Disusun oleh:
M. Reza Ikhwanuddin
1102010168
Pembimbing:
dr. Indah Trisnawaty, Sp.THT
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
b. Bagian Kartilago
Terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian
bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor dan tepi anterior kartilago septum.
3
b. Kavum nasi
1. Dasar Hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum.
2. Atap Hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os
nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os
sphenoid.Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa
yang dilalui oleh filamen-filamen n. olfaktorius yang berasal dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas
septum nasi dan permukaan kranial konka superior.
3. Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang
merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina
perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.
4. Konka
Fossa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka; celah
antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior;
celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di
sebelah atas konka media disebut meatus superior.Kadang-kadang
didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka
suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis
os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada maksila bagian superior dan palatum (Dhingra PL and
Shruti, 2014).
c. Meatus
1. Meatus Superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang
sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media.
Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior
4
melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas
belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat
resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.
2. Meatus Media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah
yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior.Di sini terdapat
muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di
balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada
dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal
sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk
bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum
yang dinamakan hiatus semilunaris.Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan
dikenal sebagai prosesus unsinatus.Di atas infundibulum ada
penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu
sel etmoid.Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di infundibulum.Sinus frontal dan sel-sel
etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus
maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel
etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium
tersendiri di depan infundibulum.
3. Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara
3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.
5
Gambar 3. Struktur Dinding Lateral Hidung
Sumber : Dhingra PL and Shruti, 2014
d. Nares
Nares terdiri dari anterior dan posterior, nares anterior /lubang
hidung, menghubungkan dunia luar dengan rongga hidung, sedangkan
nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum.
Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis
palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis
os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus (Dhingra PL and
Shruti, 2014).
e. Sinus
Sinus paranasal merupakan rongga berisi udara yang berbatasan
langsung dengan rongga hidung. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam
tulang. Rongga-rongga di dalam beberapa tulang wajah diberi nama sesuai
dengan tulang tersebut, yaitu sinus maxillaris, sinus sphenoidalis, sinus
frontalis, dan sinus ethmoidalis (Mangunkusumo, E. 2007) Sinus paranasal
terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang bulan IV dan tetap
berkembang selama masa anak-anak. Pembentukannya dimulai sejak di
dalam kandungan, akan tetapi hanya ditemukan dua sinus ketika baru lahir
6
yaitu sinus maxillaris dan ethmoidalis. Sinus frontalis berkembang dari
sinus ethmoidalis anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal
dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya
mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Mangunkusumo,
E. 2007).
7
Gambar 5. Sistem Drainase Sinus
Sumber : Dhingra PL and Shruti, 2014
8
2. Sinus Ethmoidalis
Sinus ethmoidalis terbentuk pada usia fetus bulan IV. Saat lahir,
sinus ethmoidalis berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), sedangkan
saat dewasa terdiri dari 7-15 cellulae yang berdinding tipis.
Bentuknya berupa rongga tulang yang menyerupai sarang tawon,
yang terletak antara hidung dan mata. Sinus ethmoidalis
berhubungan dengan fossa cranii anterior (dibatasi oleh dinding tipis
yaitu lamina cribrosa, sehingga jika terjadi infeksi pada daerah sinus
mudah menjalar ke daerah kranial), orbita (dilapisi dinding tipis
yakni lamina papiracea, sehingga jika melakukan operasi pada sinus
ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk ke daerah orbita
sehingga terjadi Brill Hematoma), nervus optikus dan nervus, arteri
dan vena ethmoidalis anterior dan posterior.
3. Sinus Sphenoidalis
Sinus sphenoidalis rerbentuk pada fetus usia bulan III. Sinus
sphenoidalis merupakan sinus paranasal yang terletak paling
posterior Volume pada orang dewasa ± 7 cc. Sinus sphenoidalis
mulai dapat dikenal pada sekitar bulan ketiga intrauterin sebagai
sebuah vaginasi dari resesus sphenoethmoidal dan kemudian menjadi
sebuah rongga kecil berukuran 2 x 2 x 1.5 mm pada bayi baru lahir.
Pada usia 3 tahun, pneumatisasi tulang sphenoid berkembang dan
pada usia 7 tahun mencapai dasar sella turcica. Ukuran sinus
sphenoidalis adalah 2 cm (tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3 (dalamnya).
Pada orang dewasa, derajat pneumatisasinya berubahubah dan
keasimetrisan menjadi hal utama yang harus diperhatikan
(Stammberger, 2008).
4. Sinus Frontalis
Sinus frontalis adalah sinus yang paling bervariasi dalam ukuran dan
bentuk. Ukurannya tergantung pada derajat pneumatisasi, mungkin
tidak ada sama sekali (5%) dan biasanya dibagi atau dibatasi dengan
9
sebuah septum intersinus. Saat usia 5 tahun, pneumatisasi akan
meluas secara superior dan pada usia 12 tahun sinus sudah tampak
besar. Ukuran sinus frontalis adalah 2,8 cm (tinggi) x 2,4 cm (lebar)
x 2 cm (dalamnya). Sinus frontalis biasanya bersekat-sekat dan tepi
sinus berlekuk-lekuk (Stammberger, 2008).
10
Gambar 6. Vaskularisasi pada Septum Nasi dan Dinding Lateral Kavum Nasi
Sumber : Dhingra PL and Shruti, 2014
Inervasi Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari
n. oftalmikus (N.V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatinum.Ganglion
sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris dari n. maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.
petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n. petrosus
profundus.Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung
(Dhingra PL and Shruti, 2014).
