Anda di halaman 1dari 38

PEMERIKSAAN PERTANGGUNGJAWABAN PENGELOLAAN KEUANGAN PEMERINTAH

KELOMPOK 6 KELAS VII A


1. 2. 3. 4. 5. ALFIAN DWI CHANDRA (04) DIAN JUWITA SARI (10) LUTFIA NUR AFIFAH (16) RINO ROMADHONI (22) TAUFIK ISMAIL (28)

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA


1

A. PENDAHULUAN Pemeriksaan Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pengertian pemeriksaan yang lain adalah pemeriksaan atas laporan keuangan yang bertujuan memberikan keyakinan yang memadai (reasonable insurance) bahwa laporan telah disajikan secara wajar dalam hal yang bersifat material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Dasar Hukum Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara a. UUD Tahun 1945 (Pasal 23) b. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; d. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan e. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; Badan Pemeriksa Keuangan Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang diperiksa oleh BPK meliputi pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara Sejarah BPK RI Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan amanat UUD Tahun 1945 tersebut telah dikeluarkan Surat Penetapan Pemerintah

No.11/OEM tanggal 28 Desember 1946 tentang pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan, pada tanggal 1 Januari 1947 yang berkedudukan sementara dikota Magelang. Pada waktu itu Badan Pemeriksa Keuangan hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Untuk memulai tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan dengan suratnya tanggal 12 April 1947 No.94-1 telah mengumumkan kepada semua instansi di Wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajibannya dalam memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara, untuk sementara masih menggunakan peraturan perundangundangan yang dulu berlaku bagi pelaksanaan tugas Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda), yaitu ICW dan IAR. Dalam Penetapan Pemerintah No.6/1948 tanggal 6 Nopember 1948 tempat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang ibukotanya di Yogyakarta tetap mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945; Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat berdasarkan SK Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950 terhitung mulai 1 Agustus 1949. Dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949, maka dibentuk Dewan Pengawas Keuangan (berkedudukan di Bogor) yang merupakan salah satu alat perlengkapan negara RIS, sebagai Ketua diangkat R. Soerasno mulai tanggal 31 Desember 1949, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta. Dewan Pengawas Keuangan RIS berkantor di Bogor menempati bekas kantor Algemene Rekenkamer pada masa pemerintah Netherland Indies Civil Administration (NICA). Dengan kembalinya bentuk Negara menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, maka Dewan Pengawas Keuangan RIS yang berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950 digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan di Bogor menempati bekas kantor Dewan Pengawas Keuangan RIS. Personalia Dewan Pengawas Keuangan RIS diambil dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta dan dari Algemene Rekenkamer di Bogor.

Pada Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden RI yang menyatakan berlakunya kembali UUD Tahun 1945. Dengan demikian Dewan Pengawas Keuangan berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945. Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi Dewan Pengawas Keuangan RIS berdasarkan konstitusi RIS Dewan Pengawas Keuangan RI (UUDS 1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUD Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan ICW dan IAR. Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu maka pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (PERPU) No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru. Untuk mengganti PERPU tersebut, dikeluarkanlah UU No. 17 Tahun 1965 yang antara lain menetapkan bahwa Presiden, sebagai Pemimpin Besar Revolusi pemegang kekuasaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan Keuangan Negara. Ketua dan Wakil Ketua BPK RI berkedudukan masing-masing sebagai Menteri Koordinator dan Menteri. Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara. Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya baru direalisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional. Dasar Hukum BPK RI: Republik Indonesia menyadari pentingnya fungsi pemeriksaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan badan yang akan yang akan melakukan fungsi pemeriksaan telah dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar yang dinyatakan bahwa untuk

memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang (Pasal 23 Bab VIII UUD 1945). Pengaturan undang-undang yang pertama kali mengikuti amanat UUD 1945 baru terbit pada tahun 1973. Kedudukan konstituonal BPK RI dinyatakan sebagai Lembaga Tinggi Negara yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah, akan tetapi tidak berdiri diatas pemerintah (Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1973). Dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban dalam memeriksa tanggung jawab pengelolaan keuangan negara, sejak tanggal 9 November 2001 landasan hukum BPK RI sesuai dengan Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah Bab VIII A Pasal 23 E, Pasal 23 F, dan Pasal 23 G. Pasal 23E 1. Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. 2. Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya. 3. Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang. Pasal 23F 1. Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden. 2. Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota. Pasal 23G 1. Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. 2. Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan UndangUndang Selanjutnya Badan Pemeriksa Keuangan Negara Republik Indonesia. Telah ditetapkan UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, dimana undangundang ini menjadi landasan struktural dan operasional yang kuat bagi BPK RI dalam melaksanakan tugasnya untuk melakukan pemeriksaan terhadap keuangan negara.

Susunan Keanggotaan BPK

BPK mempunyai 9 (sembilan) orang anggota, yang keanggotaannya diresmikan dengan Keputusan Presiden. Susunan BPK terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota. Jenis Pemeriksaan 1. Pemeriksaan Keuangan Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan. Pemeriksaan keuangan tersebut bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia atau basis akuntansi komprehensif selain prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Pemeriksaan atas Laporan Keuangan bertujuan untuk memberikan pendapat/opini atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Adapun kriteria pemberian opini menurut undang-undang nomor 15 tahun 2004, penjelasan 16 ayat (1), opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria (i) kesesuaian dengan standar

akuntansi pemerintahan; (ii) kecukupan pengungkapan (adequate disclosure); (iii) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan (iv)efektivitas sistem pengendalian intern. 2. Pemeriksaan Kinerja Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas. Dalam melakukan pemeriksaan kinerja, pemeriksa juga menguji kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan serta pengendalian intern. Pemeriksaan kinerja dilakukan secara obyektif dan sistematik terhadap berbagai macam bukti, untuk dapat melakukan penilaian secara independen atas kinerja entitas atau program/kegiatan yang diperiksa. Pemeriksaan kinerja menghasilkan informasi yang berguna untuk meningkatkan kinerja suatu program dan memudahkan pengambilan keputusan bagi pihak yang bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengambil tindakan koreksi serta meningkatkan pertanggungjawaban publik. Pemeriksaan kinerja dapat memiliki lingkup yang luas atau sempit dan menggunakan berbagai metodologi; berbagai tingkat analisis, penelitian atau evaluasi. Pemeriksaan kinerja menghasilkan temuan, simpulan, dan rekomendasi. Tujuan pemeriksaan yang menilai hasil dan efektivitas suatu program adalah mengukur sejauh mana suatu program mencapai tujuannya. Tujuan pemeriksaan yang menilai ekonomi dan efisiensi berkaitan dengan apakah suatu entitas telah menggunakan sumber dayanya dengan cara yang paling produktif di dalam mencapai tujuan program. Kedua tujuan pemeriksaan ini dapat berhubungan satu sama lain dan dapat dilaksanakan secara bersamaan dalam suatu pemeriksaan kinerja. Contoh tujuan pemeriksaan atas hasil dan efektivitas program serta pemeriksaan atasekonomi dan efisiensi adalah penilaian atas: a. Sejauh mana tujuan peraturan perundang-undangan dan organisasi dapat dicapai. b. Kemungkinan alternatif lain yang dapat meningkatkan kinerja program atau menghilangkan faktor-faktor yang menghambat efektivitas program. c. Perbandingan antara biaya dan manfaat atau efektivitas biaya suatu program. d. Sejauh mana suatu program mencapai hasil yang diharapkan atau menimbulkan dampak yang tidak diharapkan. e. Sejauhmana program berduplikasi, bertumpang tindih, atau bertentangan dengan program lain yang sejenis. f. Sejauhmana entitas yang diperiksa telah mengikuti ketentuan pengadaan yang sehat. g. Validitas dan keandalan ukuran-ukuran hasil dan efektivitas program, atau ekonomi dan efisiensi.

h. Keandalan, validitas, dan relevansi informasi keuangan yang berkaitan dengan kinerja suatu program. 3. Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu bertujuan untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa. Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu dapat bersifat: eksaminasi (examination), reviu (review), atau prosedur yang disepakati (agreed-upon procedures). Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern. Apabila pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu berdasarkan permintaan, maka BPK harus memastikan melalui komunikasi tertulis yang memadai bahwa sifat pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah telah sesuai dengan permintaan. Hal - Hal Terkait Pelaksanaan Pemeriksaan BPK memiliki kebebasan dan kemandirian dalam ketiga tahap pemeriksaan, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam tahap perencanaan mencakup kebebasan dalam menentukan obyek yang akan diperiksa, kecuali pemeriksaan yang obyeknya telah diatur tersendiri dalam undang-undang, atau pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus dari lembaga perwakilan. Sementara itu kebebasan dalam penyelenggaraan kegiatan pemeriksaan antara lain meliputi kebebasan dalam penentuan waktu pelaksanaan dan metode pemeriksaan, termasuk metode pemeriksaan yang bersifat investigatif. Selain itu, kemandirian BPK dalam pemeriksaan keuangan negara mencakup ketersediaan sumber daya manusia, anggaran, dan sarana pendukung lainnya yang memadai. Dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Untuk keperluan tersebut, laporan hasil pemeriksaan intern pemerintah wajib disampaikan kepada BPK. Dalam merencanakan tugas pemeriksaan, BPK memperhatikan permintaan, saran, dan pendapat lembaga perwakilan. Dalam rangka membahas permintaan, saran, dan pendapat tersebut, BPK atau lembaga perwakilan dapat mengadakan pertemuan konsultasi. Dalam merencanakan tugas, BPK dapat mempertimbangkan informasi dari pemerintah, bank sentral, dan masyarakat. Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK dapat menggunakan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK. BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. Untuk keperluan tindak

