Anda di halaman 1dari 16

Sinergi Antara DPR RI Dengan BPK RI Dalam Mewujukan Transparansi Dan

Akuntabilitas Negara

Latar Belakang

Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang atau TTPU senilai 349T yang dilakukan dalam
kurung waktu 2009 hingga 2023 yang terjadi dalam Kementrian Keuangan akhir-akhir
ini menjadi sorotan publik karena nilai yang begitu fantastis, Seringkali menjadi
pertanyaan bagaimana mungkin pengelolaan keuangan negara yang transparan
menghasilkan pertanggungjawaban yang akuntabel. Secara konsep hukum
sesungguhnya lazim saja ketika politik hukum keuangan negara yang dibangun
dijalankan secara responsif. Sangat disayangkan, politik hukum keuangan negara hari
ini secara kontemporer mengalami pergeseran. Ketidak transparanan pengelolaan
keuangan negara, tumpang-tindih kewenangan antar lembaga pengawas, dan
kegamangan penegak hukum dalam menindak perbuatan yang merugikan keuangan
negara adalah bukti bahwa konsep hukum keuangan negara yang dikonstruksikan
selama ini masih jauh dari kepastian dan kemanfaatan hukum (Ikhwan Fahrojih, 2016:
ix)

Sebagai sebuah negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan


menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, kebijakan keuangan
negara menjadi salah satu komponen yang sangat mendasar dan penting dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Sebagai manifestasinya, penyelenggaraan pemerintahan
secara rutin banyak berhubungan dengan keuangan, apalagi disertai dengan
perencanaan pembangunan. Sumber keuangan tersebut diperoleh, baik dari dalam
maupun luar negeri yang pada prinsipnya dikelola secara ketat oleh pemerintah. Hal ini
secara konsepsional dan konstitusional termaktub dalam Pasal 23 UUD 1945.

Dalam Pasal 23 UUD 1945 (pra-perubahan), konsepsi keuangan negara memberikan


pemahaman filosofis yang tinggi, khususnya terhadap kedudukan keuangan negara
yang ditentukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai bentuk
penjelmaan kedaulatan. Dengan kata lain, hakikat public revenue dan expenditure
keuangan negara dalam APBN adalah sebuah kedaulatan (Adrian Sutedi, 2012 : 14).

Salah satu kedaulatan yang mendasar adalah pengawasan terhadap pengelolaan dan
tanggung jawab mengenai keuangan Negara. Tugas pelaksanaan kedaulatan ini
sebagaimana yang tertuang dalam UUD NRI Tahun 1945 diberikan kepada Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK). Pembentuk menyadari bahwa untuk memeriksa cara
pemerintah menggunakan uang belanja yang disetujui oleh rakyat melalui DPR
diperlukan suatu Negara yang dapat secara objektif menjalankan tugasnya. Lembaga
Negara yang dapat secara objektif menjalankan tugas sedemikian itu harus terlepas
dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah. Oleh karena itu, pembentuk UUD NRI Tahun
1945 menempatkan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai suatu lembaga tinggi Negara
yang sejajar atau setara dengan Presiden dan DPR. Hasil pemeriksaan BPK
diberitahukan kepada DPR dengan maksud untuk dapat dimanfaatkan oleh DPR dalam
menjalankan tugas pengawasan umum terhadap penyelenggaraan pemerintahan
Negara.

Laporan keuangan yang dibuat oleh BPK, pada kenyataannya tidak sepenuhnya
ditindaklanjuti oleh lembaga/instansi yang bersangkutan, sehingga pada laporan
keuangan tahun berikutnya tetap tidak ada perubahan atas catatan-catatan yang dibuat
oleh BPK. DPR sebagai bagian dari Pemerintahan memiliki tanggung jawab dan tugas
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahaan oleh Pemerintah
(Presiden), sehingga terhadap LKPP yang telah dibuat oleh BPK, DPR wajib
menindaklanjuti dan memberikan masukan kepada pemerintah sesuai tugas pokok dan
fungsinya DPR yang salah satunya adalah fungsi pengawasan. Pada proses demikian,
hubungan antara BPK dengan DPR dapat terpengaruh oleh opini hasil pemeriksaan
keuangan yang dikeluarkan BPK, terutama apabila menyangkut pengelolaan anggaran
dalam lingkup DPR. DPR tidak serta merta mau menerima hasil LKPP yang disampaikan
oleh BPK.1

