Anda di halaman 1dari 52

POTENSI PERSELISIHAN

HUBUNGAN INDUSTRIAL
Berbedaan pendapat atau bahkan perselisihan terkadang tidak dapat
dihindari oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh. Bahkan, jika tidak ditangani dan diantisipasi
dengan baik sedini mungkin dapat memicu aksi mogok kerja (strike)
dan penutupan perusahaan (lock out).
Adapun potensi perselisihan hubungan industrial yang kerap muncul
dalam perusahaan, antara lain, akan dijelaskan satu demi satu
berikut ini.

A. Pelanggaran Ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu


(PKWT)
Bahwa ketentuan Pasal 50-66 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah jelas mengatur
tentang hubungan kerja, termasuk di dalamnya pengaturan
perjanjian kerja waktu tertentu dan pe nyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh
Sebagai tindak lanjut agar ketentuan pasal-pasal tersebut dapat
dilaksanakan dengan baik telah dikeluarkan beberapa produk hukum
turunan sebagai peraturan pe laksanaan, antara lain:
1. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-
100/ Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu;
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19
Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain;
3. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-08/Men/1990
tentang Tanggung Jawab Perusahaan Pemberi Borongan
Pekerjaan terhadap Perlindungan dan Kesejahteraan Pekerja
Perusahaan Pemborong.
Berdasarkan ketiga peraturan tersebut dan apabila benar-benar
dipedomani dalam pelaksanaannya, kecil kemungkinan timbul
konflik atau perselisihan dalam perusahaan. Sebaliknya, apabila
perusahaan sengaja melanggar ketentuan tersebut, terbuka
kemungkinan akan timbul konflik. Yang menjadi masalah ketika
pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu dijadikan sebagai
alternatif efisiensi perusahaan yang melanggar ketentuan hukum.
Beberapa bentuk pelanggaran yang dilakukan pengusaha terhadap
ketentuan perjanjian kerja waktu tertentu, seperti:
1. Membuat dan melaksanakan perjanjian kerja waktu tertentu
dengan memberlakukan masa percobaan 3 bulan;
2. Melaksanakan perjanjian kerja waktu tertentu tanpa perjanjian
ter- tulis;
3. Melaksanakan perjanjian kerja waktu tertentu terlebih untuk per-
janjian pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa
pekerja/buruh- dengan mengurangi hak-hak perlindungan kerja
dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh lebih rendah dari
ketentuan peraturan per- undang-undangan. Bentuknya, antara
lain, membayar upah di bawah ketentuan upah minimum,
memberlakukan jam kerja melebihi ke- tentuan waktu kerja,
tidak membayar upah lembur, dan tidak me laksanakan program
Jamsostek;
4. Melaksanakan perjanjian kerja waktu tertentu melebihi 3 tahun
dengan alasan ada keterkaitan dengan jangka waktu kontrak dari
perusahaan pemberi kerja. Padahal, sifat dan jenis atau kegiatan
pe- kerjaannya, bahkan lokasinya sama dan pekerjaan tersebut
dilaku- kan secara terus-menerus;
5. Melaksanakan perjanjian kerja harian lepas yang hari kerjanya
me- lebihi 21 hari dalam sebulan. Dalam perjanjian status
pekerja/buruh buruh ditetapkan sebagai pekerja/buruh harian
lepas, tetapi fakta- nya bekerja seperti pekerja/buruh buruh
lainnya, yakni bekerja terus- menerus melebihi 21 hari dalam
sebulan;
6. Melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa membayar
pesangon dengan alasan karena telah ada klausul yang
disepakati dalam per- janjian kerja waktu tertentu yang
membebaskan pengusaha dari kewajiban membayar uang
pesangon;
7. Sebagian pelaksanaan pekerjaan yang diberikan kepada
perusahaan lain adalah pekerjaan utama, yakni pekerjaan yang
berhubungan langsung dengan usaha pokok (core business),
bukan pekerjaan pe- nunjang.
Kelemahan hukum materiil dan formil dalam sistem hubungan
industrial justru dimanfaatkan untuk kepentingan sepihak oleh
kalangan pengusaha, yakni melanggar aturan tentang ketentuan
outsourcing. Banyak pekerja/ buruh yang mengerjakan proses
produksi justru diletakkan pada outsourcing, yang tentunya sekadar
untuk melepas tanggung jawab ketenagakerjaan kepada perusahaan
lain
Menurut Mohd. Syaufii Syamsuddin (2013), mantan Direktur
Jenderal Pem- binaan Hubungan Industrial dan Pengawasan
Ketenagakerjaan (BINAWAS) Depnakertrans RI, 1997-2001, bahwa
dalam setiap proses produksi selalu ada kegiatan utama dan
kegiatan pendukung, baik dalam proses pra- produksi, selama
produksi, maupun pascaproduksi.