lanjut hasil pemeriksaan, BPK menyerahkan pula hasil pemeriksaan secara tertulis kepada Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Syarat Pemeriksa Dan/Atau Tenaga Ahli Dari Luar BPK Penggunaan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK dilakukan apabila BPK tidak memiliki/tidak cukup memiliki pemeriksa dan/atau tenaga ahli yang diperlukan dalam suatu pemeriksaan. Pemeriksa dan/atau tenaga ahli yang dapat melaksanakan tugas pemeriksaan keuangan negara harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Pemeriksa dari lingkungan aparat pengawasan intern pemerintah yang memperoleh ijin atau persetujuan tertulis dari pimpinan instansi yang bersangkutan dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan BPK; b. Akuntan Akuntan publik yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik yang memenuhi persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan terdaftar di BPK; c. Tenaga ahli yang memiliki keahlian dan persyaratan yang ditetapkan oleh BPK. Kewenangan BPK Dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang: a. Menentukan pemeriksaan; b. Meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, bank indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara; c. Melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap negara; d. Menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK; e. Menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah konsultasi dengan pemerintah pusat/pemerintah daerah yang wajib digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; f. Menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; perhitungan-perhitungan, surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun dan menyajikan laporan

g. Menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar bpk yang bekerja untuk dan atas nama BPK; h. Membina jabatan fungsional pemeriksa; i. Memberi pertimbangan atas standar akuntansi pemerintahan; dan j. Memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern pemerintah pusat/pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah. Standar Pemeriksaan Keuangan Negara Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang tertuang dalam Peraturan BPK No.1 Tahun 2007. SPKN ini berlaku bagi: Badan Pemeriksa Keuangan. Akuntan Publik atau pihak lainnya yang melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara, untuk dan atas nama Badan Pemeriksa Keuangan. Aparat Pengawas Internal Pemerintah, satuan pengawasan intern maupun pihak lainnya dapat menggunakan SPKN sebagai acuan dalam menyusun standar pengawasan sesuai dengan kedudukan, tugas, dan fungsinya. SPKN terdiri atas 7 (tujuh) Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP) yang terdiri dari: a. PSP Nomor 01 tentang Standar Umum b. PSP Nomor 02 tentang Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan c. PSP Nomor 03 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan Keuangan d. PSP Nomor 04 tentang Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja. e. PSP Nomor 05 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan Kinerja. f. PSP Nomor 06 tentang Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu g. PSP Nomor 07 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu B. OPINI BPK ATAS LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH Hasil setiap pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK disusun dan disajikan dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) segera setelah kegiatan pemeriksaan selesai. Pemeriksaan keuangan akan menghasilkan opini. Pemeriksaan kinerja akan menghasilkan temuan, kesimpulan, dan rekomendasi Pemeriksaan dengan tujuan tertentu akan menghasilkan kesimpulan.

10

Setiap laporan hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya ditindaklanjuti, antara lain dengan membahasnya bersama pihak terkait. Tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan, kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksa, dimuat atau dilampirkan pada laporan hasil pemeriksaan. Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada criteria : Kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan Kecukupan pengungkapan (adequate disclosures) Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan Efektivitas sistem pengendalian intern Merujuk pada Buletin Teknis (Bultek) 01 tentang Pelaporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah yang diatur dalam keputusan BPK RI Nomor 4/K/I-XIII.2/9/2012 paragraf 13 tentang Jenis Opini. Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa, yakni. Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) memuat suatu pernyataan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang diberlakukan dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), BPK dapat memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelas (WTP-DPP) karena keadaan tertentu sehingga mengharuskan pemeriksa menambahkan suatu paragraf penjelasan dalam LHP sebagai modifikasi dari opini WTP. Wajar Dengan Pengecualian (WDP) memuat suatu pernyataan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material sesuai dengan SAP, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan. Tidak Wajar (TW) memuat suatu pernyataan bahwa laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan SAP. Pernyataan Menolak Memberikan Opini atau Tidak Memberikan Pendapat (TMP) menyatakan bahwa pemeriksa tidak menyatakan opini atas laporan keuangan. LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas LKPP Tahun 2012. Opini WDP tersebut sama dengan opini BPK untuk LKPP Tahun 2011. Pengecualian (qualification) pada LKPP Tahun 2012 meliputi empat hal sebagai berikut:

11

1. Untung atau rugi selisih kurs dari seluruh transaksi yang menggunakan mata uang asing belum dilakukan sesuai Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintahan terkait yang berpengaruh pada realisasi penerimaan dan/atau belanja; 2. Kelemahan penganggaran dan penggunaan Belanja Barang, Belanja Modal, dan Belanja Bantuan Sosial, yaitu: a. Kelemahan pengendalian dan pelaksanaan revisi DIPA sehingga realisasi belanja melampaui DIPA sebesar Rp11,37 triliun untuk selain Belanja Pegawai; b. Belanja Barang dan Belanja Modal yang melanggar ketentuan perundang-undangan dan berindikasi merugikan negara sebesar Rp546,01 miliar, termasuk yang belum dipertanggungjawabkan sebesar Rp240,16 miliar dan c. Pembayaran Belanja Barang dan Belanja Modal di akhir tahun sebesar Rp1,31 triliun tidak sesuai realisasi fisik; d. Belanja Bantuan Sosial sebesar Rp1,91 triliun masih mengendap di rekening pihak ketiga dan/atau rekening penampungan kementerian negara/lembaga dan tidak disetor ke kas negara; e. Penggunaan Belanja Bantuan Sosial sebesar Rp269,98 miliar tidak sesuai dengan sasaran. 3. Aset eks-BPPN sebesar Rp8,79 triliun belum ditelusuri keberadaannya dan aset properti eks kelolaan PT PPA sebesar Rp1,12 triliun belum diselesaikan penilaiannya 4. Saldo anggaran lebih (SAL) pada akhir tahun 2012 yang dilaporkan berbeda dengan keberadaan fisik SAL tersebut sebesar Rp8,15 miliar, penambahan fisik SAL sebesar Rp33,49 miliar tidak dapat dijelaskan, serta koreksi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp30,89 miliar tidak didukung dokumen sumber yang memadai . Mengingat LKPP merupakan konsolidasian dari Laporan Keuangan Kementerian Negar/Lembaga (LKKL) dan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LK BUN), LHP LKPP juga merupakan gabungan dari LHP LKKL dan LK BUN. Perkembangan opini atas LKKL dan LK BUN dari Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2012 dapat dilihat sebagai berikut:

Keterangan : Jumlah entitas pelaporan adalah 94, satu diantaranya yaitu Badan Pengelola Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam belum selesai diperiksa.

12

Dua Badan yang mendapat opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) adalah Badan Pengawasan Obat dan Makanan serta Badan Pengusahaan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Berdasarkan tabel diatas, opini BPK memang terlihat membaik dari tahun ke tahun. Jumlah lembaga yang memperoleh Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) setiap tahunnya selalu mengalami kenaikan. Sedangkan untuk lembaga-lembaga yang memperoleh Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan Tidak Memberikan Pendapat (TMP) setiap tahunnya selalu menurun. Untuk lima tahun terakhir ini BPK tidak pernah memberikan opini Tidak Wajar (TW). Secara keseluruhan tren laporan keuangan pemerintah setiap tahun memang terus membaik.

Laporan Realisasi APBN

Neraca

13

Laporan Arus Kas

LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

Sumber : Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2012, Maret 2013, BPK RI Tabel dia merupakan opini yang dikeluarkan oleh BPK dari tahun ke tahun atas LKPD mulai dari propinsi, kabupaten, kota. Dapat dilihat bahwa tiap tahunnya Pemerintah Daerah mencoba untuk terus memperbaiki kinerja mereka dalam penyusunan Laporan Keuangan. Untuk tahun 2011 yang mencapai WTP hampir dua kali lipat tahun sebelumnya. Sedangkan untuk Laporan Keuangan Tahun 2012 diharapkan ada peningkatan yang lebih baik lagi. Karena untuk 14

data Ikhtisar belum dikeluarkan oleh BPK-RI maka data secara keseluruhan mengenai hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah belum bisa disajikan. Atas 349 LKPD yang masih memperoleh opini WDP, pada umumnya laporan keuangan telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan akun yang dikecualikan, diantaranya asset tetap yang belum dilakukan inventarisasi dan penilaian, penyertaan modal belum disajikan dengan menggunakan metode ekuitas, dan penatausahaan persediaaan tidak memadai. Atas 8 LKPD yang memperoleh opini TW, pada umumnya laporan keuangan tidak disajikan secara wajar sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan dalam semua hal yang material, di antaranya pada akun kas, persediaan, asset tetap belanja barang dan jasa, belanja bantuan social, serta belanja modal Atas 96 LKPD yang memperoleh opini TMP, pada umumnya laporan keuangan tidak dapat diyakini kewajarannya dalam semua hal yang material sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan yang disebabkan oleh pembatasan lingkup pemeriksaan, kelemahan pengelolaan kas, piutang, persediaan, investasi permanen dan non permanen, asset tetap, belanja barang dan jasa, belanja bantuan sosial, dan belanja modal. C. PENGENDALIAN INTERNAL STANDAR PEMERIKSAAN PERNYATAAN NOMOR 01 : STANDAR UMUM PENGENDALIAN MUTU Pernyataan standar umum keempat adalah: Setiap organisasi pemeriksa yang melaksanakan pemeriksaan berdasarkan Standar Pemeriksaan harus memiliki sistem pengendalian mutu yang memadai, dan sistem pengendalian mutu tersebut harus direviu oleh pihak lain yang kompeten (pengendalian mutu ekstern). Sistem pengendalian mutu yang disusun oleh organisasi pemeriksa harus dapat memberikan keyakinan yang memadai bahwa organisasi pemeriksa tersebut: (1) telah menerapkan dan mematuhi Standar Pemeriksaan yang berlaku; (2) telah menetapkan dan mematuhi kebijakan dan prosedur pemeriksaan yang memadai. Sifat dan lingkup sistem pengendalian mutu organisasi pemeriksa bergantung pada beberapa faktor, seperti ukuran dan tingkat otonomi kegiatan yang diberikan kepada pemeriksa dan organisasi pemeriksa, sifat pekerjaan, struktur organisasi, pertimbangan mengenai segi biaya dan manfaatnya. Dengan demikian, sistem pengendalian mutu yang disusun oleh organisasi pemeriksa secara individu akan bervariasi, begitu pula mengenai dokumentasinya.

