1102014270
HIPOKALEMI
A. Definisi
Hipokalemia adalah suatu keadaan dimana konsentrasi kalium dalam darah
dibawah 3.5 mEq/L yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah kalium total di
tubuh atau adanya gangguan perpindahan ion kalium ke sel-sel. Penyebab yang
umum adalah karena kehilangan kalium yang berlebihan dari ginjal atau jalur
gastrointestinal.1
B. Etiologi
Penyebab Hipokalemia diantaranya ialah:
1. Deplesi Kalium
Hipokalemia juga bisa merupakan manifestasi dari deplesi cadangan kalium tubuh.
Dalam keadaan normal, kalium total tubuh diperkirakan 50 mEq/kgBB dan kalium
plasma 3,5--5 mEq/L. Asupan K+ yang sangat kurang dalam diet menghasilkan
deplesi cadangan kalium tubuh. Walaupun ginjal memberi tanggapan yang sesuai
dengan mengurangi ekskresi K+, melalui mekanisme regulasi ini hanya cukup untuk
mencegah terjadinya deplesi kalium berat. Pada umumnya, jika asupan kalium yang
berkurang, derajat deplesi kalium bersifat moderat. Berkurangnya asupan sampai
<10 mEq/hari menghasilkan defisit kumulatif sebesar 250 s.d. 300 mEq (kira-kira
7-8% kalium total tubuh) dalam 7—10 hari4. Setelah periode tersebut, kehilangan
lebih lanjut dari ginjal minimal. Orang dewasa muda bisa mengkonsumsi sampai
85 mmol kalium per hari, sedangkan lansia yang tinggal sendirian atau lemah
mungkin tidak mendapat cukup kalium dalam diet mereka3.
2. Disfungsi Ginjal
Ginjal tidak dapat bekerja dengan baik karena suatu kondisi yang disebut Asidosis
Tubular Ginjal (RTA). Ginjal akan mengeluarkan terlalu banyak kalium. Obat yang
menyebabkan RTA termasuk Cisplatin dan Amfoterisin B.
pasien-pasien yang ingin menurunkan berat badan. Beberapa keadaan lain yang bisa
mengakibatkan deplesi kalium adalah drainase lambung (suction), muntah-muntah,
fistula, dan transfusi eritrosit.
Hipokalemia bisa terjadi tanpa perubahan cadangan kalium sel. Ini disebabkan
faktor-faktor yang merangsang berpindahnya kalium dari intravaskular ke
intraseluler, antara lain beban glukosa, insulin, obat adrenergik, bikarbonat, dsb.
Insulin dan obat katekolamin simpatomimetik diketahui merangsang influks kalium
ke dalam sel otot. Sedangkan aldosteron merangsang pompa Na+/K+ ATP ase yang
berfungsi sebagai antiport di tubulus ginjal. Efek perangsangan ini adalah retensi
natrium dan sekresi kalium 1.
Pasien asma yang dinebulisasi dengan albuterol akan mengalami penurunan
kadar K serum sebesar 0,2—0,4 mmol/L2,3, sedangkan dosis kedua yang diberikan
dalam waktu satu jam akan mengurangi sampai 1 mmol/L3. Ritodrin dan terbutalin,
yakni obat penghambat kontraksi uterus bisa menurunkan kalium serum sampai
serendah 2,5 mmol per liter setelah pemberian intravena selama 6 jam.
Teofilin dan kafein bukan merupakan obat simpatomimetik, tetapi bisa
merangsang pelepasan amina simpatomimetik serta meningkatkan aktivitas Na+/K+
ATP ase. Hipokalemia berat hampir selalu merupakan gambaran khas dari
keracunan akut teofilin. Kafein dalam beberapa cangkir kopi bisa menurunkan
kalium serum sebesar 0,4 mmol/L. Karena insulin mendorong kalium ke dalam sel,
pemberian hormon ini selalu menyebabkan penurunan sementara dari kalium
serum. Namun, ini jarang merupakan masalah klinik, kecuali pada kasus overdosis
insulin atau selama penatalaksanaan ketoasidosis diabetes.
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
E. Derajat Hipokalemia
Hipokalemia moderat didefinisikan sebagai kadar serum antara 2,5--3 mEq/L,
sedangkan hipokalemia berat didefinisikan sebagai kadar serum < 2,5 mEq/L.
Hipokalemia yang < 2 mEq/L biasanya sudah disertai kelainan jantung dan
mengancam jiwa.
G. Diagnosis
Untuk memastikan hipokalemia, akan dilakukan serangkaian pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang, seperti kadar K dalam serum kurang dari
3.5 mEq/L, kadar K, Na, Cl dalam urin 24 jam, kadar Mg dalam serum, analisis gas
darah, dan terdapat gelombang U pada elektrokardiografi (EKG).9
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
H. Penatalaksanaan Hipokalemia
Untuk bisa memperkirakan jumlah kalium pengganti yang bisa diberikan, perlu
disingkirkan dulu faktor-faktor selain deplesi kalium yang bisa menyebabkan
hipokalemia, misalnya insulin dan obat-obatan. Status asam-basa mempengaruhi
kadar kalium serum.
Koreksi dilakukan berdasarkan kadar kalium, yaitu:
1. Kalium 2,5 – 3,5 mEq/LBerikan 75 mEq/kgBB per oral per hari dibagi tiga
dosis.
a. Jumlah Kalium
Walaupun perhitungan jumlah kalium yang dibutuhkan untuk mengganti
kehilangan tidak rumit, tidak ada rumus baku untuk menghitung jumlah kalium
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
yang dibutuhkan pasien. Namun, 40—100 mmol K+ suplemen biasa diberikan pada
hipokalemia moderat dan berat.
