IS-an Elmi
NlP. 19600127 198102 1 001
Tembusan:
1. Kepala BPKP (sebagai laporan).
2. Sekretaris Utama dan para Deputi Kepala BPKP selaku pembina.
Petunjuk Teknis Penilaian Risiko Kecurangan
(Fraud Risk Assessment) atas Program Reforma Agraria
pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/
Badan Pertanahan Nasional
2019
A. Perencanaan ................................................................................. 36
B. Pelaksanaan .................................................................................. 37
C. Pelaporan ...................................................................................... 39
LAMPIRAN
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
iv
PEDOMAN PENILAIAN RISIKO KECURANGAN
(FRAUD RISK ASSESSMENT) ATAS PROGRAM
REFORMA AGRARIA PADA KEMENTERIAN AGRARIA
DAN TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Reforma Agraria merupakan suatu upaya sistematik, terencana dan
dilakukan secara relatif cepat, dalam jangka waktu tertentu dan
terbatas, untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial serta
menjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat “baru” yang
demokratis dan berkeadilan. Upaya tersebut dimulai dengan langkah
menata ulang penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
(legalitas aset) dan kekayaan alam lainnya. Kemudian dilanjutkan
dengan sejumlah program pendukung lain (akses reform) untuk
meningkatkan produktivitas petani khususnya dan perekonomian
masyarakat pada umumnya.
2. Program kerja pemerintah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden
Jusuf Kalla yang dirumuskan sebagai Nawacita salah satunya
menyebutkan Cita ke-5 yaitu “...Program Indonesia Kerja dan Indonesia
Sejahtera dengan mendorong landreform dan program kepemilikan
tanah seluas 9 Juta Hektar” yang dituangkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2015-2019), adalah
target program kepemilikan tanah seluas 9 Juta Hektar, yang akan
dilakukan melalui Redistribusi Tanah Obyek Landreform 4,5 juta hektar
dan Legalisasi aset lainnya 4,5 juta hektar.
3. Terdapat banyak kasus korupsi di bidang agraria diantaranya:
1
a. Manipulasi ganti kerugian tanah perkebunan.
b. Pemerasan/pungutan liar ganti kerugian pada masyarakat
penerima.
c. Hak Guna Usaha (HGU) yang tak sesuai luas kebun.
d. Penggunaan tanah kerja sama operasional (KSO) yang diduga
rawan praktik koruptif yang bekerja sama dengan pejabat BUMN.
e. Penyalahgunaan wewenang Pejabat BPN sehingga banyak proses
penerbitan izin yang tak memenuhi syarat clean and clear.
4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah, mendorong penerapan manajemen
risiko yang dijabarkan dalam 5 unsur pengendalian. Dalam
perkembangannya, Internal Control-Integrated Framework (COSO, 2013)
menyebutkan bahwa terdapat 6 pendekatan yang perlu dilakukan
organisasi dalam memenuhi salah satu prinsip dalam unsur kedua
tentang penilaian risiko, yaitu prinsip bahwa organisasi
mempertimbangkan kemungkinan terjadi kecurangan dalam proses
pencapaian tujuan organisasi.
5. Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019,
Butir 7.3 Kerangka Kelembagaan dalam Prioritas Penguatan Kerangka
Kelembagaan 2015-2019, Poin 2a. memberi amanat kepada BPKP untuk
berperan dalam mengoptimalisasi keberadaan Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah (SPIP) dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah
(APIP). Salah satu upaya meningkatkan kapabilitas APIP dalam
mencegah terjadinya korupsi yang sekaligus mendorong tingkat
kematangan penerapan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah adalah
dengan melakukan penilaian risiko kecurangan/fraud risk assessment
(FRA) pada Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah.
Sejalan dengan pertimbangan di atas, untuk memberikan penguatan SPIP
dalam pencegahan korupsi, Deputi Bidang Investigasi menyelenggarakan
Penilaian Risiko Kecurangan/Fraud Risk Assessment (FRA) atas Kegiatan
Reforma Agraria sebagai langkah awal mitigasi risiko kecurangan. Sebagai
2
acuan operasional pelaksanaan FRA atas program Reforma Agraria, Deputi
Bidang Investigasi menerbitkan Petunjuk Teknis Fraud Risk Assessment
(FRA) Program Reforma Agraria pada Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional melengkapi Peraturan Deputi Kepala
BPKP Bidang Investigasi Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pedoman Penilaian
Risiko Kecurangan.
3
2. Menetapkan ruang lingkup, memberikan gambaran umum, proses
bisnis pada program reforma agraria.
3. Menyediakan perlengkapan-perlengkapan formulir dalam pelaksanaan
kegiatan penilaian risko kecurangan pada program reforma agraria.
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang penyusunan petunjuk teknis
penilaian risiko kecurangan pada program reforma agraria, dasar
hukum penugasan, tujuan dan manfaat, ruang lingkup, dan
struktur pedoman.
BAB 2 PROSES BISNIS REFORMA AGRARIA
Bab ini memuat penjelasan gambaran umum dan proses bisnis
reforma agraria yaitu penataan aset berupa: kegiatan Inventarisasi
Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah
(IP4T); kegiatan redistribusi tanah; dan kegiatan legalisasi aset;
serta penataan akses.
BAB 3 PELAKSANAAN PENILAIAN RISIKO KECURANGAN
(FRAUD RISK ASSESSMENT) PROGRAM REFORMA AGRARIA
Bagian ini menguraikan jadwal pelaksanaan kegiatan, tahapan
pelaksanaan, serta urgensi pelaporan sebagai sebuah media
komunikasi dan informasi yang dimuat dalam sebuah laporan
hasil penilaian risiko kecurangan berikut format laporannya.
4
BAB 2
REFORMA AGRARIA
5
Dalam pelaksanaan reforma agraria terdapat 2 (dua) skema yang dapat
digunakan untuk menentukan lokasi pelaksanaan reforma agraria, yaitu:
a. Skema akses mengikuti aset
Penataan akses oleh para pemangku kepentingan dilaksanakan atas
aset yang telah dilegalisasi oleh Kementerian ATR/BPN.
b. Skema aset mengikuti akses
Kegiatan legalisasi aset oleh Kementerian ATR/BPN dilakukan pada aset
yang telah atau sedang dilakukan penataan akses oleh para pemangku
kepentingan.
Skema tersebut bertujuan untuk mempermudah para pemangku
kepentingan menyinkronkan dan mengoptimalkan kegiatan-kegiatan yang
telah direncanakan.
Penyelenggaraan reforma agraria dilakukan atas Tanah Objek Reforma
Agraria (TORA) dalam 2 tahapan yaitu perencanaan dan pelaksanaan.