Menurut Sjaiful D.P.-Ketua Umum FSP KEP-dalam Mather (2008: 2)


menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang waktunya ditentukan
(PKWT) telah menghasilkan:
1. Ketidaklanggengan atau ketidakpastian hubungan kerja;
2. Terjadi kebijakan upah rendah; dan
3. Tidak mendapat atau dijaminkan pada jaminan sosial.
Lebih lanjut, ditegaskan bahwa kendala berikutnya dalam PKWT
adalah:
1. Pekerja sukar, enggan, dan tidak boleh membentuk serikat
pekerja;
2. Sukar merundingkan Perjanjian Kerja Bersama; dan
3. Pekerja pada perusahaan induk statusnya sewaktu-waktu
berubah menjadi dan terikat pada Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu atau di alihkan pada perusahaan lain penerima
pekerjaan dari perusahaan induk.
Sementara itu, Saptorini dan Suryomenggolo (2007: 15-16)
menyatakan bahwa beberapa praktik pelanggaran outsourcing yang
sering dijumpai di lapangan adalah:
1. Buruh outsourcing di bagian produksi utama:
2. Pelanggaran kontrak kerja; dan
3. Mengutip uang dari buruh outsourcing.
Wiratraman (2007: 5) bahkan mengakui bahwa konsekuensi kerja
kontrak dan outsourcing telah secara langsung mengurangi hak-hak
buruh, utamanya menyangkut berbagai tunjangan, jaminan sosial
(social security), dan keamanan bekerja secara layak (proper job
security).

Banyak ditemukan fakta bahwa pementingan efisiensi secara


berlebihan untuk semata-mata meningkatkan investasi akan
mendorong kebijakan upah buruh murah dan berakibat kurangnya
jaminan sosial dan keamanan bekerja bagi buruh (Standing; 1999
dalam Wiratraman; 2007: 5).
Diakui atau tidak, akibat pemberlakuan PKWT ini sangat
berpengaruh negatif terhadap eksistensi serikat pekerja/serikat
buruh dalam sistem ketenagakerjaan di negeri ini. Posisi serikat
pekerja/serikat buruh semakin lemah.

Damanik (2007: 111-115) berpendapat bahwa dalam praktik


outsourcing terjadi persoalan ketenagakerjaan, yaitu:
1. Pekerja kontrak dan rendahnya perlindungan pekerja;
2. Upah yang diterima pekerja jauh lebih rendah dari jumlah yang
diterima pengusaha; dan
3. Pengembangan keahlian yang terbatas.
Hal ini tentu bukan sebatas persoalan belaka, melainkan sudah
merupakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pengusaha.
Mengapa disebut pelanggaran hukum? :
- Pertama, apabila perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi
pekerja/buruh outsourcing di bawah peraturan perundang-
undangan yang berlaku [melanggar ketentuan Pasal 65 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan];
- Kedua, apabila upah yang dibayarkan di bawah ketentuan upah
minimum [melanggar ketentuan Pasal 90 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003tentang Ketenagakerjaan];
- Ketiga, pengusaha tidak memberikan kesempat- an
pengembangan keahlian kepada pekerja/buruh (melanggar
ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan).
Tidak sedikit pula pekerjaan utama (core business) yang bersifat
tetap di- outsourcing-kan hanya karena alasan untuk efisiensi
perusahaan. Pada- hal, itu jelas-jelas merupakan perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad) dan otomatis demi hukum
menjadi perjanjian kerja tetap [periksa Pasal 59 ayat (2) dan (7)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan].

