Anda di halaman 1dari 16

ANATOMI HIDUNG

I. ANATOMI HIDUNG
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar dibedakan atas
tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat
kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung
yang mudah digerakkan. 1
Hidung terdiri dari hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya
dari atas ke bawah :3
1.

Pangkal hidung (bridge).

2.

Batang hidung (dorsum nasi).

3.

Puncak hidung (hip).

4.

Ala nasi.

5.

Kolumela.

6.

Lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dari :3
1.

Tulang hidung (os nasal)

2.

Prosesus frontalis os maksila

3.

Prosesus nasalis os frontal.

sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu :3
1.

Sepasang kartilago nasalis lateralis superior.

2.

Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut kartilago ala mayor.

3.

Tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.3
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang (vibrise). 3

Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior, dan superior. Dinding medial adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium
pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.3
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema ini biasanya rudimenter.3
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung. Terdapat meatus yaitu meatus
inferior, medius, dan superior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus
sfenoid.3

II. BATAS RONGGA HIDUNG

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang
(kribrosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior,
atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.3

III. VASKULARISASI

Bagian atas rongga hidung divaskularisasi oleh arteri etmoidalis anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna.3
Bagian bawah rongga hidung divaskularisasi oleh cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina. Arteri sfenopalatina keluar dari
foramen sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka
media.3
Bagian depan hidung divaskularisasi oleh cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian
depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a.
labialis superior, dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (little's area).3
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arteri. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.3

IV. JARINGAN LIMFATIK

Jaringan limfatik berasal dari mukosa superfisial. Jaringan limfatik anterior bermuara
di sepanjang pembuluh fasialis yang menuju leher. Jaringan limfatik posterior terbagi
menjadi tiga kelompok. Kelompok superior bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea.
Kelompok media menuju ke kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior menuju ke kelenjar
limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna.3

V. INNERVASI

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis
anterior yang merupakan cabang n. nasosiliaris yang bersal dari n. oftalmikus. Rongga
hidung lainnya, sebagian besar terdapat persarafan sensorik dari nervus maksilla melalui
ganglion sfenopalatina. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n. maksilaris, serabut
parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di ujung posterior konka
media.3
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribrosa dari pemukaan bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 3

VI. FISIOLOGI HIDUNG

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasalis adalah: 3
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal,
2. Fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidu,
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang,
4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas, dan
5. Refleks nasal, dimana mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang
berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan yang dapat
menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti, rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.3

ANATOMI SINUS PARANASAL

I.

SINUS MAKSILARIS

Adalah sinus yang pertama berkembang. Pada umumnya berisi cairan saat ahir.
Pertumbuhan terjadi selama 0 3 tahun dan 7 12 tahun. 2
Sinus maksilaris orang dewasa berbentuk piramida mempunyai volume kira-kira 15
ml ( 34 x 33 x 23 mm ). Dasar dari piramida adalah dinding nasal dengan puncak yang
menunjuk ke arah processus zygomaticum. Dinding anterior mempunyai foramen intraorbital
berada pada bagian midsuperior dimana nervus infraorbital berjalan diatas atap sinus dan
keluar melalui foramen itu. Atap dibentuk oleh dasar orbital dan transeksi oleh nervus
intraorbital. Dinding posterior tidak bisa dibatasi. Dasar dari sinus bervariasi tingkatannya.
Sejak lahir 9 tahun dasarnya adalah di atas rongga hidung. Umur 9 tahun dasar sinus secara
umum sama dengan dasar nasal. Dasar sinus berlanjut menjadi pneumatisasi sinus maksilaris.
Oleh karenaitu hubungan erat dengan penyakit pertumbuhan gigi yang dapat menyebabkan
infeksi rahang dan pencabutan gigi yang dapat menyebabkan fistula oral antral. . 2
Perdarahan sinus maksilaris berasal dari cabang arteri maksilaris. Termasuk
infraorbital, cabang lateral dari sphenopalatine, palatina mayor, vena axillaris dan vena
jugularis sistem dural sinus. . 2
Dipersarafi oleh cabang dari V2 yaitu nervus palatina mayor dan cabang dari nervus
infraorbital. . 2
Ductus nasolacrimalis mengalir ke kantung lacrimalis dan berjalan dari fosa lacrimalis
di bawah orbita sebelah posterior dari dinding penunjang rahang yang vertikal dan kosong
7