Pada hipokalemia ringan (kalium 3—3,5 mEq/L) diberikan KCl oral 20
mmol per hari dan pasien dianjurkan banyak makan makanan yang mengandung
kalium. KCL oral kurang ditoleransi pasien karena iritasi lambung. Makanan yang
mengandung kalium cukup banyak dan menyediakan 60 mmol kalium 6.
d. Kalium iv
KCl sebaiknya diberikan iv jika pasien tidak bisa makan dan mengalami
hipokalemia berat.
Secara umum, jangan tambahkan KCl ke dalam botol infus. Gunakan sediaan
siap-pakai dari pabrik. Pada koreksi hipokalemia berat (< 2 mmol/L), sebaiknya
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
e. Diet Kalium
Diet yang mengandung cukup kalium pada orang dewasa rata-rata 50-
100 mEq/hari (contoh makanan yang tinggi kalium termasuk kismis, pisang,
aprikot, jeruk, advokat, kacang-kacangan, dan kentang).
I. Prognosis
Dengan mengkonsumsi suplemen kalium biasanya dapat mengkoreksi
hipokalemia. Pada hipokalemia berat, tanpa penatalaksanaan yang tepat, penurunan
kadar kalium secara drastis dapat menyebabkan masalah jantung yang serius yang
dapat berakibat fatal. 7
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
DAFTAR PUSTAKA
STATUS EPILEPTIKUS
Definisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status epileptikus
didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya
pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak
sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.11,12
Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan yang
efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus dikarakteristikkan
menurut lokasi awal bangkitan – area tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak
(Generalized onset)- kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi
atau non-konvulsi.
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu versi
mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik,
absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks). Versi lain membagi
berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status epileptikus non-konvulsi (parsial
sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap
kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).
Tonik klonik
Tonik
Klonik
Mioklonik
2) Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized convulsive status
epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik.
3) Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved)
Simple motor status epilepticus
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa yang
akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus dirawat pada
ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan
konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam penanganan status epileptikus
menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam (Valium),
Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi
dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-
Barbiturat.
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang mengalami
status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah), dimana Lorazepam
0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang sebanyak 65 persen.13,14
Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan
karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan
terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma
jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan
kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.
atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-
50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida
dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk
mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan dekstrosa tidak
digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan
terbentuknya mikrokristal.
Seseorang yang mengalami bangkitan berulang, meski telah mencapai kadar terapi OAE dalam
satu tahun terakhir setelah awitan. Hal ini diakibatkan oleh karena kegagalan dari OAE untuk
mengontrol fokus epileptik bukan karena dosis yang tidak tepat, ketaatan minum OAE , ataupun
kesalahan pemberian atau perubahan dalam formulasi.
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Walaupun
dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup banyak
seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten. Kesalahan
diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat meniru kejang epileptik.
Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan yang berespon terhadap
terapi lini pertama.
Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan Valproat atau
Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan kandungan
anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika
tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)
2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa, hitung darah
lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa Gas Darah
Arteri)
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV atau IM
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernicke’s encephalophaty
6. Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena dengan
kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi berikan
Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan
7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau
intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar
dan dapat menelan.
2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100 mg per
menit
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena hingga kejang
berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan infus lambat
setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil.
-atau-
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg per menit,
titrasi dengan bantuan EEG.
-atau-
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan berdasarkan
gambaran EEG.
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
Miastenia Gravis
Definisi
Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi neuromuskuler
pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunter). Karakteristik yang
muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot
volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial. Miastenia gravis adalah penyakit
autoimun yang dimanifestasikan adanya kelemahan dan kelelahan otot akibat dari menurunnya
jumlah dan efektifitas reseptor asetilkoline pada persambungan antar neuron neuromuscular
junction (Guyton, 2007).
Klasifikasi
Menurut Osserman miastenia gravis dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas, yaitu:
1. Kelas I (miastenia okular)
Hanya menyerang otot-otot okular sepeti ptosis, diplopia. Sifatnya ringan dan tidak
menimbulkan kematian.
2. Kelas II
a. Kelas II A (miastenia umum ringan)
Awitan lambat, biasanya pada mata kemudian menyebar ke otot rangka, tidak gawat, respon
terhadap obat baik, kematian rendah.
b. Kelas II B ( miastenia umum sedang)
Menyerang beberapa otot skeletal dan bulbar, kesulitan mengunyah, menelan. Respon terhadap
obat kurang, angka kematian rendah.
3. Kelas III (miastenia fulminan akut)
Perkembangan penyakit cepat, disertai krisis pernapasan, respon terhadap obat buruk,
terjadinya thyoma tinggi dan angka kkematian tinggi.
4. Kelas IV (mistenia berat lanjut)
Berkembang selama 2 tahun dari kelas I ke kelas II. Dapat berkembang secara perlahan atau
tiba-tiba, respon terhadap pengobatan kurang dan kematian tinggi.
Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada
neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson
motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin. Jika
rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan aetelkolin dibebaskan
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan asetilkolin reseptor
(AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot
dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah
kontraksi otot (Guyton, 2007).
Meskipun faktor presipitasi masih belum jelas, tetapi hasil penelitian menunjukkan
bahwa kelemahan pada miastenia gravis diakibatkan dari sirkulasi antibodi dalam reseptor
asetilkolin. Menurut hipotesa bahwa sel-sel myoid (sel-sel thymus yang menyerupai sel otot
skeletal) sebagai tempat yang paling awal terjangkit penyakit. Virus bertanggung jawab
terhadap sel-sel ini dimana menyebabkan pembentukan antibodi.