Memang masalah outsourcing bisa persepsional dan debatable,


bergantung dari sudut dan kepentingan mana melihatnya. Substansi
permasalahan outsourcing hendaknya tidak dilihat dari kepentingan
pengusaha saja, tetapi juga kepentingan pekerja/buruh khususnya
yang berkaitan dengan aspek perlindungan tenaga kerja. Hal yang
penting dan mendasar adalah apakah bisnis outsourcing itu
dilaksanakan benar-benar sesuai koridor hukum atau tidak
Di lapangan, praktik outsourcing-walaupun ada sebagian pihak yang
dapat menikmati keuntungan dari kebijakan ini justru membuat
posisi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh di negeri ini
semakin tidak berdaya dan terpuruk. Hubungan kerja dan hak- hak
normatif tanpa kepastian hukum serta tidak adanya jaminan karier
dan masa depan yang jelas. Yang ada dalam diri pekerja/buruh
adalah perasaan tidak aman, hak-hak normatif direduksi (dikurangi),
dihantui PHK apabila menuntut hak-hak normatif dan kepentingan
hidup, dan sebagai- bagainya. Demikian pula jika ada reaksi dari
serikat pekerja/serikat buruh, perusahaan akan dengan mudah
mengatakan bahwa mereka karyawan kontrak dan bukan anggota
serikat pekerja/serikat buruh.
Jadi, pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu termasuk
perjanjian pemborongan kerja dan penyediaan jasa pekerja/buruh
(lapour supply)-sering dijadikan pembenaran oleh pengusaha untuk
me- ngurangi hak-hak dan kepentingan pekerja/buruh dengan
melakukan pe langgaran terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku

Akibat yang sangat serius bagi pekerja/buruh adalah menjadi objek


eksploitasi para pengusaha (pemilik modal) dan menjadikan posisi
tawar (bargaining position) pekerja/buruh semakin lemah atau tidak
berdaya di hadapan Dengusaha karena adanya status hubungan
kerja kontrak yang tidak jelas serta tidak memberikan jaminan
hukum dan masa depan yang lebih baik kepada pekerja/buruh
B. Pelaksanaan Ketentuan Pengupahan dan Hak Upah Lembur
Perselisihan ini kadang terjadi pada perusahaan kecil menengah,
bahkan pada perusahaan skala besar, seperti perusahaan
kontraktor/subkontraktor atau perusahaan labour supply di mana
terjadi perlakuan, antara lain:
1. Membayar upah di bawah ketentuan upah minimum;
2. Memberlakukan jam kerja wajib melebihi 40 jam/minggu tanpa
perhitungan upah lembur;
3. Memberikan kompensasi kerja lembur senilai tertentu yang
tidak sesuai ketentuan perhitungan upah lembur dan bahkan
ada yang tidak memberikan kompensasi apa pun;
4. Membayar upah tanpa bukti apa pun dan tanpa adanya buku
upah.
Alasan tidak dibayarkannya upah sesuai peraturan perundang-
undangan, antara lain, karena alasan status pekerja/buruh sudah
all in (padahal, upahnya sangat kecil dan tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidup dasar). status kontrak, belum ada kebijakan
anggaran dari perusahaan user, dan sebagainya.
C. Pelaksanaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Potensi perselisihan terhadap pelaksanaan jaminan sosial tenaga
kerja juga kadang terjadi pada perusahaan kecil menengah,
bahkan perusahaan skala besar, seperti perusahaan
kontraktor/subkontraktor atau perusahaan labour supply, di mana
terjadi perlakuan, antara lain:

1. Pekerja/buruh tidak diikutsertakan ke dalam program jaminan


sosial tenaga kerja atau apabila diikutsertakan, tetapi tidak
sepenuhnya mematuhi ketentuan hukum
Ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992
tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja telah menegaskan bahwa
setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja.
Ketentuan ini jelas tidak membedakan status hubungan kerjanya,
baik itu pekerja/ buruh tetap, harian lepas, borongan, maupun
perjanjian kerja waktu tertentu, atau besar kecilnya perusahaan.
Jadi, dalam hal perlindungan dan syarat-syarat kerja secara
hukum adalah sama, tidak ada perbedaan [periksa Pasal 65 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan].
2. Pembayaran iuran jamsostek berdasarkan upah minimum atau
upah pokok saja.

