Anda di halaman 1dari 15

Praktek outsrourcing yang sudah merambah ke berbagai pekerjaan, meskipun

telah ada ketentuan tentang pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dapat


diborongkan. Dalam praktik, persepsi terhadap outsourcing juga beragam, dari
sebagai sistem perekrutan, siasat perusahaan untuk menghindari kewajibannya,
sampai sebagai konsekuensi rigiditas peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan.

Isu pertama adalah mengenai pembatasan pemborongan pekerjaan dan


penyedia jasa pekerja/buruh. Tentu saja, pihak pengusaha, seperti terungkap
dalam kelompok diskusi terfokus dengan APINDO, menginginkan tidak adanya
pembatasan pekerjaan-pekerjaan yang dapat diborongkan kepada pihak lain.
Sebaliknya, buruh menuntut adanya pembatasan secara ketat seperti yang telah
diatur dalam UU No.13/2003. Lebih lanjut, hasil diskusi kelompok terfokus
dengan serikat pekerja menekankan bahwa, dalam praktiknya hampir semua
pekerjaan sudah di-outsourcing-kan, yang berarti telah terjadi pelanggaran
undang-undang. Serikat pekerja meminta agar outsourcing tidak diperbolehkan
untuk memperoleh tenaga kerja asing. Bahkan, sejumlah serikat pekerja
mendesak agar ada pelarangan pemborongan pekerjaan, terutama dalam hal
penyediaan jasa pekerja/buruh, karena memperlakukan buruh sebagai
komoditas yang dapat diperdagangkan.

Kebijakan di negara-negara lain juga beragam. Hampir semua negara Eropa,


kecuali Yunani dan Turki yang melarang, memperbolehkan outsourcing. Jepang
mengizinkan untuk 23 jenis pekerjaan, dan Korea untuk 26 jenis pekerjaan
(Widianto, 2004). Sedangkan, di Malaysia memperbolehkan pemborongan
pekerjaan dengan Akta Agensi Pekerjaan Swasta 1981. Di Filipina,
subcontracting pekerjaan kepada perusahaan lain dapat dilakukan dengan
sejumlah persyaratan, antara lain penyertaan jaminan kontrak tenga kerja yang
meliputi standar kesehatan dan keselamatan kerja, kebebasan berorganisasi,
jaminan masa kerja dan kesejahteraan (Asian Development Bank, 2005).
Tuntutan penyeimbang antara perlindungan kerja bagi para buruh dan
persyaratan persaingan yang dihadapi perushaan mengarahkan pada kebijakan
pembatasan pemborongan pekerjaan dan penyedia jasa pekerja/buruh.
Outsoursing dapat diperbolehkan di Indonesia hanya untuk pekerjaan-pekerjaan
yang bukan merupakan kompetensi inti, dan dengan jaminan pemenuhan hak-
hak buruh oleh pemborong atau subkontaktor.

Isu kedua terkait dengan penentuan pekerjaan-pekerjaan yang termasuk


kempetensi (atau dapat saja disebut kegiatan) inti dan bukan inti. Keragaman
lintas sektor dan lintas perusahaan menyebabkan sangat sulit untuk menentukan
pekerjaan-pekerjaan yang boleh di-outsourcing-kan atau diborongkan secara
rinci dan tegas. Seperti misal, di sektor perkebunan teh, seperti diungkap dalam
diskusi kelompok terfokus di Bandung dengan APINDO, apakah cakupan proses
produksi berawal dari pucuk yang dikirim ke pabrik untuk diolah sampai menjadi
teh, atau juga mencakup proses pembukaan lahan, pelubangan lahan, dan
sebagainya. Dalam praktik, pengertian pekerjaan inti dan bukan inti bersifat
subjektif dan berbeda antar industri. Konsekuensinya, proses penentuan ini
sebaiknya diserahkan kepada perundingan kolektif antara serikat pekerja dan
perusahaan. Namun demikian, apapun pekerjaan yang diserahkan kepada
subkontraktor, peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan harus
diimplementasikan secara sama pada hubungan kerja yang terjadi antara buruh
dan subkontraktor. Peraturan hubungan bisnis antara perusahaan yang
memborongkan pekerjaan dan subkontraktor sebaiknya dituangkan dalam
hukum perdata atau bisnis. Hukum ketenagakerjaan tidak lagi mengatur
pemborongan pekerjaan, tetapi lebh difokuskan pada peraturan penyediaan jasa
pekerja/ buruh.

