Anda di halaman 1dari 12

ARTIKEL OPINI

Pengawasan Perasuransian OJK


IRVAN RAHARDJO
 
1 November 2018 · 03:00 WIB

 


 

Sebanyak 535 anggota Kongres AS marah luar biasa saat tahu pimpinan perusahaan
asuransi American International Group Inc bermewah-mewah sehari setelah menerima
85 miliar dollar AS dari dana talangan yang sudah disetujui Kongres.

Dana tersebut diberikan untuk menyelamatkan AIG dari salah urus para bos
perusahaan asuransi itu. Bos AIG dilaporkan mengeluarkan dana 440.000 dollar AS
untuk berkumpul di St Regis, tempat peristirahatan di Los Angeles, California. Sembari
menikmati spa, berpesta dan menjajal lapangan golf. AIG mulai kelimpungan seiring
dengan bangkrutnya badan investasi Lehman Brothers.

Agar situasi krisis di AS yang dipicu kredit macet itu tak kian menyebar, dana
pemerintah yang intinya uang rakyat yang dikumpulkan lewat pajak sebesar 85 miliar
dollar AS dipinjamkan kepada AIG (Kompas, 10/10/2008) Asuransi Jiwasraya
(Persero) melayangkan surat bertanggal 10 Oktober 2018 ke sejumlah mitra
bancassurance yang menyatakan  keterlambatan pembayaran polis asuransi JS Proteksi
Plan yang jatuh tempo. Problem kesulitan perusahaan asuransi pelat merah itu nilainya
mencapai Rp 802 miliar.

Penurunan signifikan risk based capital (RBC) dari posisi 200,15 persen pada 2016
menjadi minimalis 123,16 persen pada akhir 2017 mengindikasikan adanya masalah
solvabilitas.

Disebutkan dalam laporan keuangan yang belum diaudit (unaudited) Jiwasraya


nonkonsolidasi 2017 mencatat laba bersih Rp 2,4 triliun. Manajemen baru meminta
mitra lokal PricewaterhouseCoopers (PwC) mengaudit. Hasilnya laba bersih direvisi
sangat signifikan. Laba bersih berdasarkan laporan audit mitra PwC berubah menjadi
Rp 360 miliar. Hasil audit PwC menemukan kekurangan perhitungan cadangan yang
dibuat oleh aktuaris internal hingga senilai Rp 7,6 triliun.

OJK mengatakan, kesulitan likuiditas yang dialami Jiwasraya disebabkan perusahaan


tidak bisa melakukan cut loss terhadap sejumlah portofolio investasi saham untuk
membayar polis yang jatuh tempo. Perseroan juga kesulitan mendapatkan tambahan
modal karena statusnya sebagai BUMN.

Dalam UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang pencegahan dan penanganan krisis sistem
keuangan, negara tidak lagi menyediakan dana talangan untuk menyelamatkan institusi
keuangan, melainkan menerapkan semangat penyehatan perusahaan dari dalam (bail
in).

Ketika perbankan atau asuransi berdampak sistemik, maka dapat dicegah dan ditangani
melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Kondisi ini
dikategorikan tak normal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 45 Ayat (2) UU OJK.

Dalam  kondisi tidak normal yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah
terjadi krisis pada sistem keuangan, untuk pencegahan dan penanganan krisis, maka
menteri keuangan, gubernur Bank Indonesia, ketua dewan komisioner OJK, dan/atau
ketua dewan komisioner Lembaga Penjamin Simpanan masing-masing dapat
mengajukan kepada FKSSK untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-
langkah untuk pencegahan atau penanganan krisis.

Perlu disadari, produk asuransi dalam saluran bancassurance bukan produk perbankan
dan tidak dianggap sebagai simpanan dari bank, tak dijamin oleh bank, dan bukan
bagian dari program penjaminan yang dijamin LPS berdasarkan UU Nomor 24 Tahun
2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan paling banyak Rp 2 miliar untuk setiap
nasabah pada satu bank.

Pengawasan dan peraturan OJK

Kasus tunda bayar Jiwasraya menimbulkan pertanyaan soal  pengawasan OJK sejak
gagalnya restrukturisasi AJB Bumiputera yang tak kunjung membuahkan penyelesaian
hingga kini. OJK yang overregulated  kerap tak menegakkan aturan yang dibuatnya
sendiri. Sebut beberapa  Peraturan OJK (POJK), antara lain No 1/POJK.07/2013
tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan; POJK No 23/POJK.05/2015
tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi; POJK No 73/POJK.05/2016
tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian; POJK No
71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi; POJK Nomor 1/POJK.05/2016 tentang Investasi Surat Berharga Negara
bagi Lembaga Jasa Keuangan Nonbank; dan POJK Nomor 55/POJK.05/2017 tentang
Laporan Berkala Perusahaan Perasuransian Dengan berbagai kewenangan OJK tersebut
dan instrumen deteksi dini, seperti RBC, kondisi mismatch perusahaan asuransi
seharusnya bisa dicegah.