Perencanaan reforma agraria meliputi a) perencanaan penataan aset
terhadap penguasaan dan pemilikan TORA; b) perencanaan terhadap
penataan akses dalam penggunaan dan pemanfaatan serta produksi atas
TORA; c) perencanaan peningkatan kepastian hukum dan legalisasi atas
TORA; d) perencanaan penanganan sengketa dan konflik agraria; dan e)
perencanaan kegiatan lain yang mendukung reforma agraria.
6
2. Dasar Hukum Reforma Agraria
a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria.
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
c. Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
d. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap.
7
Gambar 2. 2 Kelembagaan Reforma Agraria
8
Harian GTRA Pusat. Tim Pelaksana Harian GTRA Pusat memiliki tugas
sebagai berikut:
1) Menyusun rencana kerja penyelenggaraan reforma agraria di tingkat
pusat;
2) Menyiapkan administrasi kegiatan penyelenggaraan reforma agraria;
3) Melaksanakan supervisi dan verifikasi penyelenggaraan reforma agraria;
4) Menyiapkan bahan dan data dalam rangka kordinasi penyediaan Tanah
Obyek Reforma Agraria (TORA);
5) Menyiapkan bahan dan data dalam rangka pelaksanaan penataan akses
reforma agraria;
6) Menyiapkan bahan dan data integrasi penataan aset dan akses reforma
agraria di tingkat pusat; dan
7) Menyiapkan konsep laporan hasil penyelenggaraan reforma agraria.
11
7) Penyusunan data by name by address penataan aset dan penataan
akses di tingkat kabupaten/Kota;
8) Menyusun dan membuat system data base TORA di tingkat
kabupaten/Kota;
9) Menyusun dan menyampaikan Laporan GTRA Kabupaten/Kota kepada
GTRA Provinsi.
Pelaksanaan reforma agraria baik pada penataan aset maupun penataan
akses melibatkan GTRA dan Kelompok Kerja (Pokja)/Satuan Tugas (Satgas)
pada Kantor Pertanahan dengan tetap memperhatikan tugas pokok dan
fungsi masing-masing.
1. Penataan Aset
Penataan aset dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang
Reforma Agraria diartikan sebagai penataan kembali penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam rangka menciptakan
keadilan dibidang penguasaan dan pemilikan tanah. Penataan aset terdiri
dari 2 (dua) kegiatan yaitu redistribusi tanah dan legalisasi aset.
12
a. Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan
Tanah (IP4T)
13
a) Desa/Kelurahan yang merupakan lokasi tanah obyek landreform (TOL)
sesuai SK. TOL Lama atau SK. Kepala Inspeksi Agraria (Kinag) yang
belum teridentifikasi secara tepat bidang-bidang Tanah dimaksud dalam
SK.
b) Desa/Kelurahan yang terdapat Tanah Negara dengan penggunaan tanah
pertanian dan non pertanian yang dapat ditegaskan menjadi Tanah
Obyek Landreform.
c) Desa/Kelurahan yang terdapat Tanah Kelebihan Maksimum, Absentee,
Swapraja dan Bekas Swapraja.
d) Desa/Kelurahan yang memiliki potensi untuk ditindaklanjuti kegiatan
legalisasi aset seperti PRONA, Konsolidasi Tanah, dan lain-lain.
e) Desa/Kelurahan yang merupakan desa kegiatan IP4T tahun
sebelumnya, namun belum lengkap pengambilan data P4Tnya.
f) Desa/Kelurahan yang terdapat konflik/sengketa pertanahan.
g) Desa/Kelurahan yang terdapat Lokasi Transmigrasi, namun belum
bersertifikat.
h) Desa/Kelurahan yang terdapat Hak Guna Usaha yang dilepaskan secara
sukarela kepada negara, atau HGU telah habis.
i) Desa/Kelurahan yang terdapat hasil penertiban Tanah Terlantar yang
telah diterbitkan SK Tanah Cadangan Umum Negara (TCUN).
j) Desa/Kelurahan yang terdapat Tanah yang telah dilepaskan dari
Kawasan Hutan.
k) Desa/Kelurahan yang terdapat tanah timbul.
l) Desa/Kelurahan yang terdapat bekas tambang yang telah direklamasi.
14
Gambar 2. 4 Tahapan Pelaksanaan Kegiatan IP4T
15
Gambar 2. 5 Inventarisasi dan Pengumpulan Data
IP4T dilaksanakan oleh petugas Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
bersama dengan Pembantu Desa/Lapangan yang sudah diberi pelatihan.
Kontrol kualitas pelaksanaan IP4T dilaksanakan oleh Petugas
Kanwil/Kantah yang ditunjuk, sedangkan supervisi, monitoring dan
evaluasi IP4T dilakukan oleh petugas dari Kanwil BPN Provinsi dan
Direktorat Jenderal Penataan Agraria melalui Direktorat Landreform.
Kemajuan pelaksanaan IP4T selain di-input pada Sistem Kendali Mutu dan
Progam Pertanahan (SKMPP) Kementerian ATR/BPN secara rutin tiap bulan
juga dilaporkan secara triwulan. Melalui SKMPP tersebut informasi
pelaksanaan kegiatan IP4T dapat up to date.
b. Redistribusi Tanah
16
redistribusi tanah adalah tanah-tanah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 yang fungsi penggunaan
dan pemanfaatannya berupa tanah pertanian dan non pertanian sesuai
dengan peruntukan Rencana Tata Ruang, serta ditetapkan menjadi Tanah
Objek Reforma Agraria (TORA) oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk dan
ditegaskan menjadi objek redistribusi tanah dalam rangka memberikan alas
hak/bukti kepemilikan tanah oleh negara kepada subjek redistribusi tanah.
Sementara subjek redistribusi tanah adalah subjek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 terdiri atas a)
orang perseorangan, b) kelompok masyarakat dengan Hak Kepemilikan
Bersama, atau c) badan hukum.
17
Gambar 2. 6 Bisnis Proses Kegiatan Redistribusi Tanah
19
d. Kegiatan Penetapan Objek dan Subjek
Penetapan objek, tahapannya yaitu Berita Acara Hasil Sidang Panitia
Pertimbangan Landreform disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Pertanahan untuk
diusulkan penetapan objeknya, setelah usulan diterima selanjutnya
Bidang Penataan Pertanahan Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional membuat Risalah Pengolahan Data (RPD). Sedangkan, apabila
objek dan subjek tidak memenuhi syarat maka tidak ditindaklanjuti
atau diproses melalui legalisasi aset. Berdasarkan RPD tersebut, Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Surat
Keputusan Penetapan Tanah Yang Dikuasai Langsung Oleh Negara
Menjadi Tanah Objek Redistribusi dengan dilampirkan peta keliling.