Penyebab lain diperkirakan karena faktor keturunan, dimana 15 % dari bayi yang baru
lahir dari ibu yang menderita miastenia gravis memperlihatkan gejala-gejal miastenia gravis
seperti kelemahan pada muscular, ptosis, kesulitan menghisap dan sesak napas. Setelah 7
sampai 14 hari bayi lahir, gejala-gejala ini akan hilang seiring hilangnya antibodi. Hal ini
memperkuat teori bahwa antibodi berperan dalam penyakit ini (Price, 2006).
Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia gravis tidak
diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan asetilkolin atau
kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang berperanan.
Patofisiologi
Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan pada tranmisi
impuls saraf menuju sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal
membrane postsinaps pada sambungan neuromuscular. Penelitian memperlihatkan adanya
penurunan 70 % sampai 90 % reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuscular setiap
individu. Miastenia gravis dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang bersikap lansung
melawan reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak tranmisi neuromuscular (Corwin, 2009).
Pada myasthenia gravis, sistem kekebalan menghasilkan antibodi yang menyerang
salah satu jenis reseptor pada otot samping pada simpul neuromukular-reseptor yang bereaksi
terhadap neurotransmiter acetycholine. Akibatnya, komunikasi antara sel syaraf dan otot
terganggu. Apa penyebab tubuh untuk menyerang reseptor acetylcholine sendiri-reaksi
autoimun-tidak diketahui (Corwin, 2009).
Berdasarkan salah satu teori, kerusakan kelenjar thymus kemungkinan terlibat. Pada
kelenjar thymus, sel tertentu pada sistem kekebalan belajar bagaimana membedakan antara
tubuh dan zat asing. Kelenjar thymus juga berisi sel otot (myocytes) dengan reseptor
acetylcholine. Untuk alasan yang tidak diketahui, kelenjar thymus bisa memerintahkan sel
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
sistem kekebalan untuk menghasilkan antibodi yang menyerang acetylcholine. Orang bisa
mewarisi kecendrungan terhadap kelainan autoimun ini. sekitar 65% orang yang mengalami
myasthenia gravis mengalami pembesaran kelenjar thymus, dan sekitar 10% memiliki tumor
pada kelenjar thymus (thymoma). Sekitar setengah thymoma adalah kanker (malignant).
Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak memiliki antibodi untuk reseptor
acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap enzim yang berhubungan dengan pembentukan
persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang ini bisa memerlukan pengobatan
berbeda.
Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya miastenia gravis diantaranya:
1. Pengobatan
a. Obatan-obatan antikolinesterase
b. Laksative atau enema
c. Tranq’uilizer atau sedatif
d. Potasium depleting diuretic
e. Antibiotik seperti aminoglikosid, tetrasiklin, polimiksin, antiaritmia, prokainamide, quinine
f. Narkotik analgetik
g. diphenilhydramine
2. Alkohol
3. Perubahan hormonal
4. Stress
5. Infeksi
6. Perubahan suhu/temperatur
7. Panas
8. pembedahan
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik yang timbul pada kasus miastenia gravis bervariasi dari masing-
masing kelas, namun demikian pada pasien miastenia gravis tanda dan gejala yang mungkin
terjadi, yaitu:
1. gangguan pada mata seperti adanya diplopia (pandangan ganda), ptosis (kelemahan kelopak
mata).
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
2. Gangguan pada otot wajah seperti kesulitan mengunyah, menelan dan bicara.
3. Gangguan pada kelemahan otot palatal dan faring sehingga pasien tidak mampu menelan
dan hal ini berisiko menimbulkan aspirasi.
4. Kelemahan otot leher sehingga kepala pasien sulit tegak.
5. Kelemahan pada otot-otot pernapasan seperti diafragma dan otot intercosta mengakibatkan
terganggunya pernapasan.
6. Terjadinya krisis miastenia, disebabkan karena kekurangan asetilkolin, keadaan ini
disebabkan karena perubahan atau ketergantungan obat, emosi dan stress fisik, infeksi atau
pembedahan.
7. Terjadinya krisis kolinergik, disebabkan karena kelebihan dari asetilkolin sebagai akibat
overdosis pengoabatan/efek toksik dari pemberian asetilkolin.
Perbedaan gejala Krisis kolinergik dan krisis miastenia dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.3 Perbedaan krisis kolinergik dan krisis miastenia
ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam 1 menit) ptosis hilang. Reaksi ini tidak
berlangsung lama dan akan kembali seperti semula. Injeksi IV memeperbaiki respon motorik
sementara dan menurunkan gejala pada krisis miastenik untuk sementara waktu memperburuk
gejala-gejala pada krisis kolinergik.
Test Wertenberg : penderita diminta menatap benda di atas bidang ke dua mata tanpa
berkedip. Pada miastenia gravis maka kelopak mata yang terkena akan ptosis.
Test Prostigmin : prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atrpon sulfas
disuntikkan IM atau subkutan. Positif apabila ada perbaikan kekuatan otot, atau gejala
menghilang. Electromyogram (EMG) : mengetahui kontraksi otot. Test serum antibodi ami
reseptor asetilkolin : terjadi peningkatan.
2.4 8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis yang dilakukan pada pasien dengan kasus miastenia gravis,
yaitu:
1. Penatalaksanaan umum
a. Pemenuhan kebutuhan nutrisi.
b. Aktivitas fisik dan pencegahan komplikasi
c. Pengunaan ventilator jika ada indikasi.
2. Pengobatan
a. Plasmaferesis: terapi penggantian plasma sebanyak 3-8 kali.
b. Antikolisterase seperti peridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam.
c. Steroid seperti prednison diberikan selang-seling sehari sekali untuk menghindari efek
samping.
d. Immunosupresan seperti azatioprin.