15

Organisasi pemeriksa yang melaksanakan pemeriksaan berdasarkan Standar Pemeriksaan harus direviu paling tidak sekali dalam 5 (lima) tahun oleh organisasi pemeriksa ekstern yang kompeten, yang tidak mempunyai kaitan dengan organisasi pemeriksa yang direviu2. Penilaian atas pengendalian mutu pemeriksaan oleh pihak ekstern yang kompeten adalah untuk menentukan apakah sistem pengendalian mutu pemeriksaan sudah dirancang dan dilaksanakan secara efektif, sehingga dapat memberikan keyakinan yang memadai bahwa kebijakan dan prosedur pemeriksaan yang ditetapkan dan Standar Pemeriksaan yang berlaku telah dipatuhi. Menurut Standar Pemeriksaan ini, pemeriksa atau organisasi pemeriksa yang mereviu pengendalian mutu pemeriksaan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Pemeriksa tersebut harus memiliki keahlian dan pengetahuan yang mutakhir mengenai jenis pemeriksaan yang direviu, serta standar pemeriksaan yang berlaku. b. Pemeriksa dan/atau organisasi pemeriksa tersebut harus independen (sebagaimana didefinisikan dalam Standar Pemeriksaan ini) dari organisasi pemeriksa yang direviu, pegawainya, dan entitas yang diperiksa (yang pelaksanaan pemeriksaannya dipilih untuk direviu). Suatu organisasi pemeriksa dilarang mereviu organisasi pemeriksa lainnya yang baru saja melaksanakan reviu mengenai pengendalian mutu pemeriksaan terhadap organisasi pemeriksa tersebut. c. Pemeriksa tersebut harus memiliki pengetahuan mengenai bagaimana melaksanakan reviu atas pengendalian mutu pemeriksaan. Pengetahuan tersebut dapat diperoleh dari on-thejob training, pendidikan dan pelatihan maupun kombinasi keduanya. Reviu atas pengendalian mutu harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Pemeriksa dan organisasi pemeriksa tersebut harus menggunakan pertimbangan sehat dan profesional dalam menilai dan melaporkan hasil reviunya b. Pemeriksa tersebut harus memilih salah satu cara pendekatan di bawah ini untuk menentukan hasil pemeriksaan yang dinilai, yaitu: (1) memilih pemeriksaan yang secara memadai dapat mewakili penugasan pemeriksaan berdasarkan Standar Pemeriksaan ini; atau (2) memilih pemeriksaan yang secara memadai dapat mewakili penugasan pemeriksaan oleh organisasi pemeriksa, termasuk satu atau lebih penugasan pemeriksaan yang dilaksanakan berdasarkan Standar Pemeriksaan ini. c. Reviu atas mutu pemeriksaan meliputi penilaian kebijakan dan prosedur pengendalian mutu organisasi pemeriksa, termasuk pula prosedur pengawasan terkait, pelaporan pemeriksaan, dokumentasi pemeriksaan yang diperlukan (misalnya dokumentasi independensi, dokumentasi tentang pendidikan profesional berkelanjutan, arsip pegawai yang berkaitan dengan pengangkatan, evaluasi kinerja dan kebijakan pemeriksaan), serta

16

wawancara dengan staf profesional organisasi pemeriksa yang direviu untuk menentukan pemahaman dan kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur pengendalian mutu pemeriksaan. d. Reviu harus cukup komprehensif untuk memberikan dasar yang memadai untuk menyimpulkan bahwa sistem pengendalian mutu organisasi pemeriksa yang direviu telah dilaksanakan sesuai dengan standar profesional. Pemeriksa yang mereviu harus mempertimbangkan mengenai kecukupan dan hasil pengawasan organisasi pemeriksa yang direviu dalam perencanaan prosedur reviu secara efisien. e. Pemeriksa yang mereviu harus menyiapkan laporan tertulis untuk mengkomunikasikan hasil reviunya. Laporan tersebut harus mengindikasikan lingkup reviu, termasuk setiap keterbatasan yang ada, dan harus mengungkapkan suatu opini mengenai apakah sistem pengendalian mutu pemeriksaan yang dilakukan organisasi pemeriksa yang direviu telah memadai dan telah sesuai dengan standar profesional. Laporan harus menyatakan standar profesional yang digunakan. Laporan juga harus menjelaskan alasan-alasan jika terjadi modifikasi terhadap opini. Apabila ada hal-hal yang mengakibatkan modifikasi terhadap opini, maka pemeriksa tersebut harus memberikan penjelasan dalam temuan dan rekomendasinya, baik dalam laporan reviu maupun dalam surat komentar yang terpisah, atau dalam surat kepada manajemen agar organisasi pemeriksa yang direviu dapat mengambil tindakan yang tepat. Laporan tertulis tersebut harus mengacu kepada surat komentar atau surat kepada manajemen apabila surat tersebut dikeluarkan bersama laporan modifikasi. Prosedur reviu terhadap pengendalian mutu harus direncanakan sesuai dengan luas dan sifat pekerjaan organisasi pemeriksa yang direviu. Sebagai contoh, suatu organisasi pemeriksa hanya sedikit melaksanakan pemeriksaan, maka terhadap organisasi pemeriksa ini reviu akan lebih efektif apabila penilaian lebih menitikberatkan kepada penilaian mutu pemeriksaan tersebut daripada penilaian yang menitikberatkan kepada penilaian kebijakan dan prosedur pengendalian mutu organisasi pemeriksa dimaksud. Informasi dalam laporan reviu pengendalian mutu pemeriksaan seringkali berkaitan dengan pengambilan keputusan penugasan pemeriksaan. Organisasi pemeriksa yang akan menerima penugasan pemeriksaan berdasarkan Standar Pemeriksaan ini, dapat diminta untuk menyediakan laporan reviu pengendalian mutu pemeriksaan yang terakhir3 kepada pemberi penugasan tersebut. STANDAR PEMERIKSAAN PERNYATAAN NOMOR 03 : STANDAR PELAPORAN PEMERIKSAAN KEUANGAN

17

PELAPORAN TENTANG PENGENDALIAN INTERN Pernyataan standar pelaporan tambahan ketiga adalah: Laporan atas pengendalian intern harus mengungkapkan kelemahan dalam pengendalian intern atas pelaporan keuangan yang dianggap sebagai kondisi yang dapat dilaporkan. Pelaporan tentang Kelemahan Pengendalian Intern Pemeriksa harus melaporkan kelemahan pengendalian intern atas pelaporan keuangan yang dianggap sebagai kondisi yang dapat dilaporkan. Beberapa contoh kondisi yang dapat dilaporkan seperti yang dirumuskan dalam SPAP adalah sebagai berikut: a. Tidak ada pemisahan tugas yang memadai sesuai dengan tujuan pengendalian yang layak. b.Tidak ada reviu dan persetujuan yang memadai untuk transaksi, pencatatan akuntansi atau output dari suatu sistem. c. Tidak memadainya berbagai persyaratan untuk pengamanan aktiva. d. Bukti kelalaian yang mengakibatkan kerugian, kerusakan atau penggelapan aktiva. e. Bukti bahwa suatu sistem gagal menghasilkan output yang lengkap dan cermat sesuai dengan tujuan pengendalian yang ditentukan oleh entitas yang diperiksa, karena kesalahan penerapan prosedur pengendalian. f. Bukti adanya kesengajaan mengabaikan pengendalian intern oleh orang orang yang mempunyai wewenang, sehingga menyebabkan kegagalan tujuan menyeluruh sistem tersebut. g. Bukti kegagalan untuk menjalankan tugas yang menjadi bagian dari pengendalian intern, seperti tidak dibuatnya rekonsiliasi atau pembuatan rekonsiliasi tidak tepat waktu. h. Kelemahan dalam lingkungan pengendalian, seperti tidak adanya tingkat kesadaran yang memadai tentang pengendalian dalam organisasi tersebut. i. Kelemahan yang signifikan dalam disain atau pelaksanaan pengendalian intern yang dapat mengakibatkan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang berdampak langsung dan material atas laporan keuangan. j. Kegagalan untuk melakukan tindak lanjut dan membentuk sistem informasi pemantauan tindak lanjut untuk secara sistematis dan tepat waktu memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam pengendalian intern yang sebelumnya telah diketahui. Dalam melaporkan kelemahan pengendalian intern atas pelaporan keuangan, pemeriksa harus mengidentifikasi kondisi yang dapat dilaporkan yang secara sendiri-sendiri atau secara kumulatif merupakan kelemahan yang material. Pemeriksa harus menempatkan temuan tersebut dalam perspektif yang wajar. Untuk memberikan dasar bagi pengguna laporan hasil