Dalam praktik tidak sedikit perusahaan menerapkan dasar


perhitungan Jamsostek dengan upah minimum atau upah
pokok saja. Akibatnya, jumlah iuran Jamsostek rendah,
termasuk iuran JHT yang diperoleh pekerja/buruh pada saat
usia pensiun tiba nilainya sangat kecil. Hal ini jelas
merupakan pelanggaran hukum. Persoalannya, kondisi
demikian terjadi dengan pembiaran yang berlarut-larut tanpa
adanya tindakan dan penegakan hukum oleh pemerintah c.q.
pegawai pengawas ketenagakerjaan.
Dalam ketentuan Pasal 16D Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun
2013 tentang Jaminan Kesehatan ditegaskan bahwa:

"Batas paling tinggi gaji atau upah per bulan yang digunakan sebagai
dasar per- hitungan besaran luran Jaminan Kesehatan bagi Peserta
Pekerja Penerima Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16C dan
pegawai pemerintah non-pegawai negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16B ayat (1) sebesar 2 (dua) kali Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP) dengan status kawin dengan 1 (satu) anak.“

Pertanyaannya, apakah ketentuan ini ke depannya juga berlaku


sebagai dasar perhitungan iuran untuk jaminan sosial lainnya, seperti
jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan
jaminan kematian?
Berdasarkan ketentuan Pasal 16C Peraturan Presiden Nomor 111
Tahun 2013 bahwa besaran juran Jaminan Kesehatan bagi Peserta
Pekerja Penerima Upah ditetapkan:
1. Sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari gaji atau upah per
bulan berlaku mulai tanggal 1 Januari 2014 s.d. 30 Juni 2015:
a. 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja (Perusahaan);
dan
b. 0,5% (nol koma lima persen) dibayar oleh peserta (Karyawan).

2. Sebesar 5% (lima persen) dari gaji atau upah per bulan berlaku
mulai tanggal 1 Juli 2015:
a. 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja (Perusahaan);
dan
b. 1% (satu persen) dibayar oleh peserta (Karyawan).
D. PHK dan Pembayaran Hak-Hak PHK
Praktik PHK yang penuh rekayasa dan bertentangan dengan rasa
keadilan dan hukum kerap terjadi terutama di beberapa perusahaan kecil
menengah, tetapi bisa juga terjadi di perusahaan skala besar. Akibatnya,
praktik ter- sebut memicu perselisihan hubungan industrial, bentuknya
seperti:

A. Rekayasa pengunduran diri dalam kasus PHK untuk


menghindari kewajiban membayar uang pesangon
Kesalahan pekerja/buruh sebenarnya memenuhi syarat untuk di-PHK
dengan berhak mendapat uang pesangon dan lain-lain sebagaimana
ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Akan tetapi, demi kepentingan efisiensi perusaha- an
dan reputasi oknum Bagian Personalia kemudian direkayasa agar
pekerja/buruh mau mengundurkan diri dengan cara membuat surat dan
atau menandatangani surat pernyataan yang sudah dipersiapkan
pengusaha.
Dengan membuat surat pengunduran diri dan atau menandatangani surat
pernyataan, maka kepada pekerja/buruh hanya diberikan uang.
penggantian hak berdasarkan ketentuan Pasal 162 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Praktik- praktik
demikian kerap terjadi terhadap pekerja/buruh yang belum mengetahui
dan menyadari hak-hak hukumnya di samping karena perilaku
menyimpang dari oknum Bagian Personalia yang sengaja melanggar atau
karena tekanan kebijakan/kekuasaan dari atasannya.
2. Rekayasa mutasi dengan tujuan PHK tersembunyi
Rekayasa ini dilakukan agar pekerja/buruh menolak dan akhirnya
mengundurkan diri. Dengan berbagai alasan, terkadang mutasi di-
lakukan sebagai siasat untuk mengurangi jumlah tenaga kerja.
Praktiknya ada yang persuasif, pekerja/buruh dipanggil dan ditawari
mutasi, ada yang langsung diberi surat perintah mutasi. Apabila pe-
kerja/buruh menolak mutasi, dianggap menolak perintah kerja dan di-
PHK tanpa uang pesangon atau pekerja/buruh diminta mengundurkan
diri.

