Anda di halaman 1dari 24

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Referat : 19 Juni 2015
Rumah Sakit Family Medical Center-Sentul

Tanda Tangan
Nama : Grace Irene L. Toruan
NIM : 11-2014-215

..........................

Dr. Pembimbing : dr. Benhard B. J. Panjaitan, Sp THT - KL...........................

PENDAHULUAN
Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.1,2 Rinitis alergi terdapat pada lebih kurang 40 juta
penduduk amerika. Rinitis ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih
sering terjadi terutama anak laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki-laki dan
perempuan sama. Insidensi tertinggi terdapat pada anak-anak dan dewasa muda
dengan rerata pada usia 8-11 tahun, sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai
dari usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan
dengan usia sehingga pada usia senja rinitis alergi jarang ditemukan. 1,2

PEMBAHASAN
I. ANATOMI
Hidung Luar
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian - bagiannya dari atas ke bawah :
1.Pangkal hidung, 2.Batang hidung (dorsum nasi), 3.Puncak hidung, 4. Ala nasi, 5.
Kolumela dan 6.Lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1.Tulang hidung
(os.nasal), 2.Processus frontalis os maksilla, 3.Processus nasalis os frontal;
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1.Sepasang Kartilago nasalis lateral superior,
2.Sepasang Kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala
mayor dan 4.Tepi anterior kartilago septum.

Hidung Dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut - rambut panjang yang disebut
vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
2

inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk
oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah : 1. Lamina prependikularis os
etmoid, 2.Vomer, 3.Krista nasalis os maksila dan 4.Krista nasalis os palatina. Bagian
tulang rawan adalah : 1.Kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2.Kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada
bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Pada dinding lateral
terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior,
kemudian yang lebih kecil lagi ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka
superior. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila
dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior merupakan bagian dari labirin
etmoid. Di antara konka - konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan
dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus
maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di
antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus sfenoid.

Batas Rongga Hidung


Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina
kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang lubang (kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut - serabut saraf olfaktorius. Di
bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sphenoid.

Pendarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga
hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya ialah
ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina
bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang - cabang
a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang - cabang
a.sfenopalatina, a.etmois anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor, yang
disebut pleksus kiesselbach (Littles area). Pleksus kiesselbach letaknya superfisial
dan mudah ceedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epitaksis
(perdarahan hidung). Terutama pada anak. Vena - vena hidung mempunyai nama yang
sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur
luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.
Vena - vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi
untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N
V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari
n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina, selain memberikan
persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk
mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n.maksila (N.V-2),
serabut parasimpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di
belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidu berasal
dari n.olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Sistem Limfatik
Suplai limfatik hidung amat kaya dimana terdapat jaringan pembuluh anterior dan
posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara di sepanjang pembuluh
fasialis yang menuju leher. Jaringan ini mengurus hampir seluruh bagian anterior
hidung vestibulum dan daerah prekonka. Jaringan limfatik posterior mengurus
mayoritas anatomi hidung, menggabungkan ketiga saluran utama di daerah hidung
belakang saluran superior, media dan inferior. Kelompok superior berasal dari konka
media dan superior dan bagian dinding hidung yang berkaitan, berjalan di atas tuba
eustachius dan bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea. Kelompok media, berjalan
di bawah tuba eustachius, mengurus konka inferior, meatus inferior, dan sebagian
dasar hidung dan menuju rantai kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior berasal
dari septum dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang
pembuluh jugularis interna.
Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).
Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya
dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia (ciliated
pseudostratified collumner ephitelium) dan di antaranya terdapat sel sel goblet.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas
septum.