11
Gambar 7. Persyarafan Hidung
Sumber : Dhingra PL and Shruti, 2014
12
b. Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indera penghidu dan pencecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum.Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu
indera pencecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai
macam bahan.
c. Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis rhinolalia yaitu
rhinolalia aperta yang terjadi akibat kelumpuhan anatomis atau kerusakan tulang
di hidung dan mulut.Yang paling sering terjadi karena stroke, dan rhinolalia
oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda cair (ketika pilek) atau padat (polip,
tumor, benda asing) yang menyumbat.
d. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
reflex bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan
sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.
2. Rhinosinusitis
Rhinosinusitis merupakan inflamasi pada hidung dan sinus paranasal
dikarakteristikkan dengan dua atau lebih gejala terdiri dari hidung
tersumbat/kongesti pada hidung atau keluar sekret dari hidung (anterior atau
posterior nasal drip), dapat disertai atau tidak disertai dengan facial
pain/pressure, serta berkurangnya atau kehilangan kemampuan penghidu.
Definisi rhinosinusitis pada anak-anak hampir sama dengan dewasa, namun
gejala kehilangan kemampuan penghidu sulit diketahui, sehingga gejala yang
dipakai adalah adanya batuk (Fokkens et al, 2012).
13
Pada pemeriksaan penunjang dewasa, dapat ditemukan tanda-tanda pada
endoskopi, yaitu polip nasi, dan atau sekret mukopurulen yang berasal dari
meatus media, dan atau edema/obstruksi mukosa pada meatus media.
Sedangkan pada pemeriksaan CT Scan terdapat perubahan mukosa dalam
kompleks ostiomeatal dan atau sinus (Fokkens et al, 2012).
Rhinosinusitis dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu akut apabila
gejala hilang pada <12 minggu dan kronik jika setelah ≥ 12 minggu gejala
tidak hilang. Keparahan rhinosinusitis dapat diukur dengan VAS (Visual
Analogue Scale) dengan skor 0-10 cm. Mild jika skor VAS 0-3, Moderate
jika VAS >3-7 cm, dan Severe jika VAS >7-10 cm (Fokkens et al, 2012).
14
Tabel 1. Kriteria Klinis Rhinosinusitis Terkontrol
Karakteristik Terkontrol Terkontrol Sebagian Tidak Terkontrol
(Semua) (minimal 1)
Obstruksi Nasal Tidak ada atau Terjadi hampir setiap Tiga atau lebih
tidak mengganggu hari dalam seminggu karakteristik pada
pasien terkontrol
sebagian
Rinorea atau Sedikit dan Mukopurulen hampir
Post nasal drip mukoid setiap hari dalam
seminggu
Facial pain atau Tidak ada atau Ada
sakit kepala tidak mengganggu
Bau Normal, atau Mengganggu
sedikit
mengganggu
Gangguan tidur Tidak ada Ada
atau kelelahan
Endoskopi nasal Sehat atau Mukosa abnormal
(jika tersedia) Mukosa yang (polip nasi, sekret
hampir sehat mukopurulen,
inflamasi mukosa)
Medikasi Tidak diperlukan Memerlukan Memerlukan
sistemik yang antibiotik atau antibotik jangka
dibutuhkan kortikosteroid panjang atau
untuk sistemik pada 3 bulan kortikosteroid
mengontrol terakhir sistemik pada satu
penyakit bulan terakhir
Sumber : Fokkens et al, 2012
15
3. Rhinosinusitis Kronis dengan Polip
3.1 Definisi
Rhinosinusitis kronis merupakan inflamasi pada hidung dan sinus
paranasal dikarakteristikkan dengan dua atau lebih gejala terdiri dari
hidung tersumbat/kongesti pada hidung atau keluar sekret dari hidung
(anterior atau posterior nasal drip), dapat disertai atau tidak disertai
dengan facial pain/pressure, serta berkurangnya atau kehilangan
kemampuan penghidu selama ≥12 minggu. Definisi rhinosinusitis pada
anak-anak hampir sama dengan dewasa, namun gejala kehilangan
kemampuan penghidu sulit diketahui, sehingga gejala yang dipakai adalah
adanya batuk (Fokkens et al, 2012).
Jika rhinosinusitis kronis disertai dengan adanya polip, baik dibuktikan
dengan pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang, maka disebut
Chronic rhinosinusitis with nasal polyp /CRSwNP (Fokkens et al, 2012).
3.2 Epidemiologi
Prevalensi terjadinya rhinosinusitis kronis dengan polip meningkat
dengan usia, mencapai puncaknya pada umur 50-59 tahun masing-
masing 1,68 dan 0,82 untuk laki-laki dan perempuan. Menurut data di
Ameriks Serikat, prevalensi polip nasal adalah 4,2% dengan prevalensi
yang lebih tinggi (6,7%) pada pasien dengan asma. Rata-rata terjadinya
rhinosinusitis dengan polip pada pasien dengan umur 42 tahun. Polip
nasal jarang ditemukan paada umur 20 tahun. Pada sebagian besar
penelitian, kasus ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan
perempuan (Fokkens et al, 2012).
