat I untuk melakukan pembayaran/pencairan atas seluruh dana rekening
giro dan deposito ARO atas nama Penggugat pada Tergugat I berikut bunga-bunganya tanpa
ada yang dikecualikan ;
Menghukum Tergugat I membayar ganti rugi immateriil kepada Penggugat sebesar Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) ;
Menghukum Tergugat II untuk mematuhi dan tunduk pada putusan dalam perkara ini ;
Menolak gugatan Penggugat selebihnya.
255
terhadapnya oleh pihak lawannya telah diajukan jawaban yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 1 Juli 2009 ;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-
alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama dan diajukan dalam
tenggang waktu serta dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, oleh karena itu
permohonan peninjauan kembali tersebut formal dapat diterima ;
Menimbang, bahwa para Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan-alasan
peninjauan kembali yang pada pokoknya sebagai berikut :
A.Terdapat Bukti Baru (Novum) Sebagai Yang Dimaksud Dalam Pasal 67 Huruf b Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah
Agung Serta Terdapat Fakta Baru.
1. Bukti Baru (Novum) :
Alat bukti yang pada saat perkara diperiksa tidak ditemukan dan baru ditemukan kemudian
serta dijadikan sebagai alat bukti baru (novum) di dalam permohonan peninjauan kembali
ini adalah :
a. Perjanjian Kredit Jangka Pendek Nomor 094/037/97/DU/P tanggal 31 Desember 1997 yang
dibuat di bawah tangan antara PT Bank Bumi Daya (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali
dengan PT TPN sebagai Debitur (Termohon Peninjauan Kembali), yang isinya bahwa bank
memberikan kredit kepada Debitur dan Debitur menerima kredit dari bank sejumlah USD
6.248.382, 73 (Bukti Baru PPK I, II-1) ;
b. Perjanjian Kredit Jangka Pendek Nomor 094/038/97/DU/P tanggal 31 Desember 1997 yang
dibuat di bawah tangan antara PT Bank Bumi Daya (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali
dengan PT TPN sebagai Debitur (Termohon Peninjauan Kembali), yang isinya bahwa bank
memberikan kredit kepada Debitur dan Debitur menerima kredit dari bank sejumlah USD
9.201.485,97 (Bukti Baru PPK I, II-2) ;
c. Perjanjian Kredit Jangka Pendek Nomor 094/039/97/DU/P tanggal 31 Desember 1997 yang
dibuat di bawah tangan antara PT Bank Bumi Daya (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali
0 dengan PT TPN sebagai Debitur (Termohon Peninjauan Kembali), yang isinya bahwa bank
memberikan kredit kepada Debitur dan Debitur menerima kredit dari bank sejumlah USD
8.731.627,11 (Bukti Baru PPK I, II-3) ;
Perjanjian Kredit Jangka Pendek Nomor 094/040/97/DU/P tanggal 31 Desember 1997
yang dibuat di bawah tangan antara PT Bank Bumi Daya (sekarang Pemohon Peninjauan
Kembali I) dengan PT TPN sebagai Debitur (Termohon Peninjauan Kembali), yang isinya
bahwa bank memberikan kredit kepada Debitur dan Debitur menerima kredit dari bank
sejumlah USD 13.385.158,40 (Bukti Baru PPK I, II-4) ;
e. Surat Sanggup (Aksep/Promes) dengan nominal USD 260.112.095 jatuh tempo tanggal 21
Desember 1999 yang diterbitkan oleh PT TPN kepada PT Bank Bumi Daya (Persero)
tertanggal 21 September 1998 (untuk jumlah USD 260.112.095) (Bukti Baru PPK I, II-5) ;
f. Salinan Akta Pengikatan Jaminan Secara Fidusia No. 24 tanggal 21 September 1998,
dibuat di hadapan Raharti Sudjardjati, SH., Notaris di Jakarta (dari PT TPN berupa stock
mobil Timor Impor) (Bukti Baru PPK I, II-6) ;
g. Salinan Akta Pemberian Jaminan Berupa Penyerahan Hak Milik Secara Fidusia No. 124 tanggal
17 September 1996, dibuat di hadapan Darbi, SH., Notaris di Jakarta (dari PT TPN berupa
kendaraan dan suku cadang) (Bukti Baru PPK I, II-7) ;
h. Salinan Akta Pemindahan dan Penyerahan (Cessie) sebagai Agunan No. 125 tanggal 17
September 1996, dibuat di hadapan Darbi, SH, Notaris di Jakarta (dari PT TPN berupa
tagihan/klaim) (Bukti Baru PPK I, II-8) ;
i. Salinan Akta Perjanjian Pengalihan Hak Atas Klaim Asuransi No. 26 tanggal 21 September
1998, dibuat di hadapan Raharti Sudjardjati, SH., Notaris di Jakarta (dari PT TPN berupa
klaim hak atas asuransi) (Bukti Baru PPK I, II-9) ;
j. Surat Kuasa dari PT Timor Distributor Nasional tanggal 13 Juni 1997 yang berisi pemberian
kuasa kepada PT Bank Bumi Daya (Persero) untuk mencairkan deposito-deposito PT Timor
256
Distributor Nasional yang merupakan jaminan pembayaran Usance LC untuk dipindahkan
menjadi deposito-deposito atas nama PT TPN pada saat jatuh tempo (Bukti Baru PPK I, II-
0 ;
Salinan Akta Pernyataan No. 126 tanggal 17 September 1996, dibuat di hadapan Darbi, SH.,
Notaris di Jakarta (dari PT TPN berupa klaim hak atas asuransi) (Bukti Baru PPK I, II-11) ;
Salinan Akta Pernyataan Pemegang Saham dan Sponsor No. 38 tanggal 12 November 1997,
dibuat di hadapan Ny. Machrani Moertolo, SH., Notaris di Jakarta. (dari Hutomo Mandala
Putra selaku pemegang saham PT TPN, sponsor masing-masing PT Timor Distributor
Nasional, PT Timor Industri Komponen dan PT KIA Timor Motors) yang berisi kesanggupan
pemegang saham dan sponsor untuk membayar kepada debitur (PT TPN) dengan tujuan agar
debitur dapat memenuhi kewajibannya dalam melakukan pembayaran (kepada PT Bank Bumi
Daya (Persero), sekarang kepada Pemohon Peninjauan Kembali II) (Bukti Baru PPK I, II-12);
m.Akta Notaris R.Ay. Tri Wahyuniati Subali Andi Firman No. 02 tanggal 13 Februari 2008 yang
berisi penegasan atas pernyataan yang dibuat oleh Taufik Surya Dharma selaku Direktur
Utama PT Vista Bella Pratama bahwa atas asset kredit atas nama peminjam (PT TPN) tersebut
terdapat jaminan pengembalian utang/kewajiban peminjam berupa simpanan
deposito dan/atau giro, dan PT Vista Bella Pratama menyatakan dan menjamin kesediaan
untuk menandatangani perjanjian perubahan perjanjian jual- beli terkaitdengan tindakan
memperhitungkan kembali oleh BPPN (Bukti Baru PPK I, II-13) ;
n. Surat BPPN kepada PT Bank Mandiri (Persero) Cabang Jakarta Imam Bonjol – ex BBD Nomor :
S-9459/LWO/BPPN/1100 tanggal 2 November 2000 perihal: Penempatan Deposito
dari Dana Escrow Account yang pada pokoknya berisi perintah kepada Pemohon
Peninjauan Kembali I agar dana escrow account a/n Termohon Peninjauan Kembali
ditempatkan sebagai Deposito ARO dengan syarat “tetap diblokir” (Bukti Baru PPK I, II-
14);
o. Surat BPPN kepada PT Bank Mandiri (Persero) Cabang Jakarta Imam Bonjol – ex BBD Nomor:
S-650/LWO/BPPN/0101 tanggal 30 Januari 2001 perihal: Penempatan Deposito dari dana
escrow account yang pada pokoknya berisi perintah kepada Pemohon Peninjauan Kembali I
agar dana escrow account a/n Termohon Peninjauan Kembali ditempatkan sebagai deposito
ARO dengan syarat “tetap diblokir” (Bukti Baru PPK I, II-15) ;
p. Surat BPPN kepada PT Bank Mandiri (Persero) Cabang Jakarta Imam Bonjol– ex BBD Nomor
S-651/LWO/BPPN/0101 tanggal 30 Januari 2001 perihal: Penempatan deposito dari dana
escrow account yang pada pokoknya berisi perintah kepada Pemohon Peninjauan Kembali I
agar dana escrow account a/n Termohon Peninjauan Kembali ditempatkan sebagai deposito
ARO dengan syarat “tetap diblokir” (Bukti Baru PPK I, II-16);
q. Surat BPPN kepada PT Bank Mandiri (Persero) Cabang Jakarta Imam Bonjol – ex BBD Nomor:
S-730/LWO/BPPN/0201 tanggal 31 Januari 2001 perihal: Penempatan Deposito dari Dana
Escrow Account yang pada pokoknya berisi perintah kepada Pemohon Peninjauan Kembali I
agar dana escrow account a/n Termohon Peninjauan Kembali ditempatkan sebagai deposito
ARO dengan syarat “tetap diblokir” (Bukti Baru PPK I, II-17) ;
r. Surat Menteri Keuangan kepada PT Vista Bella Pratama Nomor : S-354/MK/2008 tanggal 14
Juli 2008 yang isinya menyampaikan bahwa PT Vista Bella Pratama adalah pihak yang
terafiliasi dengan Termohon Peninjauan Kembali (Bukti Baru PPK I, II-18) ;
s. Surat Menteri Keuangan kepada PT Vista Bella Pratama Nomor: S- 401/MK/2008 tanggal 8
Agustus 2008 yang isinya membatalkan perjanjian jual beli piutang antara BPPN dengan PT
Vista Bella Pratama (Bukti Baru PPK I, II-19) ;
t. Jaminan Pribadi (Personal Guarantee) tanggal 21 September 1998 yang diberikan oleh Hutomo
Mandala Putra atas utang PT Timor Putra Nasional untuk jumlah utang sebesar USD
260.112.095 (Bukti Baru PPK I, II-20) ;
257
Sesudah berjalannya perkara ini terdapat fakta-fakta baru yang dibuktikan dengan alat bukti
sebagai berikut :
a. Perjanjian perdamaian yang dikukuhkan dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 364/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst tanggal 27 November 2008, yang pokok isinya
menyatakan bahwa pihak pertama (Menteri Keuangan RI) dan pihak ketiga (PT Vista
Bella Pratama) membatalkan Perjanjian Jual Beli Piutang tanggal 15 April 2003 beserta
addendum-addendum dan dokumen terkait yang dibuat antara pihak ketiga (PT Vista Bella
Pratama) dengan BPPN (sekarang Menteri Keuangan RI) dengan segala akibat hukumnya
(Bukti Atas Fakta Baru/Bukti Ad Informandum PPK I, II-21) ;
b. Surat Dirjen Kekayaan Negara an. Menteri Keuangan kepada Ketua Panitia Urusan Piutang
Negara (PUPN) Cabang DKI Jakarta Nomor: S-207/MK.6/2008 tanggal 19 September 2008
perihal Penyerahan Pengurusan Piutang Negara an. PT Timor Putra Nasional sejumlah Rp.