Lemahnya pengawasan perasuransian OJK terhadap perasuransian tampak pada


lemahnya tata kelola dan kepastian hukum pada usaha perasuransian. Soal pemailitan
asuransi yang tak melindungi kepentingan  hak pemegang polis, pembatasan kegiatan
usaha yang terlalu lama sehingga mengganggu reputasi perusahaan, tata kelola dan
kepatuhan buruk, ketiadaan kepastian hukum (lembaga penjamin polis,  aturan mutual,
asuransi wajib  amanat UU No 40/2014 belum terwujud).

Pelanggaran mengenai batas waktu laporan bulanan, batas waktu pencapaian ekuitas
minimum pialang sampai Juni 2018, pelanggaran ketidakcukupan RBC di bawah
minimal 120 persen. Kriminalisasi asuransi oleh nasabah atas nama UU perlindungan
konsumen.

OJK menerbitkan POJK No 17/POJK.05/2017 tentang Prosedur dan Tata Cara


Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Perasuransian dan Pemblokiran Kekayaan
Perusahaan Asuransi, Asuransi Syariah, Reasuransi dan Reasuransi Syariah. Bahwa
OJK berwenang mengenakan sanksi administratif kepada setiap orang yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan UU 40/2014 tentang perasuransian dan peraturan
pelaksanaannya.
Sanksi administratif berupa peringatan tertulis; pembatasan kegiatan usaha, sebagian
atau seluruhnya; larangan memasarkan produk asuransi; pencabutan izin usaha;
pembatalan pernyataan pendaftaran pialang asuransi/reasuransi, agen asuransi;
pembatalan persetujuan bagi lembaga mediasi atau asosiasi; denda administratif;
dan/atau larangan jadi pemegang saham, pengendali, direksi, dewan komisaris atau
menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi. Sanksi administratif ditetapkan dan
disampaikan OJK secara tertulis  (Pasal 2).

Sanksi administratif dikenakan kepada asuransi secara bertahap diawali dengan sanksi
administratif berupa peringatan tertulis. Pengenaan sanksi administratif berupa
peringatan tertulis dilakukan paling banyak tiga  kali atas setiap pelanggaran yaitu
sanksi administratif berupa peringatan tertulis pertama, peringatan tertulis kedua,
peringatan tertulis ketiga (terakhir).

Peringatan tertulis pertama dan kedua dapat dikenakan sebagai peringatan tertulis
terakhir jika (1) asuransi pernah melakukan pelanggaran yang sama dalam satu tahun
terakhir sebelum tanggal pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis; (2)
sedang dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha karena
pelanggaran lain; (3) berdasarkan pertimbangan OJK, sanksi peringatan tertulis
berikutnya tak diperlukan.

Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif bisa lebih dari 30  hari jika OJK
menilai jenis pelanggaran yang dilakukan tak mungkin dapat diatasi dalam jangka
tersebut menjadi paling lama enam bulan. Selain itu, juga dalam hal asuransi dikenai
sanksi administratif karena tak terpenuhinya ketentuan minimum tingkat solvabilitas
dan/atau ekuitas minimum; serta dalam hal asuransi tak dapat mengatasi pelanggaran
yang merupakan penyebab terbitnya sanksi peringatan tertulis terakhir hingga jangka
waktu yang ditentukan.

OJK dapat mengenakan sanksi pembatasan kegiatan usaha untuk sebagian atau seluruh
kegiatan usaha tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis dalam hal kondisi kesehatan keuangan asuransi memburuk dan/atau dinilai
membahayakan kepentingan pemegang polis. Asuransi yang sedang dikenai sanksi
administratif berupa pembatasan kegiatan usaha tetap dikenai sanksi administratif
berupa peringatan tertulis jika melakukan pelanggaran baru.

Jangka waktu pemberlakuan sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha


paling lama satu tahun untuk pembatasan kegiatan usaha sebagian; atau paling lama
tiga  bulan untuk pembatasan kegiatan usaha keseluruhan (Pasal 4). Asuransi dikenai
sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha untuk seluruh kegiatan usaha
jika tidak dapat mengatasi pelanggaran yang merupakan penyebab terbitnya sanksi
administratif berupa pembatasan kegiatan usaha untuk sebagian kegiatan usaha.