Mukosa

dilapisi

oleh

epitel

torak

berlapis

semu

tidak

bersilia

(pseudostratified collumner non ciliated ephitelium ). Epitelnya dibentuk oleh tiga


macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa
penghidu berwarna cokelat kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara
6

mukosanya lebih tebal dan kadang kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel
skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan
selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya.
Di bawah epitel terdapat tunika propia yang banyak mengandung pembuluh darah,
kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Pembuluh darah pada mukosa hidung
mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari
tunika propia dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan
perdarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan sub epitel. Pembuluh eferen dari
anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya
dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid
mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusioid akan mengalirkan darahnya ke
pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa
hidung menyerupai jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengembang dan
mengerut. Vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf
otonom.
FISIOLOGI HIDUNG
Hidung berfungsi untuk jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara, turut membantu
proses bicara dan refleks nasal. Silia/reseptor berdiri diatas tonjolan mukosa yang
dinamakan vesikel olfaktorius dan masuk ke dalam lapisan sel-sel reseptor olfaktoria.
Diantara sel-sel reseptor (neuron) terdapat banyak kelenjar Bowman penghasil mukus
(mengandung air, mukopolisakarida, antibodi, enzim, garam-garam dan

protein

pengikat bau (G-protein). Sel-sel reseptor satu-satunya neuron sistem saraf pusat yang
dapat berganti secara reguler ( 4-8 mgg) (tempat transduksi). Kecepatan aliran udara
pada saat inspirasi sebesar 250 ml/sec. Inspirasi dalam menyebabkan molekul udara
lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius dan sensasi bau tercium. Syarat zat-zat
yang dapat menyebabkan perangsangan penghidu :

Harus mudah menguap mudah masuk ke liang hidung

Sedikit larut dalam air mudah melalui mukus

Mudah larut dalam lemaksel-sel rambut olfaktoria dan ujung luar sel-sel
olfaktoria terdiri dari dari zat lemak .

Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang berada
pada permukaan membran.
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara
ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sam seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah, sebagian akan melaui nares anterior dan sebagian lain
kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari
nasofaring.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan sebelumnya.
Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi
dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui
hidung kurang lebih 37 oC. fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk
mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan
dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.
Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir (mucous
blanket).
Menyaring udara berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dan dilakukan oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, serta palut
lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan
partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini
akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah enzim yang dapat
menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozyme.
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir
dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut tertutup dan
hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah. Hidung juga bekerja sebagai
indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka
superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah
ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan
sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
II. RINITIS ALERGI
Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersentisasi dengan allergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen
spesifik tersebut. Rinitis alergi berupa gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Onset
pajanan alergen terjadi lama dan gejala umumnya ringan, kecuali bila ada komplikasi
lain seperti sinusitis.1,2,5
Epidemiologi
Rinitis alergi mempengaruhi sekitar 40% anak-anak dan 20_30% orang dewasa. Pada
anak (<2 tahun) diagnosis rhinitis alergi lebih sulit ditegakkan. Keluhan pertama
biasanya muncul pada usia sekolah.
Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik
dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada
dewasa dan ingestan pada anak- anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi
lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda
tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen.
Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau
jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua
spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides
pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor
9

resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu
yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor
resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan
memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi
udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
1.

Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu

rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.


2.

Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,

telur, coklat, ikan dan udang.


3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin
atau sengatan lebah.
4.

Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,

misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.


Klasifikasi rinitis alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2.

Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya. Saat ini
digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari
4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
Belum ada klasifikasir rinitis alergi akibat kerja yang baku. Namun secara umum