2.374.806.680.829,96 (Bukti Atas Fakta Baru/Bukti Ad Informandum PPK I, II-22) ;
c. Surat Penerimaan Penyerahan Piutang Negara (SP3N) dari Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN) Cabang DKI Jakarta Nomor SP3N-515/PUPNC.10.05/2008 tanggal 22 September
2008, yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Kekayaan Negara, perihal Penerimaan
Pengurusan Piutang Negara an. PT Timor Putra Nasional (Bukti Atas Fakta Baru/Bukti Ad
Informandum PPK I, II-23) ;
Bukti-bukti baru sebagaimana dimaksud pada angka 1 di atas ditemukan sesudah
diterbitkannya putusan kasasi Nomor 719 K/PDT/2008 tanggal 22 Agustus 2008
sehingga sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 67 huruf b dan Pasal 69 huruf b Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah
Agung ;
4. Terdapat bukti baru yang membuktikan hubungan hukum antara dana pada rekening giro dan
deposito ARO atas nama Termohon Peninjauan Kembali dengan Pemohon Peninjauan
Kembali II, yaitu bahwa dana termaksud merupakan jaminan bagi pelunasan utang Termohon
Peninjauan Kembali kepada Pemohon Peninjauan Kembali II ;
1) Putusan Kasasi MARI No. 719 K/Pdt/2008 tanggal 22 Agustus 2008 (“Putusan a quo”) pada
halaman 34, alinea terakhir memberikan pertimbangan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa surat bukti TI-23 tersebut selain tidak secara transparan dan dengan
landasan yuridis yang kuat menjelaskan kepada instansi internal bawahannya sendiri tentang
258
utang tersebut menjadi utang Termohon Peninjauan Kembali kepada Pemohon Peninjauan
Kembali II) sejumlah USD 6.248.382,73;
b. Perjanjian Kredit Jangka Pendek Nomor : 094/038/97/DU/P tanggal 31 Desember 1997,
dibuat di bawah tangan (Bukti Baru PPK I,II-2) membuktikan bahwa Termohon Peninjauan
Kembali memiliki utang kepada PT Bank Bumi Daya (Persero) (sekarang, karena sudah
dialihkan kepada BPPN dan kemudian dialihkan lagi kepada Menteri Keuangan RI, maka
utang tersebut menjadi utang Termohon Peninjauan Kembali kepada Pemohon Peninjauan
Kembali II) sejumlah USD 9.201.485,97 ;
c. Perjanjian Kredit Jangka Pendek Nomor 094 /039/97/DU/P tanggal 31 Desember 1997,
dibuat di bawahtangan (Bukti Baru PPK I,II-3) membuktikan bahwa Termohon Peninjauan
Kembali memiliki utang kepada PT Bank Bumi Daya (Persero) (sekarang, karena sudah
dialihkan kepada BPPN dan kemudian dialihkan lagikepada Menteri Keuangan RI, maka utang
tersebut menjadi utang Termohon Peninjauan Kembali kepada Pemohon Peninjauan Kembali
II) sejumlah USD 8.731.627,11;
d. Perjanjian Kredit Jangka Pendek Nomor 094 /040/97/DU/P tanggal 31 Desember 1997,
dibuat di bawahtangan (Bukti Baru PPK I,II-4) membuktikan bahwa Termohon Peninjauan
Kembali memiliki utang kepada PT Bank Bumi Daya (Persero) (sekarang, karena sudah
dialihkan kepada BPPN dan kemudian dialihkan lagi kepada Menteri Keuangan RI, maka
utang tersebut menjadi utang Termohon Peninjauan Kembali kepada Pemohon Peninjauan
Kembali II sejumlah USD 13.385.158,40;
4) Bukti-bukti baru (novum) sebagaimana diuraikan di atas membuktikan bahwa Termohon
Peninjauan Kembali adalah debitur terhadap kreditur PT Bank Bumi Daya (Persero).
Keempat perjanjian kredit jangka pendek tersebut di atas dipertegas dalam Akta Perjanjian
Kredit dan Pemberian Jaminan No. 23 tanggal 21 September 1998, yang dibuat di hadapan
Raharti Sudjardjati, SH Notaris di Jakarta (vide bukti T.I-46) yang dengan adanya program
rekapitalisasi bank-bank milik Pemerintah maka piutang PT Bank Mandiri (Persero) Tbk
(semula PT Bank Bumi Daya (Persero)) terhadap Termohon Peninjauan Kembali dialihkan
kepada BPPN ;
5) Pengalihan piutang oleh Pemohon Peninjauan Kembali I kepada BPPN tersebut dilakukan
dengan perjanjian pengalihan hak atas piutang PT Bank Bumi Daya (Persero) tanggal 31
Maret 1999 (vide bukti T.I-1) dan kedudukan kreditur sesudah berakhirnya masa tugas BPPN
berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 jo.
Keppres No. 15 Tahun 2004, beralih kepada Menteri Keuangan (Pemohon Peninjauan Kembali
II) ;
6) Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Akta Perjanjian Kredit dan Pemberian Jaminan No. 23 tanggal
21 September 1998, yang dibuat di hadapan Raharti Sudjardjati, SH Notaris di Jakarta (vide
Bukti T.I-46), dinyatakan :
Pasal 5 Perjanjian Kredit (vide bukti T.I- 46) menyatakan :
“5.1 Semua pembayaran utang oleh penerima kredit (Termohon Peninjauan Kembali) wajib
dilakukan dan di setor ke bank atau cabang lain yang secara tertulis diberitahukan oleh bank
kepada penerima kredit, dari dana hasil penjualan stock, baik yang sudah dijual dan ditampung
dalam bentuk deposito maupun stock yang saat ini belum terjual serta receivables yang
merupakan sumber pembayaran kembali utang.
5.2 Jumlah angsuran utang yang telah dibayarkan tidak boleh ditarik kembali atau
dipergunakan lagi oleh penerima kredit dengan alasan apapun.”