Sedangkan, penetapan subjek redistribusi tanah, tahapannya yaitu
Berita Acara Hasil Sidang Panitia Pertimbangan Landreform dan Surat
Keputusan Penetapan Tanah Yang Dikuasai Langsung Oleh Negara
Menjadi Tanah Objek Redistribusi disampaikan kepada Bupati/Walikota
untuk ditetapkan subjeknya.
e. Kegiatan Penerbitan Surat Keputusan (SK) Redistribusi Tanah
Penerbitan Surat Keputusan redistribusi tanah dilakukan oleh Kepala
Kantor Pertanahan didasarkan pada:
Surat Keputusan Penetapan Objek Redistribusi Tanah oleh Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan
Surat Keputusan Penetapan Subjek Redistribusi Tanah dari
Bupati/Walikota.
Namun, apabila masih terdapat sengketa dalam penetapan objek
maupun subjek redistribusi tanah maka penerbitan Surat Keputusan
redistribusi tanah ditunda.
f. Kegiatan Pembukuan Hak Dan Penerbitan Sertifikat
Kegiatan pembukuan hak dan penerbitan sertifikat dilaksanakan
dengan mempertimbangkan pemenuhan kewajiban yang tercantum
dalam Surat Keputusan Redistribusi Tanah. Hasil kegiatan pembukuan
20
hak dan penerbitan sertifikat tersebut dituangkan menjadi Laporan
Kegiatan Redistribusi Tanah.
g. Penyerahan Sertifikat dan Bina Penerima Tanah
Tahapan akhir kegiatan redistribusi tanah yaitu Penyerahan Sertifikat
dan Bina Penerima Tanah, dimulai dengan penyerahan sertifikat kepada
penerima redistribusi tanah yang kemudian dilakukan pembinaan
kepada penerima tanah melalui kegiatan penataan akses.
c. Legalisasi Aset
21
dan Transmigrasi dan/atau bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk
yang menyatakan bahwa pembinaannya telah diserahkan kepada
pemerintah kabupaten/kota dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab
pemerintah kabupaten/kota.
Objek legalisasi aset yang sudah ditetapkan, diberikan kepada subjek
reforma agraria melalui mekanisme sertifikat tanah transmigrasi dan
sertifikat tanah yang dimiliki masyarakat. Subjek reforma agraria atas
tanah transmigrasi merupakan orang perseorangan yang terdiri atas kepala
keluarga beserta anggota keluarganya sesuai ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Sedangkan subjek reforma agraria tanah yang
dimiliki masyarakat terdiri atas a) orang perseorangan, b) kelompok
masyarakat dengan hak kepemilikan bersama, dan c) badan hukum.
23
(4) Setiap penetapan lokasi agar dilampirkan Peta Lokasi yang
dipakai sebagai Peta Kerja bagi pengumpul data fisik dan
pengumpul data yuridis.
c) Persiapan;
(1) Setelah lokasi PTSL ditetapkan, Kepala Kantor Pertanahan
melakukan persiapan pelaksanaan kegiatan PTSL dengan
menyiapkan:
sarana dan prasarana pelaksanaan kegiatan PTSL;
sumber daya manusia;
kebutuhan transportasi;
koordinasi dengan aparat pemerintah lainnya;
alokasi anggaran; dan
peta dasar pendaftaran yang berbentuk peta garis atau peta foto.
(2) Melakukan identifikasi tentang K1, K2, K3 yang berasal dari bidang-
bidang tanah yang belum terdaftar serta K4 yang berasal dari
bidang-bidang tanah terdaftar.
d) Pembentukan dan penetapan panitia ajudikasi PTSL dan satuan tugas;
(1) Kepala Kantor Pertanahan membentuk dan menetapkan Panitia
Ajudikasi PTSL dan satgas, yang dituangkan dalam bentuk
keputusan.
(2) Panitia Ajudikasi PTSL terdiri atas:
Ketua merangkap anggota, yang dijabat oleh pegawai Kantor
Pertanahan;
Wakil Ketua bidang fisik merangkap anggota, yang dijabat oleh
pegawai Kantor Pertanahan yang memahami urusan
infrastruktur pertanahan;
Wakil Ketua bidang yuridis merangkap anggota, yang dijabat
oleh pegawai Kantor Pertanahan yang memahami urusan
hubungan hukum pertanahan;
Sekretaris, yang dijabat oleh pegawai Kantor Pertanahan;
Kepala Desa/Kelurahan setempat atau Pamong Desa/Kelurahan
yang ditunjuknya; dan
24
Anggota dari unsur Kantor Pertanahan, sesuai kebutuhan.
(3) Panitia Ajudikasi PTSL dibantu oleh Satgas Fisik, Satgas Yuridis dan
Satgas Administrasi. Selanjutnya kegiatan pada tahap penyuluhan
sampai dengan akhir dilaksanakan oleh ketiga satgas tersebut.
e) Penyuluhan;
(1) Penyuluhan dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan beserta
Panitia Ajudikasi PTSL, Satgas Fisik dan Satgas Yuridis.
(2) Penyuluhan dilakukan kepada masyarakat, baik yang sudah
maupun belum memiliki sertifikat. Selain kepada masyarakat,
penyuluhan juga dapat dilakukan kepada Pemerintah Daerah,
Instansi terkait, Penegak Hukum dan/atau tokoh-tokoh masyarakat.
f) Pengumpulan data fisik dan pengumpulan data yuridis;
(1) Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan dan pemeliharaan data fisik
dan data yuridis penetapan hak dan pendaftaran tanah
menggunakan daftar isian, blanko, peta dan daftar lainnya serta
isian atau entri yang ada dalam aplikasi KKP.
(2) Pengumpulan data fisik dilaksanakan melalui kegiatan pengukuran
dan pemetaan bidang tanah.
(3) Pengukuran dan pemetaan bidang tanah dilakukan dengan
menggunakan teknologi survei dan pemetaan terdiri dari metode
terestris, metode fotogrametris, metode satelit, atau metode
kombinasi dari ketiga metode dimaksud.
g) Penelitian data yuridis untuk pembuktian hak;
(1) Pengumpulan data yuridis meliputi pengumpulan alat bukti
mengenai kepemilikan atau penguasaan tanah, baik bukti tertulis,
keterangan saksi dan/atau pernyataan yang bersangkutan.
(2) Penelitian data yuridis dilakukan oleh Satgas Yuridis dengan
berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan untuk
pembuktian hak.