Isu ketiga menyangkut perbedaan PKWT dan outsourcing pekerja. Perbedaan ini
dapat didasarkan pada penggunaan agen penyedia jasa tenga kerja (APJT)
dalam praktik rekrutmen buruh oleh perusahaan. Bila pengusaha merekrut
langsung buruh, tanpa melalui APJT, untuk melakasanakan pekerjaan selama
jangka waktu tertentu, hubungan kerja terjadi antara pengusaha dan buruh, yang
pengaturannya dikategorikan sebagai PKWT. Bila pengusaha menggunakan
penyedia jasa pekerja/buruh, hubungan kerja terjadi antara penyedia jasa
pekerja/buruh dan buruh, yang pengaturannya dikategorikan sebagai
outsourcing. Memang, hubungan kerja antara APJT dan buruh dapat bersifat
PKWT, tetapi tidak selalu. Bila ini terjadi, semua persyaratan yang tertuang
dalam peraturan PKWT harus dipenuhi oleh APJT.
Isu keempat adalah tentang pengaturan hubungan kerja - apakah hubungan
kerja secara hukum terjadi antara buruh dan perusahaan yang melakukan
outsourcing pekerja atau antara buruh dan penyedia jasa pekerja/buruh. Hasil
wawancara mendalam mengungkap bahwa, buruh sering mempunyai kontrak
atau perjanjian kerja dengan penyedia jasa pekerja/buruh, tetapi penegendalian
(controlling) pekerjaan oleh perusahaan pengguna. Karena kasus seperti ini
bukan termasuk dalam kategori outsourcing, tetapi co-employment, dalam praktik
menyebabkan terjadinya ketidakjelasan dan ketidakpastian hubungan kerja.
Definisi hubungan kerja seperti yang tertuang dalam UU No.13/2003 Pasal 1
Ayat 15 dapat dijadikan dasar penentuan siapa yang harus bertanggungjawab
atas hubungan kerja yang terjadi. Bila perjanjian kerja yang memuat unsur
pekerjaan, upah dan perintah (mencakup skedul, jam dan metoda kerja)
dilakukan antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (APJT) dan pekerja,
penanggungjawab adalah penyedia pekerja. Bila salah satu unsur perjanjian
kerja tersebut tidak dipenuihi, hubungan kerja yang tidak dapat dikategorikan
sebagai outsourcing, tetapi hubungan penempatan atau co-employment. Dalam
hal penempatan, hubungan kerja terjadi antara buruh dan perusahaan;
sedangkan, dalam kasus co-employment, pengaturan lebih rumit karena harus
dirinci siapa yang bertanggungjawab apa dalam hubungan kerja. Oleh karena itu,
rincian tentang siapa yang bertanggungjawab atas aspek-aspek hubungan kerja
tertentu dlam konteks co-employment harus dituangkan dalam perjanjian tertulis.

Isu kelima terkait dengan perlindungan kerja bagi buruh outsourcing. Seperti
ditunjukkan hasil wawancara mendalam, buruh outsourcing secara umum
mendapatkan perlakukan lebih rendah. Selain upah lebih rendah untuk pekerjaan
yang sama, buruh outsourcing tidak mendapatkan jaminan sosial dan tunjangan
di luar upah pokok, meskipun peraturan perundang-undangan mewajibkan
penyedia pekerja/buruh untuk memberikan perlindungan kerja dan memenuhi
syarat-syarat kerja sekurang-kurangnya sama dengan yang diberikan oleh
perusahaan yang melakukan outsourcing. Perlindungan kerja ini juga seharusnya
mencakup jaminan sosial tenaga kerja. Padahal seperti terungkap dalam diskusi
kelompok terfokus dangan serikat pekerja, pengalaman di Malaysia dan
Singapura, outsourcing dilakukan dengan pemberian upah yang lebih tinggi dan
kemudahaan untuk diterima di perusahaan-perusahaan pengguna.
Kesimpulan dan Rekomendasi mengenai Outsourcing