disebelah depan dari meatus inferior. Saluran ini berada sangat dekat dengan ostium maksila,
rata-rata berada 4 9 mm di depan ostium. Struktur lain yang terkait dengan sinus maksilaris
lainnya adalah ostium maksilaris dan fontanella anterior dan posterior ostium acessorius. . 2

II.

SINUS ETHMOIDALIS

Merupakan struktur yang berisi cairan pada bayi yang baru dilahirkan. Selama masih
janin perkembangan pertama sel anterior diikuti oleh sel posterior. Sel tumbuh secara
berangsur-angsur sampai dewasa umur 12 tahun. Sel ini tidak dapat dilihat dengan sinar x
sampai usia 1 tahun. Septa yang secara berangsur-angsur tipis dan pneumatisasi berkembang
sesuai usia. Sel ethmoid bervariasi dan sering ditemukan di atas orbita, sphenoid lateral, ke
atap maksila, dan sebelah anterior diatas sinus frontal. Sel ini disebut sel supraorbital dan
ditemukan 15% dari pasien. Penyebaran sel ethmoid ke dasar sinus frontal disebut frontal
bulla. Penyebaran ke turbinate medial disebut concha bullosa. Sel yang berada pada dasar
sinus maksila disebut Hallers sel dan dijumpai pada 10% populasi.sel-sel ini dapat
menyumba ostium maksila dan membatasi infundibulum mengakibatkan gangguan pada
fungsi sinus. Sel yang meluas ke anterior lateral sinus sphenoid disebut Onodi sel. Variasi sel
ini penting pada saat preoperative untuk memperjelas anatomi pasien secara individu. . 2
Strukturnya merupakan gabungan sel anterior dan posterior mempunyai volume 15 ml
( 3,3 x 2,7 x 1,4 cm ). Berbentuk seperti piramid dan dibagi menjadi multipel sel oleh sekat
yang tipis. Sebelah anterior posterior agak miring ( 15 derajat ). 2/3 anterior tebal dan kuat
dibentuk oleh os frontal dan faveola ethmoidalis. 1/3 posterior lebih tinggi sebelah lateral dan
sebelah medial agakmiring kebawah ke arah cribiform plate. . 2
Sinus ethmoid mendapat aliran darah dari arteri karotis ekterna dan interna. Arteri
sphenopalatina dan juga arteri opthalmica mendarahinsinus. Pembuluh vena mengikuti aliran
arteri dan dapat menyebabkan infeksi intrakranial. . 2
Dipersarafi oleh nervus v1 dan v2. Nervus v1 mensarafi bagian superior sedangkan v2
mensarafi bagian inferior. Persarafan parasimpatis melalui nervus vidian, sedangkan
persarafan simpatis melalui ganglion sympathetic cervical dan berjalan bersama pembuluh
darah menuju mukosa sinus. . 2
Struktur yang terkait dengan sinus ini adalah lamella basal dari turbinate medial,sel
ethmoid anterior dan posterior, sel agger nasi, bulla ethmoid, infundibulum ethmid, dan arteri
ethmoid anterior posterior. . 2

III.

