Akuntabilitas Negara
Latar Belakang
Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang atau TTPU senilai 349T yang dilakukan dalam
kurung waktu 2009 hingga 2023 yang terjadi dalam Kementrian Keuangan akhir-akhir
ini menjadi sorotan publik karena nilai yang begitu fantastis, Seringkali menjadi
pertanyaan bagaimana mungkin pengelolaan keuangan negara yang transparan
menghasilkan pertanggungjawaban yang akuntabel. Secara konsep hukum
sesungguhnya lazim saja ketika politik hukum keuangan negara yang dibangun
dijalankan secara responsif. Sangat disayangkan, politik hukum keuangan negara hari
ini secara kontemporer mengalami pergeseran. Ketidak transparanan pengelolaan
keuangan negara, tumpang-tindih kewenangan antar lembaga pengawas, dan
kegamangan penegak hukum dalam menindak perbuatan yang merugikan keuangan
negara adalah bukti bahwa konsep hukum keuangan negara yang dikonstruksikan
selama ini masih jauh dari kepastian dan kemanfaatan hukum (Ikhwan Fahrojih, 2016:
ix)
Salah satu kedaulatan yang mendasar adalah pengawasan terhadap pengelolaan dan
tanggung jawab mengenai keuangan Negara. Tugas pelaksanaan kedaulatan ini
sebagaimana yang tertuang dalam UUD NRI Tahun 1945 diberikan kepada Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK). Pembentuk menyadari bahwa untuk memeriksa cara
pemerintah menggunakan uang belanja yang disetujui oleh rakyat melalui DPR
diperlukan suatu Negara yang dapat secara objektif menjalankan tugasnya. Lembaga
Negara yang dapat secara objektif menjalankan tugas sedemikian itu harus terlepas
dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah. Oleh karena itu, pembentuk UUD NRI Tahun
1945 menempatkan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai suatu lembaga tinggi Negara
yang sejajar atau setara dengan Presiden dan DPR. Hasil pemeriksaan BPK
diberitahukan kepada DPR dengan maksud untuk dapat dimanfaatkan oleh DPR dalam
menjalankan tugas pengawasan umum terhadap penyelenggaraan pemerintahan
Negara.
Laporan keuangan yang dibuat oleh BPK, pada kenyataannya tidak sepenuhnya
ditindaklanjuti oleh lembaga/instansi yang bersangkutan, sehingga pada laporan
keuangan tahun berikutnya tetap tidak ada perubahan atas catatan-catatan yang dibuat
oleh BPK. DPR sebagai bagian dari Pemerintahan memiliki tanggung jawab dan tugas
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahaan oleh Pemerintah
(Presiden), sehingga terhadap LKPP yang telah dibuat oleh BPK, DPR wajib
menindaklanjuti dan memberikan masukan kepada pemerintah sesuai tugas pokok dan
fungsinya DPR yang salah satunya adalah fungsi pengawasan. Pada proses demikian,
hubungan antara BPK dengan DPR dapat terpengaruh oleh opini hasil pemeriksaan
keuangan yang dikeluarkan BPK, terutama apabila menyangkut pengelolaan anggaran
dalam lingkup DPR. DPR tidak serta merta mau menerima hasil LKPP yang disampaikan
oleh BPK.1
1
Gilang Prama Jasa, Ratna Herawati, DINAMIKA RELASI ANTARA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DAN DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DALAM SISTEM AUDIT KEUANGAN NEGARA, Jurnal Law Reform ,Volume 13, Nomor 2, Tahun
2017 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, hlm. 190
Berdasarkan pemaparan tersebut maka dalam penelitian ini mengakat judul Sinergy
antara BPK RI dan DPR RI Dalam Mewujudkan Transparansi dan Akuntabilitas Negara
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Peran aktif BPK-RI dan DPR-RI dalam menjalankan Fungsi Pengawasan
terhadap Keuangan Negara?
Metode Penelitian
Pembahasan
1. Kedudukan, Tugas dan Fungsi BPK sebagai pengawas Keuangan Negara
Pasal 23 Ayat (5) UUD 1945 sebelum amandemen menyebutkan bahwa
pemeriksaan tanggung jawab terhadap keuangan ngeara dilakukan oleh suatu
Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang.