Kondisi demikian sering terjadi, yang biasanya juga dipicu dari benih-
benih kebencian atau ketidaksukaan satu sama lain. Apalagi jika
pekerja/buruh yang bersangkutan itu suka "bikin" masalah (trouble
maker) dalam lingkungan perusahaan.
3. Rekayasa PHK terhadap aktivis atau serikat pekerja/serikat
buruh
Terjadinya masalah dengan aktivis atau serikat pekerja/serikat buruh
dapat memicu PHK, yang dilakukan dengan rekayasa dan cenderung
tidak mematuhi rambu-rambu hukum. Kondisi ini kerap terjadi di
perusahaan, baik perusahaan kecil menengah maupun perusahaan besar
sebagai akibat sikap dan tindakan aktivis atau serikat pekerja/ serikat
buruh yang tidak profesional. Dampak lanjutannya permasalah- an
tersebut bisa mendorong perselisihan hubungan industrial.
Penyebabnya beragam, antara lain:
1. Akibat "ulah nakal" para aktivis atau serikat pekerja/serikat buruh;
2. Ketidaktahuan dan ketidakpahaman para aktivis atau serikat
pekerja/serikat buruh terhadap peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan secara komprehensif;
3. Ketidakmampuan perusahaan c.q. Bagian Personalia dalam mem-
bina dan memberdayakan aktivis atau serikat pekerja/serikat buruh;
4. Sentimen pribadi unsur manajemen terhadap aktivis atau
serikatpekerja/serikat buruh; dan
5. Adanya provokasi dari pihak luar kepada serikat pekerja/serikat
buruh dan pengusaha.

Guna menghindari masalah tersebut hendaknya para aktivis atau


serikat pekerja/serikat buruh selalu bersikap dan bertindak profe- sional
sehingga keberadaannya di lingkungan perusahaan disegani oleh
pengusaha dan pekerja/buruh karena dasar kapasitas dan integritas
yang tinggi.
4. Mengaburkan status hubungan kerja tanpa kejelasan
penyelesai- an menurut Pasal 163 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Biasanya dilakukan oleh perusahaan yang "hidup segan mati tak


mau dengan maksud untuk menghindari kewajiban membayar hak-
hak pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal
163 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sementara
pekerja/buruh ada yang memiliki masa kerja cukup lama (berkisar
10-30 tahun). Strategi ini ditempuh oleh pengusaha dengan alasan
merugi atau tidak mampu.
Padahal, perusahaan seperti ini ada yang sudah mengeksploitasi sumber
daya alam di daerah sejak tahun 1970, berarti secara ekonomis memiliki
keuntungan yang luar biasa. Kemudian, perusahaan dialihkan kepada
pengusaha lain. Pengusaha baru menggunakan strategi merumahkan
pekerja/buruh dengan hanya dibayar upah pokoknya dan diwajibkan
melapor secara berkala kepada pengusaha.

Bagi pekerja/buruh yang tidak melapor secara berkala kepada


pengusaha dinyatakan sepihak mengundurkan diri.
Akibatnya, bagi pekerja/buruh yang sudah bosan dengan siasat dan
perlakuan pengusaha seperti itu akhirnya memilih mengundurkan diri
atau ditawari mengundurkan diri oleh pengusaha. Sedangkan bagi
pekerja/buruh yang tidak puas dengan perlakuan seperti itu menjadi-
kan masalah tersebut sebagai perselisihan hubungan industrial.
5. PHK tanpa kejelasan status hukum
Masalah ini pernah terjadi (2004), di mana sekitar 67 orang pekerja/
buruh yang berstatus kerja kontrak di sebuah perusahaan tambang
batu bara di Samarinda ditinggalkan begitu saja oleh pengusaha,
tanpa adanya kejelasan hak dan status hubungan kerjanya. Peng