3. Pembedahan timektomi atau pengangkatan kelenjara thymus.
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi. EGC: Jakarta
Guyton. 2007. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi Revisi. EGC: Jakarta.
Hunter, Jennifer M. 2004. Inhibitor cholinesterase and Inhibitor cholinergic drug. Universitas
Departemen Anestesi, University Clinical Department, Duncan Building, Daulby Street,
Liverpool, L69 3GA
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit Volume 1 Edisi
6. EGC: Jakarta.
Paul A.K: Anti cholinesterase Drugs. In: Drugs and Eqiupment in Anaesthetic Practice, 2005,
5th Ed, Elsevier, India: 83-88
Setiawati, Arini., Gan, Sulistia. 2007. Susunan Saraf Otonom Dan Transmisi Neurohumoral.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Zunilda, D.S. 2007. Agonis dan Antagonis Muskarinik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
HERNIASI OTAK
Definisi
Herniasi otak adalah kondisi medis yang sangat berbahaya di mana jaringan otak menjadi
berpindah dalam beberapa cara karena peningkatan tekanan intrakranial (tekanan di dalam
tengkorak). Kenaikan tekanan menyebabkan otak diperluas, tetapi karena memiliki tempat
untuk masuk ke dalam tengkorak, maka otak menjadi rusak parah. Dalam beberapa kasus,
herniasi otak dapat diobati, tetapi dalam kasus lain itu akan menyebabkan koma dan kematian
pada akhirnya.
Herniasi Otak merupakan pergeseran dari otak normal melalui atau antar wilayah ke tempat
lain karena efek massa.Biasanya ini komplikasi dari efek massa baik dari tumor, trauma, atau
infeksi.
Etiologi
Herniasi dapat disebabkan oleh sejumlah faktor yang menyebabkan efek massa dan
meningkatkan tekanan intrakranial (TIK): ini termasuk cedera otak traumatis , stroke , atau
tumor otak . Karena herniasi memberikan tekanan yang ekstrim pada bagian-bagian otak dan
dengan demikian memotong pasokan darah ke berbagai bagian otak, sering kali fatal. karena
itu, langkah-langkah ekstrim yang diambil dalam peng rumah sakit untuk mencegah kondisi
ini dengan mengurangi tekanan intrakranial . Herniasi juga dapat terjadi karena tidak adanya
TIK tinggi ketika lesi massa seperti hematoma terjadi di perbatasan kompartemen otak.6
Hal ini paling sering akibat pembengkakan otak dari cedera kepala. Herniasi otak adalah efek
samping yang paling umum dari tumor di otak, termasuk: tumor otak primer dan tumor otak
metastasis.
• Antara daerah-daerah di dalam tengkorak, seperti yang dipisahkan oleh sebuah membran
kaku yang disebut tentorium
• Melalui pembukaan alami di dasar tengkorak yang disebut foramen magnum
• Melalui bukaan dibuat selama operasi otak
Klasifikasi
Otak dapat ditekan ke struktur seperti falx serebri, tentorium serebelli, dan bahkan melalui
lubang yang disebut foramen magnum di dasar tengkorak ( melalui sumsum tulang belakang
berhubungan dengan otak ).8
Ada dua kelompok utama herniasi: supratentorial dan infratentorial. Herniasi Supratentorial
adalah struktur biasanya terdapat di atas pakik tentorial sedangkan infratentorial adalah struktur
di bawahnya.8
• Supratentorial herniasi :
1. Uncal
2. Central (transtentorial)
3. Cingulate (subfalcine)
4. Transcalvarial
• Infratentorial herniation Infratentorial herniasi :
1. Upward (upward cerebellar or upward transtentorial)
2. Tonsillar (downward cerebellar)
Diagram di bawah ini menggambarkan jenis utama dari herniasi otak. Dalam hal ini disebabkan
oleh lesi massa ( hematoma subdural ) yang juga menyebabkan edema sekunder ke otak yang
berdekatan.
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
Gambar dari Blumenfeld Neuroanatomy melalui Kasus Clinial, Sinauer Assoc. Inc, 2002. Inc,
2002.
Herniasi Uncal
Pada herniasi uncal, sebuah subtipe umum herniasi transtentorial, bagian terdalam dari lobus
temporal , yang uncus , dapat ditekan begitu banyak sehingga terjadi oleh tentorium dan
memberikan tekanan pada batang otak , terutama otak tengah.10 Tentorium jaringan dapat
dilucuti dari korteks otak dalam proses yang disebut decortication .11
Uncus dapat menekan saraf kranial ketiga , yang dapat mempengaruhi parasimpatis kepada
mata di sisi dari saraf yang terkena, menyebabkan pupil mata terpengaruh untuk melebar dan
mengerut gagal dalam merespon terhadap cahaya sebagaimana mestinya. Pelebaran pupil
sering mendahului terkena kompresi saraf kranial III (serat parasimpatis adalah radial terletak
di serat eferen somatik umum di CNIII), yang merupakan penyimpangan dari mata ke "bawah
dan keluar" posisi karena hilangnya persarafan untuk semua pergerakan otot mata kecuali
untuk rektus lateral (diinnervasi oleh VI saraf kranial) dan oblik superior (diinnervasi oleh saraf
kranial IV). Gejala terjadi dalam urutan ini karena serat parasimpatis eksentrik mengelilingi
serat motor dari CNIII dan, karenanya, yang pertama yang dikompresi. 11
Kompresi dari ipsilateral arteri posterior serebral akan mengakibatkan iskemia dari korteks
visual primer lapangan ipsilateral dan kontralateral visual defisit pada kedua mata
(kontralateral hemianopia homonymous ). 11
Temuan penting lainnya adalah tanda lokalisasi palsu, yang disebut stakik Kemohan, yang hasil
dari kompresi dari kontralateral kruris otak mengandung corticospinal dan beberapa
kortikobulbar saluran serat.11
Hal ini menyebabkan ipsilateral (sisi yang sama dengan herniasi) hemiparesis . Karena
mayoritas saluran corticospinal innervates otot fleksor, perpanjangan kaki juga dapat dilihat.