18

pemeriksaan dalam mempertimbangkan kejadian dan konsekuensi kondisi tersebut, hal-hal yang diidentifikasi harus dihubungkan dengan hasil pemeriksaan secara keseluruhan. Sejauh memungkinkan, dalam menyajikan temuan mengenai kelemahan pengendalian intern atas pelaporan keuangan, pemeriksa harus mengembangkan unsur-unsur kondisi, kriteria, akibat, dan sebab untuk membantu manajemen entitas yang diperiksa atau pihak berwenang dalam memahami perlunya mengambil tindakan perbaikan. Apabila pemeriksa dapat mengembangkan secara memadai temuan-temuan tersebut, pemeriksa harus membuat rekomendasi guna tindakan perbaikan. Berikut ini adalah pedoman dalam melaporkan unsur-unsur temuan: a. Kondisi; memberikan bukti mengenai hal-hal yang ditemukan pemeriksa di lapangan. Pelaporan lingkup atau kedalaman dari kondisi dapat membantu pengguna laporan dalam memperoleh perspektif yang wajar. b. Kriteria; memberikan informasi yang dapat digunakan oleh pengguna laporan hasil pemeriksaan untuk menentukan keadaan seperti apa yang diharapkan. Kriteria akan mudah dipahami apabila dinyatakan secara wajar, eksplisit, dan lengkap, dan sumber dari kriteria dinyatakan dalam laporan hasil pemeriksaan. c. Akibat; memberikan hubungan yang jelas dan logis untuk menjelaskan pengaruh dari perbedaan antara apa yang ditemukan pemeriksa (kondisi) dan apa yang seharusnya (kriteria). Akibat lebih mudah dipahami bila dinyatakan secara jelas, terinci, dan apabila memungkinkan, dinyatakan dalam angka. Signifikansi dari akibat yang dilaporkan ditunjukkan oleh bukti yang meyakinkan. d. Sebab; memberikan bukti yang meyakinkan mengenai faktor yang menjadi sumber perbedaan antara kondisi dan kriteria. Dalam melaporkan sebab, pemeriksa harus mempertimbangkan apakah bukti yang ada dapat memberikan argumen yang meyakinkan dan masuk akal bahwa sebab yang diungkapkan merupakan faktor utama terjadinya perbedaan. Pemeriksa juga perlu mempertimbangkan apakah sebab yang diungkapkan dapat menjadi dasar pemberian rekomendasi. Dalam situasi temuan terkait dengan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dimana tidak dapat ditetapkan dengan logis penyebab temuan tersebut, pemeriksa tidak diharuskan untuk mengungkapkan unsur sebab ini. Apabila pemeriksa mendeteksi adanya kelemahan dalam pengendalian intern atas pelaporan keuangan yang merupakan kondisi yang dapat dilaporkan, pemeriksa harus mengkomunikasikan secara tertulis kelemahan tersebut kepada entitas yang diperiksa melalui laporan tentang pengendalian intern.

19

STANDAR PEMERIKSAAN PERNYATAAN NOMOR 05 : STANDAR PELAPORAN PEMERIKSAAN KINERJA Kelemahan Pengendalian Intern Pemeriksa harus melaporkan lingkup pemeriksaannya mengenai pengendalian intern dan kelemahan signifikan yang ditemukan selama pemeriksaan. Apabila pemeriksa menemukan kelemahan pengendalian intern yang tidak signifikan, pemeriksa harus menyampaikan kelemahan tersebut dengan surat yang ditujukan kepada manajemen entitas yang diperiksa. Jika pemeriksa sudah menyampaikan hal tersebut, pemeriksa harus menyatakan demikian di dalam laporan hasil pemeriksaan. Dalam pemeriksaan kinerja dapat terjadi bahwa kelemahan signifikan dalam pengendalian intern merupakan penyebab lemahnya kinerja. Untuk melaporkan temuan seperti ini, kelemahan pengendalian intern disebut sebagai unsur sebab. Kepatuhan Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Pemeriksa harus melaporkan semua kejadian mengenai ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketidakpatutan yang ditemukan selama atau dalam hubungannya dengan pemeriksaan. Dalam keadaan tertentu, pemeriksa harus melaporkan adanya unsur penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut kepada pihak yang berwenang sesuai dengan prosedur yang berlaku di BPK. Apabila berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh pemeriksa menyimpulkan bahwa telah terjadi atau mungkin telah terjadi kecurangan atau penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan serta ketidakpatutan, pemeriksa harus melaporkan hal tersebut. Dalam melaporkan kecurangan atau penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan, atau ketidakpatutan, pemeriksa harus menempatkan temuan tersebut secara lugas dan jelas dalam perspektif yang wajar. Untuk memberikan dasar bagi pengguna laporan hasil pemeriksaan untuk menilai pengaruh dan konsekuensi temuan pemeriksaan, maka temuan pemeriksaan tersebut harus dikaitkan dengan populasi atau jumlah kasus yang diperiksa, dan jika mungkin dinyatakan dalam nilai satuan mata uang. Apabila pemeriksa tidak dapat menarik simpulan mengenai populasi berdasarkan uji petik maka simpulan pemeriksa harus dibatasi hanya pada unsur yang diuji. Standar Pemeriksaan mengharuskan pemeriksa untuk melaporkan kecurangan dan penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang undangan kepada pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di BPK. Peraturan perundang-undangan atau kebijakan dapat mengharuskan pemeriksa untuk dengan segera melaporkan indikasi ketidakpatuhan atau penyimpangan dari ketentuan

20

peraturan perundang undangan kepada pihak yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Dalam hal pemeriksa menyimpulkan bahwa ketidakpatuhan atau penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang undangan telah terjadi atau kemungkinan telah terjadi, maka BPK harus menanyakan kepada pihak yang berwenang tersebut dan atau kepada penasehat hukum apakah laporan mengenai adanya informasi tertentu tentang penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut akan mengganggu suatu proses penyidikan atau proses peradilan. Apabila laporan hasil pemeriksaan akan mengganggu proses penyidikan atau peradilan tersebut, BPK harus membatasi laporannya, misalnya pada hal-hal yang telah diketahui oleh umum (masyarakat). STANDAR PEMERIKSAAN PERNYATAAN NOMOR 07 : STANDAR PELAPORAN PEMERIKSAAN DENGAN TUJUAN TERTENTU PELAPORAN TENTANG KELEMAHAN PENGENDALIAN INTERN DAN KEPATUHAN TERHADAP KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pernyataan standar pelaporan tambahan kedua adalah: Laporan Hasil Pemeriksaan dengan tujuan tertentu harus mengungkapkan: a. kelemahan pengendalian intern2 yang berkaitan dengan hal yang diperiksa, b. kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk pengungkapan penyimpangan administrasi, pelanggaran atas perikatan perdata, maupun atas

penyimpangan yang mengandung unsur tindak pidana yang terkait dengan hal yang diperiksa, c. ketidakpatutan yang material terhadap hal yang diperiksa. Dalam melaporkan pengendalian intern, kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan atau ketidakpatutan, pemeriksa harus menempatkan temuan pemeriksaan dalam perspektif yang wajar. Untuk memberikan dasar bagi pengguna laporan hasil pemeriksaan dalam mempertimbangkan kejadian dan konsekuensi kondisi tersebut, hal-hal yang diidentifikasi harus dihubungkan dengan hasil pemeriksaan secara keseluruhan, dan jika memungkinkan, dapat dinyatakan dalam satuan mata uang. Sejauh memungkinkan, dalam menyajikan temuan, pemeriksa harus mengembangkan unsur-unsur kondisi, kriteria, akibat, dan sebab untuk membantu manajemen entitas yang diperiksa atau pihak berwenang dalam memahami perlunya mengambil tindakan perbaikan. Berikut ini adalah pedoman dalam melaporkan unsur-unsur temuan: a. Kondisi; memberikan bukti mengenai hal-hal yang ditemukan oleh pemeriksa di lapangan. Pelaporan lingkup atau kedalaman dari kondisi dapat membantu pengguna laporan dalam memperoleh perspektif yang wajar.

21

b.

Kriteria; memberikan informasi yang dapat digunakan oleh pengguna laporan hasil

pemeriksaan untuk menentukan keadaan seperti apa yang diharapkan. Kriteria akan mudah dipahami apabila dinyatakan secara wajar, eksplisit, dan lengkap, serta sumber dari kriteria dinyatakan dalam laporan hasil pemeriksaan. c. Akibat; memberikan hubungan yang jelas dan logis untuk menjelaskan pengaruh dari perbedaan antara apa yang ditemukan oleh pemeriksa (kondisi) dan apa yang seharusnya (kriteria). Akibat lebih mudah dipahami bila dinyatakan secara jelas, terinci, dan apabila memungkinkan, dinyatakan dalam angka. Signifikansi dari akibat yang dilaporkan ditunjukkan oleh bukti yang meyakinkan. d. Sebab; memberikan bukti yang meyakinkan mengenai faktor yang menjadi sumber perbedaan antara kondisi dan kriteria. Dalam melaporkan sebab, pemeriksa harus mempertimbangkan apakah bukti yang ada dapat memberikan argumen yang meyakinkan dan masuk akal bahwa sebab yang diungkapkan merupakan faktor utama terjadinya perbedaan. Dalam situasi temuan terkait dengan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dimana tidak dapat ditetapkan dengan logis penyebab temuan tersebut, pemeriksa tidak diharuskan untuk mengungkapkan unsur sebab ini. Kelemahan Pengendalian Intern Pemeriksa harus melaporkan lingkup pemeriksaannya mengenai pengendalian intern dan kelemahan signifikan yang ditemukan selama pemeriksaan. Apabila pemeriksa menemukan kelemahan pengendalian intern yang tidak signifikan, pemeriksa harus menyampaikan kelemahan tersebut dengan surat yang ditujukan kepada manajemen entitas yang diperiksa. Jika pemeriksa sudah menyampaikan hal tersebut, pemeriksa harus menyatakan demikian di dalam laporan hasil pemeriksaan. Dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu dapat terjadi bahwa kelemahan signifikan dalam pengendalian intern merupakan faktor yang mempengaruhi temuan dan simpulan pemeriksa. Pemeriksa harus menjelaskan lingkup pengujian pemeriksaan atas kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hal yang diperiksa. Kepatuhan terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Standar Pemeriksaan mengharuskan pemeriksa untuk melaporkan kecurangan dan penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan kepada pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal pemeriksa menyimpulkan bahwa ketidakpatuhan atau pe-nyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan telah terjadi atau kemungkinan telah terjadi, maka BPK harus menanyakan kepada pihak yang berwenang tersebut dan atau kepada penasehat

