Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PBL

SISTEM INDERA KHUSUS-THT

MODUL III

GANGGUAN PENGHIDU

OLEH :

KELOMPOK IX

Dodi Abdullah Attamimi Nur Indah Sari Gassing

Dwi Purnamasari Nurfadillah .S Massangka

Erdhy Fardhani Achmad Rifqi Wira Priyangga

Agung Adi Saputra Sitti Nurfitri Pebryani Z

Ningsih Ridwan Sri Vitayanti

Ridha Suryanti Muslimah

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

T/A 2015-2016
Skenario 2

Seorang laki-laki , 23 tahun datang ke Poli THT dengan nyeri kepala 1 tahun
hilang timbul disertai ingus kental kuning kehijauan dan sering jatuh di
tenggorokan , dan akhir-akhir ini penghidu rasa berkurang.

Kalimat kunci

 Laki-laki 23 tahun
 Nyeri kepala sejak 1 tahun, hilang timbul
 Ingus kental kuning kehijauan dan jatuh ke tenggorokan
 Penghidu berkurang

Pertanyaan

1. Jelaskan anatomi, histologi, dan fisiologi hidung!


2. Jelaskan patomekanisme gejala-gejala yang ada pada skenario!
3. Differensial diagnosis (DD)
4. Bagaimana langkah diagnostik?
5. Tindakan preventif

1. ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL


a. Hidung Bagian Luar
Kerangka bagian luar hidung terdiri dari unsur tulang dan
kartilago. Sepasang ossa nasalis yang menjadi penentu pangkal hidung
bersendi di bagian atas dengan ossa frontalis dan ke lateral dengan
processus nasalis ossis maxillaris. Konfigurasi bagian hidung lainnya
terbentuk dari empat kartilago hidung bagian luar. Dua kartilago lateral
bagian atas bersendi di garis tengah bagian dorsal septum nasi, dan dua
kartilago lateral bagian bawah membentuk struktur ujung hidung.
SUPLAI DARAH. Hidung luar menerima suplai darah utama
dari cabang-cabang arteria facialis dan anastomosis-anastomosis nya
dengan arteria infraorbitalis dan arteria supraorbitalis serta
supratrochlearis. Darah vena dari hidung luar mngalir melalui vena
facialis anterior dan posterior ke dalam sistem jugularis interna dan
melalui vena angularis tyang berhubungan dengan vena orbitalis dan
ophtalmica yang bermuara ke dalam sinus cavernosus. Terdapat
hubungan dalam antara vena infraorbitalis dan plexus venosus
pterygoideus. Vena di bagian wajah ini tidak mempunyai katup;dengan
demikian, infeksi di daerah ini cenderung menyebar lebih cepat ke
arah sentral daripada ke daerah tubuh lainnya.
PERSARAFAN. Persarafan ke hidung luar berasal dari cabang
terimal N. trigeminus (N.V), yakni N.infratrochlearis (V1), N.nasalis
externus (cabang ethmoidalis anterior V1), N.infraorbitalis (V2).
b. Hidung Bagian Dalam
Bagian dalam hidung dibagi menjadi dua rongga oleh septum
nasi. Septum ini terdiri dari dua tulang di bagian posterior dan
kartilago septum bersegi empat di belah anterior. Seluruh septum
berada di dalam bungkus mukoperikondrial dan mukoperiostial yang
bersambung lapisan lain dasar hidung dan dinding lateral.
Dinding lateral hidung mempunyai anatomi yang rumit. Yang
paling menonjol adalah concha superior, media, dan inferior
(kadangkala ada concha ke empat yaitu concha suprema). Concha
inferior adalah concha yang terbesar dan kaya akan pembuluh darah.
Concha media kaya akan kelenjar mukosa dan sering mengandung sel-
sel udara. Meati nasalaes diberi nama sesuai dnegan concha yang
berada di atasnya. Di meatus inferior, terdapat muara ductus
nasolacrimalis. Di meatus medius, terdapat ostium sinus maxillaris,
frontalis, dan ethmoidalis anterior. Sel-sel ethmoidalis posterior dan
sinus sphenoidalis bermuara ke dalam meatus superior atau recessus
sphenoethmoideus.
SUPLAI DARAH. Berasal dari sistem sistem arteri karotis
eksterna dan interna. Pembuluh darah yang paling sering menimbulkan
epistaksis (area Kiesselbach) di septum nasi anterior merupakan
cabang terminal arteri ethmoidalis anterior et.posterior, cabang septalis
arteri sphenopalatina, cabang-cabang dari arteri nasopalatina, dan
cabang terminal dari arteri labialis superior. Dinding lateral hidung
mendapat suplai darah dari aa.eithmoidales dan cabang nasal lateral
r.sphenopalatinus a.maxillaris interna. Drainase vena hidung bagian
dalam ke sistem fasial, oftalmik, dan sistem pterigoid. Kecuali
penciuman, sensasi di hidung sebelah dalam dihantarkan oleh cabang
dari cabang pertama dan kedua N.trigeminus. serabut simpatis yanbg
mempersarafi pembuluh darah di dalam hidung berasal dari plexus
caroticus yang berjalan bersama dengan n.carotis externus dan dari
bagian petrossus profundus n.vidianus. Serabut parasimpatis
pascaganglion yang mempersarafi kelenjar sekretorik di dalam hidung
mempunyai badan sel di dalam ganglion sphenopalatinum dan serabut
praganglion berjalan bersama dengan n.vidianus. Dibawah kondisi
normal, hidung dilapisi oleh epitel pernafasan, yang merupakan epitel
bertingkat, bersilia, dan berkolumnair.
SINUS PARANASAL adalah ruang berisi udara berpasangan
yang dilapisi oleh membran mukosa. Sinus tersebut berkembang
sebagai kantong-kantong keluar dari membran mukosa d=hidung
dengan kecepatan perkembangan yang berbeda selama masa bayi dan
kanak-kanak. Sinus maxillaris adalah sinus yang terbesar dan terletak
didalam maxilla tepat di bawah orbita. Sinus ethmoidalis yang
berjumlah banyak terletak di sebelah medial orbita dan dipisahkan oleh
lamina papyracea yang tipis. Sinus ethmoidales dibagi menjadi
kelompok anterior, media, dan posterior, dan semuanya dibagi menjadi
banyak sel oleh jaring-jaring septa tulang yang kecil. Sinus frontalis
terletak disebelah anterior dan di atas sinus ethmoidalis dan dipisahkan
oleh sebuah septum. Di belakang sinus ethmoidalis, posterior terdapat
sinus sphenoidalis yang biasanya dibagi secara tidak sebanding oleh
sebuah septum. Struktur-struktur vital yang berkait erat dengan sinus
ini adalah kelenjar hipofisis, yang terletak di sebelah posterosuperior,
dan aa.carotis internae dan nn.optici, yang terletak di sebelah lateral.