SINUS FRONTALIS

Diduga terbentuk oleh pergerakan ke atas dari sebagian besar sel-sel ethmoid anterior.
Os frontal masih merupakan selaput (membran) pada saat kelahiran dan tulang mulai
mengeras sekitar 2 tahun. Secara radiologi jarang bisa terlihat struktur ini. Perkembangannya
mulai usia 5 tahun dan berlanjut sampai usia belasan tahun. . 2
Volume sinus ini sekitar 6- 7 ml ( 28 x 24 x 20 mm ). Anatominya bervariasi tetapi
secara umum ada dua sinus yang berbentuk seperti corong dan berbentuk point menaik.
Kedalaman dari sinus berhubungan dengan pembedahan untuk menentukan batas yang
berhubungan dengan pembedahan. Kedua bentuk sinus frontal mempunyai ostia yang
bergantung dari rongga itu (posteromedial). Sinus ini dibentuk dari tulang diploe. Dasar dari
sinus ini juga befungsi sebagai bagian dari atap rongga mata. . 2
Sinus frontalis mendapat perdarahan dari arteri opthalmica melalui arteri supraorbita
dan supratrochlear. Aliran pembuluh vena melalui vena opthalmica superior menuju sinus
cavernosus dan melalui vena-vena kecil di dalam dinding posterior yang mengalir ke sinus
dural. . 2
Sinus frontalis dipersarafi oleh cabang nervus v1. Secara kusus, nervus-nervus ini
meliputi cabang supraorbita dan supratrochlear. . 2
Struktur yang terkait dengan sinus ini adalah recessus frontal. . 2

IV.

SINUS SPHENOIDALIS

Sinus ini tidak terbentuk dari kantong rongga hidung, sinus ini dibentuk di dalam
kapsul rongga hidung janin. Tidak berkembang hingga usia

3 tahun. Usia 7 tahun

pneumatisasi telah mencapai sella tursica. Usia 18 tahun sinus sudah mencapai ukuran
penuh.2
Saat usia belasan sinus ini sudah mencapai ukuran penuh dengan volume 7,5 ml ( 23 x
20x 17 mm). Secara umum merupakan struktur bilateral yang terletak posterosuperior dari
rongga hidung. Pneumatisasi dapat meluas sejauh clivus , ala parva, dan ala magna os
sphenoid sampai ke foramen magnum. Ketebalan dinding juga bervariasi. Letak dari inus
juga bergantung dari pneumatisasinya. Kebanyakan disisi posterior yang dapat menjadi
bersebelahan ke struktur yang penting seperti arteri carotid, nervus opticus, nervus maxilaris
cabang dari nervus trigeminus, nevus vidian, pons, sella tursica, dan sinus cavernosus.
Struktur ini sering dikenal seperti lekukan di atap dan dinding sinus. . 2
9

Arteri ethmoid posterior memperdarahi atap sinus sphenoidalis. Bagian lain dari sinus
mendapat aliran darah dari arteri sphenopalatina. Aliran vena melalui vena maksilaris ke vena
jugularis dan pleksus pterigoid. . 2
Sinus dipersarafi oleh cabang nervus V.1 dan V.2. Nervus nasociliaris (cabang v.1)
berjalan menuju nervus ethmoid posterior dan mensarafi atap sinus. Cabang-cabang nervus
sphenopalatina (v.2) mensarafi dasar sinus. . 2
Srtuktur terkait dengan sinus ini adalah reccessus sphenoethmoidalis, rostrum
sphenoid, dan onodi sel. 2

FUNGSI SINUS PARANASAL

Beberapa teori menyebutkan beberapa funsi sinus meliputi fungsi dari kelembapan
udara inspirasi (dengan berperan pada area permukaan mukosa), membantu pengaturan
tekanan intranasal dan tekanan serum gas, mendukung pertahanan imun ( mukosanya terdiri
dari sel silia yang berfungsi untuk menggerakkan mukosa ke choana, lapisan superfisial yang
dikentalkan dari mukosa hidung berperan untuk menjerat bakteri dan partikel yang
mengandung unsur yang kaya dengan sel imun, antibodi dan protein antibakteri),
meningkatkan area permukaan mukosa , meringankan volume tengkorak, memberi resonansi
suara, menyerap goncangan dan mendukung pertumbuhan masase muka. . 2