22

hukum apakah laporan mengenai adanya informasi tertentu tentang penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut akan mengganggu suatu proses penyidikan atau proses peradilan. Apabila laporan pemeriksaan akan mengganggu proses penyidikan atau peradilan tersebut, BPK harus membatasi laporannya, misalnya pada hal-hal yang telah diketahui oleh umum (masyarakat). Permasalahan Signifikan dalam LHP Sistem Pengendalian Intern (SPI) dan Kepatuhan Tahun 2012 1. Pengelolaan PPh Migas tidak Optimal dan Penggunaan Tarif pajak dalam Perhitungan PPh dan Bagi Hasil Migas Tidak Konsisten. Pemerintah belummemliki SOP terkait koordinasi antar pihak dalam perhitungn PPh Migas. Tarif PPhlebih rendah daripada yang ditetapkan PSC 2. Pemerintah Belum Menetapkan Kebijakan dan Kriteria yang jelas Untuk Memastikan Ketepatan Realisasi Belanja Subsidi Energi. 3. Sistem Pengendalian Belanja Akhir Tahun Tidak Berjalan Secara Efektif. LKPP 2012 mengungkapkan belanja tertinggi pada bulan Desember 2012 sebesar Rp276,85 T yang lebih tinggi dari rata-rata bulanan 2012 sebesar Rp124,15 T 4. Pengendalian atas Pelaksanaan Revisi DIPA Belum Memadai Sehingga Terjadi Pagu Minus atas Belanja Non Pegawai. Revisi DIPA untuk Belanja Non Pegawai tahun 2012 adalah sebesar Rp11,37T 5. Penganggaran dan Pengendapan Dana Belanja Bantuan Sosial Tidak Sesuai Ketentuan dan Adanya Penyaluran Dana Bantuan Sosial tidak sesuai Sasaran. 6. Penarikan Pinjaman Luar Negeri Sebesar Rp2,23 T belum didukung Dokumen Alokasi Anggaran TA 2012. Hasil Rekonsiliasi pinjaman proyek antara DJPU dengan DJPB menunjukkan perbedaan Rp2,23 T karena Notice of Disbursement yang belum diterbitkan Surat Perintah Pengesahannya (SP3) 7. Kementerian Keuangan Selaku BUN belum Optimal melakukan Monitoring atas Rekening yang dikelola Kementrian dan Lembaga. Berdasarkan hasil konfirmasi kepada bank secara uji petik masih terdapat 328 rekening giro pemerintah dengan saldo total Rp330,60 M tidak diketahui atau tidak tercatat pada kementrian keuangan 8. Kelemahan dalam Pencatatan dan Penatausahaan Aset Tetap 9. Pemerintah belum menelusuri keberadaan Aset Eks BPPN dan Belum Melakukan Penilaian atas Aset eks BPPN

23

10. BPR NAD-Nias Belum menyusun Laporan Keuangan per Tanggal Pengkahiran Tugas (16 April 2009) dan Koreksi Nilai Aset oleh Tim Likuidasi BRR tidak dapat diyakini Kewajarannya 11. Kebijakan dan Metode Perhitungan selisih Kurs sehingga pendapatan lainnya sebesar Rp2,09 T, Belanja Lainnya sebesar Rp282,39 M dan Sleisih Kurs pada Kas Sebesar (499,08 M) tidak Wajar 12. Catatan Fisik dan SAL masih Berbeda, Penambahan FIsik dan Koreksi Pencatatan SILPA belum dapat Diyakini Kewajarannya 13. Pendapatan Hibah Langsung belum dilaporkan kepada Bendahara Umum Negara. Diterima dan digunakan 15 KL sebesar ekuivalen Rp499,62 M 14. Penganggaran belanja barang dan belanja Modal tidak sesuai ketentuan dan penggunaan Belanja pada 72 KL berindikasi merugikan Negara sebesar Rp546,01 M 15. Penjualan Kondesat Bagian Negara oleh PT TPPI tidak sesuai Kontrak 16. Persetujuan Pembayaran Kenaikan Kuota ke-14 atas Keanggotaan Indonesia pada IMF belum jelas sumber pendanaannya. 17. Pemerintah Belum menetapkan status pengelolaan keuangan SKK Migas (Eks BP MIGAS) dan Pembayaran untuk Biaya Operasionalnya selama TA 2012 sebesar RP1,60 T tidak melalui mekanisme APBN Tabel Kelompok Temuan SPI dalam Pemeriksaan Keuangan LK Semster II 2012 No Sub Kelompok Temuan Kelemahan SIstem Pengendalian 1 2 3 Kelemahan Sistem Pengendalian Akuntansi Dan Pelaporan Dan Belanja Kelemahan Stuktur Pegendalain Intern Jumlah Tabel Kelompok Temuan SPI dalam Pemeriksaan LKPD 2011 No Sub Kelompok Temuan Kelemahan SIstem Pengendalian 1 2 Kelemahan Sistem Pengendalian Akuntansi Dan Pelaporan Kelemahan Sistem Pengendalian Pelaksanaan Anggaran Pendapatan 586 433 Jumlah Kasus 316 1427 642 Kelemahan Sistem Pengendalian Pelaksanaan Anggaran Pendapatan 469 Jumlah Kasus

24

Dan Belanja 3 Kelemahan Stuktur Pegendalain Intern Jumlah 287 1306

Tabel Kelompok temuan Ketidakpatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan dalam IHPS tahun 2012 No Sub Kelompok Temuan 1 2 3 4 5 6 Kerugian Daerah/ Perusahaan Potensi Perusahaan Kekurangan Penerimaan Sub Total 1 Administrasi Ketidakhematan Ketidakefektifan Sub Total 2 Total 299 980 693 85 113 891 1871 131.932,13 817.965,66 58.397,28 295.561,65 353.958,93 1.171.924,59 Kerugian Jumlah Kasus 578 Nilai 390.331,70 295.701,83 Ketidakpatuhan terhadap Ketentuaan Perundang-undangan yang mengaibatkan Daerah/ 103

D. PELAKSANAAN TINDAK LANJUT ATAS REKOMENDASI HASIL PEMERIKSAAN BPK Tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan adalah kegiatan dan/atau keputusan yang dilakukan oleh pejabat yang diperiksa dan/atau pihak lain yang kompeten untuk melaksanakan rekomendasi hasil pemeriksaan BPK. Pasal 20 UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebutkan: 1. Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. 2. Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. 3. Jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima. 4. BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

25

5. Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. 6. BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester. Pasal 5 Peraturan Badan BPK RI Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pemantauan Pelaksanaan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan BPK menyebutkan: 1. Apabila sebagian atau seluruh rekomendasi tidak dapat dilaksanakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), Pejabat wajib memberikan alasan yang sah. 2. Alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kondisi: a. force majeur, yaitu suatu keadaan peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam, pemogokan, kebakaran dan gangguan lainnya yang mengakibatkan tindak lanjut tidak dapat dilaksanakan. b. subjek atau objek rekomendasi dalam proses peradilan: 1) pejabat menjadi tersangka dan ditahan; 2) pejabat menjadi terpidana; atau 3) objek yang direkomendasikan dalam sengketa di peradilan. c. rekomendasi tidak dapat ditindaklanjuti secara efektif, efisien, dan ekonomis antara lain, yaitu: 1) perubahan struktur organisasi; dan/atau 2) perubahan regulasi. 3. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Pejabat tidak menindaklanjuti rekomendasi tanpa adanya alasan yang sah, BPK dapat melaporkan kepada instansi yang berwenang. Pemantauan Pelaksanaan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan BPK Pasal 6 Peraturan Badan BPK RI Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pemantauan Pelaksanaan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan BPK menyebutkan: 1. BPK menelaah jawaban atau penjelasan yang diterima dari Pejabat untuk menentukan apakah tindak lanjut telah dilakukan. 2. Penelaahan terhadap jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Auditorat Utama Keuangan Negara/Perwakilan BPK yang bersangkutan. 3. Penelaahan diselesaikan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterimanya jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). 4. Hasil penelaahan diklasifikasikan sebagai berikut:

