Isu ketiga menyangkut perbedaan PKWT dan outsourcing pekerja. Perbedaan ini
dapat didasarkan pada penggunaan agen penyedia jasa tenga kerja (APJT)
dalam praktik rekrutmen buruh oleh perusahaan. Bila pengusaha merekrut
langsung buruh, tanpa melalui APJT, untuk melakasanakan pekerjaan selama
jangka waktu tertentu, hubungan kerja terjadi antara pengusaha dan buruh, yang
pengaturannya dikategorikan sebagai PKWT. Bila pengusaha menggunakan
penyedia jasa pekerja/buruh, hubungan kerja terjadi antara penyedia jasa
pekerja/buruh dan buruh, yang pengaturannya dikategorikan sebagai
outsourcing. Memang, hubungan kerja antara APJT dan buruh dapat bersifat
PKWT, tetapi tidak selalu. Bila ini terjadi, semua persyaratan yang tertuang
dalam peraturan PKWT harus dipenuhi oleh APJT.
Isu keempat adalah tentang pengaturan hubungan kerja - apakah hubungan
kerja secara hukum terjadi antara buruh dan perusahaan yang melakukan
outsourcing pekerja atau antara buruh dan penyedia jasa pekerja/buruh. Hasil
wawancara mendalam mengungkap bahwa, buruh sering mempunyai kontrak
atau perjanjian kerja dengan penyedia jasa pekerja/buruh, tetapi penegendalian
(controlling) pekerjaan oleh perusahaan pengguna. Karena kasus seperti ini
bukan termasuk dalam kategori outsourcing, tetapi co-employment, dalam praktik
menyebabkan terjadinya ketidakjelasan dan ketidakpastian hubungan kerja.
Definisi hubungan kerja seperti yang tertuang dalam UU No.13/2003 Pasal 1
Ayat 15 dapat dijadikan dasar penentuan siapa yang harus bertanggungjawab
atas hubungan kerja yang terjadi. Bila perjanjian kerja yang memuat unsur
pekerjaan, upah dan perintah (mencakup skedul, jam dan metoda kerja)
dilakukan antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (APJT) dan pekerja,
penanggungjawab adalah penyedia pekerja. Bila salah satu unsur perjanjian
kerja tersebut tidak dipenuihi, hubungan kerja yang tidak dapat dikategorikan
sebagai outsourcing, tetapi hubungan penempatan atau co-employment. Dalam
hal penempatan, hubungan kerja terjadi antara buruh dan perusahaan;
sedangkan, dalam kasus co-employment, pengaturan lebih rumit karena harus
dirinci siapa yang bertanggungjawab apa dalam hubungan kerja. Oleh karena itu,
rincian tentang siapa yang bertanggungjawab atas aspek-aspek hubungan kerja
tertentu dlam konteks co-employment harus dituangkan dalam perjanjian tertulis.
Isu kelima terkait dengan perlindungan kerja bagi buruh outsourcing. Seperti
ditunjukkan hasil wawancara mendalam, buruh outsourcing secara umum
mendapatkan perlakukan lebih rendah. Selain upah lebih rendah untuk pekerjaan
yang sama, buruh outsourcing tidak mendapatkan jaminan sosial dan tunjangan
di luar upah pokok, meskipun peraturan perundang-undangan mewajibkan
penyedia pekerja/buruh untuk memberikan perlindungan kerja dan memenuhi
syarat-syarat kerja sekurang-kurangnya sama dengan yang diberikan oleh
perusahaan yang melakukan outsourcing. Perlindungan kerja ini juga seharusnya
mencakup jaminan sosial tenaga kerja. Padahal seperti terungkap dalam diskusi
kelompok terfokus dangan serikat pekerja, pengalaman di Malaysia dan
Singapura, outsourcing dilakukan dengan pemberian upah yang lebih tinggi dan
kemudahaan untuk diterima di perusahaan-perusahaan pengguna.
Kesimpulan dan Rekomendasi mengenai Outsourcing
Hubungan kerja terjadi antara buruh dan penyedia pekerja/buruh dalam konteks
outsourcing diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
sama seperti hubungan kerja antara pengusaha dan buruh lainnya. Penyedia
pekerja/buruh mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan kerja dan
memenuhi syarat-syarat kerja minimal sama dengan yang diberikan oleh
perusahaan yang melakukan outsourcing. Perlindungan kerja ini juga harus
mencakup jaminan sosial tenaga kerja.