Hukum ketenagakerjaan sebaiknya hanya mengatur hubungan kerja yang


terjadi dalam konteks penyedia jasa pekerja/buruh. Outsourcing atau
subcontracting merupakan isu yang relatif baru dalam hubungan industrial dan
hukum ketenagakerjaan atau perburuhan, meskipun perusahaan telah
mempraktikkannya sejak lama. Dalam konteks hubungan insdustrial, outsourcing
yang diatur dalam hukum perburuhan adalah tipe outsourcing pekerja atau
buruh, yang menyangkut penggantian (substitution) pekerja yang ada sekarang
dengan pekerja yang dipekerjakan oleh perusahaan atau agen luar untuk
melaksanakan pekerjaan tertentu (disebut “employee-replacement” outsourcing).
Tipe outsourcing ini perlu dibedakan dengan outsourcing fungsi atau pekerjaan
atau kegiatan yang bukan menjadi kompetensi inti dalam rangka pengembangan
usaha (strategic atau “entrepreneurial” outsourcing), yang disebut sebagai
kegiatan-kegiatan pendukung atau penunjang (supporting activities). Dalam
konteks outsourcing strategik, hukum ketenagakerjaan atau perburuhan berlaku
untuk perusahaan subkontraktor seperti halnya perusahaan lain, karena
hubungan kerja terjadi antara pekerja dan subkontraktor. Jadi hubungan antara
perusahaan dan subkontraktor diatur dalam hukum perdata atau bisnis, dan
sebaliknya tidak diatur dalam hukum perburuhan (UU No.13/2003 pasal 65 Ayat
1). Hukum ketenagakerjaan sebaiknya hanya mengatur hubungan kerja yang
terjadi dalam konteks penyediaan jasa pekerja/buruh, tidak dalam konteks
pemborongan pekerjaan. Fungsi mana yang dpat sidubkontrakkan dimungkinkan
untuk menjadi isu perundingan kolektif antara serikat pekerja dan perusahaan.

Penyedia jasa pekerja/buruh sebagai penanggungjawab pemenuhan syarat


dan kondisi kerja. Dalam konteks outsourcing pekerja, masalah yang muncul
menjadi lebih rumit. Pengertian hubungan kerja yang digunakan dalam UU
No.13/2003 Pasal 1 Ayat 15 dapat dijadikan pedoman untuk menentukan siapa
yang harus bertanggungjawab atas pemenuhan syarat dan kondisi kerja. Bila
perjanjian kerja yang memuat unsur pekerjaan, upah dan perintah (mencakup
skedul, jam dan metoda kerja) dilakukan antara perusahaan penyedia jasa
pekrja/buruh (subkontraktor) dan pekerja, penanggungjawab adalah penyedia
jasa pekerja/buruh. Bila salah satu unsur perjanjian kerja tersebut tidak dipenuhi,
hubungan kerja yang tidak dapat dikategorikan sebagai outsourcing, tetapi
hubungan penenempatan atau co-employment. Bagaimanapun, keputusan
outsourcing yang menyangkut penggantian buruh dalam unit perundingan yang
sekarang dengan buruh yang dipasok oleh kontraktor independen untuk
melaksanakan pekerjaan yang sama dalam kondisi pekerjaan sama adalah
subjek peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan/atau
perundingan keputusan yang mandatori (a mandatory subject of decision-
bargaining).

Outsourcing, antara praktik bisnis global dan perlindungan buruh.


Outsourcing, bagaimanapun, merupakan fenomena yang dipraktikkan dalam
persaingan bisnis global, sehingga bila dilarang di Indonesia akan mempunyai
implikasi luas. Hanya memang, sejumlah isu harus dipecahkan agar implikasi
outsourcing pada hubungan kerja selaras dengan upaya penciptaan hubungan
industrial yang harmonis. Pemerintah berkewajiban untuk memberikan kepastian
hukum dan perlindungan bagi buruh, dengan merevisi sejumlah
ketidakkonsistenan dan ketidakjelasan pasal-pasal outsourcing dalam peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Sejumlah rekomendasi berikut
disajikan sebagai salah satu bahan pertimbangan.

Rekomendasi 1 : Pembatasan praktik outsourcing

Praktik outsourcing strategik atau subcontracting atau pemborongan pekerjaan


dapat dilakukan terbatas pada pekerjaan-pekerjaan yang bukan kompetensi inti
(non-core competencies atau dapat saja disebut non-core activities) atau
pendukung. Penentuan pekerjaan-pekerjaan ini harus merupakan kesepakatan
hasil perundingan kolektif antara serikat pekerja dan perusahaan.