1
Gilang Prama Jasa, Ratna Herawati, DINAMIKA RELASI ANTARA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DAN DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DALAM SISTEM AUDIT KEUANGAN NEGARA, Jurnal Law Reform ,Volume 13, Nomor 2, Tahun
2017 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, hlm. 190
Berdasarkan pemaparan tersebut maka dalam penelitian ini mengakat judul Sinergy
antara BPK RI dan DPR RI Dalam Mewujudkan Transparansi dan Akuntabilitas Negara

Rumusan Masalah

1. Bagaimana Peran aktif BPK-RI dan DPR-RI dalam menjalankan Fungsi Pengawasan
terhadap Keuangan Negara?

Metode Penelitian

Metode pendekatan ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif, yaitu


suatu pendekatan masalah dengan jalan menelaah dan mengkaji peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan berkompeten untuk digunakan sebagai dasar
dalam melaksanakan pemecahan masalah. Pemecahan masalah yang dimaksudkan
adalah mengungkapkan berbagai aturan atau norma-norma yang dapat
digunakan untuk menentukan peran penting BPK dan DPR dalam melakukan
pengawasan terhadap pengelolaan keuangan negara menurut sistem hukum yang
berlaku di Indonesia. Spesifikasi penelitian ini adalah Deskriptif Analitis, yaitu
penelitian yang sifat dan tujuannya memberikan deskripsi atau menggambarkan
mekanisme pemeriksaan oleh BPK dan DPR dalam melakukan pengawasan
terhadap pengelolaan keuangan negara menurut sistem hukum yang berlaku di
Indonesia. Data yang akan digunakan dalam penelitian ini data sekunder, yaitu data
yang diperoleh dengan melakukan studi dokumen yang terdiri dari peraturan
perundang-undangan, kajian dan jurnal ilmiah, buku-buku, dan artikel berita.
Analisis yang dipilih dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif yang tidak hanya
mampu memperoleh kesimpulan semata, tetapi juga mampu dipergunakan untuk
pengembangan suatu penelitian baru yang sejenis

Pembahasan
1. Kedudukan, Tugas dan Fungsi BPK sebagai pengawas Keuangan Negara
Pasal 23 Ayat (5) UUD 1945 sebelum amandemen menyebutkan bahwa
pemeriksaan tanggung jawab terhadap keuangan ngeara dilakukan oleh suatu
Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang.
Melalui ayat tersebut, terlihat bahwa perumus UUD 1945 sebelum amandemen
menyadari bahwa pemeriksaan pengelolaan serta tanggung jawab pemerintah
terhadap keuangan negara merupakan kewajiban yang berat, sehingga
diperlukan suatu badan yang independen agar terlepas dari pengaruh maupun
kekuasaan pemerintah 2. Pembentukan BPK ini merupakan suatu alat penengah,
mengingat perwakilan rakyat yang terus menerus tidak percaya dengan pemerintah.
Hal ini lah yang kemudian mendasari pembentukanlembaga penengah yang tidak
berada dibawah lembaga manapun dan dihararpkan dapat menjadi pihak ketiga
yang netral3.Setelah amandemen, UUD 1945 memiliki tempat tersendiri bagi
pengaturan mengenai kelembagaan BPK yaitu pada BAB VIII A Badan Pemeriksa
Keuangan yang terdiri dari Pasal 23 E, Pasal 23 F dan Pasal 23 G. Sejak 2003 ada
empat Undang-Undang yang dijadikan landasan operasonal BPK: UU No. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; UU No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan; serta UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK.
BPK sebagai penjaga harta negara memiliki tugas yang dituangkan dalam Pasal 6
Ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK yang menjelaskan bahwa “ BPK
bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya,
Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha
Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara .4
2
Muhammad Imron Rosyadi, “Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan Dalam Menilai Kerugian Keuangan Negara”, Mimbar Keadilan, Jurnal Ilmu Hukum, Januari-Juni 2016,
hal. 26
3
Hendar Ristriawan, “Pengawasan Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara” disampaikan dalam Kuliah
Umum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, pada 21 Mei 2020.
4
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan

Ibid
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
“Dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang untuk:
a. BPK memiliki wewenang untuk menentukan objek pemeriksaan,
merencanakan serta melaksanakan pemeriksaan. Penentuan waktu dan
metode pemeriksaan serta menyusun maupun menyajikan laporan juga
menjadi wewenang dari BPK tersebut.
b. meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh
setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan
Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain
yang mengelola keuangan negara;
c. melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang
milik negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata
usaha keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-
perhitungan, surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggung
jawaban, dan daftar lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan
keuangan negara;
d. menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan
tanggung jawabkeuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK;
e. menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah konsultasi
dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib digunakan
dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara;
f. menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara;
g. menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang
bekerja untuk dan atas nama BPK;
h. membina jabatan fungsional Pemeriksa;
i. memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan; dan
j. memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern
Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah
Kewenangan-kewenangan yang dapat dimiliki oleh BPK ini tidak lepas dari
fungsi-fungsi dari BPK itu sendiri. Pertama, BPK memiliki fungsi operasional,
yaitu fungsi untuk melaksanakan pemeriksaan terhadap tangggung jawab
keuangan negara dan juga pelaksanaan APBN. Kedua, BPK memiliki fungsi
yudikatif untuk melakukan peradilan kompatibel terhadap tuntutan
perbendaharaan. Ketiga, BPK memiliki fungsi rekomendasi dengan memberikan
saran atau pertimbangan kepada Pemerintah apabila dianggap perlu untuk
kepentingan negara maupun hal yang berhubungan dengan keuangan negara. 5
Pemeriksaan Keuangan Negara atau Audit Keuangan Negara
mencakup proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan
secara independent, objektif, dan profesional berdasarkan standar
pemeriksaan BPK untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan
keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan
Negara6.
Kerja BPK bersifat mandatory, melakukan pemeriksaan keuangan negara
kepada seluruh entitas yang menggunakan uang negara. Setelah proses
mandatory berjalan, bisa jadi timbul kasus (untuk ditelusuri). Proses mandatory
dilakukan dengan tiga hal, audit laporan keuangan, audit kinerja, dan audit
dengan tujuan tertentu. Pertengahan semester pertama biasanya BPK
disibukan dengan mengaudit laporan keuangan. Terhadap audit laporan
keuangan BPK yang mengindikasikan kerugian negara nantinya bisa
ditindaklanjuti lagi dengan tujuan tertentu. Adanya kasus ini timbul karena

5
Adrian Sutedi, 2010, Hukum Keuangan Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 234.
6
Penjelasan Umum, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara
mandatory BPK. Karena tujuan BPK adalah mendorong pemerintah tertib
administratif7
BPK mempunyai kebebasan dan kemandirian dalam proses yang
meliputi tiga tahap pemeriksaan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan
pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam tahap perencanaan ini
mencakup kebebasan untuk menentukan objek yang akan diperiksa,
kecuali pemeriksaan yang objeknya telah diatur tersendiri dalam undang-
undang, atau pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus dari lembaga
perwakilan. Dalam perencanaan tugas pemeriksaan, BPK memperhatikan
permintaan, saran, dan pendapat lembaga perwakilan yang berupa hasil
keputusan rapat paripurna, rapat kerja, dan alat kelengkapan lembaga
perwakilan yang disampaikan dalam rapat paripurna DPR untuk dipergunakan
sebagai bahan pengawasan.8Dalam rangka membahas saran, permintaan, dan
pendapat tersebut, BPK atau lembaga perwakilan mengadakan pertemuan untuk
melakukan konsultasi. BPK juga mempertimbangkan informasi masyarakat
berupa penelitian dan pengembangan, kajian, pendapat dan keterangan
organisasi profesi terkait, berita media massa, pengaduan langsung dari
masyarakat, juga informasi dari pemerintah termasuk lembaga independen
yang dibentuk dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, 9
seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawasan
Persaingan Usaha (KPPU), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK).