(3) Dalam hal bukti kepemilikan tanah masyarakat tidak lengkap atau
tidak ada sama sekali maka dapat dilengkapi dan dibuktikan dengan
25
surat pernyataan tertulis tentang pemilikan dan/atau penguasaan
fisik bidang tanah dengan itikad baik oleh yang bersangkutan.
(4) Pelaksana kegiatan PTSL dalam melakukan penelitian data
yuridis untuk pembuktian hak dilaksanakan sebatas pada
kebenaran formal, sedangkan kebenaran materiil akan
menjadi tanggung jawab peserta PTSL.
h) Pengumuman data fisik dan data yuridis serta pengesahannya;
(1) Rekapitulasi data yuridis yang sudah dituangkan dalam Risalah
Penelitian Data Yuridis mengenai bidangbidang tanah yang sudah
dipetakan dalam peta bidang-bidang tanah, dimasukkan dalam
Daftar Data Yuridis dan Data Fisik Bidang Tanah.
(2) Untuk memenuhi asas publisitas dalam pembuktian
kepemilikan tanah, maka data fisik dan data yuridis bidang
tanah serta peta bidang-bidang tanah diumumkan.
i) Penegasan konversi, pengakuan hak dan pemberian hak;
Dalam hal data fisik dan data yuridis bidang tanah memenuhi syarat
untuk diterbitkan Sertifikat Hak atas Tanah (Kluster 1) maka
berdasarkan Berita Acara Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis,
Ketua Panitia Ajudikasi PTSL menindaklanjuti dengan:
(1) Penegasan konversi, apabila alat bukti kepemilikan
lengkap.
(2) Penetapan penegasan, apabila alat bukti kepemilikan dan/atau
penguasaan tidak lengkap/tidak ada sama sekali.
(3) Mengusulkan pemberian hak atas bidang tanah, apabila status
tanahnya adalah tanah negara.
j) Pembukuan hak;
Penegasan konversi dan pengakuan hak serta penetapan keputusan
pemberian hak, maka hak milik, hak guna bangunan, hak pakai
dan/atau wakaf dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.
k) Penerbitan sertifikat hak atas tanah;
Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Wakaf yang sudah
didaftarkan dalam buku tanah dan memenuhi syarat untuk diberikan
26
tanda bukti haknya, diterbitkan sertifikat hak atas tanah. Data yuridis
yang dicantumkan dalam sertifikat meliputi pembatasan-pembatasan
termasuk pembatasan dalam pemindahan hak, pembatasan dalam
penggunaan tanah menyangkut garis sempadan pantai atau
pembatasan lainnya.
l) Pendokumentasian dan penyerahan hasil kegiatan;
Panitia Ajudikasi PTSL melakukan pengumpulan, pengelompokan,
pengolahan, dan penyimpanan data PTSL, yang meliputi:
(1) dokumen data yuridis yang terdiri atas identitas pemegang hak, alas
hak, berita acara yang dibuat panitia, bukti pengumuman, berita
acara pengesahan data fisik dan data yuridis dan surat keputusan
pemberian hak;
(2) dokumen data fisik meliputi data pengukuran dan perhitungan hasil
pengukuran, gambar ukur, peta bidang tanah, dan surat ukur;
(3) daftar isian pendaftaran tanah dan hak atas tanah;
(4) buku tanah;
(5) sertifikat Hak atas Tanah;
(6) bukti-bukti administrasi keuangan; dan
(7) data administrasi lainnya.
Ketua Panitia Ajudikasi PTSL menyerahkan hasil pelaksanaan kegiatan
PTSL kepada Kepala Kantor Pertanahan pada akhir kegiatan PTSL dan
disertai dengan data PTSL.
m) Pelaporan
Pelaporan pelaksanaan kegiatan PTSL dilaksanakan pada saat:
(1) terjadi permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan PTSL; dan
(2) PTSL selesai dilaksanakan.
Melalui kegiatan PTSL diharapkan agar semua bidang tanah dalam 1 (satu)
Desa/Kelurahan dapat terdaftar kepemilikannya. Oleh karena itu
pelaksanaannya dilakukan secara berkelanjutan. Dalam rangka
mewujudkan harapan tersebut, lokasi PTSL Tahun 2017 dan Tahun 2018
yang belum dapat diterbitkan sertifikat hak atas tanahnya, akan dapat
27
ditetapkan kembali sebagai wilayah penetapan lokasi PTSL pada
Tahun 2019.
Pengukuran dan pemetaan bidang tanah sistematis lengkap dalam rangka
pendaftaran tanah dilaksanakan dengan metode terestris, fotogrametris,
pengamatan satelit dan kombinasi dari ketiga metode tersebut. Pemilihan
dan penentuan metode pengukuran dan pemetaan sepenuhnya menjadi
tanggung jawab setiap Kantor Pertanahan. Sebelum pelaksanaan
pengukuran dan pemetaan bidang tanah harus disediakan Peta Kerja yang
bersumber dari a) peta dasar pendaftaran sesuai dengan standar yang
berlaku, dan b) data mentah CSRT (raw data) dan/atau peta foto udara dari
wahana pesawat udara nirawak (Unmanned Aerial Vehicle) .
Pelaksanaan kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang tanah
dalam rangka PTSL dilakukan dalam dua mekanisme yaitu Swakelola dan
Pihak Ketiga. Secara swakelola dilakukan oleh petugas ukur ASN dan atau
SKB perorangan, sedangkan secara Pihak Ketiga dilaksanakan oleh KJSKB
atau Perusahaan (Badan Hukum Perseroan) di bidang industri survei,
pemetaan dan informasi geospasial.
2. Penataan Akses
28
Gambar 2. 7 Kegiatan Penataan Akses
29
yang difasilitasi dan didampingi oleh pemangku kepentingan terkait.
Tahapan penataan akses meliputi:
Start
Finish
30
a) Pembentukan organisasi
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota membentuk Pokja
Pemberdayaan Hak Atas Tanah Masyarakat tingkat Kabupaten/Kota
yang tujuannya melakukan percepatan koordinasi, kerjasama dan
sinergi antara Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dengan OPD,
Instansi Jasa Keuangan, serta pemangku kepentingan terkait. Kelompok
Kerja (Pokja) Pemberdayaan Hak Atas Tanah Masyarakat beranggotakan
unsur dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan pemangku
kepentingan terkait.
b) Penetapan lokasi kegiatan pemberdayaan hak atas tanah masyarakat
Penetapan lokasi dilakukan untuk menentukan desa/kelurahan, tempat
dilaksanakannya kegiatan pemberdayaan hak atas tanah masyarakat.