Melalui ayat tersebut, terlihat bahwa perumus UUD 1945 sebelum amandemen
menyadari bahwa pemeriksaan pengelolaan serta tanggung jawab pemerintah
terhadap keuangan negara merupakan kewajiban yang berat, sehingga
diperlukan suatu badan yang independen agar terlepas dari pengaruh maupun
kekuasaan pemerintah 2. Pembentukan BPK ini merupakan suatu alat penengah,
mengingat perwakilan rakyat yang terus menerus tidak percaya dengan pemerintah.
Hal ini lah yang kemudian mendasari pembentukanlembaga penengah yang tidak
berada dibawah lembaga manapun dan dihararpkan dapat menjadi pihak ketiga
yang netral3.Setelah amandemen, UUD 1945 memiliki tempat tersendiri bagi
pengaturan mengenai kelembagaan BPK yaitu pada BAB VIII A Badan Pemeriksa
Keuangan yang terdiri dari Pasal 23 E, Pasal 23 F dan Pasal 23 G. Sejak 2003 ada
empat Undang-Undang yang dijadikan landasan operasonal BPK: UU No. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; UU No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan; serta UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK.
BPK sebagai penjaga harta negara memiliki tugas yang dituangkan dalam Pasal 6
Ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK yang menjelaskan bahwa “ BPK
bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya,
Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha
Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara .4
2
Muhammad Imron Rosyadi, “Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan Dalam Menilai Kerugian Keuangan Negara”, Mimbar Keadilan, Jurnal Ilmu Hukum, Januari-Juni 2016,
hal. 26
3
Hendar Ristriawan, “Pengawasan Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara” disampaikan dalam Kuliah
Umum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, pada 21 Mei 2020.
4
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Ibid
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
“Dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang untuk:
a. BPK memiliki wewenang untuk menentukan objek pemeriksaan,
merencanakan serta melaksanakan pemeriksaan. Penentuan waktu dan
metode pemeriksaan serta menyusun maupun menyajikan laporan juga
menjadi wewenang dari BPK tersebut.
b. meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh
setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan
Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain
yang mengelola keuangan negara;
c. melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang
milik negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata
usaha keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-
perhitungan, surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggung
jawaban, dan daftar lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan
keuangan negara;
d. menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan
tanggung jawabkeuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK;
e. menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah konsultasi
dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib digunakan
dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara;
f. menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara;
g. menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang
bekerja untuk dan atas nama BPK;
h. membina jabatan fungsional Pemeriksa;
i. memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan; dan
j. memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern
Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah
Kewenangan-kewenangan yang dapat dimiliki oleh BPK ini tidak lepas dari
fungsi-fungsi dari BPK itu sendiri. Pertama, BPK memiliki fungsi operasional,
yaitu fungsi untuk melaksanakan pemeriksaan terhadap tangggung jawab
keuangan negara dan juga pelaksanaan APBN. Kedua, BPK memiliki fungsi
yudikatif untuk melakukan peradilan kompatibel terhadap tuntutan
perbendaharaan. Ketiga, BPK memiliki fungsi rekomendasi dengan memberikan
saran atau pertimbangan kepada Pemerintah apabila dianggap perlu untuk
kepentingan negara maupun hal yang berhubungan dengan keuangan negara. 5
Pemeriksaan Keuangan Negara atau Audit Keuangan Negara
mencakup proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan
secara independent, objektif, dan profesional berdasarkan standar
pemeriksaan BPK untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan
keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan
Negara6.
Kerja BPK bersifat mandatory, melakukan pemeriksaan keuangan negara
kepada seluruh entitas yang menggunakan uang negara. Setelah proses
mandatory berjalan, bisa jadi timbul kasus (untuk ditelusuri). Proses mandatory
dilakukan dengan tiga hal, audit laporan keuangan, audit kinerja, dan audit
dengan tujuan tertentu. Pertengahan semester pertama biasanya BPK
disibukan dengan mengaudit laporan keuangan. Terhadap audit laporan
keuangan BPK yang mengindikasikan kerugian negara nantinya bisa
ditindaklanjuti lagi dengan tujuan tertentu. Adanya kasus ini timbul karena
5
Adrian Sutedi, 2010, Hukum Keuangan Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 234.
