Anda di halaman 1dari 3

1.

Struktur Sosial
Dalam UU Omnibus Law menjelaskan tugas dan wewenang dari pihak-pihak
yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dimana tugas dan wewenang antara
pihak yang satu tentu saja berbeda. Struktur sosial akan terbentuk dalam
lingkungan kerja yang terdiri dari direksi, manager, pengusaha, pegawai, serta
para pekerja. Struktur sosial dalam lingkungan kerja terebut antara satu
dengan yang lainnya akan terjadi interaksi sosial. Tatanan sosial para tenaga
kerja diatur dalam UU Omnibus Law. Hubungan kerja antara perusahaan alih
daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian
kerja yang dibuat secara tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu maupun
perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

2. Konflik Peran dan Ketegangan Peran


Dalam lingkungan kerja pasti akan mengalami konflik sehingga dalam UU
Omnibus Law diatur beberapa persengketaan yang terjadi antara pihak-pihak
dalam organisasi kerja. Aturan tersebut dijelaskan pada Pasal 157A (1)
Selama penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pengusaha dan
pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewaj ibannya. (2) Pengusaha dapat
melakukan tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses
pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayar upah beserta hak lainnya
yang biasa diterima pekerja/buruh. (3) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses
penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya. Selain itu
dengan adanya UU Omnibus Law dapat mengakibatkan ketegangan antara
TKA dan TKI karena adanya indikasi pemerintah mempermudah perekrutan
Tenaga Kerja Asing (TKA). Hal ini dikhawatirkan dapat menyingkirkan
tenaga kerja Indonesia ke zona yang tidak menguntungkan secara ekonomi
dan mereka menjadi semakin terpuruk

3. Teorema Thomas: Situasi Nyata (realita)


Teori Teorema Thomas dalam UU Omnibus Law yaitu terlihat bahwa situasi
nyata yang terjadi di lingkungan pekerjaan dimana para pekerja ditempat kerja
yaitu bekerja. Para pekerja baik pekerja warga Indonesia maupun pekerja
asing yang bekerja berhak mendapatkan kompensasi.
4. Pembangunan Realitas: Kelas dan Budaya
Dalam UU Omnibus Law terdapat ketentuan yang mengatur mengenai
pelatihan kerja yaitu Pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh lembaga
pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta serta lembaga
pelatihan kerja perusahaan. Pelatihan Kerja yang dilakukan ini merupakan
salah satu upaya dalam pembangunan realitas dengan memberikan
pengetahuan terkait peran, tugas, wewenang, bahkan menambah keterampilan
para tenaga kerja sehingga mereka terbiasa dengan tugas yang akan
dilakukannya masing-masing. Berdasarkan hal ini kelas dan budaya di
lingkungan kerja akan tertanam di diri para pekerja melalui strategi pelatihan
kerja tersebut.

5. Lingkungan Organisasi
Lingkungan organisasi yang diatur dalam UU Omnibus Law diantaranya
adalah lembaga pelatihan kerja dan organisasi tempat bekerja. Kelompok-
kelompok sosial akan terbentuk dalam organisasi tempat kerja seperti
kelompok sosial para pegawai, kelompok sosial para pekerja/buruh serta
kelompok sosial antara pengusaha. Pada kelompok-kelompok tersebut akan
terdapat pemimpin dan bawahan dan diantara mereka terdapat keragaman
sosial, ras, kelas bahkan keragaman gender. Melalui UU Omnibus Law diatur
terkait keadilan yang didapatkan oleh masing-masing pihak terkait sesuai
dengan jabatan maupun tugas yang diembannya.

6. Emosi: Konstruksi Sosial Perasaan


Dalam UU Omnibus Law terdapat sejumlah kekecewaan yang dirasakan oleh
para pekerja atau buruh. Interaksi yang terjadi atas kekesalan terhadap
sejumlah Pasal yang dianggap sebagai Pasal Siluman yang hadir dalam UU
Omnibus Law mengakibatkan para buruh melakukan demonstrasi secara
besar-besaran di seluruh daerah Indonesia. Mereka mengungkapkan
kekeceweaan atas beberapa peraturan baru dengan penghapusan beberapa
aturan lama yang dirasa sangat merugikan para pekerja. Kerugian yang
dirasakan para pekerja antara lain:
a. Waktu libur yang awalnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan sebanyak 2
hari dalam seminggu kini dipangkas menjadi satu hari dalam seminggu.
b. Dalam UU Cipta kerja yang sudah disahkan, salah satu poin yang tidak
disepakati oleh serikat buruh adalah penghapusan upah minimum
kota/kabupaten (UMK). Poin tersebut diganti dengan upah minimum
provinsi (UMP). Penghapusan itu dinilai membuat upah pekerja bisa lebih
rendah dari penghasilan yang didapatkan saat ini. Pasal ini juga
kontradiktif dengan aturan Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13
Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa pekerja tidak boleh mendapatkan
upah di bawah upah minimum. Bagaimanapun jika ditelusuri, memang
tidak semua daerah memiliki UMP yang sepadan dengan pengeluaran
masyarakatnya. Walaupun disebutkan penetapan UMK dan UMP
berdasarkan perhitungan kebutuhan layak hidup atau KLH namun
kenyataan di lapangan terkondisi hal yang berbeda dari konsep tersebut.
c. Pasal kontroversial lainnya dalam UU Cipta Kerja ialah pasal yang
menyebut tentang jam lembur. Ketentuan itu lebih lama daripada dalam
UU Nomor 13 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa kerja lembur dalam
satu hari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu. Sedangkan
dalam draf Omnibus Law dalam Pasal 78 bahwa waktu kerja lembur bisa
dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam
seminggu.
d. Pasal kontroversial dalam UU Omnibus Law bahwa adanya kondisi rentan
para pekerja bisa mendapatkan pemutusan hubungan kerja (PHK)
sewaktu-waktu dari perusahaan. Hal ini dinilai sangat merugikan pekerja.

Anda mungkin juga menyukai