Pusaha lari dan alamat tidak bisa dilacak oleh pekerja/buruh. Untuk
mempertahankan hak, terpaksa para pekerja/buruh bermaksud mau
menguasai alat-alat berat perusahaan yang tertinggal di lokasi tam-
bang, tetapi mereka keburu harus berhadapan dengan preman. Alat-
alat berat perusahaan akhirnya dikuasai preman. Hasilnya nihil,
potret nasib pekerja/buruh kembali menyakitkan.
E. Pembentukan dan Keanggotaan SP/SB
Perselisihan hubungan industrial yang menyangkut
pembentukan dan ke anggotaan serikat pekerja/serikat buruh
(SP/SB) ini, antara lain:
1. Adanya upaya intimidasi pengusaha terhadap pembentukan
serikat pekerja/serikat buruh;
2. Jumlah anggota antar serikat pekerja/serikat buruh;
3. Pembayaran juran anggota;
4. Status keanggotaan Satuan Pengaman (Satpam).
Upaya intimidasi dari pengusaha terhadap pembentukan serikat
pekerja serikat buruh tidak jarang dilakukan dan kerap memicu
perselisihan hubungan industrial

Padahal, dasar hukumnya sudah jelas bahwa membentuk dan men-


jadi atau tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh adalah
hak setiap pekerja/buruh [periksa Pasal 28 dan 28E ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal
39 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan Pasal 104
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Jadi, upaya intimidasi dengan segala bentuknya yang dilakukan
pengusaha atau siapa pun terhadap pembentukan serikat
pekerja/serikat buruh merupakan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp100.000.000,00 dan paling banyak Rp500.000.000,00
sebagaimana diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Selanjutnya, khusus yang menyangkut status keanggotaan satuan
pengaman (satpam). Apakah secara hukum benar bahwa anggota
satpam di- larang menjadi anggota SP/SB? Alasan yang mengemuka
karena anggota Satpam "sebagai petugas pengamanan di bawah
pembinaan Polri" atau "sebagai pengemban fungsi kepolisian"
sehingga harus netral adalah tidak berdasar. Apabila itu alasannya,
argumen hukum yang dapat menyangkal adalah:
- Pertama, ditinjau berdasarkan hukum ketenagakerjaan, status
anggota satpam itu merupakan pekerja/buruh (= karyawan
perusahaan), bukan sebagai aparat berwajib. Memang benar
anggota satpam sebagai penegak hukum di lingkungan
perusahaan, tetapi jelas bukan aparat berwajib. Mereka murni
sebagai pekerja/buruh yang terikat hubungan kerja dengan
pengusaha (periksa Pasal 1 angka 3 dan angka 15 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga- kerjaan);
- Kedua, apabila anggota satpam dilarang menjadi anggota SP/SB,
apakah itu bukan merupakan perbuatan melanggar hukum? Pada-
hal, pegawai negeri sipil (PNS) saja berhak dan bebas berserikat,
apalagi pekerja/buruh di perusahaan. Periksa Pasal 28 dan 28E
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pasal 39 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 28 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan
Pasal 104 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Menurut Asri Wijayanti (2012) bahwa Surat Kapolda Metro Jaya
Nomor Pol. B/6741/VIII/1997 Datro tertanggal 5 Agustus 1997
perihal Keberadaan Satpam Tidak sebagai Anggota SPSI jo. Surat
Telegram Kapolri Nomor Pol. STR/227/2001 tanggal 31 Mei 2001
tentang Anggota Satpam Dilarang Menjadi Anggota Serikat Pekerja
jo. Pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 1997 tentang
Kepolisian Negara RI adalah suatu bentuk pengaturan yang
melanggar prinsip diskriminasi. Selain itu, satpam hanya dapat
menjadi anggota AMSI juga suatu bentuk pengaturan yang
melanggar prinsip diskriminasi.
AMSI (Asosiasi Manajer Security Indonesia) adalah bentuk serikat
pengusaha, bukan bentuk serikat buruh yang bekerja pada
pengusaha. Aturan itu merupakan pembatasan yang menghilangkan
hak berserikat bagi satpam sebagai buruh yang bekerja pada
pengusaha. Pembatasan yang mendasarkan bahwa satpam adalah
bagian pengamanan swakarsa yang menjadi bagian dari sistem
pertahanan nonmiliter (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang RI Nomor 3
Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara) adalah interpretasi yang
salah terhadap sistem hankamrata pertahanan keamanan rakyat
semesta (Pasal 30 UUD 1945)."
Jadi, sepanjang undang-undang yang berlaku dengan tegas tidak
melarang anggota Satpam sebagai pekerja/buruh untuk menjadi
anggota SP/ SB, berdasarkan asas lex superior derogat lex inferior,
maka segala pro- duk hukum di bawah undang-undang seperti Surat
Telegram Kapolri Nomor Pol. STR/227/2001 tanggal 31 Mei 2001
tentang Anggota Satpam Dilarang Menjadi Anggota Serikat Pekerja-
tidak bisa dijadikan alasan atau penghalang.