10

agen penyebab dapat diklasifikasikan menumt asalnya sebagai berikut :


l. Agen fisik misalnya udara kering yang dingin, waktu pembersihan mukosiliar
(mucociliary clearance) menurun secara sedang (modeslly) seiring dengan inhalasi
udara yang sangat dingin. Apabila individu yang sensitif terhadap dingin diberikan
udara kering dingin pada -3 sampai -10'C, terdapat pelepasan mediator inflamasi di
dalam hidung yang dianggap berasal dari mastosit dan basofil. Aktivitas farmakologik
dari mediator ini menyebabkang gejala rinitis, juga konstriksi bronkiolus. Udara
lembab yang hangat gagal menimbulkan gejala-gejala.
2. Agen kimiawi banyak didapatkan di lingkungan industri, tembaga, arsen, seng dan
debu asam nitrat serta zat-zat kimia lainnya mampu menyebabkan penekanan aktivitas
siliar.' Kobalt, ntethylene rliphenyl isocyanale (MDI), loluene diisocyanale (TDI),
cqrntine (pewarna merah alamiah), lalex (rwlural nfiber latex) juga dilaporkan dapat
menyebabkanri nitis alergi. Polusi udara dapat diteliti dengan mengukur kadar
kadmium dalam darah, tingginya kadar kadmium di dalam darah secara bermakna
ditemukan pada pasien dengan rinitis alergi mernbuktikan hubungan antara polusi
udara dengan keadaan rinitisa alergi ini, mekanisnya antihistamin memerlukan
penelitian lebih lanjut,
3. Agen biologik pajanan terhadap debu kayu dapat menyebabkan rinitis alergik
maupun rinitis nonalergi, selain itu banyak pembuat roti (baker) dilaporkan menderita
rinitis alergi terhadap tepung terigu / gandum pekerja-pekerja ini tidak hanya alergi
terhadap tepung terigu saja, tetapi juga terhadap amilase dari Aspergilus oryzoe.
Masih banyak agen biologik lainnya seperti jenis-jenis tanaman tertentu, mikroba
(bakteri, jamur bahkan virus) di lingkungan kerja (sering pada petani) yang dilaporkan
menyebabkan rhinitis alergi.
Pemeriksaan penunjang
In Vitro:
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-papaer radio immuno-sorbent test) seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam
penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria.
Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil
dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah
pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA

11

(Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun
tidak dapat memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan. Jika basofil (>5 sel/ lapang pandang) mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri
In Vivo:
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-pont Titration/SET), SET
dilakukan untuk akergen inhalan

dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai

konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab


juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi
makanan, uji kulit yang akhir akhir ini banyak dilakukan adalah Intracutaneus
Provocative Dilutional Food (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan
dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara
tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test,
makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali
dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan.
Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase, Yaitu
reaksi alergi fase cepat yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai satu
jam setelahnya, dan reaksi fase lambat yang berlangsung 2 sampai 4 jam dengan
puncak 6-8 jam (fase hiperreaktiftas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung
sampai 24-48 jam.1
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji akan menangkap alergen yang menempel
di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk peptida
MHC (Mayor Histo Compatibility) kelas II, yang kemudian di presentasikan pada sel
T-helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin I (IL1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berploriferasi menjadi Th 1 dan Th 2.
kemudian Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-

12

13. L-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga
sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (Ig-E). Ig E di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi bila mukossa
yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk,
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan prostaglandin leukotrin D4,
leukotrin C4, brakinin, platelet actifating factor dan berbagai sitokin. Inilah yang
disebut reaksi alergi fase cepat. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung
vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi. Dan
permeabiltas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung syaraf
vidianus juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran interseluler adhesion molekul.1
Pada reaksi alergi fase lambat, sel mastosit akan melepaskan molekul
kemotaktif yang akan menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan
target. Respon ni tidak berhenti disini saja, tapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam, setelah pemaparan. Pada reaksi ini, ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit
di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3 , IL4 dan IL5, dan granulosit
makrofag koloni stimulating faktor pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif
atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi
dari granulnya. Pada fase ini selain faktor spesifk (alergen) iritasi oleh faktor
nonspesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok bau yang merangsang
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.1

13

Gambar 2. Skema pathogenesis rhinitis alergi.4


1. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan.
Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respon tersier.
3. Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi
ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau
reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).
Manifestasi klinis