26

a. Tindak lanjut telah sesuai dengan rekomendasi; b. Tindak lanjut belum sesuai dengan rekomendasi; c. Rekomendasi belum ditindaklanjuti; atau d. Rekomendasi tidak dapat ditindaklanjuti. 5. Hasil penelaahan dituangkan dalam Resume Pemantauan Tindak Lanjut. Tindak Lanjut atas Hasil Pemeriksaan 2011 BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas LKPP Tahun 2011 karena: 1) masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan dan pencatatan hasilinventarisasi dan penilaian (IP) Aset Tetap; dan 2) pelaksanaan inventarisasi, perhitungan, dan penilaian terhadap Aset Eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang belum berdasarkan dokumen yang valid dan belum disajikan sebesar nilai bersih yang dapat direalisasikan. Pemerintah telah menindaklanjuti masalah tersebut dengan melakukan upaya perbaikan yaitu koordinasi dengan masing-masing KL terkait rincian asset tetap yang menjadi temuan, menyelesaikan sebagian besar asset tetap yang belum di-IP, menerbitkan ketentuan penyusustan barang miliknegara (BMN), serta menelusuri,memverifikasi dokumen cessie, dan membentuk penyisihan atas Aset Eks BPPN. Hasil pemantauan tindak lanjut atas rekomendasi BPK dalam LHP Tahun 2007-2011 menunjukkan dari 33 temuan yang belum selesai ditindaklanjuti, pemerintah telah selesai menindaklanjuti 4 temuan dan masih memproses tindak lanjut 17 temuan. Sedangkan 12 temuan lainnya dalam LHP LKPP Tahun 2007-2010 merupakan teun berulang di Tahun 2011, sehingga dinyatakan selesai pada LHP LKPP Tahun 2007-2010 dan menjadi bagian dari pemantauan tindak lanjut atas LHP LKPP Tahun 2011. Pemerintah telah menindaklanjuti saran-saran yang diajukan BPK, antara lain dengan: a. Menetapkan status hokum pengelolaan keuangan atas tujuh Perguruan Tinggi eks Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yaitu Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara,Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga. b. Memperbaiki system pertanggungjawaban dan pelaporan keuangan lembaga non structural, yayasan, dan badan lainnya. c. Menetapkan secara jelas objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Sektor Migas sesuai denganUU PBB dan UU Migas serta memeprbaiki petunjuk pegisian Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dan mekanisme penetapan PBB Sektor Migas. d. Menerbitkan ketentuan penyusutan BMN sebagai dasar penerapan penyusutan yang akan dimulai pada Semester II Tahun 2013.

27

e. Menelusuri, memverifikasi dokumen cessie, dan memebentuk penyisihan atas Aset Eks BPPN. Adapun temuan yang masih dalam proses tindak lanjut antara lain adalah: a. Mengupayakan amandemen Production Sharing Contract (PSC) atau kontrak bagi hasil sector migas dan/atau amandemen tax treaty terhadap Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang menggunakan tax treaty. b. Menyepakati risk sharing atas Kredit Usaha Tani (KUT) Tahun Penyaluran (TP) 1998/1999 secara akuntabel dengan mempertimbangkan rasa keadilan. c. Menertibkan pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan/atau penyetoran PNBP dan hibah langsung di Kementerian Negara/Lembaga (KL). d. Menertibkan dan menyempurnakan system pencatatan transaksi-transaksi non anggaran dan transaksi lain yang mempengaruhi Saldo Anggaran Lebih (SAL). e. Menyempurnakan regulasi pengelolaan dana pensiun Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan menyusun aturan teknis mengenai tata cara pengelolaan, penggunaan, dan pertanggungjawaban potongan gaji PNS untuk iuran dana pensiun yang dititipkan Menteri Keuangan kepada PT Taspen (Persero) f. Menelusuri dan menyelesiakan IP Aset Tetap, Aset Eks KKKS, dan Aset BPPN serta penyempurnaan pembukuannya. E. BENTUK BAKU LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN (LHP) ATAS LAPORAN KEUANGAN Berdasarkan exposure draft Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP) Nomor: 03.01, bentuk baku Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah harus memuat pernyataan bahwa Laporan Keuangan Pemerintah telah menyajikan informasi keuangan secara wajar dan cukup, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, realisasi anggaran, dan arus kas, dngan kriteria: a. Sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. b. Sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan; serta c. Sebagai hasil suatu sistem Pengendalian Intern Bentuk baku Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan selain Laporan Keuangan Pemerintah harus memuat pernyataan bahwa laporan keuangan telah menyajikan informasi keuangan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas sesuai dengan Prinsip Akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Bentuk baku Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan yang disusun oleh BPK maupun Pemeriksa dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK harus memuat unsur pokok sebagai berikut :

28

a. Suatu judul Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan. b. Pihak yang dituju oleh Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan. c. Suatu Pernyataan yang menyebutkan dasar hukum pemeriksaan yang dilakukan. d. Suatu pernyataan yang menyebutkan bahwa telah dilakukan pemeriksaan. e. Suatu pernyataan yang menyebutkan Laporan keuangan yang diperiksa. f. Suatu pernyataan yang menyatakan bahwa tanggung jawab pemerintah atas laporan keuangan dan tanggung jawab BPK atas opini pemeriksa atas laporan keuangan. g. Suatu pernyataan keharusan pemeriksaan yang dilakukan berdasarkan SPKN yang ditetapkan BPK dengan Peraturan. h. Suatu pernyataan bahwa SPKN mengharuskan pemeriksa merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan agar memperoleh keyakinan yang memadai tentang kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria (i) kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, (ii) kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), (iii) kepatuhan terhadap peraturan perundang undangan, dan (iv) efektivitas sistem pengendalian intern. i. Suatu Pernyataan bahwa Suatu pemeriksaan laporan keuangan meliputi pemeriksaan, atas dasar pengujian, bukti-bukti yang mendukung jumlah-jumlah dan pengungkapan dalam laporan keuangan. j. Suatu pernyataan bahwa pemeriksa yakin bahwa pemeriksaan yang dilakukan memberikan dasar memadai untuk menyatakan opini pemeriksa. k. Suatu Pernyataan bahwa Kepatuhan kepada ketentuan, peraturan dan perundangundangan yang berlaku merupakan tanggung jawab entitas yang diperiksa. l. Suatu pernyataan bahwa Standar Pemeriksaan Keuangan Negara mengharuskan pelaporan kepada pihak berwenang apabila ditemukan unsur pidana dalam melaksanakan pemeriksaan laporan keuangan. m. Suatu pernyataan bahwa pemeriksaan yang dilakukan tidak dirancang untuk secara khusus menemukan ketidakpatuhan terhadap ketentuan, peraturan dan perundang-undangan, kecurangan serta ketidakpatutan. n. Suatu pernyataan bahwa Pemeriksaan tidak bertujuan untuk menyatakan opini kepatuhan atas hal-hal tersebut. o. Suatu pernyataan yang memuat opini pemeriksa atas Laporan Keuangan. p. Suatu pernyataan bahwa ketidakpatuhan dan kelemahan SPI dimuat dalam laporan terpisah namun merupakan satu kesatuan dengan laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan.

29

q. Tanda tangan penanggung jawab pemeriksaan yang bersertifikasi. r. Tanggal Laporan Pemeriksa. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan ditujukan kepada para pengguna laporan keuangan. Pengguna laporan keuangan pemerintah adalah publik. Representasi publik tersebut adalah lembaga perwakilan. Oleh karenanya, Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan harus dipublikasikan setelah disampaikan kepada lembaga perwakilan. Penandatangan Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan adalah penanggung jawab pemeriksaan atas nama BPK. Nomor Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan adalah Nomor urut Keputusan BPK. Tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan adalah tanggal berakhirnya pelaksanaan pemeriksaan. Berakhirnya pelaksanaan pemeriksaan adalah terhitung selambatlambatnya 2 (dua) bulan sejak tanggal Berita Acara Serah Terima Laporan Keuangan Pemerintah untuk diperiksa BPK. Bentuk baku Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan yang meliputi satu periode TA disajikan sebagai berikut : BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Nomor. LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN ATAS LAPORAN KEUANGAN Kepada Para Pengguna Laporan Keuangan (NAMA ENTITAS YANG DIPERIKSA) Berdasarkan ketentuan Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 6 Undang-Undang 15 Tahun 2006 tentang BPK, dan UndangUndang 15 Tahun 2004, BPK RI1 telah memeriksa Laporan Keuangan (NAMA ENTITAS YANG DIPERIKSA) Tahun Anggaran (TA) 20XX2 yang telah disusun oleh (NAMA ENTITAS YANG DIPERIKSA). Laporan Keuangan tersebut terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran TA 20XX, Neraca per 31 Desember 20XX, Laporan Arus Kas TA 20XX, dan Catatan atas Laporan Keuangan TA 20XX3. Laporan Keuangan tersebut adalah tanggung jawab (NAMA ENTITAS YANG DIPERIKSA). Tanggung jawab BPK RI terletak pada pernyataan pendapat atas Laporan Keuangan (NAMA ENTITAS YANG DIPERIKSA) TA 20XX berdasarkan pemeriksaan BPK RI. Kop Dokumen Laporan Hasil Pemeriksaan

Judul Pihak yang dituju Paragraf Pengantar yang memuat : 1. Pernyataan tentang pemeriksaan 2. Pernyataan tentang Tanggung Jawab

30

Ketentuan Peraturan perundang-undangan mengharuskan BPK RI melaksanakan pemeriksaan berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara yang ditetapkan BPK RI. Standar Pemeriksaan tersebut mengharuskan BPK RI merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan agar memperoleh keyakinan yang memadai tentang kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria (i) kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, (ii) kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), (iii) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan (iv) efektivitas sistem pengendalian intern. Suatu pemeriksaan laporan keuangan meliputi pemeriksaan, atas dasar pengujian, bukti-bukti yang mendukung jumlahjumlah dan pengungkapan dalam laporan keuangan. BPK RI yakin bahwa pemeriksaan tersebut memberikan dasar yang memadai untuk menyatakan opini. Kepatuhan kepada ketentuan, peraturan dan perundang-undangan yang berlaku merupakan tanggung jawab (NAMA ENTITAS YANG DIPERIKSA). Standar Pemeriksaan Keuangan Negara mengharuskan BPK RI untuk melaporkan kepada pihak berwenang yang terkait apabila dalam melaksanakan pemeriksaan laporan keuangan, BPK RI menemukan adanya unsur pidana. Namun pemeriksaan yang dilakukan BPK RI tidak dirancang untuk secara khusus menemukan hal tersebut. Pemeriksaan BPK RI tidak bertujuan untuk menyatakan opini kepatuhan atas ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut pendapat BPK RI, laporan keuangan yang disebut di atas menyajikan secara wajar dan cukup dalam semua hal yang material, posisi keuangan (NAMA ENTITAS YANG DIPERIKSA) per tanggal 31 Desember 20xx, dan realisasi anggaran serta arus kas untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan; serta sebagai hasil suatu sistem pengendalian intern. Dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan ini, BPK RI menemukan adanya kelemahan desain dan pelaksanaan system pengendalian intern serta ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan, kecurangan dan ketidakpatutan yang material. Temuan ini telah BPK RI muat dalam laporan terpisah tertanggal (tanggal laporan, yang seharusnya sama dengan tanggal laporan ini) yang menjadi satu kesatuan dengan laporan ini.