Dengan meningkatnya tekanan dan perkembangan hernia akan ada distorsi dari batang otak
menyebabkan perdarahan Duret (merobek kapal kecil di parenkim ) di median dan paramedian
zona dari mesencephalon dan pons. Pecahnya pembuluh ini menyebabkan perdarahan
berbentuk linier atau dinyalakan. Batang otak terganggu dapat menyebabkan mengulit postur ,
depresi pusat pernapasan dan kematian. Kemungkinan lain yang dihasilkan dari distorsi batang
otak meliputi kelesuan , denyut jantung lambat, dan pelebaran pupil.9 Uncal herniasi dapat
maju ke herniasi pusat.8
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
Pada herniasi tonsillar, juga disebut herniasi cerebellar ke bawah,8 atau "coning", amandel
cerebellar bergerak ke bawah melalui foramen magnum mungkin menyebabkan kompresi
batang otak yang lebih rendah dan saraf tulang belakang leher atas, ketika mereka melalui
foramen magnum. Peningkatan tekanan pada batang otak bisa mengakibatkan disfungsi pusat
di otak yang bertanggung jawab untuk mengendalikan fungsi pernafasan dan jantung. 10
Tonsillar herniasi dari otak kecil juga dikenal sebagai Malformasi Chiari (CM), atau
sebelumnya adalah Arnold Chiari Malformation (ACM). Setidaknya ada tiga jenis malformasi
Chiari yang diakui secara luas, dan mereka mewakili proses penyakit yang sangat berbeda
dengan gejala yang berbeda dan prognosis. Kondisi ini dapat ditemukan pada pasien tanpa
gejala sebagai temuan insidentil, atau dapat menjadi begitu parah untuk membahayakan hidup.
Kondisi ini sekarang sedang didiagnosis lebih sering oleh ahli radiologi, pasien karena semakin
banyak menjalani scan MRI kepala mereka. Ectopia cerebellar adalah istilah yang digunakan
oleh ahli radiologi untuk menggambarkan amandel cerebellar yang "rendah palsu" tapi yang
tidak memenuhi kriteria radiografi untuk definisi sebagai malformasi Chiari. Definisi
radiografi saat ini diterima untuk suatu malformasi Chiari adalah bahwa amandel cerebellar
berbohong setidaknya 5mm di bawah tingkat foramen magnum. Beberapa dokter telah
melaporkan bahwa beberapa pasien tampaknya mengalami gejala yang konsisten dengan
malformasi Chiari tanpa bukti radiografi herniasi tonsillar.. Kadang-kadang pasien yang
digambarkan sebagai memiliki 'Chiari [jenis] 0'. 15
Ada banyak penyebab diduga herniasi tonsillar termasuk: saraf tulang belakang penarikan atau
okultisme filum terminale ketat (menarik di atas batang otak dan struktur sekitarnya), turun
atau cacat fosa posterior (bagian bawah, kembali sebagian dari tengkorak) tidak memberikan
ruang yang cukup bagi serebelum; hidrosefalus atau abnormal volume CSF mendorong
amandel keluar. gangguan jaringan ikat, seperti Danlos Sindrom Ehlers , dapat dikaitkan.15
Untuk evaluasi lebih lanjut dari herniasi tonsillar, studi aliran CINE digunakan. Jenis MRI
memeriksa aliran CSF pada sendi cranio-serviks. Untuk orang mengalami gejala dengan
minimal herniasi tampaknya terutama jika gejala lebih baik dalam posisi telentang dan buruk
atas berdiri tegak, tegak MRI dapat berguna.15
Manifestasi Klinis
Karakteristik fisik dapat menunjukkan kerusakan otak parah. Misalnya seperti penurunan
kesadaran , dengan Glasgow Coma Skor dari tiga sampai lima, salah satu atau kedua pupil
dapat membesar dan mengecil tetapi gagal dalam merespon terhadap cahaya. Muntah juga
dapat terjadi karena kompresi dari muntah pusat di medula oblongata.6
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
Diagnosis
Pemeriksaan neurologis menunjukkan perubahan dalam kewaspadaan (kesadaran). Tergantung
pada beratnya herniasi itu, akan ada masalah dengan satu atau lebih reflex dan otak yang
berhubungan dengan fungsi saraf cranial. Pasien dengan herniasi otak memiliki ritme jantung
yang tidak teratur dan kesulitan bernafas secara konsisten. 7
Untuk herniasi transtentorial, computed tomography (CT) scanning atau Magnetic Resonance
Imaging (MRI) berguna untuk evaluasi. MRI dapat memberikan pandangan aksial, serta sagital
dan koronal.16
Untuk subfalcine / cingulate herniasi, CT scan atau MRI lagi berguna untuk evaluasi, dengan
MRI mampu memberikan aksial, sagital, dan pandangan koronal. 16
Untuk foramen magnum / herniasi tonsillar, MRI memberikan visualisasi terbaik di pandangan
sagital dan koronal. Namun, karena pasien dengan jenis herniasi sering hadir akut, CT scan
aksial memungkinkan visualisasi dari kondisi ini. 16
Untuk sphenoid / herniasi Alar, MRI memberikan visualisasi terbaik pada gambar parasagittal.