Berdasarkan ketentuan perjanjian di atas, “dana hasil penjualan stok, baik yang sudah dijual
dan ditampung dalam bentuk deposito maupun stok yang saat ini belum terjual serta
receivables yang merupakan sumber pembayaran kembali utang” merupakan jaminan bagi
pelunasan utang Termohon Peninjauan Kembali kepada Pemohon Peninjauan Kembali II ;
Bahkan Pasal 5.2 perjanjian termaksud melarang Termohon Peninjauan Kembali untuk
“menarik kembali jaminan” termaksud atau mempergunakannya dengan alasan apa pun ;
259
Berdasarkan Berita Acara Serah Terima Dokumen antara PT Bank Bumi Daya (Persero) dengan
BPPN tanggal 22 Mei 2000 (vide bukti T.I-47), pengalihan piutang (dari PT Bank Bumi Daya
(Persero) kepada BPPN) tersebut disertai dengan penyerahan dokumen jaminan berupa 60
(enam puluh) bilyet deposito atas nama Termohon Peninjauan Kembali; 25 (dua puluh lima)
bilyet deposito atas nama PT Timor Distribusi Nasional; Stok atas mobil
Timor dan hasil penjualan atas stok mobil Timor ;
8) Bahwa bukti baru berupa surat-surat BPPN kepada Pemohon Peninjauan Kembali I, yaitu
sebagai berikut :
a. Surat BPPN kepada PT Bank Mandiri (Persero) Cabang Jakarta Imam Bonjol– ex BBD
Nomor S-9459/LWO/BPPN/1100 tanggal 2 November 2000 perihal: Penempatan
deposito dari dana escrow account yang berisi perintah kepada Pemohon Peninjauan
Kembali I agar dana escrow account a/n Termohon Peninjauan Kembali ditempatkan
sebagai deposito ARO dengan syarat “tetap diblokir”. (Bukti Baru PPK I, II-14) ;
b. Surat BPPN kepada PT Bank Mandiri (Persero) Cabang Jakarta Imam Bonjol – ex BBD
Nomor S-650/LWO/BPPN/0101 tanggal 30 Januari 2001 perihal: Penempatan deposito
dari dana escrow account yang berisi perintah kepada Pemohon Peninjauan Kembali I
agar dana escrow account a/n Termohon Peninjauan Kembali ditempatkan sebagai
deposito ARO dengan syarat “tetap diblokir”. (Bukti Baru PPK I,II-15) ;
c. Surat BPPN kepada PT Bank Mandiri (Persero) Cabang Jakarta Imam Bonjol–ex BBD
Nomor S-651/LWO/BPPN/0101 tanggal 30 Januari 2001 perihal: Penempatan deposito
dari dana escrow account yang berisi perintah kepada Pemohon Peninjauan Kembali I
agar dana escrow account a/n Termohon Peninjauan Kembali dtempatkan sebagai
deposito ARO dengan syarat “tetap diblokir”. (Bukti Baru PPK I,II-16) ;
d. Surat BPPN kepada PT Bank Mandiri (Persero) Cabang Jakarta Imam Bonjol– ex BBD
Nomor S-730/LWO/BPPN/0201 tanggal 31 Januari 2001 perihal : Penempatan deposito
dari dana escrow account yang berisi perintah kepada Pemohon Peninjauan Kembali I
agar dana escrow account a/n Termohon Peninjauan Kembali ditempatkan sebagai
deposito ARO dengan syarat “tetap diblokir” (Bukti Baru PPK I,II-17) ;
Bukti-bukti tersebut di atas membuktikan bahwa penerbitan deposito tersebut
berdasarkan perintah dari Termohon Peninjauan Kembali yang sumber dananya berasal
dari dana escrow account, yang kemudian diblokir oleh Pemohon Peninjauan Kembali II
karena merupakan jaminan utang Termohon Peninjauan Kembali kepada Pemohon
Peninjauan Kembali II.
9) Bukti baru berupa Perjanjian Kredit Jangka Pendek Nomor: 094/037/97/DU/P tanggal 31
Desember 1997, (Bukti Baru PPK I,II-1) pada Pasal 4 ayat 2 menentukan:
“BANK berhak dan dengan ini diberi kuasa oleh debitur, untuk sewaktu-waktu tanpa
memberitahu terlebih dahulu kepada debitur, membebani rekening debitur atau rekening
lainnya, baik untuk pelunasan utang pokok, bunga, bunga kelebihan tarik, bunga tunggakan
maupun segala macam biaya apapun yang timbul karena dan untuk pelaksanaan hal-hal yang
ditentukan dalam perjanjian ini yang menjadi beban debitur.”
Yang dimaksud dengan kata “bank” dalam perjanjian ini adalah PT Bank Bumi Daya
(Persero), yang kemudian beralih kepada BPPN dan dari BPPN beralih lagi kepada
Menteri Keuangan RI (Pemohon Peninjauan Kembali II), sedangkan yang dimaksud
dengan kata “debitur” adalah Termohon Peninjauan Kembali. Oleh karena itu, Pemohon
Peninjauan Kembali II berwenang untuk membebani rekening Termohon Peninjauan Kembali
;
Uraian di atas membuktikan fakta sebagai berikut :
a. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali berutang kepada PT Bank Bumi Daya (Persero) ;
b. Bahwa hak untuk menagih utang termaksud beralih, mula-mula kepada BPPN, kemudian
kepada Menteri Keuangan RI (Pemohon Peninjauan Kembali II) ;
c. Bahwa berdasarkan ketentuan perjanjian-perjanjian yang mengikat Termohon Peninjauan
Kembali dengan krediturnya (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali II), pelunasan utang
260
tersebut dijamin dengan dana yang ada pada rekening giro dan deposito ARO milik
Termohon Peninjauan Kembali yang ada pada Pemohon Peninjauan Kembali I ;
d. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali II berwenang membebani rekening Termohon
Peninjauan Kembali untuk pelunasan utang Termohon Peninjauan Kembali ;
11)Uraian di atas pun menunjukkan bahwa surat Pemohon Peninjauan Kembali II (vide bukti T.I-
23) yang berisi perintah agar Pemohon Peninjauan Kembali I tidak melakukan pencairan atas
dana yang ada pada rekening giro dan deposito ARO milik Termohon Peninjauan Kembali
yang ada pada Pemohon Peninjauan Kembali I merupakan tindakan yang memiliki dasar
hukum (rechtmatig). Pencairan dana milik debitur yang dijaminkan untuk pelunasan utang
hanya dapat dilakukan jika hal itu disetujui oleh kreditur.
Hak kreditur ini dibenarkan oleh :
• Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang menentukan :
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk
segala perikatan perseorangan.”
Atas dasar ketentuan hukum ini Pemohon Peninjauan Kembali II selaku kreditur
memiliki hubungan hukum dengan dana pada rekening giro dan deposito ARO milik
Termohon Peninjauan Kembali selaku debitur, yang timbul karena status hukum dari dana
tersebut sebagai jaminan bagi pelunasan utang Termohon
Peninjauan Kembali kepada Pemohon Peninjauan Kembali II ;
Pasal 5 angka 5.1 perjanjian kredit (Bukti T.I-46) yang menyata-kan :
“Semua pembayaran utang oleh penerima kredit (Termohon Peninjauan Kembali)
wajib dilakukan dan disetor ke bank atau cabang lain yang secara tertulis diberitahukan oleh
bank kepada penerima kredit, dari dana hasil penjualan stock, baik yang sudah dijual dan
ditampung dalam bentuk deposito maupun stock yang saat ini belum terjual serta receivables
yang merupakan sumber pembayaran kembali utang”;
Atas dasar ketentuan perjanjian ini, karena dana pada rekening giro dan deposito ARO
tersebut secara hukum merupakan “sumber pembayaran kembali utang”, maka Pemohon
Peninjauan Kembali II selaku kreditur mempunyai hak bukan saja untuk memblokir dana
termaksud, tetapi juga untuk mengambilalih kepemilikan atas dana termaksud ;
12)Karena perintah Pemohon Peninjauan Kembali II kepada Pemohon Peninjauan Kembali I
(sebagai yang dimaksud dalam bukti T.I-23) merupakan tindakan yang sah, maka
tindakan Pemohon Peninjauan Kembali I yang melaksanakan isi perintah Pemohon
Peninjauan Kembali II termaksud merupakan perbuatan yang sah, sehingga tidak dapat
dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum. Dengan demikian amar putusan a
quo yang “menyatakan perbuatan Tergugat I (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali I)
yang menahan pembayaran/ pencairan atas seluruh dana rekening giro dan deposito ARO
atas nama Penggugat (sekarang Termohon Peninjauan Kembali) pada Tergugat I (sekarang
261
Putusan kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 719 K/Pdt/2008 tanggal 22 Agustus 2008 (putusan
a quo) pada halaman 34, alinea terakhir memberikan pertimbangan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa surat bukti T.I-23 tersebut selain tidak secara transparan dan dengan
landasan yuridis yang kuat menjelaskan kepada instansi internal bawahannya sendiri tentang
sebab-sebabnya ada kebijaksanaan yang berubah dan berlawanan dengan dasar-dasar yuridis
sebelumnya, juga menimbulkan ketidak pastian hukum bagi warga negara akibat berubahnya
kebijaksanaan dari sesama internal kedinasan yang sama, sedangkan berbagai perjanjian
sebelumnya dan surat-surat yang menjadi bukti secara yuridis tidak pernah dibatalkan.
Sehingga dengan demikian, bukti yang diajukan oleh Tergugat yaitu TI-23 menjadi
kontroversial dengan bukti-bukti Tergugat sebelumnya, bahkan dapat dikatakan bahwa
terdapat pertentangan antara aspek yuridis berhadapan dengan aspek kebijaksanaan
(pertentangan antara segi rechtmatigheid berhadapan dengan segi doelmatigheid dalam
tindakan pemerintah).”
(Garis bawah dan huruf tebal ditambahkan untuk menjelaskan). Dengan pertimbangan
sebagaimana dikutip di atas, judex juris berpendapat bahwa hak Pemohon Peninjauan
Kembali II atas dana pada rekening giro dan deposito ARO Termohon Peninjauan Kembali
yang disimpan pada Pemohon Peninjauan Kembali I sudah tidak ada ;
2) Isi pertimbangan judex juris sebagaimana dikutip di atas tidak benar. Perjanjian jual beli
piutang (cessie) antara BPPN dengan PT Vista Bella Pratama (vide bukti T.I-6), dengan mana
hak untuk menagih utang Termohon Peninjauan Kembali dialihkan kepada PT Vista Bella
Pratama tidak menghapuskan hubungan hukum antara BPPN (sekarang sudah dialihkan
kepada Pemohon Peninjauan Kembali II) dengan dana pada rekening giro dan deposito ARO
yang dimaksud di dalam perkara ini. Adanya hubungan hukum ini dibuktikan oleh alat bukti
baru (novum) berupa :
Akta Pernyataan Direktur Utama PT Vista Bella Pratama No. 02 tanggal 13 Februari 2008
yang dibuat di adapan R. Ay. Tri Wahyuniati Subali Andi Firman, Notaris di Jakarta yang pada
pokoknya menyatakan bahwa pada saat perjanjian jual-beli piutang antara BPPN
dengan PT Vista Bella Pratama, pihak pembeli piutang (PT Vista Bella Pratama) menyetujui
bahwa jaminan berupa giro dan deposito atas nama Termohon Peninjauan Kembali akan
diperhitungkan kembali (set off) dengan utang Termohon Peninjauan Kembali.