7
Dinda Audriene Muthmainah “Menelisik Cara Kerja BPK dalam Memeriksa Keuangan Negara” diakses melalui
https:// www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170731084819-84-231374/menelisik-cara-kerja-bpk-dalam-memeriksa-
keuangan-negara pada tanggal 8 Mei 2023
8
Mieke Rayu Raba, “Peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Dalam Melakukan Pemeriksaan Terhadap Pengelolaan
Keuangan Negara Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik Menurut UU No. 15 Tahun 2006” , Lex Crimen Vol.
VI/No. 3/Mei/2017, hal. 156.
9
Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara.
BPK juga memiliki kewenangan yang meliputi tiga macam pemeriksaan,
sebagaimana diatur dalam BAB XI Pasal 2 hingga Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab
Keuangan Negara, kewenangan tersebut ialah sebagai berikut:

1. Pemeriksaan keuangan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan atas laporan


keuangan yang dibuat oleh Kepala Daerah dengan maksud mengevaluasi
tingkat kewajaran yang disajikan dalam laporan. Pemeriksaan keuangan
diakhir dengan opini atau pendapat BPK tentang kewajaran laporan
keuangan Pemerintah Daerah.
2. Pemeriksaan kinerja, yaitu pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara
yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi, dan efisiensi serta pemeriksaan
aspek efektivitas. Pemeriksaan kinerja menghasilkan kesimpulan apakah
kegiatan yang dibiayai oleh keuangan daerah telah diselenggarakan secara
ekonomis dan efisien serta memenuhi sasarannya secara efektif. Di sinilah
kemudian terdapat temuan-temuan BPK yang selanjutnya diberikan
rekomendasi penyelesaiannya.
3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, yaitu pemeriksaan yang tidak
termasuk dalam butir 1, dan butir 2. Termasuk dalam pemeriksaan ini adalah
pemeriksaan investigatif yang dilakukan atas permintaan aparat penegak
hukum.”

Dalam pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab


keuangan negara, BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan
objek yang diperiksa sesuaidengan standar pemeriksaan keuangan negara.
Pembahasan ini diperlukan dalam rangka mengkonfirmasi dan mengklarifikasi
temuan pemeriksaan BPK tersebut dengan pihak yang diperiksa. Hasil pemeriksaan
BPK itu kemudian dijadikan bahan untuk melakukan koreksi dan penyesuaian sehingga
laporan keuangan yang telah diperiksa dapat memuat koreksi dimaksud sebelum
disampaikan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. Tata
cara pelaksanaan tugas BPK diatur lebih lanjut di dalam Peraturan BPK 10.

2. Tugas dan Fungsi DPR sebagai pengawas Keuangan Negara

Pelaksanaaan fungsi pengawasan, lembaga DPR dilengkapi dengan hak untuk meminta
keterangan (interpelasi), hak untuk menyelidiki (angket), hak menyatakan pendapat
(resolusi), hak untuk memperingatkan secara tertulis (memorandum), dan bahkan hak
untuk menuntut pertanggungjawaban (impeachment) kepada pemerintah. Dalam
pelaksanaan fungsi legislasi, DPR mempunyai hak/kewajiban untuk mengajukan
rancangan undangundang, hak amandemen atau hak untuk mengubah atau bahkan
menolak sama sekali rancangan undang-undang yang diajukan oleh pemerintah. DPR
berhak mengajukan RAPBN dan berhak mengubah dengan mengurangi ataupun
menambah anggaran yang diajukan pemerintah. Untuk dapat menjalankan tugas dan
wewenangnya tersebut secara efektif, maka DPR perlu diberikan sejumlah hak yaitu
hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Ketiga hak ini merupakan
kewenangan atau hak DPR sebagai suatu lembaga.

Menurut Saidi (2008: 47), dikatakan bahwa pertanggungjawaban keuangan negara


dapat dilihat dari 2 (dua) sisi, yaitu:

a. pertanggungjawaban keuangan negara horizontal, yaitu: pertanggungjawaban


pelaksanaan APBN yang diberikan pemerintah kepada DPR. Hal ini terjadi karena
sistem ketatanegaraan yang berdasarkan UUD 1945 telah menentukan
kedudukan pemerintah dan DPR sederajat. Hal ini dilakukan dalam bentuk
persetujuan terhadap RUU Perhitungan Anggaran Negara.
b. Pertanggungjawaban keuangan vertikal, yaitu pertanggungjawaban keuangan
yang dilakukan oleh setiap otoristor dari setiap departemen atau Lembaga
negara non departemen yang menguasai bagian anggaran, termasuk di
dalamnya pertanggungjawaban bendaharawan kepada atasannya dan
10
Andini Rahmayanti Pontoh, “Tugas dan Wewenang BPK dalam Pengawasan Pengelolaan Keuangan
BUMN/BUMD”, Lex Administratum, Volume 1 Nomor 1, Januari-Maret, 2013, hal. 136
pertanggungjawaban para pimpinan proyek. Pertanggungjawaban keuangan ini
pada akhirnya disampaikan kepada presiden yang diwakili oleh Menteri keuangan
selaku pejabat tertinggi pemegang tunggal keuangan negara.