16
Silia berfungsi penting dalam membersihkan sinus dan mencegah
inflamasi kronis. Pada pasien rhinosinusitis kronis ditemukan
diskinesia pada silia, dan kemungkinan bersifat reversibel walaupun
pemulihan dalam waktu yang lama. Pasien dengan cystic fibrosis
mengalami disfungsi silia sehingga silia tidak mampu mentranspor
mukus, dan selanjutnya mengakibatkan terjadinya rhinosinusitis
kronis. Pasien dengan cystic fibrosis mengalami polip sebanyak 40%,
dengan gambaran lebih neutrofilik dibanding eosinofilik(Fokkens et
al, 2012).
b. Alergi
Inflamasi alergi yang kemudian menyebabkan edema mukosa
hidung pada rhinitis alergi menyebabkan obstruksi ostium sinus
sehingga terjadi retensi mukus dan infeksi (Fokkens et al, 2012).
c. Asma
Hubungan antara asma dengan rhinosinusitis belum diketahui
dengan jelas, namun mrnurut beberapa studi radiografi, ditemukan
bahwa sinus pada pasien asma menunjukkan mukos yang abnormal.
Hal ini yang menjadi faktor risiko terjadinya rhinosinusitis kronis dan
pembentukan polip nasal (Fokkens et al, 2012).
d. Sensitivitas Aspirin
Pasien dengan sensitivitas aspirin memiliki risiko 36-96% untuk
mengalami rhinosinusitis kronis dengan polip nasal.
e. Immunocmpromised
Hal ini terjadi akibat penurunan kemampuan imun pasien ditunjukkan
dengan proliferasi abnormal sel T-limfosit, serta defisiensi IgA dan
IgM sehingga risiko infeksi meningkat serta eliminasi infeksi
berkurang.
f. Kehamilan
17
Selama kehamilan, sebanyak kurang lebih satu dari lima wanita
mengalami obstruksi nasal. Hal ini dihipotesiskan akibat efek
hormonal indirek seperti estrogen, progesteron, dan placentaal growth
hormone yang mengubah sistem pembuluh darah, sehingga berisiko
terjadinya rhinosinusitis kronis (Fokkens et al, 2012).
g. Biofilm Bakteri
Bakteri patogen dapat berkolonisasi pada permukaan polip nasal
dan membentuk biofilm. Biofilm tersebut akan menyebabkan
inflamasi tambahan. Bakteri yang sering ditemukan melalui kultur
adalah Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Inflmasi
mukosa pada polip nasal disebabkan oleh sitokin TH2 dan diperkuat
oleh enterotoxin S. Aureus yang dikarakteristikkan oleh peningkatan
inflamasi eosinofil dan pembentukan antibodi IgE (Fokkens et al,
2012).
h. Faktor Iatrogenik
Hal ini dapat disebabkan oleh operasi sinus yang gagal, akibat
terbentuknya mukokel sinus (Fokkens et al, 2012).
i. Virus
Virus memiliki peran terhadap pembentukan rhinosinusitis kronis,
yaitu dengan inflamasi mukosa kronis, menurunkan respon pertahanan
tubuh sehingga dapat menyebabkan eksaserbasi akut CRS (Fokkens et
al, 2012).
3.4 Patofisiologi
Rhinosinusitis kronis dapat terjadi akibat disfungsi interaksi antara
host dan lingkungan yang terjadi pada sinus paraanasal. Hal ini pada
umunya disebabkan oleh proses patologis yang menyebabkan kerusakan
mukosa dan proses inflamasi. Seperti yang telah dijelaskan pada etiologi
dan faktor risiko rhinosinusitis kronis dengan polip pada sub-bab di atas,
maka hipotesis patogenesis diajukan sesuai dengan penyebabnya.
18
Terjadi kerusakan epitel dan atau disfungsi host barrier sehingga
terbentuk kolonisasi S. aureus. Sekresi toxin superantigen berefek pada
sel epitel, limfosit, eosinofil, fibroblas, dan sel mast. Hal yang paling
menonjol adalah respon inflamasi akibat aktivasi Th2, poliklonal IgE,
eosinofil, dan degranulasi sel mast, serta mutasi metabolisme eicosanoid.
Akibat dari peroses ini, diyakini dapat membantu terbentuknya polip
(Fokkens et al, 2012).
19
Gambar 10. Hipotesis Immune Barrier pada CRS
Sumber : Fokkens et al, 2012
20
Selain terjadinya manifestasi klinis pada lokal, terjadi pula gejala
sistemik, meliputi demam dan malaise. Terdapat pula gejala pada organ
lain , seperti nyeri pada tenggorokan, disfonia, dan batuk.
Gejala yang ditunjukkan pasien dengan CRSwNP hampir sama dengan
yang ditunjukkan pada rhinosinusitis akut dan CRSsNP, namun pada
kondisi akut, biasanya tanda-tanda infeksi lebih menonjol dan memiliki
gejala yang lebih berat.
21
medikasi. Endoskopi memperlihatkan bidang pemeriksaan lebih
baik dibanding rinoskopi anterior. Pada pemeriksaan ini, meatus
nasi media dan superior, serta nasofaring dan sistem drainase
dapat dinilai. Pada rhinosinusitis kronis dengan polip, pada
endoskopi tampak polip nasal, dapat disertai dengan sekret
mukopurulen dari meatus media serta adanya edema atau ostruksi
mukosa pada metaus media.