Berdasarkan argumen di atas, maka jelas menurut hukum bahwa


anggota satpam tetap sah berhak membentuk dan menjadi anggota
SP/SB sebagai- mana pekerja/buruh lainnya. Dengan demikian,
siapa pun termasuk Polri tidak boleh menghalang-halangi hak dasar
anggota satpam tersebut (periksa ketentuan Pasal 28 dan 43
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh).
F. Klausul Perjanjian Kerja, Peraturan Perusaha- an, dan
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang Multitafsir dan
Bertentangan dengan Hukum
Penggunaan bahasa-termasuk dalam rumusan perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, dan PKB yang tidak mengikuti
kaidah penulisan yang baik dan benar tentu akan
menimbulkan persoalan tersendiri, tidak seketika memang,
tetapi ibarat "menyimpan api dalam sekam". Ketika tidak ada
masalah atau tidak ada orang yang mempersoalkan, memang
aman saja. Sebaliknya, jika ada masalah atau ada orang yang
mempersoalkannya, baru tahu dan sadar itu terjadi karena
rangkaian bahasa yang salah atau multitafsir, yang akibatnya
dapat memicu perselisihan di kemudian hari. Perselisihan yang
diakibatkan dari multitafsir perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, dan PKB ini kerap mendorong timbulnya
perselisihan hak
G. Pelanggaran dan Kinerja Buruk Pekerja/Buruh
Tidak sedikit potensi perselisihan hubungan industrial timbul sebagai
akibat dari pelanggaran dan kinerja buruk (bad performance)
pekerja/buruh sendiri, seperti pelanggaran tata tertib dan disiplin
kerja sebagaimana telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanji- an kerja bersama, serta
ketidakmampuan pekerja/buruh dalam melaksana kan
tugas/pekerjaan sesuai standar yang ditetapkan perusahaan
Adapun bentuk-bentuk pelanggaran tata tertib dan disiplin kerja
yang dilakukan pekerja/buruh, antara lain:

1. Masuk kerja terlambat dan/atau pulang kerja lebih cepat dari


ketentuan jam kerja perusahaan;
2. Memalsukan daftar hadir kerja;
3. Kerja ngular atau malas-malasan;
4. Merokok di tempat yang dilarang merokok;
5. Ceroboh dalam melaksanakan tugas;
6. Membiarkan rekan pimpinan atau rekan sekerja dalam keadaan
bahaya;
7. Tidur dalam jam dan di lokasi kerja;
8. Menggunakan fasilitas perusahaan untuk kepentingan pribadi;
9. Menggelapkan atau mencuri barang milik perusahaan;
10.Memberikan keterangan palsu atau dipalsukan, seperti
keterangan sakit, kuitansi pengobatan, dan sebagainya;
11.Berkelahi satu sama lain dalam jam dan lingkungan kerja;
12.Mengancam atau mengintimidasi pimpinan, keluarga pimpinan,
dan teman sekerja.
Konsekuensinya, pengusaha harus menerapkan disiplin yang ketat untuk
mengantisipasi pelanggaran atau kinerja buruk yang dilakukan pekerja/buruh.
Oleh karenanya, pengusaha perlu merumuskan dan menetapkan rambu-
rambu secara rinci dalam klausul perjanjian kerja, peraturan per- usahaan,
atau perjanjian kerja bersama.