Rekomendasi 2 : Penghapusan pasal tentang pemborongan pekerjaan dari


UU Ketenagakerjaan

Hubungan bisnis yang terjadi antar perusahaan yang memborongkan pekerjaan


dan perusahaan yang menerima pekerjaan atau subkontraktor, sebaiknya diatur
dalam Hukum Perdata, dan dihapus dari Hukum Ketenagakerjaan. Pengaturan
hubungan bisnis yang terjadi sebagai akibat praktik outsourcing strategik atau
pemborongan pekerjaan adalah diluar cakupan (domain) peraturan perundang-
undangan dibidang ketenagakerjaan. UU Ketenagakerjaan hanya memfokuskan
pada outsourcing pekerja melalui peyedia jasa pekerja/buruh.
Rekomendassi 3 : Pengkategorian secara lebih jelas perbedaan antara
buruh PKWT dan outsourcing.

Perbedaan antara PKWT dan outsourcing dapat didasarkan pada keterlibatan


penyedia jasa pekerja/buruh (labour suppliers). Bila pengusaha merekrut
langsung buruh untuk melaksanakan pekerjaan selama jangka waktu tertentu,
hubungan kerja terjadi antara pengusaha dan buruh, yang pengaturannya
dikategorikan PKWT. Bila pengusaha menggunakan penyedia jasa
pekerja/buruh, hubungan kerja terjadi antara penyedia jasa pekerja/buruh yang
pengaturannya dikategorikan sebagai outsourcing.

Rekomendasi 4 : Pengaturan hubungan kerja antara buruh dan pengusaha


dalam konteks outsourcing secara lebih pasti

Kerancuan pengertian outsourcing dalam praktik menyebabkan ketidakjelasan


dan ketidaktegasan tentang dengan siapa buruh mempunyai hubungan kerja.
Perbedaan secara jelas antara phenomena penempatan dan phenomena co-
employment dalam outsourcing pekerja/buruh dapat menjadi dasar penentuan
terjadinya hubungan kerja tersebut. Dalam kasus penempatan, hubungan kerja
terjadi antara buruh dan penyedia pekerja-pengguna harus dituangkan dalam
perjanjian tertulis. Hubungan kerja ini dapat bersifat baik perjanjian kerja waktu
(PKWT) maupun perjanjian kerja waktu tak tentu (PKWTT).

Rekomendasi 8 : Perlindungan kerja terhadap buruh outsourcing minimal


sama dengan buruh permanen atau regular

Hubungan kerja terjadi antara buruh dan penyedia pekerja/buruh dalam konteks
outsourcing diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
sama seperti hubungan kerja antara pengusaha dan buruh lainnya. Penyedia
pekerja/buruh mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan kerja dan
memenuhi syarat-syarat kerja minimal sama dengan yang diberikan oleh
perusahaan yang melakukan outsourcing. Perlindungan kerja ini juga harus
mencakup jaminan sosial tenaga kerja.

3.2.4 Istirahat Panjang

Ketentuan tentang istirahat panjang dibutuhkan pada perusahaan yang


instensitas kerja staf dan buruh sanagt dekat dengan risiko kejenuhan, stres
tinggi, risiko gangguang jiwa, tempat kerja terpencil jauh dari keluarga dalam
jangka waktu lama dan lain sejenisnya, sehingga diperlukan perlindungan dalam
bentuk istirahat panjang guna menyeimbangkan kondisi fisik dan psikisnya. UU
paling awal yang membahas tentang istirahat panjang sejak Indonesia Merdeka
adalah UU No.1/1951 tentang UU kerja, tetapi tidak diikuti dengan peraturan
pemerintah sehingga tidak dilaksanakan. Kemudian setelah 52 tahun lahir UU
No.13/2003 yang memberikan ruang pembahasan untuk istirahat panjang,
khususnya di Pasal 79.

Dalam perjalanan sejarah perkembangan perusahaan-perusahaan di Indonesia


ternyata istirahat panjang ini sangat bervariasi dalam pelaksanaannya diantara
perusahaan, namun sebagian besar tidak dijalankan, oleh karena bebagai alasan
antara lain: bagi perusahaan menciptakan biaya tambahan guna mengganti serta
mencari tenaga kerja yang setara, disamping itu dari segi buruh bukan
merupakan kebutuhan utama berkenaan dengan konsekuensi biaya yang harus
dikeluarkan selama istirahat panjang.

Pembahasan tentang istirahat panjang akan diurai menurut beberapa aturan dan
perundingan yang ada, dilengkapi dengan hasil Focus Group discussion (FGD)
serta hasil wawancara mendalam dan fenomena permasalahan yang terjadi di
beberapa daerah untuk kemudian ditarik kesimpulan sebagai sebagai bagian dari
bahasan kajian akademis.