(Bukti Baru PPK I, II-13) ;
3) Bukti baru PPK I, II-13 tersebut di atas merupakan pengukuhan atas surat PT Vista Bella
Pratama tanggal 20 Juni 2003 (vide bukti T.II-4) yang berhubungan dengan perhitungan
kembali utang. Bukti T.II-4 ini telah diajukan oleh Pemohon Kasasi sebagai bukti dalam
pemeriksaan perkara pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan namun tidak
pernah dipertimbangkan oleh judex facti maupun judex juris karena tidak ada aslinya ;
Bersama memori peninjauan kembali ini diajukan bukti baru berupa Akta Notaris R.Ay. Tri
Wahyuniati Subali Andi Firman No. 02 tanggal 13 Februari 2008 (Bukti Baru PPK I, II-13) di
mana Taufik Surya Darma, Direktur Utama PT Vista Bella Pratamamengakui kebenaran isi
maupun keaslian tanda tangannya yang tertera dalam fotokopi surat PT Vista Bella Pratama
tanggal 20 Juni 2003 (vide bukti T.II-4). Oleh karena kedua surat dimaksud merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan, maka menurut Yurisprudensi Putusan MARI No. 416
PK/Pdt/1998 tanggal 29 Mei 2002 akta notaris tersebut memenuhi syarat sebagai novum ;
Kaidah hukum dalam Yurisprudensi Putusan MARI No. 416 PK/Pdt/1998 tanggal 29 Mei
2002 menyatakan :
“Suatu Akta Notaris No. 114 berupa: “pernyataan seseorang” yang kemudian disyahkan oleh
pengadilan negeri dengan berita acara sumpah yang isinya menyatakan bahwa Akta Notaris
No. 29 tentang perjanjian ikatan jual beli tanah dibuat dengan niat buruk, tipu muslihat dan
kebohongan dengan merugikan pemilik tanah. Akta Notaris No. 114 tersebut diterima
oleh Majelis Mahkamah Agung sebagai suatu “novum” ex Pasal 67 huruf “b” jo Pasal 69 huruf
“b” dari UU No. 14 Tahun 1985
262
Akibat yuridis dari adanya “novum” tersebut, maka Akta Notaris No.114 (perjanjian jual beli
tanah) menjadi cacat hukum dan batal demi hukum dan putusan judex facti dan judex juris
(kasasi) yang mengandung kekhilafan/kekeliruan yang nyata dari hakim, sehingga putusannya
harus dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalam pemeriksaan peninjauan kembali.”
5) Bukti baru PPK I, II-13 (yang mengukuhkan keberadaan dan isi bukti terdahulu No. T.II-4)
membuktikan fakta sebagai berikut :
a. Bahwa piutang BPPN (sekarang secara hukum merupakan piutang Pemohon Peninjauan
Kembali II) terhadap Termohon Peninjauan Kembali sudah dialihkan kepada PT Vista Bella
Pratama;
b. Bahwa, sekalipun demikian, dana pada rekening giro dan deposito ARO Termohon
Peninjauan Kembali pada Pemohon Peninjauan Kembali I tidak dialihkan kepada PT Vista
Bella Pratama;
c. Dana pada rekening giro dan deposito ARO atas nama Termohon Peninjauan Kembali yang
disimpan pada Pemohon Peninjauan Kembali I pada saat perjanjian jual-beli piutang (dari
BPPN kepada PT Vista Bella Pratama) sedianya akan diperhitungkan kembali dengan
dijadikan sebagal alat pembayaran utang, sehingga jumlah piutang yang dijual dikurangi
dengan jumlah dana ini. Akan tetapi, (sebagaimana diuraikan dalam kronologi pada angka
5 dan 6 di atas), pada saat jual-beli piutang ini terjadi, perhitungan kembali tidak mungkin
dilaksanakan, karena dana tersebut berada dalam status disita oleh Ditjen Pajak. Dengan
demikian, atas dasar persetujuan bersama sebagai yang tercantum dalam bukti baru PPK
I,II-13 (yang mengukuhkan bukti T.II- 4), perhitungan kembali atas dana termaksud baru
akan dilakukan di kelak kemudian hari ;
d. Bahwa oleh PT Vista Bella Pratama dana pada rekening giro dan deposito ARO tersebut
disetujui untuk diperhitungkan kembali (kompensasi) atau dana yang akan dijadikan
sebagai bagian dari pembayaran utang Termohon Peninjauan Kembali kepada BPPN
(sekarang kepada Pemohon Peninjauan Kembali II). Dengan demikian jumlah utang
Termohon Peninjauan Kembali (dan karenanya, jumlah piutang yang dialihkan kepada PT
Vista Bella Pratama) akan dikurangi dengan jumlah dana pada rekening giro dan deposito
ARO Termohon Peninjauan Kembali pada Pemohon Peninjauan Kembali I ;
6) Uraian di atas menunjukkan bahwa surat Pemohon Peninjauan Kembali II (vide bukti T.I-23)
yang berisi perintah agar Pemohon Peninjauan Kembali I tidak melakukan pencairan atas
dana yang ada pada rekening giro dan deposito ARO milik Termohon Peninjauan Kembali
yang ada pada Pemohon Peninjauan Kembali I merupakan tindakan yang memiliki dasar
hukum (rechtmatig). Tindakan ini dibenarkan oleh isi Surat PT Vista Bella Pratama tanggal 20
Juni 2003 (vide bukti T.lI-4 jo Bukti Baru PPK I, II-13);
Uraian di atas pun menunjukkan bahwa amar putusan a quo yang “menyatakan perbuatan
Tergugat I (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali I) yang menahan
pembayaran/pencairan atas seluruh dana rekening giro dan deposito ARO atas nama Penggugat (sekarang
Termohon Peninjauan Kembali) pada Tergugat I (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali I) berikut bunga-
bunganya adalah melawan hukum dan
B.Terdapat Fakta BaruYang Membuktikan Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali II Memiliki Hak
Untuk Menagih Utang Termohon Peninjauan Kembali Dan Menjadikan Dana Pada Rekening
Giro Dan Deposito ARO Termohon Peninjauan Kembali Sebagai Pembayaran Atas Sebagian
Utang Tersebut.
1. Fakta baru tersebut adalah sebagai berikut :
a. Perjanjian perdamaian yang dikukuhkan dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 364/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst tanggal 27 November 2008, yang pokok isinya
menyatakan bahwa pihak pertama (Menteri Keuangan RI) dan pihak ketiga (PT Vista Bella
Pratama) membatalkan Perjanjian Jual Beli Piutang tanggal 15 April 2003 beserta addendum-
addendum dan dokumen terkait yang dibuat antara Pihak Ketiga (PT Vista Bella Pratama)
dengan BPPN (sekarang Menteri Keuangan RI) dengan segala akibat hukumnya (Bukti atas
fakta baru/bukti Ad Informandum PPK I, II-21) ;
b. Surat Dirjen Kekayaan Negara an. Menteri Keuangan kepada Ketua Panitia Urusan Piutang
Negara (PUPN) Cabang DKI Jakarta Nomor S-207/MK.6/2008 tanggal 19 September 2008
perihal Penyerahan Pengurusan Piutang Negara an PT Timor Putra Nasional sejumlah Rp.