10

PEMERIKSAAN FISIK
HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

I. KAMAR PERIKSA THT

Kamar periksa THT memerlukan sebuah meja alat yang berisi alat-alat THT ( THT
set, dengan lampu kepala yang arah sinarnya dapat disesuaikan dengan posisi organ yang
akan diperiksa. serta suction ) serta obat-obatan dalam botol yang diperlukan untuk
pemeriksaan.4
Di samping meja alat harus disiapkan kursi yang dapat diputar, ditinggikan serta dapat
direbahkan sebagai tempat berbaring untuk pasien sesuai dengan posisi yang diinginkan pada
pemeriksaan dan kursi dokter yang juga dapat berputar yang diletakkan saling berhadapan.
Jika kursi pasien seperti itu tidak ada sebaiknya selain dari kursi pasien, disediakan juga
sebuah tempat tidur. 4

II.

ALAT DAN OBAT4

- spekulum hidung
- kaca tenggorok no 2-4
- pinset bayonet
- alat pengisap
- alat pengait benda asing hidung
- spatula lidah

Obat-obatan yang diperlukan :


- adrenalin 1/10.000
- pantokain 2% atau xilokain 4%
- salep antibiotika atau vaselin dan kapas

Lain lain :
- Tampon
- Kapas
- Lampu spiritus/ korek api

11

III.

PEMERIKSAAN FISIK

a. Anamnesis
Mayoritas pasien dengan penyakit hidung atau sinus mengeluhkansatu atau
lebih gejala berikut ; ingusan, hidung tersumbat, pilek, saki kepala atau nyeri lainnya,
epistaksis, serangan bersin, terkadang pembengkakkan hidung luar, hilangnya atau
perubahan penciuman, dan alergi.1

b. Hidung Luar
Bentuk hidung luar diperhatikan apakah ada deformitas atau depresi tulang
hidung. Apakah ada pembengkakan di daerah hidung dan sinus paranasal. Dengan jari
dapat dipalpasi adanya krepitasi tulang hidung atau rasa nyeri tekan pada peradangan
hidung dan sinus paranasal. 4

c. Rhinoskopi anterior
Pasien duduk menghadap pemeriksa. Spekulum hidung dipegang dengan
tangan kiri (right handed), arah horizontal, dengan jari telunjuk ditempelkan pada
dorsum nasi. Tangan kanan untuk mengatur posisi kepala. Spekulum dimasukkan ke
dalam rongga hidung dalam posisi tertutup, dan dikeluarkan dalam posisi terbuka.
Saat pemeriksaan diperhatikan keadaan :

Rongga hidung, luasnya lapang/sempit( dikatakan lapang kalau dapat dilihat


pergerakan palatum mole bila pasien disuruh menelan) , adanya sekret, lokasi
serta asal sekret tersebut.

Konka inferior, konka media dan konka superior warnanya merah muda
(normal), pucat atau hiperemis. Besarnya, eutrofi, atrofi, edema atau
hipertrofi.

Septum nasi cukup lurus, deviasi, krista dan spina.


12

Jika terdapat sekret kental yang keluar daridaerah antara konka media dan
konka inferior kemungkinan sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis
etmoid anterior, sedangkan sekret yang terdapat di meatus superior berarti
sekret berasal dari sinus etmoid posterior atau sinus sphenoid.

Massa dalam rongga hidung, seperti polip atau tumor perlu diperhatikan
keberadaannya.

Asal perdarahan di rongga hidung, krusta yang bau dan lain-lain perlu
diperhatikan.

d. Rhinoskopi Posterior
Untuk pemeriksaan ini dipakai kaca tenggorok no.2-4. Kaca ini dipanaskan dulu
dengan lampu spritus atau dengan merendamkannya di air panas supaya kaca tidak
menjadi kabur oleh nafas pasien. Sebelum dipakai harus diuji dulu pada punggung tangan
pemeriksa apakah tidak terlalu panas.
Lidah pasien ditekan dengan spatula lidah, pasien bernafas melalui mulut
kemudian kaca tenggorok dimasukkan ke belakang uvula dengan arah kaca ke atas.
Setelah itu pasien diminta bernafas melalui hidung. Perlu diperhatikan kaca tidak boleh
menyentuh dinding posterior faring supaya pasien tidak terangsang untuk muntah. Sinar
lampu kepala diarahkan ke kaca tenggorok dan diperhatikan :
- septum nasi bagian belakang
13