Aturan-aturan dan Fenomena tentang Istirahat Panjang

Berdasarkan UU No.13/2003 khususnya pada pasal 79 tersurat bahwa : (i)


Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. Waktu
istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi:

1. Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah


bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut
tidak termasuk jam kerja;
2. Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
3. Cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan
secara terus menerus;
4. Istirahat panjang yaitu sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan
dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu)
bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun
secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan
pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam
2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan
masa kerja 6 (enam) tahun.

Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebgaimana dimaksud dalam ayat (2),


huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama. Sedangkan selain waktu istirahat dan istirahat tahunan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1). pengusaha dapat memberi istirahat lainnya kepada
pekerja/buruh yang bekerja dalam suatu jangka waktu tertentu.

Mengenai hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur
dengan Keputusan Menteri. Sebagai alternatif lain dimungkinkan pula mengenai
ketentuan pemberian dan jangka waktu lamanya pemberian istirahat lainnya
ditentukan dan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama, misalnya di beberapa negara bagian di Amerika Serikat
jangka waktu istirahat panjang yang diberikan sangat bervariasi, yang pada
umumnya berkisar antara satu hingga tiga bulan.

Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan


Keputusan Menteri, sedangkan di negara lain misalnya di Malaysia pelaksanaan
waktu istirahat panjang dimungkinkan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama antara perusahaan dan buruh
(Bipartit).

Mengenai waktu kerja dan waktu istirahat:

1. Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja (pasal 77) :


a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari den 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu ) minggu;
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu)
minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
2. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja
sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 harus memenuhi syarat (pasal
78) :
a. Ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan, dan
b. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga)
jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu)
minggu

Ketentuan tentang waktu kerja dan waktu istirahat diatur lebih lanjut dalam
Kepmenakertrans Nomor Kep-102/MEN/IV/2004 bersamaan dengan ketentuan
tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.

Berdasarkan hasil FGD di Bandung, Jakarta, Medan, dan Makassar diperoleh


hasil dan rumusan diskusi bahwa istirahat panjang merupakan produk zaman
Belanda, terkait oleh kondisi daerah-daerah tertentu yang dikembangkan untuk
perkebunan, yang cenderung membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar
dan bersumber dari daerah atau negara lain pada waktu itu. Kondisi saat ini
masih banyak pekerja di Sumatera Utara yang berasal dari Kalimantan, dan
Jawa sehingga memberi kesempatan pada mereka untuk dapat pulang ke
kampung halamannya. Selain itu karena keterbatasan tenaga ahli yang pada
masa lalu didatangkan dari luar negeri seperti halnya di PT Dirgantara Indonesia
Bandung, sehingga tenaga asing tersebut membutuhkan istirahat cukup panjang
untuk kembali ke negaranya. Atau tenaga asing yang direkrut oleh PT Freeport di
Papua yang sering kali membutuhkan waktu istirahat panjang untuk kembali ke
Australia dan Amerika Serikat. Akan tetapi kini tenaga ahli tersedia cukup banyak
selain itu berkembang ketentuan lain bahwa istirahat panjang dapat
diganti/dikompensasikan dengan uang, oleh karenanya fenomena istirahat
panajng menjadi kurang relevan lagi di masa kini. Terlihat pada perundangan
yang lahir berikutnya, istirahat panjang tidak lagi merupakan tema pembahasan
padahal hampir di semua negara dalam UU Ketenagakerjaannya selalu tersurat
materi tentang istirahat panjang.

Menurut observasi dan indepth interview di semua kota (Bandung, Jakarta,


Medan dan Makassar) serta hasil survai beberapa penelitian tentang industri
bahwa semua buruh memperoleh hak cuti sebagaimana diatur UU, kecuali
istirahat panjang, bahkan mesklipun tidak tertulis tertuang dalam kontrak, tetapi
hak cuti tetap diberikan berdasarkan kesepakatan dengan pihak perusahaan.
Buruh kontrak dan outsource tidak memperoleh cuti sebagaimana yang diperoleh
buruh tetap, hal ini bertentangan dengan UU No.13/2003. Hak-hak cuti yang
diberikan misalnya cuti haid, tetapi tidak pernah dimanfaatkan oleh buruh dengan
alasan takut dipotong upah harian dan juga memungkinkan munculnya konsep
pelecehan untuk pembuktian. Cuti haid ada di perusahaan manufaktur, tetapi
tidak ada di perusahaan jasa/dagang, dengan jangkauan waktu cuti kawin 4 hari,
pindah rumah 1 hari, sakit 3 hari, istri melahirkan 2 hari, dan 3 bulan untuk cuti
melahirkan.