Paragraf pernyataan kepatuhan kepada SPKN

Paragraf keharusan melaporkan unsur pidana yang ditemukan

Paragraf ini khusus untuk opini wajar tanpa pengecualian

Paragraf ini khusus jika dan hanya jika diterbitkannya Laporan Hasil Pemeriksaan Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan pernyataan yang merujuk pada adanya Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan. Tanda tangan, Nama Penanggung jawab, NIP dan tanggal

31

1 Penggunaan istilah BPK RI jika pemeriksaan dilakukan sendiri oleh BPK RI maupun dilakukan pemeriksa dari luar BPK RI (misal akuntan publik) yang bekerja untuk dan atas nama BPK RI 2 Istilah tahun anggaran dapat diganti dengan tahun buku tergantung pada periode akuntansi entitas yang diperiksa 3 Sesuai dengan pernyataan yang dilaporkan pihak terperiksa Opini Wajar Tanpa Pengecualian: Pendapat ini diberikan apabila pemeriksa memiliki keyakinan bahwa pemeriksaan yang dilaksanakan memberikan dasar yang memadai untuk dikeluarkannya opini wajar tanpa pengecualian. Opini Wajar Tanpa Pengecualian disajikan sebagaimana bentuk baku Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan. Opini Wajar Tanpa Pengecualian bentuk baku dapat ditambah dengan bahasa penjelasan. Berikut sebab-sebab serta bahasa penjelasan yang ditambahkan: a. Pemeriksaan dilaksanakan oleh pemeriksa dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK. Contoh pernyataan yang memuat Opini BPK atas Pemeriksaan Laporan Keuangan yang dilakukan oleh pemeriksa dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK adalah sebagai berikut : BPK melaksanakan pemeriksaan dengan menggunakan pemeriksa (misal Nama KAP) yang bekerja untuk dan atas nama BPK. b. Opini Pemeriksa sebagian didasarkan atas Hasil Pekerjaan pihak lain. Hasil pekerjaan pihak lain dapat menjadi bagian dari pertimbangan pemberian opini pemeriksaan. Hasil pekerjaan pihak lain tersebut dapat berupa (1) Opini Pemeriksa lain (misal pemeriksaan KAP bukan karena penugasan BPK) atas laporan keuangan yang akan dikonsolidasi; serta (2) hasil kerja tenaga ahli yang bekerja untuk BPK dalam pemeriksaan Laporan Keuangan. Contoh pernyataan yang memuat Opini Pemeriksa lain (misal KAP bukan karena penugasan BPK) atas Laporan Keuangan yang akan dikonsolidasi, adalah sebagai berikut : BPK tidak melakukan pemeriksaan atas Laporan Keuangan (nama entitas anak/yang laporan keuangannya akan dikonsolidasi), suatu entitas yang Laporan Keuangannya akan dikonsolidasi dalam Laporan Keuangan (Nama entitas). Laporan Keuangan (nama entitas anak) menyajikan total aktiva sebesar RpXX per 31/12/20XX dan total belanja sebesar RpXX untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut. Laporan Keuangan tersebut diperiksa pemeriksa independen lain dengan pendapat (opini), yang laporannya telah diserahkan kepada BPK, dan

32

BPK berpendapat bahwa sejauh yang berkaitan dengan jumlah-jumlah untuk (nama entitas anak), semata-mata hanya didasarkan atas laporan pemeriksa independen lain tersebut. Menurut pendapat BPK, berdasarkan pemeriksaan BPK, dan laporan pemeriksa independen lain yang BPK sebut di atas, Laporan Keuangan konsolidasian yang BPK sebut di atas menyajikan secara wajar dan cukup, dalam semua hal yang material, posisi keuangan (Nama entitas) dan (nama entitas anak) per 31/12/20XX dan realisasi Laporan..... Contoh pernyataan yang memuat pertimbangan hasil kerja tenaga ahli yang bekerja untuk BPK dalam pemeriksaan Laporan Keuangan. Jika hasil kerja itu signifikan terhadap seluruh putusan BPK, adalah sebagai berikut : BPK melakukan pemeriksaan atas Laporan Keuangan. Laporan Keuangan tersebut menyajikan (transaksi/akun) sebesar RpXX yang menurut BPK sangat signifikan terhadap penyajian Laporan Keuangan. Untuk memberikan keyakinan atas (transaksi/akun) tersebut, BPK menggunakan pendapat tenaga ahli bidang (terkait transaksi/akun). Tenaga ahli tersebut berpendapat bahwa (pendapat tenaga ahli) yang menurut BPK adalah dapat diyakini kewajarannya. Menurut pendapat BPK, berdasarkan pemeriksaan BPK, Laporan Keuangan konsolidasian yang BPK sebut di atas menyajikan secara wajar dan cukup, dalam semua hal yang material, posisi keuangan (Nama entitas) dan (nama entitas anak) per 31/12/20XX dan realisasi anggaran, ... c. Pengungkapan Informasi Rahasia Pengungkapan informasi rahasia yang disebabkan oleh ketentuan peraturan perundangundangan disajikan sebagai berikut: Dari hasil pemeriksaan, kami memberi catatan mengenai xxx. Sesuai dengan ketentuan pasal xx, informasi dalam catatan tersebut tidak dapat kami ungkapkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan ini. Sesuai dengan SPKN, informasi tersebut hanya akan kami sampaikan secara terbatas sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengungkapan informasi rahasia yang didasarkan atas pertimbangan BPK, disajikan sebagai berikut : Dari hasil pemeriksaan, kami memberi catatan mengenai xxx. Berdasarkan analisis kami, informasi tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bagi keamanan aset dan rahasia negara. Sesuai dengan SPKN, informasi dalam catatan tersebut tidak dapat kami ungkapkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan ini. Informasi tersebut hanya akan kami sampaikan secara terbatas sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

33

d. Lampiran Laporan Keuangan berupa Laporan Keuangan BUMN/D belum diperiksa Laporan Keuangan Pokok yang lengkap bagi pemerintah adalah Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK), dan Lampiran berupa Laporan Keuangan BUMN/D. Laporan Keuangan BUMN/D adalah dokumen kendali atas informasi keuangan satu atau lebih akun dalam Laporan Keuangan Pemerintah. Untuk meningkatkan kualitas Laporan Keuangan pemerintah, maka unsur akun yang terkait dengan informasi keuangan dari BUMN/D harus telah diperiksa. Apabila Laporan Keuangan BUMN/D belum diperiksa maka pemeriksa harus mengungkapkan bahwa : Pemerintah tidak dapat menyajikan Laporan Keuangan yang dilampiri dengan Laporan Keuangan BUMN/D yang telah diperiksa. Menurut pendapat BPK, kecuali dampak tidak disajikannya Laporan Keuangan BUMN/D yang telah diperiksa, Laporan Keuangan yang BPK sebut di atas menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan; serta sebagai hasil suatu sistem pengendalian intern. e. Laporan Keuangan tidak disajikan tepat waktu Peraturan perundang-undangan dapat mengatur bahwa laporan keuangan harus diterbitkan pemerintah pada waktu tertentu. Apabila pemeriksa mengetahui bahwa laporan keuangan pemerintah tersebut tidak dapat diterbitkan tepat waktu, pemeriksa harus mengungkapkannya dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan. Pengungkapan atas keterlambatan penyajian Laporan Keuangan tersebut dapat diungkapkan sebagai berikut : (Nama Entitas) menyampaikan Laporan keuangan tersebut kepada BPK melebihi batas waktu yang ditentukan oleh ketentuan pasal (pasal). Keterlambatan ini berpotensi pada keterlambatan penetapannya pada UU/ Perda yang berdampak pada informasi keuangan sebagai pertanggungjawaban (entitas) tidak segera dapat diketahui publik. f. Pemeriksa yang ditugaskan tidak independen secara in appearence Seharusnya BPK menghindari penugasan pemeriksa yang tidak independen. Jika dalam pemeriksaan, BPK tetap menugaskan pemeriksa yang tidak independen terhadap entitas pemeriksaan dan pemeriksa tersebut tidak terhalang dalam menyatakan opini atas laporan keuangan Contoh pengungkapannya adalah sebagai berikut :