2. Sitologi nasal, Biopsi, dan Bakteriologi
Sitologi hanya digunakan untuk membedakan kondisi yang
lebih serius seperti neoplasia dan vaskulitides. Swab dan aspirasi
dapat berguna untuk mengambil sampel mikrobiologi untuk
konfirmasi terapi. Teknik yang cepat untuk deteksi mikrobiologi
saat ini dapat menggunakan Fluorescent in situ Hybridization
(FISH) untuk mengidentifikasi bakteria dalam biofilm.
3. Transluminasi Sinus
Teknik ini digunakan karena biaya yang murah dan
efisiensinya terhadap screening patologi sinus. Namun,
pemeriksaan bersifat insensitif dan tidak spesifik sehingga kurang
dipercayai dalam diagnosis rhinosinusitis. Dengan adanya
sinuplasti balon, tes ini dapat digunakan untuk mengkonfirmasi
posisi guide wires yang tepat.
4. Pencitraan
Foto rontgent polos kurang memberikan manfaat dalam
mendiagnosis rhinosinusitis dibanding dengan CT Scan dan MRI.
CT Scan merupakan pemeriksaan pencitraan yang dipilih untuk
sinus paranasal karena memperlihatkan tulang, udara, dan
jaringan lunak dengan optimal. MRI dapat dipilih karena tidak
memiliki risiko radiasi dan mendefinisikan jaringan lunak baik
dengan kemampuan membedakan antara massa pada jaringan
lunak dengan sekret yang terobstruksi.
22
Sistem staging berdasarkan CT Scan biasanya
menggunakan sistem Lund-Mackay, di mana skor diberikan pada
tempat yang mengalami peningkatan intensitas, meliputi 0 =
normal, 1 = opasifikasi parsial, dan 2 = opasifikasi total. Skor ini
digunakan untuk menilai sinus maksiler, anterior ethmoid,
posterior ethmoid, sphenoid, dan sinus frontal setiap sisi.
Kompleks osteomeatal skor meliputi 0 = tidak tersumbat, 2 =
tersumbat. Skor maksimal adalah 12 per sisi.
5. Pemeriksaan tambahan
a. Fungsi Mukosilier
- Nasomucociliary clearance
Digunakan sakarin, atau partikel radioaktif unuk
mengukur waktu transit mukosilier. Normalnya <35
menit. Pada pasien terjadi disfungsi silia, sehingga waktu
transit akan memanjang.
- Frekuensi ciliary beat
Pengukuran aktivitas silia dengan mikroskop kontras
dengan sel fotometrik untuk mengevaluasi keberhasilan
terapi. Nilai normal adalah 8 Hz.
- Mikroskop Elektron
Untuk mengetahui kelainan silia.
- Nitrit Oksida
Hasil metabolit yang terdapat pada saluran pernafasan atas
dan bawah merupakan indikator sensitif terdapatnya
infmasi dan disfungsi silia. Kadar yang rendah
menunjukkan adanya disfungsi silia.
b. Penilaian saluran pernafasan
- Nasal inspiratory peak flow
Pemeriksaan ini berhubungan dengan gejala obstruksi
nasal.
- Rhinomanometri
23
Pengukuran resistensi saluran nasal dengan menilai nasal
flow degan tekanan konstan, dapat mengkonfirmasi
penurunan inflamasi pada meatus media dibanding
obstruksi mekanik.
- Rinometri Akustik
- Rinostereometri
Untuk mengukur perubahan pembengkakan mukosa,
terutama di meatus inferior.
c. Sistem Olfaktori
- Tes Treshold
Fluktuasi kemampuan penghidu berhubungan dengan
CRS sebagai sebab adanya obstruksi yang menyebabkan
gangguan konduktivitas, atau degenerasi mukosa
olfaktorius akibat penyakit atau pengobatan (operasi nasal
berulang). Tes ini menggunakan dilusi serial dari berbagai
sumber bau, seperti karbinol.
- Tes Olfaktori Kualitatif yang Lain
Scratch and sniff test menggunakan mikrokapsul yang
berisi sumber bau.
6. Pemerikaan Laboratorium C-Reactive Protein (CRP)
CRP merupakan protein respon akut terhadap adanya
inflamasi. CRP mengaktivasi komplemen yang menyebabkan
opsonisasi bakteri.
Diagnosis Banding Rhinosinusitis Kronis dengan Polip yaitu (Fokkens et
al, 2012).
a. Rhinosinusitis kronis tanpa polip
b. Tumor rongga hidung
c. Sakit kepala bukan akibat dari rhinosinusitis seperti
- Migrain, baik dengan aura maupun tanpa aura
- Cluster headache
- Trigeminal Autonomic Cephalgia
24
3.7 Tatalaksana
Tatalaksana yang dianjurkan adalah (Fokkens et al, 2012).
a. Kortikosteroid lokal
Penggunaan kortikosteroid lokal hanya berdasarkan sejumlah
penelitian karena keterbatasan sumber literatur. Agen steroid yang
sering digunakan adalah
- Fluticasone propionate
- Beclomethasone dipropionate
- Betamethasone sodium phophate
- Mometasone furoate
- Flunisolide
- Budesonide
Menurut penelitian, penggunaan steroid lokal ini mampu mengurangi
tingkat keparahan gejala. Efek samping yang ditimbulkan dalah
epistaksis, dan iritasi hidung seperti gatal, bersin, serta hidung kering.
b. Kortikosteroid sistemik
Menggunakan injkesi 14 mg betametason . Dengan pengobatan ini,
terbukti mampu mengurangi ukuran polip, memperbaiki gejala, dan
perbaikan hasil rhinomanometri. Setelah 12 minggu pemberian,
terdapat reduksi signifikan pada CT Scan.
c. Antibiotik
- Short-term
Diberikan doxiciclin selama 3 minggu, namun menurut penelitian
efek yang ditimbulkan hanya kecil pada ukuran polip dan sekret
pos-nasal, namun gejala yang dirasakan pasien berkurang.