Lembur dipandang sebagai suatu hal yang menguntungkan dari sisi ekonomi
tetapi melelahkan. Karyawan mengajukan pendapat yang kontradiktif mengenai
lembur. Bila didasarkan pada kelelahan, maka sebenamya mereka tidak
menyukai lembur. Namun lembur menciptakan pendapatan tambahan. Tarif
lembur beragam, mulai Rp 2.000,- per jam sampai dengan Rp 6.000,- per jam.
Upah lembur bervariasi tergantung dari perusahaan. Sebagai perbandingan
dengan kriteria : 1/173 x (75% dari upah per bulan) 1,5 x upah untuk jam
pertama, 2 x upah untuk jam kerja kedua (hari biasa). Untuk hari libur jam
pertama 2 x upah.

Beberapa karyawan menganggap Iembur perlu untuk menyelesaikan


tanggungjawab mereka terhadap perusahaan dan klien, walaupun mereka tidak
selalu menuntut waktu lembur mereka untuk dibayar. karena overtime satu dua
jam kerja dianggap tidak masalah. Lembur tergantung sistem yang diterapkan
perusahaan (sifat usaha). Untuk pekerja pada perusahaan komoditi pertanian
hampir tidak ada lembur. Namun, untuk pekerja pada perusahaan perikanan
secara umum sering lembur. Pada umumnya pekerja wanita sangat
menginginkan lembur guna menambah penghasilan. terutama pekerja kontrak.
Bahkan pada hari libur pun para pekerja kontrak selalu bersedia untuk lembur.
Kasus di Bandung: ada beberapa perusahaan yang menentukan pada hari
Jumat libur, sehingga Kamis malam lembur. Prosedur mengisi surat perintah
lembur sering memberatkan karyawan.

Bagi karyawan yang bekerja di perusahaan yang telah memiliki tatanan sistem
SDM (Sumber Daya Manusia), maka terdapat kejelasan mengenai cuti. Pada
umumnya mereka menggunakan hak cutinya. Sedangkan bagi perusahaan yang
tidak memiliki tatanan SDM yang baku, maka hak cuti didasarkan pada
kesepakatan bersama karyawan dan keputusan manajemen. Pada umumnya,
mereka mempunyai hubungan baik dengan manajemen, sehingga dikarenakan
rasa memiliki pada perusahaanlah maka hak cuti tidak banyak digunakan. Bagi
karyawan permanen, hak cuti tidak mempengaruhi gaji, namun bagi karyawan
kontrak, cuti kerja mengakibatkan penurunan penghasilan karena gaji didasarkan
pada jam kerja.

Dengan demikian baik berdasarkan observasi, diskusi maupun indeplh interview


sebagian besar perusahaan dalam semua jenis industri telah menjalankan
ketentuan tentang istirahat antara jam kerja, istirahat mingguan, cuti tahunan,
lembur akan tetapi belum bisa menjalankan ketentuan tentang istirahat panjang,
karena :

1. Dan segi sejarah istirahat panjang dijalankan masa lalu, dimana


perusahaan menggunakan tenaga kerja dari luar negeri. lstirahat panjang
diberikan pada staf untuk dapat berilibur ke negara asalnya. Berdasarkan
studi literatur, pelaksanaan istirahat panjang di negara yang berorientasi
"liberalis" berlandaskan pada perjanjian kontrak antara perusahaan dan
buruh. Apa yang terjadi di PTPN Perkebunan di beberapa daerah dan di
PT Dirgantara !ndonesia di Bandung maupun di perusahaan-perusahaan
minyak lepas pantai dimana istirahat panjang diberikan pada semua level
pekerja sehingga akhirnya mekanisme kerja sering terganggu karena
setiap saat ada pekerja yang ambil cutiflstirahat panjang.
2. lstirahat panjang belum dapat dimasukkan dalam PKB (Perjanjian Kerja
Bersama atau Collective Labour Agreement) sehingga hal ini tidak
berlaku umum, hanya dapat dimasukkan dalam perjanjian kerja (kontrak
individual) dimana istirahat panjang dapat diberikan pada level pekerja
staff. Konvensi ILO tidak mengatur secara spesifik mengenai istirahat
panjang.
3. Meskipun istirahat panjang itu dibutuhkan untuk perusahaan-perusahaan
tenentu namun dalam perjalanannya belum dapat diatur secara normatif,
sehingga cenderung akan menciptakan perselisihan secara terus
menerus. oleh karena masih banyak perusahaan yang belum dapat
melaksanakannya.
4. Ketika kini produktivitas tenaga kerja Indonesia rata-rata masih rendah,
kendati ada kebutuhan akan istirahat panjang, namun pada realisasinya
hanya sedikit saja perusahaan yang melaksanakan istirahat panjang.