2.374.806.680.829,96,- (Bukti atas fakta baru/Bukti Ad Informandum PPK I, II-22) ;
c. Surat Penerimaan Penyerahan Piutang Negara (SP3N) dari Panitia Urusan Piutang Negara
(PUPN) Cabang DKI Jakarta Nomor SP3N-515/PUPNC.10.05/2008 tanggal 22 September
2008, yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Kekayaan Negara, perihal penerimaan
pengurusan piutang negara An PT Timor Putra Nasional (Bukti atas fakta baru/Bukti Ad
Informandum PPK I, II-23) ;
Sebagaimana diuraikan di dalam “kronologi” Pemohon Peninjauan Kembali II pernah
menerbitkan dua surat kepada PT Vista Bella Pratama, yaitu:
264
• Surat Menteri Keuangan kepada PT Vista Bella Pratama Nomor S-354/MK/2008 tanggal 14
Juli 2008 yang isinya menyampaikan bahwa PT Vista Bella Pratama adalah pihak yang
terafiliasi dengan Termohon Peninjauan Kembali (Bukti baru PPK I, II-18) ;
• Surat Menteri Keuangan kepada PT Vista Bella Pratama Nomor S-401/MK/2008 tanggal 8
Agustus 2008 yang isinya membatalkan perjanjian jual beli piutang antara BPPN dengan PT
Vista Bella Pratama (Bukti Baru PPK I, II-19) ;
Karena tidak menyetujui isi kedua surat tersebut, PT Vista Bella Pratama kemudian
mengajukan gugatan terhadap Pemohon Peninjauan Kembali II, dan perkara ini diselesaikan
dengan perjanjian perdamaian yang dikukuhkan oleh Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 130 HIR ;
3. Perjanjian Perdamaian antara Pemohon Peninjauan Kembali I, Pemohon Peninjauan Kembali
dan PT Vista Bella Pratama sebagaimana dimaksud di atas (Bukti Atas Fakta Baru/Bukti Ad
Informandum PPK I, II-21) memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
“Pasal 3
Pihak pertama (Menteri Keuangan RI) dan pihak ketiga (PT Vista Bella Pratama) membatalkan
Perjanjian Jual Beli Piutang tanggal 15 April 2003 beserta addendum-addendum dan dokumen
terkait yang dibuat antara pihak ketiga (PT Vista Bella Pratama) dengan BPPN (sekarang
Menteri Keuangan RI) dengan segala akibat hukumnya ; Pasal 4
Pihak ketiga (PT Vista Bella Pratama) tidak akan menuntut segala pembayaran yang telah
dibayarkan kepada pihak pertama (Menteri Keuangan RI) terkait dengan Perjanjian Jual Beli
Piutang tanggal 15 April 2003 beserta addendum-addendum dan dokumen terkait yang dibuat
antara pihak ketiga (PT Vista Bella Pratama) dengan BPPN (sekarang Menteri Keuangan RI),
dan segala tindakan yang telah diambil/dilakukan oleh pihak pertama (Menteri Keuangan RI)
baik sebelum maupun sesudah perjanjian ini ditanda-tangani, termasuk
tetapi tidak terbatas pada tindakan pihak pertama (Menteri Keuangan RI) mengambil/
menguasai kembali dana yang tersimpan pada pihak kedua (PT Bank Mandiri) ; Pasal 8
Pihak ketiga (PT Vista Bella Pratama) menyetujui untuk menanggung semua biaya yang ada
dan muncul sehubungan dengan pelaksanaan perdamaian serta biaya -biaya lain yang terkait
dengan pelaksanaan perdamaian termasuk dan tidak terbatas biaya-biaya untuk mediasi,
pencabutan perkara gugatan No. 364/Pdt.G/2008/ PN.Jkt.Pst pajak dan/atau biaya yang
timbul sebagai akibat dari pengalihan kembali piutang terhadap PT Timor Putra Nasional dari
pihak ketiga (PT Vista Bella Pratama) kepada pihak pertama (Menteri Keuangan RI)” ;
4. Akibat hukum dari perjanjian perdamaian (bukti atas fakta baru/Bukti Ad Informandum PPK
I, II-21) tersebut di atas adalah timbulnya kembali hubungan hukum antara Termohon
Peninjauan Kembali dengan Pemohon Peninjauan Kembali II menjadi hubungan antara
debitur dengan kreditur, di mana Termohon Peninjauan Kembali menjadi debitur dan
Pemohon Peninjauan Kembali II menjadi kreditur, sedang dana pada rekening giro dan
deposito ARO secara hukum berstatus sebagai jaminan bagi pelunasan utang Termohon
Peninjauan Kembali kepada Pemohon Peninjauan Kembali II ;
5. Putusan a quo di halaman 32, alinea ke-2 dari bawah memberikan pertimbangan sebagai
berikut :
”Menimbang, bahwa dalam hukum perjanjian berlaku asas hukum bahwa suatu perjanjian
yang telah disepakati harus ditaati bersama oleh kedua belah pihak dan berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka selama belum dibatalkan ;
Hal ini sesuai pula dengan asas hukum yang berbunyi PACTA SUNT SERVANDA”. (Garis
bawah ditambahkan)
6. Pertimbangan putusan a quo ditujukan pada perjanjian pengalihan piutang (vide bukti
T.I-6) dari BPPN (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali II) kepada PT Vista Bella
Pratama, sehingga Pemohon Peninjauan Kembali II tidak memiliki piutang lagi kepada
265
Termohon Peninjauan Kembali dan tidak memiliki lagi hak atas dana pada rekening giro dan
deposito ARO yang menjadi jaminan utang Termohon Peninjauan Kembali, yaitu selama
perjanjian pengalihan piutang tersebut“belum dibatalkan” ;
7. Sesuai dengan pertimbangan putusan a quo tersebut di atas, karena perjanjian pengalihan
piutang termaksud sudah dibatalkan dengan perjanjian perdamaian (bukti atas fakta
baru/Bukti Ad Informandum PPK I, II -21), maka Pemohon Peninjauan Kembali II, sebagai
kreditur bagi Termohon Peninjauan Kembali selaku debitur mempunyai hak untuk
memerintahkan Pemohon Peninjauan Kembali I agar mengalihkan dana termaksud menjadi
dana hak Pemohon Peninjauan Kembali II dalam rangka pelunasan atau pengurang jumlah
utang Termohon Peninjauan Kembali kepada Pemohon Peninjauan Kembali II. Berdasarkan
fakta baru berupa Surat Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama Menteri Keuangan
Nomor : S-207/MK.6/2008 tanggal 19 September 2008, yang ditujukan kepada Panitia
Urusan Piutang Negara Cabang DKI Jakarta, perihal Penyerahan Pengurusan Piutang Negara
an PT Timor Putra Nasional (PT TPN) sejumlah Rp. 2.374.806.680.829,96,- (bukti atas fakta
baru/Bukti Ad Informandum PPK I, II-22) dan Surat Penerimaan Penyerahan Piutang Negara
(SP3N) dari Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang DKI Jakarta Nomor: SP3N-
515/PUPNC.10.05/2008 tanggal 22 September 2008, yang ditujukan kepada Direktur
Jenderal Kekayaan Negara, perihal Penerimaan Pengurusan Piutang Negara an PT Timor
Putra Nasional (bukti atas fakta baru/Bukti Ad Informandum PPK I, II-23), dana rekening giro
dan deposito ARO yang dipersoalkan di dalam perkara ini sudah dijadikan sebagai alat
pembayaran utang, sehingga hak atas dana tersebut beralih ke Pemohon Peninjauan Kembali
II, dan utang PT TPN kepada Pemohon Peninjauan Kembali II menjadi berkurang;
C. Terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Putusan judex facti dan judex juris jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata ;
Terdapat pertimbangan judex juris yang bertentangan dengan asas-asas hukum perjanjian
serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 1425 dan 1426 KUHPerdata, sehingga
merupakan kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan nyata sebagai yang dimaksud di dalam
Pasal 67 huruf f UU Mahkamah Agung (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009) :
1) Berdasarkan pertimbangan judex facti bahwa Akta Perjanjian Jual Beli Piutang (PJBP) tanggal
15 April 2003 (vide bukti T.I-6); Akte Perubahan Perjanjian Jual Beli Piutang tanggal 30 April
2003 (vide bukti T.I-7); Perjanjian Pengalihan Piutang (Cessie Piutang) tanggal 30 April
2003 (vide bukti T.I-8); fasilitas kredit (piutang) Termohon Peninjauan
Kembali/Penggugat oleh BPPN telah dialihkan/dijual kepada PT Vista Bella Pratama.
Dengan beralihnya fasilitas kredit (piutang)Termohon Peninjauan Kembali/Penggugat dari
BPPN kepada PT Vista Bella Pratama maka secara hukum seluruh jaminan ikut beralih karena
jaminan tersebut bersifat accesoir. Hal ini terlihat dalam pertimbangan Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 928/Pdt.G/2006/PN.Jak.Sel tanggal 21 November
2006 halaman 43 alinea 5 s/d 7 sebagai berikut :
“Menimbang, bahwa perjanjian pokok adalah merupakan perjanjian untuk mendapatkan
fasilitas kredit dari lembaga perbankan atau lembaga keuangan non bank contohnya adalah
perjanjian kredit bank, Sedangkan perjanjian accesoir adalah perjanjian pembebanan jaminan
seperti gadai, hak tanggungan dan fidusia, jadi sifat perjanjian adalah accesoir, yaitu mengikuti
perjanjian pokok
Menimbang, bahwa ditinjau dari azas hukum perjanjian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
BPPN dalam hal pengalihan fasilitas kredit kepada PT Vista Bella Pratama adalah jelas
melanggar azas hukum perjanjian karena telah memisahkan antara perjanjian pokok dengan
perjanjian assecoirnya ;
Menimbang, bahwa oleh karena dalam hal perjanjian pokoknya antara Penggugat dengan
Tergugat II sudah tidak mempunyai hubungan hukum lagi, maka tentang perjanjian
266
accesoirnya, yaitu perjanjian jaminan mengenai dana dalam rekening giro dan deposito ARO
atas nama Penggugat sudah hapus dengan sendirinya” ;
2) Pertimbangan judex facti sebagaimana dikutip di atas adalah tidak benar, karena jika jaminan
merupakan accesoir yang tidak dapat dipisahkan dari piutang, maka, jika piutang dialihkan
kepada PT Vista Bella Pratama, jaminan pun harus dialihkan juga kepada PT Vista Bella
Pratama, tidak dikembalikan kepada PT TPN (Termohon Peninjauan Kembali) ;
3) Di dalam perkara ini jaminan tidak ikut diserahkan berdasarkan persetujuan PT Vista Bella
Pratama sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan dari Direktur Utama PT Vista Bella
Pratama tanggal 20 Juni 2003, yang ditujukan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional
Up. Bapak Iwan W Soemekto selaku Kepala Divisi Penjualan Aset Kredit-1, perihal
Perhitungan Kembali Atas Jaminan Berupa Simpanan Deposito Dan Atau Giro Pada Bank
Bumi Daya terhadap utang peminjam (vide bukti T.II-4 yang dikukuhkan dengan bukti baru
PPK I,II-13), yang pada intinya menyatakan dan menjamin bahwa PT Vista Bella Pratama
bersedia untuk menandatangani perjanjian perubahan atas PJBP dan atau Cessie untuk
merubah jumlah utang tertunggak aktual yang merupakan jumlah kewajiban peminjam yang
dialihkan kepada PT Vista Bella Pratama sesuai perhitungan yang ditetapkan BPPN berkaitan
dengan tindakan perhitungan kembali. Surat pernyataan tersebut merupakan satu kesatuan
dan bagian yang tidak terpisahkan dari PJBP dan atau Cessie ;
Fakta yang sebenarnya terjadi di dalam perkara ini adalah sebagai berikut :
0 Pada saat perjanjian pengalihan piutang dari BPPN (sekarang Pemohon Peninjauan
Kembali II) kepada PT Vista Bella Pratama terjadi, jaminan utang (dana pada rekening giro
dan deposito ARO Termohon Peninjauan Kembali pada Pemohon Peninjauan Kembali I)
berada dalam status disita oleh Ditjen Pajak (vide bukti T I-3);
1 BPPN/Pemohon Peninjauan Kembali II dan PT Vista Bella Pratama sepakat bahwa
jaminan termaksud akan diperhitungkan kembali (sebagai pengurang piutang).