Pembahasan tentang istirahat panjang akan diurai menurut beberapa aturan dan
perundingan yang ada, dilengkapi dengan hasil Focus Group discussion (FGD)
serta hasil wawancara mendalam dan fenomena permasalahan yang terjadi di
beberapa daerah untuk kemudian ditarik kesimpulan sebagai sebagai bagian dari
bahasan kajian akademis.
Mengenai hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur
dengan Keputusan Menteri. Sebagai alternatif lain dimungkinkan pula mengenai
ketentuan pemberian dan jangka waktu lamanya pemberian istirahat lainnya
ditentukan dan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama, misalnya di beberapa negara bagian di Amerika Serikat
jangka waktu istirahat panjang yang diberikan sangat bervariasi, yang pada
umumnya berkisar antara satu hingga tiga bulan.
Ketentuan tentang waktu kerja dan waktu istirahat diatur lebih lanjut dalam
Kepmenakertrans Nomor Kep-102/MEN/IV/2004 bersamaan dengan ketentuan
tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.
Lembur dipandang sebagai suatu hal yang menguntungkan dari sisi ekonomi
tetapi melelahkan. Karyawan mengajukan pendapat yang kontradiktif mengenai
lembur. Bila didasarkan pada kelelahan, maka sebenamya mereka tidak
menyukai lembur. Namun lembur menciptakan pendapatan tambahan. Tarif
lembur beragam, mulai Rp 2.000,- per jam sampai dengan Rp 6.000,- per jam.
Upah lembur bervariasi tergantung dari perusahaan. Sebagai perbandingan
dengan kriteria : 1/173 x (75% dari upah per bulan) 1,5 x upah untuk jam
pertama, 2 x upah untuk jam kerja kedua (hari biasa). Untuk hari libur jam
pertama 2 x upah.
Bagi karyawan yang bekerja di perusahaan yang telah memiliki tatanan sistem
SDM (Sumber Daya Manusia), maka terdapat kejelasan mengenai cuti. Pada
umumnya mereka menggunakan hak cutinya. Sedangkan bagi perusahaan yang
tidak memiliki tatanan SDM yang baku, maka hak cuti didasarkan pada
kesepakatan bersama karyawan dan keputusan manajemen. Pada umumnya,
mereka mempunyai hubungan baik dengan manajemen, sehingga dikarenakan
rasa memiliki pada perusahaanlah maka hak cuti tidak banyak digunakan. Bagi
karyawan permanen, hak cuti tidak mempengaruhi gaji, namun bagi karyawan
kontrak, cuti kerja mengakibatkan penurunan penghasilan karena gaji didasarkan
pada jam kerja.
Hak cuti dan libur pada umumnya sudah berlangsung sesuai dengan aturan
normatif. Jadwal kerja tidak begitu dikeluhkan para pekerja bahkan ada aspirasi
untuk sering kerja Iembur untuk menambah penghasilan. Khusus pekerja
berstatus borongan berdasarkan jenis pekerjaan, pada umumnya kurang terikat
dengan hak cuti dan lembur.
Hal ini harus disadari oleh pembuat aturan maupun oleh pihak-pihak yang akan
melaksanakannya yaitu pekerja dan pengusaha. Permasalahan timbul tatkala
menuangkannya dalam aturan formal yaitu hukum tentang PHK dan pesangon
tersebut.
‐‐----‐------------------------‐------‐------
25
Dalam tulisan ini pengertian PHK adalah pemutusan hubungan kerja atas inisiatif pemberi kerja
atau pengusaha
Aturan formal tentang PHK dan pesangon yang berlaku sekarang tertuang dalam
Bab XII (pasal 150-172) UU No.13/2003. Pihak pengusaha diwakili oleh APINDO
(Asosiasi Pengusaha lndonesia) mengeluhkan pasaI-pasal yang terkait dengan
PHK dan pesangon yaitu pasal 142, 155, 156, dan 158-172 serta mengajukan
usulan perbaikan26. Namun pihak pekerja melalui serikat nya dengan keras
menentang perubahan tersebut. Pemerintah dalam hal ini Depanemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) menghadapi dilema. Di satu sisi,
Pemerintah memahami beratnya pasal-pasal PHK dan pesangon yg tertuang di
UU No.13/2003 tersebut yang dapat mengganggu iklim investasi dan selanjutnya
mengancam penciptaan lapangan kerja. Di sisi lain Pemerintah menyadari
fungsinya sebagai agen pembangunan untuk menjamin kesejahteraan bagi para
pekerja dan karyawan, sehingga menjamin kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan.