Pencabutan izin

Asuransi  dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha jika tak dapat
mengatasi pelanggaran yang merupakan penyebab terbitnya sanksi administratif
berupa pembatasan kegiatan usaha untuk seluruh kegiatan usaha. OJK dapat
mengenakan sanksi administratif pencabutan izin usaha jika kondisi keuangan
memburuk drastis; pemegang saham tak kooperatif; direksi, dewan komisaris tak
memiliki jalan keluar untuk mengatasi permasalahan yang membahayakan kepentingan
pemegang polis dan/atau kondisi lain yang menurut penilaian OJK dapat
membahayakan kepentingan pemegang polis.

Asuransi dapat dikenai sanksi administratif berupa larangan memasarkan produk


asuransi. Jangka waktu sanksi paling lama satu tahun. OJK mengumumkan kepada
masyarakat mengenai pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha 
dan larangan untuk memasarkan produk asuransi melalui laman resmi OJK dan/atau
media cetak berskala nasional (Pasal 6).

Beredar kabar sejumlah asuransi saat ini sedang menghadapi masalah yang sama.
Sejauh ini kita hanya menemukan pencabutan izin usaha asuransi dan tak menemukan
publikasi OJK tentang penetapan sanksi administratif berupa larangan memasarkan
produk tertentu. Pencabutan izin di antaranya Jiwa Nusantara (2013), Bumi Asih Jaya
(2013), Indo Surya (2013), MAA (2015), Asuransi Raya (2017). Terakhir, OJK mencabut
izin usaha PT Gelora Karya Jasatama, pialang asuransi, lewat Keputusan Dewan
Komisioner Nomor KEP-58/NB.1/2018 tanggal 28 September 2018.

Kita dapat membandingkan  dengan apa yang dilakukan regulator asuransi terhadap
AJB Bumiputera pada era Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(Bapepam LK). Dalam kurun 2009-2010 AJB Bumiputera dapat 11 surat peringatan
(SP) Bapepam LK: peringatan pengelolaan investasi 2 SP, kontrak pengelolaan dana 2
SP, perimbangan kekayaan dan kewajiban 2 SP, penyampaian laporan perhitungan
solvabilitas dan operasional 1 SP, penyampaian laporan auditor independen 2009 1 SP
dan sanksi denda 1 SP.

Selain itu, izin pembukaan kantor cabang tanpa tenaga ahli 1 SP, penempatan investasi
serta perimbangan kekayaan dan kewajiban 1 SP level tiga.

Dengan gambaran di atas, maka, pertama, kita perlu meningkatkan pengawasan


terhadap OJK. Saat ini belum ada lembaga pengawasan yang terpisah dari struktur
organisasi OJK seperti halnya Badan Supervisi BI yang bertanggung jawab kepada DPR.
Pengawasan satu-satunya terhadap OJK saat ini hanya pengawasan jarak jauh oleh DPR
dan bersifat insidentil.

Kedua, memisahkan pencatatan pendapatan premi yang murni proteksi dengan produk
asuransi  yang dikaitkan dengan investasi. Ketentuan dalam International Financial
Reporting Standards (IFRS) yang dicapai di forum G-20 di Washington DC tahun 2008
mengharuskan laporan keuangan perusahaan asuransi memisahkan transaksi premi
proteksi dan premi investasi. Ketiga, meningkatkan keterbukaan informasi dan
akuntabilitas asuransi yang dapat diakses semua pemangku kepentingan tanpa kecuali.

 Irvan Rahardjo Pengamat Kebijakan Perasuransian dan Jaminan Sosial.


ARTIKEL OPINI

Pidana Korupsi Korporasi


EDDY OS HIARIEJ
 
1 November 2018 · 03:00 WIB

 


 

Pada Kamis, 11 Oktober 2018, untuk pertama kalinya Komisi Pemberantasan


Korupsi mendakwa korporasi sebagai pelaku korupsi.

Dalam sidang perdana, KPK mendakwa PT Duta Graha Indah yang telah berganti nama
menjadi PT Nusantara Konstruksi Enjiniring yang diwakili Djoko Eko Suprastowo
sebagai direktur utama. Bahkan, saat ini, KPK mencoba membidik korporasi yang
acapkali melakukan penyuapan terhadap penyelenggara negara.

Sebenarnya hal ihwal pertanggungjawaban pidana korporasi telah menjadi perdebatan


sejak awal abad ke-19. Namun, sampai dengan abad milenial ini, ada beberapa negara
yang secara tegas tidak menganut pertanggungjawaban korporasi dalam hukum
pidananya, seperti Jerman, Italia, Yunani, Portugal, dan Spanyol.