Kesepakatan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1425 KUH Perdata yang menentukan :
“Jika dua orang saling berutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka
suatu perjumpaan, dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan,
dengan cara dan dalam hal-hal yang akan disebutkan sesudah ini.”
Secara hukum, setelah penandatanganan perjanjian jual beli piutang namun sebelum
terjadi pembayaran uang pembelian piutang, maka pihak pembeli piutang (PT Vista Bella
Vista Bella Pratama mempunyai kewajiban untuk membayar utang, sementara pihak
Kreditur (BPPN, yang kemudian beralih menjadi Pemohon Peninjauan Kembali II)
mempunyai kewajiban untuk menyerahkan kepada PT Vista Bella Pratama (i) hak tagih
atas utang PT TPN dan (ii) jaminan PT TPN bagi pembayaran utang termaksud berupa
dana pada rekening giro dan deposito ARO ;
Dalam melaksanakan perjanjian jual-beli piutang tersebut, pihak BPPN (yang sekarang
beralih menjadi pihak Menteri Keuangan RI/Pemohon Peninjauan Kembali II) selaku
penjual piutang harus melakukan salah satu dari antara hal-hal sebagai berikut :
Menyerahkan kepada pihak pembeli piutang, baik hak tagih atas utang, maupun jaminan
atas pembayaran utang tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1533 KUH
Perdata. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh BPPN, karena obyek penjualan adalah hak
tagih atas utang senilai sekitar Rp. 4 trilyun yang di dalamnya terdapat jaminan uang
tunai (cash) berupa dana pada rekening giro dan deposito ARO yang pada saat itu
bernilai sekitar Rp. 900 milyar. Sebagaimana diketahui, piutang termaksud dijual
dengan harga sekitar Rp 400 milyar.
Dengan demikian, jika jaminan berupa dana pada rekening giro dan deposito ARO
tersebut diserahkan kepada pihak pembeli piutang (PT Vista Bella Pratama), BPPN
dapat dikualifikasikan merugikan keuangan/kekayaan negara, karena menghilangkan
hak negara atas dana sebesar sekitar Rp 900 milyar hanya untuk memperoleh dana
sebesar sekitar Rp 400 milyar ;
267
(2) Menjumpakan (kompensasi) nilai kewajiban pembeli piutang dengan nilai jaminan
atas pembayaran piutang sesuai dengan ketentuan Pasal 1425 KUH Perdata. Hal
ini pun tidak mungkin dilakukan oleh BPPN. Nilai jaminan berupa dana pada
rekening giro dan deposito ARO adalah sekitar Rp. 900 milyar, sedang kewajiban si
pembeli piutang hanya bernilai sekitar Rp. 400 milyar. Jika hal ini dilakukan, BPPN
harus membayar sekitar Rp. 500 milyar kepada PT Vista Bella Pratama (pembeli
piutang) tanpa memperoleh apa pun dari PT Vista Bella Pratama. Tindakan ini pun
secara hukum dapat dinyatakan sebagai perbuatan yang merugikan keuangan/kekayaan
negara;
Menjumpakan (kompensasi) nilai piutang yang dijual dengan nilai jaminan bagi
pembayaran piutang tersebut. Secara hukum ini dapat dilakukan, karena hak tagih atas
utang merupakan kewajiban PT TPN (Termohon Peninjauan Kembali) untuk membayar
sejumlah uang kepada PT Vista Bella Pratama pada saat utang PT TPN sudah jatuh
tempo, sedangkan jaminan berupa dana pada rekening giro dan deposito
ARO merupakan kewajiban PT Vista Bella Pratama untuk mengembalikannya (dengan
membayar sejumlah uang yang nilainya sama dengan nilai dana pada rekening giro dan
deposito ARO) kepada PT TPN (Termohon Peninjauan Kembali) ;
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1425 KUHPerdata, kedua kewajiban ini dapat
diperjumpakan (kompensasi), dengan mana besarnya utang yang harus dibayar oleh
debitur dikurangi dengan besarnya nilai jaminan yang diserahkan oleh kreditur kepada
debitur. Bahkan Pasal 1426 KUHPerdata menentukan bahwa perjumpaan
utang/perjumpaan kewajiban (kompensasi) ini terjadi secara demi hukum, meski tidak ada
perjanjian di antara para pihak. Perikatan mengenai perhitungan kembali yang ada di antara
BPPN qq Pemohon Peninjauan Kembali II dengan PT Vista Bella Pratama (vide bukti T.II-4 jo
Bukti Baru PPK I, II-13) adalah pelaksanaan dari isi ketentuan Pasal 1425 dan 1426 KUH
Perdata ;
c. Pada saat jual-beli piutang termaksud terjadi, perhitungan kembali ini belum dapat
dilaksanakan, karena jaminan pelunasan utang (dana pada rekening giro dan deposito
ARO atas nama Termohon Peninjauan Kembali yang disimpan pada Pemohon
Peninjauan Kembali I) masih berada dalam status sita oleh Ditjen Pajak (vide bukti T.I-3)
;
d. Dengan demikian, di dalam perjanjian jual beli piutang (vide bukti T.I-6), jaminan utang
tidak diserahkan kepada PT Vista Bella Pratama, tetapi PT Vista Bella Pratama
membuat pernyataan bahwa jaminan tersebut akan diperhitungkan sebagai pengurang
piutang dengan tagihan atas utang Termohon Peninjauan Kembali. (Bukti baru PPK I, II-
13 yang mengukuhkan bukti T.II-4) ;
5) Dengan demikian, pertimbangan judex facti yang dikuatkan oleh judex furis yang
menyatakan bahwa jaminan tersebut harus diserahkan kembali kepada Termohon
Peninjauan Kembali merupakan pertimbangan yang keliru, karena :
a. Tidak memperhatikan adanya niat dan persetujuan di antara para pihak (Pemohon
Peninjauan Kembali II dan PT Vista Bella Pratama) untuk melakukan perhitungan kembali
atas utang Termohon Peninjauan Kembali dengan jaminan yang berupa dana yang ada
pada rekening giro dan deposito ARO Termohon Peninjauan Kembali yang disimpan pada
Pemohon PK I (vide bukti T.II-4 jo Bukti baru PPK I, II-13) ;
b. Tidak memperhatikan ketentuan Pasal 1425 dan 1426 KUH Perdata ;
3. Pertimbangan judex juris yang bertentangan dengan asas-asas hukum pembuktian
merupakan kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan nyata.
1) Bahwa berdasarkan uraian fakta hukum di atas serta memperhatikan putusan Majelis
Kasasi/judex juris dan judex facti tingkat pertama, Pemohon Peninjauan Kembali
keberatan dengan putusan Majelis Kasasi/judex juris dan judex facti yang sama sekali
tidak meneliti dan belum mempertimbangkan beberapa bukti yang diajukan oleh Pemohon
Peninjauan Kembali I padahal bukti-bukti tersebut tidak dapat begitu saja diabaikan dan
268
sangat menentukan kedudukan hukum Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo,
sehingga terbukti terdapat kekeliruan/kekhilafan yang nyata dalam putusan Majelis
Kasasi/judex juris dan judex facti tingkat pertama ;
Bahwa adapun bukti-bukti Pemohon Peninjauan Kembali I tersebut adalah sebagai berikut : a.
Bukti berupa : Surat BPPN kepada Pemohon Peninjauan Kembali I Nomor Prog-
8596/BPPN/1003 tanggal 29 Oktober 2003 (vide bukti T.I-43) yang ditandatangani oleh
Sdr. Muhammad Syahrial selaku Deputi Ketua BPPN yang pada pokoknya berbunyi : ”DPK
TPN (rekening giro dan deposito a/n TPN) yang statusnya disita pajak, baik yang
merupakan jaminan maupun bukan jaminan, penyelesaiannya tidak dialihkan kepada PT
Vista Bella Pratama (investor) sebagai kreditur baru dari asset kredit TPN (Termohon
Peninjauan Kembali). Penanganan selanjutnya menunggu keputusan Pengadilan” ;
b. Bukti berupa : Surat TP BPPN kepada Pemohon Peninjauan Kembali I Nomor: S-
035/POKJA-1/TP-BPPN/0205 tanggal 11 Februari 2005 (vide bukti T.I-51) yang
ditandatangani oleh Sdr. Nyoman Sender selaku Wakil Ketua TP-BPPN yang pada
pokoknya berbunyi : “Bahwa DPK debitur yang merupakan jaminan harus
diperhitungkan terlebih dahulu dengan kewajiban debitur. Pada saat transaksi penjualan
asset kredit TPN kepada PT Vista Bella Pratama (Investor) terdapat surat Pernyataan
Investor tertanggal 20 Juni 2003 perihal perhitungan kembali atas jaminan berupa
simpanan deposito dan/atau giro pada Bank Mandiri (eks Legacy Bank Bumi Daya)
terhadap utang peminjam, sehingga seharusnya terhadap DPK TPN tsb. dilakukan
perhitungan kembali terlebih dahulu untuk mengurangi kewajiban TPN yang telah terjual
kepada investor ” ;
c. Bukti berupa: Surat Sdr. Muhammad Syahrial kepada TP-BPPN tertanggal 28 April 2005
(vide bukti T.I-44) selaku mantan Deputy BPPN yang pada pokoknya menyampaikan
bahwa dengan tidak dialihkannya Akta No. 25, Akta No. 27 dan Akta No. 28 (rekening giro
dan deposito a/n TPN/TDN/Termohon Peninjauan Kembali) oleh BPPN kepada PT Vista
Bella Pratama pada saat dilakukan penjualan, maka setiap dan seluruh hak yang melekat
pada Akta No. 25, Akta No. 27 dan Akta No. 28 (rekening deposito dan giro) a/n Termohon
Peninjauan Kembali) tetap berada pada BPPN untuk ditindaklanjuti.