6
Penjelasan Umum, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara
mandatory BPK. Karena tujuan BPK adalah mendorong pemerintah tertib
administratif7
BPK mempunyai kebebasan dan kemandirian dalam proses yang
meliputi tiga tahap pemeriksaan, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan
pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam tahap perencanaan ini
mencakup kebebasan untuk menentukan objek yang akan diperiksa,
kecuali pemeriksaan yang objeknya telah diatur tersendiri dalam undang-
undang, atau pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus dari lembaga
perwakilan. Dalam perencanaan tugas pemeriksaan, BPK memperhatikan
permintaan, saran, dan pendapat lembaga perwakilan yang berupa hasil
keputusan rapat paripurna, rapat kerja, dan alat kelengkapan lembaga
perwakilan yang disampaikan dalam rapat paripurna DPR untuk dipergunakan
sebagai bahan pengawasan.8Dalam rangka membahas saran, permintaan, dan
pendapat tersebut, BPK atau lembaga perwakilan mengadakan pertemuan untuk
melakukan konsultasi. BPK juga mempertimbangkan informasi masyarakat
berupa penelitian dan pengembangan, kajian, pendapat dan keterangan
organisasi profesi terkait, berita media massa, pengaduan langsung dari
masyarakat, juga informasi dari pemerintah termasuk lembaga independen
yang dibentuk dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, 9
seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawasan
Persaingan Usaha (KPPU), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK).
7
Dinda Audriene Muthmainah “Menelisik Cara Kerja BPK dalam Memeriksa Keuangan Negara” diakses melalui
https:// www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170731084819-84-231374/menelisik-cara-kerja-bpk-dalam-memeriksa-
keuangan-negara pada tanggal 8 Mei 2023
8
Mieke Rayu Raba, “Peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Dalam Melakukan Pemeriksaan Terhadap Pengelolaan
Keuangan Negara Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik Menurut UU No. 15 Tahun 2006” , Lex Crimen Vol.
VI/No. 3/Mei/2017, hal. 156.
9
Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara.
BPK juga memiliki kewenangan yang meliputi tiga macam pemeriksaan,
sebagaimana diatur dalam BAB XI Pasal 2 hingga Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab
Keuangan Negara, kewenangan tersebut ialah sebagai berikut:
Pelaksanaaan fungsi pengawasan, lembaga DPR dilengkapi dengan hak untuk meminta
keterangan (interpelasi), hak untuk menyelidiki (angket), hak menyatakan pendapat
(resolusi), hak untuk memperingatkan secara tertulis (memorandum), dan bahkan hak
untuk menuntut pertanggungjawaban (impeachment) kepada pemerintah. Dalam
pelaksanaan fungsi legislasi, DPR mempunyai hak/kewajiban untuk mengajukan
rancangan undangundang, hak amandemen atau hak untuk mengubah atau bahkan
menolak sama sekali rancangan undang-undang yang diajukan oleh pemerintah. DPR
berhak mengajukan RAPBN dan berhak mengubah dengan mengurangi ataupun
menambah anggaran yang diajukan pemerintah. Untuk dapat menjalankan tugas dan
wewenangnya tersebut secara efektif, maka DPR perlu diberikan sejumlah hak yaitu
hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Ketiga hak ini merupakan
kewenangan atau hak DPR sebagai suatu lembaga.
Pada awalnya salah satu Fungsi Pengawasan DPR secara nyata diwujudkan melalui
interaksi dengan BPK guna tercapainya transparansi dan akuntabilitas dengan
dibentuknya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) di DPR. Namun dengan
ditetapkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai
pengganti Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD, dan DPRD,
maka secara de jure BAKN yang merupakan instrumen dari DPR untuk
meningkatkan
akuntabilitas peran pengawasan DPR dimata masyarakat sebagai konstituennya.
BAKN mempunyai tugas yang sangat penting dalam mengawal penggunaan
keuangan Negara oleh Pemerintah dalam rangka pelaksanaan program- program
Pemerintah. BAKN berfungsi untuk menindaklanjuti laporan hasil pemeriksaan BPK R
dalam hal pengawasan penggunaan keuangan Negara sehingga diharapkan
keberadaan BAKN ini berkontribusi positif dalam pelaksanaan transparansi dan
akuntabilitas penggunaan
keuangan Negara.
Hubungan BPK dengan DPR secara umum formal dituangkan dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yang
berbunyi: “BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan Negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan
kewenangannya”. Lebih lanjut pasal tersebut dijabarkan dalam bagian Penjelasan
yang berbunyi: “Hasil Pemeriksaan BPK meliputi pemeriksaan atas Laporan
Keuangan, Hasil Pemeriksaan Kinerja, Hasil Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu
dan ikhtisar Pemeriksaan Semester”. Penyerahan hasil audit dari BPK kepada DPR
tersebut
merupakan salah satu Fungsi Pengawasan DPR atas pelaksanaan Undang-Undang
dan APBN sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD).