- Long-term
Diberikan clarithromycin 400 mg/hari selama kurang lebih 3
bulan. Menurut penelitian, pengobatan ini memberikan efek pada
ukuran polip dan perbaikan gejala, namun perlu studi lanjutan
untuk mengetahui efek lebih lanjut dari pemberian antibiotik
long-term ini.
25
d. Medikasi lain
1. Anti IgE
Digunakan pada pasien dengan alergi. Obat yang terpilih adalah
Omalizumab untuk pasien dengan asma dan alergi moderate
sampai severe. Pasien yang dianjurkan mengonsumsi obat ini
adalah pasien denganserum total IgE 30-700 IU/ML. Efek
samping dari obat ini adalah syok anafilaktik, peningkatan risiko
kardiovaskuler, serta trombositopenia.
2. Anti IL-5
IL-5 merupakan aktivator pertumbuhan dan aktivasi eosinofil.
Kadar tinggi IL-5 ditemukan pada polip, seket nasal, dan serum
darah pasien dengan polip nasal. Obat yang digunakan adalah
Mepolizumab (Glaxo Smith Kline) dan Reslizumab (Schering-
Plough).
3. Antihistamin
Salah satu obat yang diberikan adalah Cetirizine, namun obat ini
tidak direkomendasikan untuk terapi CRS dengan nasal polip.
Hanya diberikan pada pasien dengan alergi nasal yang menyertai.
e. Pembedahan
Sekitar 20% pasien dengan CRS mengalami polip nasal. Pembedahan
diindikasikan pada pasien yang tidak mengalami perbaikan setelah
percobaan pengobatan yang maksimal. Pembedahan dilakukan untuk
menghilangkan polip dan mukosa polipoid, serta muara dari ostium
sinus. Hal ini akan meningkatkan ventilasi sinus dan memperbaiki
fungsi silia sebagai pembersih. Operasi sinus dengan endoskopik
(Functional Endoscopic Sinus Surgery) saat ini dilaporkan memiliki
prosedur yang efektif dan aman. Efisiensi pembedahan dibanding
terapi dengan medikasi (yang termasuk kortikosteroid sistemik)
adalah sama.
Berikut ini adalah alogaritma penanganan rhinosinusitis kronis dengan
polipnasal.
26
Gambar 11. Alogaritma Penanganan Rhinosinusitis Kronis dengan Polip
Nasal
Sumber : Fokkens et al, 2012
3.8 Komplikasi
Komplikasi rhinosinusitis kronis dengan polip jarang ditemukan, namun
apabila terjadi sulit untuk ditangani. Komplikasinya meliputi (Fokkens et
al, 2012).
a. Pembentukan mukokel
Mukokel merupakan kantung yang dilapisi epitel mengisi sinus
paranasal secara komplit dan mampu ekspansi. Mukokel jarang
terjadi, biasanya unilokular (92%) dan unilateral (90%). Patogenesis
terjadinya mukokel berhubungan dengan obstruksi sinus dan akibat
inflamasi kronis atau infeksi. Interval waktu antara terjadinya
potensial awal dengan munculnya manifestasi klinis berkisa antara 22
bulan sampai 23 tahun. Pertumbuhannya secara umum lambat, namun
bis a menjadi cepat ketika infeksi bakteri memproduksi pyococele.
27
Distribusi mukokel sebagian besar berada pada sinus fronto-
ethmoidalis (86%). Jarang sekali mengenai sinus maksila. Manifestasi
klinis yang terjadi biasanya adalah gejala orbita (proptosis, diplopia).
Mukokel yang besar dapat meluas hingga rongga kranial anterior.
Mukokel dapat terjadi pada usia 23 bulan sampai 79 tahun, walau
insidensinya rendah pada anak-anak dan frekuensi pada wanita
samadengan laki-laki.
Diagnosis ditegakkan dengan CT Scan yang menunjukkan
gambaran lesi berdinding halus dan sinus yang melebar dengan area
tulang yang menipis atau tulang yang pecah, biasanya antara mukokel
dengan orbita atau fossa kranial anterior. MRI dilakukan jika terdapat
keraguan diagnosis, sepertei aneurisma karotis pada sfenoid.
Karakteristik umum adalah T1 yang rendah dan tinggginya T2.
Histologi lapisan mukokel juga bervariasi, namun secara umum
terdiri dari epitel kolumner bertingkat dengan metaplasia skuamosa,
hiperplasia sel goblet, dan infiltrat seluler bergantung pada derajat dan
tipe inflamasi, yaitu neutrofil, eosinofil, makrofag,.monosit, dan sel
plasma.