Namun CT scan aksial atau MRI bisa menunjukkan perpindahan anterior dari arteri serebral
ipsilateral menengah, yang merupakan perpindahan anterior dari arteri serebral ipsilateral
menengah, yang merupakan tanda herniasi sphenoid tidak langsung.16
Untuk herniasi ekstrakranial, CT scan atau MRI berguna untuk evaluasi.16
Penatalaksanaan
Pilihan pengobatan bervariasi untuk herniasi otak. Sebagai aturan umum, langkah pertama
adalah untuk mengurangi tekanan intrakranial untuk mencegah kerusakan lebih lanjut ke otak.
Tergantung pada apa yang menyebabkan tekanan, ini mungkin berusaha dengan obat,
masuknya paralel untuk menguras kelebihan cairan, atau tindakan bedah lainnya. Jika tekanan
intrakranial bisa distabilkan, langkah berikutnya adalah untuk menilai tingkat kerusakan, dan
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
berbicara tentang kemungkinan pilihan pengobatan. Dalam kasus di mana tekanan cepat
diturunkan, itu mungkin untuk menghindari kerusakan permanen.2
Herniasi otak adalah darurat medis. Tujuan pengobatan adalah untuk menyelamatkan nyawa
pasien. Untuk membantu membalikkan atau mencegah herniasi otak, tim medis akan
memperlakukan meningkat pembengkakan dan tekanan di dalam otak. Pengobatan mungkin
diperlukan: 7
• Menempatkan drain ke otak untuk membantu mengeluarkan cairan
• Kortikosteroid, seperti deksametason, terutama jika ada tumor otak
• Pengobatan yang menghapus cairan dari tubuh seperti diuretik manitol atau lainnya, yang
mengurangi tekanan di dalam tengkorak
• Menempatkan tabung di saluran napas (intubasi endotrakeal) dan meningkatkan tingkat
pernapasan untuk mengurangi tingkat karbon dioksida (CO2) dalam darah
• Menghilangkan darah jika pendarahan menyebabkan herniasi
Prognosis
Herniasi otak dapat menyebabkan kecacatan atau kematian. Bahkan, ketika herniasi terlihat
pada CT scan, prognosis bermakna untuk pemulihan fungsi saraf adalah buruk. Pasien mungkin
menjadi lumpuh pada sisi yang sama dengan lesi menyebabkan tekanan, atau kerusakan pada
bagian otak disebabkan oleh herniasi dapat menyebabkan kelumpuhan pada sisi yang
berlawanan lesi. Kerusakan pada otak tengah , yang berfungsi mengaktifkan jaringan reticular
yang mengatur kesadaran akan menyebabkan koma. Kerusakan pada pusat-pernafasan kardio
di medula oblongata akan menyebabkan pernapasan dan serangan jantung .Penyelidikan kini
sedang berlangsung tentang penggunaan agen neuroprotektif selama periode pasca-trauma
berkepanjangan hipersensitivitas otak.15
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
CEDERA KEPALA
A. Definisi
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera
kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik dan
merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).
Resiko utama pasien yang mengalami cidera kepala adalah kerusakan otak akibat atau
pembekakan otak sebagai respons terhadap cidera dan menyebabkan peningkatan tekanan
inbakranial, berdasarkan standar asuhan keperawatan penyakit bedah ( bidang keperawatan Bp.
RSUD Djojonegoro Temanggung, 2005), cidera kepala sendiri didefinisikan dengan suatu
gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai pendarahan interslities dalam
rubstansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Jika dilihat dari ringan sampai berat, maka dapat kita lihat sebagai berikut:
1. Cedera kepala ringan ( CKR ) Jika GCS antara 13-15 , dpt terjadi kehilangan kesadaran kurang
dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur
tengkorak , kontusio atau temotom (sekitar 55% ).
2. Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau amnesia
antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ).
3. Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga meliputi
contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau edema selain itu ada istilah-istilah lain
untuk jenis cedera kepala sebagai berikut :
- Cedera kepala terbuka kulit mengalami laserasi sampai pada merusak tulang tengkorak.
- Cedera kepala tertutup dapat disamakan gagar otak ringan dengan disertai edema cerebra.
Memberikan 3 bidang fungsi neurologik, memberikan gambaran pada tingkat responsif pasien
dan dapat digunakan dalam pencarian yang luas pada saat mengevaluasi status neurologik pasien
yang mengalami cedera kepala. Evaluasi ini hanya terbatas pada mengevaluasi motorik pasien,
verbal dan respon membuka mata.
Dengan perintah 3
Dengan Nyeri 2
Tidak berespon 1
Melokalisasi nyeri 5
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak berespon 1
Verbal : Berorientasi 5
Bicara membingungkan 4
D. Anatomi Kepala
1. Kulit kapala
Pada bagian ini tidak terdapat banyak pembuluh darah. Bila robek, pembuluh- pembuluh ini
sukar mengadakan vasokonstriksi yang dapat menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Terdapat
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
vena emiseria dan diploika yang dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai dalam
tengkorak(intracranial) trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi, atau avulasi.
2. Tulang kepala
Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis eranium (dasar tengkorak). Fraktur tengkorak
adalah rusaknya kontinuibis tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Fraktur calvarea dapat
berbentuk garis (liners) yang bisa non impresi (tidak masuk / menekan kedalam) atau impresi.
Fraktur tengkorak dapat terbuka (dua rusak) dan tertutup (dua tidak rusak).