Kesimpulan dan Rekomendasi mengenai Istirahat Panjang

Hak cuti dan libur pada umumnya sudah berlangsung sesuai dengan aturan
normatif. Jadwal kerja tidak begitu dikeluhkan para pekerja bahkan ada aspirasi
untuk sering kerja Iembur untuk menambah penghasilan. Khusus pekerja
berstatus borongan berdasarkan jenis pekerjaan, pada umumnya kurang terikat
dengan hak cuti dan lembur.

Pengaturan istirahat panjang secara eksplisit dalam UU dan perundingan


bipartit. Berdasarkan fenomena dan permasalahan tentang perkembangan
peraturan dan perundangan tentang istirahat panjang di berbagai industri dan
perusahaan serta hasil diskusi FGD di beberapa tempat maupun diskusi intern
tim, serta indepth interview dapat ditarik kesimpulan bahwa pada prinsipnya
istirahat panjang masih perlu dieksplisitkan dalam UU, akan tetapi mengingat
variasi karakteristik, kemampuan dan kondisi perusahaan, pengaturan tentang
periode dan jangka waktu istirahat panjang diserahkan kepada mekanisme
perundingan Bipartit.

3.2.5 PHK, Pesangon, serta Hak-Hak Pekerja

Aturan tentang pemutusan hubungan kerja (PHK)25 dan pesangon ditujukan


untuk menyeimbangkan perlindungan (proteksi) baik terhadap pekerja maupun
pengusaha. Dengan kejelasan aturan main serta keseimbangan hak dan
kewajiban dalam hal PHK dan pesangon, baik pekerja maupun pengusaha
memperoleh kepastian tentang kelanjutan sumber nafkah hidupnya dan
kelanjutan usahanya. Pengusaha merasa aman karena ia mendapatkan jaminan
bagi strategi entry, development, dan exit dalam berusaha. Pekerja juga merasa
aman karena mendapatkan jaminan tentang kelanjutan pekerjaan, kemungkinan
keluar dari pekerjaan, maupun mendapatkan pekerjaan baru bila diberhentikan.

Hal ini harus disadari oleh pembuat aturan maupun oleh pihak-pihak yang akan
melaksanakannya yaitu pekerja dan pengusaha. Permasalahan timbul tatkala
menuangkannya dalam aturan formal yaitu hukum tentang PHK dan pesangon
tersebut.

‐‐----‐------------------------‐------‐------
25
Dalam tulisan ini pengertian PHK adalah pemutusan hubungan kerja atas inisiatif pemberi kerja
atau pengusaha

Menyeimbangkan antara hak dan kewajiban dan baik pekerja maupun


pengusaha bukanlah hal yang mudah. Pemberian hak dalam memutuskan
hubungan kerja yang berlebihan kepada pengusaha atau sebaliknya pemberian
hak pesangon yang berlebihan bagi pekerja yang diberhentikan akan sama-
sama menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Permasalahan diperparah
lagi tatkala hukum telah ditetapkan, namun masing-masing pihak yang
melaksanakan menginterpretasikan aturan-aturan tersebut diIuar jalur semangat
yang seharusnya ditanamkan tatkala aturan tersebut dibuat.

Aturan formal tentang PHK dan pesangon yang berlaku sekarang tertuang dalam
Bab XII (pasal 150-172) UU No.13/2003. Pihak pengusaha diwakili oleh APINDO
(Asosiasi Pengusaha lndonesia) mengeluhkan pasaI-pasal yang terkait dengan
PHK dan pesangon yaitu pasal 142, 155, 156, dan 158-172 serta mengajukan
usulan perbaikan26. Namun pihak pekerja melalui serikat nya dengan keras
menentang perubahan tersebut. Pemerintah dalam hal ini Depanemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) menghadapi dilema. Di satu sisi,
Pemerintah memahami beratnya pasal-pasal PHK dan pesangon yg tertuang di
UU No.13/2003 tersebut yang dapat mengganggu iklim investasi dan selanjutnya
mengancam penciptaan lapangan kerja. Di sisi lain Pemerintah menyadari
fungsinya sebagai agen pembangunan untuk menjamin kesejahteraan bagi para
pekerja dan karyawan, sehingga menjamin kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan.