3. Relasi Antara Badan Pemeriksa Keuangan Dan Dewan Perwakilan Rakyat


Dalam Sistem Audit Keuangan Negara
Keberadaan DPR dan BPK sebagai salah satu lembaga Negara merupakan
implementasi dari pembagian kekuasaan secara horizontal. DPR merupakan institusi
yang mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan,
sedangkan BPK merupakan institusi dengan fungsi utama memeriksa keuangan
Negara
Keberadaan BPK ditentukan pada Bab VIIIA Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang
Dasar Tahun 1945. Dari ketentuan Pasal 23E ayat (1) Undang- Undang Dasar Tahun
1945 terkandung pengertian bahwa kedudukan BPK adalah sama dengan
kedudukan Presiden. BPK yang bertugas memeriksa tanggung jawab Pemerintah
tentang Keuangan Negara adalah suatu badan yang terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan serta melaksanakan pemeriksaan dari luar tubuh Pemerintah mengenai
penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban keuangan Negara dalam rangka
tanggung jawab Pemerintah terhadap rakyat.
BPK adalah lembaga Negara yang bebas dan mandiri dari pengaruh lembaga
Negara lain. Namun secara konstitusional keberadaan BPK dimaksudkan untuk
mendukung fungsi DPR dengan kewajiban menyerahkan hasil pemeriksaan BPK
kepada DPR sebagai pemegang fungsi anggaran dan fungsi pengawasan yang
termasuk didalamnya yaitu keuangan Negara. Hubungan BPK dan DPR terjadi
karena maksud dari pembentukan BPK adalah untuk memperkuat fungsi
pengawasan legislatif terhadap keuangan Negara baik yang berbentuk APBN, APBD,
BUMN, BUMD.

Pada awalnya salah satu Fungsi Pengawasan DPR secara nyata diwujudkan melalui
interaksi dengan BPK guna tercapainya transparansi dan akuntabilitas dengan
dibentuknya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) di DPR. Namun dengan
ditetapkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai
pengganti Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD, dan DPRD,
maka secara de jure BAKN yang merupakan instrumen dari DPR untuk
meningkatkan
akuntabilitas peran pengawasan DPR dimata masyarakat sebagai konstituennya.
BAKN mempunyai tugas yang sangat penting dalam mengawal penggunaan
keuangan Negara oleh Pemerintah dalam rangka pelaksanaan program- program
Pemerintah. BAKN berfungsi untuk menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan BPK R
dalam hal pengawasan penggunaan keuangan Negara sehingga diharapkan
keberadaan BAKN ini berkontribusi positif dalam pelaksanaan transparansi dan
akuntabilitas penggunaan
keuangan Negara.

Hubungan BPK dengan DPR secara umum formal dituangkan dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yang
berbunyi: “BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan Negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan
kewenangannya”. Lebih lanjut pasal tersebut dijabarkan dalam bagian Penjelasan
yang berbunyi: “Hasil Pemeriksaan BPK meliputi pemeriksaan atas Laporan
Keuangan, Hasil Pemeriksaan Kinerja, Hasil Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu
dan ikhtisar Pemeriksaan Semester”. Penyerahan hasil audit dari BPK kepada DPR
tersebut
merupakan salah satu Fungsi Pengawasan DPR atas pelaksanaan Undang-Undang
dan APBN sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD).

Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara berisi bahwa
pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Jadi
tindaklanjut atas rekomendasi BPK oleh Pemerintah adalah bersifat wajib, selain
bersifat wajib Pemerintah juga harus memberikan jawaban atau penjelasan kepada
BPK tentang tindaklanjut atas rekomendasi BPK selambatlambatnya 60 (enam
puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima.