BahwaMajelis Kasasi/judex juris dan judex facti tingkat pertama tidak memeriksa/meneliti dan
belum mempertimbangkan bukti-bukti Pemohon Peninjauan Kembali I tersebut di atas,
sehingga Majelis Kasasi/judex juris dan judex facti tingkat pertama dalam memberikan
pertimbangan hukum putusannya menjadi keliru ;
Bahwa pertimbangan hukum judex facti tingkat pertama yang menyatakan bahwa dengan tidak
dialihkannya rekening deposito dan giro sebagai jaminan utang Termohon
Peninjauan Kembali/Penggugat kepada PT Vista Bella Pratama berakibat rekening deposito
dan giro tersebut kembali menjadi milik Termohon Peninjauan Kembali, adalah keliru karena
berdasarkan bukti-bukti tersebut, hak atas rekening deposito dan giro a/n TPN tersebut tetap
ada pada BPPN cq Menteri Keuangan RI cq Negara RI karena dari semula rekening deposito
dan giro a/n TPN tidak pernah dialihkan dan tetap menjadi hak BPPN cq Menteri Keuangan
RI cq Negara RI untuk diperhitungkan kembali dengan utang-utang Termohon Peninjauan
Kembali/Penggugat sehingga karenanya Menteri Keuangan selaku pihak yang berhak atas
rekening feposito dan giro a/n TPN tersebut dapat dan berhak untuk meminta pemblokiran
dan bahkan pencairan atas rekening deposito dan giro a/n TPN tersebut. Bahkan PT Vista
Bella Pratama, sebagai pembeli piutang BPPN/Pemohon Peninjauan Kembali II terhadap
Termohon Peninjauan Kembali, menyetujui bahwa dana pada rekening giro dan deposito ARO
termaksud akan diperhitungkan kembali dengan tagihan atas piutang tersebut (Bukti baru
PPK I, II-13);
5) Bahwa oleh karena itu tindakan Pemohon Peninjauan Kembali I yang memenuhi permintaan
Pemohon Peninjauan Kembali II (Menteri Keuangan RI) untuk memblokir rekening deposito
dan giro a/n PT Timor Putra Nasional sesuai surat Menkeu Nomor : S.R-44/MK.01/ 2005
tanggal 19 April 2005 (vide bukti T.I-22) adalah bukan merupakan
269
perbuatan melawan hukum karena permintaan tersebut diajukan oleh pihak yang berhak
atas rekening deposito dan giro a/n PT Timor Putra Nasional (Termohon Peninjauan
Kembali) tersebut, dengan demikian amar putusan judex juris yang menyatakan Pemohon
Peninjauan Kembali I telah melakukan perbuatan melawan hukum dan Pemohon Peninjauan
Kembali II turut bertanggung jawab (Vide Putusan Kasasi halaman 35 sampai dengan
halaman 36 angka 2) adalah merupakan amar putusan yang salah ;
6) Bahwa dengan tidak cermatnya Majelis Kasasi/judex juris dan judex facti pengadilan tingkat
pertama dalam memperhatikan, meneliti dan mempertimbang - kan dalil-dalil dan bukti-
bukti yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali I tersebut, terbukti diperoleh
kesimpulan yang salah dan keliru dalam putusannya, sehingga putusan tersebut telah
merugikan Pemohon Peninjauan Kembali I dan Pemohon Peninjauan Kembali II ;
Bahwa dengan tidak cermatnya Majelis Kasasi/judex juris dan judex facti dalam memperhatikan,
meneliti dan mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh
Pemohon Peninjauan Kembali I dalam mengambil putusannya jelas telah melanggar
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yaitu :
a. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1383 K/Sip/1971 tanggal 23 Juli 1973 yang
berbunyi :”Putusan kasasi yang tidak merinci dalam hal mana judex facti tidak
memberikan pertimbangan yang sesuai dengan kekuasaan serta alat bukti yang
diajukan, tidak dapat dibenarkan” ;
b. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 903 K/Sip/1972 tanggal 10 Oktober 1974 yang
berbunyi: ”Putusan kasasi dan pengadilan tinggi yang tidak mempertimbangkan alat-alat
bukti kedua belah pihak adalah tidak cukup dan harus dibatalkan” ;
8) Dengan demikian putusan judex juris yang tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang
diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali I sebagaimana diuraikan pada angka 3.2
bertentangan dengan yurisprudensi tersebut di atas;
9) Uraian di atas menunjukkan bahwa putusan a quo mengandung kekhilafan atau kekeliruan
nyata. Oleh karenanya, putusan a quo harus dibatalkan oleh putusan peninjauan kembali ;
Judex juris telah melakukan kekeliruan dengan tidak memberikan pertimbangan yang cukup
(onvoldoende gemotiveerd) ;
1) Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 719 K/Pdt/2008 tanggal 22 Agustus 2008
(“putusan quo”) pada halaman 34, alinea terakhir memberikan pertimbangan sebagai
berikut:
“Menimbang bahwa surat bukti T.I-23 tersebut selain tidak secara transparan dan dengan
landasan yuridis yang kuat menjelaskan kepada instansi internal bawahannya sendiri tentang
sebab-sebabnya ada kebijaksanaan yang berubah dan berlawanan dengan dasar-dasar yuridis
sebelumnya, juga menimbulkan ketidak pastian hukum bagi warga negara akibat berubahnya
kebijaksanaan dari sesama sebelumnya dan surat-surat yang menjadi bukti secara yuridis tidak
pernah dibatalkan. Sehingga dengan demikian, bukti yang diajukan oleh Tergugat, yaitu TI-
menjadi kontroversial dengan bukti-bukti Tergugat sebelumnya, bahkan dapat dikatakan
bahwa terdapat pertentangan antara aspek yuridis berhadapan dengan aspek kebijaksanaan
(pertentangan antara segi rechtmatigheid berhadapan dengan segi doelmatigheid dalam
tindakan pemerintah” ;
(Garis bawah dan huruf tebal ditambahkan untuk menjelaskan).
Pertimbangan judex juris di dalam putusan a quo sebagaimana dikutip di atas merupakan
pertimbangan yang kabur atau tidak jelas, karena :
- Tidak menjelaskan perbuatan nyata apa (materieele daden) yang dilakukan oleh Pemohon
Peninjauan Kembali II yang oleh judex juris dinyatakan sebagai tindakan yang “tidak secara
transparan dan dengan landasan yuridis yang kuat menjelaskan kepada instansi internal
bawahannya sendiri” ? ;
Kebijakan nyata apa (reele beleids) yang diambil oleh Pemohon Peninjauan Kembali II yang oleh
judex juris dinyatakan sebagai “kebijaksanaan yang berubah dan berlawanan dengan
270
dasar-dasar yuridis sebelumnya, juga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi warga negara
akibat berubahnya kebijaksanaan dari sesama internal kedinasan” ? ;
- Perjanjian-perjanjian apa yang ada dalam perkara ini yang oleh judex juris dinyatakan sebagai
“berbagai perjanjian sebelumnya dan surat-surat yang menjadi bukti secara yuridis tidak
pernah dibatalkan” ?;
Di halaman 33 dan pada alinea awal di halaman 34 putusan a quo, judex juris mengemukakan
adanya Keputusan Direktur Jenderal Pajak (vide bukti T.I-5) untuk mengembalikan dana pada
rekening giro dan deposito ARO kepada PT TPN (Termohon Peninjauan Kembali).
Keputusan Pemohon Peninjauan Kembali II (vide bukti T.I-23) yang melarang pencairan
dana termaksud oleh Termohon Peninjauan Kembali dianggap oleh judex juris sebagai
bertentangan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut, sehingga judex juris
menyatakan telah terjadi “kebijaksanaan yang berubah dan berlawanan dengan dasar-dasar
yuridis sebelumnya, juga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi warga negara akibat
berubahnya kebijaksanaan dari sesama internal kedinasan”; Pertimbangan judex juris
sebagaimana diuraikan di atas tidak benar.