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara berisi bahwa
pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Jadi
tindaklanjut atas rekomendasi BPK oleh Pemerintah adalah bersifat wajib, selain
bersifat wajib Pemerintah juga harus memberikan jawaban atau penjelasan kepada
BPK tentang tindaklanjut atas rekomendasi BPK selambatlambatnya 60 (enam
puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima.
Berdasarkan penilaian BPK jika tindak lanjut belum sesuai dengan rekomendasi
atau rekomendasi belum ditindaklanjuti, maka BPK dapat melakukan pembahasan
dengan Pejabat Bersama Anggota BPK dan/atau Auditor Utama/ Kepala Perwakilan
dengan Pejabat bersama Anggota BPK dan/atau Auditor Utama/ Kepala Perwakilan
dengan Pejabat dan bertempat di Kantor BPK. Pembahasan tersebut dilakukan
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah Resume Pemantauan Tindak Lanjut
diterima oleh Pejabat. Berita Acara dan Resume Pembahasan disampaikan kepada
Pejabat sebagai bahan untuk melakukan tindak lanjut dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari. Jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah Berita Acara
Pembahasan disampaikan kepada Pejabat, rekomendasi tetap tidak ditindaklanjuti,
BPK segera melaporkan kepada instansi yang berwenang.
Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan Pembahasan yang telah diuraikan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
Hubungan BPK dengan DPR secara formal dituangkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Penyerahan hasil
audit dari BPK kepada DPR tersebut merupakan salah satu Fungsi Pengawasan DPR
atas pelaksanaan Undang-Undang dan APBN sebagaimana yang tertuang dalam Pasal
70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam
melaksanakan fungsi pengawasan antara DPR dan BPK mempunyai hubungan
fungsional secara timbal balik yaitu hasil pemeriksaan/ pengawasan yang dilakukan oleh
BPK merupakan bahan bagi DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasan. Sedangkan
DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan tersebut dapat memerintahkan kepada
BPK untuk melakukan Tindakan tertentu sesuai dengan kebutuhan pemeriksaan dan
DPR dapat meminta kepada BPK untuk melakukan atau mengaudit terhadap unsur yang
dipandang oleh DPR untuk ditindaklanjuti yang berkaitan dengan proses penyelesaian
terhadap pengelolaan keuangan Negara.
Saran
Guna meningkatkan synergy antara BPK dan DPR dalam mewujudkan pengawasan
yang transparan dan akuntambel maka perlu dilakukan penguatan dari sisi yuridis
terhadap BPK juga haruslah disertai dengan penguatan aspek kelembagaan mulai dari
kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, serta sarana-prasarana mengingat
luasnya pemeriksaan. Partisipasi publik diharapkan dapat menjadi pendorong
meningkatnya transparansi dan akuntabilitas pelayanan. Karena selama ini,
kenyataannya warga belum bisa memiliki suara dalam pengambilan keputusan baik
secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga “intermediary” yang sah mewakili
kepentingan mereka.
Daftar Pustaka
Andini Rahmayanti Pontoh, “Tugas dan Wewenang BPK dalam Pengawasan Pengelolaan
Keuangan BUMN/BUMD”, Lex Administratum, Volume 1 Nomor 1, Januari-Maret, 2013.
Dinda Audriene Muthmainah “Menelisik Cara Kerja BPK dalam Memeriksa Keuangan Negara”
diakses melalui https://
www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170731084819-84-231374/menelisik-cara-kerja-bpk-dalam-
memeriksa-keuangan-negara pada tanggal 8 Mei 2023
Gilang Prama Jasa, Ratna Herawati, DINAMIKA RELASI ANTARA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM SISTEM AUDIT KEUANGAN NEGARA, Jurnal Law
Reform ,Volume 13, Nomor 2, Tahun 2017 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Mieke Rayu Raba, “Peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Dalam Melakukan Pemeriksaan
Terhadap Pengelolaan Keuangan Negara Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik Menurut
UU No. 15 Tahun 2006” , Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017.
Muhammad Imron Rosyadi, “Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan Dalam Menilai Kerugian Keuangan Negara”, Mimbar Keadilan,
Jurnal Ilmu Hukum, Januari-Juni 2016,