HISTOLOGI PENGHIDU (OLFACTION)

Kemoreseptor olfaktorius terletak di epitel olfaktorius, yaitu regio khusus


membran mukosa concha superior yang terletak di atap rongga hidung. Pada
manusia, luasnya sekitar 10 cm2. Epitel ini merupakan epitel bertingkat silindris
yang terdiri atas tiga jenis sel :

 Sel-sel basal adalah sel kecil, sferis atau berbentuk kerucut dan
membentuk suatu lapisan di lamina abasal. Sel-sel ini adalah sel punca
untuk kedua tipe sel lainnya.
 Sel penyokong berbentuk kolumnar dengan apeks silindris dan dasar yang
lebih sempit. Pada permukaan bebasnya terdapat mikrovili, yang terendam
dalam selapis cairan. Kompleks tautan yang berkembang baik mengikat
sel-sel penyokong pada sel-sel olfaktori di sebelahnya. Peran suportif sel-
sel ini tidak begitu dipahami, tetapi sel tersebut memiliki banyak kanal ion
dengan fungsi yang tampaknya diperlukan untuk memelihara lingkungan
mikro yang kondusif untuk fungsi penghidu dan ketahanan hidup.
 Neuron olfaktorius adalah neuron bipolar yang berada di seluruh epitel
ini. Neuron ini dibedakan dari sel-sel penyokong oleh letak intinya, yang
terletak diantara sel penyokong dan sel basal. Ujung dendrit setiap neuron
bi polar merupakan ujung apikal (luminal) sel dan memiliki tonjolan
dengan sekitar lusinan badan basal. Dari badan basal tersebut, silia
panjang nonmotil menonjol dengan aksonema tetapi memiliki luas
permukaan yang bermakna untuk kemoreseptor membran. Reseptor
tersebut berespon terhadap zat pembau dengan menimbulkan potensial
aksi disepanjang akson (basal) neuron tersebut, yang meninggalkan epitel
dan bersatu di lamina propria sebagai saraf yang sangat kecil yang
kemudian melalui foramina di lamina cribriformis ossis ethmoidalis ke
otak. Di tempat tersebut, saraf ini membentuk saraf kranial I, nervus
olfactorius, dan akhirnya bersinaps dengan neuron lain di bulbus
olfactorius.