Untuk itu diperlukan pemahaman yang jelas perihal PHK dan pesangon.
Diperlukan dasar yang obyektif dan prosedur yang adil dalam melakukan PHK,
sehingga tidak menimbulkan perselisihan antara pekerja dengan pengusaha.
Diperlukan pula cara yang objektif dalam menentukan besarnya pesangon yang
akan mengoptimalkan kepuasan baik pekerja maupun pengusaha. Selanjutnya,
dengan kejelasan konsep, penentuan dasar dan prosedur PHK yang adil, serta
penentuan cara penghitungan pesangon dan hak-hak pekerja yang objektif,
dilema yang dihadapi oleh Pemerintah di atas dapat didudukkan dengan baik.
Demikian pula, tatkala pasal-pasal yang dipermasalahkan tentang PHK dan
pesangon dalam UU No.13/2003 dibahas, silang pendapat dapat dihindari
dengan berpedoman pada kejelasan perihal PHK dan pesangon di atas. Hal
inilah yang akan dibahas pada bagian berikut dari tulisan ini.

--------------------------------------------------------
26
Lihat APINDO (2006a), APINDO (2006b), dan APlNDO (2006c).

Pemutusan Hubungan Kerja

Hiring and firing (PHK) pada dasarnya merupakan instrumen yang dapat
digunakan pengusaha dalam mengembangkan maupun menutup usahanya.
Adanya substitusi antara tenaga kerja dengan input lainnya seperti modal, akan
mendorong pengusaha untuk mengurangi pegawai tatkala biaya tenaga kerja
relatif Iebih mahal dari pada input lainnya tersebut. Demikian pula tatkala pemilik
usaha ingin mengurangi atau menutup usahanya baik karena berkurangnya
permintaan atau bangkrut ataupun mengganti ke bentuk usaha lain, umumnya
terjadi pengurangan pegawai atau PHK. Demikian pula bila pihak pekerja
menunjukkan kinerja atau perilaku yang dapat merugikan perusahaan.

Karena sebagian besar pekerja di Indonesia tidak memiliki kontrak kerja yang
bersifat collective bargaining, maka praktis mereka tidak terlindungi dari PHK
sepihak oleh pemberi kerja. Untuk itu diperlukan ketentuan formal tentang PHK
yang bersifat mengikat baik dalam hal prosedur pelaksanaan PHK maupun hak
dan kewajiban kedua pihak yang akan melakukan PHK. Dengan demikian, para
pekerja terlindungi dari PHK yang tidak berdasar dan terjamin pula kompensasi
yang pantas bila di PHK. maupun pengusaha terlindungi dari kemungkinan
kerugian yang lebih besar.
PHK diatur dalam konvensi ILO nomor C158, tahun 1982 (ILO/C158/1982), yang
berlaku bagi seiuruh aktivitas ekonomi dan bagi seluruh individu yang bekerja27.
Dalam konvensi ini PHK diartikan sebagai pemutusan hubungan kerja atas
inisiatif pengusaha (Article 3). Ada beberapa hal yang tidak diperbolehkan
sebagai alasan untuk mem PHK pegawai seperti keanggotaan dalam serikat
pekerja serta aktivitasnya di luar jam kerja. menjadi perwakilan pekerja, absen
selama cuti hamil, absen karena kondisi kesehatan atau kecelakaan, etnis,
agama. pandangan politik, gender, hamiI, latar belakang sosial dan sebagainya
(Article 4, 5, den 6). Selebihnya, diatur pula prosedur PHK (Article 7) dan
pesangon serta berbagai hak pekerja lainnya (Article 7-18).

Walaupun Pemerintah Indonesia beium meratifnkasi konvensi ILO/C158/1982 ini,


namun semangat dan bahkan beberapa pasal dalam undang-undang
ketenagakerjaan termasuk UU No.13/2003 dan UU No.2/2004 mencantumkan
aturan-aturan yang mirip dengan yang

-----------------------------------------------
27
Ada beberapa pengecualian buruh/karyawan yang lidak termasuk dalarn kategori buruh/karyawan
yang diatur dalam konvensi ILO C158 ini seperti tertuang dalam Article 2, yaitu pekerja dengan
Perjanijian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pekerja dalam masa percobaan, dan pekerja untuk
waktu yang sangat pendek.

Anda mungkin juga menyukai