Keputusan Dirjen Pajak dan Keputusan Menteri Keuangan RI (Pemohon Peninjauan
Kembali II) termaksud bukan merupakan “kebijaksanaan yang berubah dan berlawanan” atau
saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain, karena:
- Keputusan Dirjen Pajak (vide bukti T.I-5) didasarkan pada kedudukan Termohon Peninjauan
Kembali sebagai wajib pajak. Dengan demikian, dana pada rekening giro dan deposito RO
termaksud benar merupakan dana milik Termohon Peninjauan Kembali sebagai wajib pajak ; -
Keputusan Menteri Keuangan RI (Pemohon Peninjauan Kembali II) – vide bukli T.I-23
didasarkan pada kedudukan Termohon Peninjauan Kembali sebagai debitur kepada negara c.q
Pemohon Peninjauan Kembali II. Dana pada rekening giro dan deposito ARO tersebut memang
milik Termohon Peninjauan Kembali, tetapi karena, baik berdasarkan perjanjian yang ada (vide
bukti T.I-41, T.I-42, T.I-45 dan T.I-46), maupun berdasarkan ketentuan hukum (Pasal 1131 KUH
Perdata), dana termaksud merupakan jaminan atas utang, Termohon Peninjauan Kembali
sebagai debitur tidak mempunyai hak untuk mencairkan dana termaksud tanpa
persetujuan dari pihak kreditur (Pemohon Peninjauan Kembali II) ;
4) Uraian di atas menunjukkan bahwa putusan a quo mengandung pertimbangan yang tidak
lengkap, tidak jelas dan kabur. Pertimbangan semacam itu merupakan pertimbangan yang
tidak lengkap (onvoldoende gemotiveerd) yang secara hukum dapat dikategorikan sebagai
“kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan nyata” seperti yang dimaksud di dalam Pasal 67
huruf f UU Mahkamah Agung (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009). Dengan demikian, putusan a quo harus dibatalkan oleh putusan
peninjauan kembali ;
Dalam rangka pengamanan dan pengembalian keuangan negara yang telah dipinjamkan
kepada Termohon Peninjauan Kembali, mohon kiranya Majelis Hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara ini dapat kiranya memenuhi rasa keadilan yang hidup didalam masyarakat.
Uang negara harus kembali kepada negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Esensi dari peradilan adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Sudah merupakan azas hukum bahwa setiap orang yang mempunyai kewajiban berdasarkan
suatu perjanjian, harus memenuhi kewajibannya tersebut. Dengan demikian hukum dan
keadilan tidak akan pernah dapat ditegakkan jika Termohon Peninjauan Kembali sebagai orang
yang mempunyai kewajiban tidak memenuhi kewajibannya untuk melunasi utangnya (yang
merupakan uang negara), bahkan judex facti dan judex juris pada tingkat pertama dan tingkat
kasasi memberikan perlindungan kepada Termohon Peninjauan Kembali dengan menyatakan
Termohon Peninjauan Kembali sebagai pihak yang berhak atas dana pada rekening giro dan
deposito ARO ;
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah
Agung berpendapat :
271
Bahwa alasan-alasan Pemohon Peninjauan Kembali tentang adanya fakta baru tentang
kepemilikan rekening giro dan deposito baru yang menjadi sengketa dalam perkara a quo;
- Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan suatu bukti baru berupa perjanjian
perdamaian yang dikukuhkan oleh putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
364/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst tanggal 27 November 2008 (Bukti PPK I, II-21) yang pada
pokoknya menyatakan bahwa hak tagih BPPN kepada PT Timor Putra Nasional yang semula
telah dijual kepada PT Vista Bella Pratama, kembali beralih kepada Pemohon Peninjauan
Kembali II ;
Bahwa walaupun Termohon Peninjauan Kembali di dalam kontra memori
peninjauankembalinya, menyatakan bahwa Termohon Peninjauan Kembali bukan pihak yang
terlibat dalam perjanjian perdamaian, sehingga ia tidak terikat dengan perjanjian perdamaian
tersebut, namun substansi perjanjian perdamaian yang dikukuhkan oleh putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan adalah menyangkut obyek gugatan/sengketa antara Penggugat melawan
Tergugat I dan Tergugat II dan bersangkut paut dengan pertimbangan judex juris ;
Bahwa harus diakui bahwa bukti PPK I,II-21 tersebut tidak termasuk katagori novum menurut
Pasal 67 huruf b dalam arti bahwa surat bukti tersebut baru ada setelah perkara ini diperiksa
di pengadilan ;
Bahwa akan tetapi surat bukti ini sangat menentukan karena :
a. Perjanjian pengalihan hutang antara BPPN dengan PT Visa Bella Pratama, merupakan titik
tolak Majelis Kasasi dalam perkara a quo (No. 719K/Pdt/2008), bahkan di dalam kesimpulan
Hakim Kasasi menyatakan “…. dari urutan secara kronologis tersebut di atas, terlihat bahwa
ditinjau secara yuridis, pihak PT Timor Putra Nasional yang tetap menjadi piutang BBPN
telah dialihkan/dijual kepada kreditur baru (PT Vista Bella Pratama)”.
Walaupun Majelis Kasasi tidak menyebutkan konsekuensi hukum dari pengalihan tersebut,
namun dapat diartikan bahwa Majelis Kasasi tidak melihat lagi adanya kepentingan hukum
dari Tergugat (Pemohon Kasasi) atas tagihan tersebut karena telah beralih ke pihak lain ;
b. Fakta yang diungkapkan dalam surat bukti tersebut, belum ada pada saat putusan kasasi
diucapkan ;
Bahwa dengan adanya surat bukti tersebut di atas, maka landasan yuridis dari putusan kasasi
terpatahkan ;
Bahwa dengan adanya perdamaian tersebut, maka hutang Penggugat kembali kepada Tergugat
II, sehingga yang akan dipertimbangkan oleh Majelis apakah hutang dari Penggugat masih
tetap ada atau tidak ;
Menimbang, bahwa Majelis akan mempertimbangkan perkara/perselisihan antara Penggugat
dengan Tergugat dihubungkan dengan bukti baru yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan
Kembali ;
Bahwa obyek persengketaan adalah pencairan dana rekening giro dan deposito ARO atas nama Penggugat yang
diblokir oleh Tergugat I dan Tergugat II, dengan dalil :
menurut Penggugat, pemblokiran tersebut
adalah tidak sah, karena persoalan pajak Penggugat telah dinyatakan selesai (clear) oleh
Direktorat Jenderal Pajak;
menurut Tergugat pemblokiran tersebut
dilakukan karena rekening giro dan deposito ARO tersebut merupakan jaminan hutang
Penggugat ;
- Bahwa mengenai masalah pemblokiran yang dilakukan dengan dasar adanya tunggakan
pajak telah dapat dibuktikan oleh Penggugat, sehingga keluar PenetapanPengadilan Negeri
02/Cons/2005/PN.Jkt.Selatan, yang memerintahkan untuk menerima konsinyasi deposito
dan giro pada saat dilaksanakan transfer dana sebesar Rp. 1.027.162.267.620,- dan giro US$
3,974.64. Dengan demikian persoalan tunggakan pajak dalam hubungan dengan
pemblokiran telah selesai;
272
- Bahwa yang menjadi masalah selanjutnya dalam perkara a quo adalah apakah Penggugat
masih mempunyai hutang yang belum dibayar kepada Tergugat I yang kemudian
diambilalih oleh BPPN (sekarang Menteri Keuangan/ Tergugat II) ;
Bahwa dari bukti baru (novum) yang diajukan oleh Tergugat ternyata bahwa Penggugat
berhutang kepada :
PT Bank Bumi Daya (Persero) sebesar US$ 6.248.382,73 (Bukti PK I.II-1) ;
PT Bank Bumi Daya (Persero) sebesar US$9.201.485,97 (Bukti PK I.II-2) ;
PT Bank Bumi Daya (Persero) sebesar US$ 8.731.627,11 (Bukti PK I.II-3) ;
4. PT Bank Bumi Daya (Persero) sebesar US$ 13.385.158,40 (Bukti PK I.II-4);
- Bahwa atas hutang-hutang tersebut oleh Hutomo Mandala Putra (Komisaris Utama)
dan Moedjiono (Direktur Utama) telah diterbitkan surat sanggup (aksep/promes) dan berjanji
tanpa syarat untuk membayar kepada PT Bank Bumi Daya sebesar US$ 260.112.095 pada
tanggal 21 September 1999 (Bukti PPK I.II-5);
Bahwa kemudian hutang-hutang tersebut oleh Penggugat telah diberikan jaminan bank berupa
jaminan fiducia (PPK I.II-6,7) dan Cessie (PPK I,II-8);
Bahwa seharusnya, apabila Penggugat akan mencairkan dana rekening dan deposito atas nama
miliknya, terlebih dahulu ia harus membuktikan bahwa hutang-hutangnya tersebut sudah tidak
ada lagi ;
- Bahwa namun ternyata Penggugat sama sekali tidak dapat membuktikan dalil bantahan
terhadap klaim dari Tergugat I dan Tergugat II yang menyatakan Penggugat masih mempunyai
hutang ;
- Bahwa dengan demikian dana rekening dan deposito yang dituntut oleh Penggugat dalam
perkara a quo harus ditolak karena kewajibannya kepada Tergugat I dan atau Tergugat II masih
ada atau belum lunas ;
274
PERKEMBANGAN PENYELESAIAN PIUTANG NEGARA
Usul Penghapusan Secara Bersyarat dilampiri daftar nominatif & surat PSBDT;
Usul Penghapusan Secara Mutlak dilampiri daftar nominatuf & SK Pengahpusan secara
bersyarat.
Presiden
Komite Pengarah
Komite (menteri keuangan Bank
Kebijaksanaan &Gubernur Bank
Indonesia)
276
KEDUDUKAN LEMBAGA TERTINGGI DAN TINGGI NEGARA BERDASARKAN INTERPRETASI
UUD 1945
277
KEDUDUKAN LEMBAGA TERTINGGI DAN TINGGI NEGARA SETELAH AMANDEMEN UUD
1945
278
279