Anda di halaman 1dari 10

PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN

KEPADA PERUSAHAAN LAIN (OUTSOURCING)

TUGAS MATA KULIAH

HUKUM KETENAGAKERJAAN

NAMA : FEBRIAN RAMONDA

NPM : 211150042

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS RIAU KEPULAUAN

BATAM

2022

i
PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN

KEPADA PERUSAHAAN LAIN (OUTSOURCING)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah

memberikan justifikasi terhadap penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan

kepada perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, yang

populer disebut outsourcing.

Pengertian outsourcing (Rajagukguk, 2002: 79) adalah hubungan kerja

dimana pekerja/buruh yang dipekerjakan di suatu perusahaan dengan sistem

kontrak, tetapi kontrak tersebut bukan diberikan oleh perusahaan pemberi kerja,

melainkan oleh perusahaan pengerah tenaga kerja. Sistem outsourcing termasuk

hubungan kerja berdasarkan perjanjian pengiriman/peminjaman pekerja

(uitzendverhouding). Pada hubungan kerja ini ditemukan tiga pihak, yaitu

perusahaan penyedia atau pengirim tenaga kerja/pekerja (penyedia), perusahaan

pengguna tenaga kerja/pekerja (pengguna), dan tenaga kerja/pekerja.

Walaupun outsourcing merupakan hak pengusaha, pelaksanaan hak itu ada

persyaratan tertentu dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, Artinya, dalam melakukan outsourcing di samping harus

memenuhi syarat materiil dan formil, juga secara substansial tidak boleh

mengurangi hak-hak normatif pekerja/buruh. Hak-hak normatif pekerja/buruh,

antara lain, berupa:

1
1. Hak atas upah yang layak;

2. Hak perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, termasuk hak

istirahat dan cuti;

3. Hak atas kebebasan berpendapat dan berorganisasi;

4. Hak atas PHK;

5. Hak untuk mogok kerja, dan sebagainya.

Jadi, tegasnya pelaksanaan outsourcing tetap harus menjamin hak-hak

normatif pekerja/buruh. Praktis pengusaha tidak boleh mengurangi upah

pekerja/buruh dari ketentuan upah minimum, mengurangi hak perlindungan,

menekan atau mengintimidasj kebebasan pekerja/buruh dalam menyampaikan

pendapat dan berorganisasi, mengurangi hak PHK, menekan pekerja/buruh dalam

melakukan hak mogok kerja, dan sebagainya, dengan berbagai alasan dan dalih

apa pun.

Berdasarkan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 ditegaskan

bahwa outsourcing dilakukan dengan perjanjian kerja secara tertulis melalui dua

cara, yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.

1. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

Untuk dapat menyerahkan pelaksanaan pekerjaan melalui perjanjian

pemborongan pekerjaan, harus memenuhi ketentuan Pasal 65 Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 sebagai berikut:

a. Pekerjaan yang diserahkan kepada perusahaan lain adalah:

1) Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

2
2) Dilakukan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;

3) Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan

4) Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

b. Perusahaan penerima pemborongan pekerjaan harus berbentuk badan hukum

c. Memberikan perlindungan dan syarat-syarat kerja minimal sama dengan

perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

d. Pelaksanaan hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan dan

pekerja/buruh diatur dalam perjanjian secara tertulis.

e. Hubungan kerja tersebut dalam butir d dapat dilakukan dengan perjanjian

kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu jika memenuhi

persyaratan PKWT (Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003).

f. Jika butir a dan b tersebut di atas tidak terpenuhi, demi hukum hubungan

kerja beralih menjadi hubungan kerja antara perusahaan pemberi pekerjaan

dan pekerja/buruh yang bersangkutan.

Secara yuridis pembuatan perjanjian pemborongan pekerjaan harus:

a. Dibuat dalam bentuk tertulis, tidak boleh secara lisan (tidak tertulis).

b. Untuk jenis atau sifat pekerjaan yang tidak memenuhi ketentuan PKWT

(Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003) dibuat dengan

perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Jadi, tidak boleh

menggunakan PKWT karena tidak memenuhi ketentuan PKWT.

Lebih lanjut, mengenai syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan

pekerjaan telah diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

3
Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan

Pekerjaan kepada Perusahaan Lain,

Adapun sebagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan

pemborong pekerjaan harus memenuhi syarat [Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012] sebagai berikut:

a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, baik manajemen maupun

kegiatan pelaksanaan pekerjaan;

b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi

pekerjaan, dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara

melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan

oleh perusahaan pemberi Pekerjaan;

c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan. Artinya,

kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar

pelaksanaan kegiatan utama sesuai dengan alur kegiatan proses pelaksanaan

pekerjaan yang ditetapkan oleh asosiasi sektor usaha yang dibentuk sesuai

peraturan perundang-undangan; dan

d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung. Artinya, kegiatan

tersebut merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh

perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan

sebagaimana mestinya.