Untuk itu diperlukan pemahaman yang jelas perihal PHK dan pesangon.
Diperlukan dasar yang obyektif dan prosedur yang adil dalam melakukan PHK,
sehingga tidak menimbulkan perselisihan antara pekerja dengan pengusaha.
Diperlukan pula cara yang objektif dalam menentukan besarnya pesangon yang
akan mengoptimalkan kepuasan baik pekerja maupun pengusaha. Selanjutnya,
dengan kejelasan konsep, penentuan dasar dan prosedur PHK yang adil, serta
penentuan cara penghitungan pesangon dan hak-hak pekerja yang objektif,
dilema yang dihadapi oleh Pemerintah di atas dapat didudukkan dengan baik.
Demikian pula, tatkala pasal-pasal yang dipermasalahkan tentang PHK dan
pesangon dalam UU No.13/2003 dibahas, silang pendapat dapat dihindari
dengan berpedoman pada kejelasan perihal PHK dan pesangon di atas. Hal
inilah yang akan dibahas pada bagian berikut dari tulisan ini.
--------------------------------------------------------
26
Lihat APINDO (2006a), APINDO (2006b), dan APlNDO (2006c).
Hiring and firing (PHK) pada dasarnya merupakan instrumen yang dapat
digunakan pengusaha dalam mengembangkan maupun menutup usahanya.
Adanya substitusi antara tenaga kerja dengan input lainnya seperti modal, akan
mendorong pengusaha untuk mengurangi pegawai tatkala biaya tenaga kerja
relatif Iebih mahal dari pada input lainnya tersebut. Demikian pula tatkala pemilik
usaha ingin mengurangi atau menutup usahanya baik karena berkurangnya
permintaan atau bangkrut ataupun mengganti ke bentuk usaha lain, umumnya
terjadi pengurangan pegawai atau PHK. Demikian pula bila pihak pekerja
menunjukkan kinerja atau perilaku yang dapat merugikan perusahaan.
Karena sebagian besar pekerja di Indonesia tidak memiliki kontrak kerja yang
bersifat collective bargaining, maka praktis mereka tidak terlindungi dari PHK
sepihak oleh pemberi kerja. Untuk itu diperlukan ketentuan formal tentang PHK
yang bersifat mengikat baik dalam hal prosedur pelaksanaan PHK maupun hak
dan kewajiban kedua pihak yang akan melakukan PHK. Dengan demikian, para
pekerja terlindungi dari PHK yang tidak berdasar dan terjamin pula kompensasi
yang pantas bila di PHK. maupun pengusaha terlindungi dari kemungkinan
kerugian yang lebih besar.
PHK diatur dalam konvensi ILO nomor C158, tahun 1982 (ILO/C158/1982), yang
berlaku bagi seiuruh aktivitas ekonomi dan bagi seluruh individu yang bekerja27.
Dalam konvensi ini PHK diartikan sebagai pemutusan hubungan kerja atas
inisiatif pengusaha (Article 3). Ada beberapa hal yang tidak diperbolehkan
sebagai alasan untuk mem PHK pegawai seperti keanggotaan dalam serikat
pekerja serta aktivitasnya di luar jam kerja. menjadi perwakilan pekerja, absen
selama cuti hamil, absen karena kondisi kesehatan atau kecelakaan, etnis,
agama. pandangan politik, gender, hamiI, latar belakang sosial dan sebagainya
(Article 4, 5, den 6). Selebihnya, diatur pula prosedur PHK (Article 7) dan
pesangon serta berbagai hak pekerja lainnya (Article 7-18).
-----------------------------------------------
27
Ada beberapa pengecualian buruh/karyawan yang lidak termasuk dalarn kategori buruh/karyawan
yang diatur dalam konvensi ILO C158 ini seperti tertuang dalam Article 2, yaitu pekerja dengan
Perjanijian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pekerja dalam masa percobaan, dan pekerja untuk
waktu yang sangat pendek.