14

Gejala yang mendukung diagnosis rinitis alergi (2 atau lebih gejala > 1jam hampir
setiap hari) : rinorea berair, bersin paroksismal, obstruksi nasal, hidung gatal, dan
konjumgtivitis (mata berair, gatal, bengkak). Gejala yang tidak mendukung diagnosis
rinitis alergi: bersifat unilateral, obstruksi nasal tanpa disertai gejala lainnya, rinorea
mukopureulen, post nasal drip dengan mukus tebal, tidak ditemui rinorea anterior,
nyeri, epistaksis berulang, dan anosmia. Tanda klinis yang diasosiasikan dengan rinitis
alergi:

Allergic shiners lingkaran hitam disekitar mata dan berhubungan dengan


vasodilatasi atau kongesti nasal.

Nasal / allergic crease suatu garis horizontal di dorsum hidung yang


disebabkan oleh gesekan berulang ke atas pada ujung hidung oleh gesekan
berulang ke atas pada ujung hidung oleh telapak tangan (dikenal sebgai
allergic salute).

Pemeriksaan hidung dengan spekulum hidung: mukosa hidung edematosa atau


hipertrofi, berwarna pucat atau biru keabuan, dan sekret cair.

Pemeriksaan mata: injeksi dan pembengkakan konjungtiva palpebra dengan


produksi air mata berlebihan, garis Dennie-Morgan (garis di bawah kelopak
mata inferior).

Pemeriksaan faring; penampakan cobblestone (pembengkakan jaringan


limfoid pada faring posterior) dan pembengkakan arkus faring posterior.
Maloklusi dan lengkung palatum yang tinggi dapat ditemukan pada pasien
yang bernafas dengan mulut secara berlebihan.

Pada anak dapat ditemukan hipertofi adenoid (dari foto lateral leher).

Gambar 3. Gambaran klinis Rinitis Alergi

Dasar Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
15

1. Anamnesis
Perlu ditanyakan gejala-gejala spesifik yang mengganggu pasien (seperti hidung
tersumbat, gatal-gatal pada hidung, rinore, bersin), pola gejala (hilang timbul,
menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi, respon
terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Karena rinitis alergi
seringkali berhubungan dengan konjungtivitis alergi, maka adanya gatal pada
mata dan lakrimasi mendukung diagnosis rinitis alergi. Riwayat keluarga
merupakan petunjuk yang cukup penting dalam menegakkan diagnosis pada anak.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah
bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat
ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi
bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok
oleh punggung tangan (allergic salute).
Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat
atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga
dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala
hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau
penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak (5
sel/lapang pandang) menunjukkan kemungkinan alergi. Hitung jenis eosinofil
dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
penyakit. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan cara RAST
(Radioimmuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Test).
Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada dua macam tes kulit
yaitu tes kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes epidermal berupa tes kulit
gores (scratch) dengan menggunakan alat penggores dan tes kulit tusuk (skin prick
test). Tes intradermal yaitu tes dengan pengenceran tunggal (single dilution) dan
pengenceran ganda (Skin Endpoint Titration SET). SET dilakukan untuk alergen
inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat
mengetahui alergen penyebab, juga dapat menentukan derajat alergi serta dosis
inisial untuk imunoterapi. Selain itu, dapat pula dilakukan tes provokasi hidung
dengan memberikan alergen langsung ke mukosa hidung. Untuk alergi makanan,
16

dapat pula dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau Intracutaneous Provocative
Food Test (IPFT).
Diagnosis banding
Rinitis vasomotor
Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa
hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Rinitis vasomotor
adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang
persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan
spesifik.2 Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis
vasomotor disebut juga dengan vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal
vasomotor instability, non spesific allergic rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau
intrinsic rhinitis. Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi
sehingga sulit untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung
tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang. Etiologi
yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan
fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan.
Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung
temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan
jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan
sebagai gangguan oleh individu tersebut.
Gejala klinis
Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan dengan
rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat
mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang
dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi.
Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rinitis alergi dan
tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata.1,2,6,7 Gejala dapat memburuk pada pagi
hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara
lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. Selain itu juga dapat
dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok ( post nasal drip ).
Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 2 golongan,
yaitu golongan obstruksi ( blockers ) dan golongan rinore (runners / sneezers ).