4
Guna menentukan suatu jenis pekerjaan itu merupakan kegiatan pokok

(core business) atau kegiatan penunjang (supporting business) harus dilihat dari

diagram atau alur kegiatan proses produksi8 yang menggambarkan proses

pelaksanaan pekerjaan dari awal sampai akhir serta memuat kegiatan utama dan

kegiatan penunjang dengan memerhatikan persyaratan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

19 Tahun 2012 di atas.

Sebegitu sulitkah menentukan kegiatan pokok (core business) atau kegiatan

penunjang (supporting business) dalam suatu proses pelaksanaan pekerjaan?

Mohd. Syaufii Syamsuddin (2014) berpendapat bahwa dalam setiap proses

pelaksanaan pekerjaan akan selalu ada kegiatan pokok (core business) atau

kegiatan penunjang (supporting business), baik sebelum (pra), selama, maupun

setelah (pasca) produksi.

Apakah sulit membuat alur proses pelaksanaan pekerjaan untuk dapat

menentukan kegiatan utama dan kegiatan penunjang? Apakah alur proses

pelaksanaan pekerjaan memang harus ditetapkan oleh asosiasi sektor usaha?

Tentu semua itu kembali pada regulasi yang berlaku serta tujuan dan iktikad baik

dari pihak pengusaha. Jenis pekerjaan atau kegiatan apa pun dapat di-track mana

kegiatan utama dan mana kegiatan penunjang.

8) Periksa uraian penulis dalam buku Aspek Hukum Penyelesaian Hubungan Industrial (Antara

Peraturan dan Pelaksanaan), Cetakan |, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, h. 53,

5
Dalam Penjelasan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan, dinyatakan bahwa:

"Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak

berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang

berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.”

Dengan demikian, kuncinya terletak dalam penafsiran “proses produksi”

karena itu yang menentukan apakah suatu kegiatan termasuk kegiatan utama

ataukah kegiatan penunjang?

Memang ada saja sebagian pihak yang “berkepentingan khusus” terhadap

masalah ini berpendapat sulit menentukan kegiatan utama dan kegiatan

penunjang. Apalagi jika mereka bangganya “mengeksploitasi bangsa sendiri”

dengan tujuan efisiensi bisnis perusahaan semata-mata

2. Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh

Berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

diatur penyerahan pelaksanaan pekerjaan melalui perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh sebagai berikut:

a. Tidak boleh mempergunakan pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang

berhubungan langsung dengan proses produksi.

Kegiatan pokok (core business) atau kegiatan yang berhubungan langsung

dengan proses produksi adalah jelas bukan kegiatan penunjang dalam suatu

perusahaan, Yang termasuk kegiatan penunjang, antara lain, usaha pelayanan

kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh

6
(catering), usaha tenaga pengaman (security), usaha jasa penunjang di

pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan

pekerja/buruh.

b. Penyedia jasa pekerja/buruh:

1) Harus memenuhi syarat-syarat:

a) Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh.

b) Perjanjian dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua pihak,

melalui perjanjian kerja untuk waktu tertentu jika memenuhi

persyaratan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

c) Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta

perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh,

Dalam hal ini pekerja/buruh memperoleh hak (yang sama) atas

perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta

perselisihan yang timbul dengan pekerja/buruh lainnya sesuai

dengan yang berlaku di perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh.

Perlindungan tersebut minimal harus sesuai dengan peraturan

perundang-undagan yang berlaku

d) Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan

perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan

wajib memuat pasal-pasal sebagaimana di maksud dalam undang-

undang ini.

7
2) Merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari

instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

c. Jika ketentuan butir a., b.1)a), b.1)b), b.1)d), dan b.2) tidak terpenuhi, demi

hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedian

jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan

perusahaan pemberi pekerjaan.

Lebih lanjut, mengenai syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan

pekerjaan telah diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan

Pekerjaan kepada Perusahaan Lain.

Adapun sebagian pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau tidak

berhubungan langsung dengan proses produksi [Pasal 17 ayat (2) dan (3)

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012]

meliputi:

a. Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);

b. Usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering);

c. Usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);

d. Usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan

e. Usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.

Jadi, tegasnya status hubungan kerja dalam outsourcing dapat dilakukan

melalui perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja

8
waktu tertentu (PKWT) jika memenuhi ketentuan Pasal 59 Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003.

Dengan demikian, dapat disimpulkan:

a. Jika jenis dan sifat pekerjaan yang diberikan kepada perusahaan penerima

kerja atau pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak

memenuhi ketentuan PKWT (Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003), hubungan kerja dilakukan melalui perjanjian kerja waktu tidak tertentu

(PKWTT).

b. Jika jenis dan sifat pekerjaan yang diberikan kepada perusahaan penerima

kerja atau pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh

memenuhi ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,

hubungan kerja dilakukan melalui perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

c. Jika ketentuan tersebut dilanggar, hubungan kerja beralih menjadi tanggung

jawab perusahaan pemberi pekerjaan dan secara hukum tetap menjadi

perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja tetap.

DAFTAR PUSTAKA

Khakim, S.H., M.Hum, Abdul, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia

Cetakan Ke-4 Edisi Revisi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014

Anda mungkin juga menyukai