Lamina propria di epitel olfaktorius memiliki kelenjar serosa besar (kelenjar


Bowman), yang menghasilkan suatu aliran cairan di sekitar silia penghidu dan
memudahkan akses zat pembau yang baru.

SINUS PARANASALIS

Sinus paranasalis adalah rongga bilateral di tulang frontal, maksilla,


ethmoid, dan sfenoid tengkorak. Sinus-sinus ini dilapisi oleh epitel respiratorik
yang lebih tipis dengan sedikit sel goblet. Lamina proprianya mengandung sedikit
kelenjar kecil dan menyatu dengan periosteum di bawahnya. Sinus paranasalis
berhubungan langsung dengan rongga hidung melalui lubang-lubang kecil dan
mukus yang dihasilkan dalam sinus ini terdorong ke dalam rongga hidung sebagai
akibat dari aktivitas sel-sel epitel bersilia.

FISIOLOGI HIDUNG
Penghidu

Proses penghidu berlangsung melalui rambut-rambut sensorik N.olfaktorius,


yang menembus lamina cribrosa. Sekalipun dapat terjadi beberapa gangguan
pengidu, penyebab anosmia tersering adalah hanya obstruksi hidung, sederhana
seperti yang terjadi pada influenza atau poliposis hidung, yang menghalangi aliran
udara untuk mencapai daerah penghidu.

Pengendali suhu udara

Pengendalian suhu udara yang dihirup ketika udara mlewati permukaan


conchae yang luas. Jaringan kapiler yang banyak terdapat di dalam jaringan
semierektil yang memungkinkan pertukaran kalori yang efektif.

Pengendali kelembapan
Selimut mukosa yang padat dibentuk oleh kelenjar mukosa yang sangat banyak di
dalam mukosa hidung memungkinkan pelembapan udara yang dihirup secara
konstant. Diperkirakan sebanyak 1 liter cairan hilang melalui hidung sepanjang
bernafas selama 24 jam.

Filtrasi partikel

Sistem mukosiliar hidung memberikan fungsi filtrasi yang melindungi


terhadap bahan partikel yang terhirup. Kelenjar submukosa dan sel-sel goblet di
epitel pernafasan memasok mukus yang mengalir terus-menerus, sehingga
membentuk selimut yang kental. pH sekret tetap konstan pada angka 7 dan juga
menbgandung lisozim dan mensekresi IgA

Fungsi sinus paranasal lainnya adalah meringankan bobot tengkorak,


memberikan fungsi hidung tambahan, memberikan penahan suhu udara untuk
otak, ikut mempertajam penghidu, menamba resonansi suara, dan memberikan
penopang semacam bantalan (bumper) untuk melindungi wajah dari trauma.

2. Patomekanisme ingus kental kuning kehijauan


a. Ketika terpapar untuk pertama kalinya

Bakteri fagositosis oleh APC dipresentasekan ke sel T-


helper 2 mengeluarkan IL-4 aktivasi sel B menjadi sel plasma
produksi IgE berikatan dengan sel mast (FCRI) sekresi histamin
berupa 1.Triptase sebagai bronkokonstriktor dan 2.Chimase yang
mencetuskan rhinore

b. Ketika terpapar untuk yang kedua kalinya

Bakteri (Antigen yang sama) langsung diikat IgE pintu Ca + pada


sel terbuka terjadi degranulasi sel mast dan sel basofil histamin
(NCF, kinin, bradikinin, dan tripase) rhinore yang lebih berat

Ingus kental dan kuning kehijauan menandakan antigen berupa bakteri

Patomekanisme sakit kepala

Sakit kepala merupakan tanda yang paling umum dna yang paling
penting pada sinusitis. Nyeri kepala yang timbul merupakan akibat adanya
kongesti dan edema di ostium sinus dan sekitarnya.
Patomekanisme ingus sering jatuh di tenggorokan (post nasal drip)

Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran ransport mukosiliar


dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung
di infundibulum ethmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba
Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di
resessus sfenoethmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara
tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca nasal (post nasal
drip).

3. Differensial diagnosis (DD)

1. SINUSITIS
Sinusitis merupakan inflamasi pada mukosa sinus paranasal. Umuya
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut dengan rhinosinusitis.
Penyebab utamanya adalah selesma yang merupakan infeksi virus yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila
mengenai semua sinus disebut pansinusitis.

Etiologi dan faktor predisposisi

Beberapa etiologi dan faktor predisposisi antara lain ISPA akibat


virus, bermacam rinitis utamanya rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita
hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum, atau hipertrofi
konka, sumbatan KOM, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskinesia silia. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting
penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi.

Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara


dingin, kering, serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama
menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.

Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan


lancarnya klirens mukosilier didalam KOM (kompleks ostiomeatal). Organ-
organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi udem,
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya, terjadi tekanan negatif di dalam
rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous.
Kondisi ini biasa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya
sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul di dalam sinus


merupakan media yang baik untuk timbulnya dan multipikasi bakteri. Sekret
menjadi purulen. Kondisi ini biasa disebut rinosinusitis akut bakterial dan
memerlukan terapi antibiotik.

Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi),


inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia, dan bakteri anaerob berkembang.
Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus
berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik, yaitu hipertrofi,
polipoid, atau pembentukkan polip dan kista.

Klasifikasi dan mikrobiologi

Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis dengan


akut (batas sampai 8 minggu) dan kronik (>8 minggu).

Konsensus tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4


minggu, subakut antara 4 minggu – 3 bulan, dan kronik jika >3 bulan.

Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik merupakan lanjutan dari


sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Harus dicari adanya faktor
predisposisi dan diobati secara tuntas.

Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang diutemukan pada


sinusitis akut adalah Streptococcus pneumoniae (30-5-%), Haeomophylus
influenzae (20-40%), dan Moraxella catarrhalis (4% dan 20% lebih banyak
ditemukan pada anak-anak).

Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi


umumnya bakteri yang ada lebih condong ke arah bakteri gram negatif dan
bersifat anaerob.

Gejala Klinis

Keluhan utama rinosinusitis akut berupa hidung tersumbat disertai


rasa nyeri/rasa tekanan pada wajah, ingus purulen yang seringkali turun ke
tenggorokan (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik yaitu demam
dan lesuh.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan pada daerah sinus yang terkena
adalah ciri khas dari rinosinusitis akut, serta kadnag-kadang nyeri juga terasa
di tempat lain (reffered pain).

Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal


drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak.

Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis.


Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala di bawah ini yaitu sakit
kepal kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan
telinga akibat sumbatan kronik muara tuab eutachius, gangguan ke paru
seperti bronkitis, bronkiektasis, serta yang paling sering adalah serangan
asma.

Tabel karakteritistik sinusitis

Sinus Lokasi nyeri Penyebab Tanda dan Komplikasi


gejala spesifik
Maksillaris Pada antrum, Impaksi gigi, Nyeri atau gigi Osteomielitis
akar molar infeksi berderik, sekret
bagian atas neuralgia purulen di
bawah konka
media
Ethmoidalis Periorbital Bagian Nyeri meningkat Mengenai
(anterior), pansinusitis saat menuruni mata dan
verteks, hanya tangga, kehilangan
belakang mata ethmoidalis melompat, atau penglihatan
(posterior) pada anak membungkuk
dengan fibrosis
kistik
Frontalis Dahi atau di Obstruksi Tak ada pus Osteomielitis,
atas mata duktus dalam hidung sellulitis atau
nasofrontalis abses orbita,
meningitis,
atau abses otak
Sfenoidalis Nyeri Peradangan Nyeri kepala Oftalmoplegia,
dijalarkan ke atau proises difus disertai neuralgia
area frontal, ekspansif rinore posterior trigeminal, dan
temporal, atau komplikasi
oksipital, nyeri intrakranial
retroorbital
atau verteks
Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan


naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini.
Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maxillaris dan
etgmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis ethmoid
posterior dan sfenoid).

Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT-scan. Foto
polos posisi waters, PA, lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus.

CT-scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu


menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya.

Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas
kegunaannya.

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil


sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna

Terapi

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut


bakterial. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin.
Jika diperkirakan kuman telan resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka
dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2.
Antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada
sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai dengan bakteri gram negatif dan
anaerob.

Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika
diperlukan seperti analgetik, mukolitik, steroid topikal/oral, pencucian rongga
hidung dengan NaCl atau diatermi. Antihistamin tidak rutin diberikan dan
imunoterapi dapat dipertimbangkan jika didapatkan ada kelainan alergi yang
berat.
Tindakan operasi

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi


sinusitis kronik terkini yang memerlukan tindakan operasi. Indikasi : sinusitis
kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai
kista/kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis, serta
sinusitis jamur.

2. POLIP NASI

Polip nasi/hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di


dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi
mukosa.

Patogenesis

Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi


saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bemstein, terjadi
perubahan m dikelompokkan menjadi 2 tioukosa hidung akibat peradangan atau
aliran udara yang berturbulensi, terutama didaerah sempit di KOM. Terjadi
prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru.
Juga terjadi peningkatan penyerapan Na oleh permukaan sel epitel yang berakibat
retensi air sehingga terbentuk polip.

Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi


terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskular yang
mengakibatkan dilepaskannya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan
menyebabkan edema dan lama-kelamaan menjadi polip.