Sedangkan BPK bertugas memantau pelaksanaan tindaklanjut pemeriksaan BPK dan


menyampaikan hasil pemantauannya tersebut kepada DPR. Meski pemantauan atas
tindaklanjut dilaksanakan oleh BPK, tidak berarti tugas DPR untuk mengawasi
Pemerintah dalam menindaklanjuti Laporan Hasil Pemeriksaan BPK berkurang, peran
BPK disini hanya mensupport (mendukung) DPR dalam memaksimalkan tugas dan
fungsinya sementara DPR sebagi Pemegang Fungsi Pengawasan (Controlling) dan
Fungsi Anggaran (Budget) tetap berperan besar dengan menggunakan hak-hak
politiknya yaitu hak bertanya (angket), hak interpelasi, dan hak menyatakan
pendapat. Untuk memastikan bahwa Pemerintah bersungguh-sungguh memperbaiki
pengelolaan keuangan Negara salah satunya melalui pelaksanaan rekomendasi BPK.
Laporan Hasil Pemeriksaan tersebut wajib disampaikan oleh BPK kepada DPR dan
DPD untuk laporan hasil pemeriksaan atas LKPP selambat-lambatnya 2 (dua) bulan
setelah menerima laporan keuangan dari Pemerintah Pusat. Laporan Hasil
Pemeriksaan tersebut wajib ditindklanjuti berupa penjelasan atau jawaban oleh
pejabat yang berwenang kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam
laporan hasil pemeriksaan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak hasil
pemeriksaan diterima.
Apabila sebagian atau seluruh rekomendasi tidak dapat dilaksanakan dalam jangka
waktu 60 (enam puluh) hari sejak hari pemeriksaan diterima Pejabat wajib
memberikan alasan yang sah. Apabila dalamjangka waktu 60 (enam puluh) hari
Pejabat tidak menindaklanjuti rekomendasi tanpa adanya alasan yang sah, BPK
dapat melaporkan kepada instansi yang berwenang. Alasan yang sah apabila
Pejabat tidak dapat melaksanakan sebagian atau seluruh rekomendasi dalam hasil
pemeriksaan meliputi kondisi:
a. Forcemajeur, yaitu suatu keadaan peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana
alam, pemogokan, kebakaran dan gangguan lainnya yang mengakibatkan tindak
lanjut tidak dapat dilaksanakan.
b. Subjek atau objek rekomendasi dalam proses peradilan, yaitu pejabat menjadi
tersangka dan ditahan, pejabat menjadi terpidana, atau objek yang
direkomendasikan dalam sengketa diperadilan.
c. Rekomendasi tidak dapat ditindaklanjuti secara efektif, efisien, dan ekonomis,
antara lain yaitu perubahan struktur organisasi, dan perubahan regulasi.

Fungsi rekomendasi yakni berupa usul untuk dipertimbangkan oleh Pemerintah


mengenai hal-hal yang bersifat penyempurnaan mendasar, strategis, dan berskala
nasional dibidang penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban keuangan
Negara. Pemberian rekomendasi kepada Pemerintah yang seharusnya ditindak
lanjuti agar memberikan manfaat bagi upaya penyempurnaan pengurusan keuangan
Negara dan pertanggung jawabannya. Dengan demikian ada kepastian dan
kesungguhan pelaksanaan tindak lanjut karena tanpa tindak lanjut maka
pemeriksaan menjadi pekerjaan yang tidak ada manfaatnya.