34

BPK menugaskan pemeriksa yang dapat dianggap tidak independen terhadap (nama entitas). Namun penugasan tersebut tidak membatasi lingkup pemeriksaan BPK dan memberi dasar bagi BPK untuk menyatakan opini atas Laporan Keuangan secara keseluruhan. OPINI WAJAR DENGAN PENGECUALIAN a. Aset Tetap yang diperoleh sampai dengan tanggal Neraca Awal Pembukaan Neraca Awal Pembukaan merupakan Neraca yang pertama kali disusun sejak ketentuan adanya kewajiban penyusunan Neraca. Contoh pengungkapan pengecualian atas tidak dapat diyakininya unsur-unsur akun dalam Neraca Awal Pembukaan BPK tidak dapat memperoleh cukup bukti yang mendukung penyajian saldo awal aset tetap (nama entitas) sebesar RpXX seperti yang diuraikan dalam catatan XX dalam CaLK. Karena data (nama entitas) yang kurang memadai, BPK tidak dapat memperoleh keyakinan atas saldo awal aset tetap pada (nama entitas) dengan prosedur pemeriksaan BPK yang lain. Menurut pendapat BPK, kecuali untuk dampak penyesuaian tersebut, jika ada, yang kemungkinan perlu dilakukan jika BPK memeriksa bukti tentang (transaksi) tersebut, laporan keuangan yang BPK sebut di atas menyajikan secara wajar dan cukup dalam semua hal yang material, posisi keuangan (nama entitas) per 31/12/20XX serta realisasi anggaran TA 20XX sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, sebagaimana ketentuan peraturan perundangundangan; serta sebagai hasil suatu sistem pengendalian intern. b. Pemerintah tidak dapat menyajikan Laporan Keuangan Pokok secara lengkap Laporan Keuangan Pokok yang lengkap bagi pemerintah adalah Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK), dan Lampiran berupa Laporan Keuangan BUMN/D. Contoh pengungkapan pengecualian atas tidak tersajinya Laporan Keuangan yang lengkap adalah sebagai berikut : Pemerintah tidak dapat menyajikan Neraca per 31/12/20XX. Penyajian Neraca tersebut diharuskan oleh UU dan SAP. Menurut pendapat BPK, kecuali tidak disajikannya Neraca yang mengakibatkan tidak lengkapnya penyajian laporan keuangan dan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 31 UU 17 Tahun 2003, Laporan Keuangan yang BPK sebut di atas menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan; serta sebagai hasil suatu sistem pengendalian intern..

35

c. Lokalisasi Penyimpangan Informasi Keuangan Penyimpangan atas Laporan Keuangan dapat saja terlokalisasi pada satu unsur Laporan Keuangan. Pengidentifikasian pada satu atau beberapa akun laporan keuangan tidak menyebabkan terjadinya interpretasi yang berbeda pada akun lainnya. Oleh karenanya pemeriksa dapat saja tidak mempertimbangkan faktor materialitas atas akun tersebut. OPINI TIDAK WAJAR Penyimpangan material atas Prinsip akuntansi Penyimpangan atas penyajian atas semua unsur Laporan Keuangan dapat saja terjadi secara merata dan dalam jumlah yang material, maka pemeriksa dapat memberikan opini tidak wajar. PERNYATAAN MENOLAK MEMBERIKAN OPINI Pernyataan menolak memberikan opini merupakan opini pemeriksa atas tidak dapat dilaksanakannya Stndar pemeriksaan pada pemeriksaan laporan keuangan. Karena pemeriksaan tidak dapat dilakukan sesuai dengan standar pemeriksaan, maka laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan dengan opini pernyataan menolak memberikan opini adalah tidak mengikuti bentuk baku laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan. Contoh Pengungkapan paragraf tertentu dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan dengan pernyataan menolak memberikan opini adalah sebagai berikut : Berdasarkan ketentuan Pasal 23E Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 6 Undang-undang 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, dan Undang-undang 15 Tahun 2004, BPK RI4 telah memeriksa Laporan Keuangan (NAMA ENTITAS YANG DIPERIKSA) Tahun Anggaran (TA) 20XX5 yang telah disusun oleh (NAMA ENTITAS YANG DIPERIKSA). Laporan Keuangan tersebut terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran TA 20XX, Neraca per 31 Desember 20XX, Laporan Aliran Kas TA 20XX, dan Catatan atas Laporan Keuangan TA 20XX6. Laporan Keuangan tersebut adalah tanggung jawab (NAMA ENTITAS YANG DIPERIKSA). (Uraian Kondisi yang menjadi alasan menolak memberi opini) Ketentuan Peraturan perundang-undangan mengharuskan BPK RI melaksanakan pemeriksaan berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara yang ditetapkan BPK RI. Namun karena (alasan tidak memberi pendapat), BPK RI tidak dapat menerapkan prosedur pemeriksaan sesuai standar pemeriksaan untuk memperoleh keyakinan yang memadai atas kewajaran Paragraf Pengantar dan pernyataan tanggung jawab pihak terperiksa

Paragraf tentang alasan menolak memberikan opini Paragraf tentang Pernyataan menolak memberikan opini

36

posisi keuangan (NAMA ENTITAS YANG DIPERIKSA) per tanggal 31 Desember 20xx, dan realisasi anggaran serta arus kas untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut7, dan oleh karena itu, BPK RI menolak memberikan opini atas Laporan Keuangan tersebut.

Ketentuan tentang (ketentuan) membatasi lingkup pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan (Nama entitas). Pembatasan lingkup tersebut tidak memberikan dasar bagi BPK untuk dapat menyatakan opini atas Laporan Keuangan secara keseluruhan. Apabila ada pembatasan lingkup pemeriksaan pada akun yang material atas seluruh Laporan Keuangan (misalnya pembatasan pihak terperiksa dengan tidak memberikan data) sehingga pemeriksa tidak memiliki dasar untuk menyatakan opini atas Laporan Keuangan yang diperiksa. Karena kami tidak dapat memperoleh cukup informasi yang mendukung (transaksi) dan kami tidak dapat memperoleh keyakinan atas nilai (transaksi) dengan prosedur pemeriksaan yang lain, lingkup pemeriksaan kami tidak cukup untuk memungkinkan kami menyatakan, dan kami menolak memberikan pendapat atas Laporan Keuangan. Apabila pemeriksa tidak dapat merumuskan atau tidak merumuskan suatu pendapat tentang kewajaran Laporan Keuangan sesuai dengan SAP karena kondisi SPI yang sangat tidak memadai dan pemeriksa tidak dapat menerapkan prosedur lain untuk meyakini kewajaran penyajian Laporan Keuangan (material atas Seluruh LK). Kondisi ini antara lain pemeriksa tidak meyakini saldo kas, karena pihak terperiksa tidak pernah melakukan rekonsiliasi dan pemeriksa tidak dapat melakukan prosedur alternative; (Nama entitas) tidak melakukan rekonsiliasi (nama akun misalnya kas) antara catatan pembukuan dan catatan bank. Karena (Nama entitas) tidak melaksanakan rekonsiliasi catatan dan BPK tidak dapat menerapkan prosedur pemeriksaan untuk meyakinkan BPK atas jumlah (nama akun misalnya kas), lingkup pemeriksaan BPK tidak cukup untuk memungkinkan BPK menyatakan, dan BPK tidak menyatakan opini atas LK. Kondisi dimana pemeriksa tidak meyakini saldo sediaan, karena pihak terperiksa tidak melakukan stock opname dan pemeriksa tidak dapat melakukan prosedur alternatif (Nama entitas) tidak melakukan perhitungan fisik sediaan TA 20XX yang dicantumkan dalam Laporan Keuangan sebesar RpXX per 31/12/20XX. Catatan (Nama entitas) tidak memungkinkan dilaksankannya penerapan prosedur pemeriksaan lain terhadap sedian. Karena (Nama entitas) tidak melaksanakan penghitungan fisik sediaan dan BPK tidak dapat

37

menerapkan prosedur pemeriksaan untuk meyakinkan BPK atas jumlah sediaan, lingkup pemeriksaan BPK tidak cukup untuk memungkinkan BPK menyatakan, dan BPK tidak menyatakan opini atas Laporan Keuangan. Kondisi dimana bukti-bukti transaksi tidak diperoleh karena arsipnya hilang dan pemeriksa tidak dapat melakukan prosedur alternative Bukti-bukti yang mendukung (nama jenis transaksi) selama TA 20XX tidak tersedia dalam arsip (nama entitas). Catatan (Nama entitas) tidak memungkinkan dilaksanakannya penerapan prosedur pemeriksaan lain terhadap (transaksi). Karena (Nama entitas) tidak melaksanakan dan BPK tidak dapat menerapkan prosedur pemeriksaan untuk meyakinkan BPK atas (transaksi), lingkup pemeriksaan BPK tidak cukup untuk memungkinkan BPK menyatakan, dan BPK menolak memberikan opini atas Laporan Keuangan. LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN ATAS LAPORAN KEUANGAN KOMPARATIF Bentuk baku Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan komparatif disajikan sesuai dengan bentuk baku laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan. Laporan Hasil Pemeriksaan harus menyatakan opini atas Laporan Keuangan tahun sebelumnya. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan tidak boleh menyatakan bahwa telah melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan yang tidak diperiksanya. Contoh pengungkapan paragraf pengantar pada Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan keuangan komparatif. Berdasarkan ketentuan Pasal 23E Undang Undang Paragraf Pengantar dan Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 6 Undang- pernyataan tanggung undang 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, jawab pihak terperiksa dan Undang-undang 15 Tahun 2004, BPK RI8 telah memeriksa Laporan Keuangan (NAMA ENTITAS YANG DIPERIKSA) Tahun Anggaran (TA) 20XX9 yang telah disusun oleh (NAMA ENTITAS YANG DIPERIKSA). Laporan Keuangan tersebut disajikan secara komparatif terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran TA 20XX dan TA 20XX-1, Neraca per 31 Desember 20XX dan 20XX1, Laporan Aliran Kas TA 20XX dan 20XX-1, dan Catatan atas Laporan Keuangan TA 20XX dan 20XX-110. Atas Laporan Keuangan (NAMA ENTITAS YANG DIPERIKSA) TA 20XX-1, BPK memberikan opini (Opini). Laporan Keuangan tersebut adalah tanggung jawab (NAMA ENTITAS YANG DIPERIKSA). Tanggung jawab BPK RI terletak pada pernyataan pendapat atas Laporan Keuangan (NAMA ENTITAS YANG DIPERIKSA) TA 20XX berdasarkan pemeriksaan BPK RI.

38

Anda mungkin juga menyukai