17

Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh
karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan
pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.
Diagnosis
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor dan
disingkirkan kemungkinan rinitis alergi.1 Biasanya penderita tidak mempunyai
riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa. Beberapa
pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan zat iritan tertentu
tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar. Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa hidung, konka hipertrofi dan
berwarna merah gelap atau merah tua (karakteristik ), tetapi dapat juga dijumpai
berwarna pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol ( tidak rata ). Pada
rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan
rinore, sekret yang ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak. Pada
rinoskopi posterior dapat dijumpai post nasal drip. Pemeriksaan laboratorium
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Test kulit ( skin test )
biasanya negatif, demikian pula test RAST, serta kadar Ig E total dalam batas normal.
Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam
jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel
neutrofil dalam sekret. Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang
edema dan mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.

Tabel 1. Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis vasomotor.


Rinitis alergi
Mulai serangan

Etiologi

Rintis vasomotor

Belasan tahun

Dekade ke 3 4

Riwayat terpapar allergen (+)

Riwayat terpapar allergen ( -)

Reaksi Ag Ab terhadap

Reaksi

rangsangan spesifik

beberapa rangsangan mekanis atau

neurovaskuler

terhadap

kimia, juga factor psikologis

18

Gatal & Bersin

Menonjol

Tidak menonjol

Gatal di mata

Sering dijumpai

Tidak dijumpai

Test kulit

Positif

Negatif

Sekret hidung

Peningkatan eosinofil

Eosinofil tidak meningkat

Eosinofil darah

Meningkat

Normal

Meningkat
Tidak membantu

Tidak meningkat
Membantu

IgE darah
Neurektomi

n.

vidianus

Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,
akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T
CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan
sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga
sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob
dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi
mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat
sinusitis akan semakin parah.5,6
Penatalaksanaan
Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan faktor penyebab
yang dicurigai (avoidance). Bila faktor penyebab tidak mampu disingkirkan maka
terapi selanjutnya adalah pemberian farmakoterapi maupun tindakan bedah berupa:
1. Antihistamin
Adalah pengobatan rinitis alergi yang paling sering diresepkan. Obat ini bekerja
secara kompetitif dengan mediator alergi, histamin, pada reseptor Histamin-1.
Efeknya berupa mengurangi vasodilatasi, hipersekresi kelenjar mukus, dan refleks
iritasi untuk bersin. Antihistamin yang bekerja pada reseptor H-1 dibagi menjadi dua
generasi berdasarkan sifat sedatifnya, generasi pertama bersifat sedatif karena bersifat
lipofilik dan generasi kedua bersifat lipofobik. Contoh antihistamin generasi pertama
adalah klorfeniramin, difenhidramin, siproheptadin. Antihistamin generasi kedua
memiliki keuntungan tidak menyebabkan sedasi, namun efek samping lain ternyata