Tulang kepala terdiri dari 2 dinding yang dipisahkan tulang berongga, dinding luar (tabula eksterna)
dan dinding dalam (labula interna) yang mengandung alur-alur artesia meningia anterior, indra dan
prosterion. Perdarahan pada arteria-arteria ini dapat menyebabkan tertimbunya darah dalam ruang
epidural.
- Durameter adalah membran luas yang kuat, semi translusen, tidak elastis menempel ketat pada
bagian tengkorak. Bila durameter robek, tidak dapat diperbaiki dengan sempurna. Fungsi
durameter :
1. Melindungi otak.
2 Menutupi sinus-sinus vena ( yang terdiri dari durameter dan lapisan endotekal saja tanpa
jaringan vaskuler ).
- Asachnoid adalah membrane halus, vibrosa dan elastis, tidak menempel pada dura. Diantara
durameter dan arachnoid terdaptr ruang subdural yang merupakan ruangan potensial.
Pendarahan sundural dapat menyebar dengan bebas. Dan hanya terbatas untuk seluas valks
serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati subdural mempunyai sedikit jaringan
penyokong sehingga mudah cedera dan robek pada trauma kepala.
- Diameter adalah membran halus yang sangat kaya dengan pembuluh darah halus, masuk
kedalam semua sulkus dan membungkus semua girus, kedua lapisan yang lain hanya
menjembatani sulkus. Pada beberapa fisura dan sulkus di sisi medial homisfer otak.
Prametar membentuk sawan antar ventrikel dan sulkus atau vernia. Sawar ini merupakan
struktur penyokong dari pleksus foroideus pada setiap ventrikel.
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
Diantara arachnoid dan parameter terdapat ruang subarachnoid, ruang ini melebar dan
mendalam pada tempat tertentu. Dan memungkinkan sirkulasi cairan cerebrospinal. Pada
kedalam system vena.
4. Otak.
Otak terdapat didalam iquor cerebro Spiraks. Kerusakan otak yang dijumpai pada trauma
kepala dapat terjadi melalui 2 campuran : 1. Efek langsung trauma pada fungsi otak, 2.
Efek-efek lanjutan dari sel-sel otakyang bereaksi terhadap trauma.
Apabila terdapat hubungan langsung antara otak dengan dunia luar (fraktur cranium
terbuka, fraktur basis cranium dengan cairan otak keluar dari hidung / telinga), merupakan
keadaan yang berbahaya karena dapat menimbulkan peradangan otak.
Otak dapat mengalami pembengkakan (edema cerebri) dank arena tengkorak merupakan
ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini akan menimbulkan peninggian tekanan dalam
rongga tengkorak (peninggian tekanan tekanan intra cranial).
Tekanan intra cranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak, volume darah
intracranial dan cairan cerebrospiral di dalam tengkorak pada 1 satuan waktu. Keadaan
normal dari TIK bergantung pada posisi pasien dan berkisar ± 15 mmHg. Ruang cranial
yang kalau berisi jaringan otak (1400 gr), Darah (75 ml), cairan cerebrospiral (75 ml),
terhadap 2 tekanan pada 3 komponen ini selalu berhubungan dengan keadaan
keseimbangan Hipotesa Monro – Kellie menyatakan : Karena keterbatasan ruang ini untuk
ekspansi di dalam tengkorak, adanya peningkatan salah 1 dari komponen ini menyebabkan
perubnahan pada volume darah cerebral tanpa adanya perubahan, TIK akan naik.
Peningkatan TIK yang cukup tinggi, menyebabkan turunnya batang ptak (Herniasi batang
otak) yang berakibat kematian.
1. Fraktur tengkorak
Susunan tulang tengkorak dan beberapa kulit kepala membantu menghilangkan tenaga
benturan kepala sehingga sedikit kekauatan yang ditransmisikan ke dalam jaringan otak. 2
bentuk fraktur ini : fraktur garis (linier) yang umum terjadi disebabkan oleh pemberian
kekuatan yang amat berlebih terhadap luas area tengkorak tersebut dan fraktur tengkorak
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
seperti batang tulang frontal atau temporil. Masalah ini bisa menjadi cukup serius karena les
dapat keluar melalui fraktur ini.
Kejadian cedera minor dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna . Otak tidak
dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu. Otak tidak dapat menyimpan
oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang bermakna. Sel-sel selebral membutuhkan
suplay darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak belakang dapat pulih
dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir berhenti hanya beberapa menit
saja dan keruskan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.
Gegar otak ini merupakan sinfrom yang melibatkan bentuk cedera otak tengah yang menyebar
ganguan neuntosis sementara dan dapat pulih tanpa ada kehilangan kesadaran pasien mungkin
mengalami disenenbisi ringan,pusing ganguan memori sementara ,kurang konsentrasi ,amnesia
rehogate,dan pasien sembuh cepat.
Cedera otak serius dapat terjadi yang menyebabkan kontusio,laserasi dan hemoragi.
3. Komosio serebral
4. Kontusio cerebral
Merupakan cedera kepala berat dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan
adanya daerah hemorasi pada subtansi otak. Dapat menimbulkan edema cerebral 2-3 hari post
truma.Akibatnya dapat menimbulkan peningkatan TIK dan meningkatkan mortabilitas (45%).
tengkorak daerah infestor menuju bagian tipis tulang temporal.Hemorogi karena arteri ini dapat
menyebabkan penekanan pada otak.
6. Hemotoma subdural
Adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak.Paling sering disebabkan oleh
truma tetapi dapat juga terjadi kecenderungan pendarahan dengan serius dan
aneusrisma.Itemorogi subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya
pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Dapat terjadi akut, subakut atau
kronik.