Rekomendasi BPK yang disampaikan kepada Pemerintah dapat disusun


berdasarkan:
1. Hasil pengolahan informasi strategis tentang pengurusan keuangan Negara;
2. Hasil penelaahan atas peraturan perundang- undangan dibidang keuangan
Negara yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku dan/atau menyimpang
dari kepantasan atau kebenaran ;
3. Hasil pengolahan temuan-temuan pemeriksaan, baik oleh BPK maupun APIP ;
4. Hasil pemantauan tindak lanjut saran, baik yang dimuat dalam hasil
pemeriksaan BPK maupun yang dimuat dalam LAPIP.
Bentuk - bentuk rekomendasi tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Rekomendasi yang mengarah pada penyempurnaan administrasi/ tata usaha
keuangan Negara yang menuju pada kebenaran penyajian angka laporan/
pertanggungjawaban keuangan;
2. Rekomendasi yang mengarah pada penyempurnaan sistem manajemen
keuangan Negara yang menuju pada pencapaian ekonomis, efisiensi, dan
efektivitas;
3. Rekomendasi yang mengarah pada penuntutan ganti rugi yang menuju pada
pengembalian harta kekayaan Negara yang hilang karena perbuatan pegawai
atau pejabat Negara;
4. Rekomendasi yang mengarah pada penegakan disiplin menuju pada peningkatan
disiplin nasional dibidang keuangan Negara;
5. Rekomendasi yang mengarah pada penindakan pidana atau perdata menuju
pada kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan penilaian BPK jika tindak lanjut belum sesuai dengan rekomendasi
atau rekomendasi belum ditindaklanjuti, maka BPK dapat melakukan pembahasan
dengan Pejabat Bersama Anggota BPK dan/atau Auditor Utama/ Kepala Perwakilan
dengan Pejabat bersama Anggota BPK dan/atau Auditor Utama/ Kepala Perwakilan
dengan Pejabat dan bertempat di Kantor BPK. Pembahasan tersebut dilakukan
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah Resume Pemantauan Tindak Lanjut
diterima oleh Pejabat. Berita Acara dan Resume Pembahasan disampaikan kepada
Pejabat sebagai bahan untuk melakukan tindak lanjut dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari. Jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah Berita Acara
Pembahasan disampaikan kepada Pejabat, rekomendasi tetap tidak ditindaklanjuti,
BPK segera melaporkan kepada instansi yang berwenang.

Penutup

Kesimpulan

Berdasarkan Pembahasan yang telah diuraikan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
Hubungan BPK dengan DPR secara formal dituangkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Penyerahan hasil
audit dari BPK kepada DPR tersebut merupakan salah satu Fungsi Pengawasan DPR
atas pelaksanaan Undang-Undang dan APBN sebagaimana yang tertuang dalam Pasal
70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam
melaksanakan fungsi pengawasan antara DPR dan BPK mempunyai hubungan
fungsional secara timbal balik yaitu hasil pemeriksaan/ pengawasan yang dilakukan oleh
BPK merupakan bahan bagi DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Sedangkan
DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan tersebut dapat memerintahkan kepada
BPK untuk melakukan Tindakan tertentu sesuai dengan kebutuhan pemeriksaan dan
DPR dapat meminta kepada BPK untuk melakukan atau mengaudit terhadap unsur yang
dipandang oleh DPR untuk ditindaklanjuti yang berkaitan dengan proses penyelesaian
terhadap pengelolaan keuangan Negara.

Saran

Guna meningkatkan synergy antara BPK dan DPR dalam mewujudkan pengawasan
yang transparan dan akuntambel maka perlu dilakukan penguatan dari sisi yuridis
terhadap BPK juga haruslah disertai dengan penguatan aspek kelembagaan mulai dari
kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, serta sarana-prasarana mengingat
luasnya pemeriksaan. Partisipasi publik diharapkan dapat menjadi pendorong
meningkatnya transparansi dan akuntabilitas pelayanan. Karena selama ini,
kenyataannya warga belum bisa memiliki suara dalam pengambilan keputusan baik
secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga “intermediary” yang sah mewakili
kepentingan mereka.

Daftar Pustaka

Adrian Sutedi, 2010, Hukum Keuangan Negara, Sinar Grafika, Jakarta.

Andini Rahmayanti Pontoh, “Tugas dan Wewenang BPK dalam Pengawasan Pengelolaan
Keuangan BUMN/BUMD”, Lex Administratum, Volume 1 Nomor 1, Januari-Maret, 2013.

Dinda Audriene Muthmainah “Menelisik Cara Kerja BPK dalam Memeriksa Keuangan Negara”
diakses melalui https://
www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170731084819-84-231374/menelisik-cara-kerja-bpk-dalam-
memeriksa-keuangan-negara pada tanggal 8 Mei 2023

Gilang Prama Jasa, Ratna Herawati, DINAMIKA RELASI ANTARA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM SISTEM AUDIT KEUANGAN NEGARA, Jurnal Law
Reform ,Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Hendar Ristriawan, “Pengawasan Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara”


disampaikan dalam Kuliah Umum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran,

Mieke Rayu Raba, “Peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Dalam Melakukan Pemeriksaan
Terhadap Pengelolaan Keuangan Negara Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik Menurut
UU No. 15 Tahun 2006” , Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017.

Muhammad Imron Rosyadi, “Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan Dalam Menilai Kerugian Keuangan Negara”, Mimbar Keadilan,
Jurnal Ilmu Hukum, Januari-Juni 2016,

Anda mungkin juga menyukai