19

dilaporkan suatu kasus kecil berupa anemia aplastik dan golongan tertentu tidak boleh
diberikan pada penderita dengan gangguan jantung karena menyebabkan aritmia.
Antihistamin generasi kedua yang aman adalah loratadin, setirizin, feksofenadin.
Dianjurkan konsumsi antihistamin agar dimakan secara reguler dan bukan dimakan
seperlunya saja karena akan memberikan efek meredakan gejala alergi yang efektif.
Apabila antihistamin generasi pertama dipilih, maka pemberian secara reguler akan
memberi toleransi kepada pasien terhadap efek sedasi sehingga ia mampu tetap
toleran terhadap pekerjaannya. 9
2. Dekongestan oral
Bekerja mengurangi edema pada membran mukus hidung karena bersifat
vasokonstriksi (alfa adrenergik), sehingga efek obat ini melengkapi pengobatan gejala
rinitis alergi oleh antihistamin dengan mengurangi edema membran mukus. Contoh
obat dekongestan oral adalah pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin. Obat ini
cukup diberikan beberapa hari saja. Dianjurkan pemberian dekongestan oral
dibandingkan dekongestan topikal karena efek "rebound phenomena" obat tersebut
terhadap mukosa hidung yang dapat menyebabkan rinitis medikamentosa. Pemberian
obat ini merupakan kontraindikasi bila pasien sedang mengonsumsi atau dalam fase
"tappering off" dari obat-obatan monoamin oksidase inhibitor karena bahaya akan
terjadinya krisis hipertensi.
3. Sodium kromolin
Bekerja pada intraseluler dengan menstabilkan dinding sel mastosit yaitu berupa
mencegah pelepasan mediator-mediator ke luar sel. Kerja dari obat ini adalah dengan
menghambat influks Ca2+ lebih banyak ke dalam sel mast sehingga degranulasi
mediator terhambat. Obat ini dapat diberikan sebagai pilihan alternatif apabila
antihistamin tidak dapat ditoleransi pada pasien.
4. Kortikosteroid inhalasi bekerja dengan mengurangi kadar histamin.10
Kadar histamin dikurangi dengan mencegah konversi asam amino histidin menjadi
histamin, selain itu kortikosteroid juga meningkatkan produksi c-AMP sel mast.
Secara umum kortikosteroid mencegah epitel hidung bersifat sensitif terhadap
rangsangan alergen baik pada fase cepat maupun lambat. Efek kortikosteroid bekerja
secara langsung mengurangi peradangan di mukosa hidung dan efektif mengurangi
20

eksaserbasi. Preparat yang tersedia seperti beklometason, budesonid, dan flunisolid.


Efek samping kortikosteroid inhalasi lebih kecil dibanding steroid sistemik kecuali
pasien diberikan dalam dosis sangat tinggi atau sedang menjalani pengobatan
penyakit paru.
5. Imunoterapi.
Cara ini lebih dikenal sebagai desensitisasi atau hiposensitisasi. Caranya adalah
dengan memberikan injeksi berulang dan dosis yang ditingkatkan dari alergen,
tujuannya adalah mengurangi beratnya reaksi tipe I atau bahkan menghilangkan sama
sekali. Imunoterapi bekerja dengan pergeseran produksi antibodi IgE menjadi
produksi IgG atau dengan cara menginduksi supresi yang dimediasi oleh sel T (lebih
meningkatkan produksi Th1 dan IFN-y). Dengan adanya IgG, maka antibodi ini akan
bersifat "blocking antibody" karena berkompetisi dengan IgE terhadap alergen,
kemudian mengikatnya, dan membentuk kompleks antigen-antibodi untuk kemudian
difagosit. Akibatnya alergen tersebut tidak ada dalam tubuh dan tidak merangsang
membran mastosit.10
6. Konkotomi
dilakukan pada konka inferior, dikerjakan apabila hipertrofi berat tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