- hemotoma subdural akut dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi
kontusio atau lasersi.
- Hemotoma subdural subakut adalah sekuela kontusion sedikit berat dan dicurigai pada
pasien yang gagal untuk meningkatkan kesadaran setelah truma kepala.
- Hemotuma subdural kronik dapat terjadi karena cedera kepala minor, terjadi pada lansia.
7. Hemotuma subaradinoid
Pendarahan yang terjadi pada ruang amchnoid yakni antara lapisan amchnoid dengan
diameter. Seringkali terjadi karena adanya vena yang ada di daerah tersebut terluka. Sering
kali bersifat kronik.
8. Hemorasi infracerebral.
Adalah pendarahan ke dalam subtansi otak, pengumpulan daerah 25ml atau lebih pada
parenkim otak. Penyebabanya seringkali karena adanya infrasi fraktur, gerakan akselarasi
dan deseterasi yang tiba-tiba.
F. MANIFESTASI KLINIS.
3. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah
konjungtiva,memar diatas mastoid (tanda battle),otorea serebro spiral ( cairan cerebros piral
keluar dari telinga ), minorea serebrospiral (les keluar dari hidung).
5. Penurunan kesadaran.
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
6. Pusing / berkunang-kunang.
8. Peningkatan TIK
G. PATHWAYS
Trauma kepala
H. PENATALAKSANAAN
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui sub kutan membuat luka mudah dibersihkan
dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda asing dan miminimalkan masuknya
infeksi sebelum laserasi ditutup.
1. Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan; lepaskan gigi
palsu,pertahankan tulang servikal segaris dgn badan dgn memasang collar cervikal,pasang
guedel/mayo bila dpt ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas,maka pasien harus
diintubasi.
2. Menilai pernafasan ; tentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak. Jika tidak beri O2 melalui
masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki dan atasi cedera dada berat spt pneumotoraks
tensif,hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2minimum 95%.
Jika jalan nafas pasien tidak terlindung bahkan terancan/memperoleh O2 yg adekuat ( Pa O2
>95% dan Pa CO2<40% mmHg serta saturasi O2 >95%) atau muntah maka pasien harus
diintubasi serta diventilasi oleh ahli anestesi
3. Menilai sirkulasi ; otak yg rusak tdk mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan
menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera intra abdomen/dada.Ukur dan catat
frekuensidenyut jantung dan tekanan darah pasang EKG.Pasang jalur intravena yg
besar.Berikan larutan koloid sedangkan larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema.
4. Obati kejang ; Kejang konvulsif dpt terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati mula-mula
diberikan diazepam 10mg intravena perlahan-lahan dan dpt diulangi 2x jika masih kejang. Bila
tidak berhasil diberikan fenitoin 15mg/kgBB
5. Menilai tingkat keparahan : CKR,CKS,CKB
6. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher,lakukan foto tulang belakang servikal
( proyeksi A-P,lateral dan odontoid ),kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa
seluruh keservikal C1-C7 normal
7. Pada semua pasien dg cedera kepala sedang dan berat :
- Pasang infus dgn larutan normal salin ( Nacl 0,9% ) atau RL cairan isotonis lebih efektif
mengganti volume intravaskular daripada cairan hipotonis dan larutan ini tdk menambah
edema cerebri
- Lakukan CT scan
1. Hematoma epidural
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
- Hiperventilasi
- Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dlm 20-30 menit.Dosis ulangan dapat diberikan 4-
6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam I
- Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi opoerasi (hematom epidural besar,hematom sub
dural,cedera kepala terbuka,fraktur impresi >1 diplo)
1. Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cedera dan mungkin di
persulit oleh cedera tambahan pada organ vital
a. Aktifitas dan istirahat
Gejala : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan
- hemiparese
- cedera/trauma ortopedi
b. Sirkulasi
c. Integritas ego
d. Eliminasi
e. Makanan/cairan
f. Neurosensori
- Perubahan pupil
- Kehilangan penginderaan
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala ; sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya lama
h. Pernafasan
i. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
- Gangguan kognitif
- Demam
2. Prioritas Keperawatan
a) Memaksimalkan perfusi serebral
b) Mencegah dan meminimalkan komplikasi
c) Mengoptimalkan fungsi otak
d) Menyokong proses koping
e) Memberikan informasi mengenai proses/prognosis penyakit
3. Tujuan Pemulangan
a) Fungis cerebral meningkat,defisit neurologi dapat diperbaiki atau distabilkan
b) Komplikasi tidak terjadi
c) ADL dpt terpenuhi sendiri atau dibantu ornag lain
d) Keluarga memahami keadaan yg sebenarnya dan dpt terlibat dlm proses pemulihan
e) Proses/prognosis penyakit dan penanganan (tindakan dpt dipahami dan mampu
mengidentifikasi dan memanfaatkan sumber daya yang terdsedia)
IV. Rencana Tindakan Keperawatan
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270
- Mempertahankan tingkat kesadaran biasa / perbaikan kognisi, dan fase motorik/ sensori
- Mendemonstrasikan tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan TIK
- TD = 110/70 – 150/90 mmHg, Nadi 80-100 x/mnt, RR = 16-20 x/mnt, pusing berkurang /
hilang
- Steroid berikutnya.
- Analgetik sedang
13.
2. Dx. Resiko tinggi pola nafas tidak efektif berdasarkan dengan kerusakan neurovaskuler ( cedera
pada pusat pernafasan otak).
Kriteria hasil :
9. lakukan fisiotherapi dada jika ada 7. Melihat kembali keadaan ventilasi dan
indikasi. tanda-tanda komplikasi yang
TRI HARDI PUTRANTO
1102014270