28
Terapi mukokel yaitu dengan marsupialisasi, yang sebagian besar
dapat dilakukan dengan endoskopi. Menurut sebagian besar literatur,
nilai keberhasilan terapi ini adalah >90%. Rekurensi tinggi terjadi
pada pasien dengan terapi pembedahan sebelumnya, rinosinusitis
kronis dengan poliposis nasal, fistula pada kelopak mata atas. Pasien
dengan penyulit tersebut perlu terapi pembedahan endoskopi dan
eksternal.
b. Osteitis
Patogenesis osteitis dalam rinosinusitis kronis masih belum
diketahui secara jelas. Pada pasien rinosinusitis kronis terdapat
remodelling tulang disertai dengan neo-osteogenesis. Tingkat
remodelling tulang ini sesuai dengan tingkat keparahan penyakit,
dapat dinilai dengan skor CT Lund-Mackay. Pada CT scan neo-
osteogenesis pada 36% kasus, dan osteitis terkonfirmasi secara
histologi pada 53%. Belum ada literatur yang menjelaskan mengenai
terapi dari oteitis.
29
Tabel 2. Sistem Grading Osteitis Berdasarkan CT Scan
30
menyebabkan tampak massa jinak pada CT scan yang terdiri dari
tulang hiperdens dan jaringan lunak yang memerlukan pembedahan
hanya untuk membedakan proses neoplasma.
e. Neuropati optik
Neuropati optik terjadi apabila rinosinusitis kronis terjadi pada
bagian sfenoid dan posterior etmoid, walaupun tanpa tanda ekspansi
seperti mukokel, tapi sebagai tanda adanya erosi tulang antara sinus
dan apex orbital. Hal ini bisa disertai rinosinusitis fungi eosinofilik.
31
dengan beberapa keterbatasan gerak okuler, mengindikasikan
selulitis orbita. Manifestasi klini yang khas adalah edema
konjungtiva (chemosis), bola mata yang menonjol keluar
(proptosis), nyeri okuler dan nyeri tekan, keterbatasan dan nyeri
gerak pada otot ekstraokuler.
Komplikasi ini membutuhkan pengobatan agresif dengan antibiotik
intravena, sama halnya dengan subperiosteal atau abses intraorbital.
Anak dengan proptosis, berukurangnya atau nyeri gerakan mata
(ophtalmophlegia), atau penurunan kemampuan visual (biasanya
terjadi penurunan kemampuan membedakan warna hijau atau
merah) perlu dilakukan CT Scan dengan kontras pada sinus dengan
detail orbita untuk membedakan selulitis orbita dan abses
intraorbita atau subperiosteal. Jika komplikasi intrakranial masih
diragukan maka perlu dilakukan MRI. Jika terdapat bukti adanya
abses pada CT Scan, turunnya kemampuan penglihatan khususnya
warna progresif setelah diberikan terapi awal antibiotik intravena
merupakan indikasi eksplorasi orbita dan drainase. Pemeriksaan
oftalmologi dan visual perlu dilakukan serta terapi antibiotik
intravena diganti menjadi oral jika pasien afebris selama 48 jam
dan tanda gejala oftalmologi berkurang.
c. Abses Subperiosteal dan Orbital
Abses periosetal terbentuk diantara periorbita dan sinus, serta
ekstrakonal, misal berlokasi pada otot okuler luar. Manifestasi
klinis dari abses subperiosteal adalah edema, eritema, kemosis, dan
proptosis kelopak mata dengan keterbatasan gerakan okulers akibat
adanya paralisis otot ekstraokuler, sehingga bola mata terfiksasi
(oftalmoplegia) dan penurunan fungsi visual. Pada sebagian besar
kasus, demam tinggi dan peningkatan leukosit, hal ini berkaitan
dengan pembentukan abses. Abses orbita bersifat intrakonal
(berada di ruangan antara otot okuler, dan umumnya berasal dari
diagnostik yang ditunda atau keadaan immunosupresi dari pasien
32
dengan frekuensi antara 13% dan 8,3% pada komplikasi orbita
anak.
CT Scan sinus dengan orbita dapat membantu membedakan antara
selulitis dan abses subperiosteal atau orbital. Pada CT Scan abses
subperiosteal biasanya terdapat edema otot rektus medial,
lateralisasi periorbita, globe displacement kebawah dan lateral.
Ketika CT Scan tampak obliterasi dari otot ekstraokuler dan syaraf
optik oleh massa konfluen, selulitis orbital telah berkembang
menjadi abses intraorbital, yang biasanya disebabkan bakteri
anaerobik.
Indikasi operasi pada komplikasi orbita adalah
1. Adanya bukti abses subperiosteal atau intraorbital pada
pemeriksaan CT Scan atau MRI
2. Berkurangnya fungsi visual yaitu penglihatan warna, atau reflek
pupil aferen, atau kesulitan menilai penglihatan.
3. Progresifitas atau tidak membaiknya gejala orbital seperti
diplopia, oftalmoplegia, proptosis, edema, kemosis setalah 48
jam.
4. Progresifitas atau tidak membaiknya kondisi umum seperti
demam, parameter infeksi setelah 48 jam pemberian antibiotik
intravena.
Beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik
intravena memberikan hasil yang baik pada anak dengan abses
subperiosteal, dengan gejala
1. Perbaikan klinis dalam 24-48jam
2. Tidak ada penurunan fungsi penglihatan
3. Abses subperiosteal lokasi medial yang sedikit (volume <0,5-1
ml)
4. Tidak ada tanda-tanda keterlibatan sistemik
5. Umur pasien biasanya kurang dari 24 tahun
33
Pada prognosis, kebutaan dapat terjadi akibat oklusi arteri retina
sentral, neuritis optik, ulserasi kornea, atau panoftalmitis. Sepsis
jarang terjadi namun dapat menyebar intrakranial dan orbita bagian
anterior.