21

Pencegahan
Pencegahan primer untuk alergi masih diperdebatkan dan usaha tersebut difokuskan
pada makanan bayi. Cara pencegahan primer tercetusnya penyakit alergi pada bayi
berisiko tinggi adalah dengan dianjurkan untuk pemberian ASI ekslusif (6 bulan),
tetapi jika tidak memungkinkan mendapat ASI sama sekali, dianjurkan untuk diberi
susu hydrolisa, karena terbukti cara tersebut dapat mengurangi terjadinya alergi pada
anak-anak dan alergi susu sapi. Pemberian makanan padat pada anak dan alergi susu
sapi. Pemberian makanan padat pada anak berisiko tinggi sebaiknya dimulai setelah
berumur 6 bulan, pemberian susu sapi mulai diberikan pada umur lebih dari 12 bulan
dan untuk telur bebek diberikan setelah anak berumur 24 bulan. Kacang tanah, ikan
dan makanan produk laut sebaiknya baru diberikan sedikitnya setelah anak berusia 36
bulan. Pencegahan sekunder lain adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
yang sensitif untuk mengurangi timbulnya gejala yang dapat dilakukan dengan
memberikan edukasi kepada penderita yang sudah diketahui alergen penyebabnya.
Hasil studi menghindari alergen seperti tungau debu rumah memang sukar dilakukan
dan tidak bermakna secara statstik, meskipun demikian pada sebagian penderita RA
dapat merasakan menfaatnya secara klinis.7
Prognosis
Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan
pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi terhadap
serbuk sari, maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman. Prognosis
yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan tubuh
maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi dapat bertambah berat
pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga dekade lima dan enam. Setelah
masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena menurunnya sistem
kekebalan tubuh.
KESIMPULAN
Beberapa faktor yang diduga meningkatkan resiko rhinitis alergi ditemukan pada
penelitian ini meliputi jenis kelamin, riwayat atopi keluarga, peningkatkan kadar IgE
serum total, peningkatan jumlah eosinofil dan uji kulit tusuk positif pada allergen
makanan dan hirup. Anak laki-lakiditemukan lebih banyak menderita rinitis alergi
(62%) dibandingkan anak perempuan (38%). Riwayat atopi pada keluarga ditemukan
dengan urutan proporsi terbesar pada ibu dan selanjutnya ayah, kakek, saudara

22

kandung dan nenek. Peningkatan IgE serum total ditemukan pada 88,57% pasien.
Anak berusia 1-5 tahun paling banyak mengalami peningkatan IgE serum total yaitu
sebesar 48,57% dari seluruh pasien. Peningkatan jumlah eosinofil darah juga
ditemukan pada 80% pasien. Uji kulit tusuk terhadap alergen makanan dari 25 pasien
didapatkan hasil positif terbanyak pada udang. Sedangkan alergen hirup yang
teridentifikasi positif pada uji kulit tusuk ditemukan terbanyak pada tungau debu
rumah. Sejalan dengan fakta epidemiolgis lain penelitian menemukan 22% pasien
rinitis alergi juga menderita asma bronkiale. Oleh karena itu pengendalian rinitis
alergi juga dapat menurunkan risiko penyakit asma. Disamping itu perlu kajian lebih
lanjut tentang berbagai faktor yang meningkatkan resiko terjadinya rinitis alergi.
Referensi
1. Soepardi Efiaty Arsyad. Buku Ajar Ilmu Telinga Hidung Tenggorok: Alergi
Hidung. Edisi ke-6. Jakarta 2007. Hal 128
2. Tanto Chris,Liwang Frans, Hanifati Sonia, etc. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi
IV. Jakarta 2014. Hal 1055
3. Ethical Diggest Semijurnal Farmasi dan Kedokteran. Diagnosis Rhinitis
Alergika. 4. Suprihati. Vol,XXXV, no 1, Jakarta; 2010 : 64-70.
4. Christine DV, Agnes L. Devinition and management of persistent allergic rhinitis
the ARIA guidelines. J of the World Allergy Organization; March/April 2011; 17 (2):
78-9
5. Effy Huriyati, Bestari J Budiman, Ricki Octiza. Peran Kemokin dalam Patogenesis
Rinitis Alergi. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014
6. El sharkawy A, Elmorsy S, El-Naggar M. Eotaxin, factor alpha levels in allergic
rhinitis. Egyptian Journal of Ear, Nose, Throat and Allied Sciences 2011; 12: 33-7.
7. Uller L et al. Early phase resolution of mucosal eosinophilic inflamation in allergic
rhinitis. Respiratory Research 2010;11:54.

23

24

Anda mungkin juga menyukai