- nares posterior (koana)


- sekret di dinding belakang faring (post nasal drip)
- dengan memutar kaca tenggorok lebih ke lateral maka tampak konka superior,
konka media dan konka inferior.
- Pada pemeriksaan rinoskopi posterior dapat dilihat nasopharing, perhatikan
muara tuba, torus tubarius dan fossa rossen muller.

e. Transiluminasi (diaphanoscopia).
Syarat melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) adalah adanya
ruangan yang gelap. Alat yang kita gunakan berupa lampu listrik bertegangan 6 volt
dan bertangkai panjang (Heyman).
Pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) kita gunakan untuk mengamati
sinus frontalis dan sinus maksilaris. Cara pemeriksaan kedua sinus tersebut tentu saja
berbeda.
Cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus
frontalis yaitu kita menyinari dan menekan lantai sinus frontalis ke mediosuperior.
Cahaya yang memancar ke depan kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya sinus
frontalis normal bilamana dinding depan sinus frontalis tampak terang.
Ada 2 cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada
sinus maksilaris, yaitu :

Cara I. Mulut pasien kita minta dibuka lebar-lebar. Lampu kita tekan pada
margo inferior orbita ke arah inferior. Cahaya yang memancar ke depan kita
tutup dengan tangan kiri. Hasilnya sinus maksilaris normal bilamana palatum
durum homolateral berwarna terang.

Cara II. Mulut pasien kita minta dibuka. Kita masukkan lampu yang telah
diselubungi dengan tabung gelas ke dalam mulut pasien.
kemudian kita tutup.

Mulut pasien

Cahaya yang memancar dari mulut dan bibir atas

pasien, kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya dinding depan dibawah orbita
tampak bayangan terang berbentuk bulan sabit.
Penilaian pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) berdasarkan adanya
perbedaan sinus kiri dan sinus kanan. Jika kedua sinus tampak terang, menandakan
keduanya normal.

Namun khusus pasien wanita, hal itu bisa menandakan adanya

cairan karena tipisnya tulang mereka.

Jika kedua sinus tampak gelap, menandakan

14

keduanya normal. Khusus pasien pria, kedua sinus yang gelap bisa akibat pengaruh
tebalnya tulang mereka.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Rontgent
Untuk melihat sinus maksilaris, kita usulkan memakai posisi Water pada Xphoto rontgen. Hasil foto X dengan sinus gelap menunjukkan patologis. Perhatikan
batas sinus atau tulang, apakah masih utuh ataukah tidak.

b. Pungsi percobaan
Pungsi percobaan hanya untuk pemeriksaan sinus maksilaris dengan
menggunakan troicart. Kita melakukannya melalui meatus nasi inferior. Hasilnya
jika keluar nanah atau sekret mukoid maka kita melanjutkannya dengan tindakan
irigasi sinus maksilaris.

c. Biopsi
Jaringan biopsi kita ambil dari sinus maksilaris melalui lubang pungsi di
meatus nasi inferior atau menggunakan Caldwell-Luc.
d. Sinoskopi
Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop. Endoskop
dimasukkan melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau di fosa krania.
Dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip,
jaringan granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa dan apakah
ostiumnya terbuka.

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Adam,Boies, Higler, Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, EGC, Jakarta,1997

2.

Anatomi

dan

fungsi

sinus

paranasal,

diunduh

dari

http://library.usu.ac.id/download/fk/06001191.pdf , 28 Oktober 2014


3. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3
4. Pemeriksaan sistem indera khusus , diunduh dari
http://fk.unand.ac.id/images/BLOK_3.6_update.pdf

, 28 Oktober 2014

16

Anda mungkin juga menyukai