2. Komplikasi Endokranial
Termasuk dalam kategori ini adalah epidural atau abses subdural,
abses otak, meningitis, serebritis, dan trombosis sagital superior dan
sinus cavernosus.
Manifestasi klinis komplikasi ini tidak spesifik, dikarakteristikan
dengan demam tinggi, sakit kepala parah, atau juga tidak terdapat
gejala. Pada sebagian besar kasus terdapat gejala intrakranial seperti
nausea, muntah, kaku kuduk dan penurunan kesadaran. Komplikasi
endokranial sering berhubungan dengan rinosinusitis frontoetmoid
atau sfenoid. Infeksi dapat menyebar dari rongga paranasal ke struktur
endokranial dengan dua rute, yaitu patogen melalui vena diploik
sampai ke otak, atau dengan erosi tulang sinus.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan CT Scan kontras, namun MRI
lebih sensitif karena dapat menilai trombosispada sinus kavernosus.
Terapi antibiotik dosis tinggi jangka waktu lama disertai dengan
kraniotomi atau aspirasi digunakan untuk keberhasilan terapi.
Drainase kombinasi sinus paranasal dilakukan secara endoskopik.
Patogen yang menyebabkan adalah Streptococcus dan Staphylococcus
aureus, serta anaerob.
3. Komplikasi Tulang
Infeksi sinus dapat menyebabkan osteomielitis serta melibatkan otak
dan sistem nervus. Osteomieltis biasanya terjadi pada sinus maksila
atau tulang frontal. Pada dinding anterior sinus, terdapat edema pada
kulit di tulang frontal memproduksi seperti massa (Pott’s puffy
tumour), yang kemudian dapat menyebar melalui tromboflebitis
menyebabkan meningitis, abses peridural atau abses otak.
34
3.9 Prognosis
Prognosis dari rhinosinusitis kronis dengan polip tergantung dari respon
pasien terhadap pengobatan serta tingkat kontrol penyakit. Prognosis akan
lebih berat jika setelah pembedahan terjadi polip rekuren. Akibat penyakit
ini, pasien dengan rhinosinusitis kehilangan kurang lebih 6 hari masa
kerjanya (Fokkens et al, 2012).\
4. Polip Nasal
4.1 Definisi
Polip nasal adalah masa edematosa non-neoplastik dari mukosa
hidung atau sinus. Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu-
abuan, mengkilat, lunak karena banyak mengandung cairan (polip
edematosa). Polip yang lama dapat berwarna kuning atau kemerah-
merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa) (Dhingra PL and Shruti,
2014).
4.2 Epidemiologi
Prevalensi polip nasi pada populasi bervariasi antara 0,2%-4,3%.
Polip nasi dapat mengenai semua ras dan frekuensinya meningkat sesuai
usia, biasanya terjadi pada rentang usia 30 tahun sampai 60 tahun dimana
dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada pria (Dhingra PL and
Shruti, 2014).
4.3 Etiologi
Etiologu polip nasal sangat kompleks dan sampai saat ini belum
dipahami secara mendalam. Polip dapat terbentuk pada kondisi inflamasi
mukosa hidung, kelainan motilitas silia, serta kelainan komposisi mukus
hidung pada cystic fibrosis. Penyebabnya adalah (Dhingra PL and Shruti,
2014).
a. Rhinosinusitis kronis
b. Asma
c. Intoleransi aspirin
Pada Samter’s triad, terdapat polip nasal, asma dan intoleransi aspirin.
35
d. Cystic Fibrosis
e. Sinusitis fungal alergi
f. Sindrom Kartagener
Terdiri dari bronkiektasis, sinusitis, situs inversuss, dan diskinesia
silia
g. Mastositosis nasal
Merupakan bentukdari rhinitis kronis di mana mukosa nasal
diinfiltrasi oleh sel mast namun dengan eosinofil yang sedikit. Skin
test dan kadar IgE dalam batas normal.
4.4 Klasifikasi
Polip dapat diklasifikasikan menjadi (Dhingra PL and Shruti, 2014).
a. Bilateral etmoidal
Biasanya poliposis bersifat eosinofilik yang berkaitan dengan asma
dan atau sensitifitas aspirin
b. Antrokoanal (Killian’s polip)
Biasanya terbentuk pada sinus maksila dan prolaps ke dalam koana,
biasanya merupakan bentuk seperti kista non-eosinofilik yang
terisolasi unilateral dan berukuran besar.
c. Poliposis dengan penyakit sistemik yang mendasari, seperti cystic
fibrosis, diskinesia silia primer, sindrom Kartagener.
36
Menurut sistem grading Meltzer et al, nasal polip terbagi menjadi
(Lourijsen et al, 2017)
1. Grade 0, jika tidak ada polip yang terlihat
2. Grade 1, jika polip kecil hanya pada meatus media
3. Grade 2, terdapat polip multipel pada meatus media atau obstruksi
meatus media
4. Grade 3, polip melebar pada meatus media sampai recessus
sphenoetmidalis tapi tidak terjadi obstruksi total hidung
5. Grade 4, polip masif menyebabkan obstruksi nasal total.
4.5 Patofisiologi
Mukosa nasal, terutama pada bagian meatus media menjadi
edematosa karena pengumpulan cairan ekstraseluler sehingga terjadi
perubahan polipoid. Awalnya, permukaan polip nasal dilapisi oleh epitel
kolumnar bersilia yang mirip dengan mukosa nasal yang normal. Namun
terjadi perubahan metaplastik menjadi epitel sskuamosa dan transisional
akibat iritasi pada mukosa yang berulang. Submukosa menunjukkan
ruang intraseluler yang luas diisi dengan cairan serosa. Terdapat pula
infiltrasi eosinofil (Dhingra PL and Shruti, 2014).