Pemilihan lokasi desa/kelurahan ditentukan oleh Pokja sesuai dengan
kriteria tertentu, antara lain:
(1) Jumlah sertifikat bidang tanah yang telah diterbitkan.
(2) Data dari pemangku kepentingan terkait mengenai model
pemberdayaan yang sedang dikembangkan di salah satu
desa/kelurahan.
(3) Lokasinya terjangkau, sesuai dengan kondisi infrastruktur, sarana
dan prasarana yang ada.
(4) Masyarakat di lokasi desa/kelurahan yang ditetapkan sebagai mitra
binaan bersama.
c) Pemetaan sosial
Pemetaan sosial adalah pengumpulan informasi sosial pada
desa/kelurahan yang telah ditetapkan sebagai lokasi kegiatan
pemberdayaan hak atas tanah masyarakat. Pemetaan sosial
menghasilkan data warga masyarakat yang telah menjadi pelaku usaha
atau mempunyai potensi menjadi pelaku usaha baru. Data tersebut
digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam menentukan
model pemberdayaan hak atas tanah masyarakat atau prioritas dalam
pelaksanaan kegiatan legalisasi aset/pensertifikatan hak atas tanah
masyarakat.
31
Pemetaan sosial dilaksanakan dengan metode observasi, wawancara,
pengecekan lapangan terhadap data pendukung, pendataan spasial
bidang tanah, dan pendataan visual.
d) Penyuluhan dalam rangka pengembangan kegiatan
Penyuluhan dilaksanakan oleh Pokja Kabupaten/Kota, di lokasi yang
telah ditetapkan sebagai lokasi kegiatan Pemberdayaan Hak Atas Tanah
Masyarakat. Peserta penyuluhan adalah masyarakat peserta kegiatan
Pemberdayaan Hak Atas Tanah Masyarakat yang nantinya akan
membentuk kegiatan usaha bersama. Jumlah peserta disesuaikan
dengan dengan DIPA masing-masing Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota.
Hasil yang diharapkan adalah meningkatnya pengetahuan dan
pemahaman masyarakat dalam upaya membangun kelompok/kegiatan
usaha bersama di masyarakat.
e) Penyusunan Model Pemberdayaan
Penyusunan model pemberdayaan dan pembentukan kegiatan usaha
bersama pada lokasi pemberdayaan hak atas tanah masyarakat
dilaksanakan oleh Pokja melalui rapat persiapan di Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota. Hasil yang diharapkan adalah terbangunnya model
pemberdayaan masyarakat dalam bentuk kegiatan usaha bersama.
f) Pendampingan Pemberdayaan
Pendampingan pada dasarnya merupakan upaya membangun
partisipasi masyarakat dalam mengembangkan berbagai potensi yang
dimilikinya, sehingga mampu mencapai kualitas kehidupan yang lebih
baik. Pendampingan pemberdayaan masyarakat bertujuan
meningkatkan keterampilan SDM Penerima Manfaat melalui proses
pembinaan, konsultasi/bimbingan teknis/sekolah lapang/fasilitasi,
kemitraan, untuk meningkatkan usaha, produksi, dan pemasaran hasil
usaha.
g) Evaluasi dan Pelaporan
Tahap akhir pelaksanaan kegiatan pemberdayaan hak atas tanah
masyarakat adalah evaluasi dan pelaporan. Evaluasi dilaksanakan
32
melalui rapat koordinasi Pokja Pemberdayaan Hak Atas Tanah
Masyarakat di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Hasil dari Rapat
Koordinasi Pokja adalah laporan akhir pelaksanaan kegiatan
pemberdayaan hak atas tanah masyarakat. Laporan tersebut
disampaikan secara berjenjang kepada Kantor Wilayah BPN Provinsi
dan Kementerian ATR/BPN c.q. Direktorat Jenderal Hubungan Hukum
Keagrariaan dan ditembuskan ke Direktorat Pemberdayaan Hak Atas
Tanah Masyarakat. Agar kegiatan pemberdayaan hak atas tanah
masyarakat dapat tetap berkelanjutan, maka Kantor Pertanahan dan
pemangku kepentingan terkait harus tetap melakukan pendampingan
terhadap kelompok/kegiatan usaha bersama tersebut.
34
hukum hak atas tanah, juga sebagai aset yang hidup dan dapat menjadi
modal dasar bagi peningkatan akses modal, usaha, produksi serta
pemasarannya yang bermuara pada peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat.
d) Pengembangan dan Diseminasi Model Pemberdayaan
Berdasarkan hasil inventarisasi potensi dalam pemetaan sosial, dan
usaha pendampingan yang akan diberikan, maka dirumuskan model
pemberdayaan masyarakat. Model-model pemberdayaan yang telah
ditetapkan kemudian didiseminasikan (direncanakan, disebarkan,
diarahkan, dan dikelola) dan dikembangkan sesuai dengan potensi dan
kondisi daerah yang bersangkutan.
e) Monitoring dan Evaluasi
Kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan
pemberdayaan hak atas tanah masyarakat dilakukan oleh Kantor
Wilayah BPN Provinsi ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Dari
kegiatan monitoring dan evaluasi ini, Kantor Wilayah BPN Provinsi
melakukan penguatan basis data dengan mengumpulkan, mengolah
dan mengklasifikasikan data dalam satu database pemberdayaan hak
atas tanah masyarakat by name by address serta data spasial tanah
obyek Pemberdayaan Hak Atas Tanah Masyarakat di Kabupaten/Kota.
Kantor Wilayah BPN Provinsi melakukan monitoring dan evaluasi secara
sampling ke salah satu lokasi pemberdayaan hak atas tanah
masyarakat di Kabupaten/Kota.
35
BAB 3
PELAKSANAAN PENILAIAN RISIKO KECURANGAN
(FRAUD RISK ASSESSMENT) PROGRAM REFORMA AGRARIA
A. Perencanaan
2. Objek Penugasan
Objek penugasan adalah kantor wilayah BPN dan minimal 2 (dua) unit
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Surat tugas ditujukan kepada Kepala
Kanwil BPN. Pelaksanaan FRA pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota,
dilaksanakan oleh tim FRA perwakilan bersama petugas pada Kanwil
Pertanahan yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang pada Kanwil
Pertanahan Provinsi.
3. Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan informasi awal yang memadai, Tim FRA Perwakilan
BPKP berkoordinasi dengan bidang pengawasan terkait di Perwakilan BPKP.