Makroskopis

Polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin, berbentuk bulat


atau lonjong, berwarna putih, keabu-abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal
atau multipel, dan tak sensitif. Warna polip pucat tersebut disebabkan karena
mengandung banyka cairan dan sedikit aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi
kronis, warna polip berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah
menahun warnanya menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung
jaringan ikat.

Mikroskopis
Secara mikroskopis, tampaka epitel pada polip serupa dengan mukosa
hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang
lembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinofil, neutrofil, dan
makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah. Saraf, dan
kelenjar sangat sedikit. Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip
dikelompokkan menjadi 2 tipe yaitu, tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik.

Diagnosis polip nasi

Anamnesis

Keluhan utama ialah hidung rasa tersumbat dari ringan sampai berat, rinore
mulai jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin-
bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila disertai
infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala
sekunder ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur,
dan penurunan kulaitas hidup.

Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik
dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma.

Selain itu harus ditanyakan pula riwayat rinitis alergi, asma, intoleransi
terhadap aspirin dan alergi obat lainnya serta alergi makanan.

Pemeriksaan fisik

Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat berasal dari meatus
medius yang mudah digerakkan.

Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997) :

Stadium 1 polip masih terbatas di meatus medius

Stadium 2 polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga


hidung tapi belum memenuhi rongga hidung

Stadium 3 polip yang masif.

Naso-endoskopi

Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan


rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan naso-endoskopi.
Radiologi

Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell, dan Lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus,
tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer (TK,
CT-scan) sangat bermanffat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan
sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip, atau sumbatan
pada KOM. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati
dengan terapi medikamentosa.

Penatalaksanaan

Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga


polipektomi medikamentosa. Dapat diberikan topikal atau sistemik. Polip tipe
eosinofilik memberikan respon yang lebih baik terhadap pengobatan
kortikosteroid intranasal dibandingkan tipe neutrofilik.

Kasus polip yang tidak membaik dengan medikamentosa atau kasus polip
yang masif dipertimbangkan untuk terapi bedah . dapat dilakukakn ekstraksi polip
(polipektomi). Yang terbaik adalah apabila tersedia fasilitas endoskop maka dapat
dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional).

4. Langkah diagnostik

Anamnesis tambahan

1. Apa pekerjaan pasien? (untuk mengetahui apaka jenis pekerjaan pasien


sering terpapar dengan bahan-bahan polutan seperti asap tembakau, debu,
dll)
Bila sering (iya) → sinusitis
Tidak → polip nasi
2. Apakah ada common cold/flu sebelumnya?
Iya → sinusitis
Tidak → polip
3. Nyeri kepala dibagian mana?
Sinusitis sphenoidalis → verteks, oksipital, dan retroorbital
Polip → daerah frontal
Sinusitis kronik → nyeri kepala kronik
4. Apakah terdapat nyeri pada pipi?
Iya → sinusitis maksillaris
Tidak → polip
5. Apakah ada gangguan tidur?
Iya → polip
Tidak → sinusitis
6. Apakah kadang-kadang menggunakan mulut untuk bernafas?
Iya → polip
Tidak → sinusitis
7. Apakah ada demam dan lesuh? (gejala sistemik yang menyertai)
Iya → sinusitis akut
Tidak → polip, sinusitis kronik
8. Apakah ada nyeri pada gigi bila menggerakkan kepala secara mendadak?
Iya → sinusitis maksillaris
Tidak → polip
9. Apakah disertai batuk kronis atau peradangan pada tenggorokan?
Iya → sinusitis kronik dan polip
Tidak → sinusitis akut

Pemeriksaan fisik

 Inspeksi

Wajah bengkak → sinusitis maksillaris

 Palpasi

Nyeri pada pipi → sinusitis maksillaris

Nyeri tekan pada kedua mata → sinusitis eithmoidalis

 Perkusi

Nyeri pada pipi → sinusitis maksillaris

Laboratorium

 Darah lengkap

Mikrobiologi

 Biakan sekret dan tes resistensi

Pemeriksaan hidung

 Rinoskopi anterior dan posterior


 Nasoendoscopy
 CT-scan hidung

5. Tindakan preventif
1. Hindari penggunaan obat yang dapat menyebabkan anosmia
2. Mengurangi atau menghindari rokok
3. Perbanyak makan makanan yang mengandung Zinc atau seng
4. Tingkatkan peran serta keluarga dalam upaya penyembuhan
5. Periksakan ke dokter apabila terjadi gangguan pada indera penghidu untuk
mengetahui diagnosis awal

Anda mungkin juga menyukai