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi
kronik,disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori
Bernstein,terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau
aliran udara yang berturbulensi, terutama di daerah sempit di kompleks
osteomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi da
n pembentukankelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan
natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga
terbentuk polip (Dhingra PL and Shruti, 2014).
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor
sehingga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi
vaskuler yang mengakibatkan pelepasan sitokin-sitokin dari sel mast,
37
terjadi edema dan lama-kelamaan menjadi polip. Bila proses terus
berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan
kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai
(Dhingra PL and Shruti, 2014).
4.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari polip adalah (Dhingra PL and Shruti, 2014).
1. Hidung tersumbat akibat adanya obstruksi nasal baik total maupun
parsial.
2. Kehilangan daya penghidu secara parsial atau total
3. Nyeri wajah atau facial pain yang berhubungan dengan sinusitis
4. Bersin dan sekret nasal yang encer berhubungan dengan alergi
5. Massa yang keluar dari nostril.
6. Polip nasi hampir selalu ditemukan bilateral, namun jika ditemukan
unilateral diperlukan pemeriksaan histopatologi untuk menyingkirkan
kemungkinan keganasan. Polip nasi tidak sensitif terhadap sentuhan
dan jarang berdarah.
4.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis dapat ditegakkan dengan (Dhingra PL and Shruti, 2014).
- Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi adalah hidung tersumbat dari
yang ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen,
hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri
padahidung disertai rasa sakit kepala di daerah frontal. Gejala
sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara
sengau,halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup
- Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang
berwarna pucat yang berasal dari meatus media dan mudah
digerakkan.
- Pemeriksaan Penunjang
38
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Cadwell dan lateral)
dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-
cairan didalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip.
Pemeriksaan CT Scan sangat bermanfaat untuk melihatdengan jelas
keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang,
kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal.
- Diagnosis Banding
a. Konka hipertrofi
Polip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri-
cirinya sebagai berikut :
- Tidak bertangkai
- Sukar digerakkan
- Nyeri bila ditekan dengan pinset
- Mudah berdarah
- Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas
adrenalin).Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup
mudah untuk membedakan polipdan konka polipoid,
terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga
harus hati-hati pemberiannya pada pasien dengan penyakit
kardiovaskulerkarena bisa menyebabkan vasokonstriksi
sistemik, maningkatkan tekanan darah yang berbahaya
pada pasien dengan hipertensi dan dengan
penyakit jantung lainnya.
b. Keganasan pada hidung
4.8 Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan kasus polip nasi adalah
menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah
rekurensi polip. Dapat diberikan topical atau sistemik. Polip tipe
eosinofilik memberikan respons yang lebih baik terhadap
pengobatankortikosteroid intranasal dibandingkan polip tipe neutrofilik.
39
Alur alogaritma telah dijelaskan pada tatalaksana rhinosinusitis kronis
dengan polip nasi (Dhingra PL and Shruti, 2014).
4.9 Prognosis
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu
pengobatannya juga perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi
Terapi yang paling ideal pada rinitis alergi adalah menghindari kontak
dengan alergen penyebab.
40
antibiotik. Bakteri yang sering diisolasi adalah Streptococcus alpha
hemolitik dan S. aureus, diikuti dengan S. pneumoniae, H. Influenzae, dan
M. catarrhalis. Bakteri anaerobik tumbuh pada 6% spesimen,
menunjukkan adanya peningkatan dengan infeksi kronis. Respon imun
CRS pada anak mengindikasikan adanya peran eosinofil dan CD4+
limfosit yang signifikan pada inflamasi jaringan. Menurut beberapa studi
yang telah dilakukan, rekasi inflamasi pada jaringan sinus anak yang
menderita CRS kaya akan limfosit dan melepaskan lebih sedikit eosinofil
serta dirupsi epitel dibanding dengan dewasa. Diagnosis CRS pada anak
umumnya dibuat berdasarkan manifestasi klinis, namun jika dilakukan
pemeriksaan penunjang, yang direkomendasikan adalah CT Scan. Grade
CT Scan tersebut sama dengan sistem pada dewasa yaitu menggunakan
Lund-Mackay score. Jika skor 2 atau kurang, maka prediksinya negatif,
sedangkan jika skornya 5 atau lebih makan prediksinya positif. Dengan
dilakukannya CT Scan tersebut, diharapkan mampu membedakan CRS
dengan hipertrofi adenoid, karena secara klinis kedua penyakit ini sangat
sulit dibedakan (Fokkens et al, 2012).
41
BAB III
KESIMPULAN
42
DAFTAR PUSTAKA
Lourijsen S, et al. (2017). Endoscopic sinus surgery in adult patients with chronic
rhinosinusitis with nasal polyps (PolypESS): study protocol for a randomised
controlled trial. Biomed Central. 2017(18) 1-10
Stammberger, H., Lund, V.J. (2008). Anatomy of the nose and paranasal sinuses.
In: Browning G.G., et al. Scott-Brown's Otorhinolaryngology, Head and Neck
Surgery. 7th ed. Great Britain: Hodder Arnold, 1318-1320.
43