Informasi awal yang dapat diperoleh diantaranya berkaitan dengan hasil
36
penilaian risiko instansi bersangkutan (SPIP). Apabila informasi tersebut
tidak diperoleh, Tim FRA Perwakilan BPKP dapat mengupayakan perolehan
informasi awal berkaitan hasil penilaian risiko pada saat pertemuan
pendahuluan di objek penugasan.
B. Pelaksanaan
Penilaian risiko kecurangan pada Program Reforma Agraria dilaksanakan
dengan berpedoman pada Peraturan Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi
nomor 1 Tahun 2019 tentang Pedoman Penilaian Risiko Kecurangan. Dalam
pelaksanaannya, proses penilaian risiko kecurangan dilaksanakan dalam
tahapan sebagai berikut:
a. Sosialisasi
b. Survei pendahuluan
c. Focus Group Discussion
d. Pembicaraan Akhir
Penjelasan atas setiap tahapan pelaksanaan penugasan penilaian risiko
kecurangan tersebut sebagai berikut:
a. Sosialisasi
Sosialisasi dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada obyek
penugasan mengenai penilaian kecurangan, tujuan penilaian, dan
urgensi dan manfaatnya bagi organisasi. Pada tahapan ini diharapkan
peserta memahami risiko kecurangan, urgensi penilaian risiko
kecurangan berikut mitigasinya. Untuk mencapai tujuan tersebut,
sosialisasi FRA harus memuat informasi yang mampu meyakinkan
peserta sosialisasi akan risiko kecurangan dan mitigasinya diantaranya
dengan menyajikan informasi peristiwa korupsi bersifat nasional
maupun lokal di pemerintah daerah bersangkutan.
Peserta sosialisasi adalah pelaksana/pejabat Kantor Wilayah BPN
maupun Kantor Pertanahan yang terkait pelaksanaan Program Reforma
Agraria yang menjadi lingkup penilaian.
b. Survei pendahuluan
Survei adalah pengumpulan informasi yang dapat dilakukan dengan
memberikan kuesioner kepada responden. Survei pendahuluan
37
dimaksudkan untuk mendapatkan informasi awal berkaitan dengan
persepsi responden atas risiko/peristiwa kecurangan pada tingkat
pelaksana/pejabat yang terkait. Hasil survei pendahuluan menjadi
sarana yang penting dalam pelaksanaan FGD di tahap berikutnya.
Survei pendahuluan bersifat wajib.
Responden adalah seluruh pelaksana/pejabat Kantor Wilayah BPN
maupun Kantor Pertanahan terkait pelaksanaan Program Reforma
Agraria yang hadir pada saat sosialisasi di tahap sebelumnya. Dalam
pendekatan survei, peserta atau responden akan mengisi kuesioner
yang telah dirancang untuk mengidentifikasi risiko-risiko kecurangan
yang mungkin terjadi, secara jujur dan apa adanya. Untuk hasil yang
cepat dan memenuhi aspek kerahasiaan serta kenyamanan bagi
responden, survei dilaksanakan secara elektronik melalui google form.
Hasil survei ditayangkan pada akhir sosialisasi untuk menjadi
pengetahuan para peserta.
Materi survei pendahuluan berupa daftar pertanyaan untuk identifikasi
risiko terdapat dalam lampiran 6.
c. Focus Group Discussion (FGD)
FGD adalah pertemuan yang dipandu oleh fasilitator (Tim FRA
perwakilan) untuk menggali informasi secara mendalam atas suatu
tema tertentu. FGD dalam FRA pada Kantor Wilayah BPN maupun
Kantor Pertanahan dimaksudkan untuk menggali informasi secara
mendalam atas risiko kecurangan pada kegiatan utama yang
dilaksanakan oleh Kantor Wilayah BPN maupun Kantor Pertanahan.
Tugas fasilitator dalam FGD adalah memfasilitasi peserta dalam
melakukan penilaian risiko kecurangan (identifikasi dan analisis)
melalui diskusi/FGD. Fasilitator berperan untuk membantu dan
mengarahkan kelompok diskusi untuk mencapai suatu konsensus serta
mendorong terwujudnya kelompok diskusi yang efektif. Seluruh
informasi dalam FGD didokumentasikan dalam kertas kerja penilaian
risiko kecurangan sebagaimana disajikan pada lampiran 2.
38
Dalam pelaksanaan FGD, fasilitator menggunakan hasil survei
pendahuluan. Apabila peserta FGD memiliki kecenderungan menolak
adanya suatu risiko kecurangan, seolah risiko tersebut tidak mungkin
ada padanya, fasilitator dapat mengingatkan dengan menggunakan
hasil survei pendahuluan.
Dalam memfasilitasi FGD, fasilitator dapat menggunakan contoh daftar
risiko kecurangan sebagaimana disajikan dalam lampiran 5.
d. Pembicaraan Akhir
Setelah FGD selesai dilaksanakan dan kertas kerja penilaian risiko
kecurangan seluruhnya selesai dikerjakan, tim FRA menyusun Daftar
Risiko Kecurangan. Atas daftar risiko tersebut, tim FRA melakukan
pembicaraan akhir dengan pimpinan objek penugasan dan
mendokumentasikannya dalam Berita Acara Pembahasan Akhir dengan
format sebagaimana disajikan pada lampiran 4 Petunjuk Teknis teknis
ini.
C. Pelaporan
Laporan sebagai sebuah media komunikasi antara pelaksana kegiatan
dengan para pemangku kepentingan. Sebagai sebuah media komunikasi,
maka laporan penilaian risiko kecurangan harus memenuhi syarat:
1. Objektif dan tidak subyektif
2. Sederhana
3. Fokus terhadap apa yang sesungguhnya terjadi
4. Identifikasi tindakan yang jelas dan terukur dalam menyampaikan
hasilnya.
Informasi yang disajikan dalam laporan penilaian risiko kecurangan
sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
1. Ringkasan Eksekutif
2. Dasar Hukum
3. Metodologi Pelaksanaan Penilaian Risiko Kecurangan
4. Ruang lingkup
5. Hasil Penilaian Risiko Kecurangan
39
6. Saran
7. Lampiran
Output dan pendistribusian output dari kegiatan penilaian risiko
kecurangan pada program reforma agraria adalah sebagai berikut:
1. Perwakilan BPKP
Output dari perwakilan BPKP adalah Laporan hasil penilaian risiko
kecurangan atas penilaian risiko kecurangan pada Program Reforma
Agraria pada unit organisasi di tingkat daerah. Laporan disampaikan
kepada:
a. Pimpinan unit organisasi yang menjadi objek penugasan, dan
b. Deputi Bidang Investigasi.
2. Direktorat Investigasi
Output dari Direktorat Investigasi adalah:
a. Laporan hasil penilaian risiko kecurangan pada Program Reforma
Agraria. Laporan disampaikan kepada:
1) Pimpinan unit organisasi yang menjadi objek penugasan, dan
2) Deputi Bidang Investigasi.
b. Laporan kompilasi dan rekomendasi strategis yang disampaikan
kepada Presiden.
Format laporan dapat disesuaikan dengan praktik penilaian risiko
kecurangan yang dilaksanakan, tetapi untuk keseragaman dapat mengacu
pada format laporan Lampiran 3.
40
Lampiran 1:1-2
LAMPIRAN
Nomor : ……………….
Lampiran :
Hal :
(..........................)
Lampiran 1:2-2
SURAT TUGAS
Nomor : ST-......................
1. .......
2. .......
3. .......
dst
untuk melakukan Penilaian Risiko Kecurangan (Fraud Risk Assessment)
atas Program Reforma Agraria pada Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/BPN/Kantor Wilayah BPN Provinsi ……..
Penugasan direncanakan selama ... (...) hari kerja terhitung sejak
tanggal.... s.d. .....
Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
......, ..................
Direktur/Kepala Perwakilan BPKP,
(..........................)
Lampiran 2
No. Tahapan Nama Pemilik Kemungkinan Penyebab Nilai Risiko Uraian Pengendalian Rencana
Proses Risiko Risiko Skenario Risiko Likelihood Dampak Skala Dampak (existing) Mitigasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Keterangan:
Kolom 1 : Nomor Urut
Kolom 2 : Diisi dengan tahapan proses kegiatan (perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dst.)
Kolom 3 : Diisi dengan pernyataan risiko
Kolom 4 : Diisi dengan pihak yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan risiko
berkenaan
Kolom 5 : Diisi dengan kemungkinan skenario terjadinya/dilakukannya fraud
berdasar analisis yang muncul pada saat FGD
Kolom 6 : Diisi dengan kelemahan pengendalian yang mengakibatkan munculnya
risiko tersebut. Kelemahan pengendalian dapat diidentifikasi dari aspek
man, money, machine, method, material yang bermuara pada lima unsure
pengendalian intern.
Kolom 7 : Diisi dengan nilai kemungkinan terjadi risiko dalam skala 1 sampai
dengan 5. Nilai 1 (sangat jarang terjadi) dan nilai 5 (sangat sering
Kolom 8 : terjadi).
Diisi dengan nilai dampak jika suatu risiko benar-benar terjadi dalam
skala 1 sampai dengan 5. Nilai 1 (sangat tidak signifikan) dan nilai 5
Kolom 9 : (sangat signifikan).
Diisi dengan skala risiko yang merupakan hasil kali antara nilai likelihood
dan nilai dampak.
Kolom 10 : Diisi dengan deskripsi dampak yang nilainya telah dinyatakan dalam
kolom no. 7.
Kolom 11 : Diisi dengan pengendalian yang telah ada.
Kolom 12 : Diisi dengan rencana mitigasi/mengurangi risiko.
Lampiran 3:1-15
I. RINGKASAN EKSEKUTIF
Kami telah melakukan penilaian risiko kecurangan atas Program Reforma
Agraria pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional/Kantor Wilayah BPN Provinsi .....................
Hasil penilaian risiko kecurangan atas Program Reforma Agraria pada
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional/Kantor
Wilayah BPN Provinsi .....................menunjukkan terdapat...... (jumlah)
risiko kecurangan, yang terdiri atas ......... risiko sangat tinggi, ......... risiko
tinggi, ............. risiko sedang, .............risiko rendah.
Lampiran 3:2-15
V. METODOLOGI
Penilaian risiko kecurangan pada Program Reforma Agraria pada
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional/Kantor
Wilayah BPN Provinsi .....................dilakukan dengan metode:
Lampiran 3:3-15
Konsekuensi/Dampak
Skala Kemungkinan Tidak Kurang Sangat
Sedang Signifikan
Signifikan Signifikan Signikan
5 Sangat Sering Sangat Sangat Sangat
Sedang Tinggi
Tinggi Tinggi Tinggi
4 Sering Sangat Sangat
Sedang Sedang Tinggi
Tinggi Tinggi
3 Kadang- Sangat
Rendah Sedang Tinggi Tinggi
kadang Tinggi
2 Jarang Rendah Rendah Sedang Sedang Tinggi
1 Sangat
Rendah Rendah Rendah Sedang Tinggi
Jarang
Sumber: Pedoman Pelaksanaan Penilaian Risiko di Lingkungan Instansi
Pemerintah
Konsekuensi/Dampak
Skala Kemungkinan Tidak Kurang Sangat
Sedang Signifikan
Signifikan Signifikan Signikan
5 Sangat Sering
5 10 15 20 25
4 Sering 4 8 12 16 20
3 Kadang-
3 6 9 12 15
kadang
2 Jarang 2 4 6 8 10
1 Sangat
1 2 3 4 5
Jarang
2) Kantor Pertanahan 1
Risiko no 1 : ........................(Nama risiko)
Uraian ini memuat diskripsi risiko agar pembaca memahami risiko
yang dimaksud. Diskripsi risiko meliputi:
Lampiran 3:9-15
3) Kantor Pertanahan 2
Risiko no 1 : ........................(Nama risiko)
Uraian ini memuat diskripsi risiko agar pembaca memahami risiko
yang dimaksud. Diskripsi risiko meliputi:
Nama/pemahaman atas nama risiko
Penyebab
Langkah mitigasi.
Risiko no 2 : ........................ dst.
3. Rekomendasi
Atas risiko kecurangan di atas, kami merekomendasikan kepada
........... (pimpinan objek penugasan) untuk:
1) ...................
2) ..................
Demikian laporan kami sampaikan, agar dapat dipergunakan sebagaimana
mestinya. Atas perhatian (pimpinan objek penugasan) kami ucapkan terima
kasih.
………………….,
[Tanggal/Bulan/Tahun]
[Kepala Perwakilan]
I. RINGKASAN EKSEKUTIF
Kami telah melakukan penilaian risiko kecurangan atas Program Reforma
Agraria pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional dan Kantor Wilayah BPN.
V. METODOLOGI
Penilaian risiko kecurangan pada Program Reforma Agraria pada
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dan
Kantor Wilayah BPN dilakukan dengan metode:
1. Identifikasi risiko fraud organisasi;
2. Penilaian kemungkinan dan signifikansi; dan
3. Penanganan risiko fraud residual.
Metodologi tersebut dicapai melalui:
1. Sosialisasi Penilaian Risiko Kecurangan (FRA) pada Program Reforma
Agraria.