Negara-negara ini berpegang teguh pada dua doktrin yang dikemukakan oleh Friedrich
Carl von Savigny dan Malblanc. Pertama,  universitas delinquere non potest (korporasi
tidak dapat dipidana) dan kedua,  societies delinquere non potest (korporasi tidak
mungkin melakukan tindak pidana). Di negara-negara itu, pertanggungjawaban
korporasi hanya dikenal dalam lapangan hukum perdata dan administrasi.

Lima teori

Dalam doktrin hukum pidana, paling tidak kita mengenal ada lima teori
pertanggungjawaban korporasi. Pertama, teori identifikasi yang menyatakan bahwa
suatu korporasi dapat melakukan kejahatan melalui individu yang bertindak untuk dan
atas nama korporasi yang memiliki posisi tinggi atau memainkan suatu fungsi kunci
dalam pengambilan keputusan korporasi.

Teori ini juga disebut sebagai alter ego. Kedua, vicarious liability yang menyatakan
bahwa seseorang dapat bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh
orang lain.

Dalam konteks korporasi, pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada pengurus


korporasi sebagai ”agen” dari korporasi tersebut. Vicarious liability atau
pertanggungjawaban pengganti pada awalnya diterapkan dalam kejahatan terhadap
lingkungan. Perkembangan lebih lanjut dari vicarious liability,  ada yang dikenal dengan
absolut liability dan strict liability.

Perbedaan prinsip keduanya: dalam absolut liability tidak diperlukan adanya kesalahan
atau mens rea, tetapi yang dibutuhkan adalah pembuktian bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana. Sementara dalam strict liability mensyaratkan pembuktian bahwa
terdakwa melakukan perbuatan yang diragukan. Artinya, terdakwa berhak untuk
dilakukan due diligence berkaitan dengan kasus tersebut.

Ketiga, teori delegasi yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana diletakkan


kepada orang yang oleh direksi diberi delegasi untuk melaksanakan kewenangan
korporasi. Teori  ini sebagai jalan tengah antara teori identifikasi yang sempit dan teori
vicarious liability yang terlalu luas manakala berhadapan dengan struktur korporasi
yang rumit.

Keempat, teori agregasi yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana dapat


dibebankan kepada korporasi jika perbuatan tersebut dilakukan sejumlah orang yang
memenuhi unsur delik yang mana antara satu dengan yang lain saling terkait dan tidak
berdiri sendiri.

Kelima, teori model budaya kerja yang menyatakan bahwa kebijakan korporasi yang
tersurat dan tersirat memengaruhi cara kerja korporasi dan dapat dimintakan
pertanggungjawaban jika tindakan seseorang memiliki dasar rasional bahwa korporasi
memberikan wewenang atau mengizinkan perbuatan tersebut.

Ketentuan korporasi

Pertanyaan lebih lanjut, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU


Tipikor) kita mengikuti teori yang mana? Pasal 20 Ayat (1) dan Ayat (2) UU a quo secara
eksplisit menyatakan: (1)  ”Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas
nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan atau pengurusnya”. (2) ”Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan
kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi
tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”.

Ketentuan tersebut sepintas kilas  seolah-olah antara Ayat (1) dan Ayat (2) Pasal a quo
berhubungan. Namun, jika dikaji lebih mendalam, antara Ayat (1) dan Ayat (2)
menggunakan dua teori yang berbeda. Pasal 20 Ayat (1) menggunakan teori identifikasi.
Di sini yang didakwa dan dituntut adalah pengurus untuk dan atas nama korporasi
sekaligus untuk dan atas nama individu. Sementara Ayat (2) menggunakan teori
agregasi. Artinya, yang didakwa dan dituntut adalah korporasi.

Ketentuan lebih lanjut perihal pertanggungjawaban pidana korporasi diatur dalam


Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016.

Berdasarkan perma itu, ada tiga kemungkinan tanggung jawab pidana oleh korporasi.
Pertama, jika kejahatan memberikan manfaat atau keuntungan atau memenuhi
kepentingan korporasi. Kedua, jika korporasi membiarkan tindak pidana. Ketiga, jika
korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan agar tidak terjadi tindak
pidana, termasuk dampak besar setelah tindak pidana tersebut terjadi.