Di sini pula arti pentingnya pembinaan terhadap pekerja/buruh yang di-


lakukan oleh pengusaha agar tercipta pemahaman dan kesadaran hukum,
motivasi kerja yang baik, produktif, dan tidak melanggar peraturan atau
ketentuan hukum yang berlaku. Output mendasar yang diharapkan agar
pekerja/buruh bekerja dengan prestasi tinggi (good performance). Untuk itu
perlu pula ditetapkan standar penilaian kinerja dengan kriteria dan para meter
secara baku, sebagai dasar pengukuran kinerja setiap pekerja/ buruh dalam
perusahaan.
Guna menghindari kemungkinan terjadinya perselisihan hubungan industrial,
maka sangat tepat jika Pasal 5 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor Per.31/Men/XII/2008 tentang Pedoman Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit mengamanat-
kan bahwa untuk mencegah terjadinya perselisihan hubungan industrial, para
pihak melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Pihak pengusaha agar:


a. Memenuhi hak-hak pekerja/buruh tepat pada waktunya; dan
b. Membangun komunikasi yang baik dengan pihak pekerja/buruh.

2. Pihak pekerja/buruh agar:


a. Melakukan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab; dan
b. Membangun komunikasi yang baik dengan pihak pengusaha ataupun
dengan serikat pekerja/serikat buruh.
Satu hal yang perlu diperhatikan oleh para pihak dalam menghadapi
setiap perselisihan hubungan industrial hendaknya selalu arif dan ekstra
hati-hati, serta fokus terhadap pokok permasalahan. Jangan sampai
terjadi bias dan emosional sehingga tanpa disadari dapat memicu dan
tergelincir dalam tindak pidana, yang pada gilirannya akan mempersulit
penyelesaian per- selisihan itu sendiri. Apabila perselisihan hubungan
industrial bergeser ke dalam tindak pidana, persoalannya tidak saja
berhadapan antarpara pihak, tetapi juga salah satu pihak akhirnya akan
berhadapan dengan aparat berwajib.
H. Penafsiran Kalimat "Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum
Mengikat" dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara
Nomor 12/PUU-1/2003 dan Status Hukum Surat Edaran
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE-
13/Men/SJ- HK/1/2005
Bagi sebagian pihak yang belum atau tidak mencermati
penafsiran kalimat "tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat" dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara
Nomor 12/PUU-1/2003 dan dikaitkan dengan Pasal 158
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (kesalahan berat yang dilakukan oleh
pekerja/buruh) dapat memicu perselisihan hubungan
industrial, apalagi dengan terbitnya Surat Edaran Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE-13/Men/SJ-
HK/1/2005.
Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 12/PUU-1/2003
tersebut memang ada sebagian yang menafsirkan atau berpersepsi
bahwa Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah tidak berlaku, sebagaimana dimaksud Surat
Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE-13/Men/SJ-
HK/1/2005.
Akibatnya, terbentuk opini bahwa terhadap setiap kesalahan atau
pelanggaran berat yang dilakukan oleh pekerja/buruh, pengusaha tidak
bisa serta-merta mem-PHK, tanpa ada- nya proses persidangan pidana.
Dalam praktik-tentu juga bergantung kasusnya secara umum pihak
yang paling dirugikan adalah pekerja/buruh karena sudah tersangkut
kasus kesalahan berat dengan memikul beban psikologis, baik diri
maupun keluarganya harus pula diproses pidana dengan prosedur yang
melelahkan karena harus berurusan dengan aparat berwajib (Polri),
jaksa, dan hakim
Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 12/PUU-1/2003
tersebut memang ada sebagian yang menafsirkan atau berpersepsi
bahwa Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah tidak berlaku, sebagaimana dimaksud Surat
Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE-13/Men/SJ-
HK/1/2005.
Akibatnya, terbentuk opini bahwa terhadap setiap kesalahan atau
pelanggaran berat yang dilakukan oleh pekerja/buruh, pengusaha tidak
bisa serta-merta mem-PHK, tanpa ada- nya proses persidangan pidana.
Dalam praktik-tentu juga bergantung kasusnya secara umum pihak
yang paling dirugikan adalah pekerja/buruh karena sudah tersangkut
kasus kesalahan berat dengan memikul beban psikologis, baik diri
maupun keluarganya harus pula diproses pidana dengan prosedur yang
melelahkan karena harus berurusan dengan aparat berwajib (Polri),
jaksa, dan hakim

Anda mungkin juga menyukai