Lampiran 3:12-15
1. Informasi Umum
1) Data Umum Kantor Wilayah Pertanahan
Kepala Kantor : ……………………..
Wilayah Pertanahan
Alamat : ………………..........
2) Kantor Pertanahan 1
Risiko no 1 : ........................(Nama risiko)
Uraian ini memuat diskripsi risiko agar pembaca memahami risiko
yang dimaksud. Diskripsi risiko meliputi:
Nama/pemahaman atas nama risiko
Penyebab
Langkah mitigasi.
Risiko no 2 : ........................ dst.
3) Kantor Pertanahan 2
Risiko no 1 : ........................(Nama risiko)
Uraian ini memuat diskripsi risiko agar pembaca memahami risiko
yang dimaksud. Diskripsi risiko meliputi:
Nama/pemahaman atas nama risiko
Penyebab
Langkah mitigasi.
Risiko no 2 : ........................ dst.
3. Rekomendasi
Atas risiko kecurangan di atas, kami merekomendasikan kepada
........... (pimpinan objek penugasan) untuk:
1) ...................
2) ..................
Lampiran 3:15-15
………………….,
[Tanggal/Bulan/Tahun]
Pada hari ini, ........ tanggal ...... bulan .... tahun ..... telah dilaksanakan
pembahasan hasil penilaian risiko kecurangan atas Program Reforma
Agraria yang dilaksanakan oleh .................(objek penugasan) antara:
(nama) (Nama)
Lampiran 5: 1 - 5
2. Penyalahgunaan wewenang.
8 Pengumuman data fisik dan 1. Panitia memanipulasi hasil pemetaan bidang-
data yuridis serta bidang tanah yang dituangkan dalam Daftar Data
pengesahannya; Yuridis dan Data Fisik Bidang Tanah;
2. Penyalahgunaan wewenang.
3. Manipulasi pemenuhan syarat.
10 Pembukuan Hak 1. Kolusi antara pihak terkait dalam membukukan
hak tanah bersangkutan.
2. Penyalahgunaan wewenang.
Lampiran 5: 2 - 5
2 Penetapan Lokasi dan Tim 1. Tumpang tindih Penetapan lokasi IP4T antar
Pelaksana tahun anggaran, sehingga ada overlapping biaya.
5 Pembuatan Peta Kerja 1. Biaya Peta kerja di mark up, karena hanya
memakai peta yang sudah ada dari peta
pendaftaran, petahasil PTSL dll
Lampiran 5: 3 - 5
II Tahapan Pelaksanaan
1 Sosialisasi/ Penyuluhan 1. Biaya sosialisasi di mark-up;
2. Pengumuman/undangan sosialisasi kurang
berhasil,sehingga peserta sedikit, sementara biaya
sdh terlanjur keluar banyak.
3. Biaya sosialisasi di mark-up, daftar hadir peserta
fiktif
4. Data P4T diambil dari data sebelumnya yg sudah
ada, sehingga biaya survey terlalu besar.
2 Pengumpulan Data P4T, Sket 1. Data P4T diambil dari data sebelumnya yg sudah
dan Toponimi ada, sehingga biaya survey terlalu besar.
Kerahasiaan identitas responden akan dijaga sebagai bagian dari pengawasan yang
dikelola oleh BPKP. Data dan informasi yang didapatkan melalui kuesioner ini
hanya akan disajikan dalam bentuk agregat dan tidak akan disajikan atau
dipublikasikan secara individual.
PETUNJUK UMUM
PETUNJUK PENGISIAN
5. Usia
Kurang dari atau sama dengan 30 tahun
Lebih dari 30 tahun sampai dengan 40 tahun
Lebih dari 40 tahun sampai dengan 50 tahun
Lebih dari 50 tahun
6. Jenis Kelamin
Pria
Wanita
7. Pengalaman Kerja
Kurang dari atau sama dengan 10 tahun
Lebih dari 10 tahun sampai dengan 20 tahun
Lampiran 6:2-3
Keterangan Jawaban:
1: Sangat JarangTerjadi
2: Jarang Terjadi
3: Kadang-kadang Terjadi
4: Sering Terjadi
5: Sangat Sering Terjadi
Tingkat Keterjadian
No. Perilaku dalam Organisasi
1 2 3 4 5
1 Benturan kepentingan dalam penugasan.
□ □ □ □ □
2 Praktik suap terkait jabatan dan/atau dalam
penugasan □ □ □ □ □
3 Pemberian uang/bingkisan/fasilitas untuk
keperluan promosi, mutasi dan/atau rotasi □ □ □ □ □
4 Praktik penerimaan gratifikasi dalam
pelaksanaan penugasan □ □ □ □ □
5 Permintaan imbalan oleh pegawai dalam
penugasan □ □ □ □ □
6 Penggunaan aset kantor (Barang Milik
Negara/Daerah) untuk kepentingan pribadi □ □ □ □ □
7 Penguasaan aset kantor (Barang Milik
Negara/Daerah) dengan cara memanipulasi □ □ □ □ □
kondisi barang
Lampiran 6:3-3
Tingkat Keterjadian
No. Perilaku dalam Organisasi
1 2 3 4 5
8 Manipulasi pertanggungjawaban
keuangan/belanja □ □ □ □ □
9 Kegiatan fiktif atau pengeluaran fiktif
□ □ □ □ □
10 Perjalanan dinas dalam dan luar daerah fiktif
□ □ □ □ □
11 Pembocoran informasi yang sifatnya rahasia
□ □ □ □ □
12 Pengabaian pengaduan masyarakat (Dumas)
untuk kepentingan pribadi atau orang lain □ □ □ □ □
13 Pelapor kejadian penyimpangan atau
whistleblower mendapat tekanan dari atasan, □ □ □ □ □
rekan kerja, atau pihak lainnya
14 Menurut Bapak/Ibu, selain yang disebutkan
di atas, apakah terdapat perilaku menyimpang 1. ........................................................
lain yang mungkin terjadi pada instansi
2. ........................................................
Bapak/Ibu bekerja?
3. ........................................................
15 Menurut persepsi Bapak/ibu, seberapa sering
perilaku menyimpang pada butir 14.1 tersebut □ □ □ □ □
terjadi pada unit kerja Bapak/Ibu?
16 Menurut persepsi Bapak/ibu, seberapa sering
perilaku menyimpang pada butir 14.2 tersebut □ □ □ □ □
terjadi pada unit kerja Bapak/Ibu?
17 Menurut persepsi Bapak/ibu, seberapa sering
perilaku menyimpang pada butir 14.3 □ □ □ □ □
tersebut terjadi pada unit kerja Bapak/Ibu?