Perma itu perlu diapresiasi sebagai pedoman (guidance) bagi aparat penegak hukum
untuk melakukan penuntutan terhadap korporasi. Adapun kelemahan mendasar pada
perma itu adalah pada kemungkinan kedua dan ketiga yang menghendaki crime by
omission pada rumusan delik korupsi. Tegasnya, jika rumusan delik korupsi tidak
mencantumkan secara eksplisit perbuatan negatif dalam rumusan delik, kemungkinan
kedua dan ketiga tidak dapat dijerat terhadap korporasi.
Praktik penegakan hukum

Pertanyaan lebih lanjut, apakah terhadap suatu korporasi penuntutan dapat dilakukan
terhadap pengurus sekaligus terhadap korporasi? Secara tegas: ya. Artinya, Pasal 20
Ayat (1) UU Tipikor dapat diterapkan kepada pengurus, sedangkan Pasal 20 Ayat (2)
UU Tipikor dapat diterapkan terhadap korporasi.

Perkaranya pun dapat dipisah, tergantung tingkat kerumitan dan penilaian subyektif
penuntut umum. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah putusan hakim. Jika
putusan hakim telah menghukum pengurus dan juga korporasi, padahal  penuntutan
hanya dilakukan terhadap pengurus, korporasi tidak dapat lagi dituntut karena asas
nebis in idem (seseorang tidak dapat dituntut lebih dari satu kali di depan pengadilan
dengan perkara yang sama).

Kalaupun korporasi tetap dituntut secara terpisah, padahal telah ada putusan yang
memidana pengurus dan korporasi, putusan bersalah terhadap korporasi tidak diikuti
oleh pemidanaan. Pada titik yang paling ekstrem, jika ada pemidanaan, maka
pemidanaan terdahulu harus tetap diperhitungkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
71 KUHP sebagai perbuatan pidana tertinggal.

Hal lain yang perlu diperhatikan Polri, Kejaksaan, dan KPK untuk menjerat korporasi
adalah dengan meneliti terlebih dulu kejahatan yang terjadi, apakah crimes for
corporation, crimes against corporation ataukah criminal corporations. Crimes for
corporation diartikan sebagai korporasi yang melakukan kejahatan untuk kepentingan
dan keuntungan korporasi.

Sebagai misal, korporasi yang acap kali melakukan penyuapan miliaran rupiah kepada
penyelenggara negara dalam beberapa kasus. Dalam konteks ini, sulit dikatakan kalau
korporasi tidak terlibat secara terstruktur dan sistematis. Jika terjadi demikian, Pasal
20 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Tipikor  dapat diterapkan terhadap korporasi. Lain halnya
jika yang terjadi adalah crimes against corporation atau juga disebut employes crimes.
Di sini kejahatan dilakukan oleh karyawan terhadap korporasi. Tegasnya, korporasi
adalah korban. Dalam konteks yang demikian, korporasi tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana.

Lain halnya pula jika yang terjadi adalah criminal corporations, yaitu korporasi yang
dibentuk dengan sengaja dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan. Dalam
beberapa kasus korupsi di Indonesia, ada beberapa korporasi yang sengaja dibentuk
untuk menampung kickbacks atau uang suap dari sejumlah pembangunan megaproyek.
Dalam konteks ini, terhadap korporasi tidak hanya diterapkan Pasal 20 Ayat (1) dan
Ayat (2) UU Tipikor, tetapi juga harus dibubarkan.

Hal terakhir yang penting diperhatikan oleh Polri, Kejaksaan, dan KPK ketika akan
menjerat korporasi dalam konteks crimes for corporation adalah memitigasi dua
persoalan penting. Pertama, sesaat korporasi dinyatakan sebagai tersangka serta-merta
berbagai pihak yang sedang atau akan melakukan transaksi bisnis dengan korporasi
tersebut akan berhenti seketika. Sebab, pandangan masyarakat kita, penetapan
tersangka telah memberi stigma bersalah dan mengesampingkan presumption of
innocent.

Pihak mana yang mau atau melanjutkan transaksi dengan korporasi yang dinyatakan
tersangka? Belum lagi, jika semua rekening korporasi diblokir atas perintah aparat
penegak hukum. Secara mutatis mutandis, income korporasi akan menurun padahal
penjatuhan pidana maksimal hanya berupa denda dan uang pengganti. Kedua,
konsekuensi logis dari yang pertama,  income perusahaan akan menurun drastis,
bahkan korporasi tidak dapat menjalankan usahanya. Dalam konteks ini, bagaimana
dengan nasib ratusan atau mungkin ribuan karyawan yang berada di ambang
pemutusan hubungan kerja? Sebab, bagaimanapun kejamnya hukum pidana,
pemidanaan harus tetap mendatangkan manfaat, tidak hanya bagi korban, tetapi juga
terhadap pelaku dalam rangka fungsi rehabilitatif dan yang terdampak dari pemidanaan
itu sendiri.

Eddy OS Hiariej Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah


Mada, Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai